Anda di halaman 1dari 3

Tenganan, Manggis, Karangasem

di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem di sebelah timur pulau Bali. Tenganan bisa


dicapai dari tempat pariwisata Candi Dasa dan letak kira-kira 10 kilometer dari sana.
Desa Tenganan merupakan salah satu desa dari tiga desa Bali Aga,
selain Trunyan dan Sembiran. Bali Aga adalah desa yang masih mempertahankan pola hidup
yang tata masyarakatnya mengacu pada aturan tradisional adat desa yang diwariskan nenek
moyang mereka. Bentuk dan besar bangunan serta pekarangan, pengaturan letak bangunan,
hingga letak pura dibuat dengan mengikuti aturan adat yang secara turun-temurun dipertahankan.
[3]

Sejarah
Menurut sebagian versi catatan sejarah, kata Tenganan berasal dari kata "tengah" atau
"ngatengahang" yang memiliki arti "bergerak ke daerah yang lebih dalam". Kata tersebut
berhubungan dengan pergerakan masyarakat desa dari daerah pinggir pantai ke daerah
pemukiman di tengah perbukitan, yaitu Bukit Barat (Bukit Kauh) dan Bukit Timur (Bukit
Kangin).[4]
Sejarah lain mengatakan bahwa masyarakat Tenganan berasal dari Desa Peneges, Gianyar, yang
dulu disebut sebagai Bedahulu. Menurut cerita rakyat, Raja Bedahulu pernah kehilangan salah
satu kudanya dan orang-orang mencarinya ke Timur. Kuda tersebut ternyata ditemukan tewas
oleh Ki Patih Tunjung Biru, orang kepercayaan sang raja. Atas loyalitasnya, Ki Patih tunjung
Biru mendapatkan wewenang untuk mengatur daerah yang memiliki aroma dari bangkai
(carrion) kuda tersebut. Ki Patih mendapatkan daerah yang cukup luas karena dia memotong
bangkai kuda tersebut dan menyebarkannya sejauh yang dia bisa lakukan. Itulah asal mula dari
daerah Desa Tenganan

Penduduk
Penduduk desa Tenganan sampai dengan tahun 2016 terdiri dari 2.248 laki-laki dan 2.379
perempuan dengan 

Mata Pencaharian
Penenun kain di Desa Tangenan.
Umumnya, penduduk desa Tenganan bekerja sebagai petani padi, namun ada pula yang membuat
aneka kerajinan. Beberapa kerajinan khas dari Tenganan adalah anyaman bambu, ukiran, dan
lukisan di atas daun lontar yang telah dibakar.[6] Di desa ini pengunjung bisa menyaksikan
bangunan-bangunan desa dan pengrajin-pengrajin muda yang menggambar lontar-lontar. Sejak
dulu, masyarakat Desa Tenganan juga telah dikenal atas keahliannya dalam menenun kain
gringsing. Cara pengerjaan kain gringsing ini disebut dengan teknik dobel ikat. Teknik tersebut
merupakan satu-satunya di Indonesia dan kain gringsing yang dihasilkan terkenal istimewa
hingga ke mancanegara.[3] Penduduk Tenganan masih menggunakan sistem barter dalam
kehidupan sehari-harinya.[7]

Adat Istiadat
Perang pandan atau duri, salah satu acara adat Tenganan.

