Anda di halaman 1dari 30

BAB IV

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT TENGGER


A. Gambaran Umum Masyarakat Tengger
Tengger ditinjau dari arti kata berdasar mitos masyarakatnya merupakan
gabungan dari dua singkatan yaitu Rara Anteng yang kemudian diambil teng-nya
dan Jaka Seger diambil ger-nya digabung jadi Tengger. Mitos Rara Anteng dan
Jaka Seger dalam legenda adalah suami istri yang mempunyai anak 25 orang yang
salah satunya bernama Kusuma menjadi tumbal Gunung Bromo demi
keselamatan saudara-saudaranya.
Ditinjau dari arti etimologisnya, Anteng (teng) berarti ora kakehan polah
(tidak banyak tingkah) dan Seger (ger) berarti krasa enak sumyah ngemu adhem
tumrap pangrasa ilat utawa badan ( terasa enak, dingin untuk lidah dan badan).
Makna dari kata tersebut dilihat dalam kenyataan keseharian adalah kelompok
masyarakat yang sederhana, tentram dan damai. Makna tersebut juga sesuai
dengan letak geografisnya yang berada di daerah perbukitan dengan sebagian
besar penduduk bermatapencaharian dari bertani didukung suhu udara
pegunungan yang segar. Disamping itu masyarakat Tengger beragama Hindu
tetapi masih memegang teguh tradisi yang menjadi peninggalan leluhurnya. Hal
inilah yang menjadi keunikan masyarakat Tengger yang tidak dimiliki kelompok
masyarakat lain.
Masyarakat Tengger senantiasa melaksanakan upacara-upacara adat yang
menjadi warisan leluhurnya. Upacara-upacara itu diantaranya peringatan hari
besar Kasada dan Karo dengan tradisi selamatan yang dilakukan dalam komunitas
kecil/keluarga dan dalam komunitas besar/desa bahkan dalam Kasada adalah
seluruh masyarakat Tengger dengan berkumpul di Gunung Bromo. Masyarakat
Tenger sangat patuh pada pimpinan dalam hal ini adalah dukun sebagai sesepuh
yang diangkat oleh masyarakat. Dalam bahasa Jawa sabda pandita ratu yaitu
taat melaksanakan semua tradisi leluhur yang diwariskan kepada masyarakat
melalui perantara dukun.

55

Tengger terletak di ujung timur pulau Jawa adalah sebuah dataran tinggi
yang bergunung-gunung dan bertebing curam. Ketinggian Tengger antara 10003675 m. Suhu udara di daerah Tengger pada siang hari berkisar hingga 18-20C
dan pada malam hari berkisar sampai 3-4C. Letak daerah Tengger kira-kira 50
km sebelah timur kota Malang dan 40 km dari sebelah utara dari kota Pasuruan
dan Probolinggo.
Secara administratif orang Tengger bertempat tinggal di empat kabupaten,
yaitu: 1) kabupaten Probolinggo kecamatan Sumber dan kecamatan Sukapura
yang terdiri dari: desa Jetak, desa Wanatara, desa Ngadisari. 2) Kabupaten
Lumajang yaitu kecamatan Senduro desa Argosari. 3) Kabupaten Malang yaitu
kecamatan Poncokusumo desa Ngadas. 4) Kabupaten Pasuruan yaitu kecamatan
Tosari terdiri dari; desa Tosari, desa Wonokitri, desa Ngadiwono, desa Podokoyo,
dan desa Mororejo.
Masyarakat Tengger di empat wilayah tersebut mayoritas penduduknya
beragama Hindu dan masih memegang teguh adat istiadat Tengger. Hal itu dapat
dilihat pada saat upacara Kasada dengan melempar kurban ke kawah gunung
Bromo sebagai simbol memuliakan roh nenek moyang dan hari Raya Karo
dengan berbagai upacara dan sesaji yang bertujuan untuk mengenang roh nenek
moyang.
Gunung Bromo adalah gunung yang dianggap suci masyarakat Tengger
berada di atas lautan pasir dengan ketinggian 2392 m. Kawah gunung Bromo
masih aktif dan mengeluarkan asap ke angkasa. Pada upacara Kasada Agustus
2007, gunung Bromo mengeluarkan belirang yang baunya menyengat hingga desa
Cemara Lawang dan membuat sesak napas bagi yang menghirupnya. Gunung
Bromo adalah gunung suci bagi masyarakat Tengger karena kedalam kawah yang
menganga dan selalu mengepul itulah masyarakat menjatuhkan sesaji atau korban
pada hari Kasada. Kawah yang mengepul disebut pelabuhan karena untuk
melabuh hasil bumi dan ternak sebagai pelaksanaan pesan leluhur.
Selatan gunung Bromo ada gunung Semeru atau Mahameru dengan puncak
ketinggian 3676 m yang juga dianggap suci dalam mitologi Hindu Jawa. Di dekat
gunung Bromo juga ada gunung kecil yang dikeramatkan yaitu gunung

56

Widodaren yang dipercaya sebagai tempat tinggal salah satu dari dua puluh lima
putra Rara Anteng dan Djaka Seger yang bernama Puspa Ki Gontong. Di lereng
gunung tersebut terdapat goa Widodaren yang menitikkan air suci yang dipercaya
dapat menyembuhkan segala penyakit.
Masyarakat Tengger atau disebut juga dengan orang Tengger sebagai
komunitas menyebut dirinya orang Jawa Gunung karena bertempat tinggal di
pegunungan Tengger yang memiliki budaya luhur. Mereka menyebut orang di
luar sana atau orang yang tinggal di dataran rendah dengan sebutan wong ngare.
Di mata wong gunung, wong ngare itu penuh kesenjangan, banyak yang kaya
tetapi banyak pula yang miskin, tidak memiliki tanah. Wong ngare suka
menyendiri dan membedakan status serta sering menilai orang dari pangkatnya.
Sebaliknya wong gunung menganggap semua orang sama dan satu keturunan
sehingga tidak mengenal istilah kongkon atau menyuruh orang lain.
Nilai budaya orang Tengger pada umumnya

menyinarkan kejujuran,

toleransi, persatuan antar umat (persaudaraan). Mereka senang membantu orang


lain apalagi orang-orang yang sengaja datang di daerahnya. Mereka menganggap
tamu adalah keluarga yang patut dihormati. Dengan membawa tamu ke tempat
tinggalnya dan menjamu dengan iklas akan memberikan berkah baginya dan
keluarganya.

57

Peta Jawa Timur

Lokasi Penelitian:
Masyarakat Tengger

58

B. Asal Usul Orang Tengger


Orang Tengger bertempat tinggal di dataran tinggi kawasan taman Nasional
Bromo, Tengger, Semeru. Berdasarkan pengakuan sebagian besar masyarakat
Tengger dan pewaris aktif tradisi Tengger, orang Tengger adalah keturunan para
pengungsi dari Kerajaan Majapahit. Hal itu juga diungkapkan oleh Hefner
(1985:25) dengan ditemukannya Prasasti di daerah Pananjakan yang termasuk
desa Wonokitri Kabupaten Pasuruan. Prasasti berangka tahun 1327 saka atau 1407
M itu menyebutkan bahwa di Desa Walandhit dihuni oleh Sang Hyang
Swayambuwa atau dalam agama Hindu dikenal dengan Dewa Brahma. Di sekitar
daerah Walandhit dianggap suci oleh masyarakat dan disebut dengan hila-hila
atau tempat suci. Dari prasasti itulah diketahui bahwa masyarakat Tengger dalam
melakukan peribadatan berkiblat kepada Gunung Bromo dan melakukan
pemujaan terhadap gunung Bromo. Dalam Pigeaud (1962:2), dijelaskan bahwa
Prasasti yang ditemukan di desa Wonokitri dahulu adalah hadiah pada bulan
Asada dari Bathara Hyang Welas ing Sukha atau Hayam Wuruk.
Keberadaan prasasti Walandhit menunjukkan bahwa sebelum prasasti itu
ditemukan, sudah ada masyarakat yang tinggal di Tengger yaitu masyarakat asli
Tengger. Dari prasasti itu juga menunjukkan bahwa ada masyarakat Tengger yang
merupakan pendatang yang konon adalah pengungsi dari Mojapahit. Nama
Tengger itu sendiri diambil dari nama belakang Rara Anteng (Teng) yang
dipercaya sebagai putri raja Brawijaya V dari Majapahit dan nama belakang Jaka
Seger (Ger) putra Brahmana yang sedang bertapa di Tengger. Dan dari Rara
Anteng dan Jaka Seger inilah legenda-legenda Tengger mulai dikenal masyarakat
Tengger yang selanjutnya dijadikan sebagai asal mula masyarakat Tengger.
Pada upacara Kasada atau disebut Yadnya Kasada yang juga disebut sebagai
hari raya kurban yang jatuh pada tanggal 14,15 dan 16 saat bulan purnama, dukun
Tengger selalu membacakan asal mula perayaan Kasada dan Nama Tengger.
Pembacaan asal mula Tengger tersebut dilakukan dukun Tengger di Pura Agung
pada tengah malam bulan purnama.

