Anda di halaman 1dari 37

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, dengan rasa syukur kami hanturkan kehadirat Allah SWT karena sudah
memberikan rahmat serta hidayahnya kepada kami sebagai penyusun dalam menyelesaikan
Book Chapter pada materi yang akan dibahas dipembelajaran mata kuliah “Moneter
Internasional” saat ini, materi yang kami susun yaitu mengenai “Krisis Moneter Internasional”.
Seluruh isi dan bagian-bagian dalam makalah ini berasal dari berbagai sumber, seperti jurnal,
website, artikel yang telah diterbitkan sebelumnya, dan buku Moneter Mishkin.
Book Chapter ini disusun dengan tujuan untuk dapat memberikan pemahaman lebih mendalam
mengenai Krisis Moneter yang terjadi diberbagai negara di dunia atau yang terjadi secara
Internasional kepada rekan-rekan sekalian. Book chapter ini merupakan bagian dari tugas mata
kuliah “Moneter Internasional” yang disusun oleh beberapa kelompok mahasiswa Jurusan Ilmu
Ekonomi Pembangunan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dalam Konsentrasi Moneter. Bab
3 pada Book chapter ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari tugas yang
telah diberikan oleh dosen kami yang terhormat yaitu Bapak Cep Jandi Anwar, S.E., M.E.,
Ph.D.
Kami mengetahui bahwa pengerjaan tugas ini masih belum sempurna, oleh karena itu kami
sangat menginginkan adanya masukan, baik saran, kritik ataupun hal lainnya yang bertujuan
untuk menjadikan tugas yang kami kerjakan ini dapat lebih baik dari segi isi maupun yang
lainnya. Kami menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya apabila ada hal yang
kurang berkenan dalam penulisan makalah “Krisis Moneter Internasional” ini. Harapan kami,
dengan terbitnya book chapter ini dapat memberi pemahaman serta wawasan bagi para
pembaca. Kami ucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Moneter Internasional yaitu
Bapak Cep Jandi Anwar, S.E., M.E., Ph.D. yang telah membimbing kami dalam mempelajari
ilmu yang begitu berharga.
Serang, 17 Maret 2023
Penyusun

ii
PRAKATA
Hadirnya book chapter dengan judul Munculnya Krisis Moneter Internasional yang disusun
oleh kelompok 3 Jurusan Ilmu Ekonomi Pembangunan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Untuk memenuhi salah satu tugas Ujian Tengah Semester (UTS) mata kuliah Moneter
Internasional.
Book Chapter ini memuat 5 pembahasan, yang ditulis oleh Sarmila (5553200016), Salsabila
Sevira Putri (5553200017), Ratnawati (5553200020), Adelia Dwi Rahmawati (5553200021)
dan Miftahul Janah (5553200024). Adapun pembahasan yang disajikan meliputi : Munculnya
krisis moneter Internasional, Krisis kepercayaan terhadap dollar, Krisis moneter di Amerika
Selatan, Krisis moneter di Asia Tenggara dan Krisis Finansial Global 2007-2008. Ke lima
pembahasan tersebut berbasisi resume.
Pada bab pertama, disajikan uraian sejarah dari munculnya krisis moneter internasional, dan
penyebab terjadinya krisis moneter.
Pada bab kedua, disajikan uraian mengenai melemahnya kepercaya sejarah sistem The Bretton
Woods dan munculnya sistem nilai tukar Special Drawing Rights (SDR)
Pada bab ketiga, disajikan uraian krisis moneter di Amerika Selatan, Nilai Tukar US$ terhadap
Negara- negara berkembang.
Pada bab keempat, disajikan uraian mengenai krisis moneter di Asia, krisis moneter di
Indonesia dan dampak krisis moneter.
Pada bab kelima, disajikan uraian mengenai Krisis finansial global 2007-2008, penyebab krisis
ekonomi global Subprime Mortgage, sekuritisasi, serta kebijakan baru setelah krisis ekonomi
2008-2009.

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... ii


PRAKATA ............................................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................ v
DAFTAR GRAFIK ................................................................................................................. vi
MUNCULNYA KRISIS MONETER INTERNASIONAL .................................................. 1
KRISIS KEPERCAYAAN TERHADAP DOLAR ................................................................ 6
KRISIS MONETER DI AMERIKA SELATAN ................................................................. 11
KRISIS MONETER DI ASIA TENGGARA ....................................................................... 17
KRISIS FINANSIAL GLOBAL 2007-2008 ......................................................................... 23
INDEKS .................................................................................................................................. 31

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. USD / Mexican Peso Exchange Rate


Gambar 2. USD / Argentina Currencies Exchange Rate
Gambar 3. US Dollar Index (DXY)
Gambar 4. Real Exchange Rate Rp/USD versus Rp/Euro, 1990-2011, yearly

v
DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. Tingkat Pertumbuhan Global


Grafik 2. Tingkat Inflasi dan GPD di Amerika Serikat
Grafik 3. Tingkat Inflasi dan GDP di Indonesia

vi
BAGIAN 1

MUNCULNYA KRISIS MONETER INTERNASIONAL


Sarmila
Jurusan Ilmu Ekonomi Pembangunan, FEB Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
5553200016@untirta.ac.id
PENDAHULUAN
Krisis moneter internasional adalah keadaan di mana beberapa negara atau seluruh dunia
mengalami krisis keuangan. Krisis ini biasanya ditandai dengan penurunan nilai tukar mata
uang, penurunan nilai aset finansial, dan kekurangan likuiditas yang mengancam stabilitas
sistem keuangan global. Krisis keuangan internasional dapat memiliki dampak yang luas pada
ekonomi global, termasuk penurunan nilai tukar mata uang, peningkatan kemiskinan dan
pengangguran, serta mengancam stabilitas keuangan dunia. Oleh karena itu, mencegah dan
menangani krisis keuangan internasional adalah tantangan global yang memerlukan koordinasi
dan tindakan yang tepat dari semua negara.
Krisis ekonomi global dapat dipicu oleh banyak faktor, seperti ketidakseimbangan
perdagangan antara negara-negara, fluktuasi nilai tukar yang tidak stabil, krisis keuangan
dalam suatu negara yang dapat menyebar ke negara-negara lain, kebijakan moneter yang tidak
efektif, spekulasi pasar, faktor politik, dan dampak pandemi.
Beberapa contoh krisis keuangan internasional yang terkenal termasuk krisis moneter Asia
pada tahun 1997, krisis keuangan Rusia pada tahun 1998, dan krisis keuangan global pada
tahun 2008. Salah satu contoh krisis keuangan internasional yang paling terkenal adalah Krisis
Keuangan Asia pada tahun 1997. Krisis ini terjadi karena beberapa faktor, seperti
ketidakseimbangan neraca perdagangan, investasi asing yang besar di sektor keuangan dan
properti, serta kebijakan moneter yang tidak efektif.
Apabila para pelaku investasi kehilangan kepercayaan terhadap nilai mata uang atau kondisi
ekonomi suatu negara, maka mereka akan menarik modalnya dari negara tersebut. Dampaknya,
nilai tukar mata uang negara tersebut turun dan harga aset juga merosot. Situasi ini dapat
memicu terjadinya krisis keuangan di negara tersebut, bahkan berdampak pada negara-negara
lain.

PEMBAHASAN
Sejarah Krisis Moneter Internasional
Pada dekade 1920-an, Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi besar yang dikenal dengan
sebutan The Great Depression. Masa ini berlangsung selama 10 tahun, dari 1929 hingga 1939

1
saat Herbert Hoover menjabat sebagai kepala pemerintahan. Sebelumnya, pada periode The
Roaring Twenties, ekonomi AS berkembang pesat dan kekayaan negara meningkat lebih dari
dua kali lipat. Namun, pertumbuhan ekonomi yang pesat memicu spekulasi besar-besaran di
pasar saham. Indeks saham melonjak tajam hingga mencapai puncak pada Agustus 1929.
Namun, pada September 1929, harga saham mulai turun perlahan-lahan. Pada 24 Oktober
1929, terjadi pelepasan saham secara besar-besaran dan hampir 13 juta lembar saham
berpindah tangan dalam sehari. Dow Jones Industrial Average (DJIA) jatuh 11% dalam sehari.
Peristiwa ini dikenal dengan sebutan "Black Thursday". Lima hari kemudian, pada 29 Oktober
1929, krisis di bursa mencapai titik terparah dan disebut sebagai "Black Tuesday", yang
menjadi salah satu hari yang paling diingat dalam sejarah ekonomi dunia.
Kepercayaan pelanggan berkurang setelah terjadinya penurunan pasar saham. Penurunan pasar
saham mengakibatkan penurunan daya beli, mengecilnya investasi, guncangan di sektor
industri, dan penyebaran pengangguran. Meningkatnya pengangguran mengakibatkan
meningkatnya kredit macet dan peningkatan penyitaan aset. Sementara itu, produksi negara
juga menurun. Kondisi perbankan juga tidak jauh berbeda. Pada tahun 1930, banyak
masyarakat yang kehilangan keyakinan menarik uang mereka dari perbankan secara besar-
besaran, sehingga memaksa bank untuk melikuidasi pinjaman untuk memenuhi kebutuhan kas.
Belum lagi kondisi ini pulih, hal yang sama terjadi pada tahun 1931 hingga 1932. Puncaknya
terjadi pada tahun 1933, di mana banyak bank yang harus ditutup.
Pemerintah Hoover berusaha untuk memberikan bantuan kepada bank-bank melalui pinjaman
pemerintah sebagai solusi. Namun, krisis malah semakin memburuk. Setelah pergantian
presiden menjadi Franklin D. Roosevelt, harapan muncul bahwa krisis akan berakhir. Tindakan
Roosevelt terlihat lebih konkret dibandingkan dengan Hoover. Akhirnya, Kongres menyetujui
program yang diajukan oleh Roosevelt, yaitu program "New Deal" yang terdiri dari 47 program
yang dibagi menjadi tiga tahap pelaksanaan dari 1933-1939. Kebijakan yang diluncurkan oleh
Roosevelt melalui New Deal akhirnya membuahkan hasil. Pada tahap pertama, pertumbuhan
ekonomi mencapai 10,8%, kemudian pada tahap kedua, pertumbuhan ekonomi turun meskipun
masih tinggi sebesar 8,9%. Pada tahun 1936, pertumbuhan ekonomi kembali meningkat
menjadi 12,9%.
Di tahun 2008, Amerika Serikat mengalami turbulensi ekonomi yang serius. Dollar AS adalah
salah satu mata uang utama yang digunakan di hampir seluruh negara di dunia. Oleh karena
itu, situasi dollar AS dan kondisi Amerika secara umum akan berdampak pada perekonomian
negara lain, termasuk negara-negara berkembang.

