Kelas : XI MIPA 4
Absen : 12
1. Bali
Kearifan Lokal Di Bali
https://www.balitoursclub.net/tradisi-unik-di-bali/
Budaya dan tradisi yang diwariskan oleh leluhur, jika dilestarikan sampai sekarang ini tentu
akan menjadi sebuah tradisi unik, seperti yang kita banyak temukan di wilayah Indonesia
termasuk juga Bali, warisan atau peninggalan budaya masa lampau tersebut, yang banyak
berasal dari warisan Bali kuno dan menjadi salah salah satu cara hidup sekelompok
masyarakat yang masih tradisional dan menjadi sesuatu hal yang sangat menarik untuk
diketahui, tidak hanya bagi wisatawan, bahkan juga bagi warga lokal.
Sejumlah tradisi unik yang disuguhkan menjadi sebuah atraksi dan sebagai suguhan bagi
wisatawan yang liburan ke pulau Bali. Budaya serta tradisi unik tersebut masih bisa
berkembang dan dilestarikan sampai sekarang ini sangat berkaitan dengan keyakinan
masyarakat akan ritual atau prosesi yang terbungkus dalam sebuah tradisi.
Keyakinan masyarakat akan tradisi yang dilakukan oleh warga pada sebuah tempat,
berdasarkan keyakinan warga setempat, seperti keyakinan akan terjadi musibah jika tradisi
atau ritual tersebut tidak dilakukan, atau karena berhubungan dengan keyakinan beragama
untuk penghormatan kepada Tuhan ataupun pada leluhur, sehingga menjadi sebuah budaya
bagi masyarakat di pulau Bali.
Tradisi unik yang digelar pada sejumlah tempat di pulau Bali tersebut, menjadi hal yang
istimewa untuk dinikmati oleh wisatawan, apalagi mereka yang kebetulan liburan di pulau
Dewata, bisa menemukan sejumlah kebiasaan atau hal-hal tradisional pada jaman modern
sekarang ini akan kan mendapatkan pengalaman istimewa yang tidak bisa ditemukan di
daerah lainnya.
Berikut macam-macam tradisi unik yang ada di beberapa tempat di pulau Bali, serta
penjelasan detailnya berikut;
Pada umumnya orang meninggal di Bali, terutama bagi umat Hindu selain dikubur bisa
dibakar atau dikremasi langsung, namun demikian suatu tradisi unik dengan budaya yang
berbeda bisa anda temukan di Desa Trunyan Kintamani, kabupaten Bangli, yang juga
merupakan salah satu desa Bali Aga. Pada saat orang meninggal, maka tubuh atau jasad
orang tersebut hanya diletakkan di bawah pohon Menyan, jasad tersebut diletakkan di atas
tanah tanpa dikubur, hanya dipagari oleh bambu (ancak saji) agar tidak dicari oleh binatang
atau hewan liar, anehnya tidak sedikitpun dari jasad tersebut berbau busuk, sampai akhirnya
tinggal tersisa tulang belulang saja, dan tulang belulang itu nantinya diletakkan pada sebuah
tempat di kawasan tersebut, pemakaman di Trunyan ini melengkapi daftar budaya dan tradisi
unik bumi Nusantara – Indonesia. Karena keunikan tersebut pemakaman desa tradisional
Trunyan menjadi destinasi wisata di pulau Bali yang menjadi tujuan tour wisatawan.
2. Tradisi Mekare-Kare
Mekare-kare ini dikenal juga dengan perang pandan, tradisi unik di pulau Bali hanya
dilakukan di desa tradisional Tenganan, Karangasem yang dikenal juga sebagai desa Bali
Aga. Perang dilakukan berhadap-hadapan satu lawan satu dengan masing-masing memegang
segepok pandan berduri sebagai senjata. Desa Tenganan juga merupakan salah satu desa Bali
Aga, yang mengklaim sebagai penduduk Bali Asli. Mekare-kare atau perang Pandan digelar
saat Ngusaba kapat (Sasih Sambah) atau sekitar bulan Juni. Budaya dan tradisi unik tersebut
digelar di halaman Bale Agung dilangsungkan selama 2 hari dan dimulai jam 2 sore, ritual
atau prosesi tersebut bertujuan untuk menghormati Dewa Perang atau Dewa Indra yang
merupakan dewa Tertinggi bagi umat Hindu di Tenganan. Desa ini menjadi salah satu
destinasi wisata dan tujuan tour populer di pulau Bali.
3. Tradisi Omed-Omedan
Budaya dan tradisi unik ini digelar di tengah kota Denpasar, tepatnya di Banjar Kaja, Desa
Sesetan, Denpasar Selatan. Digelar setahun sekali, bertepatan saat hari Ngembak Geni atau
sehari setelah hari Raya Nyepi, tradisi unik dimulai sekitar pukul 14.00 selama 2 jam. Prosesi
ini hanya diikuti oleh kalangan muda-mudi atau yang belum menikah dengan umur minimal
13 tahun, omed-omedan berarti tarik menarik antar pemuda dan pemudi warga banjar dan
terkadang dibarengi dengan adegan ciuman diantara keduanya. Tradisi ini digelar sebagai
wujud kegembiraan setelah pelaksanaan Hari Raya Nyepi, ini sebuah warisan budaya leluhur
di pulau Bali, memiliki nilai sakral dan dipercaya akan mengalami hal buruk jika tradisi ini
tidak dilangsungkan. Tradisi ini menjadi salah satu atraksi wisata yang bisa dinikmati saat
tour pada hari Ngembak Geni.
