Anda di halaman 1dari 12

SUKU SIMALUNGUN

1. Pendahuluan
Batak Simalungun adalah salah sub Suku Bangsa Batak yang berada di
provinsi Sumatera Utara, Indonesia, yang menetap di Kabupaten
Simalungun dan sekitarnya. Beberapa sumber menyatakan bahwa leluhur
suku ini berasal dari daerah India Selatan tetapi ini hal yang sedang
diperdebatkan. Sepanjang sejarah suku ini terbagi ke dalam beberapa
kerajaan. Marga asli penduduk Simalungun adalah Damanik, dan 3 marga
pendatang yaitu, Saragih, Sinaga, dan Purba. Kemudian marga marga
(nama keluarga) tersebut menjadi 4 marga besar di Simalungun.
Orang Batak menyebut suku ini sebagai suku "Si Balungu" dari legenda
hantu yang menimbulkan wabah penyakit di daerah tersebut, sedangkan
orang Karo menyebutnya Timur karena bertempat di sebelah timur
mereka.
2. Asal-usul
Terdapat berbagai sumber mengenai asal usul Suku Simalungun, tetapi
sebagian besar menceritakan bahwa nenek moyang Suku Simalungun
berasal
dari
luar
Indonesia.
[1]
Kedatangan ini terbagi dalam 2 gelombang :
1. Gelombang pertama (Simalungun Proto ), diperkirakan datang
dari Nagore (India Selatan) dan pegunungan Assam (India Timur) di
sekitar abad ke-5, menyusuri Myanmar, ke Siam dan Malaka untuk
selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan
kerajaan Nagur dari Raja dinasti Damanik.
2. Gelombang kedua (Simalungun Deutero), datang dari suku-suku
di sekitar Simalungun yang bertetangga dengan suku asli
Simalungun.
Pada gelombang Proto Simalungun di atas, Tuan Taralamsyah Saragih
menceritakan bahwa rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 Rajaraja besar dari Siam dan India ini bergerak dari Sumatera Timur ke daerah
Aceh, Langkat, daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai
Batubara.
Kemudian mereka didesak oleh suku setempat hingga bergerak ke daerah
pinggiran danau Toba dan Samosir.
Pustaha Parpandanan Na Bolag (pustaka Simalungun kuno) mengisahkan
bahwa Parpandanan Na Bolag (cikal bakal daerah Simalungun) merupakan
kerajaan tertua di Sumatera Timur yang wilayahnya bermula dari Jayu
(pesisir Selat Malaka) hingga ke Toba. Sebagian sumber lain menyebutkan
bahwa wilayahnya meliputi Gayo dan Alas di Aceh hingga perbatasan
sungai Rokan di Riau.
Kini, di Kabupaten Simalungun sendiri, Akibat derasnya imigrasi, suku
Simalungun hanya menjadi mayoritas di daerah Simalungun Atas.