2
Penerapan sistem ekonomi liberal menyebabkan negara-negara di kawasan Asia Pasifik
terdampak oleh krisis keuangan global. Salah satu efek yang dapat terjadi adalah melalui pasar
keuangan. Meskipun cadangan devisa Jepang mencapai USD 1 triliun, hal tersebut tidak
menjamin Jepang terhindar dari krisis keuangan global.
Indeks bursa saham di Jepang telah turun sekitar 20%. Dampak lain yang terlihat adalah
penurunan nilai ekspor di beberapa negara Asia, seperti Singapura dan Hongkong. Kedua
negara ini memiliki peran penting sebagai pusat keuangan global. Tiongkok juga akan terkena
dampak karena permintaan produknya dari AS akan menurun drastis. Sehingga, produk
Tiongkok tidak dapat diekspor secara besar-besaran ke AS.
Pertumbuhan Singapura yang biasanya mencapai sekitar 9% mengalami penurunan menjadi
6%. Fakta ini menunjukkan bahwa perlambatan ekonomi AS berdampak terhadap negara-
negara Asia lainnya. Bahkan China, yang sebelumnya dianggap kebal terhadap resesi negara
lain, juga merasakan dampaknya. Indeks Shanghai turun dan mulai beralih ke pasar regional,
termasuk Indonesia, untuk mengantisipasi penurunan ekspor ke AS. Oleh karena itu, negara-
negara lain juga harus waspada terhadap kemungkinan banjirnya produk China akibat pasar
ekspor AS yang tidak terpenuhi.
Dalam situasi krisis ekonomi tersebut, AS membutuhkan dukungan dari negara-negara lain
baik secara materi maupun moral untuk membantu pulihnya perekonomiannya. Dampak
jatuhnya perekonomian AS dirasakan oleh seluruh dunia, sehingga negara-negara yang terkena
imbasnya juga memberikan bantuan untuk pemulihan ekonomi AS. Keterbatasan AS dalam
menangani masalah ini sendirian atau hanya dengan negara-negara maju mendorong AS dan
negara-negara maju lainnya untuk melibatkan negara-negara berkembang dan berpengaruh
dalam mencari solusi bersama.
Saat mengalami krisis ekonomi pada tahun 2009, pertumbuhan ekonomi AS merosot hingga
mencapai -22,8% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yang merupakan yang terparah
sejak tahun 2000. Untuk meningkatkan daya beli masyarakat, suku bunga AS ditetapkan pada
angka 0%. Kebijakan ini terbukti cukup efektif, sehingga pada tahun 2010 pertumbuhan
ekonomi AS mulai meningkat. Seiring dengan perbaikan ekonomi, bank sentral AS yaitu
Federal Reserve atau The Fed, mulai menaikkan suku bunga secara bertahap. Selain menaikkan
suku bunga, perbaikan ekonomi di AS juga dilakukan dengan normalisasi kebijakan moneter
dan fiskal di negara tersebut. Hal ini membuat hasil investasi meningkat dan modal kembali
mengalir ke AS, sehingga dollar AS menguat.
Munculnya pemerintahan baru yang dipimpin oleh Presiden Donald Trump telah menghasilkan
kebijakan-kebijakan baru yang berdampak pada ketidakpastian global, termasuk di antaranya
3
perang dagang. Dolar AS merupakan mata uang utama yang digunakan hampir di seluruh
dunia, sehingga peningkatan suku bunga AS memicu investor untuk memindahkan aset
mereka. Dampaknya negatif bagi negara-negara yang menjadi tujuan investasi dari investor-
investor tersebut.

Penyebab Terjadinya Krisis Moneter


Krisis finansial adalah situasi yang terkait dengan uang dan keuangan suatu negara, yang
ditandai dengan ketidakpastian keuangan sebagai hasil dari lembaga keuangan dan nilai tukar
mata uang yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Beberapa faktor yang dapat memicu
krisis finansial internasional adalah sebagai berikut:
Defisit neraca perdagangan yang besar: Jika sebuah negara memiliki defisit perdagangan yang
besar, maka negara tersebut harus meminjam uang dari negara lain untuk menutup defisit
tersebut. Hal ini dapat menyebabkan penurunan nilai tukar mata uang negara tersebut dan
memicu krisis finansial internasional.
Kebijakan moneter yang tidak tepat: Kebijakan moneter yang tidak tepat, seperti suku bunga
yang terlalu rendah atau terlalu tinggi, dapat memicu inflasi atau deflasi yang berdampak pada
stabilitas nilai tukar mata uang dan krisis finansial internasional.
Spekulasi pasar: Spekulasi pasar dapat memicu krisis finansial internasional jika terdapat
kekhawatiran tentang stabilitas ekonomi suatu negara. Para spekulan dapat menjual mata uang
negara tersebut dan memicu penurunan nilai tukar mata uang yang drastis.
Kepercayaan investor yang merosot: Kepercayaan investor yang merosot dapat memicu
keluarnya modal asing dari suatu negara dan memperparah krisis finansial internasional.

KESIMPULAN
Krisis moeneter internasional adalah keadaan di mana beberapa negara atau seluruh dunia
mengalami krisis keuangan. Krisis ini biasanya ditandai dengan penurunan nilai tukar mata
uang, penurunan nilai aset finansial, dan kekurangan likuiditas yang mengancam stabilitas
sistem keuangan global. Krisis ekonomi global dapat dipicu oleh banyak faktor, seperti
ketidakseimbangan perdagangan antara negara-negara, fluktuasi nilai tukar yang tidak stabil,
krisis keuangan dalam suatu negara yang dapat menyebar ke negara-negara lain, kebijakan
moneter yang tidak efektif, spekulasi pasar, faktor politik, dan dampak pandemi. . Oleh karena
itu, mencegah dan menangani krisis keuangan internasional adalah tantangan global yang
memerlukan koordinasi dan tindakan yang tepat dari semua negara.

4
DAFTAR PUSTAKA
Aziza, A. N., Fathana, A., & Yulianto, A. F. (2019). Analisis Peran IMF terhadap Fenomena
Inflasi tahun 1997-1998 di Negara Thailand. Nation State Journal of International
Studies, 2(1), 25–34. https://doi.org/10.24076/nsjis.2019v2i1.143
Mahmudy, M. (2003). Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran Yang Dapat Diambil Dari
Krisis Tersebut. Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan, 1(2), 185–201.
https://doi.org/10.21098/bemp.v1i2.170
Rangkuty, D. M., Pembangunan, U., Budi, P., Mesra, M., Pembangunan, U., & Budi, P. (2022).
L , l , ok (Vol. 19, Issue January).
Tiara Maharani. (2022). Analisis Dampak Krisis Moneter Asia terhadap Indonesia Tahun 1998
dan Peranan IMF dalam Perspektif Neoliberalisme. July, 1–6.
https://www.researchgate.net/publication/361901341

5
BAGIAN 2

KRISIS KEPERCAYAAN TERHADAP DOLAR


Salsabila Sevira Putri
Jurusan Ilmu Ekonomi Pembangunan, FEB Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
5553200017@untirta.ac.id

PENDAHULUAN
Permasalahan perdagangan internasional yang muncul pada abad ke-19 menyebabkan
perubahan mendasar dalam tatanan ekonomi dunia, utamanya dalam bidang perdagangan
internasional. Perubahan ini menjadi alasan untuk hampir sebagian negara di dunia untuk
melakukan beberapa adaptasi terhadap kebijakan dan praktik perdagangan internasional.
Namun dalam pertumbuhannya, kebijakan suatu negara kadang kala tidak konsisten sehingga
bertentangan mekanisme pasar yang telah ditentukan, dan dapat memicu kejadian atau
peristiwa yang dapat merugikan negara tersebut. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya
kompetisi perdagangan antar negara akibat kebijakan pemerintah negara bagian untuk
meningkatkan daya saing ekonomi.
Lahirnya berbagai bentuk kerjasama di aspek ekonomi, utamanya dalam perdagangan
internasional, merupakan efek dari keterpurukan ekonomi sejak puncaknya perang dunia.
Kegagalan terparah terjadi saat adanya krisis yang menimpa hampir semua dunia pada tahun
1929. Krisis ini menyebabkan stagnasi perekonomian dunia pada saat itu, yang memberikan
efek knock-on domino berupa perekonomian nasional lumpuh di banyak negara.
Selama Perang Dunia II, Amerika Serikat dan Inggris Raya mempelopori dibentuknya
organisasi ekonomi dunia dengan maksud menerapkan kebjakan ekonomi internasional
dengan. Tujuan utamanya adalah untuk memberlakukan kebijakan perjanjian perdagangan
timbal balik, khususnya undang-undang yang mewajibkan kewajiban timbal balik atau
resiprokal dalam bentuk mengurangi tarif untuk perdagangan. Tujuan kedua adalah
menyediakan kerangka hukum untuk mencegah perpecahan seperti yang terjadi saat Perang
Dunia I dan Perang Dunia II.
Selama Perang Dunia Kedua, semua negara menggunakan sistem ekonomi proteksionis, yang
menghambat hubungan perdagangan internasional dan membawa dampak penurunan ekonomi
dunia. Dengan demikian, upaya dilakukan untuk mengatur hubungan perdagangan dan
ekonomi internasional menjelang akhir Perang Dunia II melalui konferensi di Bretton Woods,
New Hampshire, AS. Prestasi Konferensi Bretton Woods termasuk meliberalisasi perdagangan
juga menetapkan aturan dalam mengikat kegiatan ekonomi internasional