4. Tradisi Mekotek
Prosesi atau ritual Mekotek ini hanya bisa anda temukan di desa Munggu, Kecamatan
Mengwi, Badung. Dikenal juga dengan Gerebeg Mekotek, tradisi unik di pulau Bali ini
digelar setiap 6 bulan (210 hari) sekali, tepatnya saat perayaan Hari Raya Kuningan (10 hari
setelah Galungan). Prosesi ini digelar dengan tujuan tolak Bala untuk melindungi dari
serangan penyakit dan juga memohon keselamatan. Pada mulanya tradisi Mekotek,
menggunakan tongkat besi, untuk menghindari agar peserta tidak ada yang terluka, maka
digunakanlah kayu Pulet sepanjang 2-3.5 meter yang kulitnya sudah dikupas sehingga terlihat
halus. Tongkat-tongkat tersebut dipadukan menjadi satu formasi sebuah kerucut, suara
“tek,tek” kayu berbenturan tersebut sehingga dikenal dengan Mekotek. Budaya dan tradisi
unik di Badung Bali ini masih terjaga lestari sampai sekarang ini.
Atraksi ini dikenal juga dengan perang rotan, yang mana dua orang laki-laki berhadap-
hadapan dan saling serang dengan sebatang rotan sepanjang 1.5-2 meter kemudian tangan
satunya memegang tameng untuk menangkis serangan lawan, diantara keduanya dibatasi
dengan batang rotan (garis tengah) agar tidak masuk ke wilayah lawan. Perang rotan ini tidak
hanya perlu ketangkasan saja tetapi juga keberanian, karena setiap peserta bisa saja kena
pukulan rotan lawan. Tradisi unik di desa Seraya, Karangasem – Bali Timur ini menjadi
sebuah budaya yang diwariskan sampai sekarang, tujuan utama dari prosesi Gebug Ende ini
adalah ritual tradisional untuk memohon hujan, dan ini dilakukan pada musim kemarau yaitu
di bulan Oktober – Nopember setiap tahunnya. Kondisi geografis dari desa Seraya yang
berada di wilayah perbukitan memang rentan dengan masalah air, itulah sebabnya ritual
memohon hujan ini dilangsungkan di desa ini. Seraya juga memiliki sejumlah destinasi
wisata yang bisa dikunjungi saat tour di pulau Bali.
7. Tradisi Makepung
Tradisi makan bersama saat ada hajatan upacara adat menjadi budaya masyarakat
Karanagsem di Bali Timur, seperti saat ada acara pernikahan, otonan, 3 bulanan ataupun
upacara adat lainnya, masih bertahan sampai sekarang ini di Kabupaten Karangasem,
walaupun beberapa warga sekarang ini terkadang menyiapkan makan prasmanan (makan
jalan) saat ada hajatan, tetapi tradisi megibung ini tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Bahkan
pada waktu Bupati Karangasem I Wayan Geredeg pernah menggelar megibung massal di
objek wisata Taman Ujung Karangasem dan memecahkan rekor Muri. Megibung atau makan
bersama oleh sekelompok orang yang terdiri dari 5-6 orang dinamakan “sele” duduk
mengitari “gibungan” yaitu segepok nasi di atas dulang atau nampan, lengkap dengan sayur
dan lauk pauk yang dinamakan “karangan” dan kemudian mereka makan bersama menikmati
menikmati gibungan dan karangan.
9. Tradisi Mesuryak
Sebuah tradisi unik di pulau Bali yang merupakan warisan budaya leluhur ini hanya bisa
ditemukan di desa Bongan, Kabupaten Tabanan. Budaya dan Tradisi di Tabanan ini digelar
bertujuan untuk penghormatan terhadap para leluhur dengan secara suka cita, bersorak
beramai-ramai dengan memberikan perbekalan seperti beras dan uang. Tradisi bersorak
beramai-ramai ini kemudian dibarengi dengan melempar uang ke udara dan diperebutkan
oleh warga dinamakan tradisi Mesuryak. Tradisi ini digelar setiap 6 bulan sekali yaitu pada
Hari Raya Kuningan. Rangkaian prosesi ini berkaitan dengan perayaan Hari Raya Galungan
dan Kuningan, setelah leluhur hadir di tengah keluarga mulai dari hari Raya Galungan,
kemudian pada saat Kuningan diantar kembali ke Nirwana dengan berbagai sesajian dan
perbekalan.
Tradisi mengarak ogoh-ogoh di Bali ini digelar tepat sehari sebelum hari Raya Nyepi, sekitar
jam 6-6.30 sore ogoh-ogoh mulai diarak keliling desa ataupun kota, hampir sebagian besar
warga Hindu di pulau Bali ini menggelar pawai ogoh-ogoh, ini mereka lakukan karena
berhubungan dengan ritual keagamaan. Ogoh-ogoh adalah sebuah boneka raksasa yang
merupakan simbol dari Bhuta Kala, dibuat dengan wujud menyeramkan atau simbol sebuah
kejahatan, yang paling dominan berwujud raksasa menyeramkan, binatang atau bahkan
wujud seorang penjahat. Prosesi pawai ogoh-ogoh tersebut masih dalam rangkaian
pelaksanaan Hari Raya Nyepi, setelah sebelumnya diadakan Tawur Kesanga memberikan
upah kepada Bhuta Kala, kemudian petang harinya diusir dan diarak keliling dalam bentuk
pawai, agar tidak mengganggu kehidupan manusia lagi, terutama esok harinya saat
melaksanakan hari raya Nyepi. Jika anda ada acara tour pada saat tersebut, diusahakan jangan
sampai sore, karena jalan banyak yang tutup.
Mayoritas warga Hindu di pulau Bali melakukan upacara Ngaben saat orang meninggal,
walaupun ada beberapa tidak melaksanakan upacara Ngaben seperti pada penduduk Bali Aga
contohnya desa Tenganan dan Trunyan. Saat upacara Ngaben, jasad atau tubuh orang
meninggal bisa dikubur terlebih dahulu ataupun dikremasi langsung. Upacara Ngaben digelar
adalah wujud bakti manusia dan kewajiban suci kepada leluhurnya atau orang yang telah
meninggal. Tujuan upacara Ngaben mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta dari tubuh
kasar manusia ke asalnya dan badan halus (atma) yang telah meninggalkan lebih cepat
mendapat penyucian dan kembali kesisi-Nya. Tata cara pelaksanaan Ngaben pun tidak selalu
sama sesuai dengan situasi, kondisi dan tempat Ngaben tersebut berlangsung, namun yang
terpenting esensi atau tujuannya sama, karena Hindu tidak di Bali saja tetapi menyebar di
kepulauan Indonesia. Budaya dan tradisi unik ini menjadi salah satu atraksi wisata bagi
wisatawan yang sedang liburan di Bali.