SEJARAH
SINGKAT
SUKU
SIMALUNGUN
Dari sumber-sumber kuno dan cerita-cerita rakyat di Simalungun, orang yang
kemudian menjadi suku Simalungun berketurunan dari ragam nenek moyang.
Dalam perjalanan sejarahnya, suku Simalungun datang dalam dua gelombang.
Gelombang pertama (Proto Simalungun) diperkirakan datang dari India Selatan
(Nagore) dan India Timur (Pegunungan Assam) sekitar abad ke-5 menyusuri
Birma terus ke Siam dan Melaka selanjutnya menyebrang ke Sumatera Timur dan
mendirikan Kerajaan Nagur dari Raja dinasti Damanik. Dan kemudian gelombang
kedua (Deutro Simalungun) yang merupakan pembaruan suku-suku tetangga
dengan suku Simalungun asli (Herman Purba Tambak, SIB 3/9/2006, hlm. 9).
Selanjutnya panglima-panglima (Raja Goraha) Kerajaan Nagur bermarga Saragih,
Sinaga dan Purba dijadikan menantu oleh Raja Nagur dan kelak mendirikan
kerajaan-kerajaan : Silou (Purba Tambak), Tanoh Djawa (Sinaga), Raya (Saragih).
Kerajaan-kerajaan ini pada abad XIII-XV mengalami serangan-serangan dari
tentara Singasari, Majapahit, Rajendra Chola dari India dan terakhir Aceh, sultansultan Melayu dan Belanda. Terkenal dalam cerita-cerita rakyat Simalungun akan
hattu ni sappar yang melukiskan situasi mengerikan di Simalungun akibat
peperangan
itu,
mayat-mayat
bergelimpangan,
kericuhan
sehingga
mengakibatkan
wabah
penyakit
kolera
yang
merajalela.
Dan konon menurut legenda, orang Simalungun mengungsi ke seberang Laut
Tawar (obat penawar Sappar) sampai ke sebuah pulau yang kemudian dinamai
Samosir (Sahali misir). Kelak keturunan orang Simalungun yang berdiam di
Samosir kembali lagi ke kampung halamannya (huta hasusuran) di Nagur dan
dilihatlah daerah itu sudah ditinggalkan orang karena mengungsi, sepi dan yang
tersisa hanya peninggalan rakyat Nagur, sehingga dinamakanlah daerah Nagur
itu sima-sima ni nalungun dan lama kelamaan menjadi Simalungun (daerah
yang
sunyi
sepi)
(M.D
Purba,
1997).
Pembauran dengan suku-suku tetangga khususnya dari Pulau Samosir, Silalahi,
Karo, dan Pakpak menyebabkan adanya timbul marga baru di Simalungun,
seperti: marga Sidauruk, Sidabalok, Siadari, Simarmata, Simanihuruk, Sidabutar,
Munthe, Sijabat yang berafiliasi dengan marga Saragih, Manorsa, Simamora,
Sigulang Batu, Parhorbo, Sitorus dan Pantomhobon yang berafiliasi dengan marga
Purba, Malau, Limbong, Sagala, Gurning, Manikraja yang berafiliasi dengan marga
Damanik, Sipayung, Sihaloho, Sinurat, Sitopu yang berafiliasi dengan marga
Sinaga (tetapi sejak Revolusi Sosial sudah kembali ke marga asalnya). Selain itu
masih ada marga Lingga, Manurung, Butar-butar, Sirait di Simalungun timur dan
barat. Demikianlah sampai zaman modern ini warna-warni suku Simalungun ini
menyebabkan suku Simalungun sangat toleran dan bahkan nyaris hilang
karena terlalu terbukanya dengan para pendatang. Belum lagi dengan suku
Simalungun yang masuk Islam sejak abad XV di Asahan dan Deli serta Serdang
mengaku dirinya Melayu dan menghilangkan identitasnya sebagai suku
Simalungun.
Dahulu kala menurut Tuan Taralamsyah Saragih (surat pribadi,1963), orang
Simalungun asli itu merupakan keturunan dari empat raja-raja besar yang berasal
dari Siam dan India dengan rakyatnya masuk ke Sumatera Timur terus ke Aceh,
Langkat dan daerah Bangun Purba dan Bandar Kalifah sampai Batubara. Akibat
desakan orang Djau, berangsur-angsur mereka mencapai pinggiran Danau Toba
sampai ke Samosir. Adapun keempat marga-marga Simalungun yang empat
populer dengan nama SISADAPUR (Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba) berasal
dari harungguan bolon (permusyawaratan besar) raja-raja yang empat itu agar
jangan saling menyerang, bermusuhan dan marsiurupan bani hasunsahan na
legan, rup mangimbang munssuh.

3. Kebiasaan dan Kehidupan masyarakat Simalungun

Peta pembagian kecamatan Kabupaten Simalungun ke dalam Simalungun


Atas dan Simalungun Bawah.
Sistem mata pencaharian orang Simalungun yaitu bercocok tanam dengan
padi dan jagung, karena padi adalah makanan pokok sehari-hari dan
jagung adalah makanan tambahan jika hasil padi tidak mencukupi. Jualbeli diadakan dengan barter, bahasa yang dipakai adalah bahasa dialek.
"Marga" memegang peranan penting dalam soal adat Simalungun. Jika
dibandingkan dengan keadaan Simalungun dengan suku Batak yang
lainnya sudah jauh berbeda.

