Anda di halaman 1dari 30

Diplomasi Isu Lingkungan Hidup bagi

Indonesia?
Senin, 19 Oktober 2009

Indonesia telah mengambil inisiatif mengadakan pertemuan informal Kelompok 77 dan China (G77)
Chapter Nairobi mengenai tata kelola lingkungan hidup internasional atau disebut dengan
International Environmental Governance (IEG) pada tanggal 3 Oktober 2009 di lingkungan KBRI
Nairobi. Pertemuan merupakan inisiatif Dubes/Wakil Tetap RI pada UNEP di Nairobi melalui
kerjasama dengan Ketua G77 Chapter Nairobi, Dubes Nigeria. Hadir pada pertemuan sejumlah
Duta Besar/Wakil Tetap negara-negara anggota G77 di Nairobi serta kedua pimpinan tertinggi
UNEP yakni Executive Director dan Deputy Executive Director.

Artikel singkat ini ingin menjelaskan bahwa inisiatif dari pertemuan informal ini merupakan
manifestasi dari peranan diplomasi lingkungan hidup Indonesia yang lebih besar untuk menjaga dan
mementingkan kepentingan nasional serta membangun peningkatan citra internasional. Lantas,
diplomasi dan politik luar negeri untuk isu lingkungan hidup yang bagaimana ingin dibangun
Indonesia?

Pertemuan informal G77 yang berlangsung di KBRI Nairobi pada tanggal 3 Oktober 2009 bertujuan
sederhana yakni untuk mendapatkan pemahaman yang berarti dan sama diantara negara
berkembang mengenai pembahasan tata kelola lingkungan hidup internasional (IEG). Namun dari
cara yang modest tersebut sebenarnya memiliki daya tarik yang begitu besar dari substansinya,
yaitu pokok pembahasan yang sedang dimasak dalam proses Consultative Group of Ministers and
High-Level Representatives on IEG. Consultative Group on IEG ini dibentuk dari hasil keputusan
Sidang Governing Council/Global Ministerial Environment Forum (GC/GMEF) bulan Februari 2009 di
Nairobi.
Consultative Group on IEG dimandatkan untuk memberikan opsi perbaikan tata kelola lingkungan
hidup internasional untuk disampaikan pada sidang UNEP special session ke-11 GC/GMEF yang
telah disepakati pada bulan Februari 2010 di Bali, Indonesia. Yang kemudian hasil tersebut akan
menjadi masukan pada Sidang Majelis Umum PBB (UN General Assembly) di New York.

Pembahasan mengenai IEG sebenarnya telah berlangsung cukup lama, namun tidak mengalami
kemajuan berarti. Hal ini terutama oleh kerumitan permasalahannya, antara lain menyangkut belum
jelasnya bentuk struktur dan mekanisme (governance) serta tujuan dan fungsi yang diinginkan,
pendanaan dan dukungan bagi negara berkembang yang belum terjamin, adanya duplikasi dan
tumpang tindih berbagai konvensi maupun program kerja PBB terkait lingkungan hidup dan
sebagainya. Disamping itu adanya benturan kepentingan yang cukup dalam dan luas baik antara
negara maupun kelompok negara.
Upaya pembahasan IEG juga pernah dilakukan melalui Informal Consultations di New York yang
diketuai oleh Mexico dan Switzerland namun mengalami kemandekan pada tahun 2008. Untuk
mengatasi kebuntuan ini, sidang UNEP GC/GMEF di Nairobi pada tahun 2009 kemudian
mensahkan suatu keputusan untuk membentuk suatu Consultative Group on IEG dimaksud.

Consultative Group on IEG telah melakukan dua kali pertemuan, pertama di Beograd bulan Juni
2009 dan kemudian dilanjutkan di Roma akhir Oktober 2009. Hasil-hasil pertemuan tersebut
kemudian akan dibawa untuk disahkan pada sidang UNEP GC/GMEF di Bali mendatang guna
memperoleh arahan lebih lanjut dan sesuai mandat Consultative Group tersebut.

Pembahasan isu IEG memang sangat kompleks dengan alasan-alasan yang telah disebut diatas,
namun hasil pertemuan di Beograd dan terakhir di Roma telah menunjukan adanya kesamaan
pemikiran yang dapat dibangun bersama. Hal ini dapat dilihat dari kesamaan prinsip dan
pendekatan yang menjadi kesepakatan. Prinsip dan pendekatan utama tersebut diantaranya
pertama, form should follow function yakni memperjelas fungsinya terlebih dahulu sebelum
menyepakati suatu bentuk. Kedua, incremental changes, yaitu perubahan yang bertahap jika ingin
melangkah menuju suatu reformasi yang lebih luas (broader institutional reforms); ketiga,
pembahasan IEG dalam konteks environmental sustainability dan pembangunan berkelanjutan
(sustainable development); keempat, pembahasannya diarahkan pada nuansa politis.
Bagaimana pandangan Indonesia terhadap IEG? Selama ini Indonesia berpandangan open
minded, dengan maksud bahwa isu IEG sebenarnya memiliki merit dan rationale untuk dikaji lebih
lanjut. Hal ini memang disadari bahwa penanganan isu-isu lingkungan pada konstelasi internasional
saat ini sangat terfragmentasi dan adanya saling tumpang tindih. Sehingga pendanaan yang
seharusnya dapat lebih diwujudkan dalam program banyak terserap pada urusan administrasi dan
sekretariat di berbagai kantor Konvensi Lingkungan Hidup (multilateral environmental agreements)
yang jumlahnya lebih dari 400. Pandangan tegas beberapa negara saat ini terutama negara-negara
kepulauan kecil (small island states) dan negara-negara di Afrika sudah lantang mengemukaan
bahwa isu lingkungan hidup merupakan isu penting menyangkut life or death atau matter of
survival terutama bila dikaitan dengan isu climate change yang telah mereka rasakan dampaknya.
Tidak kecuali bagi Indonesia, dampak perubahan iklim dan kerusakan atau degradasi lingkungan
hidup telah mempengaruhi aspek-aspek pembanguan, dan bila tidak diantisipasi secepat dan sedini
mungkin biaya dan kesusahan yang harus ditanggung nantinya diperkirakan jauh lebih besar dan
lebih berat. Kekuatiran ini bukan isapan jempol balaka, tetapi berdasarkan hasil-hasil penelitian
mendalam yang telah dilakukan banyak pihak.

Bagi Indonesia, sebagai negara yang dikarunia keindahan dan kekayaan alam lingkungan dan
sumber daya alam yang luas dan melimpah, serta faktor lingkungan hidup yang sangat mendukung
pembangunan nasional di berbagai bidang. Seperti, hutan tropis di Indonesia dianggap menjadi
paru-paru dunia yang keberadaannya sama penting seperti hutan Amazon di Amerika Latin dan
hutan Congo di belahan Afrika Tengah. Indonesia diakui sebagai salah satu pemilik
keanekaragaman hayati besar di dunia (mega diverse countries). Kekayaan sumber daya alam baik
di darat maupun laut juga mempengaruhi Indonesia dalam mengambil berbagai inisiatif pada tingkat
regional maupun internasional baik dengan maksud melindungi, mengkonservasi maupun dalam
penggunaannya yang berkelanjutan (sustainable use). Inisiatif seperti Coral Triangle Initiative dan
World Ocean Conference, promotor Reducing Emission from Deforestation and Forest
Degradation in Developing Countries (REDD), pemrakarsa Forest-11 adalah diantara berbagai
usaha yang telah dibangun melalui diplomasi Indonesia yang dengan sendirinya membawa citra
positif di tingkat internasional.
Isu besar dewasa ini yang menjadi perhatian semua pihak yakni perubahan iklim (climate change).
Barangkali, kita masih ingat pada akhir tahun 2007, Indonesia menjadi tuan rumah sidang besar
internasional Climate Change Conference COP-13/MOP-3. Perhatian dunia saat itu sepertinya
tertuju di ruang sidang Bali International Convention Centre di Nusa Dua. Delegasi tingkat Menteri
dan sejumlah diplomat kawakan Indonesia termasuk mendiang Menteri Luar Negeri RI Ali Alatas
ikut merumuskan hasil-hasil utama di Bali hingga pukul 4 dini hari dan harus kembali lagi pukul 9
pagi di ruang sidang. Melalui negosiasi yang intensif diantara negara-negara kunci dan terutama
peranan diplomasi Indonesia, akhirnya konferensi di Bali 2007 berhasil mencapai dengan hasil
utamanya (key decision) yang disebut dengan Bali Roadmap atau Bali Action Plan. Secara
singkat Bali Roadmap telah berhasil menjembatani (brigde) kepentingan antara negara-negara maju
dengan negara-negara berkembang maupun benturan kepentingan negara-negara lainnya. Bali
Roadmap dibangun melalui empat elemen utama (building blocks) yakni mitigation, adaptation,
financing, technology and capacity. Bali Roadmap menegaskan untuk menyelesaikan negosiasi
hingga tahun 2009 pada saat COP-15/MOP-5 yang penyelenggaraannya kini di Kopenhagen,
Denmark dengan maksud mempersiapkan selesainya periode Protokol Kyoto yang akan berakhir
2012.
Sampai artikel ini dibuat, komunitas internasional masih bertanya-tanya, hasil apa yang akan dicapai
di Kopenhagen? Dapatkah Kopenhagen menyelesaikan tugasnya sesuai mandat Bali Roadmap?
Presiden SBY hingga jajaran delegasi Indonesia pada sidang climate change banyak dihubungi oleh
mitranya masing-masing yang mengharapkan peranan Indonesia, peranan bridge builder?

Peranan Indonesia sebagai bridge builder baik dalam isu climate change, IEG, forum UNFCCC
maupun UNEP, ada hal utama yang perlu diperhatikan dalam membangun jembatan tersebut.
Jembatan yang dibangun tidak hanya untuk kehebatan dan pencitraan (glory) semata tetapi harus
adanya tujuan yang benar-benar dapat diperoleh (gold) segenap bangsa dan negara Indonesia.
Kekayaan keanekaragaman hayati (biodiversity) pada hutan tropis yang dimiliki Indonesia misalnya
dapat menjadi political leverage yang dapat dimanfaatkan dalam diplomasi dan politik politik luar
negeri. Ibaratnya, Indonesia dengan kemampuan besar dan wisdom memiliki senjata massal
yang diperlukan untuk kelangsungan hidup manusia. Apalagi wajah Indonesia dewasa ini sebagai
negara demokrasi terbesar ketiga dunia, dan masuk dalam jajaran elit ekonomi internasional melalui
forum G-20, maka sangatlah pantas bila Indonesia ingin memberanikan diri sebagai bridge builder
isu lingkungan hidup untuk pencapaian pembangunan berkelanjutan dengan sarat tidak hanya
pencapaian glory tetapi juga gold.

KTT BUMI DAN LINGKUNGAN DARI


MASA KE MASA
10 DESEMBER 2014 WANANWAR36 TINGGALKAN KOMENTAR

Jargon Think Globally, Act Locally, yang menjadi tema KTT Bumi di Rio de Janeiro pada
bulan Juni 1992 silam, segera menjadi jargon populer untuk mengekspresikan kehendak berlaku
ramah terhadap lingkungan. Topik yang diangkat dalam konferensi ini adalah permasalahan
polusi, perubahan iklim, penipisan ozon, penggunaan dan pengelolaan sumber daya laut dan air,
meluasnya penggundulan hutan, penggurunan dan degradasi tanah, limbah-limbah berbahaya
serta penipisan keanekaragaman hayati.
Kita tahu bersama, isu lingkungan hidup semakin hari semakin menjadi isu yang sangat penting
untuk ditangani bersama, baik oleh Negara-negara maju maupun Negara-negara berkembang
atau Negara-negara Dunia Ketiga. Singkatnya merupakan keniscayaan bagi Utara dan Selatan.
Kita tahu juga, persoalan lingkungan, meski telah ditempuh beragam upaya perawatan dan
pencegahan dari kerusakan dan pencemaran, tidak semakin membaik. Penanganan dan perbaikan
pun belum sebanding dengan peningkatan persoalan lingkungan itu sendiri. Kondisi lingkungan
dan bumi, sebagaimana sama-sama kita tahu dan kita rasakan, diperparah dengan terjadinya
fenomena perubahan iklim (climate change).