6
PEMBAHASAN
The Bretton Woods System merupakan sejarah adanya International Monetary System. Saat
masa perang dunia II negara Amerika Serikat dan Inggis melandaskan pembentukan organisasi
ekonomi dunia yang memiliki tujuan untuk menetapkan Kebijakan The Reciprocal Trade
Agreement yang berisi pengurangan tarif perdagangan dengan dalih hubungan timbal balik.
Tujuan kedua yaitu dalam mencegah konflik yang sama saat peristiwa perang dunia I dan
perang dunia II dengan memberi kerangka hukum.
Sejarah sistem Bretton Woods dimulai pada tahun 1930-an ketika dunia masih mengalami
kekacauan keuangan yang disebabkan oleh Perang Dunia I. Runtuhnya tatanan ekonomi
internasional menyebabkan ketidakjelasan nilai tukar, mengalami devaluasi, kontrol
pertukaran mata uang, pembatasan perdagangan, terjadi perang ekonomi internasional dan
perang antar mata uang dengan blok mata uang. Dapat dikatakan perdagangan dan investasi
internasional telah berhenti seluruhnya dan perdagangan Kembali dilakukan dengan system
barter antara pemerintah saling kompeten dan saling eksklusif.
Pada juli 1944 diadakannya pertemuan di Bretton Woods yang dihadirkan oleh 44 negara untuk
membahas keinginan membentuk rezin moneter internasional. Yang bertujuan untuk
menghindari kehancurannya moneter. Pertemuan ini menghasilkan menetapkan system
pertukaran mata uang stabil berdasarkan nilai mata uang individu yang berlandaskan nilai emas
dan tetap dalam dolar AS.
Dalam pertemuan ini juga terdapat 2 solusi untuk pembangunan infrastuktur yaitu International
Bank for Recontruction and Development (IBRD) dan untuk memulihkan kondisi ekonomi
yang memberikan penawaran kredir jangka Panjang untuk negara yang deficit yaitu
International Monetary Fund (IMF). Bretton Woods System melakukan beberapa inovasi,
fleksibilitas exchange-rate diperbesar, modal capital dicontrol, dan stabilitas dana. Setelah
melakukan 3 inovasi, IMF bertugas untuk memantau Kebijakan makro ekonomi dan posisi
balance of payment di negara anggota.
Di era System Bretton Woods interaksi ekonomi internasional mengalami pertumbuhan yang
signifikan. System Bretton Woods mempunyai peran dalam pembentukan Golden Age of
Controlled Capitalism yang ditandai meningkatnya kesejahteraan negara-negara. Layanan
sosial dan kolektif meningkat, subsidi ke Lembaga Pendidikan meluas, perumahan, budaya,
dan kesehatan mendapat perhatian yang lebih tinggi dan tingkat pengangguran pun menurun
drastis. System ini mempunyai mekanisme untuk mengontrol pergerakan kapitalisme
internasional negara yang memungkinkan terpenuhi padat kerja.
7
Sampai akhir tahun 1960-an, system Bretton Woods berjalan dengan baik. Akan tetapi
menjelang tahun 1970-an system ini mengalami kehancuran. Awal tahun 1970-an terjadi krisis
ekonomi yang mengakibatkan Amerika mengalami krisis sehingga posisinya sebagai mata
uang dunia berakhir. Amerika juga mengalami deficit bersar pada tahun 1971 karena
merosotnya daya saing produk amerika dengan produk eropa barat dan jepang. Amerika pun
mengalami kerugian militer sehingga mengalami deficit neraca pembayaran dikarenakan
lamanya perang IndoCina.
Perusahaan multinasional Amerika pun mengalihkan hamper semua investasi modalnya ke
Eropa, Asia dan benua lain dengan alasan rendahnya upah buruh di benua tersebut. Meskipun
Jumlah keuntungan perusahaan bertambah besar, akan tetapi keuntungan tersebut tidak cukup
untuk mengimbangi deficit atau menutup kerugian neraca perdagangan dan pengeluaran militer
untuk luar negeri yang besar.
Kehancuran juga diakibatkan oleh ekonomi negara Eropa, menyebabkan tidak ada
perdagangan dengan Amerika. Amerika membuat dolar Amerika yang menjadi standar yang
bisa ditukarkan dengan emas. Adanya pencetakan dolar yang melebihi kapasitas emas yang
dimiliki berakibat terjadinya krisis kepercayaan yang dialami masyarakat terhadap dolar
amerika. Hal ini ditunjukkan dengan penukaran dolar secara besar-besaran oleh negara di
Eropa.
Para pebisnis Eropa dan Jepang serta pejabat pemerintah negara lain mulai mengamati sebab-
sebab kemerosotan perekonomian amerika pada tahun 1960-an. Para pebisnis ini memiliki
cadangan dolar dalam Jumlah yang sangat banyak di bank-bank Amerika dan sentral
negaranya. Setelah mengamati sebab kemerosotan perekonomian amerika, mereka
berspekulasi bahwa amerika akan mendavaluasikan mata uangnya dengan alasan upaya
menarik Jumlah deficit neraca pembayaran.
Perancis menukarkan 150 juta dolar AS dengan emas, Spanyol pun ikut menukarkan 60 juta
dolar AS dengan emas. Hal ini menyebabkan cadnagan emas Amerika berkurang secara
drastic. Secara sepihak amerika membatalkan system Bretton Woods pada 15 Agustus 1971
yang berisi emas tidak lagi dijamin oleh USD.
Adanya devaluasi mengakibatkan memburuknya kondisi mata uang dolar. Pada 1972 cadangan
emas amerika diperkirakan mengalami kemerosotan sehingga stok emas di Fort Knox sangat
merosot dari 24 miliar dolar menjadi 12 miliar dolar. Dengan ini stok emas Amerika lebih kecil
dari emas yang beredar di luar negeri yang mencapat 100 miliar dolar.
Pada tahun 1971, Dana Moneter Internasional (IMF) meluncurkan sistem nilai tukar baru
dengan mengeluarkan mata uang global artifisial baru yang disebut Special Drawing Rights
8
(SDR). Nilai tukar ini berfungsi sebagai nilai tukar mata uang yang dianggap kuat seperti dolar,
mark, yen, franc Swiss. Jumlah total SDR yang dimiliki oleh IMF diperkirakan mencapai $26,2
miliar dolar.
Ketersediaan SDR memungkinkan negara mana pun untuk mentransfer SDR, bersama dengan
emas dan mata uang lainnya, ke bank sentral mereka sebagai tindakan darurat untuk
memulihkan defisit neraca pembayaran. System ini juga dapat melakukan devaluasi dan
pengendalian inflasi untuk memulihkan kondisi defisit. SDR berpotensi menjadi mata uang
sentral dunia sebagai standar yang digunakan untuk mengevaluasi mata uang negara manapun.

KESIMPULAN
Melalui pengahapusan emas sebagai mata uang dan deperkenalkannya dolar AS sebagai
pendamping mata uang setelah akhir Perang Dunia II di kesepakatan Bretton Woods, dan pada
tahun 1970 dolar AS menjadi mata uang alternatif. Hal ini mengakibatkan AS menguasai
ekonomi global. Dan menyebabkan apa yang terjadi di AS dapat memberikan efek fatal bagi
perekonomian negara lainnya. Alasannya adalah seluruh cadangan devisa negara-negara
didukung oleh nilai intrinsic dolar yang tidak dapat dibandingkan dengan kertas dan tulisan
diatasnya.

DAFTAR PUSTAKA
Agama, I., Negeri, I., & Banten, H. (n.d.). ANALISIS KEKUATAN DINAR DAN DIRHAM
SEBAGAI MATA UANG ANTI KRISIS SURAHMAN.
Allamah Harahap, R., Nafil, H., AbdMajid, Ms., Handayani, R., Tinggi Agama Islam Barumun
Raya, S., & Islam Negeri Sumatera Utara, U. (n.d.). Reslaj: Religion Education Social Laa
Roiba Journal Studi Literature Solusi Keuangan Islam Mencegah Krisis Masa Depan.
https://doi.org/10.47476/reslaj.v4i3.879
Amin, M. K. (n.d.). Critical review dari Thomas Oatley Chapter 10 THE INTERNATIONAL
MENETARY SYSTEM.
Fathurrahman, A. (n.d.). Sistem Bretton Woods dalam Perspektif Maqasid Syariah: Studi
Kebijakan Ekonomi Politik Internasional (1944-1971).
https://doi.org/10.19105/iqtishadia.v6i2
Haryadi, S. (2018). Bab 4 dari buku “Ekonomi Bisnis Regulasi dan Kebijakan
Telekomunikasi”: Prinsip-Prinsip Ilmu Ekonomi & Perbankan.
https://doi.org/10.17605/OSF.IO/B67UC

9
Sasmita, S. (2015). REFORMASI STRUKTUR PERDAGANGAN INTERNASIONAL
DALAM WTO: PERSPEKTIF JOSEPH E.STIGLITZ. Jurnal Hubungan Internasional,
4(2), 192–203. https://doi.org/10.18196/hi.2015.0079.192-203
Shifa, M., Amalia, A., AbdMajid, Ms., Studi Doktor Ekonomi Syariah, P., Kunci, K., Ekonomi,
K., & Kemelaratan, D. (n.d.). PENGGUNAAN MATA UANG DINAR DAN DIRHAM
SEBAGAI SOLUSI PREDIKSI KRISIS MONETER DI INDONESIA.
Siregar, H. (n.d.). SALING KETERGANTUNGAN DAN KETIMPANGAN DALAM TATA
EKONOMI POLITIK DUNIA.