59

Pada saat ini batas siapakah yang dikelompokkan sebagai orang Tengger
sudah mulai bergeser. Hal ini dikarenakan sudah banyak pula masyarakat Tengger
yang memeluk agama Islam dan juga mulai tidak diakuinya desa-desa yang
dahulu dikenal sebagai desa Tengger karena permasaalah agama tersebut.
Problematis itu juga didukung oleh tulisan-tulisan, brosul dan penelitian tentang
Tengger yang hanya memasukkan ke dalam desa Tengger adalah masyarakat
Tengger yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan memegang teguh
adapt istiadat Tengger. Desa tersebut adalah desa Jetak, desa Wanatara, desa
Ngadisari kecamatan Sumber dan kecamatan Sukapura kabupaten Probolinggo,
desa Argosari kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang, desa.Ngadas kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang, desa Tosari, desa Wonokitri, desa Ngadiwono,
desa Podokoyo, dan desa Mororejo kecamatan Tosari Kabupaten Pasuruan
(Sutarto, 2001:13).
C. Mata Pencaharian
Mata pencaharian masyarakat Tengger sebagian besar adalah sebagai petani
tradisional. Mereka dikenal sebagai petani yang jujur, sederhana dan ramah.
Mereka betah berada di ladang dari pagi hingga petang, karena suhu udara yang
sejuk membuat waktu tidak terasa berlalunya. Tempat tinggal masyarakat Tengger
berkelompok-kelompok di bukit-bukit tidak jauh dari lahan pertanian mereka.
Dalam mengolah ladang, petani Tengger tidak mengenal peralatan canggih
dan tidak mengenal system buruh tani. Peralatan yang digunakan cukup
sederhana yaitu

cangkul dan arit. Sedangkan untuk tenaga mereka lakukan

sendiri atau apabila sedang musim tanan atau panen dan membutuhkan tenaga
yang banyak, mereka lakukan gotong royong dengan saudara ataupun tetangga
dan cara demikian itu dikenal dengan nama sayan.
Hasil pertanian masyarakat Tengger adalah sayur mayur, diantaranya: kubis,
kentang, wortel, tomat, bako, bawang, dan bawang prei. Disamping itu mereka
menanam jagung karena dahulu jagung adalah makanan pokok mereka dan hingga
saat ini tanaman jagung sangat sesuai untuk jenis tanah dengan lokasi yang
berbukit. Pada umumnya hasil pertanian tidak mereka jual sendiri, tetapi mereka

60

letakkan di pinggir jalan dan para pengepul yang datang menghampiri mereka
untuk membelinya.
Gunung Bromo dikenal dengan keindahan alamnya. Masyarakat Tengger
adalah masyarakat yang tinggal di sekitar lereng-lereng gunung Bromo.
Keindahan alam gunung Bromo menjadikan lokasi tersebut sebagai salah satu
tujuan wisata baik wisatawan dalam maupun luar negeri. Pergeseran
matapencaharian dari bertani menjadi pendukung jasa wisata merupakan
pemandangan yang umum dijumpai di daerah Tengger. Misalkan menjadi
pemandu wisata, menyewakan mobil Jip untuk menuju lokasi lautan pasir/ Pura
Agung/gunung Penanjakan, menyewakan kuda untuk menuju puncak Bromo,
menjadi pedagang berbagai souvenir Bromo, dan menyewakan rumahnya pada
upacara Kasada.
Selain bertani dan menjadi tenaga jasa wisata, sebagian masyarakat Tengger
juga bekerja sebagai pedagang, pegawai negeri, jasa warung, dan ada pula yang
merantau ke kota lain bahkan di luar Jawa untuk bekerja. Tetapi walaupun mereka
bekerja dirantau, pada saat hari raya Kasada ataupun hari raya Karo mereka tetap
datang untuk merayakannya bersama keluarga dan masyarakat desanya.
D. Adat Istiadat
Hubungan timbal balik antara kehidupan manusia di dunia dengan
kehidupan seseorang di alam lelangit perlu ada keseimbangan. Keseimbangan itu
diwujudkan masyarakat Tengger melalui upacara-upacara atau selamatanaelamatan sejak manusia lahir hingga kematian menjemput. Adapun upacaraupacara tersebut adalah sebagai berikut.
1. Kelahiran
Masyarakat Tengger percaya bahwa perubahan kehidupan yang terjadi
pada

manusia

adalah

perkembangan

hidup

yang

akan

mempengaruhi

keseimbangan seluruh kehidupan manusia di alam ini. Seseorang harus dapat


menghindarkan diri dari segala sesuatu tentang keburukan di dunia dan sebagai
symbol untuk menyeimbangkan perubahan tersebut adalah dengan selamatan-

61

selamatan yang dilakukan manusia mulai berada di perut ibu hingga, saat
kehidupannya, saat kematiannya dan saat di alam baka.
Upacara yang dilakukan pada bayi yang berusia 7 bulan dalam kandungan
ibu disebut upacara sayut. Upacara sayut atau garbhadana adalah upacara tujuh
bulanan yang ditujukan pada ibu dan bayi dengan tujuan keselamatan bagi ibu
yang melahirkan dan anak yang akan dilahirkan. Disamping itu juga sebagai
symbol dimulainya pendidikan pada anak.
Upacara cuplak puser adalah upacara yang dilakukan setelah bayi berumur
5-7 hari atau setelah pusar sang bayi lepas. Tujuan dari upacara ini adalah agar si
anak dapat selalu mendapatkan keselamatan. Selanjutnya ketika anak berusia 44
hari diadakan upacara kekerikan atau pengerikan kuku. Tujuan dari upacara ini
adalah agar anak kelak pandai dan senantiasa diberi keselamatan sampai
menginjak remaja.
Ketika anak laki-laki menginjak usia 12 tahun, diadakan upacara tugel
pucung atau memotong rambut dan menyisakan bagian atas rambut seperti bentuk
pucung. Tujuan upacara ini adalah membuang sengkala atau rintangan/ mala
petaka dan agar anak senantiasa dilindungi dan diberi keselamatan.
2. Perkawinan/ Walagara
Dalam memilih jodoh, masyarakat Tengger sangat demokratis yang artinya
menyerahkan pilihan kepada wanita atau pria yang akan menikah. Tetapi untuk
ijin melangsungkan pernikahan disamping ijin dari kedua orang tua dari pihak
laki-laki maupun perempuan juga diperlukan ijin dari kepala desa untuk
menghindari perkawinan usia dini atau istilah mereka belum mateng.
Peresmian hubungan ikatan perkawinan disamping disyahkan oleh
lembaga perkawinan juga yang terpenting disyahkan oleh masyarakat melalui
hokum adap masyarakat Tengger. Hubungan yang tidak syah antara laki-laki
dengan perempuan dengan tinggal serumah bahkan melahirkan seorang anak
adalah aib besar. Hal itu selain melanggar adat juga melanggar kesucian desa yang
berakibat kutukan bagi seluruh warga desa. Masyarakat Tengger percaya bahwa
roh-roh nenek moyang dan kekuatan gaib ada di sekitar mereka sehingga mereka