Kondisi persoalan lingkungan yang tidak semakin membaik itulah, sebagai contohnya, yang juga
mendasari diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi tentang Pembangunan Berkelanjutan,
yang telah berlangsung pada tanggal 13-22 Juni 2012 di Rio de Janeiro, Brasil yang lebih dikenal
dengan KTT Rio+20. Bagi Indonesia, menyepakati dokumen The Future We Want, sebagaimana
tercermin dalam KTT Bumi tersebut, menjadi arahan bagi pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan di tingkat global, regional, dan nasional. Dokumen itu memuat kesepahaman
pandangan terhadap masa depan yang diharapkan oleh dunia.

Isi Dokumen yang disepakati itu mengenalkan konsep Sustainable Development Goals atau
tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan yang harus dipenuhi, baik oleh negara maju maupun
negara berkembang, untuk tetap menjaga prinsip-prinsip perlindungan lingkungan saat meraih
kesejahteraan ekonomi atau ekonomi hijau (green economy). KTT Bumi ini, yang juga disebut
Rio+20, tersebut menjadi kelanjutan dari KTT Bumi yang dilakukan di Rio de Janeiro pada 1992
silam. Pada saat itu, negara-negara yang hadir juga mengeluarkan komitmen perlindungan
lingkungan. Namun, yang disayangkan dari Rio+20 adalah tidak adanya mekanisme evaluasi
akan apa saja hal-hal yang sudah dicapai negara maju dalam pemenuhan janji-janji tersebut dari
1992 sampai sekarang.

Berikut KTT Bumi dan Lingkungan yang Pernah Diselenggarakan:

Stockholm, Swedia (Juni 1972)


Konferensi internasional lingkungan hidup atau United Nations Conference on Human
Environment (UNCHE), di Stockholm, Swedia adalah konferensi yang sangat bersejarah, karena
merupakan konferensi pertama tentang lingkungan hidup yang diprakarsai oleh PBB yang diikuti
oleh wakil dari 114 negara. Konferensi ini juga merupakan penentu langkah awal upaya
penyelamatan lingkungan hidup secara global.

Dalam konferensi Stockholm inilah untuk pertama kalinya motto: Hanya Ada Satu Bumi
(Only One Earth) untuk semua manusia, diperkenalkan. Motto itu sekaligus menjadi motto
konferensi. Selain itu, konferensi Stockholm menetapkan tanggal 5 Juni yang juga hari
pembukaan konferensi tersebut sebagai hari lingkungan hidup se-dunia (World Environment
Day).

Salah-satu hasil dari KTT tersebut adalah kesepakatan mengenai keterkaitan antara konsep
pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup. Persoalan lingkungan hidup diidentikkan
dengan kemiskinan, keterbelakangan, tingkat pembangunan yang masih rendah dan pendidikan
rendah, intinya faktor kemiskinan yang menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan hidup di
dunia. Sehingga dalam forum tersebut disepakati suatu persepsi bahwa kebijakan lingkungan
hidup harus terkait dengan kebijakan pembangunan nasional.

KTT itu menghasilkan resolusi monumental, yaitu pembentukan badan khusus PBB untuk
masalah lingkungan United Nations Environmental Programme (UNEP), yang markas besarnya
ditetapkan di Nairobi, Kenya. UNEP merupakan motor pelaksana komitmen mengenai
lingkungan hidup dan telah melahirkan gagasan besar pembangunan berkelanjutan (Sustainable
Development). Gagasan pembangunan berkelanjutan diawali dengan terbitnya Laporan
Brundtland (1987), Our Common Future, yang memformulasikan prinsip dasar pembangunan
berkelanjutan.

Rekomendasi Konferensi Stockholm Nomor 99.3. ditindaklanjuti dengan melaksanakan


Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) atau Konvensi PBB
mengenai Perdagangan Internasional Jenis-Jenis Flora dan Fauna Terancam Punah. Misi dan
tujuan CITES adalah untuk menghindarkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa dari kepunahan di
alam melalui sistem pengendalian jenis-jenis tumbuhan dan satwa, serta produk-produknya
secara internasional.

Dalam dokumen Konfrensi Stockholm The Control of Industrial Pollution and International
Trade secara langsung mendorong GATT untuk meninjau kembali kebijakannya agar tidak
menimbulkan diskriminasi terhadap Negara berkembang.

Rio de Janeiro, Brazil ( Juni 1992)


Sejak Konferensi Stockholm, polarisasi di antara kaum developmentalist dan environmentalist
semakin menajam. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro,
Brazil, pada 1992, merupakan upaya global untuk mengkompromikan kepentingan
pembangunan dan lingkungan. Jargon Think globally, act locally, yang menjadi tema KTT
Bumi menjadi populer untuk mengekspresikan kehendak berlaku ramah terhadap lingkungan.

Topik yang diangkat dalam konferensi ini adalah permasalahan polusi, perubahan iklim,
penipisan ozon, penggunaan dan pengelolaan sumber daya laut dan air, meluasnya penggundulan
hutan, penggurunan dan degradasi tanah, limbah-limbah berbahaya serta penipisan
keanekaragaman hayati.

Berikut sejumlah hasil dan rekomendasi dalam KTT tersebut:

Deklarasi Rio: Satu rangkaian dari 27 prinsip universal yang bisa membantu mengarahkan
tanggung jawab dasar gerakan internasional terhadap lingkungan dan ekonomi.

Konvensi Perubahan Iklim (FCCC): Kesepakatan Hukum yang telah mengikat telah
ditandatangani oleh 152 pemerintah pada saat komperensi berlangsung. Tujuan pokok Konvensi
ini adalah Stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir pada tingkat yang telah mencegah
terjadinya intervensi yang membahayakan oleh manusia terhadap sistem Iklim.
Konvensi Keanekaragaman Hayati: Kesepakatan hukum yang mengikat telah ditandatangani
sejauh ini oleh 168 negara. Menguraikan langkah langkah ke depan dalam pelestarian
keragaman hayati dan pemanfaatan berkelanjutan komponen komponennya, serta pembagian
keuntungan yang adil dan pantas dari penggunaan sumber daya genetik.

Pernyataan Prinsip Prinsip Kehutanan: Prinsip prinsip yang telah mengatur kebijakan
nasional dan internasional dalam bidang kehutanan. Dirancang untuk menjaga dan melakukan
pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan global secara berkelanjutan. Prinsip prinsip
ini seharusnya mewakili konsesi pertama secara internasional mengenai pemanfaatan secara
lestari berbagai jenis hutan.

Komisi Pembangunan Berkelanjutan Commission on Sustainable Development (CSD): Komisi


ini di bentuk pada bulan desember 1992. Tujuan CSD adalah untuk memastikan keefektifan
tindak-lanjut KTT bumi. Mengawasi serta melaporkan pelaksanaan kesepakatan Konferensi
Bumi baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. CSD adalah komisi Fungsional
Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) yang beranggotakan 53 negara.

Agenda 21: Merupakan sebuah program luas mengenai gerakan yang mengupayakan cara cara
baru dalam berinvestasi di masa depan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan Global di
abad 21. Rekomendasi rekomendasi Agenda 21 ini meliputi cara cara baru dalam mendidik,
memelihara sumber daya alam, dan berpartisipasi untuk merancang sebuah ekonomi
yangberkelanjutan. Tujuan keseluruhan Agenda 21 ini adalah untuk menciptakan keselamatan,
keamanan, dan hidup yang bermartabat.

Genewa, Swiss (Juli 1996)


Amerika menerima temuan-temuan ilmiah mengenai perubahan iklim dari IPCC dalam penilaian
kedua dan menolak penyeragaman penyelarasan kebijakan dan menyerukan pengikatan secara
hukum target jangka menengah. Menghasilkan Deklarasi Genewa. Berisi 10 butir deklarasi
antara lain berisi ajakan kepada semua pihak untuk mendukung pengembangan protokol dan
instrumen legal lainnya yang didasarkan atas temuan ilmiah. Deklarasi ini juga menginstruksikan
kepada semua perwakilan para pihak untuk mempercepat negosiasi terhadap teks protokol.

Johannesburg, Afrika Selatan (2002)


Penyelenggaraan KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable
Development) pada 2002 di Johannesburg, Afrika Selatan, ditekankan pada plan of
implementation yang mengintegrasikan elemen ekonomi, ekologi, dan sosial yang didasarkan
pada tata penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance).

KTT tersebut telah milahirkan kesepakatan komprehensif bidang kehutanan, yaitu dokumen
Forest Principles (Non-Legally Binding Authoritative Statement of Principles for a Global
Consensus on Management, Conservation and Sustainable Development of all Types of Forests).
Kendatipun bukan merupakan komitmen yang mengikat, dalam proses-proses internasional
bidang kehutanan, dokumen Forest Principles merupakan referensi utama serta jiwa bagi
kerjasama antar bangsa.
Isu sentral yang dibahas adalah antara lain: menghidupkan kembali komitmen politik pada
tingkat paling tinggi mengenai pengelolaan hutan berkelanjutan, peningkatan kontribusi sektor
kehutanan dalam upaya pengentasan kemiskinan, peningkatan pertumbuhan ekonomi,
peningkatan lapangan kerja, pembangunan pedesaan serta peningkatan kesejahteraan umat
manusia.

Pada akhirnya KTT Pembangunan berkelanjutan mengadopsi tiga dokumen utama, yaitu:

[1] Deklarasi Johannesburg yang menyatakan bahwa setiap negara memikul tanggung jawab
dalam pembangunan berkelanjutan dan kemiskinan.

[2] Rencana Aksi Johannesburg mengenai pembangunan berkelanjutan (Johannesburg Plan of


Implementation/JPOI).

[3] Program kemitraan (partnership) antar pemangku kepentingan dalam melaksanakan


pembangunan berkelanjutan.

Bali, Indonesia (Desember 2007)


Penyelenggaraan KTT Pemanasan Global di Nusa Dua, Bali pada tanggal 13 15 Desember
2007 merupakan momentum dalam upaya untuk membangun kesadaran semua warga bumi
untuk berbuat sekecil apapun demi menyelamatkan bumi, tempat yang menjadi sumber hidup
dan hidup kita bersama. Dalam konferensi tentang lingkungan hidup ini semua negara ambil
bagian dalam menentukan nasib bumi kita di waktu mendatang.

Dalam pertemuan ini disepakati Bali Road Map, sebuah peta yang akan menjadi jalan untuk
mencapai consensus baru pada 2009 sebagai pengganti Protokol Kyoto fase pertama yang akan
berakhir pada tahun 2012. Inti dari Bali Road Map adalah:

[1] Respons atas temuan keempat Panel Antar Pemerintah (IPCC) bahwa keterlambatan
pengurangan emisi akan menghambat peluang mencapai tingkat stabilitas emisi yang rendah,
serta meningkatkan risiko lebih sering terjadinya dampak buruk perubahan iklim.

[2] Pengakuan bahwa pengurangan emisi yang lebih besar secara global diharuskan untuk
mencapai tujuan utama.

[3] Keputusan untuk meluncurkan proses yang menyeluruh, yang memungkinkan


dilaksanakannya keputusan UNFCCC secara efektif dan berkelanjutan.

[4] Penegasan kewajiban Negara-negara maju melaksanakan komitmen dalam hal mitigasi secara
terukur, dilaporkan dan dapat diverifikasi, termasuk pengurangan emisi yang terkuantifikasi.
[5] Penegasan kesediaan sukarela Negara berkembang mengurangi emisi secara terukur,
dilaporkan dan dapat diverifikasi, dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan, didukung
teknologi, dana, dan peningkatan kapasitas.

[6] Penguatan kerjasama di bidang adaptasi atas perubahan iklim, pengembangan dan alih-
teknologi untuk mendukung mitigasi dan adaptasi.

[7] Memperkuat sumber-sumber dana dan investasi untuk mendukung tindakan mitigasi,
adaptasi dan alih teknologi terkait perubahan iklim.

SEKILAS TENTANG HUKUM


LINGKUNGAN INTERNASIONAL
Hukum Lingkungan Internasional
Oleh
Muh. Santiago Pawe

Hukum lingkungan berkembang beriringan dengan perkembangan mengenai masalah-masalah


lingkungan dan ekologi. Tekanan masalah terhadap lingkungan semakin hari semakin
meningkat, tetapi tidak kalah pula perkembangan kebijakan yang ditujukann untuk
menyelesaikan masalah lingkungan. Otto Soemarwoto (1977) dalam Siahaan (2009)
mendefinisikan lingkungan berupa jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang
kita tempati yang mempengaruhi kehidupan kita. Salah satu bidang yang menangani masalah-
masalah berkaitan dengan sistem aturan atau norma masyarakat dalam interaksinya dengan
lingkungan hidup adalah hukum lingkungan.