10
BAGIAN 3

KRISIS MONETER DI AMERIKA SELATAN


Ratnawati
Jurusan Ilmu Ekonomi Pembangunan, FEB Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
5553200020@untirta.ac.id

PENDAHULUAN
Pada tahun 1960-an dan 1970-an, berbagai negara di Amerika Latin terutama Brasil, Argentina,
dan Meksiko, meminjam sejumlah besar uang dari kreditor internasional untuk memperindah
industri, terutama program infrastruktur. Ketika itu, negara-negara ini memiliki ekonomi yang
kuat, sehingga para kreditur dengan senang hati memberikan pinjaman. Pada awalnya, negara-
negara berkembang biasanya mengumpulkan pinjaman melalui jalur publik seperti Bank
Dunia. Setelah tahun 1973, bank-bank swasta mendapat aliran dana dari negara-negara kaya
minyak yang percaya bahwa utang pemerintah adalah investasi yang aman. Meksiko
meminjam pendapatan minyak di masa depan dengan utang yang dinilai dalam dolar AS,
sehingga ketika harga minyak turun, perekonomian Meksiko ikut terdampak.
Antara tahun 1975 dan 1982, utang yang harus dibayar oleh negara-negara di Amerika Latin
kepada bank-bank komersial naik dengan kecepatan tahunan sebesar 20,4%. Kenaikan
pinjaman ini menyebabkan negara-negara di Amerika Latin meningkatkan jumlah utang luar
negerinya dari US$75 miliar pada tahun 1975 menjadi lebih dari $315 miliar pada tahun 1983,
yang setara dengan 50% dari produk domestik bruto (PDB) kawasan tersebut. Biaya layanan
utang (pembayaran bunga dan pelunasan pokok) meningkat lebih cepat karena suku bunga
global meningkat tajam, mencapai $66 miliar pada tahun 1982, dari $12 miliar pada tahun
1975.

PEMBAHASAN
Ketika ekonomi dunia mengalami resesi pada 1970-an dan 1980-an, dan harga minyak
meroket, hal itu menciptakan titik puncak bagi sebagian besar negara di kawasan ini. Negara-
negara berkembang menemukan diri mereka dalam krisis likuiditas yang putus asa. Negara-
negara pengekspor minyak , dibanjiri uang tunai setelah kenaikan harga minyak tahun 1973–
1980, menginvestasikan uang mereka di bank internasional, yang "mendaur ulang" sebagian
besar modal sebagai pinjaman sindikasi kepada pemerintah Amerika Latin. Kenaikan harga
minyak yang tajam menyebabkan banyak negara mencari lebih banyak pinjaman untuk
menutupi harga yang tinggi, dan bahkan beberapa negara penghasil minyak mengambil hutang

11
yang besar untuk pembangunan ekonomi, berharap harga yang tinggi akan bertahan dan
memungkinkan mereka untuk melunasi hutangnya.

Gambar 1. ISD / Mexican Peso Exchange Rate

Nilai tukar USD / Peso Meksiko


Gambar 2. USD / Argentina Currencies Exchange Rate

Nilai Tukar Mata Uang USD / Argentina *Dari Januari 1970 hingga Mei 1983: peso ley
18188 *Dari Juni 1983 hingga Mei 1985: peso argentino *Dari Juni 1985 hingga Desember
1991: australes
Lihat juga: Nilai tukar historis mata uang Argentina

Gambar 3. US Dollar Index (DXY)

USD adalah yang terkuat yang pernah ada pada tahun 1985 membuat utang luar negeri lebih
mahal untuk dibayar kembali, [6] memicu Plaza Accord
Indeks Dolar AS (DXY)
Nilai tukar USD / GBP
Nilai tukar USD/ dolar Kanada
Nilai tukar EUR / USD ( terbalik ).
Nilai tukar USD/ JPY
Nilai tukar USD/ SEK
Nilai tukar USD/ CHF

12
Ketika suku bunga meningkat di Amerika Serikat dan di Eropa pada tahun 1979, pembayaran
hutang juga meningkat, sehingga mempersulit negara peminjam untuk membayar kembali
hutang mereka. Kemerosotan nilai tukar dengan dolar AS berarti bahwa pemerintah Amerika
Latin akhirnya berhutang sejumlah besar mata uang nasional mereka, serta kehilangan daya
beli. Kontraksi perdagangan dunia pada tahun 1981 menyebabkan harga sumber daya primer
(ekspor terbesar Amerika Latin) jatuh.
Sementara akumulasi utang luar negeri yang berbahaya terjadi selama beberapa tahun, krisis
utang dimulai ketika pasar modal internasional menyadari bahwa Amerika Latin tidak akan
mampu membayar kembali pinjamannya. Hal ini terjadi pada bulan Agustus 1982 ketika
Menteri Keuangan Meksiko, Jesús Silva-Herzog, menyatakan bahwa Meksiko tidak dapat lagi
melunasi utangnya.Meksiko menyatakan tidak dapat memenuhi tanggal jatuh tempo
pembayarannya, dan secara sepihak mengumumkan moratorium selama 90 hari; itu juga
meminta negosiasi ulang periode pembayaran dan pinjaman baru untuk memenuhi kewajiban
sebelumnya.
Setelah gagal bayar negara Meksiko, sebagian besar bank komersial mengurangi secara
signifikan atau menghentikan pinjaman baru ke Amerika Latin. Karena sebagian besar
pinjaman Amerika Latin bersifat jangka pendek, krisis terjadi ketika pembiayaan kembali
mereka ditolak. Miliaran dolar pinjaman yang sebelumnya akan dibiayai kembali, kini harus
segera jatuh tempo.
Bank entah bagaimana harus merestrukturisasi utang untuk menghindari kepanikan finansial;
ini biasanya melibatkan pinjaman baru dengan persyaratan yang sangat ketat, serta persyaratan
agar negara debitur menerima intervensi Dana Moneter Internasional (IMF). Ada beberapa
tahapan strategi untuk memperlambat dan mengakhiri krisis. IMF bergerak untuk
merestrukturisasi pembayaran dan mengurangi pengeluaran pemerintah di negara-negara
pengutang. Kemudian dan Bank Dunia mendorong pasar terbuka. Akhirnya, AS dan IMF
mendorong keringanan utang, mengakui bahwa negara-negara tidak akan mampu membayar
kembali jumlah besar utang mereka.
Namun, beberapa ekonom ortodoks seperti Stephen Kanitz mengaitkan krisis utang tersebut
bukan dengan tingkat utang yang tinggi atau dengan disorganisasi ekonomi benua. Mereka
mengatakan bahwa penyebab krisis adalah batas leverage seperti peraturan perbankan
pemerintah AS yang melarang banknya meminjamkan lebih dari sepuluh kali jumlah modal
mereka, sebuah peraturan yang, ketika inflasi mengikis batas pinjaman mereka, memaksa
mereka untuk memotong akses. negara-negara terbelakang untuk tabungan internasional.\

13
Runtutan Masalah
Pada masa itu, Bank AS mencapai puncaknya karena surplus ekonomi yang sangat besar
memungkinkan Bank AS untuk memberikan pinjaman ke negara-negara berkembang di
wilayah Amerika Latin dan Asia. Wilayah Amerika Latin memiliki utang terbesar, diikuti oleh
hampir semua negara di wilayah tersebut seperti Argentina, Brazil, Chile, Colombia, Mexico,
Peru, dan Venezuela. Utang nasional terus meningkat 10 kali lipat antara tahun 1970 dan 1982.
Pada awalnya, utang nasional berfungsi sebagai aliran modal yang dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi di negara-negara Amerika Latin. Pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,6
persen per tahun terjadi di wilayah Amerika Latin antara tahun 1973 dan 1980. Namun, rasio
utang negara-negara Amerika Latin mencapai 30 persen dalam pendapatan ekspor, yang setara
lebih tinggi dari standar bank. Bank AS melihat kesempatan untuk meminjamkan uang ke
negara-negara ini karena surplus ekonomi yang besar..
Beberapa negara yang sedang berkembang seperti Brasil mengalami peningkatan utang sebesar
60 persen pada awal 1980-an dan terus meningkat sejak saat itu. Hal ini disebabkan oleh inflasi
internasional, apresiasi dolar sebesar 11 persen pada tahun 1981, dan peningkatan sebesar 17%
pada tahun 1982 (Edwards, 1988). Menyadari kondisi ini, negara-negara Amerika Latin terus
memberikan pinjaman. Tingkat utang negara-negara Amerika Latin meningkat dari $159
miliar menjadi $327 miliar. Utang perbankan negara-negara Amerika Latin naik hampir 30%
per tahun pada tahun 1970-an. Krisis Utang Amerika Latin pada tahun 1980-an disebabkan
oleh masalah sistematis antara tiga pihak, yaitu debitur, pihak swasta, dan lembaga multilateral
yang ada (Devlin, 1995).
Peningkatan utang di negara-negara Amerika Latin akhirnya tidak bisa dihentikan dan terus
bertambah. Lembaga multilateral seperti IMF, Bank Dunia, dan Bank AS terlibat dalam
pengaturan ini. IMF berupaya untuk membuka pasar di negara-negara Amerika Latin. Pada
intinya, lembaga multilateral ingin negara-negara yang berhutang membuka pasar mereka dan
menghilangkan hambatan dalam aliran modal ke masyarakat umum. U.S Bank, sebagai salah
satu lembaga multilateral, menawarkan Re-scheduling. Pada saat itu, negara-negara Amerika
Latin mengalami peningkatan PDB sebesar 5,5% per tahun dan peningkatan total ekspor
sebesar 8%. Namun, peningkatan ini hanya merupakan ilusi karena diikuti oleh inflasi
internasional yang setara dengan 12% setiap tahunnya. Oleh karena itu, tingkat inflasi
menunjukkan tingkat utang sebenarnya dari negara-negara yang memiliki utang besar di luar
negeri. Kenaikan harga minyak pada tahun 1973 disebabkan oleh embargo dari negara
pengimpor minyak. Hal ini menyebabkan resesi ekonomi pada tahun 1974-75 dan penurunan
harga komoditas pertanian, mineral, dan produk buatan negara berkembang yang bergantung
14
pada komoditas ini. Akibatnya, negara-Resesi yang sangat parah terjadi dan mengakibatkan
penurunan PDB di negara-negara kawasan selama tiga tahun berturut-turut (Bertola, . 2012).
Selain itu, implementasi kebijakan untuk regulasi ekonomi makro tidak efisien karena tarif
yang tinggi dan banyak peraturan impor serta campur tangan negara di dalamnya (Bertola, .
2012). Pada saat ini, krisis yang memprihatinkan akibat hutang dari pihak eksternal sudah
hilang dapat membantu lagi, sehingga negara-negara Amerika Latin harus mengurangi
pengeluaran (Devlin, 1995).
Negara-negara di Amerika Latin mengalami defisit karena adanya pinjaman bank yang tidak
bisa dibayar kembali. Kebijakan yang lebih berhati-hati oleh pemerintah, untuk meningkatkan
pengeluaran negara (konsumsi dan investasi), dengan bergantung pada pinjaman dari sumber
eksternal, seperti perbankan, menjadi salah satu faktor yang menyebabkan krisis utang. Untuk
menanggapi krisis tersebut, negara-negara di Amerika Latin akhirnya menerapkan kebijakan
moneter kontraktif, yang berupa ekspansi dalam skala terbatas untuk belanja nasional.
Selanjutnya, mereka menerapkan kebijakan fiskal yang berbasis industri. Namun,
implementasi kebijakan fiskal menjadi kendala dalam mendapatkan pendanaan eksternal dan
menjadi salah satu penyebab proses normalisasi krisis utang yang sangat berisiko.