4. Bahasa & Aksara


Bahasa Simalungun
Hata Simalungun
Dituturkan Kabupaten
Simalungun
di
(Sumatera Utara, Indonesia)
Wilayah
Kabupaten Simalungun
Penutur
1 juta
bahasa
Austronesia
Rumpun
bahasa

Melayu-Polinesia
Melayu-Polinesia Barat

Suku Simalungun menggunakan Bahasa Simalungun (bahasa simalungun:


hata/sahap Simalungun) sebagai bahasa Ibu. Derasnya pengaruh dari
suku-suku di sekitarnya mengakibatkan beberapa bagian Suku Simalungun
menggunakan bahasa Melayu, Karo, Batak, dan sebagainya. Penggunaan
Bahasa Batak sebagian besar disebabkan penggunaan bahasa ini sebagai
bahasa pengantar oleh penginjil RMG yang menyebarkan agama Kristen
pada Suku Ini.
Aksara yang
Sisapuluhsiah.

digunakan

suku

5. Marga-marga Simalungun

Simalungun

disebut

aksara

Surat

.
Harungguan Bolon
Terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan akronim
SISADAPUR[10], yaitu:

Sinaga

Saragih

Damanik

Purba

Keempat marga ini merupakan hasil dari Harungguan Bolon


(permusyawaratan besar) antara 4 raja besar untuk tidak saling
menyerang dan tidak saling bermusuhan (marsiurupan bani hasunsahan
na legan, rup mangimbang munssuh).
Keempat raja itu adalah:
Raja Nagur bermarga Damanik
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Damanik
Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa
Simalungun, Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan
(bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas).
Raja Banua Sobou bermarga Saragih
Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana
Ragih berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik
aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang.

Rumah Bolon Raja Purba di Pematang Purba, Simalungun.


Raja Banua Purba bermarga Purba

Purba menurut bahasa berasal dari bahasa Sanskerta yaitu Purwa yang
berarti timur, gelagat masa datang, pegatur, pemegang Undang-undang,
tenungan pengetahuan, cendekiawan/sarjana.
Raja Saniang Naga bermarga Sinaga
Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal
sebagai penyebab Gempa dan Tanah Longsor.
Marga Mengikuti Raja

Zaman raja-raja Simalungun, orang yang tidak jelas garis keturunannya dari raja-raja disebut
jolma tuhe-tuhe atau silawar (pendatang). Fenomena sosial ini diakibatkan adanya hukum
marga yang keras di Simalungun menyatukan dirinya dengan marga raja-raja agar mendapat
hak hidup di Simalungun.
Demikianlah sehingga makin bertambah banyak marga di Simalungun. Tetapi meski demikian
sejak dahulu hanya ada empat marga pokok di Simalungun yakni Sisadapur : Sinaga, Saragih,
Damanik dan Purba.
Setelah raja-raja dikuasai Belanda sejak ditandatanganinya Korte Verklaring (Perjanjian
Pendek) tahun 1907 dan dihapuskannya kerajaan/feodalisme dalam aksi Revolusi Sosial
tanggal 3 Maret 1946 sampai April 1947, peraturan tentang marga itu menghilang dengan
sendirinya di Simalungun. Masing-masing marga kembali lagi ke marga aslinya dan ke
sukunya semula.
Penambahan marga