Hukum lingkungan merupakan salah satu cabang hukum yang mengatur segala hal yang
berhubungan dengan lingkungan hidup. Hukum lingkungan menjadi sarana penting untuk
mengatur perilaku manusia terhdap lingkungan dan segala aspeknya, agar tidak terjadi
perusakan, gangguan, dan kemerosotan nilai-nilai lingkungan itu. Hukum berfungsi sebagai alat
keadilan, memiliki peran untuk menciptakan keadilan bagi semua dalam kerangka penataan dan
pengelolaan lingkungan. Hukum juga sebagai alat rekayasa sosial, berperan merubah sikap sosial
masyarakat, mengarahkan perilaku budaya setiap orang kepada paradigma pemanfaatan,
peneglollan sumber alam dengan pola efisien dengan minimasi kerusakan, demikian juga
terciptanya interaksi lingkungan yang bertujuan menyerasikan pembangunan dengan lingkungan

Deklarasi Stockholm 1979 merupakan pilar perkembangan hukum lingkungan international


modern, artinya semenjak saat itu hukum lingkungan berubah sifatnya dari use-
oriented menjadi environment-oriented. jauh sebelum dikeluarkanya Deklarasi Stockholm 1972,
Hukum Kebiasaan Internasional juga telah mengatur pencegahan pencemaran lingkungan.
Misalnya, prinsip sic utere tuo ut alienum non laedas atau di kenal juga dengan prinsip good
neighborliness melarang penggunaan teritorial suatu negara bila menimbulkan gangguan atau
kerugian pada teritorial negara lain.
Masyarakat Internasional dalam perkembanganya lebuh cenderung untuk membentuk suatu
perjanjian Internasional, karena dengan adanya kesepakatan bersama, di harapkan masing-
masing negara peserta lebih memiliki rasa tanggung jawab moril yang lebih tinggi untuk
mematuhi isi perjanjian yang telah disepakati sendiri. Dengan demikian, akan ada suatu
pengharapan bahwa hukum internasional akan lebih punya makna bila dibentuk berdasarkan
perjanjian yang di kenal dengan Hukum Konvensi Internasional.

Perkembangan hukum konvensi di bidang pengelolaan dan perlindungan lingkungan


internasional cenderung dimulai dengan membuat perangkat hukum lunak (soft law), seperti
deklarasi dan resolusi dan kemudian baru di ikuti dengan pembuatan hukum keras (hard law)
seperti konveksi dan protokol.Masyarakat internasional telah berhasil membentuk beberapa
deklarasi dan konvensi internasional untuk mengatur pengelolaan lingkungan hidup, baik yang
mengatur tentang pencemaran laut maupun pencemaran udara daan atsmofer.
1. Hukum lunak (soft law)
Hukum lunak (soft law) merupakan satu bentuk hukum internasional yang secara tidak langsung
mengikat negara, tetapi ia harus dipedoman untuk membentuk hukum masa datang (the future
law). Setelah berumur sepuluh tahun, ternyata banyak
negara tidak melaksankan Deklarasi Stockholm dan 109 Rekomendasinya. Deklarasi Nairobi
1982 dibuat sebagai himbauan kepada masyarakat internasional untuk secara konsekuen dan
serius menerapkan prinsip-prinsip dalam Deklarasi Stockholm. Hal ini dilakukan mengingat
selama masa sepuluh tahun sebelumnya, hanya sebagai kecil negara yang mengimpletmentasikan
prinsip-prinsip itu ke dalam hukum nasional mereka.

Deklarasi Nairobi ternyata juga tidak berhasil meningkatkan kepatuhan masyarakat internasioanl.
Salah satu faktor penyebab adalah sengketa antara Utara dan Selatan tentang tugas dan tanggung
jawab mereka dalam pengelolaan lingkungan. Deklarasi Rio lahir sebagai pengendali pertikaian
antara negara maju dan negara berkembang terutama dalam melihat siapa harus berbuat apa. Di
samping itu, Deklarasi Rio dibuat untuk menghadapi persoalan lingkungan global yang marak
menjadi pembicaraan dunia, yaitu global warming dan global climate change. Deklarasi ini
sangat penting bagi pengelolaan lingkungan karena secara tegas menerima prinsip Sustainable
Development. Di samping itu, Deklarasi ini juga mengukuhkan beberapa prinsip hukum
lingkungan baru.
Dalam perkembanganya, prinsip Sustainable Development ternyata juga tidak diinterprestasikan
dan diterapkan secara baik oleh negara-negara di dunia. Setelah d evaluasi, ternyata penyebab
utamanya adalah pemerintahan yang tidak bersih dan tidak peduli dalam lingkungan dan
ekosistem.
1. Hukum keras (Hard Law)
Hard law adalah satu bentuk hukum internasional yang mempunyai kekuatan mengikat (binding
power) terhadap negara peserta (contracting parties) secara langsung sesuai dengan asas pacta
sunt servanda. Hard Law ini dapat berupa treaty, convetion, agreement, protocol, dan lain-lain.
1. Perlindungan lingkungan laut
Regime perlindungan lingkungan laut terpisah-pisah dalam beberapa konveksi berdasarkan
sumber pencemarannya. Oleh sebab itu, uraian pada bagian ini dibagi kepada beberapa
subbagian, yaitu perlindungan laut dari kegiatan penambangan minyak, dumping, dan sumber
dari darat.
1. Konvensi Paris 1974
2. Konvensi London 1976

2. Perlindungan atsmofer
3. Konvensi Wima 1985.
4. Konvensi tentang Perubahan Iklim 1992.
5. Protokol Kyoto 1997
6. Bali Roadmap 2007

3. Konservasi Alam
Hukum Internasional untuk perlindungan kenekaragaman hayati terdapat di dalam dua konvensi
internasional, yaitu CITES 1973 dan Konvensi Keanekaragaman Hayati. Kedua konvensi ini
merupakan produk hukum internasional yang memberikan perlindungan terhadap semua spesies
semua habitat di dunia ini.
1. CITES 1973
2. Konvensi keanekaragaman Hayati
Dan masih banyak lagi instrument-instrumen dalam hukum lingkungan internasional yang
mengatur tentang pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup serta isu-isu lingkungan lain
seperti perubahan iklim (Protokol Kyoto 1997, Bali Roadmap 2007) yang menjadi isu hangat
beberapa tahun terakhir. Semua instrument tersebut tercipta karena komitmen Negara-negara
untuk pelestarian lingkungan hidup yang tentunya akan berdampak pada kehidupan umat
manusia di bumi pada masa yang akan datang.

Perubahan Iklim
Jumat, 8 Januari 2016

Pendahuluan
Konferensi Pengendalian Perubahan Iklim PBB (COP 21 UNFCCC) diselenggarakan di Paris,
tanggal 30 November 11 Desember 2015. Konferensi tersebut
merupakan milestone pembangunan berkelanjutan untuk menyepakati Agreement 2015 yang legally
binding, dan akan berlaku setelah tahun 2020. Agreement ini merupakan puncak upaya negosiasi
satu dekade terakhir untuk pengaturan global upaya penurunan emisi dan pengendalian perubahan
iklim.
Hasil COP 21 UNFCCC
Paris Agreement/Kesepakatan Paris:
a. Umum:

Kesepakatan bersifat mengikat, adil, berimbang, dan berlaku untuk semua pihak.
Tujuan kesepakatan adalah membatasi kenaikan suhu global di bawah 2oC dari tingkat pre-
industri dan melakukan upaya untuk membatasinya hingga di bawah 1,5oC.

b. Diferensiasi:

Pembedaan (diferensiasi) tanggung jawab dicerminkan dalam berbagai aspek seperti


mitigasi, adaptasi, pendanaan, transfer teknologi dan capacity building, serta transparansi
aksi dan dukungan.
Negara maju mengambil peran kepemimpinan dan negara berkembang turut berkontribusi
sesuai kemampuan/kapasitas nasional.

c. Mitigasi:

Masing-masing negara berupaya untuk mencapai tingkat emisi tertinggi (peaking) global
secepatnya. Masing-masing negara menyampaikan kontribusi penurunan emisinya setiap 5
(lima) tahun sekali.
Seluruh negara harus menyampaikan komitmen/kontribusi nasionalnya (applicable to all),
dan negara maju mendukung pelaksanaan komitmen negara berkembang (diferensiasi).
Kontribusi penurunan emisi harus meningkat setiap periode (progression), dan negara
berkembang perlu mendapatkan dukungan untuk meningkatkan ambisinya.
Setiap negara didorong untuk mendukung pendekatan dan insentif positif untuk aktivitas
penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan serta pengelolaan hutan
berkelanjutan (REDD+), termasuk melalui result-based payments.
Mekanisme market dan non-market dapat digunakan oleh negara-negara dalam rangka
penurunan emisi.

d. Adaptasi dan loss and damages:

Ditetapkan tujuan global untuk meningkatkan kapasitas adaptasi, memperkuat ketahanan


serta mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim.
Diakui pentingnya minimalisasi dan mengatasi loss and damage akibat dampak buruk
perubahan iklim.

e. Pendanaan, transfer teknologi, dan capacity building:

Negara maju harus menyediakan dukungan pendanaan kepada negara berkembang dan
memimpin dalam mobilisasi pendanaan dari berbagai sumber.
Negara berkembang dapat pula memberikan dukungan secara sukarela.
Seluruh negara akan meningkatkan aksi kerjasama di bidang pengembangan dan transfer
teknologi.
Capacity building akan dilakukan untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan negara
berkembang.

f. Transparansi, review, dan implementasi:

Kerangka transparasi yang lebih kuat dibentuk yang meliputi aksi maupun dukungan,
dengan fleksibilitas bagi negara berkembang.
Global stocktake emisi untuk implementasi aksi dalam rangka mencapai tujuan kesepakatan
akan dilakukan pada tahun 2023 dan selanjutnya secara rutin setiap 5 (lima) tahun.
Kesepakatan dapat diratifikasi negara-negara anggota Konvensi di Markas PBB di New York
mulai 22 April 2016 hingga 21 April 2017 dan selanjutnya dapat diaksesi oleh negara yang
belum melakukannya.
Kesepakatan akan mulai berlaku (entry into force) sebulan setelah setidaknya 55 negara
yang meliputi 55% emisi global bergabung.

"With these elements in place, markets now have the clear signal they need to unleash the full force
of human ingenuity and scale up investments that will generate low-emissions, resilient growth.
What was once unthinkable has now become unstoppable." UN SG, Ban Ki Moon

COP Decision:

COP 21 UNFCCC juga menghasilkan COP decision yang mencakup operasionalisasi dari
Kesepakatan Paris dalam hal mitigasi, adaptasi, loss and damage, pendanaan,
pengembangan dan transfer teknologi, capacity building, transparansi aksi dan
dukungan, global stocktake, dan fasilitasi implementasi serta compliance.
Decision juga berisikan peningkatan aksi untuk periode sebelum tahun 2020 yang mencakup
antara lain mitigasi dan dukungan pendanaan.
Terkait pendanaan, negara maju didorong untuk meningkatkan dukungan pendanaan
dengan roadmapyang konkrit untuk mencapai penyediaan pendanan sebesar USD 100
Milyar secara tahunan hingga tahun 2020 untuk mitigasi dan adaptasi.

Kepentingan Indonesia
Indonesia sebagai negara kepulauan, rentan terhadap perubahan iklim, mengingat:

banyaknya penduduk di wilayah pesisir;


garis pantai dan wilayah pesisir yang luas;
terdiri atas pulau-pulau kecil;
memiliki wilayah dan ekosistem laut dan hutan yang luas;
terjadinya bencana yang terkait perubahan iklim.