KESIMPULAN
Ketika suku bunga meningkat di Amerika Serikat dan di Eropa pada tahun 1979, pembayaran
hutang juga meningkat, sehingga mempersulit negara peminjam untuk membayar kembali
hutang mereka. Sementara akumulasi utang luar negeri yang berbahaya terjadi selama beberapa
tahun, krisis utang dimulai ketika pasar modal internasional menyadari bahwa Amerika Latin
tidak akan mampu membayar kembali pinjamannya. Bank entah bagaimana harus
merestrukturisasi utang untuk menghindari kepanikan finansial ini biasanya melibatkan
pinjaman baru dengan persyaratan yang sangat ketat, serta persyaratan agar negara debitur
menerima intervensi Dana Moneter Internasional (IMF). Negara-negara Amerika Latin
mengalami defisit karena pinjaman bank yang tidak dapat dipulihkan.

DAFTAR PUSTAKA
Aschauer, D. (1989). "Is Public Expendance ProductiveT. Journal of Monetary Economics 23,
177-200.
Bertola, L. &. (. 2012). Learning From Latin America: Debt Crisis, Debt Rescues and When
and Why They Work. .

15
Devlin, R. &. (1995). The Great Latin American Debt : A Decade of Assymmetric Adjusment.
, Revista de Econmia Politica.
Edwards, S. ( 1988). “The Debt Crisis and Economic Adjustment in Latin America", UCLA
Working Paper.
Devlin, Robert; Ricardo French-Davis (Juli–September 1995). "Krisis utang Amerika Latin
yang hebat: satu dekade penyesuaian asimetris". Revista de Economía Politica

16
BAGIAN 4

KRISIS MONETER DI ASIA TENGGARA


Adelia Dwi Rahmawati
Jurusan Ilmu Ekonomi Pembangunan, FEB Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
5553200021@untirta.ac.id

PENDAHULUAN
Krisis moneter yang terjadi di Asia terjadi secara sejajar, dengan bermula merosotnya nilai
tukar mata uang Bath (Thailand), Ringgit (Malaysia) dan Won (Korea Selatan) yang terjadi
pada pertengahan tahun 1997, lalu menyusul merosotnya nilai Rupiah bahkan jauh lebih
merosot dibandingkan dengan dollar Amerika Serikat. Peristiwa tersebut terjadi dikarenakan
Pemerintah Thailand memberikan keputusan untuk merubah kebijakan perekonomian terkait
adanya sistem kurs yang digunakan. Pada saat itu Pemerintah Thailand membiarkan kurs
mengikut harga pasar, lalu terjadilah depresiasi pada Baht yang mengakibatkan munculnya
kriris finansial di Thailand dan hal tersebut terjadi pada tanggal 2 Juli 1997 tepatnya setelah
adanya perdagangan bebas atas mata uang Baht dan aksi para spekulan di pasar valas.
Pada saat terjadinya krisis finansial tersebut di Thailand, Indonesia beranggapan guncangan
tersebut tidak akan serta merta di Indonesia. Asumsi tersebut ada dikarenakan pada saat itu
perekonomian Indonesia tengah berada posisi menjanjikan sehingga menjadi hal yang tidak
mungkin bagi Indonesia untuk terkena goncangan finansial tersebut. Namun ternyata krisis
yang menimpa Thailand ini kemudian memberikan efek menular terhadap negara-negara di
wilayah Asia Tenggara lainnya seperti negara Malaysia, Indonesia, Filipina. Dan Indonesia
menjadi salah satu negara yang terkena dampak goncangan tersebut. Dampak yang dialami
Indonesia yaitu mengalami depresiasi mata uang Rupiah yang mana mencapai lebih dari 300%.
Dan depresiasi tersebut membawa Indonesia menuju kerapuhan ekonomi serta penumpukan
hutang yang sangat meluap.
Dampak lain yang terjadinya krisis tersebut tidak hanya itu, melainkan juga menimbulkan
kepercayaan investor asing terhadap negara-negara Asia Tenggara pun menurun dan para
investor asing mulai menghimpun dana investornya dari negara-negara di Asia Tenggara. Alur
kehancuran fundamental perekonomian Indonesia akan adanya krisis finansial Asia ini pada
akhirnya menjadi pengganggu stabilitas social dan politik Indonesia. Isu-isu social dan politik
mulai berdatangan. Bermula dari sisi social dimana jumlah pengangguran dan masyarakat
miskin mulai bertambah drastic dan dari sisi politik hancurnya perekonomian Indonesia
kemudian memicu ketidakpuasan masyarakat atas kepemimpinan Pemerintah yang memimpin

17
pada saat itu yaitu Presiden Soeharto. Kelalaian Pemerintahan Soeharto terjadi pada saat krisis
finansial Asia ini yaitu dengan kondisi adanya masyarakat yang dihadapkan dengan jumlah
hutang luar negeri yang sangat besar dampak dari kroni-kroni serta keluarga Soeharto.
Ketidakpercayaan masyarakat kepada Soeharto bermula dari adanya praktek Kolusi, Korupsim
dan Nepotisme (KKN) yang sangat merugikan negara.
Hal tersebut menjadi pemicu kondisi politik yang tidak menentu akibat banyaknya Gerakan
mahasiswa serta masyarakat yang berdemonstrasi meminta agar turunnya Soeharto dari
jabatannya. Gerakan tersebut disebut sebagai Gerakan reformasi yang kemudian diakhiri
dengan pengunduran diri Soeharto dari jabatannya yaitu Presiden RI. Keadaan yang tidak stabil
ini secara signifikan berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia dimana para investor asing
menghimpun dana mereka dari Indonesia dan mata uang Rupiah sehingga mengakibatkan
Indonesia semakin terjerumus dalam pusaran krisis finansial Asia.

PEMBAHASAN
Landasan Teori
Teori kuantitas uang selalu dikaitkan dengan masalah moneter dengan asumsi jika faktor uang
yang banyak memberikan pengaruh nilai uang yaitu jumlah uang beredar (quantity of money
atau supply money). Inti dari teori kuantitas sederhana adalah perubahan harga komoditi yang
mana akan berbanding lurus dengan jumlah uang yang beredar. Tingkat kekuatan nilai uang
menjadi ketergantungan akan adanya jumlah uang yang beredar. Dimana jika uang beredar
dapat menjadi dua kali lipat maka nilai uang akan menurun setengah kali dari semula, dan
sebaliknya apabila jumlah uang yang tersisa hanya setengah maka nilai uang akan naik menjadi
dua kali lipat. Hal tersebut dapat terjadi apabila jumlah uang naik menjadi dua kali lipat makan
akan memberikan pengaruh pada harga yang meningkat dan akan otomatis nilai menjadi
menurun mencapai setengahnya.
Sistem moneter yang berjalan dengan baik akan memberikan fasilitas perdagangan
internasional dan investasi, dan memberikan kemudahan dalam beradaptasi terhadap
perubahan. Elemen utama dari sistem moneter internasional yaitu dalam menentukan
pengaturan sistem kurs tukar.

Krisis Moneter di Indonesia


Krisis moneter ikut menerpa Indonesia tepatnya terjadi pada pertengahan tahun 1997. Krisis
moneter tersebut diawali dengan adanya nilai tukar yang menurun, sistem pembayaran
terancam mengalami kemacetan, dan banyaknya utang luar negeri yang tidak terselesaikan.