Budaya dan Tradisi unik di kawasan Bali Utara ini memperlombakan sepasang sapi yang
pada lehernya dipasangi sebuah genta besar yang dinamakan “Gerumbungan” kemudian sapi
dihiasi berbagai aksesoris agar terlihat gagah dan indah, pada kedua leher kedua sapi itu
saling dikaitkan dengan sebatang kayu melintang bernama “uga” kemudian di tengahnya
sebuah kayu melintang sepanjang 3 meter untuk seorang sais atau joki mengendalikan sapi
tersebut. Yang dipilih adalah sapi jantan saja itupun yang berbadan kekar. Kriteria pemilihan
pemenang dan penilaian bukan berdasarkan ada kecepatan, penilaian berdasarkan keserasian
gerak seperti gerak kaki yang seragam, ekor sapi yang melengkung ke atas dan kepala sapi
yang mendongak ke atas. Sebagai budaya warisan leluhur agar tetap lestari, maka sapi
Gerumbungan digelar setiap HUT kab. Buleleng di Bulan Agustus. Atraksi wisata di pulau
Bali bisa menjadi hiburan wisata menarik.
Kata Ngerebong berasal dari kata “ngereh” dan “baung” sehingga menjadi ngerebong,
penggabungan dua kata tersebut berarti juga akasa pertiwi atau atas bawah, ada juga yang
mengartikan Ngerebong tersebut berkumpul, diyakini saat tersebutlah Dewa sedang
berkumpul dan melakukan ritual yang tepat. Pada saat prosesi Ngerebong warga desa
Kesiman, Denpasar berkumpul di Pura Pengrebongan, Desa Kesiman Denpasar, mengarak
Barong dan Rangda sebagai simbol atau petapakan Ida Bhatara mengelilingi wantilan
sebanyak tiga kali diiringi juga oleh gamelan baleganjur. Saat berkeliling tersebut banyak
warga yang kerauhan atau trans, warga tersebut ada yang mengeram, berteriak, menari dan
ada juga menangis, mereka juga melakukan adegan berbahaya meminta keris untuk
ditancapkan di tubuh, leher ataupun kepala, tetapi anehnya tidak satupun yang terluka,
mereka yang kerauhan tersebut semuanya kebal tidak terlukai. Tradisi unik di pulau Bali ini
digelar 6 bulan sekali yaitu pada hari Minggu, Pon wuku Medangsia atau 8 hari setelah Hari
Raya Kuningan. Budaya dan tradisi warisan leluhur ini memang sangat unik, bisa menjadi
atraksi wisata yang diminati bagi mereka yang sedang liburan di Bali.
Sebuah budaya dan tradisi unik di pulau Bali yang hanya digelar di Desa Sangsit, Kecamatan
Sawan, Kab. Buleleng di Bali Utara, yaitu bertepatan pada hari Purnama sasih Kedasa,
sekitar 2 minggu setelah hari Raya Nyepi di bulan April. Karena pertimbangan biaya tradisi
ngusaba Bukakak digelar dua tahun sekali. Prosesi ini digelar untuk mengucapkan rasa terima
kasih umat kepada dewi Kesuburan atas segala hasil pertanian yang melimpah dan kesuburan
tanah. Desa Sangsit memang memiliki wilayah pertanian yang cukup luas dan juga tanahnya
yang gembur dan subur. Bukakak berasal dari kata “Bu” atau Lembu yang melambangkan
dewa Siwa dan “Kakak” atau gagak perlambang dewa Wisnu. Bukakak juga berkaitan
dengan babi guling yang hanya dimatangkan bagian dadanya saja. Ngusaba ini diawali
dengan upacara Melasti, kemudian membuat 3 buah dangsil pada acara puncak mengusung
bukakak mengelilingi areal persawahan.
Di pulau Bali tradisi Perang Ketupat hanya bisa anda temukan di desa Kapal, Kec. Mengwi,
Kab. Badung. Budaya dan Tradisi unik di Bali ini digelar dalam rangkaian upacara Aci Rah
Pengangon setiap satu tahun sekali yaitu pada hari Purnama (bulan penuh) sasih Kapat atau
sekitar bulan September – Oktober. Namanya juga perang ketupat, warga menggunakan
ketupat untuk berperang, mereka terbagi menjadi dua kelompok kemudian saling lempar dan
saling serang antar kelompok. Perang Ketupat ini hanya melibatkan kaum laki-laki saja
mereka menggunakan pakaian adat Bali, tapi tanpa baju, begitu ada aba-aba untuk mulai
perang, mereka juga mulai saling serang dan lempar di areal pura, kemudian merembet ke
luar pura sampai di jalan raya agar lebih leluasa, tidak ada aturan tertentu, mereka bebas
menyerang kubu lawan. Namun akhirnya damai tanpa permusuhan. Sebuah budaya dan
tradisi yang juga erat dengan pesan sosial.
Tidak hanya terkenal dengan keindahan objek wisata sawah berundak atau terasering yang
menjadi destinasi wisata dan tujuan tour wajib di pulau Bali, Tegalalang di Kabupaten
Gianyar juga memiliki budaya dan tradisi unik bernama Ngerebeg. Tradisi ini melibatkan
anak laki-laki saja, bahkan mulai yang balita sampai dengan dewasa yang tergabung dalam
sekehe Truna (organisasi pemuda) di desa tersebut. Yang menarik adalah setiap peserta dirias
dengan wajah seram dan menakutkan dengan warna-warna yang dipilih sendiri oleh peserta.
