55
Tengger terletak di ujung timur pulau Jawa adalah sebuah dataran tinggi
yang bergunung-gunung dan bertebing curam. Ketinggian Tengger antara 10003675 m. Suhu udara di daerah Tengger pada siang hari berkisar hingga 18-20C
dan pada malam hari berkisar sampai 3-4C. Letak daerah Tengger kira-kira 50
km sebelah timur kota Malang dan 40 km dari sebelah utara dari kota Pasuruan
dan Probolinggo.
Secara administratif orang Tengger bertempat tinggal di empat kabupaten,
yaitu: 1) kabupaten Probolinggo kecamatan Sumber dan kecamatan Sukapura
yang terdiri dari: desa Jetak, desa Wanatara, desa Ngadisari. 2) Kabupaten
Lumajang yaitu kecamatan Senduro desa Argosari. 3) Kabupaten Malang yaitu
kecamatan Poncokusumo desa Ngadas. 4) Kabupaten Pasuruan yaitu kecamatan
Tosari terdiri dari; desa Tosari, desa Wonokitri, desa Ngadiwono, desa Podokoyo,
dan desa Mororejo.
Masyarakat Tengger di empat wilayah tersebut mayoritas penduduknya
beragama Hindu dan masih memegang teguh adat istiadat Tengger. Hal itu dapat
dilihat pada saat upacara Kasada dengan melempar kurban ke kawah gunung
Bromo sebagai simbol memuliakan roh nenek moyang dan hari Raya Karo
dengan berbagai upacara dan sesaji yang bertujuan untuk mengenang roh nenek
moyang.
Gunung Bromo adalah gunung yang dianggap suci masyarakat Tengger
berada di atas lautan pasir dengan ketinggian 2392 m. Kawah gunung Bromo
masih aktif dan mengeluarkan asap ke angkasa. Pada upacara Kasada Agustus
2007, gunung Bromo mengeluarkan belirang yang baunya menyengat hingga desa
Cemara Lawang dan membuat sesak napas bagi yang menghirupnya. Gunung
Bromo adalah gunung suci bagi masyarakat Tengger karena kedalam kawah yang
menganga dan selalu mengepul itulah masyarakat menjatuhkan sesaji atau korban
pada hari Kasada. Kawah yang mengepul disebut pelabuhan karena untuk
melabuh hasil bumi dan ternak sebagai pelaksanaan pesan leluhur.
Selatan gunung Bromo ada gunung Semeru atau Mahameru dengan puncak
ketinggian 3676 m yang juga dianggap suci dalam mitologi Hindu Jawa. Di dekat
gunung Bromo juga ada gunung kecil yang dikeramatkan yaitu gunung
56
Widodaren yang dipercaya sebagai tempat tinggal salah satu dari dua puluh lima
putra Rara Anteng dan Djaka Seger yang bernama Puspa Ki Gontong. Di lereng
gunung tersebut terdapat goa Widodaren yang menitikkan air suci yang dipercaya
dapat menyembuhkan segala penyakit.
Masyarakat Tengger atau disebut juga dengan orang Tengger sebagai
komunitas menyebut dirinya orang Jawa Gunung karena bertempat tinggal di
pegunungan Tengger yang memiliki budaya luhur. Mereka menyebut orang di
luar sana atau orang yang tinggal di dataran rendah dengan sebutan wong ngare.
Di mata wong gunung, wong ngare itu penuh kesenjangan, banyak yang kaya
tetapi banyak pula yang miskin, tidak memiliki tanah. Wong ngare suka
menyendiri dan membedakan status serta sering menilai orang dari pangkatnya.
Sebaliknya wong gunung menganggap semua orang sama dan satu keturunan
sehingga tidak mengenal istilah kongkon atau menyuruh orang lain.
Nilai budaya orang Tengger pada umumnya
menyinarkan kejujuran,
57
Lokasi Penelitian:
Masyarakat Tengger
58
59
Pada saat ini batas siapakah yang dikelompokkan sebagai orang Tengger
sudah mulai bergeser. Hal ini dikarenakan sudah banyak pula masyarakat Tengger
yang memeluk agama Islam dan juga mulai tidak diakuinya desa-desa yang
dahulu dikenal sebagai desa Tengger karena permasaalah agama tersebut.