18
Berbagai upaya yang dijalani untuk menyeselesaikan permasalahan tersebut dengan
dijalaninya pengetatan moneter hingga beberapa macam program pemulihan IMF yang
didapatkan melalui beberapa Letter of Intent (Lol) yang terjadi pada tahun 1998. Dan akhirnya
masa kelam tersebut dapat terlewati, perekonomian kembali membaik dan berjalan dengan
kondisi politik yang stabil pada masa reformasi.
Dan perlu di ingat, masa pemulihan pada tahun 1998 menjadi puncak bersejarah bagi Bank
Indonesia dengan ditetapkannya aturan baru yaitu Undang-Undang No. 3/2004. Dalam aturan
tersebut, Bank Indonesia ditetapkan sebagai lembaga tinggi negara yang independent dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya. Sesaui aturan yang tertuang dalam Undang-Undang
yang terlampir tersebut, Bank Indonesia diharuskan untuk menentukan target inflasi yang akan
dicapai sebagai landasan bagi perencanaan dan pengendalian moneter. Pada tahun 2004, Post
Program Monitoring (PPM) berhasil membuat utang luar negeri dapat diaturkan jadwal
kembali dan dapat kembali bekerjasama dengan IMF.

Krisis ekonomi moneter yang mengguncang perekonomian dan politik nasional terjadi pada
Juli 1997. Krisis tersebut memberikan dampak yang cukup menimbulkan kesulitan, seperti dari
pihak perbankan yang mengalami kelemahan pada Pasar Uang Bank (PUAB). Sebagai leader
of the last resort BI harus dapat membantu dalam mempertahankan kestabilan sistem
perbankan dan pembayaran untuk mempertahankan kelangsungan ekonomi nasional. Nilai
tukar terus mengalami penurunan yang cukup jauh, pemerintah telah mengeluarkan tindakan
dengan melalukan pengetatan Rupiah melalui kenaikan suku bunga yang sangat meningkat dan
pengalihan dana BUMN atau Yayasan dari bank-bank ke BI (SBI) dan pengetatan anggaran
Pemerintah. Namun ternyata tindakan tersebut justru menyebabkan suku bunga pasar uang
melambung tinggi dan likuiditas perbankan menjadi kering yang menyebabkan bank kesulitan
likuiditas.
Pada bulan Juli, Thailand meningkatkan Baht, Jalur perdagangan berhasil diperluas yang
semula pada angka 8% dapat meningkat ke 12% yang mana perluasan tersebut dilakkan oleh
Otoritas Moneter Indonesia. Rupiah mulai tergoncang di bulan Agustus, tepat di tanggal 14
Agustus 1997 terjadi pertukaran floating teratur ditukar dengan pertukaran floating bebas.
Bantuan sebesar 23 milyar dollar berhasil diturunkan ole IMF, tetapi dengan adanya bantuan
tersebut belum berhasil mengatasi permasalahan menurunnya Rupiah dikarenakan Rupiah
justru jatuh lebih dalam lagi karna akibat adanya rasa takut dari adanya hutang perusahaan,
penjualan rupiah, permintaan dollar yang sangat kuat.

19
Presiden Suharto melakukan pemecatan Gubernur Bank Indonesia pada Febuari1998, yang
mana hal itu dilakukan karna adanya permasalahan penurunan uang rupiah dan menurunnya
Bursa Saham Jakarta. Tetapi ternyata tindakan tersebut dianggap belum cukup. Suharto dipaksa
untuk mundur dari posisi Presiden pada pertengahan 1998, dan B.J Habibie yang kemudian
menggantikan posisi tersebut. Aliran modal negara berkembang berhasil ditarik hampir
setengahnya oleh Asia.

Gambar 4. Real Exchange Rate Rp/USD versus Rp/Euro, 1990-2011, yearly

Pada 14 Agustus 1997Bank Indonesia dengan terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah
terhadap valuta asing khusunya pada dollar AS, serta membiarkannya berfluktuasi dengan
bebas menggantikan posisi system managed floating yang di percayai pemerintah sejak
devaluasi Oktober 1978. Dengan begitu Bank Indonesia tidak lagi melakukan intervensi di
pasar valuta asing untuk mempertahankan nilai mata uang rupiah.

Perkembangan nilai tukar yang tidak stabil dan inflasi yang meningkat mengharuskan Bank
Indonesia menjadi otoritas moneter untuk menjaga uang ketat, yang dapat menyebabkan
tingginya angka suku bunga di dalam negeri. Suku bunga yang berlebihan berdampak negatif
terhadap dunia usaha. Suatu negara dapat diartikan mengalami krisis mata uang jika nilai
tukarnya berubah secara signifikan. Dan untuk negara yang mengalami masalah mata uang,
akan ada perubahan kebijakan terkait sistem kepatuhan nilai tukar.

Dampak Krisis Moneter


Beberapa dampak krisis moneter muncul di Indonesia, krisis moneter membawa dampak yang
buruk bagi Indonesia. Hal tersebut karena nilai tukar, terutama dolar AS, yang terapresiasi
tajam ketika pendapatan masyarakat ditetapkan dalam rupiah. Akibatnya, banyak perusahaan

20
yang harus mem-PHK karyawannya karena tidak mampu membayar gaji karyawannya. Hal ini
menambah angka pengangguran di Indonesia. Harga komoditas naik cukup tajam, yang
membuat masyarakat sulit memenuhi kebutuhan pokoknya. Utang luar negeri dalam mata uang
rupee tumbuh pesat, harga bahan bakar naik dan inflasi mencapai 77,63%.
Dampak lain dari adanya krisis moneter adalah kemiskinan. Pada bulan Oktober 1998 angka
kemiskinan mencapai sekitar 7,5 juta. Peningkatan ini tidak dapat dipisahkan dari penurunan
tajam nilai rupiah, yang menyebabkan sedikit peningkatan pengeluaran karena penurunan
pendapatan akibat PHK atau inflasi yang tinggi.
Dengan adanya krisis tersebut banyak tokoh yang melakukan korupsi. Korupsi dapat
mengurangi pendapatan pegawai lainnya. Banyak perusahaan meminjam uang dari BUMN
asing dengan tingkat bunga yang relatif tinggi, yang dapat meningkatkan utang pemerintah. Di
sisi lain, pelemahan rupiah bisa membawa hikmah, yakni. secara umum impor barang turun
tajam, sebaliknya arus masuk wisman akan lebih besar.

KESIMPULAN
Krisis moneter yang berlangsung lebih dari 2 tahun yaitu tahun 1997-1998 mengakibatkan
dampak adanya penurunan perekonomian Indonesia. Puncak krisis ekonomi menyebabkan
inflasi yang cukup tinggi. Sistem moneter ialah suatu sistem yang berguna untuk menjaga
kestabilan nilai tukar dengan cara membatasi uang, bunga bank, dan keamanan serta kelancaran
likuiditas lembaga pembayaran. Oleh karena itu, pengendalian kebijakan moneter di Indonesia
sebagian besar berada di bawah kendali Bank Indonesia. Sistem Moneter Internasional adalah
sistem keuangan yang berlaku untuk semua negara di dunia yang melakukan negosiasi
pembayaran untuk transaksi lintas batas. Sistem moneter internasional yang dikelola dengan
baik memfasilitasi perdagangan dan investasi internasional.
Hancurnya krisis moneter membawa dampak negatif bagi Indonesia. Sebab, ketika pendapatan
masyarakat ditetapkan dalam rupiah maka akan menyebabkan melambung tingginya kurs nilai
tukar valasa khususnya dolla AS. Selain itu, muncul efek lain yaitu banyak perusahaan
Indonesia yang mengeluarkan kebijakan untuk mem-PHK pekerjanya karena tidak mampu
membayar upah pekerjanya. Hal ini meningkatkan pengangguran dan kemiskinan.

DAFTAR PUSTAKA
Ariana, R. (2016). Krisis Moneter. 1–23.
Khoirati, S. D. (1999). Jepang Dan Ketahanan Ekonomi Regional Asia Pascakrisis. In Jepang
Dan Ketahanan Ekonomi Regional Asia Pascakrisis (Vol. 4, Issue 2, pp. 53–71).
21
Kurniati, F. I. (2010). Studi Komparasi Dampak Krisis Finansial AsiaKurniati, F. I. (2010).
Studi Komparasi Dampak Krisis Finansial Asia 1997-1998 dan Krisis Global 2008 di
Indonesia. Universitas Indonesia, September 1998, 77–84. 1997-1998 dan Krisis
Global 2008 di Indonesia. Universitas Indonesia, September 1998, 77–84.

Hady, Hamdi. 2009. Ekonomi Internasional (buku kedua) Teori dan Kebijakan Keuangan
Internasional. Bogor: Ghalia Indonesia.

Tarmidi, L. T. (2003). Krisis Moneter Indonesia: Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran.
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan,
1(4), 1–25. https://bmeb.researchcommons.org/bmeb/vol1/iss4/6/

22
BAGIAN 5

KRISIS FINANSIAL GLOBAL 2007-2008


Miftahul Janah
Jurusan Ilmu Ekonomi Pembangunan, FEB Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
5553200024@untirta.ac.id