62

harus selalu ingat untuk berbuat kebajikan bagi dirinya, keluarga dan
masyarakatnya. Perbuatan yang melanggar norma adat, kepercayaan serta
perbuatan kejahatan akan berdampak kutukan bagi dirinya, keluarga dan
masyarakat.
Ketika seorang pemuda Tengger mulai tertarik pada seorang gadis
Tengger, maka dilakukanlah pendekatan dengan melakukan andonturon yang
artinya pindah tidur. Sebelum sang pemuda berkenalan lebih dekat dengan si
gadis, maka pendekatan dilakukan melalui saudara laki-laki dari si gadis. Jika
sang pemuda sudah mengenal saudara laki-laki si gadis, maka sang pemuda main
ke rumah si gadis untuk mencari saudara laki-lakinya dan dia menginap di rumah
tersebut. Pendekatan andonturon tidak dapat dilakukan jika sang gadis tidak
memiliki saudara laki-laki, tetapi cara lain dilakukan seperti kebanyakan
masyarakat umum yaitu menemui di tempat tertentu.
Apabila telah terjalin hubungan saling mencintai antara pemuda dan sang
gadis maka langkah selanjutnya adalah sang pemuda mengutarakannya kepada
orang tuanya. Orang tua pemuda datang ke rumah sang gadis untuk melamar atau
nakokaken. Pada saat nakokaken, orang tua pemuda tidak membawa apa-apa
karena tujuannya masih ingin menanyakan apakah sang gadis belum memiliki
calon pendamping hidupnya. Orang tua sang gadis tidak menjawab saat itu,
karena masih harus menanyakan pada anak gadisnya dahulu. Pada hari berikutnya
setellah mendapat jawaban dari sang gadis, maka orang tua sang gadis mendatangi
rumah orang tua sang pemuda untuk menjawab lamarannya diterima ataupun
tidak.
Jika lamaran diterima maka selanjutnya orang tua sang pemuda datang
kembali ke rumah orang tua sang gadis. Kali ini orang tua sang pemuda membawa
peningset sebagai bentuk ikatan yang terlah terjalin antara sang pemuda dengan si
gadis. Peningset tersebut terdiri dari jarit, kebaya, centing, kutang, celana dalam,
dan sandal. Dengan diterimanya peningset oleh pihak orang tua sang gadis maka
resmilah hubungan mereka dalam pertunangan atau disebut pacangan.
Untuk menentukan hari pernikahan dilakukan oleh orang tua sang gadis
dengan menanyakan kepada orang yang tahu tentang perhitungan hari baik.

63

Setelah mendapatkan hari dan tanggalnya, maka orang tua sang gadis
memberitahukannya kepada orang tua sang gadis. Setelah semua sepakat, mereka
mendatangi kantor desa untuk mendaftarkan rencana pernikahan. Dari kepala desa
mereka mendapatkan surat untuk disampaikan ke pak Dukun desa yang akan
dilanjutkan dengan upacara adat perkawinan masyarakat Tengger/ walagara yang
dipimpin dukun.
3. Kematian
Ketika seorang anggota masyarakat Tengger meninggal, keluarga
memberitahukannya ke petinggi dan dukun desa. Dukun dibantu oleh wong sepuh
menyiapkan segala sesuatu untuk upacara kematian. Mendengar ada tetangga
meninggal dunia, warga sekitar secara spontan membantu menyiapkan segala
keperluan untuk penguburan. Pemberian bantuan pada saat kematian disebut
nglawuh. Ngalawuh ada yang berupa tenaga, uang, beras, dan segala sesuatu
yang dapat digunakan sebagai bahan dalam upacara.
Jika segala sesuatu untuk upacara kematian telah disiapkan oleh dukun,
maka mayat siap dimandikan. Guyuran air pertama dalam memandikan mayat
dilakukan oleh suami/istri yang meninggal kemudian sanak keluarga yang
lainnya.

Setelah dimandikan mayat dibungkus dengan kain kafan lapis tiga.

Setelah itu mayat siap dikuburkan.


Mayat diletakkan di keranda dan diusung menuju pemakaman. Sesampai
di dekat liang lahat, keranda dibawa berputar tiga kali memutari liang lahat
sebagai simbul kethuk pintu sebelum masuki alam kubur. Kemudian mayat
dienjat-enjat 3 kali sebagai tanda permisi memasuki alam lelangit. Setelah itu
mayat dikuburkan dengan posisi kepala si mayat di selatan dan badan dimiringkan
ke barat. Pada bagian kepala diberi batu nisan dan ditancapkan sebatang bambou
kecil yang berlubang kira-kira sebesar jari kelingking. Tujuan ditancapkannya
bambu tersebut adalah symbol untuk jalan penghubung roh dengan badan yang
sudah tertibun tanah (suyitno, 2001:83-84).
E. Kehidupan Sehari-hari

64

Ketika peneliti mulai memasuki wilayah Tengger, yang unik dari


penampilan keseharian masyarakat adalah penggunaan sarung. Sarung sebagai
salah satu cirri busana masyarakat Tengger mempunyai berbagai fungsi,
diantaranya: untuk pelidung tubuh saat cuaca dingin/panas, untuk menggendong
anak, untuk membawa sesaji pada upacara-upacara keagamaan, sebagai jaket saat
bermotor, untuk membawa belanjaan (ibu-ibu dari belanja), menangkal debu saat
dilautan pasir, membawa peralatan ke ladang, dan dikalungkan di leher sebagai
perlengkapan busana. Sarung digunakan oleh pria maupun wanita. Tetapi ada
juga wanita yang tidak menggunakan sarung namun menggunakan kain panjang
yang sama fungsinya dengan sarung.
Konsep hidup masyarakat Tengger untuk mencapai kesejahteraan hidup
harus menghindari malima dan memperjuangkan walima. Malima adalah lima hal
yang tabu dilakukan oleh seseorang, yaitu; maling/mencuri, main/judi,
madat/minum/candu, minum/mabuk karena minuman keras, dan madon/main
perempuan. Konsep malima sangat dipegang erat oleh masyarakat dan itu terbukti
bahwa masyarakat asli Tengger tidak ada yang melanggar konsep hidup tersebut
karena untuk melanggar konsep tersebut, hukum karma akan terjadi misalkan;
sakit, hasil ladang menurun, serta tidak lancar rezekinya.
Walima dalam masyarakat Tengger harus diperjuangkan. Kelima konsep
kesejahteraan hidup yang haru diperjuangkan adalah: waras/sehat jasmani rohani,
wareg/ cukup makan, watra/cukup sandang, wasis/cukup pengetahuan, dan
wisma/memiliki tempat tinggal yang layak.
Masyarakat Tengger mencintai persaudaraan dan gotong royong yang
mengarah kepada keharmonisan dan kelestarian yang terdapat dalam sesanti
panca setia/lima petunjuk setia. Panca setia tersebut adalah: setya budaya/taat
dan hormat kepada adat, setya wacana/harus sesuai dengan perbuatan, setya
semaya/selalu menepati janji, setya laksana/bertanggung jawab terhadap tugas,
dan setya mitra/selalu membangun kesetiakawanan.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Tengger terlihat sederhana dari
segi penampilan, perilaku, dan tutur bahasanya. Mereka suka menolong sesama
bahkan untuk memberi kenyamanan pada orang yang bukan dari wilayahnya

65

(wisatawan), mereka rela menemani bahkan semalaman tidak tidur hanya untuk
menjaga kendaraan tamu yang baru dikenalnya. Mereka bersedia membantu
apapun yang dapat mereka lakukan dengan tulus iklas. Disamping itu mereka juga
memegang teguh adat budayanya dengan menghormati dan mentaati apa yang
dikatakan dukun kepadanya. Masyarakat Tengger ternyata berpegang teguh
pada pralima dalam kehidupan sehari-harinya. Pralima itu menurut Widyaprakasa
(1994:71-73)

disebut

kawruh

buda,

yakni

prasaja/sederhana,

prayogo/menunaikan kebajikan, pranata/taat kepada penguasa, prasetya/setia


kepada janji dan bertanggungjawab, dan prajitno/selalu waspana
Masyarakat Tengger juga memegang konsep rukun yang tercermin dalam
perayaan Karo. Pada perayaan Karo, masing-masing keluarga menyiapkan sesaji
untuk persembahan dan menyiapkan berbagai macam kue, minuman bahkan
masakan selayaknya keluarga mempersiapkan hajatan. Tradisi berkunjung ke
tetangga dan sanak keluarga dengan saling mengucapkan selamat hari raya Karo,
dan menjamu dengan makan-makan dan minum adalah tradisi yang masih terjadi
hingga saat ini. Konsep rukun menjadi sebuah kearifan local yang berbunyi
sugih donyo, nek sugih dulur,anguk sugih dulur artinya lebih baik kaya saudara
daripada kaya harta. Kerukunan itu bukan hanya mereka lakukan dengan tetangga
atau sanak keluarga, tetapi mereka lebih bangga dan bahagia kalau pada perayaan
Karo ada orang lain/tamu yang berkunjung ke rumahnya bahkan mau berbincang
dengan menikmati hidangan yang mereka miliki bersama anggota keluarganya.
Dalam masyarakat Tengger juga dikenal ajaran cinta kasih yang diturunkan
oleh leluhurnya dan itu diterapkan dalam konsep kehidupan sehari-hari. Ajaran
cinta kasih tersebut disebut ajaran welas asih pepitu (tujuh ajaran cinta kasih,
yaitu: 1) cinta kasih kepada Hong Pukulun atau Kang Maha Agung atau Tuhan
YME, 2) cinta kepada ibu pertiwi/ibu tanah, 3) cinta kepada bapa biyung/bapak
ibu, 4) cinta pada jiwa raga/ jasmani rohani, 5) cinta kepada sapadha padhaning
ngahurip/sesame makluk hidup, 6) cinta kepada sato kewan/binatang piaraan, dan
7) cinta kepada tandur tuwuh /tanaman.