Pada tahun 1930, Pdt. J. Wismar Saragih pernah menuliskan surat permohonan pada
kumpulan Raja-Raja Simalungun yang berkumpul di Pematang Siantar yang meminta agar
Raja-Raja tersebut menetapkan marga-marga baru sebagai tambahan kepada marga resmi
Simalungun dengan maksud agar semakin banyak marga Simalungun seperti pada suku lain.
Walaupun ide tersebut diterima oleh Raja-Raja tersebut namun permohonan J. Wismar
Saragih belum disetujui karena belum tepat waktunya.
Karena alasan tersebut di atas, sebagian orang berpandangan bahwa masih ada kemungkinan
bertambahnya Marga-marga di Simalungun. Hal ini senada dengan apa yang pernah dituliskan
mengenai asal usul beberapa Marga. Semisal Marga Saragih Garingging, yang disebut
beberapa sumber berasal dari keturunan Pinangsori, dari Ajinembah (sebuah daerah di
Kabupaten Karo) dan bermigrasi ke Raya sehingga bertemu dengan Raja Nagur dan dijadikan
marga Saragih Garingging.[3] Begitupun marga Purba Tambak, disebutkan berasal dari
penduduk daerah Pagaruyung yang bermigrasi ke daerah Natal, kemudian ke Singkel, hingga
tiba di daerah Tambak, Simalungun. Keturunannya kemudian menikah dengan keturunan Raja
Nagur dan mereka dijadikan sebagai bagian dari Purba, yaitu Purba Tambak.[4] Marga
Damanik juga disebut sebagai pendatang yang menikah dengan keturunan Tuan Silampuyang
yang bermarga Saragih dan kemudian diberi marga.

Marga-marga perbauran
Perbauran suku asli Simalungun dengan suku-suku di sekitarnya di Pulau
Samosir, Silalahi, Karo, dan Pakpak menimbulkan marga-marga baru.
Selain itu ada juga marga-marga lain yang bukan marga Asli Simalungun
tetapi kadang merasakan dirinya sebagai bagian dari suku Simalungun,
seperti Lingga, Manurung, Butar-butar dan Sirait.
Adat dan Perkerabatan Simalungun
Sebagai suku yang bersifat Paterilinear, Suku Simalungun menurunkan marganya melalui
garis keturunan Pria, dengan demikian marga seorang ayah akan diteruskan ke
putera/puterinya. Oleh karena itu 2 orang yang memiliki marga yang sama akan saling
menganggap diri mereka sebagai saudara seketurunan sehingga dipantangkan (tidak
diperbolehkan) untuk saling menikah.
Bagi Wanita, marga disebutkan sesudah kata boru (biasa disingkat br.), sehingga jika ada
seorang wanita bernama Sofia yang lahir dari ayah bermarga Saragih, maka akan dipanggil
sebagai Sofia boru Saragih. Saat seorang wanita Simalungun menikah dengan lelaki dari
marga lain, biasanya ia akan menggunakan marga suaminya tersebut pada namanya. Sehingga
jika Sofia boru Saragih menikah dengan marga Purba, maka ia akan dipanggil sebagai Sofia
Purba boru Saragih.

Orang Simalungun tidak terlalu mementingkan soal silsilah karena


penentu partuturan (perkerabatan) di Simalungun adalah hasusuran
(tempat asal nenek moyang) dan tibalni parhundul (kedudukan/peran)
dalam horja-horja adat (acara-acara adat). Hal ini bisa dilihat saat orang
Simalungun bertemu, bukan langsung bertanya aha marga ni ham? (apa
marga anda) tetapi hunja do hasusuran ni ham (dari mana asal usul
anda)?"
Hal ini dipertegas oleh pepatah Simalungun Sin Raya, sini Purba, sin
Dolog, sini Panei. Na ija pe lang na mubah, asal ma marholong ni atei
(dari Raya, Purba, Dolog, Panei. Yang manapun tak berarti, asal penuh
kasih).
Sebagian sumber menuliskan bahwa hal tersebut disebabkan karena
seluruh marga raja-raja Simalungun itu diikat oleh persekutuan adat yang
erat oleh karena konsep perkawinan antara raja dengan puang bolon
(permaisuri) yang adalah puteri raja tetangganya. Seperti raja Tanoh
Djawa dengan puang bolon dari Kerajaan Siantar (Damanik), raja Siantar
yang puang bolonnya dari Partuanan Silappuyang, Raja Panei dari Putri
Raja Siantar, Raja Silau dari Putri Raja Raya, Raja Purba dari Putri Raja
Siantar dan Silimakuta dari Putri Raja Raya atau Tongging.
Adapun Perkerabatan dalam masyarakat Simalungun disebut sebagai
partuturan. Partuturan ini menetukan dekat atau jauhnya hubungan

kekeluargaan (pardihadihaon), dan dibagi kedalam beberapa kategori


sebagai berikut:[12]

