KEBUDAYAAN BALI
Bali berasal dari kata “Bal” dalam bahasa Sansekerta berarti “Kekuatan”, dan “Bali” berarti
“Pengorbanan” yang berarti supaya kita tidak melupakan kekuatan kita. Supaya kita selalu
siap untuk berkorban. Bali mempunyai 2 pahlawan nasional yang sangat berperan dalam
mempertahankan daerahnya yaitu I Gusti Ngurah Rai dan I Gusti Ketut Jelantik.
Provinsi bali merupakan salah satu provinsi yang cukup terkenal di Indonesia karena
merupakan salah satu aset devisa negara Indonesia yang cukup tinggi di bidang
pariwisatanya. Ibukota Provinsi Bali adalah Denpasar. Provinsi bali sendiri tidak hanya terdiri
dari pulau (dewata) Bali saja, namun juga terdiri dari banyak pulau yang lain, contohnya
pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, dan lain – lain. Provinsi Bali secara
astronomis terletak di 8° LS dan 115° BT. Daerah ini masih memiliki iklim tropis seperti
Provinsi lainnya di Indonesia.
Secara geografis provinsi ini berbatasan dengan Provinsi Jawa Timur, dan Selat Bali di
sebelah barat, Laut Bali di sebelah utara, samudera hindia di sebelah selatan, dan Selat
Lombok di sebelah timur. Penduduk Bali terdiri dari dua, yaitu penduduk asli Bali atau
disebut juga Bali Aga (baca :bali age) dan penduduk bali keturunan Majapahit. Sedangkan
kebudayaan Bali memiliki kebudayaan yang khas karena secara belum terpengaruhi oleh
budaya lain.
Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran
agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering
ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan (patra ).
Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif
dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah
menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar
seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan
kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis,
seni rupa dan seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula
budaya Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di Bali. Proses
akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan adaptif
khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak kehilangan jati diri
(Mantra 1996).
Selain nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam kebudayaan Bali juga dikenal adanya
konsep tri semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu
(athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan
suatu rangkaian waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia
pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga
menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam ajaran hukum karma
phaladisebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan
mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula seBaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga
buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan.
Tradisi sakral Bali Aga ini menggunakan pandan berduri dan sangat tajam ini adalah unik dan
menurut ramagita, Tradisi Mageret pandan atau Perang Pandan (Mekare-kare) dilakukan
selama tiga hari dan juga tradisi ini merupakan sarana latihan ketangkasan seorang prajurit
dalam masyarakat Tenganan sebagai penganut Agama Hindu aliran Dewa Indra sebagai
Dewa Perang.Yang terpenting dalam perang pandan tersebut tidak ada menang kalah. Kalau
ada yang sampai terluka akibat goresan pandan akan diobati dengan obat yang telah
disediakan yang berasal dari cuka kunir dan isen. Tak heran jika Perang pandan ini menjadi
tontonan menarik bagi wisatawan lokal dan mancanegara.
Kepercayaan warga Tenganan agak berbeda dengan warga Bali pada umumnya dimana
Umat Hindu Bali yang menjadikan Tri Murti sebagai dewa tertinggi. Namun bagi warga
Tenganan, Dewa Indra sebagai dewa perang adalah dewa dari segala dewa.
Tradisi Mekepung
Sejarah Tradisi / Atraksi Mekepung di Jembrana Bali dikembangkan pertama kali sekitar
tahun 1930 dengan joki berpakaian seperti prajurit istana. Mereka bertelanjang kaki,
mengenakan gaun kepala, syal, rompi, dan celana panjang dengan pedang yang dibungkus
kain bermotif kotak-kotak di pinggang. Karena pakaian joki yang dikenakan selalu kotor
setelah mekepung di sawah berlumpur, maka mereka pindah ke jalan tanah dekat sawah.
Mekepung juga berarti kejar-kejaran, inspirasi berasal dari kegiatan petani pengolahan
sawah mereka sebelum mereka menanam benih padi yang bajak lahan basah ke dalam
lumpur dengan menggunakan bajak tradisional.