Terkait Kesepakatan Paris, Indonesia memiliki kepentingan agar:

mencerminkan keseimbangan, keadilan, serta tidak menghambat pembangunan negara


berkembang;
semua negara, terutama negara maju, diharapkan berkontribusi lebih dalam aksi mitigasi
dan adaptasi, melalui mobilisasi pendanaan dan dukungan lainnya;
menghormati hak-hak dan memastikan peran local communities;
mencakup pentingnya pelestarian hutan dan laut;
mendorong akselerasi implementasi aksi untuk periode sebelum-2020;
mencerminkan pembedaan upaya mitigasi: negara maju harus lebih besar dari negara
berkembang karena historical responsibility yang berbeda;
memberi dukungan upaya adaptasi terkait situasi Indonesia yang rentan terhadap dampak
perubahan iklim;
mencerminkan prinsip common but differentiated responsibilities (CBDR) dan respective
capabilities (RC);
mencakup pemberian insentif dari negara maju bagi aktivitas Reducing Emission from
Deforestation and Forest Degradation serta pengelolaan hutan berkelanjutan (REDD Plus);
memastikan penyediaan pendanaan sebelum dan sesudah 2020 yang predictable dan
berkelanjutan dengan peningkatan dari waktu ke waktu dibandingkan komitmen yang ada
saat ini (USD 100 Milyar hingga 2020).

Peran Indonesia
Pada Leaders' Event pembukaan COP 21 UNFCCC, Presiden RI menyampaikan dukungan
kesuksesan Kesepakatan Paris. Selain itu, disampaikan kerentanan Indonesia di bidang perubahan
iklim dan komitmen Indonesia untuk menjadi solusi perubahan iklim.

Terkait hal tersebut, disampaikan mengenai upaya dan kebijakan yang telah ditempuh Indonesia
dalam melakukan penurunan emisi di bidang energi, lahan dan hutan, dan maritim.
Pada High-level Segment tanggal 7-8 Desember 2015, Indonesia menyampaikan pernyataan bahwa
sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki salah satu hutan tropis terbesar,
Indonesia menyadari peran hutan selaku penyerap karbon dan manfaat lainnya yang juga dinikmati
oleh negara-negara lain. Indonesia menyerukan perlunya peningkatan kerjasama internasional.
Selain itu disampaikan langkah Indonesia untuk mengatasi kebakaran dan mencegah permasalahan
tersebut terjadi lagi, antara lain melalui penegakan hukum, penguatan tata kelola hutan, serta
restorasi ekosistem. Di tingkat regional, Indonesia juga merupakan peserta ASEAN Agreement on
Transboundary Haze yang bertujuan untuk mengatasi kebakaran hutan melalui kerjasama
internasional.
Keberhasilan COP 21 di Paris tidak lepas dari peran semua pihak, termasuk non-state actors.
Dalam hal ini, Paviliun Indonesia menjadi sarana outreach yang penting dan menjadi wahana yang
bersifat solution oriented bagi permasalahan global perubahan iklim.
Pada tanggal 30 November 2015, Presiden RI bersama Presiden Gabon, Presiden Kolombia, PM
Norwegia, utusan khusus PBB untuk perubahan iklim, serta para Menteri dari Jerman, UK, dan Peru
telah mengeluarkan pernyataan bersama dalam acara Hutan Sebagai Solusi Kunci Perubahan Iklim.

Para pemimpin negara tersebut menegaskan kembali komitmen untuk mengintensifkan upaya
perlindungan hutan; restorasi hutan dan lahan yang terdegradasi; mendukung pembangunan daerah
yang rendah karbon, serta mendukung implementasi program REDD+.
Presiden RI bersama Presiden AS, Presiden Perancis, PM India dan para pemimpin 16 negara
penting lainnya telah meluncurkan Mission Innovation yang merupakan platform kerjasama global
yang didukung oleh 19 negara penting, untuk mendorong pengembangan energi bersih (clean
energy).
Pandangan Indonesia terhadap Kesepakatan Paris
Bagi Indonesia, Kesepakatan Paris telah mengakomodasi dorongan Indonesia untuk terciptanya
pengaturan global yang mencerminkan keseimbangan, dan keadilan. Pelaksanaan kewajiban
negara berkembang disesuaikan dengan kemampuan nasional dan adanya dukungan, terutama
pendanaan.
Lebih lanjut, Kesepakatan tersebut juga mencakup pentingnya upaya penurunan emisi dan
adaptasi, pelestarian laut dan hutan, peningkatan renewable energy, dan peran serta masyarakat
adat (local communities) dalam pengendalian perubahan iklim, yang selama ini diperjuangkan oleh
Indonesia.
Kesepakatan Paris dapat mendorong investasi rendah karbon dalam rangka perwujudan ekonomi
hijau dan pembangunan berkelanjutan.
Kesepakatan Paris mendorong mobilisasi pendanaan dari berbagai sumber, khususnya untuk
adaptasi perubahan iklim yang penting bagi negara-negara yang rentan terhadap perubahan iklim
termasuk Indonesia.
Komitmen Indonesia
Pada tahun 2009, Indonesia telah mengumumkan komitmen penurunan emisi secara sukarela
sebesar 26% di bawah tingkat business as usual (BAU) pada tahun 2020 dan sebesar 41% dengan
bantuan internasional.
Pada tahun 2015, Indonesia telah menyampaikan Intended Nationally Determined
Contribution (INDC) dengan target penurunan emisi pada tahun 2030 sebesar 29% dengan upaya
sendiri, dan 41% dengan bantuan internasional. INDC Indonesia meliputi sektor energi, industri,
pertanian, tata guna dan alih guna lahan serta kehutanan (land-use, land-use change and forestry),
dan limbah.
Tindak Lanjut
Di tingkat nasional, Indonesia perlu segera meratifikasi Paris Agreement yang telah tercapai.
Penyelarasan kebijakan di tingkat nasional dan daerah juga pelu dilakukan untuk memastikan
tercapainya komitmen internasional Indonesia terkait perubahan iklim.
Perubahan iklim adalah masalah global yang memerlukan upaya bersama untuk pemecahannya.
Untuk itu, diperlukan sinergi antara seluruh pemangku kepentingan. Diseminasi informasi,
kerjasama, serta koordinasi multi-sektor menjadi penting dalam implementasi paris Agreement.
Komitmen mitigasi dalam rangka pengendalian perubahan iklim dari seluruh negara diharapkan
meningkat dari waktu ke waktu. Untuk itu, Indonesia harus mempersiapkan strategi dan kebijakan
agar dapat meningkatkan komitmennya, khususnya dalam hal penurunan emisi.
Mengingat kerentanan terhadap dampak perubahan iklim, Indonesia perlu mendorong pemanfaatan
komitmen pendanaan iklim sebesar USD 100 Milyar per tahun hingga 2020 dalam adaptasi
perubahan iklim.
Indonesia perlu mendorong sharing best practices dan Kerjasama Selatan Selatan dalam
pengendalian perubahan iklim.
Di tingkat global, Indonesia perlu terus mendorong realisasi komitmen negara maju yang diharapkan
mengambil peran lebih dalam pengendalian perubahan iklim. Komitmen tersebut tidak hanya
sebatas penurunan emisi, namun khususnya penyediaan pendanaan untuk aktivitas mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim di negara berkembang yang predictable serta meningkat dari waktu ke
waktu.

(Sumber: Direktorat Pembangunan, Ekonomi, dan Lingkungan Hidup)

Kejahatan Lingkungan (Environmental


Crime)
Senin, 22 April 2013

Kementerian Luar Negeri dan para pemangku kepentingan nasional telah memperjuangkan upaya
kriminalisasi kejahatan lingkungan terutama mengenai illegal logging, sejak forum multilateral the
Commission on Crime Prevention and Criminal Justice (CCPCJ) ke-15 tanggal 24-28 April 2006.
Indonesia secara resmi mengajukan rancangan resolusi (ranres) mengenai International cooperation
in preventing and combating illicit international trafficking in forest products, including timber, wildlife,
and other forest biological resources dan setahun kemudian ditetapkan ke dalam resolusi 16/1 dan
kemudian menjadi resolusi the Economic and Social Council (ECOSOC) 2008/25.
Inisiatif Indonesia tersebut juga termaktub ke dalam Deklarasi Salvador, yang diadopsi pada Crime
Congress ke-12 tanggal 12-19 April 2010 di Salvador, Brazil, terutama pasal 10 yang menekankan
perlunya perhatian terhadap bentuk kejahatan baru (new emerging forms of crime) yang berdampak
signifikan terhdap lingkungan. Pada tahun 2010, upaya dimaksud berkembang menjadi pioneer
programme United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) di Indonesia yang bertujuan untuk
mendorong praktik tata kelola pemerintahan yang baik, penegakkan hukum dan upaya-upaya
pemberantasan korupsi pada sektor yang terkena dampak signifikan illegal logging. Program
kerjasama dan capacity building ini juga mendukung efektivitas program Reducing Emissions from
Deforestation and Forest Degradation Framework (REDD+). Isu tersebut juga menjadi tema utama
pada workshop dan diskusi tematik Sidang CCPCJ ke-22 tahun 2013, yaitu. Emerging forms of
crime that have an impact on the environment.
Resolusi ECOSOC 2011/36 mengangkat mengenai kriminalisasi salah satu bentuk kejahatan
lingkungan yaitu perdagangan illegal flora dan fauna langka. Indonesia telah meratifikasi Convention
on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) melalui Kepres no.
43 tahun 1978 dan telah memiliki beberapa instrumen hukum terkait yaitu UU no. 5 tahun 1990
tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya dan UU no. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan (diubah dengan UU no. 19/2004) dengan beberapa Peraturan Pemerintah yang
mencantumkan ketentuan pidana terhadap pelaku kejahatannya. Sejalan dengan Resolusi
ECOSOC 2012/19, Pemri akan berperan aktif dalam peningkatkan kerjasama internasional untuk
pemberantas kejahatan lintas negara terorganisir dalam segala bentuk dan manifestasinya, tidak
terkecuali kejahatan lingkungan dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
Majelis Umum PBB dalam resolusi 55/25 menegaskan bahwa United Nations Convention on
Transnational Organized Crimes (UNCTOC) telah memberikan kerangka hukum dan mekanisme
kerjasama internasional yang efektif dalam memberantas perdagangan illegal sumber daya alam,
dimana UNODC berperan untuk meningkatkan kapasitas Negara-negara anggota dalam
penyelidikan, penindakan dan peradilan bentuk kejahatan tersebut, serta sinkronisasinya dengan
instrument hukum internasional terkait seperti Convention on Biological Diversity (CBD) dan CITES.
Pemri akan terus mendorong perubahan pola pikir terhadap upaya perlindungan alam dan satwa liar
pada tataran regional dan multilateral, bahwa konservasi alam tidak hanya bertujuan untuk
melindungi biodiversity serta flora dan fauna liar di dalamnya, namun lebih luas lagi untuk
menunjang keberlangsungan hidup manusia di bumi. Oleh karena itu, kriminalisasi kejahatan
lingkungan dan penegakkan hukum perlu dilakukan sebagai upaya komplementer terhadap
konservasi alam. (Sumber : Direktorat KIPS)