66

F. Sistem Religi dan Kepercayaan


Agama yang dianut masyarakat Tengger adalah agama Hindu Darma. Buktibukti bahwa masyarakat Tengger menganut agama Hindu tercantum dalam Panca
Sradha, yaitu: 1) Percaya adanya Hyang Widi Maha Agung, Pangeran Agung; 2)
Percaya adanya petra (para pitara/para atman); 3) Percaya adanya walat
(karmapala); 4) Percaya adanya nitis (reinkarnasi); dan 5) Percaya adanya entas
atau kelepasan (moksa) (Suyitno, 2001:25).
Masyarakat Tengger adalah pemeluk agama Hindu Darma tetapi mereka
juga meyakini untuk mempertahankan adat istiadat yang diwariskan dari
leluhurnya. Kepercayaan mereka untuk memberi kurban di gunung Bromo berupa
hewan piaraan atau hasil bumi pada hari raya Kasada sebagai persembahan
kepada penghuni gunung tersebut sampai sekarang masih dilakukan. Mereka
percaya bahwa gunung-gunung yang ada di sekitar tempat tinggal mereka adalah
tempat bersemayamnya roh-roh anak-anak pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger
yang berjumlah 25 orang. Tempat-tempat keramat yang menjadi persemayaman
roh leluhur masyarakat Tengger adalah sebagai berikut (Sutarto,tt;25, Sutarto,
2001:6-8; Team Proyek Sasana Budaya Dirjen Kebudayaan Depdikbud,
1978/1979:331-334;

Soeparto,dkk,

1981/1982:228-311);

Simanhadi,

Widyaprakosa, 1994:117).
1. Gunung Ringgit, tempat tinggal roh Temenggung Klewung anak pertama
pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
2. Gunung Mindongan, tempat tinggal Sinta Wiji, anak kedua pasangan Rara
Anteng dan Jaka Seger.
3. Gunung Kuning, tempat tinggal Ki Baru Klinting, anak ketiga pasangan
Rara Anteng dan Jaka Seger.
4. Gunung Sumbar Semanik, tempat tinggal Ki Rawit, anak keempat
pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
5. Gunung Jemahan, tempat tinggal Jiting Jinah anak kelima pasangan Rara
Anteng dan Jaka Seger.

67

6. Gunung Raten, tempat tinggal Ical, anak keenam pasangan Rara Anteng
dan Jaka Seger.
7. Gunung Lingga, tempat tinggal Prabu Siwah, anak ketujuh pasangan Rara
Anteng dan Jaka Seger.
8. Gunung Gendera, tempat tinggal Cokro Pranoto, anak kedelapan pasangan
Rara Anteng dan Jaka Seger.
9. Gunung Pananjakan, tempat tinggal Temenggung Klinter, anak kesembilan
pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
10. Gunung Cemara Lawang, tempat tinggal Tunggul Wulang, anak kesepuluh
pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
11. Watu Balang, adalah tempat tinggal roh Raden Bagus Waris, anak
kesebelas pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger. Watu Balang berbentuk
seonggok batu.
12. Watu Wungkuk, adalah batu besar yang dipercaya sebagai tempat tinggal
roh Kaki Dukun anak kedua belas pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
13. Poten atau Pura Agung, adalah tempat tinggal roh Kaki Pernata anak
ketiga belas pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger. Letak Poten adalah di
tengah hamparan pasir /segara wedhi di kaki gunung Bromo. Poten
berfungsi sebagai tempat persembahyangan pada upacara Kasada. Di
Poten ini sesaji-sesaji dari seluruh desa Tengger dikumpulkan dan di sini
pula semua warga Tengger dan para dukun Tengger berkumpul berdoa
sebelum melarung sesaji dan kurban ke kawah gunung Bromo.
14. Bajangan, adalah tempat tinggal roh Kaki Perniti anak keempat belas
pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger. Tempat ini terletak di lereng
Gunung Bromo, tepatnya disebelah tangga naik ke puncak Bromo.
Bajangan digunakan sebagai tempat masyarakat Tengger khususnya yang
mau bernazar atau telah terkabul nazarnya untuk berdoa dan mengadakan
syukuran. Doa dan syukuran di Bajangan dipimpin oleh dukun Tengger.
15. Gunung Tunggukaan, tempat tinggal Tunggul Ametung, anak kelimabelas
pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.

68

16. Gunung Batok, tempat tinggal Raden Mesigit, anak keenam belas
pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
17. Gunung Widodaren, tempat tinggal Puspo Ki Gontong, anak ketujuh belas
pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
18. Gunung Guyangan, tempat tinggal Ki Teku anak kedelapan belas pasangan
Rara Anteng dan Jaka Seger.
19. Baju Pakis, tempat tinggal Ki Dawung Awuk, anak kesembilan belas
pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
20. Gunung Pusang Lingker, tempat tinggal Ki Demeling, anak kedua puluh
pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
21. Gunung Wonongkoro, tempat tinggal Ki Sindhu anak keduapuluh satu
pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
22. Gunung Pudak Lembu, tempat tinggal Raden Sapu Jagat anak kedua puluh
dua pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
23. Gunung Rujak, tempat tinggal Ki Jenggot, anak kedua puluh tiga pasangan
Rara Anteng dan Jaka Seger.
24. Gunung Semeru, tempat tinggal Demang Diningrat anak keduapuluh
empat pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
25. Kawah Bromo, adalah tempat tinggal roh Raden Kusuma anak ke dua
puluh lima/bungsu
26. Puncak Kawah Bromo, adalah tempat tinggal roh Kaki Menggok dan Nini
Menggok anak kembar kelima pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger Di
puncak kawah Bromo inilah masyarakat Tengger melabuh sesaji dank
urban sebagai persembahan pada hari upacara Kasada
Masyarakat Tengger percaya bahwa gunung-gunung yang ada di sekitarnya
dan tempat-tempat yang dianggap suci lainnya adalah tempat keramat yang harus
dihormati. Penghormatan itu dilakukan oleh masyarakat dengan bentuk berdoa
dan memberikan sesaji. Selain gunung dan tempat-tempat suci tersebut,
masyarakat Tengger memberikan sesaji di tempat-tempat yang dianggap sacral
dan diyakini ada roh halus yang menghuni tersebut. Roh itu adalah penjaga desa,

69

melindungi desa dan senantiasa membantu masyarakat desa untuk menjalankan


kehidupan sehari-harinya. Pada perayaan hari-hari besar, semua warga desa
memberikan persembahan berupa sesaji di tempat-tempat keramat di desanya.
Tempat itu diantaranya: tendon air, kamar mandi, pintu rumah, perempatan jalan,
punden desa, dan tempat membakar sesaji kematian.
Masyarakat Tengger sangat menjaga keselarasan antara kehidupan religi
dengan kehidupan keseharian mereka. Melalui dukun kehidupan religi tersalurkan
dan melalui konsep hidup tradisi leluhur mereka melakukan kegiatan
kesehariannya. Keselarasan itu mereka jaga agar terhindar dari mara bahaya dan
bencana. Keselarasan itu mereka jaga dengan mengadakan selamatan pada harihari tertentu. Pada upacara Kasada tepatnya pada 27 Agustus 2007 tengah malam
sekitar pukul 01.00 WIB di saat warga Tengger melakukan upacara di Ponten/Pura
Agung, kawah gunung Bromo mengeluarkan bau belirang yang mengarah ke
Ponten. Bau belirang tersebut sangat menyengat hingga beberapa orang lemas
karena menghirupnya. Beberapa hari setelah upacara Kasada itu selesai, seorang
dukun Tengger sakit dan sembuh menjelang hari raya Karo. Rupanya masyarakat
Tengger menghubungkan keluarnya belirang dan sakit sang dukun dengan waktu
upacara Kasada yang menurut mereka kurang tepat karena bulan belum benarbenar bundar (kurang sehari purnamanya).
Dukun dalam masyarakat Tengger adalah seorang pemuka agama yang
sekaligus juga sebagai kepala adapt yang dipilih oleh masyarakat. Tugas dan
wewenang seorang dukun adalah memimpin semadi, upacara agama, upacara
adat serta sebagai juru penerang agama. Dari doa-doa dan punja mantra yang
dibawakan dalam ritual, terlihat warna Hinduismenya. Untuk upacara adat dan
ritual-ritual penting di desa dipimpin oleh seorang dukun di desa tersebut.
Meskipun sudah memeluk agama Hindu, orang Tengger tidak meninggalkan adat
istiadat warisan nenek moyangnya. Sampai saat ini dukun masih mempertahankan
tradisi keagamaan mereka, yaitu memuja dewa yang menjadi penguasa gunung
Bromo yang merupakan warisan leluhur mereka. Upacara-upacara yang dilakukan
oleh seorang dukun Tengger adalah sebagai berikut.