Adapun riasan seram tersebut untuk mewakili wujud wong samar (makhluk halus) yang
sering mengganggu anak-anak. Digelarnya budaya dan tradisi Ngerebeg ini bertujuan untuk
memberikan tempat bagi wong samar tersebut, sekaligus memberikan persembahan, agar bisa
hidup berdampingan dengan manusia dan tidak saling mengganggu. Tradisi inipun digelar
secara rutin oleh 7 banjar di desa Pekraman Tegalalang, dalam rangkaian pujawali yang
digelar pada Pura Duur Bingin.
Tradisi ini digelar di desa Banjar, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Nyakan Diwang
berarti masak di luar rumah, sehingga saat tradisi ini berlangsung maka warga desa Banjar
akan masak di luar rumah mereka atau di pinggir jalan. Sebuah tradisi unik yang sudah
digelar turun temurun dan masih bertahan sampai sekarang. Tradisi Nyakan Diwang di
Buleleng ini digelar Dini hari saat perayaan Hari Raya Nyepi, biasanya Nyepi baru buka
pukul 06.00 wita, tetapi di desa Banjar buka lebih awal pada pukul 03.00 wita dini hari,
sehingga jalan raya di kawasan ini masih lengang tidak ada lalu lalang kendaraan yang
melintas, dan saat itulah warga mulai keluar rumah dan memasak dengan alat tradisional.
Tujuan digelar tradisi ini untuk menyucikan lingkungan rumah dan dapur serta tradisi ini
merupakan wujud dari peningkatan budaya menyama braya atau menjalin hubungan
persaudaraan antar sesama, dan juga sebagai ungkapan syukur setelah catur Brata Penyepian.
Sejarah awal berdirinya Buleleng tentu tidak lepas dengan Ki Barak Panji Sakti yang pernah
memerintah Kerajaan Buleleng, tradisi unik megoak-goakan ini sendiri masih berlangsung
dan bertahan sampai saat ini di desa Panji Buleleng, untuk menghormati jasa-jasa dari raja Ki
Barak Panji yang terkenal sebagai pemimpin yang terkenal baik hati dan memiliki jiwa
kepemimpinan tinggi. Permainan tradisional tersebut muncul, karena raja terinspirasi oleh
seekor goak (gagak) yang sedang mengincar mangsanya, dan gagak tersebut membuat taktik
agar bisa menangkap mangsanya. Hal tersebutlah membuat raja mempraktekkan cara gagak
tersebut dengan mengajak prajuritnya melakukan sebuah permainan tradisional yang
dinamakan megoak-goakan. Tradisi unik di pulau Bali ini bisa menjadi atraksi wisata dan
tujuan tour di kawasan Bali Utara.
Budaya serta tradisi unik ini digelar di Pura Samuan Tiga Bedulu, yang mana pura tersebut
sebagai tonggak sejarah dan tempat pertemuan untuk menyatukan sekte yang ada di pulau
Bali, sehingga muncullah istilah Pura Kahyangan tiga di setiap desa Pekraman. Siat berarti
perang sedangkan sampian berarti rangkaian janur sebagai sarana persembahyangan,
sehingga tradisi dalam tradisi ini perang ini menggunakan sarana sampian baik dilakukan
oleh warga laki-laki maupun perempuan, melalui proses pawintenan, Siat Sampian ini digelar
dalam rangkaian pujawali di Pura Samuan Tiga, yang mana dilakukan oleh pengayah
(peserta) laki-laki yang disebut sebagai Jro Parekan dan pengayah perempuan disebut Jro
Permas, selain bertujuan penghormatan bersatunya sekte di pulau Bali juga sampian yang
digunakan sebagai simbol dari senjata cakra Dewa Wisnu, yang berarti untuk perlawanan
dharma (kebajikan) atas adharma (kejahatan), budaya lokal ini masih bisa anda temukan
sampai saat ini.
Tradisi ini adalah sebuah aksi bela diri tradisional, Mepantigan berarti membanting, yang
mana dalam tradisi ini diperlukan kelihaian untuk bisa membanting lawan, permainan bela
diri tradisional ini bisa dilakukan dimana saja, yang penting arealnya berlumpur, sehingga
lawan yang dibanting tidak berbahaya, tetapi akan penuh balutan lumpur. Peserta bertanding
satu lawan satu dengan cara membanting lawan, kemudian bergulat dan mengunci lawan,
tidak hanya sekedar keberanian, memang diperlukan teknik agar bisa membanting lawan di
lumpur, sehingga terlihat layaknya gulat lumpur, mereka bergumul dan saling banting di
lumpur.Tradisi atau permainan tradisional Mepantigan ini pernah trend dan dijadikan atraksi
budaya yang sering digelar, salah satunya di sebuah hotel di Ubud, namun sekarang atraksi
tersebut tidak ada lagi. Dan sekarang Mepantigan masih bisa anda temukan di Pondok
Mepantigan Bali, lokasinya di Banjar Tubuh, Batubulan, Gianyar.
Desa Sukawati tidak hanya terkenal sebagai destinasi wisata belanja dengan pasar seni yang
menyediakan keperluan oleh-oleh wisatawan yang liburan ke pulau Bali, tetapi Sukawati juga
memiliki tradisi Mepeed yang merupakan sebuah budaya dan kearifan lokal yang masih
dipertahankan sampai saat ini dan menjadi atraksi yang menarik juga untuk disaksikan.
Mepeed adalah berbaris beriringan sampai ratusan meter dengan pakaian khas adat Bali,
biasanya mereka adalah kaum ibu yang mengusung banten gebogan yaitu rangkaian buah,
jajanan, janur sebagai sarana upacara keagamaan yang disusun bertingkat. Tetapi Mepeed di
Sukawati diikuti oleh semua kalangan, laki-laki ataupun perempuan dari anak-anak sampai
lansia, dengan pakaian adat Payas Agung dengan pakem Sukawati, Mepeed ini sebuah
warisan budaya yang masih dipertahankan sampai sekarang. Tradisi ini adalah atraksi wisata
yang ada di pulau Bali dan menjadi hiburan menarik bagi wisatawan.
