Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH MANAJEMEN EKONOMI

STRATEGI

Corporate Social Responbility

Disusun Oleh :

Ahmad Supriandi (17612011140)

Muhammad Pujianur (17612011138)

Fakulstas Ekonomi

Universitas Antaskusuma

Tahun 2020
KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, shalawat serta

salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW beserta keluarga dan

sahabatnya. Berkat kudrat dan iradat-Nya akhirnya kami dapat menyelesaikan

makalah Manajemen Keuangan,”Corporate Social Responbility”

Dalam kesempatan ini kami menyampaikan rasa terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah memberikan

bantuan, dorongan, bimbingan dan arahan kepada kami.

Dalam makalah ini kami menyadari masih jauh dari kesempurnaan, untuk

itu segala saran dan kritik guna perbaikan dan kesempurnaan sangat kami

nantikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi para pembaca

pada umumnya.

Pangkalan Bun, 30 September 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1.....................................................................................................................LAT
AR BELAKANG........................................................................................1
1.2.....................................................................................................................RUM
USAN MASALAH.....................................................................................2
1.3.....................................................................................................................TUJ
UAN PENULISAN....................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN

2.1.Pengertian Corporate Social Responsibility (CSR)....................................4

2.2.Sejarah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR)...................................5

2.3.Dasar Hukum Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR).........................7

2.4.Hubungan Corporate Social Responsibility (CSR) dengan Bisnis.............7

2.5.Prinsip - Prinsip yang Harus Dipegang dalam Melaksanakan Tanggung

Jawab Sosial Perusahaan (CSR).......................................................................8

2.6. Indikator Keberhasilan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR).........8

2.7.Instrumental CSR........................................................................................9

2.8.Politik CSR.................................................................................................12

2.9.Integratif CSR.............................................................................................14

ii
2.10.Etik CSR...................................................................................................17

2.11.Persepsi prusahaan terhadap kegiatan CSR..............................................20

2.12.Program CSR PT.HM Sampoerna............................................................22

BAB III PENUTUP

3.1.Kesimpulan.................................................................................................32

3.2.Saran...........................................................................................................32

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................34

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perbincangan soal etika bisnis semakin mengemuka mengingat arus

globalisasi semakin deras terasa. Globalisasi memberikan tatanan ekonomi

baru. Para pelaku bisnis dituntut melakukan bisnis secara fair. Segala bentuk

perilaku bisnis yang dianggap ”kotor” seperti pemborosan manipulasi,

monopoli, dumping, menekan upah buru, pencemaran lingkungan, nepotisme,

dan kolusi tidak sesuai dengan etika bisnis yang berlaku.

Motivasi utama setiap perusahaan atau industri atau bisnis sudah tentu adalah

meningkatkan keuntungan. Namun bisnis yang dialankan dengan melanggar

prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai etika cenderung tidak produkif dan

menimbulkan inefisiensi. Manajeman yang tidak memperhatikan dan tidak

menerapkan nilai- nilai moral, hanya berorientasi pada laba (tujuan) jangka

pendek, tidak akan mampu survive dalam jangka panjang. Dengan

meningkatnya peran swasta antara lain melalui pasar bebas, privatisasi dan

globalisasi maka swasta semakin luas berinteraksi dan bertangung jawab

sosial dengan masyarakat dan pihak lain.

Pada saat banyak perusahaan semakin berkembang, maka pada saat itu pula

kesenjangan social dan kerusakan lingkungan sekitarnya dapat terjadi. Karena

itu muncul pula kesadaran untuk mengurangi dampak negative. Banyak

perusahaan swasta banyak mengembangkan apa yang disebut Corporate

Social Responsibility (CSR). Banyak peneliti yang menemukan terdapat

1
hubungan positif antara tanggung jawab sosial peruahaan atau (Corporate

Social Responsibility) dengan kinerja keuangan, walaupun dampaknya dalam

jangka panjang. Penerapan CSR tidak lagi dianggap sebagai cost melainkan

investasi perusahaan.

Tanggung jawab sosial perusahaan menunjukan kepedulian perusahaan

terhadap kepentingan pihak-pihak lain secara lebih luas daripada hanya

sekedar kepentingan perusahaan saja. Tanggung jawab dari perusahan

(Corporate Social Responsibility) merujuk pada semua hubungan yang terjadi

antara sebuah perusahaan dengan semua stake holder,termasuk didalamnya

adalah pelanggan atau customers, pegawai, komunitas, pemilik atau investor,

pemerintah, supplier bahkan juga competitor. Pengembangan program-

program sosial perusahaan berupa dapat bantuan fisik, pelayanan kesehatan,

pembangunan masyarakat ( community development), outreach,beasiswa dan

sebagainya.

Motivasi mencari laba bisa menghambat keinginan untuk membangun

masyrakat dan lingkungan sekitarnya sejauh ini kebijakan perintah untuk

mendorong dan mewajibkan perusahaan swasta untuk menjalankan tanggung

jawab sosial ini tidak begitu jelas dan tegas, ditambahkan pula banyak

program yang sudah dilaksanakan tersebut tidak berkelanjutan.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengertian dari Corporate Social Responsibility (CSR)?

2. Bagaimana sejarah dari Corporate Social Responsibility (CSR)?

3. Bagaimana dasar hukum dari Corporate Social Responsibility (CSR)?

2
4. Bagaimana hubungan Corporate Social Responsibility (CSR) dengan

bisnis?

5. Apa saja prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam melaksanakan

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR)?

6. Apa saja indikator keberhasilan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

(CSR)?

1.3. Tujuan

Tujuan pembuatan pembaruan ini adalah untuk mempelajari dan memberikan

wawasan yang menyeluruh, mendalam dan mendalam tentang Corporate

Social Responsibility (CSR) dalam berbisnis.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Corporate Social Responsibility (CSR)

Tanggung Jawab Sosial Korporat (CSR) merupakan salah satu yang

melibatkan perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dalam operasi

mereka dan dalam interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan

berdasarkan prinsip kemitraan dan kesukarelaan (Nuryana, 2005). Menurut

Zadek, Fostator, Rapnas, CSR adalah bagian yang tidak terpisahkan dari

strategi bersaing jagka panjang yang berorientasi pada avokasi pendampingan

& kebijakan publik. CSR (Program Corporate Social Responsibility)

merupakan salah satu yang harus dilakukan oleh perusahaan yang sesuai

dengan pasal 74 Undang-undang Perusahaan Terbatas (UUPT) yang baru.

Undang-undang ini disyahkan dalam sidang paripurna DPR.

Dalam pasal 74 ayat 1 mengatur tentang tanggung jawab sosial dan

lingkungan atas dasar yang terkait dengan SDA, ayat 2 tentang perhitungan

biaya dan asas kepatutan serta kewajaran, ayat 3 tentang ketentuan, dan ayat 4

tentang ketentuan lanjutan. Ketiga, Undang-Undang No.25Tahun 2007

tentang Penanaman Modal. Pasal 15 (b) menyebutkan “Setiap penanam modal

berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan”. Namun UU

ini baru mendukung investor perihal CSR untuk perusahaan nasional. Tentu

saja kedua peraturan perundang-undangan diatas membuat fobia Selain itu,

pasal 74 UU PT yang terdiri dari 4 ayat yang pernah mengundang polemik.