PENDAHULUAN
Terdapat pengertian krisis menurut beberapa ahli seperti pendapat dari Machfud (2008), krisis
adalah sebuah peristiwa atau kondisi yang membahayakan integritas atau keberlangsungan
seseorang ataupun organisasi, seperti mengintimidasi rasa aman dan nilai sosial lainnya yang
bersifat faktual ataupun potensial. Pengertian krisis dari pendapat ahli lain seperti Prayudi
(1998) menjelaskan bahwa krisis ialah suatu peristiwa luar biasa yang tidak dapat diduga
sebelumnya dan memiliki dampak yang buruk atau negatif, sehingga dapat menghancurkan
berbagai sektor yang ada seperti sektor keuangan, produk barang dan jasa, organisasi ataupun
karyawan (Riadi, 2020).
Membahas perihal krisis tidak dapat kita pungkiri pada tahun 2007-2008 merupakan tahun
yang berat yang dirasakan oleh berbagai negara di Dunia atau dapat dikatakan bahwa krisis
yang terjadi kala itu merupakan Krisis Finansial Global. Penyebab utama dari adanya krisis
tersebut yaitu berasal dari negara adidaya atau Amerika Serikat. Sebagai negara adidaya atau
negara dengan perekonomian yang tergolong makmur dan maju, AS tidak terhindar dari
keadaan krisis, khususnya krisis keuangan. Amerika Serikat mengalami krisis finansial global
yang terjadi pada tahun 2007-2008, yang menjadi faktor utama pemicu adanya krisis di AS
adalah hipotek subprime, kemudian berkembang menjadi krisis global pada saat jatuhnya
Lehman Brothers, yang merupakan salah satu Bank Investasi terbesar ke-4 di Amerika Serikat
(Santoso, 2018). Keadaan krisis finansial global yang terjadi di AS bertentangan dengan teori
financial development yang menyatakan bahwa perkembangan keuangan (financial) dapat
menyebabkan pertumbuhan ekonomi sesuai dengan ketersediaan, kedalaman, dan efisiensi
sistem keuangan. Hal tersebut dibuktikan dengan akumulasi kredit yang berakhir dengan
ketidakstabilan dan krisis.
Salah satu awal terciptanya krisis global yang terjadi pada tahun 2007-2008 yaitu adanya
Subprime Mortgage yang merupakan istilah dari kredit perumahan yang diberikan kepada para
peminjam atau debitor dengan catatan keuangan yang rendah atau dengan catatan kredit yang
buruk, sehingga subprime mortgage digolongkan sebagai kredit yang beresiko tinggi. Kerugian
besar yang tejadi yaitu akibat dari adanya pembuatan subprime mortgagae menjadi bentuk

23
sekuritas lainnya, yang nantinya sekuritas tersebut diperjual belikan kembali di pasar keuangan.
Pada tahap awal subprime mortgage disekuritisasi menjadi sekuritas yang dikenal dengan
nama Mortgage-Backed Securities (MBS). Pada tahun 2006 sekuritisasi MBS tersebut
merupakan suatu hal yang biasa digunakan dalam transaksi peminjaman hipotek, bahkan dalam
jumlah kredit perumahan di AS yang di sekuritisasi MBS mencapai 60% dari seluruh
outstanding kredit KPR.
Proses sekuritisasi yang terjadi melibatkan pihak ketiga baik pemerintahaan atau Lembaga
terkait seperti Fannie Mae dan Freddie Mac (perusahaan swasta untuk pembiayaan
perumahan). Pada proses sekuritisasi ini pihak ketiga melakukan penggabungan sejumlah
mortgage yang nantinya akan dijual kepada investor, guna dapat menganggulangi risiko gagal
bayar, atau bisa disebut sebagai pihak penjamin. Praktik rekayasa yang tejadi semakin gila,
melalui rekayasa keuangan (financial engineering) yang kompleks, MBS kemudian
disekuritisasi lagi menjadi sekuritas yang disebut Collateralised Debt Obligations (CDOs)
(Detik Finance, 2009). Hal tersebut tidak berhenti begitu saja, sisi gelap pada sekuritisasi terus
terjadi bahkan rekayasa tidak hanya melalui MBS, CODs juga terus mengalami rekayasa
keuangan seperti menciptakan produk dan layanan yang lebih sesuai dengan selera risiko
investor. Produk terstruktur seperti CDO, CDO2, dan CDO3 bisa menjadi sangat rumit
sehingga sulit untuk menilai arus kas aset dasar untuk sekuritas atau untuk menentukan siapa
yang sebenarnya memiliki aset tersebut (Mishkin, 2007).
Beberapa runtutan pristiwa yang terjadi mencapai puncaknya pada saat adanya perubahan dari
kebijakan moneter AS yang menjadi lebih ketat pada tahun 2004, hal tersebut merupakan titik
awal kehancuran perekonomian khususnya di sektor keuangan yang ada di AS dan dampaknya
yang menyebar ke beberapa negara atau bahkan global.

PEMBAHASAN
Subprime Mortgage
Pada krisis finansial global yang terjadi pada tahun 2007-2008 banyak sekali penyebab yang
mengakibatkan adanya kemerosotan perekonomian di AS yang berdampak pada perekonomian
dunia. Salah satu penyebab terjadinya krisis finansial global yaitu adanya Subprime Mortgage.
Subprime Mortgage adalah kredit macet yang diberikan kepada masyarakat yang
berpenghasilan rendah, yang bertujuan untuk memudahkan warga yang berpenghasilan rendah
tersebut untuk dapat membeli rumah sendiri. Dengan adanya kebijakan tersebut maka bank
terdorong untuk terus memberikan pinjaman kepada siapapun bahkan kepada masyarakat yang
kapasitas ekonominya dibawah standar. Hal tersebut dipicu juga dengan tingkat suku bunga
24
yang rendah, saat itu Bank Sentral AS atau The Fed menurunkan suku bunga kredit cukup
rendah yaitu sebesar 1,75% pada tahun 2001 dan kembali turun menjadi 1,24% pada tahun
2002. Suku bunga yang rendah tersebut memicu peningkatan pada hipotek subprime yang
dapat memudahkan masyarakat dalam mengakses layanan finansial.

Sekuritisasi
Selain dengan adanya subprime mortgage, terdapat sekuritisasi atau jual beli surat berharga
piutang pokok dan bunga kepada para investor. Sekuritisasi dimulai dengan bank yang menjual
pinjaman ke hedge fund, yang kemudian menggabungkannya dengan pinjaman serupa lainnya.
Pinjaman yang didukung oleh aset konversi atau aset sekuritisasi dijual kepada investor.
Investor melihat produk sekuritisasi relatif aman dan mampu menghasilkan pengembalian yang
lebih tinggi. Dengan begitu, banyak para investor seperti Citibank, Bear Stearns, dan Lenham
Brothers membeli kredit yang telah disekuritisasi. Tujuannya yaitu agar bank dapat
memberikan layanan finansial kepada masyarakat melalui pemasukan dari adanya sekuritisasi
tersebut.
Dua hal yang telah dijelaskan tersebut memiliki kontribusi dalam peningkatan akumulasi kredit
di AS, sehingga dapat mendorong jalannya sistem finansial. Menurut teori Financial
Development, harusnya perkembangan sistem keuangan dapat mengacu pada pertumbuhan
ekonomi dan salah satu indikatornya yaitu perputaran kredit. Kegiatan perekonomian yang
semulanya berjalan lancar menjadi berbanding terbalik dbeberapa tahun setelahnya.

Runtutan Penyebab Terjadinya Krisis


Tujuh tahun sebelum krisis finansial global melanda tepatnya pada tahun 2001 Bank Sentral
AS menurunkan suku bunga yang sangat rendah yaitu mencapai 1,75%, hal tersebut dilakukan
karena pada saat itu pereonomian di AS sangat lesu dan tujuan menurunkan suku bunga adalah
untuk menstimulus perekonomian di Amerika Serikat. Terkait dengan suku bunga yang rendah,
maka berdampak pula pada penurunkan suku bunga yang ada di perbankan yang menyebabkan
cicilan untuk KPR juga menurun. Dengan cicilan KPR yang rendah tersebut, maka bayak
masyrakat AS yang tertarik untuk mengambil rumah KPR.
Pada saat itu banyak usaha di bidang properti khususnya pembangunan perumahan, banyak
warga AS yang berbondong-bondong untuk dapat memiliki rumah sendiri melalui KPR.
Banyaknya keinginan warga untuk mengambil rumah KPR tersebut membuka peluang bagi
para investor dan bank-bank yang ada di AS untuk memberikan pinjaman kepada warga AS,
dengan syarat para debitur memiliki riwayat pembayaran yang baik, dapat mengetahui jumlah

25
hutang serta harta yang dimiliki, dan berpenghasilan tinggi. Banyaknya permintaan tersebut
bank beranggapan bahwa itu adalah peluang untuk memperoleh keuntungan dengan memberi
kelonggaran bagi para warga yang ingin memiliki rumah sendiri namun berpenghasilan rendah,
bank memberikan pinjaman kepada siapun tanpa melihat para debitur berpenghasilan tinggi
atau rendah. Tujuannya yaitu apabila pada debitur tidak dapat membayar cicilan, maka rumah
yang dicicil melalui KPR tersebut dapat ditarik kembali oleh bank dan kemudian rumah KPR
tersebut dapat dijual kembali ke pasaran.
Namun, pada tahun 2004 The Fed meningkatkan suku bunga menjadi 5%, sehingga hal tersebut
juga menyebabkan tingkat KPR juga naik serta cicilan juga meningkat. Banyak para warga
yang tidak mampu membayar kredit beserta rumahnya, karena harga cicilan rumah yang
semakin tinggi dan tingkat suku bunga juga meningkat, oleh karena itu menyebabkan banyak
rumah KPR yang disita oleh bank. Banyaknya rumah yang disita dan properti yang tidak terjual
berimbas pada turunnya nilai rumah dan properti di AS, hal tersebut dikarenakan jumlah
penawaran yang terjadi lebih banyak dibandingkan dengan jumlah permintaan yang ada atau
over supply. Oleh karena itu, krisis yang terjadi mengakibatkan runtuhnya beberapa perusahaan
salah satunya yaitu Lehman Brothers.
Dalam rentetan kejadian tersebut banyak yang terkena imbasnya seperti Dow Jones Industrial
Average turun menjadi -300%, pengangguran naik 10% pada tahun 2008. Hal tersebut
menyebabkan para investor merugi dan terjadi efek domino pada krisis finansial global di AS,
seperti terjadinya kemacetan pada kegiatan ekspor, likuiditas bank hilang, terjadi pemutusan
hubungan kerja atau sekitar 8,8 juta orang kehilangan pekerjaan, sekitar 10 juta warga AS
kehilangan rumah, 1,8 juta UMKM bangkrut, dan di Indonesia sekitar 51 ribu orang kehilangan
pekerjaan, terkait dengan hal tersebut tingkat kepercayaan konsumen berkurang, dan indeks
saham berkurang.
Grafik 1. Tingkat Pertumbuhan Global

Sumber: World Bank (Data diolah)(World Bank, n.d.-a)

26
Krisis yang terjadi menyebabkan perekonomian AS mengalami kemerosotan 0,34% pada 2008
dan 3,07% pada 2009. Pertumbuhan ekonomi global juga turun menjadi 2,1% pada tahun 2008
yang semulainya 4,4% pada tahun 2007. Hal tersebut dapat dilihat melalui grafik diatas yang
menunjukkan kemerosotan tingkat pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2001-2008. Imbas
dari adanya krisis finansial yang terjadi di AS menyebar luas ke berbagai negara, sehingga
kondisi tersebut dapat dikatakan krisis finansial global. Efek yang sangat dirasakan yaitu pada
sektor keuangan. Banyak produk-produk sektor finansial menjadi terdampak dari adanya krisis
finansial tersebut.