Problematis itu juga didukung oleh tulisan-tulisan, brosul dan penelitian tentang
Tengger yang hanya memasukkan ke dalam desa Tengger adalah masyarakat
Tengger yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan memegang teguh
adapt istiadat Tengger. Desa tersebut adalah desa Jetak, desa Wanatara, desa
Ngadisari kecamatan Sumber dan kecamatan Sukapura kabupaten Probolinggo,
desa Argosari kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang, desa.Ngadas kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang, desa Tosari, desa Wonokitri, desa Ngadiwono,
desa Podokoyo, dan desa Mororejo kecamatan Tosari Kabupaten Pasuruan
(Sutarto, 2001:13).
C. Mata Pencaharian
Mata pencaharian masyarakat Tengger sebagian besar adalah sebagai petani
tradisional. Mereka dikenal sebagai petani yang jujur, sederhana dan ramah.
Mereka betah berada di ladang dari pagi hingga petang, karena suhu udara yang
sejuk membuat waktu tidak terasa berlalunya. Tempat tinggal masyarakat Tengger
berkelompok-kelompok di bukit-bukit tidak jauh dari lahan pertanian mereka.
Dalam mengolah ladang, petani Tengger tidak mengenal peralatan canggih
dan tidak mengenal system buruh tani. Peralatan yang digunakan cukup
sederhana yaitu
sendiri atau apabila sedang musim tanan atau panen dan membutuhkan tenaga
yang banyak, mereka lakukan gotong royong dengan saudara ataupun tetangga
dan cara demikian itu dikenal dengan nama sayan.
Hasil pertanian masyarakat Tengger adalah sayur mayur, diantaranya: kubis,
kentang, wortel, tomat, bako, bawang, dan bawang prei. Disamping itu mereka
menanam jagung karena dahulu jagung adalah makanan pokok mereka dan hingga
saat ini tanaman jagung sangat sesuai untuk jenis tanah dengan lokasi yang
berbukit. Pada umumnya hasil pertanian tidak mereka jual sendiri, tetapi mereka
60
letakkan di pinggir jalan dan para pengepul yang datang menghampiri mereka
untuk membelinya.
Gunung Bromo dikenal dengan keindahan alamnya. Masyarakat Tengger
adalah masyarakat yang tinggal di sekitar lereng-lereng gunung Bromo.
Keindahan alam gunung Bromo menjadikan lokasi tersebut sebagai salah satu
tujuan wisata baik wisatawan dalam maupun luar negeri. Pergeseran
matapencaharian dari bertani menjadi pendukung jasa wisata merupakan
pemandangan yang umum dijumpai di daerah Tengger. Misalkan menjadi
pemandu wisata, menyewakan mobil Jip untuk menuju lokasi lautan pasir/ Pura
Agung/gunung Penanjakan, menyewakan kuda untuk menuju puncak Bromo,
menjadi pedagang berbagai souvenir Bromo, dan menyewakan rumahnya pada
upacara Kasada.
Selain bertani dan menjadi tenaga jasa wisata, sebagian masyarakat Tengger
juga bekerja sebagai pedagang, pegawai negeri, jasa warung, dan ada pula yang
merantau ke kota lain bahkan di luar Jawa untuk bekerja. Tetapi walaupun mereka
bekerja dirantau, pada saat hari raya Kasada ataupun hari raya Karo mereka tetap
datang untuk merayakannya bersama keluarga dan masyarakat desanya.
D. Adat Istiadat
Hubungan timbal balik antara kehidupan manusia di dunia dengan
kehidupan seseorang di alam lelangit perlu ada keseimbangan. Keseimbangan itu
diwujudkan masyarakat Tengger melalui upacara-upacara atau selamatanaelamatan sejak manusia lahir hingga kematian menjemput. Adapun upacaraupacara tersebut adalah sebagai berikut.