Diplomasi Sawit: Kemlu Siapkan Amunisi


Hadapi Kampanye Negatif
Jumat, 21 Juli 2017 | dilihat 528 kali

Palembang: Pemerintah Indonesia menyiapkan amunisi berlapis untuk meyakinkan Komisi Eropa
agar mengabaikan resolusi Parlemen Eropa yang memojokkan industri kelapa sawit di Indonesia.
Bulan lalu, delegasi Indonesia telah mengunjungi markas besar Komisi Eropa di Brussels, Belgia,
yang menandai awal negosiasi sawit. Pada September 2017, Pemerintah Indonesia dan Malaysia
melalui Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) berencana untuk melakukan lobi lanjutan.
Kedua langkah tersebut diharapkan dapat membuka mata Komisi Eropa untuk tidak menindaklanjuti
resolusi Parlemen Eropa yang tercantum dalam Report on Palm Oil and Deforestation of
Rainforests. Jika tidak berhasil, Pemerintah Indonesia akan mempertimbangkan untuk membawa
perkara ini ke World Trade Organization (WTO).
Hal ini disampaikan oleh Direktur Perdagangan, Komoditas, dan Kekayaan Intelektual PKKI
Kementerian Luar Negeri, Tri Purnajaya pada kegiatan jaring masukan daerah mengenai
"Penguatan Diplomasi Sawit Indonesia dalam Forum Multilateral: Pengembangan Sawit yang
Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan" di Graha Bina Praja Provinsi Sumatera Selatan, Selasa
(18/7).
Kegiatan ini dihadiri langsung oleh Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Sumsel Joko Imam
Sentosa, Duta Besar RI Sunu Sumarno, serta para pejabat eselon II SKPD Sumsel dan sekitar 100
peserta lainnya. Hadir sebagai narasumber adalah Direktur PKKI Kementerian Luar Negeri, Kepala
Dinas Perkebunan Pemprov Sumsel, Wakil Dekan Pertanian Universitas Sriwijaya, dan Ketua
GAPKI Sumsel.
Dalam pembukaannya, Sekda menyampaikan bahwa industri kelapa sawit merupakan industri
terbesar di Indonesia dengan tingkat pertumbuhan yang paling tinggi dibandingkan industri lainnya.
Namun demikian, industri kelapa sawit nasional sedang mengalami berbagai tantangan serius,
antara lain peremajaan tanaman kelapa sawit dan berbagai tuduhan tidak berdasar kepada industri
kelapa sawit Indonesia oleh pihak asing. Berkaitan dengan peremajaan tanaman kelapa sawit,
tantangan terbesar adalah kendala biaya yang cukup besar dan kemampuan finansial petani yang
kurang memadai.
Berkaitan dengan tudingan negatif (black campaign) kepada industri kelapa sawit Indonesia yang
dirasa semakin gencar, Pemprov Sumsel berkeyakinan bahwa kelapa sawit di Sumatera Selatan
tidak ditanam dari penebangan hutan primer, namun ditanam di lahan yang telah
terdegradasi/rusak, gundu, alang-alang, maupun semak belukar sehingga produk komoditas sawit di
Sumatera Selatan telah memenuhi unsur ramah lingkungan dan berkelanjutan berdasarkan ISPO
dan RSPO.
Sejalan dengan hal tersebut, Dubes Sunu Soemarno juga menambahkan bahwa dalam kancah
internasional, Indonesia sebagai penghasil minyak sawit terbesar di dunia menghadapi
berbagaituduhan, antara lain /deforestasi, penyebab kabut asap, penghasil emisi gas rumah kaca,
dan lain-lain. Kampanye negatif kelapa sawit juga didengungkan oleh NGO/LSM baik dalam
maupun luar negeri.
Sehari sebelumnya, tim dari Ditjen Kerja Sama Multilateral Kemlu juga melakukan kunjungan
lapangan ke salah satu perusahaan terbesar yang ada di Sumatera Selatan, yaitu PT. Sawit Mas
Sejahtera di Kabupaten Banyuasin. Dalam kunjungan tersebut, Tim Ditjen Kerja Sama Multilateral
juga melihat langsung proses pengelolaan sawit yang sudah memenuhi kriteria ISPO dan RSPO.
Upaya total untuk mengatasi kampanye negatif komoditas sawit Indonesia dalam forum multilateral
dilakukan pula melalui serangkaian kerja sama dalam kerangka FTA dengan EU, WTO, dan juga
penjajakan kerja sama dengan lembaga/organisasi internasional, seperti FAO antara lain dalam
bentuk kajian riset ilmiah untuk produk sawit. Hal Ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya
berbagai isu yang berpotensi merugikan produk kelapa sawit Indonesia di masa mendatang.
(sumber: PKKI)
Hardjasoemantri Koesnadi, "Hukum Tata LIngkungan",Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,
2006.
Suparni Niniek, SH, "Pelestarian Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan:, Sinar Grafika,
Jakarta, 1994.
Hamdan.M,S.H.,M.H, "Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup", Mandar Maju, Bandung,
2000.
Gatot P.Soemartono R.M, "Hukum LIngkungan Hidup", Sinar Grafika, Jakarta, 1996.
Machmud Syahrul,S.H.,M.H, "Penegakan Hukum Lingkungan", Mandar Maju, Bandung, 2007.
H.T.N Siahaan, "Hukum LIngkungan dan Ekologi Pembangunan", Erlangga, Jakarta, 2004.
Soerjani.M, Arief Yuwono dan Dedi Fardiaz, "Lingkungan Hidup", Yayasan Institut Pendidikan dan
Pengembangan Lingkungan, Jaksel, 2006.
Arifin Syamsul,Prof.,S.H.,M.H, "Upaya Penegakan Hukum Lingkungan dalam Mewujudkan
Pembangunan Berwawasan Lingkungan di SUMUT", Pustaka Bangsa, Medan, 2004.
Sudjana Eggi, Riyanto, "Penegakan Hukum Lingkungan dalam Perspektif Etika Bisnis di Indonesia",
Gramedia, Jakarta, 1999.
Erwin.M,S.H.,M.Hum, "Hukum LIngkungan", Refika Aditama, Bandung, 2008.
Supriadi,S.H.,M.Hum, "Hukum Lingkungan Indonesia", Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Hamzah A.j,Prof.,Dr, "Penegakan Hukum Lingkungan", Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Silalahi Daud,Dr.,S.H, "Hukum LIngkungan", Penerbit Alumni, Bandung, 1996
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrasyid, Priyatna. 1991. Instrumen Hukum Nasional Bagi Peratifikasian Perjanjian
Internasional, Majalah Hukum Nasional, No. 1 Tahun 1991, BPHN ,Jakarta.
Agoes, Etty R. 1988. Masalah Sekitar Ratifikasi Dan Implementasi Konvensi Hukum
Laut 1982 : Antara Teori dan Praktek, dalam Yoyon A (ed). Percikan Gagasan Tentang
Hukum, FH UNPAR, Bandung.
Anwar, H Agustiar. 1991. Instrumen Hukum Nasional Bagi Peratifikasian Perjanjian-
perjanjian Internasional, Majalah Hukum Nasional No. 1 Tahun 1991 BPHN, Jakarta.
Ball, Simon & Stuart Bell. 1991. Environmental Law, Blackstone Press Limited, London.
Danusaputro, Munadjat St. 1982. Hukum Lingkungan, Buku IV: Global, Bina Cipta,
Bandung.
Kantaatmadja, Mieke Komar. 1991. Instrumen nasional untuk ratifikasi Perjanjian
Internasional- Suatu Studi Kasus, Majalah Hukum Nasional, No. 1 Tahun 1991, BPHN,
Jakarta.
Kusumaatmadja, Mochtar. 1976. Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian
Pertama, Bina Cipta, Bandung.
Kusumohamidjojo, Budiono. 1986. Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum
Perjanjian Internasional, Binacipta, Bandung.
Likadja, Frans E. 1988. Desain Instruksional : Dasar Hukum Internasional, PT Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Parthiana, Wayan. 1990. Pengantar Hukum Internasional, CV Mandar Maju, Bandung.
Pramudianto, A. 1993. Hukum Lingkungan Internasional, (Unpublished)
Pramudianto, A. 1995. Soft Law Dalam Perkembangan Hukum Lingkungan
Internasional, Majalah Hukum Pro Justititia Tahun XIII No. 4 Oktober 1995.
Situni, Wisnu. 1989. Reformulasi Sumber-sumber Hukum Internasional, CV Mandar
Maju, Bandung
Suraputra, Sidik D. 1991. Ratifikasi Perjanjian Internasional Menurut Hukum Nasional
Indonesia, Majalah Hukum Nasional, No 1 Tahun 1991, BPHN, Jakarta.
Suryono, Edy. 1984. Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia, CV
Remaja Karya, Bandung.
(Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Lingkungan dan Pembangunan Tahun 1999)
http://www.menlh.go.id/penerbitan-buku-perjanjian-lingkungan-hidup-internasional/

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI BIDANG LINGKUNGAN LAUT YANG


TELAH DIRATIFIKASI INDONESIA
UncategorizedAdd comments

Oleh : Andreas Pramudianto, SH


Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan,

Lembaga Penelitian Universitas Indonesia

Abstrak
Perjanjian Internasional di bidang kelautan yang sejak dulu telah dirundingkan, kini berkembang dengan pesat. Puncak dari
berbagai perundingan mengenai masalah kelautan adalah diadakannya Konperensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hukum
Laut (United Nations Conference on the Law of the Sea) pada tahun 1982 di Montego Bay, Jamaika. Dalam konperensi ini telah
ditandatangani suatu perjanjian internasional yang mencakup hampir seluruh permasalahan di bidang kelautan. Perjanjian
internasional ini dikenal dengan nama Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the
Sea/UNCLOS).Pemerintah Indonesia sudah sejak lama turut aktif dalam berbagai perundingan mengenai terbentuknya berbagai
perjanjian internasional di bidang kelautan khususnya lingkungan laut (environmental of the sea). Dengan menandatangani hasil
berbagai konperensi hukum laut, maka diperlukan suatu langkah untuk menindaklanjuti kesepakatan tersebut. Salah satu cara
adalah meratifikasi perjanjian internasional tersebut agar berlaku menjadi hukum nasional. Studi ini memberikan gambaran
mengenai hukum perjanjian lingkungan laut (environmental law of the sea treaties). Selain itu studi ini juga menggambarkan
bahwa cukup banyak perjanjian internasional (baik yang bersifat publik maupun perdata) yang telah diratifikasi Pemerintah
Indonesia dan alasan Pemerintah Indonesia untuk meratifikasinya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
studi pustaka. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah berbagai perjanjian
internasional di bidang kelautan diratifikasi, masih diperlukan beberapa langkah serta tindak lanjut untuk menerapkannya.
Implementasi perjanjian internasional ini antara lain dikeluarkan berbagai peraturan pelaksanaan yang bersifat umum maupun
teknis. Dalam penelitian ini telah menemukan ada langkah tindak lanjutnya dengan dikeluarkan beberapa peraturan pelaksana
baik dalam bentuk undang-undang hingga keputusan menteri. 1. PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang Permasalahan

Hingga saat ini, cukup banyak perjanjian internasional bidang lingkungan laut yang telah berhasil disepakati.
(UNEP,1993;Ball&Stuart,1991;Pramudianto,1995). Perkembangan perjanjian internasional yang lahir di abad 20 ini, nampaknya
berkaitan erat dengan meningkatnya pemanfaatan teknologi tinggi dan bahan berbahaya yang menimbulkan dampak yang luas
bagi masalah sumberdaya di laut. Karena itu perjanjian internasional di bidang kelautan kini lebih bersifat multilateral dan
menerapkannya secara global dengan penekanan pada persoalan kepemilikan bersama yang antara lain mengarah pada
prinsip Common Heritage of Mankinds. (Abdurrasyid, 1991; Agoes,1988;Danusaputro,1982)

Hukum internasional mengenal beberapa cara bagi suatu negara untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional yang
salah satu diantaranya adalah ratifikasi (Kusumaatmadja,1976;Parthiana,1990;Likadja,1988;Situni,1989). Dalam hal ini suatu
instrumen perjanjian internasional yang telah ditandatangani dan disepakati oleh negara-negara yang terlibat dalam suatu
perundingan umumnya masih membutuhkan adanya penegasan kembali. Penegasan kembali ini dapat dilakukan melalui lembaga
ratifikasi. (Suryono,1984;Suwardi,1991;Kusumohamidjojo,1986) Setelah dilakukan tindakan ratifikasi, naskah perjanjian
internasional tersebut dapat dikirim kembali ke tempat penyimpanan (depository) naskah perjanjian sebagai bukti keterikatan
suatu negara terhadap perjanjian internasional tersebut. Namun hal yang perlu dicatat bahwa tidak seluruh perjanjian
internasional membutuhkan ratifikasi untuk dapat diberlakukan. Karena itu ada beberapa ahli menyatakan bahwa ratifikasi hanya
sekedar memberikan pernyataan formal keterikatan terhadap suatu perjanjian
internasional. (Anwar,1991;Suraputra,1991;Kantaatmadja;1991;Agoes,1988;Suryono,1984)

Konsep yang berlaku umum di dalam hukum internasional ini juga diterapkan oleh Pemerintah Indonesia. Sesudah
menandatangani perjanjian-perjanjian internasional tersebut, Pemerintah Indonesia kemudian melakukan tindakan ratifikasi baik
melalui Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Produk hukum nasional hasil ratifikasi yang dikeluarkan oleh
Presiden berbentuk Keputusan Presiden (Keppres). Sedangkan hasil ratifikasi melalui persetujuan DPR dikeluarkan dalam
bentuk undang-undang (UU). Hingga sekarang ketentuan hukum mengenai ratifikasi masih berpedoman pada Pasal 11 Undang-
undang Dasar 1945 dan Surat Presiden Kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 2826/HK/60 tanggal 22 Oktober 1960
perihal Pembuatan Perjanjian-perjanjian dengan Negara Lain.