Bajak ditarik oleh dua ekor kerbau, kerbau mengenakan alat dekoratif seperti lonceng kayu,
sehingga ketika kerbau berjalan menarik bajak akan terdengar suara seperti musik.
Tradisi Omed-Omedan
Merupakan tradisi / festival ciuman massal usai Hari Raya Nyepi di Bali yang dilaksanakan
setiap tahun sekali sebagai warisan leluhur yang dilestarikan sampai saat ini.
tradisi yang unik yaitu Festival Omed – ciuman antara laki dan perempuan satu desa yang
tepatnya dilaksanakan di Banjar Kaja Desa Sesetan Denpasar Bali.
Setiap tahun, setidaknya 50 orang muda yang telah dewasa yang berpartisipasi dalam
festival turun temurun ini ini.
Festival dimulai dengan doa di Banjar dan semua peserta harus mengikuti prosesi menjadi
lancar dan keselamatan saat berciuman kemudian.Pada saat berdoa orang-orang muda
dibagi menjadi dua kelompok. Yang pertama kelompok laki laki, dan yang lainnya adalah
kelompok perempuan.
Dalam sejarahnya, Tradisi Omed-omedan dimulai pada abad ke-17. Sebelumnya tradisi ini
dilakukan pada hari Nyepi, namun pada tahun 1978 diputuskan untuk menggantinya pada
saat Ngembak Geni, atau sehari setelah Nyepi. “Tradisi ini hanya untuk meluapkan
kegembiraan teruna Teruni pada saat hari omed omedan Ngembak-geni,” kata I Gusti
Ngurah Oka Putra, Toko Banjardi daerah Sesetan.
Tradisi Perang Siat Sampian
Tradisi yang dilaksanakan setiap tahun sekali di Pura Samuan Tiga ini juga menarik
perhatiann wisatawan asing, demikian dikutip dari artikel perang sampian di Pura Samuan
Tiga. Juga dalam kutipan artikel tersebut dijelaskan pula bahwa, sebelum tradisi ini dimulai,
dilakukan upacara Nampiog, Ngober dan Meguak-guakan. Dalam upacara ini, ratusan warga
mengelilingi areal pura sambil menggerak-gerakkan tangan mereka seperti burung gagak
(goak).
Prosesi ini diikuti oleh para permas atau ibu-ibu yang sudah disucikan. Selain ibu-ibu, para
pemangku pura setempat juga ikut mengelingi areal Pura. Setelah prosesi ini selesai
dilanjutkan dengan upacara Ngombak. Pada upacara ini para wanita yang berjumlah 46
orang, serta laki-laki atau sameton parekan yang juga sudah disucikan berjumlah 309 orang
melakukan upacara Ngombak (melakukann gerakan seperti ombak).
Upacara ini dilakukan dengan cara berpegangan tangan satu sama lainnya, kemudian
bergerak laksana ombak. Setelah usai upacara ini, para laki dan wanita tersebut langsung
mengambil sampian (rangkaian janur untuk sesajen) dan saling pukul serta lempar atau
perang dengan sampian satu sama lainnya.
Tak hanya di Jawa saja, ternyata alat musik gamelan ini juga tergolong populer di Bali. Selain
itu, kebanyakan kesenian tari yang ada di Bali juga diiringi oleh alat musik ini, bahkan pada
pertunjukan wayang inovatif sekarang ini juga dilengkapi dengan gamelan dan termasuk
juga dalam kegiatan keagamaan. Gamelan sendiri merupakan seperangkat alat musik yang
dimainkan oleh banyak orang, sehingga akan menghasilkan suara atau musik yang mengalun
indah dan terkadang juga menghentak dengan ritme yang sesuai dengan tema dari gamelan
tersebut.