1. Kelahiran
Masyarakat Tengger percaya bahwa perubahan kehidupan yang terjadi
pada
manusia
adalah
perkembangan
hidup
yang
akan
mempengaruhi
61
selamatan yang dilakukan manusia mulai berada di perut ibu hingga, saat
kehidupannya, saat kematiannya dan saat di alam baka.
Upacara yang dilakukan pada bayi yang berusia 7 bulan dalam kandungan
ibu disebut upacara sayut. Upacara sayut atau garbhadana adalah upacara tujuh
bulanan yang ditujukan pada ibu dan bayi dengan tujuan keselamatan bagi ibu
yang melahirkan dan anak yang akan dilahirkan. Disamping itu juga sebagai
symbol dimulainya pendidikan pada anak.
Upacara cuplak puser adalah upacara yang dilakukan setelah bayi berumur
5-7 hari atau setelah pusar sang bayi lepas. Tujuan dari upacara ini adalah agar si
anak dapat selalu mendapatkan keselamatan. Selanjutnya ketika anak berusia 44
hari diadakan upacara kekerikan atau pengerikan kuku. Tujuan dari upacara ini
adalah agar anak kelak pandai dan senantiasa diberi keselamatan sampai
menginjak remaja.
Ketika anak laki-laki menginjak usia 12 tahun, diadakan upacara tugel
pucung atau memotong rambut dan menyisakan bagian atas rambut seperti bentuk
pucung. Tujuan upacara ini adalah membuang sengkala atau rintangan/ mala
petaka dan agar anak senantiasa dilindungi dan diberi keselamatan.
2. Perkawinan/ Walagara
Dalam memilih jodoh, masyarakat Tengger sangat demokratis yang artinya
menyerahkan pilihan kepada wanita atau pria yang akan menikah. Tetapi untuk
ijin melangsungkan pernikahan disamping ijin dari kedua orang tua dari pihak
laki-laki maupun perempuan juga diperlukan ijin dari kepala desa untuk
menghindari perkawinan usia dini atau istilah mereka belum mateng.
Peresmian hubungan ikatan perkawinan disamping disyahkan oleh
lembaga perkawinan juga yang terpenting disyahkan oleh masyarakat melalui
hokum adap masyarakat Tengger. Hubungan yang tidak syah antara laki-laki
dengan perempuan dengan tinggal serumah bahkan melahirkan seorang anak
adalah aib besar. Hal itu selain melanggar adat juga melanggar kesucian desa yang
berakibat kutukan bagi seluruh warga desa. Masyarakat Tengger percaya bahwa
roh-roh nenek moyang dan kekuatan gaib ada di sekitar mereka sehingga mereka
62
harus selalu ingat untuk berbuat kebajikan bagi dirinya, keluarga dan
masyarakatnya. Perbuatan yang melanggar norma adat, kepercayaan serta
perbuatan kejahatan akan berdampak kutukan bagi dirinya, keluarga dan
masyarakat.
Ketika seorang pemuda Tengger mulai tertarik pada seorang gadis
Tengger, maka dilakukanlah pendekatan dengan melakukan andonturon yang
artinya pindah tidur. Sebelum sang pemuda berkenalan lebih dekat dengan si
gadis, maka pendekatan dilakukan melalui saudara laki-laki dari si gadis. Jika
sang pemuda sudah mengenal saudara laki-laki si gadis, maka sang pemuda main
ke rumah si gadis untuk mencari saudara laki-lakinya dan dia menginap di rumah
tersebut. Pendekatan andonturon tidak dapat dilakukan jika sang gadis tidak
memiliki saudara laki-laki, tetapi cara lain dilakukan seperti kebanyakan
masyarakat umum yaitu menemui di tempat tertentu.
Apabila telah terjalin hubungan saling mencintai antara pemuda dan sang
gadis maka langkah selanjutnya adalah sang pemuda mengutarakannya kepada
orang tuanya. Orang tua pemuda datang ke rumah sang gadis untuk melamar atau
nakokaken. Pada saat nakokaken, orang tua pemuda tidak membawa apa-apa
karena tujuannya masih ingin menanyakan apakah sang gadis belum memiliki
calon pendamping hidupnya. Orang tua sang gadis tidak menjawab saat itu,
karena masih harus menanyakan pada anak gadisnya dahulu. Pada hari berikutnya
setellah mendapat jawaban dari sang gadis, maka orang tua sang gadis mendatangi
rumah orang tua sang pemuda untuk menjawab lamarannya diterima ataupun
tidak.
