MIPA 1’17
Suku Bali Aga
Suku Bali Aga adalah salah satu subsuku bangsa Bali yang
menganggap mereka sebagai penduduk bali yang asli. Bali Aga
disebut dengan Bali pegunungan yang mana sejumlah suku Bali
Aga terdapat di Desa Trunyan. Istilah Bali Aga dianggap memberi
arti orang gunung yang bodoh karena mereka berada didaerah
pegunungan yang masih kawasan pedalaman dan belum terjamah
oleh teknologi.
Budaya
Masyarakat Bali Aga hidup terisolasi di daerah pegunungan.
Wisatawan yang ingin mengunjungi desa-desa tertentu juga harus
berhati-hati dengan faktor geografis yang ada. Ketika berkunjung
pun, kita harus menghargai adat istiadat setempat serta
mengamati ritual-ritual seperti proses pengawetan kehidupan
yang mereka miliki.
Di , Tenganan kegiatan pariwisata lebih mudah, karena
penduduknya lebih ramah. selain itu ada festival tiga hari yang
disebut Udaba Sambah diadakan selama bulan Juni atau Juli.
Desa Bali Aga lainnya adalah Tenganan di Karangasem wilayah Bali
Timur, memiliki tradisi unik dalam pembangunan dan pengaturan
pekarangan rumah, termasuk juga aturan dalam perkawinan antar
warga yang diatur dalam awig-awig desa, kalau dilanggar dikenakan
sanksi adat. Selain itu Tenganan memiliki tradisi unik perang pandan
atau Mekare-kare, serta hasil kerajinan tenun Pegringsingan yang
memiliki nilai seni dan mutu tinggi, satu-satunya teknik tenun dobel
ikat yang masih lestari dan hanya ada di desa Bali Aga ini.
1. Pemakaman Desa Trunyan
Tradisi makan bersama saat ada hajatan upacara adat menjadi budaya
masyarakat Karanagsem di Bali Timur, seperti saat ada acara pernikahan,
otonan, 3 bulanan ataupun upacara adat lainnya, masih bertahan sampai
sekarang ini di Kabupaten Karangasem, walaupun beberapa warga
sekarang ini terkadang menyiapkan makan prasmanan (makan jalan) saat
ada hajatan, tetapi tradisi megibung ini tidak bisa ditinggalkan begitu
saja. Bahkan pada waktu Bupati Karangasem I Wayan Geredeg pernah
menggelar megibung massal di objek wisata Taman Ujung Karangasem
dan memecahkan rekor Muri. Megibung atau makan bersama oleh
sekelompok orang yang terdiri dari 5-6 orang dinamakan “sele” duduk
mengitari “gibungan” yaitu segepok nasi di atas dulang atau nampan,
lengkap dengan sayur dan lauk pauk yang dinamakan “karangan” dan
kemudian mereka makan bersama menikmati menikmati gibungan dan
karangan.
4. Nikah Massal Di Pengotan
Tradisi ini memang cukup unik, walaupun dalam tradisi ini hanya ritual
atau upacaranya saja yang dilakukan bersamaan atau berbarengan, tentu
hal tersebut menjadi salah satu budaya ataupun tradisi yang berbeda
dibandingkan upacara pernikahan di pulau Bali, dan ini akan menjadi
pemandangan unik bagi mereka yang menyaksikannya. Budaya dan
tradisi Nganten (Nikah) Massal ini bisa ditemukan di desa Pengotan –
Bangli, desa ini juga merupakan salah satu Desa Bali Aga (desa Bali
Kuno) yang tentunya memiliki warisan budaya yang unik, seperti Tradisi
Nikah Massal yang digelar dua kali dalam setahun yaitu setiap sasih
Kapat (Agustus – September) dan Kedasa (Maret – April). Upacara
tersebut tidak hanya berlaku bagi laki-laki saja tetapi juga bagi kaum
perempuan yang menikah ke luar desa Pengotan. Pernikanan tradisional
Bali di desa Pengotan, menjadi sebuah budaya dan tradisi unik yang
hanya bisa anda temukan di Bangli.
Kain tenun yang di buat oleh penduduk desa
ini diberi nama kain Gringsing. Oleh karena itu,
desa traditional ini juga disebut dengan nama
desa Tenganan Pegringsingan Bali.
Dari dahulu penduduk desa ini, terkenal
dengan keahliannya menenun kain Gringsing.
Kain Gringsing tersebut dikerjakan dengan cara
teknik dobel ikat. Teknik ini hanya satu –
satunya di Indonesia, sehingga kain Gringsing
hasil karya masyarakat lokal tersebut sangat
terkenal ke seluruh dunia.