Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada dasarnya bagi sebagian besar perusahaan yang ada, tujuan utama
yang ingin dicapai adalah memperoleh laba yang sebesar-besarnya. Hal ini
yang mengakibatkan banyak perusahaan tidak mengindahkan berbagai tata
kelola yang baik terhadap operasionalnya maupun melakukan eksploitasi yang
berlebihan kepada lingkungan maupun masyarakat sekitar.

Pengabaian terhadap tata kelola yang baik dan ekspoitasi yang berlebih
ini semakin hari semakin besar dampaknya. Sebagai contoh, bisa kita lihat
bagaimana perusahaan-perusahaan tidak peduli terhadap limbah beracun yang
dihasilkan dari produksinya. Tanpa ada perasaan bersalah, perusahaan itu
langsung membuang limbah beracun tersebut ke sungai tanpa mengolahnya
terlebih dahulu. Tentunya hal ini sangat berdampak terhadap terjadinya polusi,
keracunan dan sangat merusak lingkungan sekitar yang dampaknya langsung
dirasakan oleh masyarakat sekitar.

Dampak yang ditimbulkan oleh perusahaan terhadap lingkungan di


luar perusahaan disebut sebagai eksternalitas. Dampak eksternalitas ini
semakin hari semakin besar. Berbagai kerusakan alam mulai dialami oleh
masyarakat. Besarnya dampak eksternalitas yang dihasilkan dan disertai
dengan semakin kritisnya masyarakat membuat masyarakat beserta dengan
lembaga swadaya masyarakat menuntut agar perusahaan dapat mengendalikan
dampak eksternalitas yang terjadi. Tuntutan ini semakin hari semakin kencang
berhembus.

Sebagai respon dari adanya tuntutan ini, maka akuntansi sebagai salah
satu bahasa bisnis yang dimiliki perusahaan diharapkan mampu untuk
memberikan informasi tidak hanya informasi mengenai hubungan dengan para

1
investor dan kreditor, tetapi juga informasi tentang hubungan perusahaan
dengan lingkungan dan masyarakat sekitar. Hubungan perusahaan dengan
lingkungan dan masyarakat sekitar ini memang bersifat non reciprocal, yaitu
transaksi ini tidak menimbulkan prestasi timbal balik dari pihak yang
berhubungan. Hal inilah yang kemudian melahirkan apa yang disebut dengan
Socio economic accounting (SEA). SEA ini pada dasarnya merupakan sebuah
fenomena baru dalam ilmu akuntansi, sehingga dalam paper ini penulis ingin
memaparkan lebih lanjut mengenai konsep SEA maupun perkembangan lebih
lanjut dari SEA di Indonesia.

1.2 Poin-poin pembahasan

Pada dasarnya paper ini akan membahas mengenai hal-hal sebagai berikut:

1. Kontroversi mengenai peran tanggung jawab sosial dari perusahaan.

2. Pengukuran, pengungkapan dan pelaporan dalam sosio economic


accounting

3. Pengalaman sosio economic accounting di Indonesia.

1.3 Tujuan dari penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan paper ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dari


perusahaan

2. Untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai pengukuran, pengungkapan dan


pelaporan dalam sosio economic accounting.

3. Untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai pengalaman sosio economic


accounting di Indonesia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kontroversi Mengenai Peran Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Sebelum membahas mengenai kontroversi peran tanggung jawab sosial


perusahaan, ada baiknya bila kita mengetahui lebih dahulu mengenai definisi dari
socio economic accounting. Berikut ini dijelaskan mengenai definisi dari Socio
economic accounting Belkaoui dalam Harahap (2008) menyatakan sebagai berikut

“Socio economic accounting timbul dari penerapan akuntansi dalam ilmu


sosial, ini menyangkut pengaturan, pengukuran analisis, dan
pengungkapan pengaruh ekonomi dan sosial dari kegiatan pemerintah dan
perusahaan. Hal ini termasuk kegiatan yang bersifat mikro dan makro.
Pada tingkat makro bertujuan untuk mengukur dan mengungkapkan
kegiatan ekonomi dan sosial Negara mencakup social accounting dan
reporting peranan akuntansi dalam pembangunan ekonomi. Pada tingkat
mikro bertujuan untuk mengukur dan melaporkan pengaruh kegiatan
perusahaan terhadap lingkungannya, mencakup: Financial dan managerial
social accounting, social auditing,”

Kontroversi mengenai peran tanggung jawab sosial dari perusahaan sangat


terkait erat dengan keberadaan dari socio economic accounting. Tentunya bila
paham dan paradigma yang berkembang di dalam masyarakat menyatakan bahwa

3
perusahaan memiliki tanggung jawab sosial maka socio economic accounting
akan sangat diperlukan, namun bila paham dan paradigma yang ada di masyarakat
menyatakan bahwa perusahaan tidak memiliki tanggung jawab sosial maka socio
economic accounting menjadi tidak dibutuhkan. Sehingga eksistensi dari socio
economic accounting ini akan sangat dipengaruhi oleh paham tentang tanggung
jawab sosial perusahaan yang dianut oleh masyarkat.

Seperti dikutip dalam Harahap (2008), ada tiga pandangan atau model
yang menggambarkan tentang keterlibatan perusahaan dalam kegiatan sosial.
Ketiga model tersebut adalah sebagai berikut:

1. Model klasik

Seorang fundamentalis di bidang ini, Milton Friedman menyatakan


bahwa ada satu dan hanya satu tanggung jawab perusahaan, yaitu
menggunakan kekayaan yang dimilikinya untuk meningkatkan laba
sepanjang sesuai dengan aturan main yang berlaku dalam suatu sistem
persaingan bebas tanpa penipuan dan kecurangan.