Perang pandan.
Keseharian kehidupan di desa ini masih diatur oleh hukum adat yang disebut awig-awig. Hukum
tersebut ditulis pada abad ke-11 dan diperbaharui pada tahun 1842.[7] Rumah adat Tenganan
dibangun dari campuran batu merah, batu sungai, dan tanah. Sementara atapnya terbuat dari
tumpukan daun rumbi. Rumah adat yang ada memiliki bentuk dan ukuran yang relatif sama,
dengan ciri khas berupa pintu masuk yang lebarnya hanya berukuran satu orang dewasa. Ciri lain
adalah bagian atas pintu terlihat menyatu dengan atap rumah.[6]
Penduduk desa ini memiliki tradisi unik dalam merekrut calon pemimpin desa, salah satunya
melalui prosesi adat mesabar-sabatan biu (perang buah pisang). Calon prajuru desa dididik
menurut adat setempat sejak kecil atau secara bertahap dan tradisi adat tersebut merupakan
semacam tes psikologis bagi calon pemimpin desa. Pada tanggal yang telah ditentukan menurut
sistem penanggalan setempat (sekitar Juli) akan digelar ngusaba sambah dengan tradisi unik
berupa mageret pandan (perang pandan). Dalam acara tersebut, dua pasang pemuda desa akan
bertarung di atas panggung dengan saling sayat menggunakan duri-duri pandan. Walaupun akan
menimbulkan luka, mereka memiliki obat antiseptik dari bahan umbi-umbian yang akan diolesi
pada semua luka hingga mengering dan sembuh dalam beberapa hari. Tradisi tersebut untuk
melanjutkan latihan perang rutin dan menciptakan warga dengan kondisi fisik serta mental yang
kuat. Penduduk Tenganan telah dikenal sebagai penganut Hindu aliran Dewa Indra, yang
dipercaya sebagai dewa perang.[8]
Masyarakat Tenganan mengajarkan dan memegang teguh konsep Tri Hita Karana (konsep dalam
ajaran Hindu) dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tri berarti tiga dan Hita Karana
berarti penyebab kebahagiaan untuk mencapai keseimbangan dan keharmonisan. Tri Hita Karana
terdiri dari Perahyangan (hubungan yang seimbang antara manusia dengan Tuhan), Pawongan
(hubungan harmonis antara manusia dengan manusia lainnya), dan Palemahan (hubungan
harmonis antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya).[9]

Keunikan Desa Tenganan


Mata pencaharian peduduk desa Tenganan Karangasem, umumnya sebagai petani padi. Sebagian
kecil ada juga sebagai pengerajin. Kerajinan khas penduduk desa antara lain, anyaman bambu,
ukir – ukiran, lukisan diatas daun lontar serta kain tenun.

Keunikan desa Tenganan terdapat pada bangunan penduduk yang masih traditional, tenunan kain
gringsing serta acara perang pandan.

Desa Kerajinan Kain Gringsing

Kain tenun yang di buat oleh penduduk desa ini diberi nama kain Gringsing. Oleh karena itu,
desa traditional ini juga disebut dengan nama desa Tenganan Pegringsingan Bali.
Dari dahulu penduduk desa ini, terkenal dengan keahliannya menenun kain Gringsing. Kain
Gringsing tersebut dikerjakan dengan cara teknik dobel ikat. Teknik ini hanya satu – satunya di
Indonesia, sehingga kain Gringsing hasil karya masyarakat lokal tersebut sangat terkenal ke
seluruh dunia.

Perang Pandan

Penduduk desa Tenganan, memiliki tradisi yang sangat unik. Setiap tahun pada pertengahan
bulan Juli, digelar tradisi mageret pandan (perang pandan). Yaitu ritual sepasang pemuda desa,
saling sayat menggunakan duri – duri dari daun pandan di atas panggung mereka. Akibat sayatan
duri daun pandan tersebut, akan menimbulkan luka di punggung pemuda desa.

Setelah selesai perang pandan, luka akan diobati dengan obat tradisional antiseptik dari bahan
umbi – umbian. Saat diolesi obat, punggung para pemuda akan terasa sangat perih. Luka tersebut
akan mengering dan sembuh dalam beberapa hari. Tradisi ini dilakukan untuk melatih mental
dan fisik warga desa Tenganan. Pada saat acara perang pandan pertengahan bulan July, anda
akan melihat banyak fotografer yang meliput acara ini.

Desa Tenganan Tidak Rayakan Nyepi


Potret salah satu warga Desa Tenganan memegang ayam via Instagram Ekiacyuta

Tidak seperti wilayah Bali lainnya, para warga di Desa Tenganan memilih untuk tidak
merayakan Nyepi. Sebagai desa Bali Aga, tempat ini tidak mendapat pengaruh dari Kerajaan
Majapahit, sehingga para warganya juga tidak merayakan Galungan dan Kuningan. Selama Hari
Raya Nyepi, orang-orang di Tenganan akan tetap beraktivitas seperti biasanya dengan api
menyala. Namun untuk menghormati warga Bali lainnya, mereka membatasi diri dengan tidak
melakukan aktivitas di luar desa.

Para penduduk di sini juga tidak mengenal tradisi ngaben, atau kremasi tubuh orang setelah
meninggal. Mereka yang menghembuskan nafas terakhirnya di Desa Tenganan akan langsung
dikubur di hari yang sama saat kematiannya. Bagi Anda yang tertarik untuk menyimak
kebudayaan Pulau Dewata yang sesungguhnya, sangat disarankan untuk berkunjung ke tempat
ini.

Anda mungkin juga menyukai