Pro dan kontra terhadap ketentuan tersebut masih menunggu sampai sekarang.

4
Kalangan bisnis yang tergabung dalam Kadin dan Asosiasi Pengusaha

Indonesia (Apindo) yang sangat keras memenangkan pertemuan dari artikel

tersebut.

Jika ditarik pada berbagai pengertian di atas maka CSR merupakan komitmen

perusahaan terhadap kepentingan pada pemangku kepentingan dalam arti luas

dari kepentingan perusahaan belaka. Dengan kata lain, meskipun secara moral

adalah baik perusahaan atau penanam modal yang memperoleh keuntungan,

bukan berarti perusahaan atau penanam modal yang dibenarkan mencapai

keuntungan dengan kepentingan yang didukung oleh pihak lain yang terkait.

2.2. Sejarah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR)

Istilah CSR pertama kali menyeruak dalam tulisan Tanggung Jawab Sosial

Pengusaha tahun 1953. Konsep yang digagas Howard Rothmann Browen ini

menjawab keresahan dunia bisnis. Belakangan CSR segera diadopsi, karena

bisa jadi penawar kesan perusahaan yang terlanjur dalam pikiran masyarakat

dan lebih dari itu pengusaha di topi sebagai pemburu uang yang tidak peduli

pada kemiskinan dan kerusakan lingkungan. Kendati sederhana, istilah CSR

sangat berharga, CSR pengusaha tidak perlu diganggu perasaan bersalah.

CSR merupakan tanggung jawab kegiatan sosial kemasyarakatan yang tidak

berorientasi laba. John Elkington dalam buku ”Triple Bottom Line” dengan 3P

tipe yaitu:

 Profit à persetujuan laba perusahaan

 People à Meningkatkan kesejahteraan masyarakat

5
 Planet à meningkatkan kualitas Lingkungan

Pengertian CSR sangat beragam. Intinya, CSR adalah operasi bisnis yang

tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan, tetapi juga untuk

pembangunan sosial-ekonomi kawasan holistik, melembaga, dan

pengembangan. Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan dan sering juga

diidentikkan dengan CSR adalah pemberian perusahaan, filantropi perusahaan,

hubungan komunitas perusahaan, dan pengembangan masyarakat. Ditinjau

dari motivasinya, Definisi itu bisa dimaknai sebagai dimensi atau mengakses

CSR. Jika korporasi memberikan amal amal atau amal, kedermawanan

korporasi bermotif dan hubungan masyarakat korporasi bernapaskan tebar

pesona, pengembangan masyarakat lebih bernuansa pemberdayaan.

Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970-an dan

semakin populer setelah menerima buku Cannibals dengan Forks: Triple

Bottom Line dalam Bisnis Abad 21 (1998) karya John Elkington.

Mengembangkan tiga komponen penting pembangunan berkelanjutan, yaitu

pertumbuhan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan keadilan sosial yang

digagas Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (WCED) dalam

Laporan Brundtland (1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus:

3P (laba, planet, Dan orang). Perusahaan yang tidak hanya mendapatkan

keuntungan ekonomi belaka, tetapi memiliki kepedulian terhadap kelestarian

Lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat.

6
2.3. Dasar Hukum Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR)

Landasan hukum yang memerlukan CSR Termasuk dalam:

UU No. 40 tahun 2007 yang mengatur tentang tanggung jawab yang diberikan

kepada CSR. Dewan Direksi yang bertanggung jawab ketika ada yang

meminta perusahaan & CSR. Penjelasan pasal 15 huruf b UU Penanaman

Modal mengacu pada “tanggung jawab sosial perusahaan” adalah tanggung

jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap

menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan,

nilai, norma, dan budaya masyarakat lokal.

Pasal 1 angka 3 UUPT, tangung jawab sosial dan lingkungan adalah

komitmen perusahaan untuk mendukung serta dalam pembangunan ekonomi

yang diperuntukkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan

yang bermanfaat, baik untuk perusahaan sendiri, masyarakat lokal maupun

masyarakat pada umumnya.

2.4. Hubungan Corporate Social Responsibility (CSR) dengan Bisnis

Hasil Survei “Polling Milenium tentang CSR” (1999) yang dilakukan oleh

Environics International (Toronto), Conference Board (New York) dan Forum

Pimpinan Bisnis Prince of Wales (London) di antara 25.000 responden dari 23

negara perusahaan, 60% mengatakan tentang etika bisnis, praktik terhadap

karyawan, mempertimbangkan terhadap lingkungan, yang merupakan bagian

dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) akan paling berhasil dicapai.

Sedangkan bagi 40% lainnya, citra perusahaan & citra merek-lah yang akan

paling memengaruhi kesan mereka. Hanya 1/3 yang mendasari pendapatinya

7
atas faktor-faktor bisnis fundamental seperti faktor keuangan, ukuran

perusahaan, strategi perusahaan, atau manajemen.

2.5. Prinsip - Prinsip yang Harus Dipegang dalam Melaksanakan Tanggung

Jawab Sosial Perusahaan (CSR)

Prinsip pertama adalah kesinambungan atau keberlanjutan. Ini bukan berarti

perusahaan akan terus memberikan bantuan kepada masyarakat. Namun,

program yang dirancang harus memiliki fokus yang disiapkan. CSR berbeda

dengan donasi bencana alam yang tidak terduga dan tidak dapat diprediksi. Itu

menjadi aktivitas kedermawanan dan bagus.

Prinsip kedua, CSR merupakan program jangka panjang. Perusahaan mesti

merealisasikan bisnis yang bisa tumbuh karena mendukung atmosfer sosial

dari lingkungan di sekitarnya. Karena itu, CSR yang dilakukan adalah wujud

pemeliharaan relasi yang baik dengan masyarakat. Ia dapat melakukan sesaat

untuk mendongkrak popularitas atau mengejar untung.

Dengan prinsip, CSR akan berdampak positif bagi masyarakat, baik bagi

ekonomi, lingkungan, maupun sosial. Perusahaan yang melakukan CSR harus

mempertimbangkan dan mempertimbangkan kedudukan.

2.6. Indikator Keberhasilan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR)

Indikator keberhasilan dapat dilihat dari dua sisi perusahaan dan masyarakat.

Dari sisi perusahaan, citranya harus lebih baik di mata masyarakat. Sementara

itu, dari sisi masyarakat, harus ada peningkatan kualitas hidup. Karenanya,

penting bagi perusahaan untuk mengevaluasi keberhasilan program CSR, baik

8
kuantitatif maupun kualitatif. Satu hal yang perlu dipahami, “Salah satu

ukuran penting yang berhasil CSR adalah jika masyarakat yang bisa mandiri,

tidak melulu tergantung pada pertolong orang lain.

Prinsip Empat, dana yang diambil untuk CSR tidak dimasukkan ke dalam

struktur biaya perusahaan menyerahkan budjet untuk pemasaran yang pada

akhirnya akan ditransformasikan ke harga jual produk. “CSR yang benar-

benar tidak membebani konsumen.