Sehingga menurut pendapat ini, perusahaan tidak perlu memikirkan


efek sosial yang ditimbulkannya dan tidak perlu memikirkan usaha
untuk memperbaiki penyakit sosial. Hal itu bukan urusan bisnis, tetapi
urusan pemerintah.

2. Model Manajemen

Menurut pendapat ini, perusahaan dianggap sebagai lembaga


permanen yang hidup dan mempunyai tujuan tersendiri. Manajer
sebagai orang yang dipercayai oleh pemilik modal menjalankan
perusahaan bukan hanya untuk kepentingan pemilik modal saja, tetapi
juga terlibat langsung dengan hidup matinya perusahaan, seperti
keterlibatan dengan karyawan, pelanggan, supplier, dan pihak lainnya
yang ada kaitannya dengan perusahaan yang tidak semata-mata

4
didasarkan atas adanya hubungan kontrak perjanjian (Frank X. Suttin
et. al. 1956).

Sehingga manajer sebagai tim yang bertanggung jawab atas


kelangsungan hidup perusahaan terpaksa memilih kebijakan yang
harus mempertimbangkan tanggung jawab sosial perusahaan
mengingat perusahaan memiliki ketergantungan pihak lain.

3. Model Lingkungan sosial

Model ini menekankan bahwa perusahaan menyakini bahwa


kekuasaan ekonomi dan politik yang dimilikinya mempunyai
hubungan dengan kepentingan dari lingkungan sosial dan bukan hanya
semata dari pasar. Sebagai akibatnya perusahaan harus berpartisipasi
aktif dalam menyelesaikan penyakit sosial yang berada di dalam
lingkungannya seperti sistem pendidikan yang tidak bermutu,
pengangguran, polusi, dan lain-lain. Jika model klasik memiliki tujuan
utama untuk menyejahterakan pemilik modal dan model manajemen
menyejahterakan manajemen, dalam model ini perusahaan harus
memperluas tujuan yang harus dicapainya yaitu yang menyangkut
kesejahteraan sosial secara umum (ahmed belkoui, 1980).

Lebih lanjut, seperti dikutip dalam Harahap (2008) mengemukakan alasan


dari para pendukung agar perusahaan memiliki etika dan tanggung jawab sosial
sebagai berikut:

1. Keterlibatan sosial merupakan respon terhadap keinginan dan harapan


masyarakat terhadap peranan perusahaan. Dalam jangka panjang, hal
ini sangat menguntungkan perusahaan.

2. Keterlibatan sosial mungkin akan mempengaruhi perbaikan


lingkungan, masyarakat, yang mungkin akan menurunkan biaya
produksi.

5
3. Meningkatkan nama baik perusahaan, akan menimbulkan simpati
langganan, simpati karyawan, investor dan lain-lain.

4. Menghindari campur tangan pemerintah dalam melindungi


masyarakat. Campur tangan pemerintah cenderung membatasi peran
perusahaan, sehingga jika perusahaan memiliki tanggung jawab sosial
mungkin dapat menghindari pembatasan kegiatan perusahaan.

5. Dapat menunjukan respon positif perusahaan terhadap norma dan nilai


yang berlaku dalam masyarakat sehingga mendapat simpati
masyarakat.

6. Sesuai dengan keinginan para pemegang saham, dalam hal ini publik.

7. Mengurangi tensi kebencian masyarakat kepada perusahaan yang


kadang-kadang suatu kegiatan yang dibenci masyarakat tidak mungkin
dihindari.

8. Membantu kepentingan nasional, seperti konservasi alam,


pemeliharaan barang seni budaya, peningkatan, peningkatan
pendidikan rakyat, lapangan kerja dan lain-lain.

Di pihak lain, ada juga alasan para penantang yang tidak menyetujui
konsep tanggung jawab sosial perusahaan sebagai berikut:

1. Mengalihkan perhatian perusahaan dari tujuan utamanya dalam


mencari laba dan ini akan menimbulkan pemborosan.

2. Memungkinkan keterlibatan perusahaan terhadap permainan


kekuasaan atau politik secara berlebihan yang sebenarnya bukan
lapangannya.

3. Dapat menimbulkan lingkungan bisnis yang monolitik dan bukan yang


bersifat pluralistik.

6
4. Keterlibatan sosial memerlukan dana dan tenaga yang cukup besar
yang tidak dapat dipenuhi oleh dana perusahaan yang terbatas, yang
dapat menimbulkan kebangkrutan atau menurunkan tingkat
pertumbuhan perusahaan.

5. Keterlibatan pada kegiatan sosial yang demikian kompleks


memerlukan tenaga dan para ahli yang belum tentu dimiliki oleh
perusahaan (Ahmed Belkaoui, SEA 1984).