Jika lamaran diterima maka selanjutnya orang tua sang pemuda datang
kembali ke rumah orang tua sang gadis. Kali ini orang tua sang pemuda membawa
peningset sebagai bentuk ikatan yang terlah terjalin antara sang pemuda dengan si
gadis. Peningset tersebut terdiri dari jarit, kebaya, centing, kutang, celana dalam,
dan sandal. Dengan diterimanya peningset oleh pihak orang tua sang gadis maka
resmilah hubungan mereka dalam pertunangan atau disebut pacangan.
Untuk menentukan hari pernikahan dilakukan oleh orang tua sang gadis
dengan menanyakan kepada orang yang tahu tentang perhitungan hari baik.
63
Setelah mendapatkan hari dan tanggalnya, maka orang tua sang gadis
memberitahukannya kepada orang tua sang gadis. Setelah semua sepakat, mereka
mendatangi kantor desa untuk mendaftarkan rencana pernikahan. Dari kepala desa
mereka mendapatkan surat untuk disampaikan ke pak Dukun desa yang akan
dilanjutkan dengan upacara adat perkawinan masyarakat Tengger/ walagara yang
dipimpin dukun.
3. Kematian
Ketika seorang anggota masyarakat Tengger meninggal, keluarga
memberitahukannya ke petinggi dan dukun desa. Dukun dibantu oleh wong sepuh
menyiapkan segala sesuatu untuk upacara kematian. Mendengar ada tetangga
meninggal dunia, warga sekitar secara spontan membantu menyiapkan segala
keperluan untuk penguburan. Pemberian bantuan pada saat kematian disebut
nglawuh. Ngalawuh ada yang berupa tenaga, uang, beras, dan segala sesuatu
yang dapat digunakan sebagai bahan dalam upacara.
Jika segala sesuatu untuk upacara kematian telah disiapkan oleh dukun,
maka mayat siap dimandikan. Guyuran air pertama dalam memandikan mayat
dilakukan oleh suami/istri yang meninggal kemudian sanak keluarga yang
lainnya.
64
65
(wisatawan), mereka rela menemani bahkan semalaman tidak tidur hanya untuk
menjaga kendaraan tamu yang baru dikenalnya. Mereka bersedia membantu
apapun yang dapat mereka lakukan dengan tulus iklas. Disamping itu mereka juga
memegang teguh adat budayanya dengan menghormati dan mentaati apa yang
dikatakan dukun kepadanya. Masyarakat Tengger ternyata berpegang teguh
pada pralima dalam kehidupan sehari-harinya. Pralima itu menurut Widyaprakasa
(1994:71-73)
disebut
kawruh
buda,
yakni
prasaja/sederhana,
66
Soeparto,dkk,
1981/1982:228-311);
Simanhadi,
Widyaprakosa, 1994:117).
1. Gunung Ringgit, tempat tinggal roh Temenggung Klewung anak pertama
pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
2. Gunung Mindongan, tempat tinggal Sinta Wiji, anak kedua pasangan Rara
Anteng dan Jaka Seger.
3. Gunung Kuning, tempat tinggal Ki Baru Klinting, anak ketiga pasangan
Rara Anteng dan Jaka Seger.
4. Gunung Sumbar Semanik, tempat tinggal Ki Rawit, anak keempat
pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
5. Gunung Jemahan, tempat tinggal Jiting Jinah anak kelima pasangan Rara
Anteng dan Jaka Seger.
67
6. Gunung Raten, tempat tinggal Ical, anak keenam pasangan Rara Anteng
dan Jaka Seger.
7. Gunung Lingga, tempat tinggal Prabu Siwah, anak ketujuh pasangan Rara
Anteng dan Jaka Seger.
8. Gunung Gendera, tempat tinggal Cokro Pranoto, anak kedelapan pasangan
Rara Anteng dan Jaka Seger.