Tradisi unik di pulau Bali ini digelar setiap tahun sekali, tepatnya saat Hari Raya Ngembak
Geni (sehari setelah Nyepi) di desa adat Semate, Kelurahan Abian Base, Kecamatan, Mengwi,
Kabupaten Badung. Pernah vacum beberapa tahun, tapi karena dirasa penting maka tradisi
Mbed-mbedan ini dibangkitkan lagi, tujuan dari tradisi ini digelar adalah untuk menghormati
jasa seorang suci yang berjasa di desa Semate ini, beliau adalah Rsi Mpu Bantas, yang mana
dalam perjalanan sucinya bertemu sebuah hutan yang dipenuhi pohon kayu putih, dan secara
tidak sengaja bertemu keturunan Mpu Gni Jaya dan memerintahkan untuk membuat
pelinggih di hutan tersebut karena angker, setelah pelinggih tersebut selesai terjadi tarik ulur
penamaan pura tersebut, dari sinilah (tarik-ulur) cikal bakal Mbed-mbedan tersebut.
Tradisi unik di pulau Bali ini awalnya memang berasal dari desa Panti Timrah Karangasem,
karena sejumlah penduduknya menetap di Paksebali, Klungkung mereka masih membawa
budaya dan tradisi daerah asalnya, maka Dewa Mesraman tersebutpun wajib digelar setiap
Saniscara Kliwon wuku Kuningan atau bertepatan dengan Hari Raya Kuningan, tradisi unik
tersebut juga merupakan rangkaian ritual di dari Pujawali atau piodalan di Pura Panti
Timbrah yang terletak di Banjar Timbrah, desa adat Paksebali, Kec. Dawan, Klungkung.
Dewa Mesraman, dari filosofi kata Mesraman berasal dari “mesra” yang berarti bersenang-
senang secara lahir batin. Dalam tradisi tersebut Jempana yang merupakan stana dari Ida
Bhatara diusung dan diarak, saling berkejaran dan tabrak, seolah terjadi perang jempana,
luapan kegembiraan terlihat diantara pengayah. Sebuah tradisi dan warisan budaya leluhur
yang terjaga lestari sampai saat ini.
Tradisi ini memang cukup unik, walaupun dalam tradisi ini hanya ritual atau upacaranya saja
yang dilakukan bersamaan atau berbarengan, tentu hal tersebut menjadi salah satu budaya
ataupun tradisi yang berbeda dibandingkan upacara pernikahan di pulau Bali, dan ini akan
menjadi pemandangan unik bagi mereka yang menyaksikannya. Budaya dan tradisi Nganten
(Nikah) Massal ini bisa ditemukan di desa Pengotan – Bangli, desa ini juga merupakan salah
satu Desa Bali Aga (desa Bali Kuno) yang tentunya memiliki warisan budaya yang unik,
seperti Tradisi Nikah Massal yang digelar dua kali dalam setahun yaitu setiap sasih Kapat
(Agustus – September) dan Kedasa (Maret – April). Upacara tersebut tidak hanya berlaku
bagi laki-laki saja tetapi juga bagi kaum perempuan yang menikah ke luar desa Pengotan.
Pernikanan tradisional Bali di desa Pengotan, menjadi sebuah budaya dan tradisi unik yang
hanya bisa anda temukan di Bangli.
Tradisi ini dikenal juga dengan nama Siat Yeh, digelar setiap setahun sekali tepatnya saat
tahun baru Masehi dimulai yaitu tanggal 1 Januari di desa Suwat Gianyar. Ini merupakan
sebuah budaya dan tradisi unik dan berbeda terutama lagi saat hari perayaannya, sangat
jarang sekali ritual di pulau Bali menggunakan kalender Masehi sebagai patokannya. Tujuan
dari digelarnya Tradisi Perang Air di Gianyar ini adalah sebagai bentuk pembersihan diri dari
hal-hal negatif yang sudah terjadi pada tahun sebelumnya agar di tahun yang baru ini
diharapkan tidak menimpa warga kembali. Menurut warga Suwat di awal tahun yang baru
wajib bagi mereka untuk melakukan pembersihan pada alam sekitar dan diri sendiri agar
pengaruh negatif yang ada di lingkungan sekitar ataupun di dalam diri kita sendiri dapat
segera dimusnahkan.
Tradisi unik di pulau Bali berikutnya adalah Ngedeblag di Kemenuh Gianyar, dari namanya
terasa cukup asing bagi warga luar desa Kemenuh, Gianyar. Ngedeblag adalah prosesi rutin
yang digelar setiap 6 bulan sekali (kalender Bali) tepatnya pada hari Kajeng Kliwon, pada
saat peralihan sasih Kelima (bulan 5) ke sasih Kanem (bulan 6) dalam kalender Bali atau
sekitar bulan September – Desember kalender masehi. Para pengayah (peserta) laki-laki arus
menggunakan kamben (kain) yang dilapisi dengan saput tanpa menggunakan baju, mereka
juga dibuat menjadi seseram mungkin, dengan cat air warna warni, dan satu oles pamor yang
pada kening. Tujuan digelarnya tradisi Ngedeblag untuk membersihkan bhuana agung (alam
semesta) dan bhuana alit (diri manusia) agar desa Kemenuh terhindar dari segala bencana.
30. Tradisi Megebeg-Gebegan
Tradisi unik ini berhubungan dengan ritual keagamaan Hindu yang digelar sekali dalam
setahun di catus pata agung (perempatan) Desa Pekraman Dharma Jati, Tukad Mungga,
Buleleng. Yang mana pada saat tradisi tersebut digelar para Sekee Teruna (pemuda desa)
akan memperebutkan kepala godel (kepala anak sapi) yang merupakan sarana utama saat
menggelar upacara persembahan (sesajian) saat ritual mecaru yang bertepatan saat hari
Pengrupukan (sehari sebelum Hari Raya Nyepi). Anak sapi tersebut dikuliti menyisakan kulit
kali dan kepala godel sebagai sarana upacara yang dikenal sebagai “bayang-bayang” dan
sebagai simbolis bhuta kala yang akan diperebutkan oleh pemuda desa. Pulau Bali memang
memiliki banyak budaya dan tradisi unik, bahkan tidak semua orang tahu.