Belkaoui (2006) mengungkapkan berbagai argument yang digunakan


dalam pengukuran dan pengungkapan kinerja sosial sebagai berikut:

1. Argumentasi pertama adalah berkaitan dengan kontrak sosial. Secara


implisit diasumsikan bahwa organisasi seharusnya bertindak dalam cara
yang memaksimalkan kesejahteraan sosial, seolah-olah terdapat kontrak
sosial di antara organisasi dengan masyarakat. Meskipun kontrak sosial
tersebut dapat diasumsikan bersifat implisit, beragam undang-undang
sosial dapat membuat perjanjian-perjanjian tertentu yang di dalamnya
menjadi bersifat lebih eksplisit. Melalui undang-undang yang implisit dan
eksplisit ini, masyarakat menentukan aturan-aturan akuntabilitas untuk
organisasi. Akan tetapi Negara memainkan peranan utama dalam
pembuatan undang-undang dan spesifikasi dari aturan-aturan main.
Dengan adanya persyaratan SEC pada tahun 1989 yang mengharuskan
perusahaan mengungkapkan semua potensi kewajiban pembersihan
lingkungan yang mungkin mereka hadapi menurut undang-undang
superfund federal, laporan tahunan perusahaan untuk tahun 1990 mulai
mengawali proses pengungkapan tersebut. Industry baru ini memberikan
kita pandangan sekilas akan masa depan yang ditandai dengan sikap para
pemegang saham yang memiliki kekhawatiran terhadap kinerja sosial
perusahaan serta informasi yang lebih akurat dan terpecaya atas risiko-
risiko lingkungan hidup yang dihadapi perusahaan perusahaan AS.

7
2. Teori keadilan Rawls, seperti yang termuat dalam bukunya A theory of
Justice, teori hak kepemilikan dari Nozick seperti yang disajikan dalam
bukunya Anarchy State and Utopia, dan teori keadilan Gerwith seperti
yang disajikan dalam Reason and Morality, memuat prinsip-prinsip untuk
mengevaluasi hukum dan institusi dari sudut pandang moral. Baik model
Rawls maupun Gerwith memberikan opini mengenai konsep kewajaran
yang menguntungkan bagi akuntansi sosial.

3. Argumentasi ketiga berkaitan dengan kebutuhan para pengguna. Pada


dasarnya, pengguna laporan keuangan membutuhkan informasi sosial
untuk keputusan alokasi pendapatan mereka. Beberapa pemegang saham
yang konservatif dan hanya memikirkan dividen mungkin akan menentang
argumentasi ini. Bahkan pada kenyataannya, menurut survey yang baru
saja dilakukan terhadap para pemegang saham, mereka ingin agar
perusahaan mengarahkan sumber daya yang mereka miliki untuk
membersihkan pabrik mereka, menghentikan polusi lingkungan, dan
membuat produk-produk yang lebih aman.

4. Argumentasi keempat berkaitan dengan investasi sosial. Pada dasarnya,


diasumsikan bahwa saat ini suatu kelompok investor yang etis
mengandalkan informasi sosial yang disajikan dalam laporan tahunan
untuk membuat keputusan investasinya. Karenanya, pengungkapan
informasi sosial menjadi hal yang penting jika para investor akan benar-
benar mempertimbangkan dampak negatif dari pengeluaran-pengeluaran
untuk kesadaran sosial pada laba per saham, berikut dengan dampak-
dampak positif yang mengkompensasinya yang memperkecil risiko atau
menumbuhkan perhatian yang lebih besar dari pihak pelanggan investasi
tertentu. Beberapa orang berpendapat bahwa dampak-dampak yang
memperkecil risiko sudah memberikan hasil yang lebih dari cukup untuk
mengkompensasi pengeluaran-pengeluaran yang timbul akibat kesadaran
sosial. Sedangkan yang lainnya percaya bahwa para investor yang etis
akan membentuk kumpulan pelanggan yang memberikan respon atas

8
pendemontrasian kepentingan sosial perusahaan. Investor dengan jenis ini
cenderung menghindari investasi-investasi tertentu hanya karena alasan-
alasan etis dan lebih memilih perusahaan-perusahaan yang memiliki
tanggung jawab sosial dalam portofolio mereka. Dalam kaitannya dengan
akuntabilitas, para investor sosial, yang meskipun memiliki kepentingan
dengan pengelolaan laba dan sumber daya yang langka, juga memiliki
ketertarikan dengan akuntabilitas perusahaan kepada para pemangku
kepentingan yang lain dalam lingkungan hidup di samping para pemegang
saham.

Seiring dengan berjalannya waktu, maka masyarakat mulai menyadari


pentingnya tanggung jawab sosial dari perusahaan. Hal senada diungkapkan oleh
Heard dan Bolce dalam Sueb (2001) berpendapat bahwa, sebelumnya masyarakat
memandang perusahaan hanya bertanggung jawab dalam penyediaan barang dan
jasa, lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun
tuntutan masyarakat telah berubah drastis, ketika lingkungan hidup semakin rusak
dan tidak sehat, sumber-sumber alam semakin menipis, bumi semakin panas dan
padat, serta pembagian pendapatan yang semakin timpang. Pada saat ini,
masyarakat menuntut masalah kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh
perusahaan harus menjadi tanggung jawab perusahaan dan bukan tanggung jawab
masyarkat sehingga harus dipertimbangkan dalam setiap pengambilan keputusan.

Polusi udara dan air, kebisingan suara, kemacetan lalu lintas, limbah
kimia, hujan asam, radiasi sampah nuklir, dan masih banyak petaka lain yang
menyebabkan stress mental maupun fisik, telah lama menjadi bagian dari
kehidupan kita sehari-hari. Dan hal ini dituduhkan kepada perusahaan sebagai
penyebab utama apa yang sekarang disebut kesalahan alokasi sumber daya
manusia dan alam seperti diungkapkan oleh Capra dalam Sueb (2001).