2.7. Instrumental CSR

Kelompok pertama, kelompok instrumental theories, menganggap bahwa CSR

atau kegiatan sosial adalah sebuah alat untuk mencapai tujuan ekonomi yang

pada akhirnya adalah menghasilkan kekayaan. Pendekatan instrumental

theories ini didukung oleh pandangan yang diungkapkan oleh Friedman

(1970) bahwa satu-satunya tanggung jawab bisnis kepada masyarakat adalah

memaksimalkan profit untuk para pemegang saham, sesuai dengan kerangka

hukum dan kebiasaan etika dari Negara tempat bisnis tersebut berada.

Kelompok teori ini kemudian banyak diakui dan diterima oleh perusahaan,

bahkan banyak perusahaan yang melakukan program CSR dengan

menggunakan dasar teori ini. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Windsor

(2001: hal. 226) bahwa “a leit-motiv of wealth creation progressively

dominates the managerial conception of responsibility”. Ada tiga tujuan

ekonomi yang kemudian dapat diidentifikasi dari kelompok instrumental

theories ini menurut Garriga & Mele (2004: 53) yaitu maximization of

shareholder value; the strategic goal of

9
achieving competitive advantages; dan cause-related marketing. Dalam tujuan

maximization of shareholder value, Garriga & Mele (2004) menjelasan bahwa

investasi untuk menjawab tuntutan sosial yang akan meningkatkan nilai para

investor dimata masyarakat harus dilakukan, sedangkan jika tuntutan sosial

tersebut mengakibatkan kerugian bagi perusahaan, maka investasi tersebut

seharusnya ditolak. Konsep ini memuat tujuan untuk pencarian nilai atau

value-seeking atau long-term values maximization sebagai tujuan utamanya

dan pada saat yang bersamaan, tujuan ini digunakan sebagai kriteria dalam

transaksi penting diantara para pemangku kepentingan (Jensen, 2000; Garriga

& Mele, 2004).

Dalam tujuan the strategic goal of achieving competitive advantages,

perusahaan fokus kepada bagaimana mengalokasikan sumber daya untuk

mencapai tujuan sosial jangka panjang dan menciptakan keuntungan yang

kompetitif. Halini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Husted & Allen,

2000, yang dikutip olehGarriga & Mele (2004:54) “…focused on how to

allocate resources in order to achieve longterm social objectives and create

competitive advantage”. Ada tiga pendekatan yang dapat digunakan dalam

mencapai tujuan tersebut, yaitu social investments in a competitive context

melalui philanthropic activities; natural resource-based view of the firm and

dynamic capabilities melalui unique interplay of human, organizational and

physical resources over time; dan strategies for the

bottom of the economic pyramid melalui disruptive innovations (Garriga &

Mele, 2004;

10
Porter & Kramer, 2002; Christensen, et al., 2001; Christensen & Overdorf,

2000; Barney,

1991; Wernerfelt, 1984).

Cause-related marketing, merupakan sebuah proses kegiatan pemasaran

perusahaan yang menghasilkan keuntungan melalui adanya pertukaran yang

menguntungkan yang sesuai dengan tujuan perusahaan dan juga individual.

Misalnya dengan menjual produk dengan label bebas pestisida atau non-

animal tested. Varadjan & Menon (1988:60) mendefinisikan causerelated

marketing sebagai:

The process of formulating and implementing marketing activities that are

characterized by an offer from the firm to contribute a specified amount to a

designated cause when costumers engage in a revenueproviding exchange that

satisfy organizational and invididual objectives.

Tujuan dari cause-related marketing dari berbagai hasil penelitian yang

dilakukan adalah meningkatkan pendapatan perusahaan dan penjualan atau

hubungan konsumen dengan membangun merk perusahaan melalui akuisisi

dan asosiasi dengan dimensi etika atau dimensi tanggung jawab sosial,

sehingga menghasilkan situasi yang saling menguntungkan, dalam konteks

perusahaan dan sosial (Gerriga & Mele,2004; Murray & Montanari, 1986;

Varadarajan & Menon, 1988).

11
2.8. Politik CSR

Kelompok teori kedua yang dipetakan oleh Garriga & Mele (2004) adalah

kelompok political theories. Kelompok teori ini memusatkan perhatiannya

pada bagaimana menggunakan tanggung jawab dari kekuatan bisnis dalam

arena politik. Yang dimaksud dengan political theories, menurut Garriga &

Mele (2004:55) adalah “a group of CSR theories and approaches focus on

interactions and connections between business and society and on the power

and

position of business and its inherent responsibility”. (sekelompok teori-teori

dan pendekatan CSR yang memusatkan perhatiannya pada interaksi dan

koneksi antara bisnis dan masyarakat dan pada kekuasaan dan posisi bisnis

dan tanggung jawab yang melekat pada bisnis tersebut).

Ada tiga teori utama yang diungkapkan oleh Garriga & Mele (2004), yaitu

Corporate Constitutionalism, Integrative Social Contract Theory dan

Corporate Citizenship. Teori Corporate Constitutionalism pertama kali

dikemukakan oleh Davis (1960). Ia adalah orang pertama yang berpendapat

bahwa bisnis adalah institusi sosial dan sehingga bisnis harus menggunakan

kekuasaannya secara bertanggung jawab. Garriga & Mele (2004:55)

mengungkapkan bahwa Davis (1960) “was one of the first to explore the role

of power that business has in society and the social impact of this power”.

Kemudian Davis (1960) memperkenalkan kekuatan bisnis sebagai sebuah

elemen baru dalam debat mengenai CSR. Davis (1960) menekankan pada

pendapat bahwatanggung jawab sosial bisnis tergantung

12
pada kekuasaan sosial yang dimiliki bisnis tersebut. Hal ini kemudian

diperkuat dengan

yang diungkapkan oleh Davis (1967:48) “social responsibilities of

businessmen arise from the amount of social power that they have ….the

equation of social power responsibility has to be understood through the

functional role of business and managers”. Ini berarti bahwa tanggung jawab

sosial kekuasaan dimanifestasikan melalui peran fungsional bisnis dan

manager dalam masyarakat. Teori integrative social contract theory yang

diungkapkan oleh Donaldson & Dunfee (1994, 1999) berawal dari

pertimbangan bahwa ada hubungan antara bisnis danmasyarakat berdasarkan

pada tradisi kontrak sosial. Kontrak sosial ini kemudian

berimplikasi kepada beberapa kewajiban tidak langsung dari bisnis untuk

masyarakat (Garriga & Mele, 2004; Prayogo, 2011). Lebih lanjut, teori ini

mengungkapkan sebuah proses yang memberikan legitimasi kepada kontrak

yang terjadi diantara sistem industri,

departemen, dan ekonomi (Garriga & Mele, 2004). Sementara itu, Prayogo

(2011:74) mengungkapkan bahwa: Kontrak sosial merupakan kesepakatan

yang bersifat “implicit”

masyarakat memberikan legitimasi sosial (the right to exist) atas kehadiran

korporasi dan sebaliknya manfaat ekonomi yang dihasilkan bisnis harus

terdistribusi pula kepada masyarakat (in return for certain benefits). Sementara

itu, teori corporate citizenship lebih memusatkan perhatiannya pada hak-hak,

13
tanggung jawab dankemungkinan partnership dari bisnis dalam masyarakat.