Dalam prakteknya, ratifikasi yang telah dilakukan oleh Indonesia terhadap perjanjian internasional yang berkaitan dengan bidang
kelautan khususnya lingkungan laut kebanyakan berbentuk Keputusan Presiden (Keppres). Sedangkan dalam bentuk Undang-
undang (UU) masih sangat sedikit. Hal ini berhubungan dengan klasifikasi perjanjian internasional itu sendiri yang pada
umumnya menganggap perjanjian internasional bidang lingkungan laut kurang memiliki dampak politik yang penting. Walaupun
demikian ada beberapa perjanjian internasional yang berkaitan dengan bidang lingkungan laut yang memiliki dampak politik
sangat penting dan mempengaruhi masa depan Indonesia telah berhasil disetujui oleh DPR melalui bentuk undang-undang.
Sebagai contoh adalah Undang-undang No. 17 tahun 1985 yang mengesahkan Konvensi PBB mengenai Hukum Laut 1982. 1.2.
Identifikasi MasalahPermasalahan yang timbul mengenai tata cara ratifikasi terhadap berbagai perjanjian internasional dilihat
dari pandangan yuridis selama ini karena ketentuan hukum nasional belum memadai. Dasar hukum mengenai tata cara
meratifikasi yang selama ini ada tidak memberikan prosedur yang jelas dan baku. Pasal 11 Undang-undang Dasar 1945 tidak
menyebutkan dengan tegas adanya kata ratifikasi dan tidak memberikan kejelasan prosedural mengenai tata cara meratifikasi
suatu perjanjian internasional. Surat Presiden No 2826/Hk/60 bahkan berada di luar tata urutan perundang-undangan berdasarkan
Ketetapan MPR No. XX/1966 mengenai Sumber Tertib Hukum. Kemudian timbul masalah lagi, yaitu bagaimana menentukan
atau mengkriteriakan jenis perjanjian internasional yang penting dan perjanjian internasional yang kurang penting. Permasalahan
ini akan menimbulkan akibat pada perjanjian internasional di bidang lingkungan laut yang dalam meratifikasi ternyata
menghasilkan dua produk hukum nasional yaitu berbentuk Keputusan Presiden (Keppres) dan berbentuk Undang-undang (UU).
Hal ini menimbulkan suatu akibat bahwa ternyata perjanjian di bidang lingkungan laut ada yang dikategorikan sangat penting dan
ada yang kurang penting. Berbagai perjanjian internasional di bidang lingkungan laut telah berhasil dibentuk. Namun hal ini
membutuhkan keterikatan yang pasti yaitu dapat berupa ratifikasi, penerimaan atau persetujuan. Bagi Pemerintah Indonesia
ratifikasi menjadi hal yang penting karena akan mempengaruhi sistem hukum nasional Indonesia dan dapat memberikan
wawasan baru bagi ketentuan hukum nasional. 1.3. Maksud dan Tujuan

Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana produk hukum internasional di bidang kelautan khususnya dalam
perjanjian internasional bidang hukum lingkungan laut telah diimplementasikan ke dalam hukum nasional. Sedangkan
tujuan penelitian adalah :

1. Mengetahui informasi berbagai perjanjian internasional bidang kelautan yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia.

2. Mengetahui sejauhmana tindak lanjut pelaksanaan atas ratifikasi perjanjian internasional ini

3. Mengetahui secara mendasar mengenai masalah ratifikasi.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat dalam hal :

1. Memberikan informasi dasar khususnya yang menyangkut peraturan internasional di bidang lingkungan laut yang telah
diratifikasi Pemerintah Indonesia

2. Menambah studi-studi di bidang kelautan khususnya yang menyangkut peraturan.

3. Meningkatkan desiminasi dan informasi hukum laut Indonesia

4. Memberikan bahan masukan untuk pengambil keputusan dalam menindaklanjuti berbagai peraturan yang telah diratifikasi

1.5. Lingkup StudiPenelitian ini dibatasi pada permasalahan hukum lingkungan laut, khususnya ratifikasi atas perjanjian
internasional.
2. METODE PENELITIAN
2.1. MetodologiMetode yang digunakan dalam studi ini adalah penelitian deskriptif dengan cara menginventarisasi berbagai
ketentuan atau peraturan hukum internasional yang telah diratifikasi. Selain itu dilakukan juga studi pustaka untuk mencari
berbagai informasi mengenai perjanjian internasional yang diratifikasi. 2.2. Penentuan SampelDari seluruh peraturan yang
menyangkut perjanjian internasional yang telah ditandatangani atau diratifikasi, sampel yang diambil hanya pada perjanjian
internasional yang khususnya menyangkut atau berkaitan dengan persoalan lingkungan laut yang telah diratifikasi. Setelah itu
dilakukan penelusuran peraturan hukum nasional yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia dalam menerapkan ketentuan ratifikasi
ini. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah setiap peraturan nasional yang berkaitan dengan pokok bahasan yang ada dalam
perjanjian internasional selalu disebutkan hasil ratifikasinya. 2.3. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu
bahwa :Ratifikasi atas beberapa perjanjian internasional di bidang lingkungan laut oleh Pemerintah Indonesia akan ditindaklanjuti
dengan peraturan pelaksanaan.

3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3.1. Perjanjian Internasional yang Telah Diratifikasi dan Alasan-alasannya


Pemerintah Indonesia telah aktif dalam berbagai perundingan di bidang kelautan sejak tahun 1958 khususnya dalam Konperensi
Hukum Laut I. Dalam perundingan itu delegasi Indonesia telah menandatangani hasil konperensi tersebut yaitu Konvensi
mengenai Landas Kontinen (Convention on the Continental Shelf), Konvensi mengenai Perikanan dan Sumberdaya Hayati di
Laut Lepas (Convention of Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas), serta Konvensi mengenai Laut
Lepas (Convention on the High Sea). Sedangkan Konvensi mengenai Laut Teritorial tidak ditandatangani. Tiga tahun kemudian
konvensi-konvensi ini telah diratifikasi melalui Undang-undang No. 19 Tahun 1961 tentang Persetujuan Atas Tiga Konvensi
Jenewa Tahun 1958 mengenai Hukum Laut. Sehingga dari 4 konvensi hanya satu konvensi yang tidak ditandatangani dan
diratifikasi yaitu Konvensi mengenai Laut Teritorial. Hal ini dikarenakan bertentangan dengan prinsip yang berlaku dalam
Deklarasi Juanda yang menyatakan wilayah lautan Indonesia dengan daratan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Berbeda dengan Kringen Ordonantie 1933 yang menyatakan masing-masing pulau memiliki laut teritorial dengan jarak 3 mil.
Sedangkan Konvensi mengenai Laut Teritorial 1958 membatasi jarak 12 mil dari pantai namun bukan merupakan satu kesatuan
dalam hal wilayah yang dimiliki secara khusus seperti Deklarasi Juanda. Konvensi mengenai Perikanan Serta Pelestarian
Sumberdaya Hayati Laut Bebas terdiri dari 22 pasal, Konvensi mengenai Landas Kontinen terdiri dari 15 pasal dan Konvensi
Laut Lepas terdiri dari 37 pasal. Ada beberapa pertimbangan untuk meratifikasi ketiga Konvensi ini yang tercantum dalam
Undang-undang No. 19/1961. Seperti kehadiran Pemerintah Indonesia dalam berbagai perundingan di Konperensi Hukum Laut
di Jenewa tahun 1958 yang hal ini dinyatakan dengan tegas dalam bagian a pertimbangan UU ini :bahwa konperensi
internasional di Jenewa tahun 1958 mengenai hukum laut (Conference on the Law of the Sea) dimana Republik Indonesia ikut
serta hadir Dalam penjelasan Undang-undang ini juga dinyatakan :Konvensi-konvensi tersebut telah ditandatangani oleh
Ketua Delegasi Republik Indonesia ke Konperensi Jenewa tersebut. Pertimbangan lain untuk meratifikasi ketiga konvensi ini
adalah :Bahwa terhadap konvensi-konvensi sebagaimana dimaksud dalam sub 1 sudah sewajarnya Indonesia sebagai negara
kepulauan menjadi peserta. Sedangkan diratifikasinya ketiga konvensi ini melalui undang-undang dinyatakan secara tegas
dalam pertimbangan :bahwa persetujuan mengenai ketiga konvensi Jenewa mengenai Hukum Laut itu perlu diatur dengan
undang-undang. Selanjutnya dalam penjelasannya dinyatakan :..Indonesia mempunyai kepentingan terhadap segala
sesuatu yang mempunyai segi hukum laut. Menurut ketatanegaraan kita, persetujuan atas ketiga konvensi termaksud
berdasarkan pasal 11 Undang-undang Dasar, memerlukan persetujuan dengan undang-undang. Berkaitan dengan upaya
kegiatan pelayaran di laut khususnya penetapan jalur pelayaran di laut, pada tahun 1966 telah ditandatangani Konvensi
Internasional mengenai Jalur Pelayaran (International Convention on Load Lines 1966). Oleh Pemerintah Indonesia konvensi ini
telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden No. 47/1976 tertanggal 2 November 1976. Konvensi ini merupakan
hasil Conference on Load Lines. Hal ini dinyatakan dalam pertimbangan Keputusan Presiden sebagai berikut :bahwa pada
tanggal 3 Maret sampai dengan tanggal 5 April 1966, atas prakarsa Intergovernmental Maritime Consultative Organization, di
London telah diselenggarakan International Conference on Load Lines yang menghasilkan International Convention on Load
Lines, 1966.

Indonesia sebagai salah satu anggota Intergovernmental Maritime Consultative Organization(Sekarang : IMO) tidak keberatan
untuk menandatangani dan meratifikasi konvensi ini. Ratifikasi atas konvensi ini juga memperhatikan Konvensi Mengenai
Keselamatan di Laut (Convention for the Safety Life at the Sea/SOLAS) 1960 yang telah diratifikasi. Hal ini dinyatakan dalam
Keputusan Presiden sebagai berikut :

Memperhatikan : 2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 203 Tahun 1966.

Pada tahun 1974, Konvensi Mengenai Keselamatan di Laut atau dikenal dengan SOLAS Convention 1960 diperbaharui dan
diganti. Delegasi Indonesia dalam proses perundingan konvensi ini hadir dan turut menandatangani SOLAS Convention 1974. Hal
ini dinyatakan secara tegas dalam Keputusan Presiden No. 65 Tahun 1980 tentang Pengesahan International Convention for the
Safety of Life at Sea, 1974 :
bahwa sebagai pengganti International Convention for the Safety of Life at Sea, 1960, konperensi internasional tentang
keselamatan jiwa di laut 1974 telah menghasilkan International Convention for the Safety of Life at Sea 1974, yang telah
ditandatangani oleh delegasi pemerintah Republik Indonesia di London pada tanggal 1 November 1974.

Seperti telah dinyatakan dalam pasal 25 Konvensi Laut Lepas 1958 yang menyatakan semua negara diminta untuk bekerjasama
dalam mengambil tindakan terhadap pencemaran di laut, maka pada tanggal 29 November tahun 1969 di kota Brusel negara-
negara IMO telah menandatangani suatu konvensi internasional. Konvensi ini bernama Konvensi Internasional Mengenai
Pertanggungjawaban Perdata Terhadap Pencemaran Minyak di Laut (International Convention on Civil Liability for Oil Pollution
Damage). Delegasi Pemerintah Indonesia turut menandatangani konvensi ini seperti tercantum dalam ratifikasi atas konvensi ini
yaitu melalui Keputusan Presiden No. 18 Tahun 1978 yang menyatakan :

Membaca : a. bahwa sebagai hasil sidang International Legal Conference on Marine Polution Damage, di Brusel pada
tanggal 29 November 1969, delegasi Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani International Convention on Civil
Liability for Oil Pollution Damage.

Konvensi ini terdiri dari 21 pasal dan bertujuan untuk menjamin ganti rugi yang sesuai untuk seseorang yang menderita akibat
pencemaran minyak di laut. Selain itu negara-negara harus bertanggungjawab terhadap pencemaran di laut yang dinyatakan
dalam Keppres sebagai berikut :

bahwa konvensi tersebut memuat ketentuan-ketentuan tentang pertanggungjawaban antar negara peserta konvensi atas
pengotoran laut oleh minyak.

Mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan dan memiliki laut yang luas, maka kebutuhan akan suatu ketentuan hukum
internasional mengenai pencemaran di laut menjadi sangat penting. Apalagi letak yang strategis yaitu di antara 2 benua dan 2
samudera serta banyak dilalui kapal-kapal dari negara-negara lain. Kebutuhan untuk meratifikasi konvensi ini menjadi semakin
penting ketika kasus pencemaran minyak oleh kapal tanker Showa Maru yang mengakibatkan Indonesia menjadi salah satu
negara korban pencemaran. Sehingga hal ini menjadi pertimbangan penting untuk melindungi perairan Indonesia seperti
dinyatakan dalam Keppres sebagai berikut :

bahwa untuk mencegah pengotoran laut yang disebabkan oleh minyak di sepanjang perairan Indonesia, Pemerintah Republik
Indonesia memandang perlu untuk mengesahkan konvensi tersebut pada huruf a di atas.

Dua tahun kemudian pada tanggal 18 Desember 1971 negara-negara IMCO kembali mengadakan pertemuan di Brussels yang
hasilnya menandatangani International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil
Pollution Damage. Konvensi ini juga telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun
1978 tentang Pengesahan International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil
Pollution Damage. Dalam Keputusan Presiden ini dinyatakan :

bahwa konvensi tersebut memuat ketentuan-ketentuan tentang ganti rugi yang diwajibkan kepada pemilik kapal yang
menimbulkan pengotoran atau pencemaran di sepanjang pantai yang ditimbulkan oleh minyak yang berasal dari kapal.

Meningkatnya kegiatan perekonomian khususnya di bidang pengangkutan minyak melalui kapal-kapal tanker telah menimbulkan
berbagai permasalahan baru. Seperti terjadinya pencemaran minyak akibat meningkatnya lalu lintas kapal-kapal tanker yang
melewati perairan Indonesia. Hal ini juga telah menjadi bahan pertimbangan atas diratifikasinya konvensi tersebut yang
dinyatakan :

bahwa karena lalulintas kapal-kapal tangki di sepanjang perairan Indonesia semakin meningkat yang mungkin dapat
menimbulkan pengotoran minyak yang berasal dari kapal-kapal tersebut maka Pemerintah Republik Indonesia memandang
perlu untuk mengesahkan konvensi tersebut pada huruf a di atas;

Namun demikian pada tanggal 10 Maret 1998 ratifikasi konvensi ini dicabut oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan
Presiden No. 41 Tahun 1998 tentang Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1978. Hal ini berkaitan dengan situasi
perekonomian Pemerintah Indonesia yang sedang mengalami krisis. Hal ini tercantum dalam salah satu bagian pertimbangan
yang menyatakan :

bahwa keanggotaan Pemerintah Indonesia pada Convention tersebut pada huruf a telah dibebani kontribusi yang
memberatkan Anggaran Negara.
Dengan demikian alasan pokok atas pengunduran diri terhadap International Convention on the Establishment of an
International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971 adalah alasan ekonomi.

Kapal-kapal tanker maupun kapal-kapal lainnya dalam pengoperasiannya sering membuang balast yang menyebabkan
terjadinya pencemaran di perairan. Karena itu untuk mengatur masalah pencemaran yang diakibatkan oleh pengoperasian kapal
laut maka pada tahun 1973 di kota London telah ditandatangani Konvensi Internasional Mengenai Pencegahan Pencemaran yang
Berasal dari Kapal (International Convention for the Prevention of Pollution from Ships). Lima tahun kemudian yaitu pada
tanggal 17 Februari 1978 disetujui sebuah protokol dari konvensi ini yaitu Protocol of 1978 Relating to the International
Convention for the Prevention of Pollution from Ships. Konvensi dan protokol ini dikenal dengan nama MARPOL 1973/1978,
merupakan hasil Konperensi mengenai Pencemaran di Laut dari kapal-kapal (International Conference on Marine Pollution from
Ships) dan Konperensi Internasional mengenai Keamanan Kapal Tanker dan Pencegahan Pencemaran (International Conference
on Tanker Safety and Pollution Prevention). Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi ini dan protokolnya melalui
Keputusan Presiden No. 46 Tahun 1986 tertanggal 9 September 1986 tentang Pengesahan International Convention for the
Prevention Pollution from Ships, 1973, beserta, Protocol of 1978 Relating to the International Convention for The Prevention of
Pollution from Ships, 1973. Bagi Pemerintah Indonesia ratifikasi ini menjadi sangat penting karena merupakan upaya mencegah
pencemaran di perairan Indonesia dan melindungi lingkungan laut di wilayah teritorial maupun di Zone Ekonomi Eksklusif. Hal
ini dinyatakan dalam pertimbangan Keputusan Presiden di bawah ini :

bahwa untuk menjaga kelestarian lingkungan laut dari bahaya pencemaran yang berasal dari pengoperasian kapal-kapal.
Pemerintah Republik Indonesia memandang perlu untuk ikut serta menjadi pihak di dalam konvensi beserta protokol tersebut.

Berkaitan dengan perkembangan hukum laut internasional, Pemerintah Indonesia kembali turut serta dalam berbagai perundingan
mengenai dibentuknya suatu konvensi hukum laut internasional. Hingga pada akhirnya tanggal 10 Desember 1982 telah
ditandatangani Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea) atau yang disebut
UNCLOS 1982. Konvensi ini pada tanggal 16 November 1994 telah memenuhi syarat ratifikasi (minimal 60 negara meratifikasi)
sehingga dapat diberlakukan. Dari mulai ditandatangani konvensi ini hingga mencapai tahap diberlakukannya konvensi ini telah
memakan jangka waktu yang cukup lama yaitu hampir 12 tahun. Hal ini disebabkan banyak konsep baru diatur di dalam
konvensi ini seperti konsep negara kepulauan, perlindungan lingkungan laut, pembentukan Mahkamah Dasar Laut, Pembentukan
Otorita Dasar Laut dll. Konvensi ini terdiri dari Pembukaan, 17 Bab, 320 Pasal, dan 9 Lampiran. Isi konvensi tersebut terdiri dari
bab-bab yang mengatur masalah laut territorial dan zona tambahan, kemudian selat yang digunakan untuk pelayaran
Internasional, serta mengenai negara kepulauan. Ada bab-bab lain yang mengatur Zona Ekonomi Eksklusif, landas Kontinen, laut
lepas, dan masalah Rezim Pulau. Selain itu, konvensi mengatur mengenai laut teritorial atau setengah tertutup, hak negara tak
berpantai untuk masuk ke dalam dan ke luar laut, serta masalah kebebasan melakukan transit. Adapula bab-bab yang mengatur
masalah kawasan, Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut, Riset Ilmiah Kelautan, Pengembangan dan Alih Teknologi
Kelautan, serta mengenai Penyelesaian Sengketa.

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-undang No. 17 Tahun 1985 tertanggal 31 Desember 1985.
Berkaitan dengan peningkatan kerjasama internasional khususnya kerjasama selatan-selatan di bidang kelautan, maka pada
tanggal 7 September 1990 di kota Arusha,Tanzania telah dibentuk suatu Organisasi Hubungan Kerjasama Lautan Hindia melalui
suatu persetujuan yang dinamakan Agreement on the Organization for Indian Ocean Marine Affair Cooperation (IOMAC).
Melalui Keputusan Presiden No. 86 Tahun 1993 tertanggal 16 September 1993 persetujuan pembentukan organisasi ini telah
diratifikasi. Ratifikasi atas persetujuan ini tercantum dalam pertimbangannya yang menyatakan :

bahwa di Arusha, Tanzania pada tanggal 7 September 1990 Delegasi Republik Indonesia telah menandatangani Agreement on
the Organization for Indian Ocean Marine Affairs Cooperation(IOMAC) yang mengatur kerjasama masalah kelautan di
Samudera Hindia.

Beberapa konvensi lainnya yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia di bidang kelautan adalah International Convention for
Safe Containers melalui Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1989 tertanggal 17 Juli 1989, International Convention for Standard
of Training, Certification and Watch Keeping for Seaferers 1978 melalui Keputusan Presiden No 60 Tahun 1986 tertanggal 4
Desember 1986, Convention on the International Regulation for Preventing Collisions at Sea 1960 yang diratifikasi melalui
Keputusan Presiden No. 107 tahun 1968. Konvensi ini kemudian diganti dengan Convention on the International Regulation for
Preventing Collisions at Sea 1972 yang diratifikasi melalui Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1979 tertanggal 11 Oktober 1979.
Di Tabel 1 ditunjukkan data perjanjian internasional bidang lingkungan laut yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia.

Tabel 1

Ratifikasi Indonesia Terhadap Perjanjian Internasional Bidang Lingkungan Laut


NO NAMA PERJANJIAN RATIFIKASI MASALAH YANG
INTERNASIONAL DIATUR

1. Convention on the Continental Shelf Undang-undang No. Pengaturan Landas


1958, Convention on Fishing and 19 /19616 September Kontinen, Perikanan
Conservation of the Living Resources of 1961 dan Konservasi
the High Seas 1958, Convention on the Sumberdaya Alam di
High Seas 1958 Laut Lepas dan
Konvensi Laut Lepas

2. Convention on the International KEPPRES No. Pengaturan mengenai


Regulation for Preventing Collision at 107/1968D I C A B U T pencegahan kecelaka-
Sea 1960 an/tubrukan kapal di
laut.

3. International Convention on Load Lines KEPPRES No. 47/19762 Pengaturan Mengenai


1966 November 1976 Jalur Pelayaran

4 International Convention on Civil Liability KEPPRES No. 18/19781 Tanggungjawab Perdata


for Oil Pollution Damage 1969 Juli 1978 Terhadap Pencemaran
Di Laut

5. International Convention on the Esta- KEPPRES No. 19/19781 Pengaturan Mengenai


bilishement of an International Fund for Juli 1978D I C A B U Pembentukan Dana In-
Compensation for Oil Pollution Damage TKEPPRES No. 41/1998 ternasional untuk Ganti
1971 Rugi Pencemaran Mi-
nyak di Laut

6 Convetion on the International Regulation KEPPRES No. Penyempurnaan


for Preventing Collisions at Sea 1972 50/197911 Oktober Conven-tion 1960
1979 tentang pencegahan
tubrukan kapal di laut

7. International Convention for Safe KEPPRES No. Pengaturan Mengenai


Containers 1972 33/198917 Juli 1989 Keselamatan dan Serti-
fikasi Peti Kemas

8. International Convention for the KEPPRES No. 46/19869 Pengaturan Mengenai


Prevention of Pollution by Ships 1973, September 1986 Pencegahan Pencemar-
Protocol Relating to the Convention for an Yang Berasal Dari
the Prevention of Pollution from Ship Kapal-kapal.
1978.

9. International Convention for the Safety of KEPPRES No. 65/19809 Pengaturan Mengenai
Life at Sea 1974 Desember 1980 Keselamatan di Laut

10. Protocol of 1978 Relating to the KEPPRES No. Protokol Mengenai Ke-
International Convention for the Safety of 21/198829 Juni 1988 selamatan di Laut.
Life at Sea 1974

11. International Convention on Standards of KEPPRES No. 60/19864 Pengaturan Mengenai


Training, Certification & Watch Keeping Desember 1986 Standard Pelatihan,
for Seafarers, 1978 Sertifikasi dan Penga-
matan Bagi Pelaut

12 International Convention on Standards of KEPPRES No. 60/19864 Pengaturan Mengenai


Training, Certification & Watch Keeping Desember 1986 Standard Pelatihan,
for Seafarers, 1978 Sertifikasi dan Penga-
matan Bagi Pelaut

13. United Nations Convention on Law Of The Undang-undang No. Pengaturan Mengenai
Sea (UNCLOS) 1982 17/198531 Desember Masalah Kelautan
1985

14 Agreement on the Organization for Indian KEPPRES No. Pengaturan mengenai


Ocean Marine Affairs Cooperation 86/199316 September kerjasama kelautan di
(IOMAC) 1990 1993 Samudera Hindia

SUMBER : Pramudianto, A. 1993. Ratifikasi Perjanjian Internasional Bidang Lingkungan Hidup (Belum diterbitkan)

3.2. Implementasi Perjanjian Internasional oleh Pemerintah Indonesia


Implementasi secara sederhana dapat dikatakan sebagai upaya penerapan suatu perjanjian internasional melalui suatu peraturan
hukum nasional dengan ketentuan yang bersifat lebih lanjut. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi kemudian menjadi
hukum nasional belumlah cukup memadai untuk dilaksanakan. Karena itu dibutuhkan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya
sesuai dengan pasal-pasal perjanjian internasional tersebut. Implementasi suatu perjanjian internasional menjadi sangat penting
dan diperlukan untuk dapat memberikan masukan baru sehingga dapat menambah wawasan bagi perkembangan hukum nasional.
Kadang-kadang ada peraturan-peraturan yang belum diatur dalam hukum nasional, maka perjanjian internasional yang telah
diratifikasi tersebut diharapkan dapat menambah kekurangan yang ada di dalam sistem hukum nasional. Sebagai contoh adalah
ketentuan mengenai sertifikasi internasional, pencegahan pencemaran lintas batas dan mekanisme penelusuran informasi belum
diatur dalam sistem hukum nasional.