Selain itu, saat ini perusahaan juga sudah mulai merasakan arti penting
dari tanggung jawab sosial yang dilakukannya terhadap masyarakat dan
lingkungan sekitar. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Adam

9
et. al (1997) dalam Maksum dan Kholis (2003) pada enam Negara eropa, yaitu
Jerman, Prancis, Swiss, Inggris, dan Belanda menunjukkan bahwa praktik
pengungkapan sosial merupakan hal yang lazim dalam laporan tahunan
perusahaan. Beberapa penelitian telah menguji bahwa kepedulian perusahaan
terhadap masyarkatnya pada dasarnya dapat berdampak pada kemajuan dari
perusahaan itu sendiri. Hal ini seperti diungkapkan oleh Watts & Zimmer-man
dalam Sueb (2001) bahwa perusahaan melaksanakan aktivitas
pertanggungjawaban sosial untuk mengurangi resiko dari peraturan pemerintah
yang dapat memberikan dampak merugikan kepada nilai perusahaan.

Lebih lanjut, Abbot & Monsen dalam Sueb (2001) berpendapat bahwa
dampak laporan pertanggungjawaban sosial ini dapat berpengaruh terhadap laba
perusahaan. Kemudian Chugh et al (1978), Trotman & Bradley (1981) dan
Mahapatra (1984) dan sueb (2001) menyatakan adanya hubungan yang signifikan
antara tingkat aktvitas pertanggungjawaban sosial dengan kinerja di pasar saham.
Hal senada juga disampaikan oleh Spicer (1978), Anderson & Frankle (1980),
Shane & Spicer (1983) dalam Sueb (2001) juga menyatakan bahwa aktivitas
pertanggungjawaban sosial dari perusahaan berpengaruh terhadap kinerja
keuangan di bursa saham.

Seperti dikutip dalam Harahap (2008), pelaksanaan dari sosio economic


accounting akan semakin cepat oleh beberapa tekanan atau faktor antara lain:

1. Adanya peraturan pemerintah atau UU yang diberlakukan

2. Ditetapkannya standar akuntasi yang mengharuskan pengungkapan


tanggung jawab sosial

3. Adanya tekanan dari pressure group, seperti Greenpeace, Trade Union,


PBB, dan lain sebagainya

4. Kesadaran perusahaan.

Bila kita melihat dari keempat hal di atas, maka yang perlu disikapi adalah
peran penting dari pressure group sangat diperlukan di dalam mendorong

10
pelaksanaan dari socio economic accounting. Kita semua bisa melihat dari kasus
baru-baru ini dimana Unilever dan juga Nestle akhirnya memutus kontrak CPO
dari PT Smart, Tbk yang disinyalir melakukan perusakan hutan di dalam aktivitas
usahanya. Pemutusan kontrak ini dilakukan menyusul protes dari para aktivis
Greenpeace. (sumber detik.com).

Selain itu, Henrique dan Sadosrky (1999) dalam Maksum dan Kholis
(2003) juga telah menguji bahwa variable regulasi pemerintah (government
regulation), tekanan masyarakat (community pressure), tekanan media massa
(mass media pressure) dan tekanan organisasi lingkungan (environmental
organization pressure) pada 750 perusahaan di kanada mempengaruhi pentingnya
tanggung jawab sosial perusahaan berdasarkan persepsi manajemen perusahaan
dengan berlandaskan pada kerangka pemikiran konsep stakeholder. Sementara itu
penelitian dari Stead (1996) dalam Maksum dan Kholis (2003) menambahkan
variable tekanan pelanggan (customer pressure) sebagai variable yang
mempengaruhi pentingnya peran tanggung jawab sosial perusahaan.

Lebih lanjut, hal senada juga ditegaskan oleh penelitian yang dilakukan
oleh Maksum dan Kholis (2003) yang melakukan penelitian pada perusahaan di
kota medan menggungkapkan bahwa variable regulasi pemerintah, tekanan
masyarakat, tekanan organisasi lingkungan, dan tekanan media masa baik secara
individu maupun simultan berpengaruh signifikan terhadap pentingnya tanggung
jawab sosial perusahaan. Penelitian ini juga mengungkapkan hasil bahwa ada
hubungan yang positif antara tanggung jawab sosial perusahaan dengan
pentingnya akuntansi sosial perusahaan.

Namun di luar pentingnya kehadiran socio economic accounting dewasa


ini, ternyata ada juga yang mengkritik terhadap keberadaan dari socio economic
accounting ini, seperti dikutip dalam Harahap (2008), yaitu sebagai berikut:

1. Informasi pertanggungjawaban sosial itu hanya menambah biaya saja dan


tidak dibutuhkan oleh pemegang saham atau investor lainnya.

11
2. Ukuran dampak sosial perusahaan dalam satuan moneter secara teknis
tidak dapat dilakukan karena sangat kompleks dan merupakan estimasi
saja.

3. Faktor-faktor di luar perusahaan bukan merupakan tanggung jawab


perusahaan dan ia tidak dapat mengendalikannya.

4. Belum ada kesepakatan umum tentang konsep, tujuan, pengukuran,


maupun pelaporannya.

5. Informasi tentang akuntansi pertanggungjawaban sosial ini akan dapat


mengalihkan perhatian pada idikator bisnis intinya sehingga dapat
menyulitkan para pengambil keputusan.

6. Hal ini mengaburkan posisi perusahaan dan pemerintah dalam


melaksanakan tugas masing-masing yang saling berbeda. Jadi jangan
dibebaskan tugas pemerintahan kepada perusahaan.