Sebuah budaya dan tradisi unik di desa Jimbaran ini menjadi kegiatan ritual rutin yang
digelar setiap sekali dalam setahun, yaitu pada hari raya Ngembak Geni (sehari setelah
Nyepi), pesertanya pemuda-pemudi banjar Teba. Tradisi Siat Yeh (perang air) ini dikatakan
juga sebagai penglukatan Agung, di awali dengan mendak tirta (air suci) di dua tempat
sumber air berbeda yaitu di sebelah Timur (pantai Suwung/rawah) dan pesisir Sebelah Barat
(pantai Segara), dua sumber mata air tersebut nantinya akan dijadikan komponen utama
dalam Tradisi Siat Yeh ini. Maraknya pembangunan pariwisata kedua sumber air tersebut
yang dulunya bersatu, kini tidak lagi, sehingga sekarang dilakukan secara simbolis dalam
bentuk ritual.
Demikian macam-macam warisan budaya leluhur berupa tradisi unik yang merupakan
warisan Bali kuno dari jaman tempo dulu dan kebiasaan atau hal-hal tradisional yang masih
terjaga dan berkembang lestari di pulau Bali saat ini, dan menjadi aset dari budaya bumi
Nusantara – Indonesia. Selain itu masih ada sejumlah tradisi unik lainnya yang akan terus
update informasinya. Beberapa diantaranya menjadi suguhan dan atraksi unik bagi wisatawan,
sehingga tradisi yang masih mengusung kebiasaan-kebiasaan masa lalu ini, menambah daya
tarik pulau Bali ini sebagai tujuan wisata
2. Nusa Tenggara Timur (NTT)
A. Sejarah
Pulau Sumba didiami oleh suku Sumba dan terbagi atas empat kabupaten,
Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Timur. Masyarakat
Sumba cukup mampu mempertahankan kebudayaan aslinya di tengah-tengah arus
pengaruh asing yang telah singgah di kepulauan Nusa Tenggara Timur sejak dahulu
kala. Kepercayaan khas daerah Marapu, setengah leluhur, setengah dewa, masih amat
hidup di tengah-tengah masyarakat Sumba ash. Marapu menjadi falsafah dasar bagi
berbagai ungkapan budaya Sumba mulai dari upacara-upacara adat, rumahrumah
ibadat (umaratu) rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunnya, ragam-ragam
hias ukiran-ukiran dan tekstil sampai dengan pembuatan perangkat busana seperti
kain-kain hinggi dan lau serta perlengkapan perhiasan dan senjata.
B. Kebudayaan
Di Sumba Timur strata sosial antara kaum bangsawan (maramba), pemuka
agama (kabisu) dan rakyat jelata (ata) masih berlaku, walaupun tidak setajam dimasa
lalu dan jelas juga tidak pula tampak lagi secara nyata pada tata rias dan busananya.
Dewasa ini perbedaan pada busana lebih ditunjukkan oleh tingkat kepentingan
peristiwa seperti pada pesta-pesta adat, upacara-upacara perkawinan dan kematian
dimana komponen-komponen busana yang dipakai adalah buatan baru. Sedangkan
busana lama atau usang biasanya dipakai di rumah atau untuk bekerja sehari-hari.
Bagian terpenting dari perangkat pakaian adat Sumba terletak pada penutup
badan berupa lembar-lembar besar kain hinggi untuk pria dan lau untuk wanita. Dari
kain-kain hinggi dan lau tersebut, yang terbuat dalam teknik tenun ikat dan pahikung
serta aplikasi muti dan hada terungkap berbagai perlambangan dalam konteks sosial,
ekonomi.
C. Rumah Adat Sumba
Bahasa Sumba: uma mbatangu, "rumah berpuncak" mengacu pada rumah adat
vernakular Suku Sumba dari pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Rumah
adat Sumba memiliki dengan puncak yang tinggi pada atap dan hubungan kuat
dengan roh-roh atau marapu.
Pulau Sumba dihuni oleh beberapa kelompok budaya dan bahasa, namun
semua memiliki adat arsitektur yang sama. Animisme sangat kuat dalam masyarakat
Sumba. Adat agama difokuskan pada marapu. Marapu mencakup roh-roh orang
meninggal, dari tempat-tempat suci, benda-benda pusaka dan instrumen yang
digunakan untuk berkomunikasi dengan dunia roh.Konsep ini mempengaruhi
arsitektur ruang dalam rumah adat Sumba. Terdapat dua rumah utama bagi orang
Sumba. Rumah yang paling khas adalah uma mbatangu ("rumah berpuncak") dari
Sumba Timur yang memiliki puncak tinggi di bagian tengah. Atap ini terbuat dari
jerami, alang-alang dan agak mirip dengan puncak tengah pada rumah adat Jawa joglo.
Rumah dengan pumcak paling besar dikenal sebagai Uma Bungguru. Rumah ini
adalah rumah utama klan dan menjadi tempat penting untuk ritual yang berkaitan
dengan persatuan dan kesatuan klan, misalnya upacara pernikahan, pemakaman, dan
sebagainya. Rumah besar juga merupakan rumah tinggal permanen bagi orang tertua
di desa. Jenis lainnya adalah rumah Uma Kamadungu ("rumah botak") yang tidak
memiliki puncak tengah.
Rumah adat Sumba biasa memiliki tata letak berbentuk persegi. Empat tiang
utama penopang atap puncak dari rumah ini, memiliki simbolisme mistis. Sebuah
rumah adat Sumba dapat menampung satu hingga beberapa keluarga. Dua pintu
masuk diposisikan di kiri dan kanan rumah. Tidak ada jendela di rumah adat Sumba,
ventilasi udara melalui lubang kecil di dinding, yang terbuat dari anyaman dahan
sawit atau selubung pinang. Tanduk kerbau sering digunakan sebagai penghias
dinding sebagai pengingat pengorbanan masa lalu.