9. Gunung Pananjakan, tempat tinggal Temenggung Klinter, anak kesembilan
pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
10. Gunung Cemara Lawang, tempat tinggal Tunggul Wulang, anak kesepuluh
pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
11. Watu Balang, adalah tempat tinggal roh Raden Bagus Waris, anak
kesebelas pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger. Watu Balang berbentuk
seonggok batu.
12. Watu Wungkuk, adalah batu besar yang dipercaya sebagai tempat tinggal
roh Kaki Dukun anak kedua belas pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
13. Poten atau Pura Agung, adalah tempat tinggal roh Kaki Pernata anak
ketiga belas pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger. Letak Poten adalah di
tengah hamparan pasir /segara wedhi di kaki gunung Bromo. Poten
berfungsi sebagai tempat persembahyangan pada upacara Kasada. Di
Poten ini sesaji-sesaji dari seluruh desa Tengger dikumpulkan dan di sini
pula semua warga Tengger dan para dukun Tengger berkumpul berdoa
sebelum melarung sesaji dan kurban ke kawah gunung Bromo.
14. Bajangan, adalah tempat tinggal roh Kaki Perniti anak keempat belas
pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger. Tempat ini terletak di lereng
Gunung Bromo, tepatnya disebelah tangga naik ke puncak Bromo.
Bajangan digunakan sebagai tempat masyarakat Tengger khususnya yang
mau bernazar atau telah terkabul nazarnya untuk berdoa dan mengadakan
syukuran. Doa dan syukuran di Bajangan dipimpin oleh dukun Tengger.
15. Gunung Tunggukaan, tempat tinggal Tunggul Ametung, anak kelimabelas
pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
68
16. Gunung Batok, tempat tinggal Raden Mesigit, anak keenam belas
pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
17. Gunung Widodaren, tempat tinggal Puspo Ki Gontong, anak ketujuh belas
pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
18. Gunung Guyangan, tempat tinggal Ki Teku anak kedelapan belas pasangan
Rara Anteng dan Jaka Seger.
19. Baju Pakis, tempat tinggal Ki Dawung Awuk, anak kesembilan belas
pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
20. Gunung Pusang Lingker, tempat tinggal Ki Demeling, anak kedua puluh
pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
21. Gunung Wonongkoro, tempat tinggal Ki Sindhu anak keduapuluh satu
pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
22. Gunung Pudak Lembu, tempat tinggal Raden Sapu Jagat anak kedua puluh
dua pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
23. Gunung Rujak, tempat tinggal Ki Jenggot, anak kedua puluh tiga pasangan
Rara Anteng dan Jaka Seger.
24. Gunung Semeru, tempat tinggal Demang Diningrat anak keduapuluh
empat pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger.
25. Kawah Bromo, adalah tempat tinggal roh Raden Kusuma anak ke dua
puluh lima/bungsu
26. Puncak Kawah Bromo, adalah tempat tinggal roh Kaki Menggok dan Nini
Menggok anak kembar kelima pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger Di
puncak kawah Bromo inilah masyarakat Tengger melabuh sesaji dank
urban sebagai persembahan pada hari upacara Kasada
Masyarakat Tengger percaya bahwa gunung-gunung yang ada di sekitarnya
dan tempat-tempat yang dianggap suci lainnya adalah tempat keramat yang harus
dihormati. Penghormatan itu dilakukan oleh masyarakat dengan bentuk berdoa
dan memberikan sesaji. Selain gunung dan tempat-tempat suci tersebut,
masyarakat Tengger memberikan sesaji di tempat-tempat yang dianggap sacral
dan diyakini ada roh halus yang menghuni tersebut. Roh itu adalah penjaga desa,
69
70
1. Pujan Kepitu ( selamatan yang diadakan pada bulan ke tujuh) yaitu selama
sebulan
dukunmenjalani
prihatin,
mencegah
hawa
napsu
dan
71
dibacakan oleh dukun, maka apa yang diinginkan dan diharapkan masyarakat
akan tersampaikan, baik untuk memperoleh sesuatu atau memohon perlindungan.