2.2 Pengukuran, Pengungkapan dan Pelaporan dalam Socio Economic Accounting

2.2.1. Pengukuran dalam Socio Economic Accounting

Untuk masalah pengukuran di dalam socio economic accounting adalah


masalah yang paling rumit, hal ini disebabkan karena apa yang diukur di dalam
socio economic accounting ini bukanlah transaksi biasa yang kita catat dan ukur
di dalam akuntansi konvensional. Di dalam akuntansi konvensional sangat jelas
bahwa transaksi yang telah terjadi dan mempengaruhi posisi laporan keuangan
perusahaan barulah dicatat dan alat ukurnya pun sangat jelas. Namun di dalam
socio economic accounting yang diukur adalah hal yang cukup sulit. Hal senada
seperti dikutip dalam Harahap (2008) menyatakan bahwa dalam socio economic

12
accounting, kita harus mengukur dampak positif dan dampak negatif yang
ditimbulkan oleh kegiatan perusahaan. Biasanya dampak positif dan negatif ini
belum dapat dihitung karena memang transaksinya bersifat uncomplete cycles,
non reciprocal, dan belum mempengaruhi posisi keuangan perusahaan.

Hal yang sama juga dinyatakan oleh A.W. Clausen, mantan direktur
World Bank sebagai berikut:

“Saya sampaikan bahwa salah satu alasan yang paling kuat atas ketiadaan
respon, kita terhadap isu penyakit sosial itu dan penyebab kebingungan kita
terhadap penyelesaiannya adalah ketidakadaan ukuran kualitas. Belkaoui (SEA,
hlm, 3.) dalam Harahap (2008).

Biasanya tidak semua dampak positif maupun dampak negatif dapat


dihitung dan belum ada pembahasan lengkap dalam literatur tentang pengukuran
untuk semua jenis externalities ini. Biasanya yang telah dibuat pedoman
pengukurannya adalah seperti kerusakan lingkungan, polusi udara, polusi air. Itu
pun baru dalam tahap formula pengukuran dengan menggunakan taksiran. Dalam
mengukur semua kerugian ini, semua sumber dan objek kerugian dihitung.
Kerugian ini bisa berupa kerugian finansial atau kerugian umum. Kerugian
keuangan misalnya kerugian produksi akibat kerusakan lingkungan. Kerugian
umum misalnya penderitaan jiwa yang dialami masyarakat, individu, dan
keluarga, Harahap (2008).

Harahap (2008), sebagai informasi yang akan dilaporkan dalam socio


economic reporting dibuat berbagai metode pengukuran misalnya sebagai berikut:

1. Menggunakan penilaian dengan menghitung opportunity cost


approach. Misalnya dalam menghitung social cost dari pembuangan,
maka dihitung berapa kerugian manusia dalam hidupnya; berapa
berkurang kekayaannya; berapa kerusakan wilayah rekreasi; dam lain
sebagainya akibat pembuangan limbah. Total kerugian itulah yang
menjadi social cost perusahaan (Belkaouli, 1985 p.195).

13
2. Menggunakan daftar kuesioner, survei, lelang, di mana mereka yang
merasa dirugikan ditanyai berapa besar jumlah kerugian yang
ditimbulkannya atau berapa biaya yang harus dibayar kepada mereka
sebagai kompensasi kerugian yang dideritanya.

3. Menggunakan hubungan antara kerugian massal dengan permintaan


untuk barang perorangan dalam menghitung jumlah kerugian
masyarakat.

4. Menggunakan reaksi pasar dalam menentukan harga. Misalnya vonis


hakim akibat pengaduan masyarakat akan kerusakan lingkungan dapat
juga dianggap sebagai dasar perhitungan.

Di pihak lain, Estes (1976) dalam Harahap (2008) mengusulkan beberapa


teknik pengukuran sebagai berikut:

1. Penilaian Pengganti

2. Teknik Survei

3. Biaya Perbaikan dan Pencegahan

4. Penilaian oleh Tim Independen

5. Putusan Pengadilan

6. Analisis

7. Biaya Pengeluaran

Dengan adanya kesulitan di dalam melakukan pengukuran, maka socio


economic accounting ini baru menjadi semacam wacana. Belum ada standar
akuntansi yang mewajibkan pelaporan Socio economic accounting ini.
Kedepannya diharapkan socio economic accounting ini dapat terealisasikan. Saat
ini yang baru muncul baru sebatas corporate social responsibility reporting yang
merupakan bentuk disclosure dari perusahaan tentang peran sosial yang dilakukan
olehnya.

14
2.2.2. Pengungkapan dan Pelaporan dalam Socio Economic Accounting

Seperti dikutip dalam Harahap (2008), untuk melaporkan aspek sosial


ekonomi yang diakibatkan perusahaan, ada beberapa teknik pelaporan social
economic accounting, misalnya seperti diungkap oleh Diller (1970)
mengungkapkan tekniknya sebagai berikut:

1. Pengungkapan dalam surat kepada pemegang saham baik dalam laporan


tahunan atau bentuk laporan lainnya.

2. Pengungkapan dalam catatan laporan keuangan.

3. Dibuat dalam perkiraan tambahan misalnya melalui adanya perkiraan


(akun) penyisihan kerusakan lokasi, biaya pemeliharaan lingkungan, dan
sebagainya.

Harahap (2008) mengungkapkan bentuk pelaporan dalam socio economic


accounting berarti memuat informasi yang menyangkut dampak positif dan
dampak negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan. Laporan socio economic
accounting ini adalah laporan yang terpisah dari laporan laba rugi, neraca,
maupun laporan arus kas.