Seperangkat gamelan ini terdiri dari beberapa alat musik seperti: gambang, gong, kempul
dan kendang. Selain kendang, semua bahan untuk pembuatan alat musik gamelan ini
berasal dari tempaan logam yang memiliki kualitas yang tinggi. Dengan demikian, ketika alat
musik tersebut dimainkan maka akan terdengar suara yang nyaring. Selain itu pada
seperangkat gamelan Bali ini juga terdapat sebuah pahatan dari ornamen Bali
Rindik adalah merupakan sebuah alat musik tradisional Bali yang berbahan dasar bambu.
Potongan bambu yang utuh dengan panjang yang berbeda-beda diletakkan secara berjejer
sebanyak 11-13 batang. Sehingga setiap batang bambu tersebut apabila dimainkan maka
akan menghasilkan suara yang berbeda-beda.
Bambu yang digunakan untuk alat musik tersebut pun harus dipilih dari batang yang tidak
mudah pecah dan yang menghasilkan suara baik dan nyaring. Jika dilihat dari bentuknya,
alat musik Rindik memang hampir sama dengan angklung. Cara memainkan alat musik ini
yaitu dengan memukul dua tubuh bambu atau pemukul kayu dan dimainkan dengan dua
tangan.
Alat musik rindik juga sering digunakan sebagai pengiring dalam tari joged bumbung yang
merupakan sebuah kesenian yang banyak diminati oleh masyarakat Bali. Dalam
perkembangannya, sekarang ini alat musik Rindik dimainkan juga di hotel ataupun
restaurant untuk menemani kegiatan para wisatawan yang sedang bersantai di tempat
tersebut.
Seperti pada namanya, alat musik ceng-ceng apabila dimainkan alan menghasilkan suara
“ceng” dengan ritme-ritme tertentu sebagai pelengkap sebuah gamelan ataupun dalam
tubuh Rindik. Ceng-ceng sendiri merupakan sebuah lempeng logam yang berbentuk piringan
atau simbal yang terbuat dari bahan dasar tembaga yang berkualitas tinggi, sehingga jika
dimainkan akan menghasilkan suara yang nyaring. Selain itu alat musik ceng-ceng juga
digunakan untuk melengkapi sejumlah permainan kesenian musik tradisional Bali seperti
dalam pementasan semar pegulingan, gong kebyar, pelegongan, barongan, gong gede dan
baleganjur.
Untuk memainkan alat musik yang satu ini pun ada dua cara yang berbeda. Pertama, yaitu
dimainkan dengan memadukan kedua simbal tersebut. Cara memainkan yang lainnya yaitu
seperti dalam ceng-ceng ricik yang ukurannya lebih kecil. Biasanya 6 buah simbal kecil yang
dipasang menghadap ke atas diatas balok yang berbentuk kura-kura, kemudian dipadukan
(dipukulkan) dengan 2 buah simbal kecil, dan biasanya juga sama-sama dimainkan dengan
kedua tangan. Dalam sebuah performa gamelan atau tabuh, peran alat musik ceng-ceng
sangat penting dan begitu mencolok pada bunyinya.
Alat musik tradisional dari Bali yang satu ini jarang ditemukan penggunanya dan juga tidak
terlalu terkenal bagi kebanyakan orang Bali, padahal Pereret adalah alat musik yang tertua
jika dibandingkan dengan yang lainnya. Jika dilihat dari bentuknya, Pereret memang seperti
sebuah terompet. Akan tetapi pada alat musik ini terdapat sebuah ornamen Bali yang
merupakan ciri khas tersendiri dan biasanya Pareret sering dimainkanuntuk mengiringi
pertunjukan Sewo Gati.
Perlu juga diketahui bahwa alat musik tradisional kuno ini terbuat dari kayu dengan ukuran
memanjang, sehingga akan menghasilkan suara yang syahdu dan merdu yang bagus untuk
dinikmati. Secara spiritual, alat musik pereret ini dianggap memiliki kekuatan magis, apalagi
jika dimiliki oleh orang yang memang memiliki tingkat spiritual yang tinggi melalui upacara
sakral. Selain itu juga dipercaya bisa sebagai pengasih (mengguna-gunai) menghantar cinta
seorang pejaka kepada gadis yang dicintainya.