Masyarakat sangat menghormati dukun, dan apa yang diwejangkan oleh dukun
akan dipatuhinya oleh masyarakat. Dukun bukan hanya sebagai pemimpin ritual
dan adat, tetapi dukun juga sebagai panutan kehidupan sehari-hari masyarakat
Tengger.
Masyarakat Tengger percaya bahwa di setiap desa ada roh halus yang
menjaga desa atau kang Mbau Rekso. Tempat tesebut bernama Pdhayangan atau
dhayang. Pada upacara-upacara yang diselenggarakan masyarakat Tengger, di
pdhayangan dikirim sesaji dalam takir kecil dengan berbagai macam makanan.
Upacara-upacara dalam masyarakat Tengger ada sebelas (Sutarto, tt.15-18;
2001:33-38) yaitu;
1. Upacara Kasada, adalah upacara besar masyarakat Tengger selain Karo.
Upacara Kasada atau disebut Yadnya Kasada adalah hari raya kurban
masyarakat Tengger yang diselenggarakan pada tanggal 14,15 dan 16 saat
bulan purnama. Kurban dilaksanakan di gunung Bromo dengan melabuh
sesaji. Tujuan upacara ini adalah untuk melaksanakan amanat Raden
Kusuma yang diucapkan masa lalu yang bebunyi: Dulurku sing isih urip
ono alam dhonyo, ngalam padang, mbesok aku saben wulan Kasada
kirimono barang samubarang sing ana rupa tuwuh, rupa sandhang
pangan, sakanane sandhang pangan sing riko pangan ono alam
donyo,ewruh rasane, apa sing rika suwun mesti keturutan kekarepane
rika, ya keturunan penjaluke rika ya mesti kinabulan. (Saudara-saudaraku
yang masih hidup di dunia, di alam terang, kelak setiap bulan Kasada,
kirimkan padaku hasil pertanianmudan makanan yang kalian makan di
dunia, agar aku dapat merasakannya. Keinginanmu dan permintaanmu
pasti kukabulkan).
2. Upacara Karo atau pujan karo, adalah hari raya masyarakat Tengger yang
jatuh pada bulan ke dua (bulan Karo). Upacara ini mirip dengan lebaran
yaitu saling berkunjung ke rumah tetangga dan sanak keluarga sebagai
ucapan syukur setelah satu tahun menjalankan kehidupan.
72
73
74
abadi. Selanjutnya penari diberi watang dari bambu dan kembali bergerak
menjauh mendekat hingga tiga kali.
Tari Ujung pada hari raya Karo ditampilkan di desa Wonokitri dan Sadheng.
Sebelum tari Ujung dilaksanakan, masyarakat terlebih dahulu melaksanakan
dandosan yaitu berupa sesajian untuk sedekah bumi. Tari Ujung atau sering
dikenal juga dengan tari Tiban. Tari ini ditarikan pada hari raya Karo setelah acara
nyadran. Tari Ujung dilakukan oleh penari putra berpasangan dengan telanjang
dada dan ditangannya memegang rotan berukuran satu meter yang digunakan
untuk memukul lawannya. Kedua penari adu kekuatan dengan saling menyabet
tubuh bagian atas. Tari Ujung melambangkan persahabatan dengan bersatu
merasakan suka duka bersama.
Kesenian lain yang disenangi masyarakat Tengger yang sengaja didatangkan
dari daerah lain untuk kesenian tradisional adalah: Ludruk, Jaranan, Tayuban, dan
Ketoprak, sedangkan kesenian modern adalah band dan musik dangdut.
H. Perayaan Kasada dan Perayaan Karo
1. Perayaan Kasada
Kasada adalah hari raya kurban bagi masyarakat Tengger yang dikenal
dengan Kasodoan atau Yadnya Kasada. Perayaan Kasada diselenggarakan pada
tanggal 14,15 dan 16 saat bulan purnama bulan Kasada (bulan kedua belas).
Kurban dalam Kasada dilaksanakan dengan melabuh sesaji di kawah gunung
Bromo. Kegiatan kurban dilaksanakan sesuai amanat dari Raden Kusuma putra
bungsu dari Rara Anteng dan Jaka Seger yang menjadi tumbal untuk melindungi
saudara-saudaranya. Raden Kusuma berpesan agar pada bulan Kasada masyarakat
Tengger berkenan mengirimkan sesaji berupa sandang maupun pangan dengan
melabuhnya ke kawah gunung Bromo. Dalam amanat itu Raden Kusuma juga
mengatakan akan mengabulkan keinginan siapa saja yang melabuh sesaji.