Berikut ini adalah contoh pelaporan socio economic accounting seperti di


kutip dari buku socio economic accounting, Ahmed Belkaoui, 1985 dalam
Harahap (2008):

PT Ezly Bazliyah

Socio Economic Operating Report

31 Desember 2005

(dalam ribuan)

I Kaitan dengan masyarakat:

15
A. Perbaikan:

1. Pelatihan orang cacat Rp 20.000

2. Sumbangan pada lembaga pendidikan Rp 8.000

3. Biaya extra karena merekrut minoritas Rp 10.000

4. Biaya penitipan bayi Rp 22.000

Total perbaikan Rp 60.000

B. Kerusakan:

1. Penundaan pemasangan alat pengaman Rp 28.000

Perbaikan (bersih) untuk masyarakat (I) Rp 32.000

II Kaitan dengan lingkungan:

A. Perbaikan:

1. Reklamasi lahan dan pembuatan taman Rp 140.000

2. Biaya pemasangan kontrol polusi Rp 8.000

3. Biaya pematian racun limbah Rp 18.000

Total perbaikan Rp 166.000

B. Kerusakan:

1. Biaya yang akan dikeluarkan untuk reklamasi tambang Rp 160.000

2. Taksiran biaya pemasangan penetralan racun cair Rp 200.000

Total kerusakan Rp 360.000

Defisit (bersih) untuk lingkungan (II) (Rp 194.000)

III Kaitan dengan produk:

A. Perbaikan:

1. Gaji eksekutif melayani komisi pengamanan produk Rp 50.000

2. Biaya pengganti cat beracun Rp 18.000

Total perbaikan Rp 68.000

B. Kerusakan:

1. Pemasangan alat pengaman produksi Rp 44.000

Perbaikan (bersih) untuk produk (III) Rp 24.000

Total Socio Economic Defisit 2005 ( I + II + III ) (Rp 138.000)

Saldo kumulatif net perbaikan 1.01.2005 Rp 498.000

16
Saldo kumulatif net perbaikan 31.12.2005 Rp 360.000

Harahap (2008) mengungkapkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh


kantor akuntan Earnst & Earnst di USA sejak tahun 1971 tentang keterlibatan
sosial perusahaan yang diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan. Beberapa
hal yang diungkapkan adalah sebagai berikut:

• Lingkungan: tentang polusi, pencegahan kerusakan lingkungan, konservasi


sumber-sumber alam dan lain-lain.

• Energi: konservasi energi, penghematan, dan lain-lain.

• Praktik usaha yang fair: merekrut pegawai dari minoritas dan peningkatan
kemampuannya, penggunaan tenaga wanita sebagai karyawan, pembukaan
unit usaha di luar negeri, dan lain-lain.

• Sumber tenaga manusia: kesehatan, keamanan pegawai, training, dan lain-


lain

• Keterlibatan terhadap masyarakat: kegiatan masyarakat sekitar, bantuan


kesehatan, pendidikan, seni, dan lain-lain.

• Produksi: keamanan produksi, mengurangi polusi, keracunan, dan lain-


lain.

3.1 Pengalaman Socio Economic Accounting di Indonesia

Di Negara Indonesia, socio economic reporting juga masih berupa wacana


dan belum ada standar yang mengaturnya. Praktek yang ada barulah sebatas
masalah pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat
dalam bentuk Socio Corporate Responsibility Reporting. Standar akuntansi yang
ada untuk mengatur masalah pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan
pun masih terbilang minim, yaitu barulah berupa standar yang masih bersifat

17
implisit (standar yang ditetapkan oleh IAI), berupa PSAK 01 (revisi 1998) tentang
pengungkapan kebijakan akuntasi paragraf 9 sebagai berikut:

“Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan


mengenai lingkungan hidup, dan laporan nilai tambah (Value added
statement), khususnya bagi industri di mana faktor-faktor lingkungan hidup
memegang peranan penting dan bagi industri yang menanggap pegawai
sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting”.

Di Indonesia saat ini kesadaraan akan tanggung jawab sosial bagi perusahaan
mulai tumbuh walaupun masih terbatas pada perusahan-perusahaan yang
tergolong dalam perusahaan high profile. Menurut Zuhroh dan Sukmawati (2003),
perusahaan- perusahaan high profile pada umumnya merupakan perusahaan yang
memperoleh sorotan dari masyarakat karena aktivitas operasinya memiliki potensi
untuk bersinggungan dengan kepentingan luas. Masyarakat umumnya lebih
sensitif terhadap tipe industri ini karena kelalaian perusahaan dalam pengamanan
proses produksi dan hasil produksi dapat membawa akibat yang fatal bagi
masyarakat. Perusahaan high profile juga lebih sensitif terhadap keinginan
konsumen atau pihak lain yang berkepentingan terhadap produknya. Adapun
perusahaan yang tergolong dalam perusahaan high profile pada umumnya
memiliki sifat: memiliki jumlah tenaga kerja yang besar, dalam proses
produksinya mengeluarkan residu. Sementara perusahaan yang low profile
merupakan perusahaan yang tidak terlalu memperoleh sorotan luas dari
masyarakat manakala operasi yang mereka lakukan mengalami kegagalan atau
kesalahan pada aspek tertentu dalam proses atau hasil produksinya.