70

1. Pujan Kepitu ( selamatan yang diadakan pada bulan ke tujuh) yaitu selama
sebulan

dukunmenjalani

prihatin,

mencegah

hawa

napsu

dan

menghilangkan pikiran jahat. Puncak ritualnya disebut pati geni (berada di


kamar gelap semalaman dan tidak makan dan minum), lalu mutih atau
tidak makan makanan bergaram dan ditutup lagi dengan pati geni.
2. Pujan Kawolu (selamatan yang diadakan bulan ketujuh) untuk menjaga
sembilan jalan hawa nafsu agar terhindar dari godaan jahat dan memohon
pada Shang hyang widi Wasa agar senantiasa diberi keselamatan serta
kesejahteraan turun temurun.
3. Slamatan Kasada (selamatan yang diadakan bulan ke 12) atau dikenal hari
raya atau perayaan kasada yang dilaksanakan di segara wedhi/pasir yang
terletak di kaki gunung bromo. Dalam perayaan itu orang tengger
mengirim kurban berupa hasil pertanian ke kawah gunung bromo. Semua
dukun hadir dan seorang dari mereka membacakan kisah Raden Kusumo
tokoh legendaries orang tengger yang mewariskan korban kasada.
Dukun Tengger adalah pewaris budaya dan tradisi nenek moyang. Dukun
Tengger harus mengetahui alat-alat yang digunakan untuk kegiatan ritual dan doadoa (japa mantra) yang harus dilakukan. Pengetahuan dan ketrampilan melakukan
ritual diperoleh dari dukun-dukun terdahulu. Dukun Tengger saat ini masih
memilik hubungan keturunan dari dukun-dukun sebelumnya, tetapi walaupun
masih memiliki hubungan persaudaraan, dukun tetap dianggkat melalui ujian yang
disaksikan oleh seluruh masyarakat Tengger (dalam upacara Kasada) dan disetujui
oleh masyarakat. Jika masyarakat telah menyetujuinya atau merestuinya, maka
dukun akan diangkat oleh pemerintah daerah untuk pengesahannya yang
disaksikan oleh seluruh masyarakat Tengger bersamaan dengan upacara Kasada.
Sutarto (2001:32) menyebut dukun Tengger disamping menjadi pewaris aktif
sejarah asal-usul dan tradisi Tengger, dukun Tengger juga pewaris aktif mantera
Tengger. Para dukun melakukan mantera Tengger sebagai aset suci yang berharga.
Dalam kehidupan masyarakat Tengger, dukun adalah penghubung antara
masyarakat dengan roh-roh nenek moyangnya. Melalui japa mantera yang

71

dibacakan oleh dukun, maka apa yang diinginkan dan diharapkan masyarakat
akan tersampaikan, baik untuk memperoleh sesuatu atau memohon perlindungan.
Masyarakat sangat menghormati dukun, dan apa yang diwejangkan oleh dukun
akan dipatuhinya oleh masyarakat. Dukun bukan hanya sebagai pemimpin ritual
dan adat, tetapi dukun juga sebagai panutan kehidupan sehari-hari masyarakat
Tengger.
Masyarakat Tengger percaya bahwa di setiap desa ada roh halus yang
menjaga desa atau kang Mbau Rekso. Tempat tesebut bernama Pdhayangan atau
dhayang. Pada upacara-upacara yang diselenggarakan masyarakat Tengger, di
pdhayangan dikirim sesaji dalam takir kecil dengan berbagai macam makanan.
Upacara-upacara dalam masyarakat Tengger ada sebelas (Sutarto, tt.15-18;
2001:33-38) yaitu;
1. Upacara Kasada, adalah upacara besar masyarakat Tengger selain Karo.
Upacara Kasada atau disebut Yadnya Kasada adalah hari raya kurban
masyarakat Tengger yang diselenggarakan pada tanggal 14,15 dan 16 saat
bulan purnama. Kurban dilaksanakan di gunung Bromo dengan melabuh
sesaji. Tujuan upacara ini adalah untuk melaksanakan amanat Raden
Kusuma yang diucapkan masa lalu yang bebunyi: Dulurku sing isih urip
ono alam dhonyo, ngalam padang, mbesok aku saben wulan Kasada
kirimono barang samubarang sing ana rupa tuwuh, rupa sandhang
pangan, sakanane sandhang pangan sing riko pangan ono alam
donyo,ewruh rasane, apa sing rika suwun mesti keturutan kekarepane
rika, ya keturunan penjaluke rika ya mesti kinabulan. (Saudara-saudaraku
yang masih hidup di dunia, di alam terang, kelak setiap bulan Kasada,
kirimkan padaku hasil pertanianmudan makanan yang kalian makan di
dunia, agar aku dapat merasakannya. Keinginanmu dan permintaanmu
pasti kukabulkan).
2. Upacara Karo atau pujan karo, adalah hari raya masyarakat Tengger yang
jatuh pada bulan ke dua (bulan Karo). Upacara ini mirip dengan lebaran
yaitu saling berkunjung ke rumah tetangga dan sanak keluarga sebagai
ucapan syukur setelah satu tahun menjalankan kehidupan.

72

3. Upacara Unan-Unan, adalah upacara yang dilakukan satu windhu sekali (5


tahun dalam masyarakat Tengger). Tujuan upacara ini adalah untuk
membersihkan desa dari gangguan makhuk halus dan menyucikan arwah
leluhur yang belum sempurna agar dapat kembali ke Nirwana.
4. Upacara Entas-Entas, adalah upacara untuk mensucikan roh orang yang
telah meninggal dunia. Dalam masyarakat Jawa adalah 1000 harinya orang
meninggal. Biaya untuk upacara Entas-Entas sangat besar karena keluarga
harus menyembelih kerbau untuk dimakan dan sebagian dikurbankan.
Tujuan upacara Entas-Entas disamping untuk mensucikan roh orang yang
sudah meninggal, juga agar roh tersebut dapat masuk surga.
5. Upacara Pujan Mubeng, adalah upacara yang dilakukan seluruh warga
desa pada bulan kesembilan dengan mengelilingi desa dari empat penjuru
desa diawali dari sebelah timur. Mereka berkeliling sambil memukul
Ketipung. Tujuan upacara ini adalah membersihkan desa dari gangguan
dan bencana. Upacara diakhiri makan bersama di rumah dukun. Makanan
adalah sumbangan dari warga desa.
6. Upacara Kelahiran, adalah upacara yang merupakan rangkaian dari enam
upacara terkait, yaitu selamatan nyayut (bayi berada dikandungan 7 bulan),
upacara sekul brokohan (meletakkan Ari-ari dalam tempurung dan
diletakkan di sanggar), upacara cupak pusar (hari ke 7-8 ketika pusar akan
lepas), upacara jenang abang jenang putih (member nama bayi), upacara
kekerik (40 hari kelahiran bayi), dan diakhiri upacara among-among (44
hari kelahiran bayi) dengan melindungi bayi dengan mantra agar terbebas
dari gangguan roh jahat.
7. Upacara Tugel Kuncung atau Tugel Gombak, adalah upacara ketika anak
berumur 4 tahun yaitu dengan memotong rambut bagian depan atas.
Tujuannya agar anak senantiasa mendapat keselamatan.
8. Upacara Perkawinan, waktu pelaksanaan upacara perkawinan dalam
masyarakat Tengger ditentukan oleh dukun, yaitu harus sesuai dengan
saptawara dan pancawara kedua pengantin.