Sebelumnya, corporate citizenship selalu dikaitkan dengan “a sense

of belonging to a community” atau rasa kepemilikan kepada sebuah

masyarakat (Matten, et al., 2003; Wood & Lodgson, 2002), sehingga sudah

menjadi hal yang biasa diantara para manager dan pengelola bisnis untuk

melihat bahwa bisnis perlu memperhatikan masyarakat tempat bisnis itu

beroperasi. Oleh karena itu, menurut teori ini, bisnis dipahami sebagai seperti

warga dengan keterlibatan tertentu dalam masyarakat.

2.9. Integratif CSR

Kelompok teori ketiga yang diungkapkan oleh Garriga & Mele (2004) adalah

kelompok integrative theories. Kelompok ini berpendapat bahwa bisnis sangat

tergantung pada masyarakat untuk menjaga keberadaan, keberlanjutan dan

perkembangan bisnis tersebut. Integrative theories memandang pada

bagaimana bisnis mengintegrasikan tuntutan sosial dan

biasanya fokus kepada mendeteksi, mencari dan memberikan respon kepada

tuntutan sosial untuk mencapai legitimasi sosial, penerimaan sosial yang lebih

tinggi dan prestige (Garriga & Mele, 2004). Pendekatan yang diurai dalam

kelompok teori ini adalahissues management, the principle of public

responsibility, stakeholder management dan corporate social performance

(Garriga & Mele, 2004:58-59).Issues management menurut Wartick & Rude

(1986:124) diartikan sebagai “the processes by which the corporation can

identify, evaluate and respond to those social and political issues which may

impact significantly upon it”. Issues management merupakan pelebaran dari

14
konsep social responsiveness yang muncul di tahun 1970- an (Sethi, 1975).

Konsep social responsiveness ini menekankan pada pentingnya untuk

menutupi gap diantara apa yang diharapkan oleh masyarakat kepada

perusahaan dan apa yang perusahaan lakukan secara aktual. Gap ini biasanya

ada dalam zona yang disebut Ackerman (1973:92) sebagai “zone of discretion

(neither 20 regulated nor illegal nor sanctioned) where the company receives

some unclear signals from the environment”. Ini berarti bahwa issues

management menekankan pada proses memberikan respon dari pihak

perusahaan terhadap masalah-masalah sosial dan bahwa issues management

berfungsi sebagai peringatan dini atas potensi munculnya ancaman-ancaman

lingkungan dan juga kesempatankesempatan, sehingga dapat meminimalisir

kejutan dari adanya perubahan sosial dan politik (Garriga & Mele, 2004).

Pendekatan the principle of public responsibility pertama kali diungkapkan

oleh Preston & Post (1975, 1981). Mereka menekankan pada kegunaan kata

“public” daripada “social”, untuk menunjukkan pada pentingnya proses publik

dalam

mendefinisikan scope dari tanggung jawab, daripada pandangan personal-

morality atau

berdasarkan minat kelompok tertentu saja (Garriga & Mele, 2004:58). Preston

& Post dalam Garriga & Mele (2004) berpendapat bahwa aturan yang sesuai

untuk melegitimasi perilaku manajerial dapat ditemukan dalam kerangka

kebijakan publik yang relevan dan bahwa kebijakan publik tidak hanya berisi

aturan-autran dan perundang-undangan tetapi juga mengandung pola yang

15
sangat luas dari arah sosial yang terefleksikan dalam opini publik, isu-isu yang

muncul, kebutuhan akan hukum formal dan praktik-praktik dukungan atau

implementasi. Pendekatan berikutnya adalah pendekatan stakeholder

management.

Pendekatan ini berorientasi kepada para stakeholders atau pihak-pihak atau

orangorang yang mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh kebijakan dan

praktik sebuah perusahaan. Pendekatan Stakeholder management baru

berkembang secara akademik di akhir tahun 1970-an. Di tahun 1978, Emshoff

& Freeman (Garriga & Mele, 2004: 59) mempresentasikan dua prinsip dasar

yang memperkuat pendekatan ini, yaitu achieving maximum cooperation

between entire system of stakeholder groups and the objectives of the

corporation; and efforts in dealing with issues affecting multiple stakeholders.

Pendekatan ini mencoba mengintegrasikan kelompokkelompok dengan

kepentingan-kepentingan perusahaan ke dalam pembuatan keputusan

managerial (Garriga & Mele, 2004). Di masa awal munculnya pendekatan ini,

banyak korporasi yang ditekan oleh NGO, aktifis, masyarakat, pemerintah,

media dan kelompok-kelompok lainnya untuk melakukan kegiatan yang

disebut sebagai responsible corporate practices (Garriga & Mele, 2004:59).

Namun sekarang, berbagai perusahaan berusaha mencari jawaban dari

berbagai tuntutan sosial melalui dialog dengan beragam stakeholders. Dialog

antar stakeholder membantu menjawab pertanyaan mengenai responsiveness

dari perusahaan dalam menerima sinyal yang kurang jelas dari lingkungan.

Kaptein & Van Tulder (2003:208) menambahkan “this dialogue not only

16
enhances a company’s sensitivity to its environment but also 21 increases the

environments understanding of the dilemmas facing the organization”.

Pendekatan corporate social performance juga merupakan sebuah pendekatan

yang mencari legitimasi sosial. Carroll (1979) yang memperkenalkan

pendekatan ini yang terdiri dari 3 elemen, yaitu definisi dasar dari tanggung

jawab sosial, daftar isu yang memunculkan tanggung jawab sosial, dan filosofi

dari respon terhadap isu-isu sosial (Garriga & Mele, 2004). Sementara itu,

Wartich & Cochran (1985) menambahkan pendekatan Carroll dengan

menyarankan bahwa corporate social involvement mengandung prinsip-

prinsip social responsibility, the process of social responsiveness and the

policy of issues management (Garriga & Mele, 2004:60). Perkembangan

terkini dari pendekatan ini kemudian diungkapkan oleh Wood (1991) yang

menyebutkan bahwa corporate social performance terdiri dari prinsip-prinsip

CSR, proses dari corporate social responsivenesss dan hasil dari perilaku

perusahaan.

2.10. Etik CSR

Kelompok teori terakhir untuk memetakan konsep-konsep CSR adalah ethical

theories. Teori-teori yang tercakup dalam kelompok ini berperan sebagai

perekat hubungan diantara perusahaan dan masyarakat. Teori-teori ini

merupakan prinsip-prinsip yang mengungkapkan mengenai hal-hal yang benar

untuk dilakukan atau hal-hal yang perlu dilakukan untuk mencapai masyarakat

yang sejahtera. Pendekatan pertama adalah normative stakeholder theory.

Teori ini menekankan pada perlunya referensi dari berbagai teori moral yang

17
ada, seperti misalnya Kantian moral teori, konsep Libertian, prinsip-prinsip

keadilan, dan masih banyak lagi. Donaldson & Preston (1995: 67)

menyebutkan bahwa stakeholder theory memiliki inti normative yang

berdasarkan pada dua ide utama, yaitu “(1) stakeholders are persons or groups

with legitimate interests in procedural and/or substantive aspects of corporate

activity and (2) the interests of all stakeholders are of intrinsic values”.