- Tradisi Sumba
➢ Tradisi Pasola
Pasola berasal dari kata "sola" atau "hola", yang berarti sejenis lembing kayu
yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh
dua kelompok yang berlawanan.Setelah mendapat imbuhan `pa' (pa-sola, pa-hola),
artinya menjadi permainan.adi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan
saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang
antara dua kelompok yang berlawanan.Pasola merupakan bagian dari serangkaian
upacara tradisional yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama
asli yang disebut Marapu (agama lokal masyarakat sumba).Permainan pasola
diadakan pada empat kampung di kabupaten Sumba Barat.Keempat kampung tersebut
antara lain Kodi, Lamboya, Wonokaka, dan Gaura.Pelaksanaan pasola di keempat
kampung ini dilakukan secara bergiliran, yaitu antara bulan Februari hingga Maret
setiap tahunnya.
➢ Tradisi Nyale
Tradisi nyale merupakan puncak dari segala kegiatan untuk memulai
pasola.Pasola diawali dengan pelaksanaan adat nyale. Adat nyale adalah salah satu
upacara rasa syukur atas anugerah yang didapatkan, yang ditandai dengan datangnya
musim panen dan cacing laut yang melimpah di pinggir pantai.Adat tersebut
dilaksanakan pada waktu bulan purnama dan cacing-cacing laut (dalam bahasa
setempat disebut nyale) keluar di tepi pantai.Para Rato (pemuka suku) akan
memprediksi saat nyale keluar pada pagi hari, setelah hari mulai terang.Setelah nyale
pertama didapat oleh Rato, nyale dibawa ke majelis para Rato untuk dibuktikan
kebenarannya dan diteliti bentuk serta warnanya.Bila nyale tersebut gemuk, sehat, dan
berwarna-warni, pertanda tahun tersebut akan mendapatkan kebaikan dan panen yang
berhasil.Sebaliknya, bila nyale kurus dan rapuh, akan didapatkan malapetaka.Setelah
itu penangkapan nyale baru boleh dilakukan oleh masyarakat.Tanpa mendapatkan
nyale, Pasola tidak dapat dilaksanakan.Pasola dilaksanakan di bentangan padang luas,
disaksikan oleh segenap warga dari kedua kelompok yang bertanding, masyarakat
umum, dan wisatawan asing maupun lokal.Setiap kelompok terdiri atas lebih dari 100
pemuda bersenjatakan tombak yang dibuat dari kayu berujung tumpul dan
berdiameter kira-kira 1,5 cm.Walaupun berujung tumpul, permainan ini dapat
memakan korban jiwa.Kalau ada korban dalam pasola, menurut kepercayaan Marapu,
korban tersebut mendapat hukuman dari para dewa karena telah telah melakukan
suatu pelanggaran atau kesalahan.Dalam permainan pasola, penonton dapat melihat
secara langsung dua kelompok ksatria sumba yang sedang berhadap-hadapan,
kemudian memacu kuda secara lincah sambil melesetkan lembing ke arah
lawan.Selain itu, para peserta pasola ini juga sangat tangkas menghindari terjangan
tongkat yang dilempar oleh lawan.Derap kaki kuda yang menggemuruh di tanah
lapang, suara ringkikan kuda, dan teriakan garang penunggangnya menjadi musik
alami yang mengiringi permainan ini.Pekikan para penonton perempuan yang
menyemangati para peserta pasola, menambah suasana menjadi tegang dan
menantang.Pada saat pelaksanaan pasola, darah yang tercucur dianggap berkhasiat
untuk kesuburan tanah dan kesuksesan panen.Apabila terjadi kematian dalam
permainan pasola, maka hal itu menandakan sebelumnya telah terjadi pelanggaran
norma adat yang dilakukan oleh warga pada tempat pelaksanaan pasola.
- Tari – Tarian
➢ Tari Kandingang
Tarian ini biasanya dimainkan oleh para penari perempuan dengan
menggunakan rumbai-rumbaian yang terbuat dari ekor kuda sebagai atribut
menarinya. Tari Kandingang ini merupakan salah satu tarian tradisional yang cukup
terkenal di Pulau Sumba, khususnya daerah Sumba Timur. Tarian ini sering
ditampilkan di berbagai acara seperti acara adat, perkawinan, penyambutan dan acara
budaya lainnya.
➢ Tari Woleka
Tari Woleka adalah salah satu tarian tradisional yang berasal dari Sumba Barat
Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Tarian ini merupakan tarian selamat
datang atau penyambutan. Tari Woleka biasanya ditarikan oleh beberapa penari pria
dan wanita dengan gerakan yang sangat khas. Tarian merupakan tarian tradisional
yang cukup terkenal di Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Tarian ini
sering ditampilkan diberbagai acara seperti acara penyambutan tamu penting, festival
budaya dan juga pertunjukan seni.
➢ Tari Kataga
Tari Kataga adalah salah satu tarian tradisional sejenis tarian perang yang
khas dari Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Tarian ini
biasanya dimainkan oleh para penari pria dengan menggunakan kostum adat dan
dilengkapi senjata seperti pedang dan perisai. Tari Kataga ini merupakan tarian
tradisional yang cukup terkenal di NTT, khususnya di Sumba Barat yang
merupakan tempat asalnya. Tarian ini biasanya ditampilkan diberbagai acara
adat, penyambutan, ataupun pertunjukan budaya.
- Makanan Khas
➢ Sup Ayam Waingapu
Ayamnya empuk dengan rasa kuah yang begitu unik. Bukan dari asam
jawa, rasa masam di kuah sup ayam waingapu ini merupakan kombinasi
kombinasi tomat, belimbing wuluh, dan daun kemangi.