Alat musik tradisional dari Bali bernama Genggong ini terbilang sangat langka, karena dibuat
dari pelepah pohon enau yang sudah tua. Untuk memainkan alat musik yang satu ini yaitu
dengan cara ditiup pada bagian membrannya, sehingga akan menghasilkan bunyi getar dan
suaranya pun mirip dengan katak. Kemudian untuk mengolah bunyinya yaitu dengan
memanfaatkan benang yang ditarik ke samping. Selain itu juga perlu menggunakan rongga
mulut peniupnya sebagai resonantor untuk membesarkan atau mengecilkan, sesuai nada
rendah dan tinggi yang diinginkan. Apabila berbagai Genggong dimainkan secara
bersamaan, maka maka akan seperti suara katak yang bersahut-sahutan pada malam hari
dan seperti bernuansa riang dan gembira.
Mungkin alat musik ini sangat asing terdengar ditelinga, namun dengan demikian Genggong
merupakan alat musik yang harus tetap dilestarikan karena saat ini keberadaannya semakin
pudar dan tidak banyak orang yang bisa memainkannya. Namun, untuk sekarang ini
Genggong justru malah sering digunakan sebagai souvenir atau oleh-oleh berupa kerajinan
khas Bali bagi para wisatawan yang liburan di Pulau Dewata.
Makna lagu Lagu ini dinyanyikan dengan nada yang cepat sesuai dengan judul lagunya yaitu
macepet cepetan. Lagu ini menceritakan tentang penduduk daerah sekitar.yang selalu cepat
dan tegas dalam mengambil suatu tindakan .
2. Meyang Meyong
Meong-meong… ..
Alih je bikule… ..
Bikul gede gede… ..
Buin mokoh-mokoh… ..
Kereng pesan ngerusuhin… ..
Makna lagu, Lagu Meyong Meyong yang berasal dari bali ini menceritakan seeokor Kucing
yang harus mencari tikus yang selalu membuat masalah.
3. Ngusak Asik
cai ketut dema i rusuh
bas kaliwat cai ngawe sakit hati
cah sing demen
Ngidih olas ketut pang enggal megedi
makna lagu ini . menceritakan antara dua insane laki – laki dan perempuan yang di landa
asmara ( tentang percintaan )
makna lagu , menceritakan sebuah percakapan seorang ibu dengan anaknya dan sang ibu
akan pergi belanja ke pasar, dan meminta anaknya untuk menunggu dirumah
5. Ratu Anom
Makna lagu : bisa di katagorikan lagu mainan anak-anak . karrena lagu ini sering di
nyanyikan oleh anak-anak bali di lingkungan sekolah maupun di lingkungan rumah lagu ini di
kategorikan lagu daerah bali .
6. Tari Bali
Sorak-sorai riuh rendah bunyi
Bermacam-macam bunyi tari ramai
Liwat gerbang dihias berpanji
Mengendarai kereta kuda kencana
Jika kita melihat dari sair lagunya lagu ini menceritakan tentang ke indahan tentang tarian
bali
8. Dadong Dauh
Menceritakan tentang kesedihan seorang nenek yang kehilangan telur-telurnya dan tentang
kenakalan perilaku anak- anak.
Burung Cendrawasih yang dikenal sebagai Manuk Dewata di Bali memang memiliki karakter
yang meliuk-liuk seperti sedang menari dan juga menyanyi ketika menjelang perkawinan.
Hal ini digambarkan dalam tarian tradisional Bali ini. Tari Cendrawasih adalah hasil karya
oleh I Gde Manik dan pertama kali ditampilkan di subdistrik Sawan di Kabupaten Buleleng
pada 1920an. Tapi tari Cendrawasih yang sering dipertunjukan pada masa kini adalah hasil
olahan koreografi oleh N. L. N. Swasthi Wijaya Bandem, yang diaransemenkan pada
penampilan pertamanya pada 1988.