Berdasarkan hal tersebut, maka dalam praktik CSR dengan menggunakan

pendekatan stakeholder teori, etika atau moral merupakan pusat dari praktik

tersebut. Pendekatan Universal Rights melalui Hak Asasi Manusia telah

diambil sebagai dasar bagi CSR (Cassel, 2001; Garriga & Mele, 2004). Kini,

banyak tanggung jawab sosial yang dijalankan dikembangkan dengan

menggunakan pendekatan hak asasi manusia. Selain hak asasi manusia,

pendekatan ini juga mendasarkan pada hakhak buruh dan juga perlindungan

lingkungan. Pendekatan pembangunan berkelanjutan atau sustainable

development dimasukkan ke dalam kelompok ethical teori karena konsep

pembangunan berkelanjutan menyebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan

bertujuan untuk menjawab kebutuhan di masa kini tanpa mengancam

kemampuan untuk melindungi generasi penerus untuk memenuhi

kebutuhannya. Istilah sustainable development muncul pada tahun 1987 dalam

“Brutland Report”. Pada awalnya, pembangunan berkelanjutan

menitikberatkan pada faktor lingkungan, namun, World Business Council for

Sustainable Development (2002:2) menyebutkan bahwa “sustainable

development requires the integration of social, environmental, and economic

18
considerations to make balanced judgements for the long term”. Kaitannya

dengan CSR adalah, seperti yang diungkapkan oleh Wheeler, et al. (2003:17)

bahwa Sustainability is an ideal toward which society and business can

continually strive, the way we strive is by creating value, creating outcomes

that are consistent with the ideal of sustainability along social environmental

and economic dimensions. Dengan demikian, secara etika, CSR perusahaan

harus menggunakan pendekatan “triple bottom line”, yaitu memasukkan aspek

ekonomi, sosial dan lingkungan, sehingga akan dapat menjamin keberlanjutan

perusahaan tanpa merusak keberlanjutan lingkungan dan masyarakat.

Pendekatan terakhir dalam kelompok ethical theories adalah pendekatan

common good (kebajikan umum). Pendekatan ini merupakan pendekatan

klasik yang berakar pada tradisi Aristotelian yang kemudian dijadikan

referensi kunci untuk etika bisnis (Smith, 1999; Alford & Naughton, 2002;

Mele, 2002). Pendekatan ini menyebutkan bahwa perusahaan, sebagaimana

kelompok sosial atau individual dalam masyarakat, harus berkontribusi untuk

kebajikan umum, karena sudah menjadi bagian dari masyarakat. Perusahaan

dapat berkontribusi untuk kebajikan umum dengan berbagai macam cara,

sebagaimana yang diungkapkan oleh Garriga & Mele (2004:62): “….creating

wealth, providing goods and services in an efficient and fair way, at the same

time respecting the dignity and the inalienable and fundamental rights of the

individual”. Dari uraian sebelumnya, dapat ditarik benang merah bahwa

banyak teori-teori CSR fokus kepada 4 aspek utama, sebagaimana yang

diungkapkan oleh Garriga & Mele (2004:65) yaitu:

19
(1) meeting objectives that produce long-term profits

(2) using business power in a responsible way

(3) integrating social demands and

(4) contributing to a good society by doing what is ethically correct.

2.11. Persepsi prusahaan terhadap kegiatan CSR

Keberadaan perusaaan di tengah lingkungan masyarakat berpengaruh

langsung dan tidak langsung terhadap lingkungan eksternal yaitu masyarakat.

Eksistensi perusahaan berpotensi besar mengubah lingkungan masyarakat,

baik ke arah negatif maupun positif. Dengan demikian perusahaan perlu

mencegah timbulnya dampak negatif, karena hal tersebut dapat memicu

konflik dengan masyarakat, yang selanjutnya dapat mengganggu jalannya

perusahaan dan aktifitas masyarakat. Pada dasarnya tidak ada perspektis

teoritis atau metodologi kajian yang dapat menjelaskan aktifitas CSR secara

memuaskan menjawab semua pertanyaan (Lockett et al.2006, p.12). Namun

demikian terdapat terdapat dua teori dan satu perspektif yang berkembang saat

ini dalam CSR sebagaimana yang diungkapkan oleh Frynas (2009), yaitu:

(1) Teori Stakeholder: menekankan reaksi perusahaan (perseorangan) dalam

konteks hubungan dengan stakeholder eksternal. Teori ini menjelaskan

respon strategis yang berbeda dari perusahaan terhadap tekanan-tekanan

sosial walaupun dalam industri sejenis atau negara yang sama, berdasarkan

pada sifat hubungan eksternal

(2) Teori Institusional: menekankan daya adaptif perusahaan secara

kelembagaan (aturan). Teori ini menjelaskan mengapa perusahaan dari

20
negara atau industri berbeda dalam merespon tekanan sosial dan

lingkungan, dan mengapa di negara yang berbeda-beda dari perusahaan

multinasional yang sama memilih strategi CSR yang berbeda, sebagai

hasil dari pemberlakuan norma atau keyakinan nasional

(3) Perspektif Austrian Economics: perspektif ini menyediakan wawasan

terhadap upaya strategi aktif CSR dalam perusahaan dengan suatu

perspektif kewirausahaan.

Teori Stakeholder dan Teori Institusional dapat membantu menjelaskan

bagaimana respon perusahaan terhadap tekanan kondisi sosial eksternal

dan lingkungan. Namun demikian gagal untuk menjelaskan pilihan strategi

aktif dalam perusahaan, yaitu mengapa perusahaan tertentu menggunakan

CSR sebagai sebuah senjata melawan persaingan perusahaan atau

mengapa perusahaan tertentu mengeluarkan jutaan dolar dalam pembaruan

energy. Sementara, sebagai sebuah perspektif, pendekatan Austrian

Economic dapat dipandang sebagai salah satu alternatif pemikiran yang

lebih maju dalam memandang kegiatan CSR. Dalam kaitan dengan

kewirausahaan sosial sebagai suatu pendekatan dalam mengatasi persoalan

sosial dan kemasyarakat; maka CSR dapat sebagai sumber pemecahan

masalah sosial tersebut. Beberapa pemikiran Austrian Economics

mengenai CSR, adalah sebagai berikut:

(1) Wawasan ekonomi dan strategi manajemen mengusulkan bahwa

strategi CSR dalam perusahaan harus dipandang sebagai sebuah

keputusan investasi dan sebagai suatu cara memperoleh keuntungan

21
kompetitif, sama halnya dengan putusan-putusan investasi lain yang

harus diambil

(2) Pendekatan CSR yang berbeda dari Austrian economics berkenaan

dengan tindakan kemanusiaan bukanlah berdasarkan ‘external

constrains’ sebagai faktor fundamental pembuatan keputusan

(3) Perspektif Austrian menekankan peluang ‘future’ dan kewirausahaan

aktif dalam mengidentifikasi masa depan

(4) Karakteristik utama keberhasilannya ‘capitalist entrepreneurship’;

yaitu 26 bukan pada kemampuan mereka beraksi kepada sesuatu atau

‘discover’ tuntutan eksternal, tetapi lebih pada kemampuan mereka

dalam membuat keputusan yang berhasil tentang masa depan (Frynas,

2009; hal.19-20) bukan pada kemampuan mereka beraksi kepada

sesuatu atau ‘discover’ tuntutan eksternal, tetapi lebih pada

kemampuan mereka dalam membuat keputusan yang berhasil tentang

masa depan (Frynas, 2009; hal.19-20)