73

9. Upacara Kematian, upacara kematian dilaksanakan secara gotong royong


oleh masyarakat Tengger. Setelah mayat dimandikan dan diletakkan dib
alai-balai rumah, dukun mensucikan dengan percikan air suci dari prasen.
Sebelum kubur digali, dukun menyiram air dalam bumbung yang sudah
diberi mantra. Dalam menanam mayat, posisi kepala membujur ke selatan
kea rah gunung Bromo. Masyarakat percaya bahwa arah gunung Bromo
adalah arah kesucian.
10. Upacara Barikan, adalah upacara yang dilaksanakan warga desa apabila
telah terjadi bencana (5-7 tahun setelah bencana terjadi) yang
menyebabkan kehidupan warga desa terganggu. Upacara ini juga dapat
dilaksanakan sebagai ucapan syukur pada Hyang Maha Agung.
11. Upacara Liwet, adalah upacara untuk kesejahteraan keluarga. Upacara ini
dilaksanakan di rumah penduduk dengan mengundang dukun. Dukun
memberi mantra seluruh bagian rumah agar terhindar dari mara bahaya
dan dilancarkan rejekinya.
G. Kesenian Masyarakat Tengger
Kesenian asli masyarakat Tengger adalah Tari Sodoran dan Tari Ujung.
Kedua jenis tari tesebut ditampilkan satu tahun sekali yaitu pada waktu pembuatan
jimat klontong yang bertepatan dengan hari raya Karo. Tari Sodoran merupakan
jenis tari komunal yang ditarikan oleh empat pasang penari putra yang saling
berhadapan dengan iringan gending pentaraman. Empat orang penari dari sisi
kanan dan empat orang penari lagi dari sisi kiri bergerak mulai dari jarak
berjauhan hingga bertemu di satu garis tengah kemudian berbalik dan kembali
berjalan berjahuhan. Gerak itu dilakukan dari jauh mendekat, menjauh, mendekat
hingga tiga kali. Gerak penari sangat sederhana yaitu berjalan mengikuti gending
dengan tangan kiri di pinggang dan tangan kanan di atas kepala posisi jari
telunjuk menunjuk ke atas digerakkan mengikuti irama gending. Telunjuk jari
kanan mengarah ke atas adalah symbol terjadinya manusia pertama dari pusuran
atau pradana yang bermakna sebab pertama alam semesta yang sifatnya kekal

74

abadi. Selanjutnya penari diberi watang dari bambu dan kembali bergerak
menjauh mendekat hingga tiga kali.
Tari Ujung pada hari raya Karo ditampilkan di desa Wonokitri dan Sadheng.
Sebelum tari Ujung dilaksanakan, masyarakat terlebih dahulu melaksanakan
dandosan yaitu berupa sesajian untuk sedekah bumi. Tari Ujung atau sering
dikenal juga dengan tari Tiban. Tari ini ditarikan pada hari raya Karo setelah acara
nyadran. Tari Ujung dilakukan oleh penari putra berpasangan dengan telanjang
dada dan ditangannya memegang rotan berukuran satu meter yang digunakan
untuk memukul lawannya. Kedua penari adu kekuatan dengan saling menyabet
tubuh bagian atas. Tari Ujung melambangkan persahabatan dengan bersatu
merasakan suka duka bersama.
Kesenian lain yang disenangi masyarakat Tengger yang sengaja didatangkan
dari daerah lain untuk kesenian tradisional adalah: Ludruk, Jaranan, Tayuban, dan
Ketoprak, sedangkan kesenian modern adalah band dan musik dangdut.
H. Perayaan Kasada dan Perayaan Karo
1. Perayaan Kasada
Kasada adalah hari raya kurban bagi masyarakat Tengger yang dikenal
dengan Kasodoan atau Yadnya Kasada. Perayaan Kasada diselenggarakan pada
tanggal 14,15 dan 16 saat bulan purnama bulan Kasada (bulan kedua belas).
Kurban dalam Kasada dilaksanakan dengan melabuh sesaji di kawah gunung
Bromo. Kegiatan kurban dilaksanakan sesuai amanat dari Raden Kusuma putra
bungsu dari Rara Anteng dan Jaka Seger yang menjadi tumbal untuk melindungi
saudara-saudaranya. Raden Kusuma berpesan agar pada bulan Kasada masyarakat
Tengger berkenan mengirimkan sesaji berupa sandang maupun pangan dengan
melabuhnya ke kawah gunung Bromo. Dalam amanat itu Raden Kusuma juga
mengatakan akan mengabulkan keinginan siapa saja yang melabuh sesaji.
Perayaan Kasada pada tahun 2007 diawali dengan kegiatan lomba layanglayang yang diikuti oleh masyarakat Tengger di Desa Cemara Lawang. Kegiatan
berlangsung pada tanggal 25-26 Agustus 2007 pagi hingga sore hari. Peserta
lomba datang dari berbagai desa di wilayah Tengger dan mereka datang dengan

75

berkelompok dan membawa superter. Hal ini menunjukkan bahwa di desa-desa


wilayah Tengger telah memiliki komunitas pecinta layang-layang. Melihat daerah
Tengger yang berbukit dengan keindahan alam gunung Bromo yang mempesona,
maka lomba layang-layang sangat sesuai dilakukan di wilayah Tengger. Pada saat
kegiatan lomba layang-layang dilaksanakan, di tempat itu juga digelar
pertunjukan Band yang didatangkan dari luar daerah Tengger. Kegiatan lomba dan
pagelaran Band disponsori oleh produk rokok Jarum 76 dan bank BNI 46 yang
pada tahun ini telah resmi menjadi mitra pemda untuk membangun infrastruktur
di daerah Tengger.
Pada tanggal 26 Agustus 2007 malam dilaksanakan perayaan Yadnya
Kasada yang dipusatkan di desa Ngadisari. Kegiatan ini dilaksanakan rutin setiap
tahun dan telah menjadi agenda wisata andalan propinsi Jawa Timur. Dalam
perayaan tersebut selalu digelar sendratari Rara Anteng dan Jaka Seger yang
menjadi legenda masyarakat Tengger. Yang membedakan perayaan tahun ini
dengan tahun-tahun sebelumnya adalah penganugerahan kehormatan masyarakat
Tengger yang diantaranya ditujukan kepada kepala BNI46 kabupaten
Probolinggo. Pada perayaan tersebut dukun memasangkan selempang kuning
sebagai symbol kehormatan dengan sebelumnya membacakan mantera dengan
sandingan sesaji. Penghormatan tersebut diterima karena kepedulian

pihak

BNI46 terhadap infrastruktur yang ada di wilayah Tengger.


Bentuk-bentuk infrastruktur yang telah diberikan oleh pihak BNI46
kepada masyarakat Tengger, diantaranya; kridit usaha kecil untuk masyarakat,
perbaikan aset jalan menuju gunung Bromo, pembuatan gapura di sepanjang jalan
menuju gunung Bromo, perbaikan jembatan yang menghubungkan desa Cemara
Lawang dengan Segara Wedhi, memasang lampu penerangan di penghubung jalan
menuju Segara Wedhi, perbaikan tangga ke kawah gunung Bromo dan saat ini
yang sedang dikerjakan adalah membangun batas area bebas gunung Bromo
dengan radius 5 km persegi untuk menjaga kelestarian gunung Bromo.
Kegiatan perayaan Yadnya Kasada diprakarsai oleh Dinas Pariwisata
Propinsi Jawa Timur dengan Pemda setempat dengan tujuan mempromosikan
wisata di daerah Tengger sekaligus melestarikan budaya masyarakat Tengger.

76

Pengkemasan acara pada perayaan tersebut dilakukan oleh pihak pariwisata.