Perayaan Kasada pada tahun 2007 diawali dengan kegiatan lomba layanglayang yang diikuti oleh masyarakat Tengger di Desa Cemara Lawang. Kegiatan
berlangsung pada tanggal 25-26 Agustus 2007 pagi hingga sore hari. Peserta
lomba datang dari berbagai desa di wilayah Tengger dan mereka datang dengan
75
pihak
76
77
78
Marit tidak dilarang dan itu menjadi tradisi hingga saat ini bagi orang-orang yang
memerlukannya.
Upacara kurban selesai dilaksanakan, warga kembali ke desa masingmasing demikian juga dengan sang dukun. Di desa mereka berkumpul di rumah
sang Dukun untuk melakukan selamatan Pujan Kasada yang maknanya mereka
bersyukur telah melaksanakan kurban di kawah gunung Bromo sebagai wujud
pengabdiannya pada pesan nenek moyangnya. Selamatan Pujan Kasada diakhiri
dengan makan tumpeng bersama para warga desa.
2. Perayaan Karo
Salah satu bentuk adat istiadat Probolinggo wilayah Tengger yakni upacara
adat Karo atau disebut juga hari raya Karo, yang merupakan hari raya pada bulan
Karo. Menurut perhitungan tahun Saka di Indonesia, terdapat 12 bulan yakni
bulan-bulan Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kelima, Kanem, Kepitu, Kewolu,
Kesangan, Kasepuluh, Destha, Kesadha. Masing-masing keluarga melaksanakan
upacara adat Karo di rumahnya dan Kepala Adat (Dukun) mengunjungi tiap-tiap
rumah untuk memberikan japa mantra. Namun demikian, upacara adat Karo
dilaksanakan di salah satu desa terpilih yang mendapat giliran pada tahun itu
sekaligus untuk mengadakan acara ritual Sodoran. Rangkaian kegiatan upacara
adat Karo meliputi: ngumpul, mepek, tekane ping pitu, prepegan, tumpengan,
sodoran, sesandhing, nyadran, sedekah pangonan dan mulihe ping pitu.
Ngumpul, dimaksudkan sebelum menyambut Hari Raya Karo seluruh
umat Tengger berkumpul untuk menentukan hari H pelaksanaan upacara adat
Karo, agar dapat dirayakan secara bersamaan. Mepek, artinya para umat
mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan pada perayaan
tersebut. Tekane ping pitu, bermaksud untuk menyambut datangnya para Pitara
atau roh leluhurnya. Prepegan, artinya para ibu rumah tangga pada saat itu sibuk
mempersiapkan diri dalam membuat makanan, di antaranya digunakan untuk
sesandhing (sesajian) Tumpengan, setiap keluarga mengirimkan tumpeng ke Balai
Desa atau ke tempat lain yang ditentukan untuk dimakan bersama setelah
dimantrai. Di samping itu, istri dukun dengan dibantu oleh beberapa orang juga
79
80
sehingga waktunyapun telah ditentukan oleh dukun. Pada upacara nyadran, para
anggota keluarga membawa sesajen makanan dan miniman yang dipersembahkan
untuk roh leluhur. Roh leluhur juga dihibur dengan Kuda Lecak yang dihias dan
menari-nari diiringi gamelan. Upacara di tengah makam sangat meriah dan pada
kesempatan itu pula dukun memberikan wejangan kepada warga desa dengan
mencontohkan pada cerita Ajisaka tentang konsep makna kehidupan. Upacara
diakhiri dengan makan minum di makam.
Untuk persiapan hari raya Karo, masyarakat Tengger mempersiapkan dana
untuk kebutuhan upacara. Dana itu mereka kumpulkan atau mereka tabung selama
satu tahun. Mereka percaya bahwa sesaji dan semua kegiatan dalam upacara Karo
harus dilakukan untuk menjaga keselarasan dalam kehidupan.