2.12. Program CSR PT.HM Sampoerna

PT. HM Sampoerna dengan dana yang melimpah, menawarkan

kegiatan sosial yang dilakukan untuk kepentinganmasyarakat. Tidak mau

kalah dengan PT. HM Sampoerna, PT. Djarum Indonesia menawarkan

banyak program yang dilakukan untuk masyarakat, antara lain Djarum

Bakti Pendidikan, Djarum Bakti Lingkungan, dan Djarum Bakti

Olahraga.Bentuk dari Djarum Bakti Pendidikan dan Djarum Bakti Olahraga

adalah pemberian beasiswa kepada siswa berprestasi namun tidak mampu

22
secara ekonomi atau siswa yang berprestasi baik di bidang akademik

maupun olahraga (khususnya olahraga bulu tangkis).Di mata sebagian besar

pemilik perusahaan dan jajaran direksi perusahaan, istilah corporate social

responsibility (CSR) dipandang hanya sebagai tindakan filantropi. CSR

ditempatkan sebagai derma perusahaan atau bahkan sedekah pribadi. Selain

itu, terdapat juga pandangan yang cukup kuat di mata pelaku bisnis yang

memandang CSR sebagai strategi bisnis. CSR dijadikan sebagai instrumen

untuk mencapai dan meningkatkan tujuan ekonomi melalui aktivitas

sosial.Dalam beberapa iklan rokok di televisi, dapat dilihat bahwa iklan

rokok menyentuh sisi kepedulian sosial. Pemberian beasiswa

pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu dipublikasikan secara

dramatis, sehingga iklan rokok bukan saja mengagumkan, namun juga

mampu menyentuh solidaritas kemanusiaan. Setelah PT. HM

Sampoerna dengan jargon ”Sampoerna untuk Indonesia” banyak

menampilkan sumbangsih mereka untuk mencerdasakan bangsa, belakangan

PT Djarum menampilkan hal senada. Kendati sebagian orang mengetahui

bahwa kegiatan ”Sampoerna untuk Indonesia” dikelola oleh Sampoerna

Foundation yang secaramanajerial terpisah dan independen dari PT HM

Sampoerna, namun semua orang mafhum bahwa publikasi itu memiliki

relasi dengan pemasaran (caused related marketing) dengan produk rokok

Sampoerna. Demikian pula halnya Beasiswa Djarum atau Diklat Bulu

Tangkis Djarum.

 Menetukan Arah CSR Perusahaan Rokok

23
Upaya-upaya yang dilakukan olehindustri rokok dalam menyiasati

pembatasan iklan, di antaranya adalah melalui program CSR. Bagaimana

industri rokok dilihat dari sudut pandang CSR? Secara umum dapat

dinyatakan bahwa majoritas pakar CSR tidak ragu untuk menyatakan bahwa

industri rokok tidak bisa dianggap sebagai industri yang bertanggung

jawab sosial. Ada setidaknya tiga indikasi yang terkait dengan pendapat

tersebut. Pertama, tidak satupunindeks socially responsible investment

(SRI) yang menyertakan perusahaan rokok ke dalam portofolio

investasinya.Kedua, penolakan para pakar atas keterlibatan industri rokok

dalam berbagai aktivitas ilmiah yang membahas CSR. Yang paling terkenal

adalah penolakan puluhan pakar terhadap ketelibatan BAT dan Philip Morris

dalam forum Ethical Corporation Asia di Hong Kong (14-15 Oktober

2004). Tadinya, kedua raksasa industri rokok tersebut terdaftar sebagai

sponsor emas dan juga mengirimkan eksekutif puncaknya sebagai

pembicara. Namun, sebuah petisi yang ditandatangani 86 pakar CSR dan etika

bisnis, membuat keikutsertaan dua perusahaan tersebut dibatalkan oleh

panitia. Ketiga, berbagai survei mutakhir menunjukkan bahwa seluruh

pemangku kepentingan sepakat bahwa industri rokok adalah yang paling

rendah kinerja CSR-nya. Artinya, telah terjadi kesepakatan global para

pemangku kepentingan bahwa industri rokok memang tidak bisa

dipandang bertanggung jawab.Mengapa kesepakatan global ini muncul di

kalangan penggiat CSR? Karena beberapa tahun belakangan telah

tercapai kesadaran bahwa CSR bisa dimaknai dengan jelas,

24
walaupun definisinya masih sangat beragam. Perbedaan definisi itu ini

diketahui hanyalah merupakan perbedaan penekanan dan artikulasi, namun

secara substansi tidaklah berbeda.CSR jauh lebih luas dari sekedar pemberian

sponsor, karena sebetulnya CSR adalah manajemen dampak. Timbal balik

ke masyarakat juga hanya sebagian dari CSR, karena CSR terutama

berkaitan dengan bagaimana keuntungan dibuat oleh perusahaan, bukan

sekadar berapa dankepada siapa keuntungan itu disebarkan. Citra positif

adalah hasil menjalankan CSR dalam jangka panjang, namun citra

bukanlah tujuan menjalankan CSR itu sendiri. Demikian juga dengan

uang. Banyak riset telah membuktikan bahwa kinerja CSR dan kinerja

financial perusahaan memang berkorelasi positif, namun uang (keuntungan)

hanyalah dampak ikutan dari menjalankan CSR.Kalau sebuah perusahaan

rokok coba-coba untuk membuat klaim bahwa mereka adalah

perusahaan yang bertangung jawab sosial, kita bisa

menimbangnyadengan keharusan internalisasi eksternalitas di atas. Yang

pertama-tama harus diperiksa adalah apakah memang dampak negatif dari

produksnya telah ditekan hingga batas terendah yang mungkin? Belum

tampak ada upaya masif dari industri rokok untuk mencegah anak-anak

dan remaja merokok dengan menghilangkan akses mereka ke produk

rokok dan berbagai iklannya. Industri ini juga sama sekali tak serius

melindungi bukan perokok.Dalam berbagai literatur CSR dinyatakan,

apabila perusahaan tidak meminimumkan danmengkompensasi dampak

negatifnya terlebih dahulu, namun langsung terjun dalamkegiatan amal, itu

25
disebut greenwash alias pengelabuan citra. Tampaknya inilah yang banyak

terjadi pada industri rokok di manapun, termasuk di Indonesia.Begitu juga

dengan sinyal bahwa CSR adalah budi pekerti korporat. Jika budi pekerti tidak

baik, maka masyarakat akan melihat budi pekerti korporat juga tidak

baik. Pencitraan sebagai perusahaan dengan budi pekerti yang baik

merupakan sebuah metode untuk mentransfer rival costs yang harus

dikeluarkan perusahaan untuk menghadapi pesaing pada industri sejenis.