Selain itu dalam hubungan internasional Indonesia akan berperan lebih besar lagi dengan keterlibatannya dalam kegiatan-
kegiatan penting yang berkaitan dengan perjanjian internasional tersebut, seperti dalam penyusunan peraturan-peraturan
perjanjian internasional dalam bentuk protocol, annex, maupun amandement. Tindakan meratifikasi suatu perjanjian
internasional bagi Indonesia dapat meningkatkan kerjasama internasional dan hubungan yang luas. Selain itu bantuan luar negeri
baik yang berupa pendanaan maupun alih teknologi serta bantuan ilmiah seperti yang telah tercantum dalam suatu perjanjian
internasional dapat memberikan keuntungan untuk meningkatkan dan mendorong pembangunan nasional.

Ratifikasi atas suatu perjanjian internasional harus diimplementasikan melalui ketentuan-ketentuan yang bersifat tindaklanjut atas
perjanjian internasional tersebut. Selama ini ada beberapa peraturan mengenai tindak lanjut atas perjanjian internasional yang
telah dikeluarkan Pemerintah Indonesia. Dibawah ini akan diberikan beberapa contoh ketentuan perundang-undangan nasional
yang merupakan tindak lanjut dari suatu perjanjian internasional bidang kelautan yang telah diratifikasi dengan menyebutkan
secara tegas adanya ratifikasi tersebut.

3.2.1. Undang-undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia


Undang-undang ini merupakan pengganti Undang-undang No. 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Undang-undang
tersebut terdiri atas 7 bab dan 27 pasal yang mengatur hal-hal mengenai: wilayah perairan Indonesia, hak lintas bagi kapal-kapal
asing, pemanfaatan-pengelolaan-perlindungan dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia, serta penegakan hukum di perairan
Indonesia. Undang-undang ini merupakan penyesuaian atas diratifikasinya Konvensi PBB mengenai Hukum Laut 1982
khususnya pada Bab IV konvensi tersebut. Penyesuaian undang-undang ini atas konvensi tersebut dinyatakan pada bagian
menimbang huruf c yang menyatakan :

bahwa pengaturan hukum negara kepulauan yang ditetapkan dalam undang-undang No. 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan rezim hukum negara kepulauan sebagaimana dimuat dalam Bab IV
Konvensi tersebut pada huruf b.

Dasar hukum undang-undang ini juga menyebutkan ratifikasi atas Konvensi PBB mengenai Hukum Laut 1982. Dalam bagian
mengingat dinyatakan pasal 5 ayat (1) dan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 serta Undang-undang No. 17/1985 tentang
Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982. 3.2.2. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1974
tertanggal 18 Maret 1974 tentang Pengawasan Pelaksanaan Eksplorasi dan Ekploitasi Minyak dan Gas Bumi di Daerah
Lepas Pantai.

Peraturan Pemerintah ini terdiri dari 65 pasal dan 12 bab. Bab-bab ini diantaranya mengatur masalah instalasi pertambangan,
pipa penyaluran, penyelidikan geologis dan geofisik, penyelidikan dasar, penggunaan bahan peledak. Peraturan pemerintah ini
juga menata mengenai usaha pemanfaatan seperti: pemboran eksplorasi, pemboran pengembangan dan pemboran penilaian,
kemudian produksi, penimbunan, pemuatan dan konservasi. Mengenai masalah jurisdiksi, mengatur mengenai daerah perbatasan,
wewenang penyidikan, dan ketentuan pidana.

Peraturan pemerintah ini merupakan tindak lanjut diratifikasinya tiga Konvensi Hukum Laut 1958 yaitu Konvensi Mengenai Laut
Lepas, Konvensi Mengenai Landas Kontinen dan Konvensi Mengenai Perikanan dan Sumberdaya Hayati di Laut Lepas melalui
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat yang produk hukumnya berupa undang-undang. Dalam peraturan pemerintah ini secara
tegas dinyatakan adanya ratifikasi yang tercantum sebagai berikut :

Mengingat : 6. Undang-undang No. 19 Tahun 1961 tentang Persetujuan atas Tiga Konvensi Jenewa Tahun 1958 Mengenai
Hukum Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 276, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2318).

3.2.3. Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 167/HM.207/PHB-86 tertanggal 27 Oktober 1986 tentang Sertifikat
Internasional Pencegahan Pencemaran oleh Minyak dan Sertifikat Internasional Pencegahan Pencemaran oleh Bahan
Cair Beracun.

Keputusan Menteri perhubungan ini dikeluarkan dalam upaya melindungi lingkungan laut. Selain itu juga dinyatakan secara
tegas bahwa Pemerintah Indonesia turut meratifikasi Konvensi Internasional Tentang Pencegahan Pencemaran dari Kapal 1978
dan Protokol 1978. Hal ini dinyatakan dalam bagian pertimbangan keputusan yang menyatakan :

Menimbang : a. bahwa dalam rangka melindungi kelestarian lingkungan laut dengan Keputusan Presiden No. 46 Tahun 1986,
pada tanggal 9 September 1986, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Konvensi Internasional tentang Pencegahan
Pencemaran dari Kapal 1978 dan Protokol 1978 konvensi tersebut (International Convention for the Prevention of Pollution
from Ships, 1973 and the Protocol of 1978 Relating thereto).

Keputusan menteri ini juga merupakan tindak lanjut atas diratifikasinya konvensi

tersebut beserta protokolnya seperti dinyatakan dalam bagian pertimbangannya :

b. bahwa sebagai tindaklanjut dari pengesahan Konvensi tersebut dipandang perlu menetapkan peraturan tentang Sertifikat
Internasional Pencegahan pencemaran oleh Minyak dan Sertifikat Internasional Pencemaran oleh Bahan Cair Beracun bagi
Setiap Kapal yang Memasuki atau Berada di Pelabuhan atau Terminal Lepas Pantai Indonesia. 3.2.4. Keputusan Menteri
Perhubungan No. KM 215/AL.506/PHB-87 tertanggal 19 September 1987 tentang Pengadaan Fasilitas Penampungan
Limbah dari Kapal.

Keputusan Menteri Perhubungan ini juga merupakan upaya melindungi kelestarian lingkungan laut dan sebagai tindak lanjut atas
diratifikasinya International Convention for the Prevention of Pollution from Ships, 1973 and the Protocol of 1978 Relating
thereto. Hal ini dinyatakan dalam pertimbangannya:

b. bahwa sebagai tindak lanjut dari pengesahan atas Konvensi tersebut, perlu menetapkan peraturan tentang Pengadaan
Fasilitas Penampungan Limbah dari Kapal.
Dalam bagian mengingat juga ditegaskan adanya ratifikasi atas konvensi ini seperti dinyatakan:

Mengingat : 4. Keputusan Presiden No. 46 Tahun 1986 (BN. No. 4437 hal 88) tentang Pengesahan International Convention
for the Prevention of Pollution from Ships, 1973 and the Protocol of 1978 Relating to International Convention for the
Prevention of Pollution from Ships, 1973 3.2.5. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep-
45/MENLH/11/1996 tertanggal 19 Nopember 1996 tentang Program Pantai Lestari.

Keputusan Menteri Negara LH ini dikeluarkan untuk mencegah terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan di wilayah
pantai. Keputusan ini juga berkaitan dengan tindak lanjut ratifikasi Konvensi Internasional mengenai Pencegahan Pencemaran
yang Berasal dari Kapal (International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973 and Their Protocol) yang
menyatakan :

Mengingat : 7. Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 1986 tentang Pengesahan International Convention for the Prevention of
Pollution from Ships 1973 beserta protokol.

Masih banyak peraturan pelaksanaan lainnya yang merupakan tindak lanjut ratifikasi atas perjanjian internasional di bidang
lingkungan laut. Dari hasil studi ini hampir semua perjanjian internasional bidang lingkungan laut telah dilaksanakan melalui
berbagai produk hukum yang dikeluarkan khususnya produk hukum yang bersifat teknis.

4. KESIMPULAN DAN SARAN4.1. Kesimpulan

Pemerintah Indonesia telah ikut terlibat dalam perundingan pembentukan beberapa perjanjian internasional bidang lingkungan
laut. Keterlibatan ini menimbulkan akibat dengan ditandatanganinya perjanjian internasional tersebut. Penandatanganan yang
selanjutnya diratifikasi akan berpengaruh ke dalam hukum nasional. Sebagai langkah berikutnya adalah tindak lanjut untuk
melaksanakan perjanjian internasional itu dengan mengeluarkan berbagai produk hukum nasional. Hal ini telah dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia dengan dikeluarkannya beberapa peraturan yang menyangkut masalah pelaksanaan atas perjanjian
internasional tersebut. Berbagai produk hukum nasional telah dikeluarkan sebagai pelaksanaan perjanjian internasional yang telah
diratifikasi walaupun belum seluruhnya terlaksana. Dengan demikian hal ini telah menjawab hipotesa yang diajukan dalam
penelitian ini bahwa beberapa perjanjian internasional bidang kelautan yang telah ditandatangani dan diratifikasi ternyata telah
ditindaklanjuti melalui peraturan pelaksanaan dalam berbagai bentuk produk hukum nasional.

4.2. Saran

1. Untuk menindaklanjuti berbagai peraturan yang telah diratifikasi ini perlu disesuaikan dengan posisi Indonesia agar tidak
menimbulkan pertentangan atau konflik hukum.

2. Masih ada beberapa pasal dalam perjanjian internasional yang belum dilaksanakan. Hal ini perlu untuk kepentingan
Indonesia khususnya yang menyangkut persoalan kerjasama internasional dan bantuan teknik.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrasyid, Priyatna. 1991. Instrumen Hukum Nasional Bagi Peratifikasian Perjanjian Internasional, Majalah Hukum
Nasional, No. 1 Tahun 1991, BPHN ,Jakarta.

Agoes, Etty R. 1988. Masalah Sekitar Ratifikasi Dan Implementasi Konvensi Hukum Laut 1982 : Antara Teori dan
Praktek, dalam Yoyon A (ed). Percikan Gagasan Tentang Hukum, FH UNPAR, Bandung.

Anwar, H Agustiar. 1991. Instrumen Hukum Nasional Bagi Peratifikasian Perjanjian-perjanjian Internasional, Majalah Hukum
Nasional No. 1 Tahun 1991 BPHN, Jakarta.

Ball, Simon & Stuart Bell. 1991. Environmental Law, Blackstone Press Limited, London.

Danusaputro, Munadjat St. 1982. Hukum Lingkungan, Buku IV: Global, Bina Cipta, Bandung.

Kantaatmadja, Mieke Komar. 1991. Instrumen nasional untuk ratifikasi Perjanjian Internasional- Suatu Studi Kasus, Majalah
Hukum Nasional, No. 1 Tahun 1991, BPHN, Jakarta.

Kusumaatmadja, Mochtar. 1976. Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Pertama, Bina Cipta, Bandung.
Kusumohamidjojo, Budiono. 1986. Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Binacipta, Bandung.

Likadja, Frans E. 1988. Desain Instruksional : Dasar Hukum Internasional, PT Ghalia Indonesia, Jakarta.

Parthiana, Wayan. 1990. Pengantar Hukum Internasional, CV Mandar Maju, Bandung.

Pramudianto, A. 1993. Hukum Lingkungan Internasional, (Unpublished)

Pramudianto, A. 1995. Soft Law Dalam Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional, Majalah Hukum Pro Justititia Tahun
XIII No. 4 Oktober 1995.

Situni, Wisnu. 1989. Reformulasi Sumber-sumber Hukum Internasional, CV Mandar Maju, Bandung

Suraputra, Sidik D. 1991. Ratifikasi Perjanjian Internasional Menurut Hukum Nasional Indonesia, Majalah Hukum Nasional, No
1 Tahun 1991, BPHN, Jakarta.

Suryono, Edy. 1984. Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia, CV Remaja Karya, Bandung.

(Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Lingkungan dan Pembangunan Tahun 1999)

Anda mungkin juga menyukai