Menurut Utomo (2000) dalam Zuhroh dan Sukmawati (2003)


memperlihatkan bahwa pengungkapan sosial di Indonesia relatif rendah, namun
perusahaan high profile ternyata melakukan pengungkapan yang lebih baik
dibandingkan dengan perusahaan low profile. Sementara menurut Indah (2001)
dalam Zuhroh dan Sukmawati (2003) memperoleh kesimpulan bahwa tidak ada

18
hubungan (korelasi) yang signifikan antara pengungkapan sosial dengan volume
perdagangan saham seputar publikasi laporan tahunan. Tetapi jika dilihat dari
angka korelasi yang bernilai positif, maka informasi sosial yang disajikan
perusahaan pada laporan tahunan sudah direspon baik oleh para investor.

Lebih lanjut, penelitian Zuhroh dan Sukmawati (2003) menemukan bahwa


pengungkapan sosial dalam laporan tahunan perusahaan yang go public telah
terbukti berpengaruh terhadap volume perdagangan saham bagi perusahaan yang
masuk kategori high profile. Hal senada juga diungkapkan dalam penelitian
Utomo (2000) yang menunjukkan bahwa pengungkapan sosial yang dilakukan
oleh perusahaan-perusahaan dalam industry high profile lebih tinggi daripada
pengungkapan sosial yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dalam industri
low profile.

Sehingga kita bisa menarik suatu benang merah, yaitu suatu pengungkapan
pertanggungjawaban sosial dari perusahaan sangat terkait erat untuk memperoleh
citra yang positif dari masyarakat dan pelanggan. Sehingga pengungkapan
pertanggungjawaban sosial perusahaan lebih banyak dilakukan oleh perusahaan
yang memang tergolong high profile agar masyarakat dan pelanggan akan menilai
baik perusahaan yang pada akhirnya dapat meningkatkan penjualan produk dari
perusahaan yang bersangkutan.

Hasil penelitian Zuhroh dan Sukmawati (2003) juga mengungkapkan tentang


tema pengungkapan pertanggungjawaban sosial yang dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan yang menjadi sampel penelitiannya. Secara umum, yang paling
banyak diungkapkan oleh perusahaan adalah tema konsumen dan
ketenagakerjaan. Penjabaran lebih lanjut adalah sebagai berikut:

1. Tema konsumen, item yang paling banyak diungkapkan adalah item


produk dan penghargaan kualitas.

2. Tema ketenagakerjaan, item yang banyak diungkapkan oleh perusahaan


adalah pada item gaji/upah, pendidikan, latihan karyawan, dan pension.

19
3. Tema kemasyarakatan juga mendapatkan perhatian yang cukup oleh
perusahaan, yaitu pada item dukungan pada kegiatan olahraga dan
dukungan ke lembaga pendidikan melalui beasiswa, pendirian gedung
sekolah, kerja sama perusahaan dengan perguruan tinggi dan lembaga
pendidikan lain.

4. Sedangkan pada tema lingkungan hidup, yang paling banyak diungkapkan


oleh perusahaan adalah item kebijakan lingkungan, pencegahan dan
pengolahan polusi serta dukungan pada konservasi lingkungan.

Sueb (2001) mengungkapkan cara pengungkapan tanggung jawab sosial


perusahaan khususnya perusahaan terbuka di Indonesia menggunakan media yang
berbeda-beda. Kelompok biaya sosial dan media pengungkapan yang paling
banyak dipilih oleh perusahaan adalah:

1. Penyajian biaya pengelolaan lingkungan di dalam prospektus sebanyak


21%

2. Biaya kesejahteraan pegawai yang disajikan di dalam catatan atas laporan


keuangan sebanyak 36,1%

3. Biaya untuk masyarakat di sekitar perusahaan yang disajikan di dalam


laporan tahunan sebanyak 15%

4. Biaya pemantauan produk yang disajikan di dalam catatan atas laporan


keuangan sebanyak 3.8%

Sementara menurut Utomo (2000) mengungkapkan bahwa tema yang paling


banyak diungkap oleh banyak perusahaan adalah tema ketenagakerjaan dan tema
ini paling banyak disampaikan dalam catatan atas laporan keuangan dan juga surat
dari dewan direksi. Selain tema ketenagakerjaan, terdapat juga tema
kemasyarakatan dan juga tema produk dan konsumen berturut-turut menyusul di
belakang tema ketenagakerjaan sebagai tema yang paling banyak diungkapkan
oleh perusahaan.

20
Urutan dari tema-tema ini merupakan perwujudan dari respon perusahaan
terhadap tekanan-tekanan yang ada, baik tekanan dari pemerintah maupun dari
pelanggan dan masyarakat. Bila dilihat dari beberapa hasil temuan yang
diungkapkan sebelumnya selalu menempatkan tema ketenagakerjaan menjadi
tema yang paling banyak diungkapkan oleh perusahaan. Untuk tema
ketenagakerjaan ini sendiri memang menjadi prioritas karena besarnya tekanan
dari pemerintah dengan undang-undang ketenagakerjaan yang ada, maupun
dengan serikat buruh yang ada. Derasnya tekanan tersebut, membuat perusahaan
menempatkan tema ketenagakerjaan ini diurutan yang teratas sebagai wujud
pertanggungjawaban sosial dari perusahaan.

Selain dari tema-tema yang diungkapkan, hal yang menarik untuk disikapi
adalah mengenai media atau lokasi dari pengungkapan tersebut dilakukan. Ada
cukup banyak lokasi atau media yang digunakan, seperti dalam prospektus, dalam
catatan laporan keuangan, dalam laporan tahunan, dalam surat direksi dan lain
sebagainya. Banyaknya keberagaman media yang digunakan ini pada dasarnya
disebabkan karena memang belum adanya aturan yang jelas mengenai
bagaimanakah seharusnya pertanggungjawaban sosial dari perusahaan seharusnya
diungkapkan. Dengan belum adanya aturan yang jelas, maka perusahaan
kebanyakan hanya di dasarkan pada kelaziman yang ada dan disesuiakan dengan
kebutuhan dari perusahaan.