Sebagai contoh PT. HM. Sampoerna yang mencitrakan dirinya sebagai

perusahaan rokok yang menjalankan CSR melalui kepedulian pada

pendidikan atau PT. Djarum Indonesia melalui program CSR penghijauan

dan peduli lingkungan. Positioning tersebut menurunkan rival cost dengan

perusahaan lain dalam satu industri, terutama dengan bentuk pasar yang

oligopoli maka melalui strategi ini perusahaan mengirimkan sinyal positif

sebagai perusahaan yang berbudi pekerti. Hasilnya diharapkan nilai

perusahaan akan mengalami peningkatan atau dengan kata lain tujuan

financial perusahaan akan tercapai.Terlepas dari batas yang tipis antara

sumbangsih sosial dan strategi pemasaran, sumbangsih mereka, jelas-jelas

diakui membawa manfaat bagi kehidupan masyarakat. Namun yang perlu

dipertanyakan adalah kegiatan CSR perusahaan rokok tersebut sudah tepat

atau belum. Dampak terdekat dari kehadiran dan penggunaan produk

rokok adalah soal kesehatan. Oleh karena itu seharusnya industri rokok

banyak memprakarsai meminimumkan dampak negatif ini

dibandingkan dengan memberikan sumbangsih bagi kegiatan hiburan dan

26
mempublikasikan kegiatan solidaritas sosial. Demikian pula hanya dengan

produk rokoknya sendiri. Dalam rangka menghindari dampak buruk bagi

kesehatan, produk rokok selain mengedepankan soal cita rasa, sebaiknya

juga menginformasikan kandungan dan batas toleransi racun dan tata

cara merokok yang mungkin bisa meminimalisasi dampak negatif bagi

kesehatan bagi konsumennya. Secara sosial, aktivitas merokok di ruang

publik juga banyak dikeluhkan. Oleh karena itu, industri rokok juga

seharusnya berperan aktif untuk menyosialisasikan larangan merokok di

ruang publik dan membangun sarana-sarana smoking area. Dari sisi

penonjolan kemewahan dan kebanggaan merokok, iklan rokok sudah sangat

berhasil. Namun dari sisi pendidikan untuk perokok tentang bagaimana

sebaiknya merokok dengan santun, hingga kini tak ada satu pun industri rokok

yang mulai memprakarsainya.Dalam soal supply chain, industri rokok

merupakan salah satu industri yang memiliki mata rantai keterlibatan pelaku

bisnis yang sangat panjang. Sejak petani tembakau dan cengkih sampai

dengan penjaja rokok di pinggir jalan. Pertanyaan penting yang harus diajukan

adalah: apa yang dilakukan oleh industrirokok untuk meningkatkan kehidupan

merka yang terlibat di dalamnya? Apakah pembagian keuntungan yang relatif

adil sudah terjadi, ataukah ketimpangan pendapatan yang menjadi ciri pelaku

industri ini?Kedermawanan perusahaan (corporate philanthropy) bisa

diartikan sebagai inisiatif perusahaan untuk terlibat dalam upaya-upaya

perbaikan kehidupan sosial. Alasan kemanusiaan pada mulanya

menjadi motivasi utama tindakan ini. Dalam perkembangannya lebih

27
lanjut, kegiatan ini berkembang menjadi sebuah tindakan strategis. Alasan

membangun reputasi, causerelatedmarketing, dan bahkan secara diam-diam

menghitung dampak dan peluang politik hadir dalam tindakan filantropis

ini. Sepertinya ini terjadi karena sebagian besar perusahaa menempatkandiri

sebagai diri sebagai perusahaan dermawan, untuk kemudian melakukan

ekspansi pasar atas modal perolehan citra positif dari publik.Sebagai sebuah

tindakan, CSR tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab perusahaan

untuk menimimalisasi dampak negatif dan maksimalisasi dampak positif.

Untuk sementara, tampak bahwa kinerja CSR lebih banyak memokuskan

diri pada maksimalisasi dampak positif dengan memberikan kontribusi

pada aneka ragam kegiatan sosial. Pada umumnya CSR lebih sering

memilih agenda sumbangan kepada korban bencana, bermain di

sektor pendidikan dan kesehatan. Nyaris semua kegiatan CSR berhenti

sampai di sini. Dan nyaris pula, merekamelupakan evaluasi dan

kewajibannya untuk menimalisasi dampak negatif operasi

perusahaannya.

 Langkah Strategis Pelaksanaan CSR Perusahaan Rokok

Agar CSR menjadi sebuah langkah yang sustainable dan termasuk

sebagai upaya minimalisasi dampak negatif dan maksimalisasi dampak

positif, disarankan beberapa langkah manajerial yang sebaiknya

diambil.Pertama, melakukan review atas portfolio kegiatan dan program yang

sudah berlangsung. Dalam melakukan review dilakukan perusahaan

harus melihat apakah kegiatan yang selama ini dilakukan termasuk

28
(1) communal obligation, sebuah kegiatan umum sebagaimana layaknya

seorang warga negara. Ciri umum dari kategori ini adalah

keterlibatan CSR dalam program pendidikan dan kesehatan;

(2) goodwill building, memberikan kontribusi dan dukungan penuh

kepada seluruh karyawan, pelanggan, dan community leader dalam

menjalin hubungan baik dan merangkai program company

relationshipjangka panjang. Dalam kategori ini CSR, juga dijadikan

sebagai momentum untuk merangkai stakeholder engagementbaik

secara internal (khususnya employee dan supply chain) maupun

secara eksternal (khususnya dengan pemerintah, organisasi

masyarakat sipil, dan masyarakat secara umum);

(3) strategicgiving, memberikan bantuan sesuai dengan core competencebisnis

dan konteks kebutuhan local

Dalam konteks ini, yang kegiatan CSR yang disarankan bagi

perusahaan rokok adalah memperhatikan kesejahteraan para pelaku bisnis

rokok yang sangat panjang. Sejak petani tembakau dan cengkih sampai

dengan penjaja rokok di pinggir jalan. Peningkatan taraf hidup mereka

yang terlibat di dalamnya. Dan menerapkan suatu sistem pembagian

keuntungan yang relatif adil.

Kedua, melakukan penilaian atas resistensi—baik yang potensial maupun

yang sudah eksis—dari inisiatif pemberian bantuan oleh perusahaan.

Penilaian ini dilakukan dengan memerhatikan:

29
(1) proses seleksi atas upaya pemberian bantuan terbaik

(2) upaya memperlebar mitra dengan kelompok lain dalam memberikan

bantuan

(3) upaya-upaya dan proses-proses perbaikan kinerja pemberian bantuan

(4) perolehan dampak perbaikan dan perluasan pengetahuan. Empat

“saringan” ini diperhatikan dengan saksama demi terwujudnya nilai

sosial dan ekonomi baru: terjadi keseimbangan atau titik temu antara

semakin tingginya manfaat sosial dalam kegiatan filantropi murni dan

manfaat ekonomi dalam kegiatan bisnis murni.