Sedangkan yang hadir dalam kegiatan tersebut selain undangan khusus adalah
para sesepuh desa Tengger dan masyarakat desa Tengger. Puncak acara Yatnya
Kasada dilaksanakan di Pura Agung yang berjarak 5 km dari desa Ngadisari.
Upacara dilakukan pada tengah malam pergantian tanggal 26 27 Agustus 2007.
Setelah perayaan Kasada di pendapa Ngadisari selesai, masyarakat
kembali ke desa masing-masing. Masyarakat di desa Tengger mempersiapkan
sesaji dalam ongkek masing-masing untuk dibawa ke Poten (Pura Agung) yang
kemudian akan dilabuh di kawah gunung Bromo. Ongkek terbuat dari kayu atau
bambu yang pada bagian sampingnya dipanjangkan untuk dapat dipikul. Di atas
ongkek disusun seperti tumpeng besar berbagai hasil pertanian dan peternakan
masyarakat Tengger, diantaranya: bawang, kubis, wortel, tomat, kentang, kacang
panjang, padi, ayam, itik, burung, dsb. Susunan hasil pertanian diatas ongkek juga
dihiasi berbagai bentuk janur dan bunga agar terlihat indah.
Ongkek diarak oleh warga ke Poten (Pura Agung) dengan diterangi oleh
terang obor beberapa warga yang mengikutinya. Sebelum dilabuh ke kawah
gunung Bromo, semua ongkek dari berbagai desa di Tengger diletakkan di dalam
Poten. Jika semua ongkek telah berkumpul, maka dukun-dukun dipimpin oleh
salah satu dukun yang ditunjuk sebagai coordinator dan biasanya yang usianya
paling tua memimpin doa. Doa diikuti oleh seluruh warga Tengger dan pada saat
itu sang dukun membacakan sejarah Tengger. Adapun sejarah Tengger yang
selalu dibacakan Dukun Tengger pada upacara Kasada yang ditulis oleh Sutarto
(2001: 24-26) adalah sebagai berikut:
Asal Mula Perayaan Kasada dan Nama Tengger
Pada zaman dahulu, di daerah pegunungan yang tidak jauh dari pelabuhan
Gunung Bromo, berdiam seorang putri ayu bernama Rara Anteng, putrid
dari Raja Majapahit dan seorang putra Brahmana bernama Jaka Seger, yang
juga berasal dari Majapahit. Di pegunungan yang sejuk dan indah itu
keduanya menjalin cinta dan kemudian membangun bahtera rumah tangga
yang bahagia. Perkawinan mereka diresmikan oleh Resi Dadap Putih,
seorang petapa suci di pegunungan ini. Sejak itu daerah pegunungan yang
tentram dan damai tersebut dinamakan Tengger, mengambil dari perpaduan
dua suku terakhir Rara Anteng (Teng) dan Jaka Seger (Ger).

77

Kemudian Jaka Seger diangkat menjadi Raja bergelar Purbawasesa


Mangkurat Ing Tengger. Pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger bersedih dan
gelisah karena yang Maha Kuasa tidak mengaruniai mereka keturunan yang
akan melanjutkan tahta kerajaan. Keduanya lalu mengambil keputusan untuk
bertapa di Watu Kuta, memohon kepada Sang Hyang Widi Wasa supaya
dikaruniai keturunan. Di dalam pertapaannya mereka menerima suara gaib
yang berbunyi bahwa mereka akan diberi anak sebanyak 25 orang, namun
salah satu dari anak tersebut akan diambil kembali oleh suara gaib tersebut.
Beberapa tahun kemudian Rara Anteng melahirkan anak pertama, yang
diberi nama Tumenggung Klewung. Setelah itu, dari tahun ke tahun, mereka
dikaruniai anak sampai akhirnya berjumlah 25 orang. Setelah putra
bungsunya Raden Kusuma berusia lebih kurang 10 tahun, mereka ingat
pesan suara gaib yang diterima pada waktu bertapa dahulu. Dikejar rasa
takut dan bersalah, mereka memindahkan anak-anak mereka ke gunung
Pananakan. Menjelang bulan purnama tanggal 14 bulan Kasada ketika anakanak Rara Anteng dan Jaka Seger sedang bermain-main, tiba-yiba pelabuhan
Gunung Bromo meletus dan menjilatlah api kea rah anak-anak tersebut.
Setelah api hilang dari pandangan mata, keduapuluh empat anak Rara
Anteng dan Jaka Seger bingung dan bersedih karena saudaranya yang
bungsu, Raden Kusuma yang sangat mereka cintai tidak ada diantara
mereka.
Di tengah kebingungan, muncul suara dari Pelabuhan Gunung Bromo. Suara
tersebut ternyata suara Raden Kusuma yang ditujukan kepada saudarasaudaranya. Bunyi pesan tersebut sebagai berikut Wahai saudarasaudaraku, jangan cari aku. Aku telah mewakili saudara-saudaraku
menghadap Sang Hyang Widi Wasa. Permintaanku kepada Anda sekalian,
hiduplah yang rukun, tenteram dan bahagia. Di samping itu, setahun sekali
setiap bulan purnama tanggal 14, bulan Kasada, anda sekalian harap
menyisihkan sebagian hasil pertanian untuk dipersembahkan ke pelabuhan
Gunung Bromo.
Sejak pesan gaib tersebut, masyarakat Tengger yang diwakili oleh Dukun
Tengger mempersembahkan sebagian hasil pertaniannya ke Pelabuhan
Gunung Bromo, setiap tahun pada bulan purnama setiap tanggal 14 bulan
Kasada. Demikian sejarah singkat Kasada, yaitu Hari Raya Kurban orang
Tengger.
Setelah dukun membacakan doa dan sejarah Tengger, ongkek diarak ke
kawah gunung Bromo untuk dilabuh. Pada saat sesaji dilabuh sebagai kurban di
kawah gunung Bromo, ada beberapa warga Tengger yang sengaja berada di dekat
kawah untuk menangkap sesaji tersebut yang disebut marit. Marit adalah kegiatan
warga Tengger mengumpulkan kembali hasil bumi dan ternak yang dijadikan
kurban untuk digunakan kembali bagi mereka yang membutuhkannya. Kegiatan

78

Marit tidak dilarang dan itu menjadi tradisi hingga saat ini bagi orang-orang yang
memerlukannya.
Upacara kurban selesai dilaksanakan, warga kembali ke desa masingmasing demikian juga dengan sang dukun. Di desa mereka berkumpul di rumah
sang Dukun untuk melakukan selamatan Pujan Kasada yang maknanya mereka
bersyukur telah melaksanakan kurban di kawah gunung Bromo sebagai wujud
pengabdiannya pada pesan nenek moyangnya. Selamatan Pujan Kasada diakhiri
dengan makan tumpeng bersama para warga desa.
2. Perayaan Karo
Salah satu bentuk adat istiadat Probolinggo wilayah Tengger yakni upacara
adat Karo atau disebut juga hari raya Karo, yang merupakan hari raya pada bulan
Karo. Menurut perhitungan tahun Saka di Indonesia, terdapat 12 bulan yakni
bulan-bulan Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kelima, Kanem, Kepitu, Kewolu,
Kesangan, Kasepuluh, Destha, Kesadha. Masing-masing keluarga melaksanakan
upacara adat Karo di rumahnya dan Kepala Adat (Dukun) mengunjungi tiap-tiap
rumah untuk memberikan japa mantra. Namun demikian, upacara adat Karo
dilaksanakan di salah satu desa terpilih yang mendapat giliran pada tahun itu
sekaligus untuk mengadakan acara ritual Sodoran. Rangkaian kegiatan upacara
adat Karo meliputi: ngumpul, mepek, tekane ping pitu, prepegan, tumpengan,
sodoran, sesandhing, nyadran, sedekah pangonan dan mulihe ping pitu.
Ngumpul, dimaksudkan sebelum menyambut Hari Raya Karo seluruh
umat Tengger berkumpul untuk menentukan hari H pelaksanaan upacara adat
Karo, agar dapat dirayakan secara bersamaan. Mepek, artinya para umat
mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan pada perayaan
tersebut. Tekane ping pitu, bermaksud untuk menyambut datangnya para Pitara
atau roh leluhurnya. Prepegan, artinya para ibu rumah tangga pada saat itu sibuk
mempersiapkan diri dalam membuat makanan, di antaranya digunakan untuk
sesandhing (sesajian) Tumpengan, setiap keluarga mengirimkan tumpeng ke Balai
Desa atau ke tempat lain yang ditentukan untuk dimakan bersama setelah
dimantrai. Di samping itu, istri dukun dengan dibantu oleh beberapa orang juga