Bahkan fenomena yang berkembang saat ini, pengungkapan


pertanggungjawban sosial ini sudah sedemikian meluasnya, kebanyakan dari
perusahaan terutama yang tergolong high profile cukup intense untuk
mengungkapkan kepedulian terhadap tanggung jawab sosial yang telah
dilakukannya. Pengungkapan pertanggungjawaban sosial perusahaan sudah
banyak yang dimuat di dalam website-website perusahaan bersangkutan. Tentunya
pengungkapan semacam ini untuk menjangkau kalangan secara lebih luas, yaitu
terutama ditujukan kepada masyarakat.

21
Dengan pengungkapan pada website ini menandakan bahwa tanggung jawab
sosial ini sudah mulai banyak diperhatikan oleh perusahaan. Penggungkapan
melalui website ini dilakukan oleh perusahaan-perusahaan seperti Indosat,
Goodyear, Indosat, Bank Negara Indonesia, Bank Centra Asia, dan lain
sebagainya. Bahkan Unilever memiliki laporan Corporate Social Responsibility
tersendiri. Hal ini merupakan sebuah kemajuan yang pesat mengenai kesadaran
dari perusahaan akan tanggung jawab sosial yang dimilikinya. Dengan sendirinya
maka hal ini juga akan berkontribusi baik terhadap berkembangnya socio
economic accounting itu sendiri.

Namun yang menjadi paradox di sini adalah pengakuan akan pentingnya


tanggung jawab sosial perusahaan tidak terdistribusi secara merata ke seluruh
perusahaan yang ada di Indonesia. Kebanyakan perusahaan yang mengakui
pentingnya tanggung jawab sosial perusahaan adalah perusahaan yang termasuk
dalam high profile dan juga perusahaan besar dan juga perusahaan publik.
Sementara untuk perusahaan-perusahaan kecil dan menengah pengakuan akan
pentingnya tanggung jawab sosial dirasakan masih cukup rendah. Hal ini dapat
terlihat dari banyaknya pemberitaan tentang pencemaran dan pembuangan limbah
yang seenaknya dan juga pembalakan hutan secara liar.

Terlepas dari semua hal di atas, yang perlu disikapi adalah besarnya animo
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan masih belum diimbangi dengan
infrasruktur aturan dan standar akuntansi yang dapat mengakomodir kebutuhan
akan hal tersebut. Hal inilah yang kemudian membuat perusahaan melakukan
pengungkapan pertanggungjawaban sosial yang beragam dan pada media atau
lokasi yang beragam juga. Lebih lanjut, hal yang diungkapkan kebanyakan adalah
berbentuk kualitatif naratif. Sementara untuk pengungkapan berupa kuantitatif
moneter masih sangat terbatas dan bahkan hanya terbatas pada pengungkapan
tema ketenagakerjaan saja.

22
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pada dasarnya keberadaan dari socio economic accounting sangat


tergantung pada kesadaran mengenai penting atau tidaknya tanggung jawab sosial
perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan tempat perusahaan beroperasi.
Berbagai konsep dan paradigm terus berkembang mengenai hal ini. Namun yang
patut disadari di sini adalah kesadaran akan tanggung jawab sosial perusahaan
mulai tumbuh walaupun masih terbatas pada perusahaan yang tergolong high
profile dan juga perusahaan besar dan publik.

Kesadaran akan pentingnya tanggung jawab sosial dari perusahaan yang


ada masih belum diimbangi dengan perangkat aturan ataupun standar yang
mengaturnya. Sampai saat ini socio economic accounting masih menjadi sebuah
wacana dan belum ada standar yang mengatur. Ketiadaan standar ini disinyalir
sebagai akibat dari sulitnya pengukuran yang harus dilakukan karena transaksi
yang diukur di dalam socio economic accounting ini memang transaksi yang
bersifat uncomplete cycles, non-resiplocal, dan belum mempengaruhi posisi
keuangan perusahaan.

Untuk di Indonesia sendiri standar yang ada baru berupa masalah


pengungkapan sosial (berupa PSAK 01 (revisi 1998) tentang pengungkapan
kebijakan akuntasi paragraf 9) dan itupun masih bersifat implisit dan sangat

23
minim. Sementara dari sisi praktek yang ada dan berkembang baru sebatas
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat berupa
corporate socio responsibility reporting. Hal-hal yang diungkapkan masih sebatas
deskripsi kualitatif. Pengungkapannya pun dilakukan pada lokasi dan media yang
berlainan karena memang belum ada standar baku yang mengaturnya.

3.2 Saran

Bertolak dari pembahasan di atas, maka dapat disarankan hal-hal sebagai


berikut:

1. Bagi pemerintah diperlukannya suatu regulasi yang lebih tegas perihal


tanggung jawab sosial dari perusahaan, sehingga hal ini akan semakin
mendorong perkembangan penerapan socio economic accounting di
Indonesia.

2. Pemerintah dan juga pihak-pihak yang terkait harus menyokong dan


mendorong baik secara material maupun spiritual kepada badan yang
berwenang di dalam penyusunan standar akuntansi di Indonesia untuk
menyusun mengenai aturan dan standar yang jelas bagi pengukuran
dan juga pengungkapan socio economic accounting di Indonesia.

24

Anda mungkin juga menyukai