Grafik 2. Tingkat Inflasi dan GPD di Amerika Serikat

Tingkat Inflasi dan GDP di Amerika Serikat


5
4
3
2
1
0
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Inflasi GDP

Sumber: World Bank (Data diolah) (World Bank, n.d.-c)

Dengan adanya beberapa kejadian di AS tersebut menyebabkan tingkat inflasi di AS


meningkat. Dengan dinaikannya suku bunga sebesar 5% maka banyak cicilan KPR yang tidak
dibayarkan, banyak rumah dan properti yang di sita oleh bank, sehingga penawaran rumah dan
properti meningkat, namun permintaan berkurang, sehingga menyebabkan nilai rumah dan
properti menjadi berkurang, tingginya tingkat pengangguran juga salah satu dampak dari
adanya krisis finansial di AS. Dapat dilihat pada grafik diatas, bahwa tingkat GDP di AS dalam
rentang waktu 2004 dimana tahun tersebut merupakan titik awal kehancuran yang
menyebabkan terjadinya krisis finansial global yang terjadi pada tahun 2007-2008. Pada grafik
terlihat bahwa GDP mengalami kemerosotan yang sangat tajam. Krisi finansial yang terjadi di
AS berimbas kepada perekonomian global, khususnya di Indonesia.

27
Grafik 3. Tingkat Inflasi dan GDP di Indonesia

Tingkat Inflasi dan GDP di Indonesia


14
12
10
8
6
4
2
0
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Inflasi GDP

Sumber: World Bank (Data diolah) (World Bank, n.d.-b)

Perlambatan perekonomian tidak hanya terjadi di AS saja. Indonesia juga mengalami


kelambatan perekonomian yang sebelumnya pada tahun 2008 sebesar 6,1% melambat menjadi
4,5% pada tahun 2009. Indonesia dapat terhindar dari perlambatan ekonomi dikarenakan
struktur ekonomi yang banyak didorong oleh permintaan dalam negeri. Namun, Indonesia tidak
terlepas dari guncangan global. Krisis keuangan yang pecah di Amerika Serikat memiliki
konsekuensi global di seluruh sektor keuangan. Pasar keuangan Indonesia termasuk mata uang,
obligasi dan saham jatuh akibat penjualan tersebut. Sektor keuangan Indonesia sangat terpukul
oleh arus keluar modal yang sangat cepat.

Menurut Laporan Bank Indonesia 2008, nilai tukar Rupiah mengalami tekanan penurunan yang
kuat dan turun dari Rp 9.160/US$ pada Juli 2008. Depresiasi tersebut mencapai titik terendah
sebesar Rp 11.238/US$ pada Desember 2008, atau turun sebesar 22,7%. Untuk menstabilkan
nilai tukar rupiah, cadangan devisa mulai turun tajam dari US$ 60,56 miliar pada Juli 2008
menjadi US$ 51,6 miliar pada akhir 2008. Imbal hasil obligasi pemerintah tenor 10 tahun
mencapai puncaknya pada Oktober. pada tahun 2008 menjadi 18,52%. Sementara itu, Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 60,73% dari level tertinggi 2.830,26 pada Januari ke
level terendah 1.111,39 pada Oktober.

Krisis keuangan 2008-2009 menghasilkan beberapa aturan dan kebijakan baru, khususnya
dalam pengawasan perbankan. Salah satunya adalah peningkatan penjaminan simpanan
masyarakat bank yang dijamin LPS dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 miliar. Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) juga dibentuk setelah krisis keuangan 2007-2008 (CNBC Indonesia, 2022).

28
KESIMPULAN
Krisis finansial global yang terjadi merupakan akibat dari adanya kebijakan moneter yang
diberlakukan di AS, yang bermula ketika suku bunga turun sangat rendah saat itu. Tujuan awal
diturunkannya suku bunga yang rendah yaitu untuk mengkontraksi perekonomian AS yang
lemah, namun hal tersebut tidak diimbangi dengan risiko yang mungkin terjadi, dengan tingkat
suku bunga yang rendah menyebabkan cicilan perumahan atau KPR juga rendah, banyak
masyarakat AS yang tertarik mengambil cicilan KPR dengan tingkat bunga rendah tersebut,
banyak juga perusahaan properti serta perusahaan pembangunan rumah berlomba-lomba untuk
membangun rumah KPR. Hal tersebut memicu banyaknya debitur yang melakukan pinjaman
ke bank untuk cicilan KPR. Oleh karena itu, bank melihat adanya peluang besar dari kredit
tersebut, yang semula syarat peminjaman kredit hanya orang-orang tertentu saja dengan catatan
kredit yang bagus, namun adanya peluang yang besar justru bank melonggarkan syarat
pinjaman kredit oleh para debitur, banyak para debitur dengan catatan kredit yang kurang bagus
bisa melakukan pinjaman ke bank.
Dari surat piutang yang bank miliki kemudian direkayasa menjadi surat berharga yang
disekuritisasi atau sekuritas yang disebut dengan Mortgage-Backed Securities (MBS) dan
disekuritisasi lagi menjadi Collateralised Debt Obligations (CDOs). Rekayasa yang terjadi
sangat menggila pada saat itu, yang dimana puncaknya adalah ketika kebijakan mulai
diperketat pada tahun 2004 dan suku bunga kembali naik menjadi 5%. Banyak para debitur
tidak dapat membayar dan banyak sekali rumah atau properti yang disita oleh bank. Hal
tersebut mengakibatkan harga rumah turun sangat jauh, banyak properti kehilangan nilainya,
banyak bank investasi gulung tikar, dan menyebabkan krisis finansial di AS serta hal tersebut
dapat dirasakan di beberapa negara lainnya atau bahkan global. Dari adanya krisis yang terjadi
pada tahun 2007-2008 tersebut, kini tercipta beberapa kebijakan khususnya dalam pengawasan
perbankan yang membuat syarat dan ketentuan kredit menjadi lebih ketat.

DAFTAR PUSTAKA
CNBC INDONESIA. (2022). Badai Besar di Depan Mata! Lebih Ngeri Dari 1998 Atau 2008?
Cnbcindonesia.Com. https://www.cnbcindonesia.com/news/20221007091050-4-
377928/badai-besar-di-depan-mata-lebih-ngeri-dari-1998-atau-2008#:~:text=Krisis
keuangan pada 2008-2009,disebabkan penyebaran virus Covid-19.
Detik Finance. (2009). Kronologi dan Latar Belakang Krisis Finansial Global.
Finance.Detik.Com. https://finance.detik.com/moneter/d-1115753/kronologi-dan-latar-
belakang-krisis-finansial-global

29
Mishkin, F. S. (2007). The economics of money, banking, and financial markets. In Policy.
http://scholar.google.com/scholar?hl=en&btnG=Search&q=intitle:The+Economics+of+
Money,+Banking,+and+Financial+Markets#0
Riadi, M. (2020). Manajemen Krisis (Pengertian, Jenis, Tahapan dan Penanganan).
KAJIANPUSTAKA.COM. https://www.kajianpustaka.com/2020/04/manajemen-krisis-
pengertian-jenis-tahapan-dan-penanganan.html
Santoso, Y. W. (2018). Penyebab Krisis Finansial Global tahun 2008: Kegagalan Financial
Development dalam Mendorong Pertumbuhan dan Stabilitas Ekonomi. Jurnal Hubungan
Internasional, 11(1), 155. https://doi.org/10.20473/jhi.v11i1.5853
World Bank. (n.d.-a). GDP growth (annual %).
https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.KD.ZG?end=2008&start=2001
World Bank. (n.d.-b). Inflation, GDP deflator (annual %) - Indonesia.
https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.DEFL.KD.ZG?end=2008&locations=ID&
start=2001
World Bank. (n.d.-c). Inflation, GDP deflator (annual %) - United States.
https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.DEFL.KD.ZG?locations=US&view=chart

30
INDEKS

B Keuangan, 8, 16, 13, 21, 27


Krisis, ii, iii, 8, 11, 12, 13, 16, 14, 16, 18,
Bank Dunia, 11, 13, 14
20, 21, 22, 24, 25, 26, 27, 28
D
M
Dunia, 13, 14, 16, 22
Moneter, ii, iii, 8, 11, 12, 16, 13, 14, 15,
E 18, 20, 21

Ekonomi, ii, iii, 8, 12, 13, 16, 17, 11, 16, N


21, 28
Nilai tukar, 16, 12, 18
F
P
Finansial, iii, 21, 22, 28
Perdagangan, 14
G
R
Global, iii, vi, 21, 22, 25, 28
Resesi, 15
I
S
Internasional, ii, iii, 8, 16, 17, 13, 14, 15,
Saham, 19, 27
20, 21, 28
Spekulasi, 11
Investasi, 22
Stabilitas, 28
Investor, 23
Suku bunga, 19, 23
K
U
Kebijakan, 9, 10, 11, 14, 16, 17, 15, 21
Utang, 14, 20

31

Anda mungkin juga menyukai