79

membuat tumpengan yang diberi nama tumpengan Bandungan. Sodoran, adalah


sebuah rangkaian acara ritual yang di dalamnya ada sebuah bentuk tari, memakai
sodor bersifat sangat sakral. Sesandhing, suatu upacara khusus yang dilakukan
oleh setiap keluarga yang menggambarkan tentang upacara perkawinan. Nyadran,
adalah upacara nyekar atau ziarah ke makam leluhurnya. Sedekah pangonan,
merupakan suatu upacara yang mempunyai makna agar roh-roh yang belum
manunggal dengan Sang Hyang Widhi tidak mengganggu manusia yang masih
hidup. Mulihe ping pitu, mengandung makna kembalinya roh manusia ke hadapan
Sang Maha Pencipta melalui tataran sebanyak tujuh kali sebelum menyatu dengan
Hyang Widhi.
Pada tahun 2007, hari raya Karo mulai diperingati pada tgl 27 Oktober
2007 yaitu dengan dimulainya upacara dibalai desa/ rumah dukun dengan
menggelar tari Sodoran atau tari Ujung. dan diakhiri sekitar satu minggu
kemudian berdasarkan informasi dari dukun
Pada hari raya Karo yang dilaksanakan selama 12 hari, setiap keluarga
merayakannya diawali upacara di rumahnya yaitu membuat sesajian yang disebut
sesanding atau sesanti yang terdiri dari 22 tamping/sesajen (masing-masing berisi
lauk 22 tamping, kue 22 tamping, dan bunga 22 tamping), dua tumpeng lengkap
dengan lauk dan panggang ayam dan dua lirang pisang ayu dengan bunga dan
rokok diatasnya. Tujuan keluarga membuat sesanding adalah untuk memohon
keselamatan dan kesejahteraan bagi anggota keluarganya serta murah sandang
pangan (diberi kemudahan dalam bekerja). Sebelum sesanding diletakkan
ditempat-tempat yang dikeramatkan, dukun desa memberikan doa dengan bergilir
dari satu rumah ke rumah lainnya. Pembuatan sesanding pada masyarakat Tengger
merupakan kebutuhan wajib yang harus dilakukan pada hari raya Karo. Mereka
percaya jika dalam keluarga tidak membuat sesanding, maka selama satu tahun ke
depan hidup mereka banyak mengalami cobaan, diantaranya: ada anggota
keluarga yang sakit, palawija di ladang hasilnya tidak maksimal bahkan ada juga
yang gagal, dan sebagainya.
Upacara Karo diakhiri dengan kegiatan nyadran atau selamatan di makam
leluhur. Kegiatan nyadran dilakukan bersama oleh satu desa dipimpin oleh dukun,

80

sehingga waktunyapun telah ditentukan oleh dukun. Pada upacara nyadran, para
anggota keluarga membawa sesajen makanan dan miniman yang dipersembahkan
untuk roh leluhur. Roh leluhur juga dihibur dengan Kuda Lecak yang dihias dan
menari-nari diiringi gamelan. Upacara di tengah makam sangat meriah dan pada
kesempatan itu pula dukun memberikan wejangan kepada warga desa dengan
mencontohkan pada cerita Ajisaka tentang konsep makna kehidupan. Upacara
diakhiri dengan makan minum di makam.
Untuk persiapan hari raya Karo, masyarakat Tengger mempersiapkan dana
untuk kebutuhan upacara. Dana itu mereka kumpulkan atau mereka tabung selama
satu tahun. Mereka percaya bahwa sesaji dan semua kegiatan dalam upacara Karo
harus dilakukan untuk menjaga keselarasan dalam kehidupan.
Kegiatan dalam hari raya Karo disamping kegiatan ritual dengan berdoa
dan menyiapkan sesaji yang merupakan warisan leluhur, juga dilanjutkan dengan
saling berkunjung ke rumah sanak keluarga, kerabat dan tetangga untuk saling
mengucapkan selamat hari raya dan saling memaafkan.
Hari raya Karo konon diperingati karena kesepakatan Nabi Muhammad
dengan Ajisaka untuk mengenang kedua utusan mereka yang setia yang gugur
karena kesetiaannya mengemban tugas. Karo dapat diartikan nyameti wong
loro (mengenang dua orang).
I. Sistem Kekerabatan dan Pertalian Keluarga
Keluarga batih dalam masyarakat Tengger adalah keluarga yang tinggal
dalam satu rumah yang terdiri dari suami, isteri, dan anak-anaknya yang belum
menikah. Tetapi dalam kenyataannya tidak demikian, karena dalam satu rumah
ada yang dihuni oleh lebih dari satu keluarga batih, atau anggota kerabat yang
lain. Dalam satu keluarga batih yang memiliki anak lebih dari dua dan mereka ada
yang telah berkeluarga, maka rumah orang tuanya atau saudara tertua adalah
rumah induk yang berperan sebagai pengikat aktivitas-aktivitas yang dilakukan
oleh keluarga.
Sistem kekerabatan dalam masyarakat Tengger seperti halnya masyarakat
Jawa kebanyakan yaitu dalam satu rumah tangga bisa tinggal satu atau dua

81

keluarga. Jika orang tua masih hidup maka anak yang disayangi masih tetap
tinggal satu rumah bersama-sama. Jumlah kepala keluarga yang tinggal di rumah
maksimal dua kepala keluarga. Jumlah tiga kepala keluarga tidak diperkenankan
dalam masyarakat Tengger karena mereka percayaan itu tidak akan baik, karena
satu dari mereka akan tidak kuat dan dampaknya bisa sakit-sakitan, menimbulkan
pertengkaran bahkan dapat meninggal dunia.
Dalam kehidupan rumah tangga, kelahiran seorang anak merupakan nilai
tersendiri. Disamping menjadi orang tua yang akan disebut Pak dan Mbok, orang
tua akan secara otomatis berubah nama menjadi nama anak tertuanya, misalkan
anak pertama bernama Rasimo, maka bapak akan dipanggil Pak Rasimo
sedangkan ibu akan dipanggil Mbok Rasimo. Nama asli dari orang tuanya secara
otomatis berganti nama anak tertuanya. Hal itu tidak berlaku bagi nama anak
kedua dan seterusnya.
Panggilan akrap untuk seorang anak dalam masyarakat Tengger adalah
yoge. Sedangkan untuk anak angkat adalah yoge angkat. Dalam kehidupan
sosial masyarakat dan kehidupan sehari-hari, hak dan kewajiban anak kandung
dan anak angkat adalah sama.
Sistem kekerabatan masyarakat Tengger memperlakukan saudara ayah dan
saudara ibu sama. Raka Dherana (1979:24) menyebutnya sebagai system
bilateral, yaitu system kekerabatan dari pihak ibu dan pihak ayah mendapat
perhatian yang sama dalam pandangan seorang anak. Selanjutnya panggilan untuk
kakak laki-laki ibu dan ayah dipanggil pakwo, sedangkan untuk adiknya disebut
pamak. Panggilan dari orang tua dari ibu atau ayah atau kakek atau nenek adalah
pakde untuk laki-laki dan bokde untuk perempuan.
J. Pendidikan
Pada zaman penjajahan Belanda, daerah Tengger masuk dalam kategori
kantog hitam atau daerah yang perkembangan pengetahuannya masih terbelakang.
Penyebab keterbelakangan tersebut menurut Suyitno (2001: 18) ada tiga, yaitu
karena: 1) tempat tinggal mereka kebanyakan di daerah terpencil, menyebar di
bukit-bukit yang jaraknya berjauhan; 2) tidak lancarnya komunikasi dan

82

transpotasi, sehingga segala informasi khususnya yang bersifat pembaharuan sulit


dijangkau; 3) sikap masyarakat yang masih tertutup, khususnya terhadap segala
bentuk pembaharuan.
Kesadaran masyarakat Tengger tentang pentingnya pendidikan dan
pengetahuan mulai dirasakan pada akhir abad ke-20 yaitu dengan masuknya
wisatawan-wisatawan ke daerah Tengger. Para wisatawan secara tidak langsung
menanamkan pengetahuan pada masyarakat Tengger yang berdampak pada
peningkatan pengetahuan masyarakat akan sesuatu hal. Dari pengetahuan yang
diterima secara sadar atau tidak memberikan motivasi masyarakat untuk mengenal
lebih jauh akan peranan pendidikan bagi seseorang.
Pada saat ini pendidikan baik formal maupun nonformal sudah
membudaya dalam masyarakat Tenger. Di daerah Tengger sudah ada sekolah
Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah Menengah Tingkat Atas. Bagi masyarakat
Tengger yang telah menamatkan SMA ada pula yang melanjutkan ke perguruan
tinggi di luar kota.

83

84

Anda mungkin juga menyukai