➢ Martabak Ayam
Tak seperti martabak manis yang biasa dijumpai di Jawa, rasanya lebih
mirip martabak telur. Hanya saja, isi adonannya merupakan daging ayam giling
yang lembut. Dipadu dengan sambal cair, martabak ini punya tekstur sempurna,
yakni renyah di luar, lembut di dalam.
➢ Sayur Rumpu Rampe
Dibuat dari campuran daun singkong ,jantung pisang,bunga papaya,daun
papaya dan buah pepaya.
➢ Nasi Jagung
Dibuat dari beras yang dimasak bareng dengan jagung yang sudah
ditumbuk menjadi pecahan kecil.
- Mayoritas Agama
Pulau Sumba adalah sebuah pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Luas
wilayahnya 10.710 km², dan titik tertingginya Gunung Wanggameti (1.225 m). Sumba
berbatasan dengan Sumbawa di sebelah barat laut, Flores di timur laut, Timor di timur, dan
Australia di selatan dan tenggara. Selat Sumba terletak di utara pulau ini. Di bagian timur
terletak Laut Sawu serta Samudra Hindia terletak di sebelah selatan dan barat.
Secara administratif, pulau ini termasuk wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau ini
sendiri terdiri dari empat kabupaten: Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya,
Kabupaten Sumba Tengah, dan Kabupaten Sumba Timur. Kota terbesarnya adalah Waingapu,
ibukota Kabupaten Sumba Timur. Kota tersebut juga terdapat bandara udara dan pelabuhan
laut yang menghubungkan Pulau Sumba dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia seperti
Pulau Sumbawa, Pulau Flores, dan Pulau Timor.
Kenali 9 Tradisi Masyarakat NTB di Karnaval Budaya Lombok Sumbawa
(https://travel.tempo.co/read/1242985/kenali-9-tradisi-masyarakat-ntb-di-karnaval-
budaya-lombok-sumbawa)
Reporter:
Supriyantho Khafid (Kontributor)
Editor:
Rini Kustiani
Senin, 2 September 2019 18:16 WIB
Tari Barapan Kebo dan Tari Kolong yang dibawakan oleh masyarakat Kabupaaten
Sumbawa Barat saat Karnaval Budaya Lombok Sumbawa di NTB. TEMPO | Supriyantho
Khafid
TEMPO.CO, Mataram - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat atau NTB menggelar
Karnaval Budaya Lombok Sumbawa pada Minggu, 1 September 2019. Agenda tersebut
dibuka dengan parade sekaligus memeriahkan The 6th Asia Pacific Geoparks Network atau
APGN 2019.
Ruas jalan sepanjang 500 meter dari depan Islamic Center NTB sampai Kantor Wali Kota
Mataram seolah jadi karpet merah bagi tim kesenian dari sejumlah kabupaten/kota di NTB.
Mereka menampilkan ragam budaya masing-masing yang menarik perhatian pengunjung.
"Selamat datang dan selamat menyaksikan Heritage Carnival," kata Wakil Gubernur NTB,
Sitti Rohmi Djalilah saat membuka Bulan Budaya Lombok Sumbawa. Sitti Rohmi yang
mengenakan pakaian adat Sasak Baju Lambung berwarna hitam kemudian membuka
karnaval tersebut dengan memukul Rebana Rea Samawa bersama-sama.
Lantas apa saja pertunjukan budaya dan kesenian tradisional yang disajikan oleh para
utusan dari kabupaten/kota di Provinsi NTB ini? Mari kita simak satu-satu.
1. Kota Bima
Perwakilan dari Kota Bima memulai Karnaval Budaya Lombok Sumbawa dengan
tradisi Dende Bunti. Ini merupakan proses pengantaran calon pengantin laki-laki ke
rumah calon pengantian perempuan. Pengiringnya adalah tokoh agama dan sanak
saudara yang mengenakan busana sesuai status sosialnya. Iring-iringan pengantin
pria itu diiringi hadrah dan musik Arubana.
3. Kabupaten Sumbawa
Masyarakat Kabupaten Sumbawa menampilkan tradisi Sentek Panguri dari masa
kejayaan Kesultanan Sumbawa. Berasal dari kata "kuri" yang berarti ucapan yang
halus, lembut, dan santun untuk memberikan semangat kepada Sultan Sumbawa
Dewa Masmawa. Sentek Panguri yang merupakan prosesi adat yang masing-masing
kelompok menyampaikan persembahan hantaran sesuai kewajiban adat.
Tradisi Maulid Adat Bayan dari Kabupaten Lombok Utara di acara Karnaval
Budaya Lombok Sumbawa, NTB. TEMPO | Supriyantho Khafid
6. Kabupaten Dompu
Kabupaten Dompu di pulau Sumbawa juga menyajikan atraksi Lu'u Daha sebuah
tarian yang merupakan inspirasi dari perlawanan rakyat Kerajaan Dompu pada tahun
1357 terhadap Patih Gajah Mada dan Pangeran Nala dari Kerajaan Majapahit.
Mereka menggunakan pedang, tombak perisai, cambuk, sampai jurus tangan kosong.
Tari Barapan Kebo dan Tari Kolong yang dibawakan oleh masyarakat Kabupaaten
Sumbawa Barat saat Karnaval Budaya Lombok Sumbawa di NTB. TEMPO |
Supriyantho Khafid
9. Kabupaten Bima
Kabupaten Bima di NTB memperkenalkan Lupe dan pakaian adat masyarakat
Donggo-Sambori. Corak pakaian yang dominan hitam dan berhubungan dengan
ritual kematian. Pakaian Donggo ini berupa pakaian Karabu berlengan pendek untuk
wanita dewasa dana remaja. Ada pula celana panjang yang disebut Deko.
Mereka juga memakai waku atau lupe. Ini adalah penutup kepala berbentuk lonjong
sekaligus berfungsi sebagai payung jika hujan. Penutup kepala ini terbuat dari daun pandan
hutan yang seratnya kuat dan tidak mudah robek. Pada zaman dulu digunakan petani dan
peternak saat berada di sawah, ladang, dan padang rumput.