Ketiga, mencari opportunity untuk melakukan collective actiondi sebuah

wilayah operasi bersama mitra lain. Mitra di sini baik berupa perusahaan

lain maupun beragam para pemangku kepentingan yang memiliki

competitive context sesuai dengan canangan program yang hendak

dijalankan. Dalam konteks ini disarankan bagi perusahaan rokok

bekerja sama dengan perusahaan rokok lain untuk membangun unit-unti

smokingareadan mengkampanyekan hanya boleh merokok pada smoking

areatersebut. Hal ini sebagai konsekuansi bahwa rokok sebenarnya

mengganggu bagi orang-orang disekitarnya. Sebab hal ini sebenarnya

yang dibutuhkan masyarakat yang bukan perokok.

Keempat, dengan penuh saksama melakukan jejak rekam (monitoring)

dan mengevaluasi hasil. Temuan perolehan hal-hal unik yang mungkin

berbeda sama sekali dengan langkah teks manajerial sebaiknya dijadikan

sebagai input untuk perbaikan dan inovasi program tiada henti. Satu hal

30
yang juga penting diperhatikan—kendati secara implisit sudah ditegaskan

di muka, bahwa CSR juga membawa misi penyebaran nilai-nilai.

Nyaris semua perusahaan besar dibangun atas nilai-nilai universal

pendirinya dan berbagai program CSR juga sedikit banyak mencerminkan

keinginan penyebaran nilai-nilai para pendiri bangunan dan jaringan

bisnis ini. Nilai-nilai seperti kemandirian, upaya membantu sesama,

komitmen pada kebersihan dan kejujuran, semangat dan kerja keras, seni

bertahan dan mengaktualisasikan diri, serta sejumlah cita-cita yang

berhubungan dengan nilai-nilai citizenship, juga merupakan item yang

harus diperhatikan dengan saksama dalam melakukan CSR.Secara

keseluruhan langkah-langkah di atas haruslah bermuara pada

keseimbangan antara kontribusi sosial, ekonomi, dan lingkungan dengan

tentunya ditempatkan dalam kerangka upaya manajemen untuk

meminimumkan dampak negatif rokok dan memaksimalkan dampak

positif perusahaan rokok sesuai dengan bisnis yang dijalankan. Dan di sinilah

titik temu makna tindakan CSR yang memberikan dampak positif bagi

kehidupan sosial dan sekaligus mendatangkan manfaat ekonomi baik bagi

masyarakat maupun perusahaan. Sepanjang keseimbangan ini dijaga dengan

saksama, CSR bisa dipastikan diselenggarakan dengan penuh tanggung jawab.

31
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Tanggung jawab sosial perusahaan adalah kepedulian perusahaan terhadap

kepentingan pihak-pihak lain secara lebih luas daripada sekedar terhadap

kepentingan perusahaan belaka. Dalam perkembangan etika bisnis yang lebih

mutakhir, muncul gagasan yang lebih komprehensif mengenai lingkup

tanggung jawab sosial perusahaan. Sampai sekarang ada empat bidang yang

dianggap dan diterima sebagai ruang lingkup tanggung jawab sosial

perusahaan.

Indicator keberhasilan tanggung jawab social perusahaan terhadap masyarakat

sendiri dilihat dari bagaimana masyarakat setempat merasakan manfaat

dengan adanya kegiatan yang dilakukan perusahaan. Karena dengan

memperhatikan kesejahteraan masyarakat setempat dan memperhatikan

limbah dari produk yang dihasilkan maka perusahaan tersebut telah

menjalankan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat. Dengan begitu

terjalin hubungan yang baik antara masyarakat setempat dengan perusahaan.

3.2. Saran

Menurut kelompok kami setiap perusahaan perlu dan wajib untuk

melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Karena suatu perusahaan

dapat berjalan lancar ketika mereka mau peduli dengan keadaan di sekitarnya

dan tidak semata-mata hanya mementingkan kepentingan perusahaan saja

misalnya mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan menggunakan segala

32
cara yang mengakibatkan pihak-pihak lain merasa dirugikan. Disini

diperlukan hati nurani setiap individu dalam perusahaan tersebut untuk

melaksanakan tanggung jawab sosial itu. Tentu saja hal ini akan bermanfaat

bagi kehidupan perusahaan dalam jangka panjang. Karena tentunya

masyarakat akan mendukung setiap kegiatan yang dilakukan perusahaan

asalkan tidak merugikan yang ada di sekitarnya dan semakin tumbuh rasa

kepercayaan masyarakat terhadap produk yang dihasilkan oleh perusahaan

tersebut.

33
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/8893101/MAKALAH_CORPORATE_SOCIAL_RESPONSIBILITY,

diakses pada tanggal 15 Oktober 2019

https://docplayer.info/72920623-Makalah-corporate-social-responsibility.html, diakses

pada tanggal 15 Oktober 2019

http://etheses.uin-malang.ac.id/259/5/11220090%20Bab%201.pdf, diakses pada

tanggal 15 Oktober 2019

https://media.neliti.com/media/publications/181633-ID-corporate-social-responsibility-

csr-dari.pdf, diakses pada tanggal 15 Oktober 2019

https://media.neliti.com/media/publications/57784-ID-corporate-social-responsibility-

dalam-pe.pdf, diakses pada tanggal 15 Oktober 2019

http://digilib.uinsby.ac.id/4550/4/Bab%201.pdf, diakses pada tanggal 15 Oktober

2019

http://www.kaskus.us/showthread.php?t=2848134, diakses pada tanggal 15 Oktober

2019

http://scylics.multiply.com/journal/item/176/Sejarah_AQUA, diakses pada tanggal 15

Oktober 2019

http://e-journal.uajy.ac.id/8259/3/EM218396.pdf, diakses pada tanggal 15 Oktober

2019

34
http://digilib.uinsby.ac.id/4550/4/Bab%201.pdf, diakses pada tanggal 15 Oktober

2019

https://www.slideshare.net/theknightblueairwaves/makalah-corporate-social-

responsibility-csr, diakses pada tanggal 15 Oktober 2019

https://eprints.uny.ac.id/7958/1/BAB%201-08412144024.pdf, diakses pada tanggal 15

Oktober 2019

Alma, Bukhari, Pengantar Bisnis, Bandung: CV. Alfabeta, 1997.

Badroen, Faisal, dkk. Etika Bisnis dalam Islam, Jakarta: Kencana, 2006.

Baidan, Nashruddin, Etika Islam Berbisnis, Solo: Zada Haniva, 2008

Beekun, Rafiq Issa, Islamic Business Ethics, Virginia: 1997, terj. Fakhri, Majid,
Etika dalam Islam, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Chandra, Robby I, Etika Dunia Bisnis, Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Djakfar, Muhammad, Etika Bisnis dalam Perspektif Islam, Malang: UIN Malang
Press, 2007,

Hasan, Ali, Manajemen Bisnis Syari’ah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Saidi, Zaini dan Hamid Abidin, Wacana dan Praktek Kedermawanan Sosial di
Indonesia, (Jakarta; Piramedia, 2004),

35

Anda mungkin juga menyukai