Tari Barong dipentaskan menggambarkan pertarungan yang sengit antara kebajikan yang
disimbolkan denan barong dengan kebatilan yaitu rangda, dan dipentaskan dengan penuh
sajian humor.
Tari Legong adalah merupakan tari klasik Bali yang pada awal mulanya merupakan tarian
kraton yang hanya dipertunjukan di lingkungan keraton pada masa kerajaan Bali. Dari asal
katanya legong berasal dari kata “leg” yang artinya luwes dan elastis, dihubungkan dengan
tarian berarti gerakan yang lemah gemulai, kemudian “gong” yang artinya gamelan,
sehingga legong berarti tarian yang terikat dengan gamelan yang mengiringinya. Gamelan
yang mengiringinya di kenal dengan nama Semar Pegulingan. Ciri khas lainnya penarinya
memakai kipas, kecuali penari dengan tokoh Condong.
Tari Legong ditarikan oleh 2-3 orang penari yang menghadirkan tokoh “Condong”, sebagai
pembuka tarian ini, tapi adakalanya tari legong ini tidak menghadirkan tokoh tersebut,
tergantung jumlah penarinya.
Dikenal beberapa macam tari Legong di Bali yang berkembang seiring waktu Legong Lasem
(Kraton), Legong Jobog, Legong Legod Bawa, Legong Kuntul, Legong Smaradahana dan
Legong Sudarsana.
Siapa sih yang belum pernah melihat tari Kecak? walaupun mungkin belum pernah melihat
tarian ini secara utuh, tapi pasti pernah tahu dong cuplikan tari kecak yang kerap muncul di
iklan/media televisi?.
Tari Kecak adalah pertunjukan tarian seni khas Bali yang lebih utama menceritakan
mengenai Ramayana dan dimainkan terutama oleh laki-laki. Tarian ini dipertunjukkan oleh
banyak (puluhan atau lebih) penari laki-laki yang duduk berbaris melingkar dan dengan
irama tertentu menyerukan "cak" dan mengangkat kedua lengan, menggambarkan kisah
Ramayana saat barisan kera membantu Rama melawan Rahwana.
Para penari yang duduk melingkar tersebut mengenakan kain kotak-kotak seperti papan
catur melingkari pinggang mereka. Selain para penari itu, ada pula para penari lain yang
memerankan tokoh-tokoh Ramayana seperti Rama, Shinta, Rahwana, Hanoman, dan
Sugriwa.
Tari Kecak adalah hasil karya Wayan Limbak bekerja sama dengan pelukis Jerman Walter
Spies pada tahun 1930an.
Tari Pendet pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di pura,
tempat ibadat umat Hindu di Bali, Indonesia. Tarian ini melambangkan penyambutan atas
turunnya dewata ke alam dunia.
Namun seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah Tari Pendet menjadi
"ucapan selamat datang". Pencipta/koreografer bentuk modern tari ini adalah I Wayan
Rindi.
Tidak seperti halnya tarian-tarian pertunjukkan yang memerlukan pelatihan intensif, Pendet
dapat ditarikan oleh semua orang, pemangkus pria dan wanita, dewasa maupun gadis.Dan
masih banyak tari yang lain nya.
Hal yang menarik dan unik dari tarian Bali yang membedakannya dengan tarian-tarian
lainnya adalah dalam gerakan mata atau seledet. Kedua bola mata digerakkan (melirik) ke
kanan dan/atau ke kiri bersamaan dengan gerakan dagu. Ketika nyeledet mata harus
terbuka lebar dan tidak boleh dikedipkan.
Disamping gerakan seluruh anggota badan, ekspresi muka juga sangat penting. Hal ini untuk
menunjukkan karakter dari sebuah tarian, apakah itu gembira, marah, sedih, terkejut,
asmara, dan lain-lainnya. Menurut Ni Ketut Reneng, sebuah tarian adalah perpaduan yang
mendalam dari perasaan, gerakan badan, dan jiwa si penari dan tarian itu.