Kegiatan dalam hari raya Karo disamping kegiatan ritual dengan berdoa
dan menyiapkan sesaji yang merupakan warisan leluhur, juga dilanjutkan dengan
saling berkunjung ke rumah sanak keluarga, kerabat dan tetangga untuk saling
mengucapkan selamat hari raya dan saling memaafkan.
Hari raya Karo konon diperingati karena kesepakatan Nabi Muhammad
dengan Ajisaka untuk mengenang kedua utusan mereka yang setia yang gugur
karena kesetiaannya mengemban tugas. Karo dapat diartikan nyameti wong
loro (mengenang dua orang).
I. Sistem Kekerabatan dan Pertalian Keluarga
Keluarga batih dalam masyarakat Tengger adalah keluarga yang tinggal
dalam satu rumah yang terdiri dari suami, isteri, dan anak-anaknya yang belum
menikah. Tetapi dalam kenyataannya tidak demikian, karena dalam satu rumah
ada yang dihuni oleh lebih dari satu keluarga batih, atau anggota kerabat yang
lain. Dalam satu keluarga batih yang memiliki anak lebih dari dua dan mereka ada
yang telah berkeluarga, maka rumah orang tuanya atau saudara tertua adalah
rumah induk yang berperan sebagai pengikat aktivitas-aktivitas yang dilakukan
oleh keluarga.
Sistem kekerabatan dalam masyarakat Tengger seperti halnya masyarakat
Jawa kebanyakan yaitu dalam satu rumah tangga bisa tinggal satu atau dua
81
keluarga. Jika orang tua masih hidup maka anak yang disayangi masih tetap
tinggal satu rumah bersama-sama. Jumlah kepala keluarga yang tinggal di rumah
maksimal dua kepala keluarga. Jumlah tiga kepala keluarga tidak diperkenankan
dalam masyarakat Tengger karena mereka percayaan itu tidak akan baik, karena
satu dari mereka akan tidak kuat dan dampaknya bisa sakit-sakitan, menimbulkan
pertengkaran bahkan dapat meninggal dunia.
Dalam kehidupan rumah tangga, kelahiran seorang anak merupakan nilai
tersendiri. Disamping menjadi orang tua yang akan disebut Pak dan Mbok, orang
tua akan secara otomatis berubah nama menjadi nama anak tertuanya, misalkan
anak pertama bernama Rasimo, maka bapak akan dipanggil Pak Rasimo
sedangkan ibu akan dipanggil Mbok Rasimo. Nama asli dari orang tuanya secara
otomatis berganti nama anak tertuanya. Hal itu tidak berlaku bagi nama anak
kedua dan seterusnya.
Panggilan akrap untuk seorang anak dalam masyarakat Tengger adalah
yoge. Sedangkan untuk anak angkat adalah yoge angkat. Dalam kehidupan
sosial masyarakat dan kehidupan sehari-hari, hak dan kewajiban anak kandung
dan anak angkat adalah sama.
Sistem kekerabatan masyarakat Tengger memperlakukan saudara ayah dan
saudara ibu sama. Raka Dherana (1979:24) menyebutnya sebagai system
bilateral, yaitu system kekerabatan dari pihak ibu dan pihak ayah mendapat
perhatian yang sama dalam pandangan seorang anak. Selanjutnya panggilan untuk
kakak laki-laki ibu dan ayah dipanggil pakwo, sedangkan untuk adiknya disebut
pamak. Panggilan dari orang tua dari ibu atau ayah atau kakek atau nenek adalah
pakde untuk laki-laki dan bokde untuk perempuan.
J. Pendidikan
Pada zaman penjajahan Belanda, daerah Tengger masuk dalam kategori
kantog hitam atau daerah yang perkembangan pengetahuannya masih terbelakang.
Penyebab keterbelakangan tersebut menurut Suyitno (2001: 18) ada tiga, yaitu
karena: 1) tempat tinggal mereka kebanyakan di daerah terpencil, menyebar di
bukit-bukit yang jaraknya berjauhan; 2) tidak lancarnya komunikasi dan
82
83
84