Tutur Manorus / Langsung


Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri.

Tutur Holmouan / Kelompok


Melalui tutur Holmouan ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat
Simalungun

Tutur Natipak / Kehormatan


Tutur Natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang
diajak berbicara sebagai tanda hormat.

Pakaian Adat

Kain Adat Simalungun disebut Hiou. Penutup kepala lelaki disebut Gotong,
penutup kepala wanita disebut Bulang, sedangkan yang kain yang
disandang ataupun kain samping disebut Suri-suri.
Sama seperti suku-suku lain di sekitarnya, pakaian adat suku Simalungun
tidak terlepas dari penggunaan kain Ulos (disebut Uis di suku Karo).
Kekhasan pada suku Simalungun adalah pada kain khas serupa Ulos yang
disebut Hiou dengan berbagai ornamennya.
Ulos pada mulanya identik dengan ajimat, dipercaya mengandung
"kekuatan" yang bersifat religius magis dan dianggap keramat serta
memiliki daya istimewa untuk memberikan perlindungan. Menurut
beberapa penelitian penggunaan ulos oleh suku bangsa Batak,
memperlihatkan kemiripan dengan bangsa Karen di perbatasan Myanmar,
Muangthai dan Laos, khususnya pada ikat kepala, kain dan ulosnya.[13]
Secara legenda ulos dianggap sebagai salah satu dari 3 sumber
kehangatan bagi manusia (selain Api dan Matahari), namun dipandang
sebagai sumber kehangatan yang paling nyaman karena bisa digunakan

kapan saja (tidak seperti matahari, dan tidak dapat membakar (seperti
api). Seperti suku lain di rumpun Batak, Simalungun memiliki kebiasaan
"mambere hiou" (memberikan ulos) yang salah satunya melambangkan
pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada penerima Hiou. Hiou
dapat dikenakan dalam berbagai bentuk, sebagai kain penutup kepala,
penutup badan bagian bawah, penutup badan bagian atas, penutup
punggung dan lain-lain.
Hiou dalam berbagai bentuk dan corak/motif memiliki nama dan jenis
yang berbeda-beda, misalnya Hiou penutup kepala wanita disebut surisuri, Hiou penutup badan bagian bawah bagi wanita misalnya ragipanei,
atau yang digunakan sebagai pakaian sehari-hari yang disebut jabit. Hiou
dalam pakaian penganti Simalungun juga melambangkan kekerabatan
Simalungun yang disebut tolu sahundulan, yang terdiri dari tutup kepala
(ikat kepala), tutup dada (pakaian) dan tutup bagian bawah (abit).
Menurut Muhar Omtatok, Budayawan Sumatera Utara, awalnya Gotong
(Penutup Kepala Pria Simalungun) berbentuk destar dari bahan kain gelap
( Berwarna putih untuk upacara kemalangan, disebut Gotong Porsa),
namun kemudian Tuan Bandaralam Purba Tambak dari Dolog Silou juga
menggemari trend penutup kepala ala melayu berbentuk tengkuluk dari
bahan batik, dari kegemaran pemegang Pustaha Bandar Hanopan inilah,
kemudian Orang Simalungun dewasa ini suka memakai Gotong berbentuk
Tengkuluk Batik.
Tari Toping Toping dan Tangis Tangis
Toping-toping dan tangis tangis adalah jenis tarian tradisional dari suku
Batak Simalungun yang dilaksanakan pada acara duka cita di kalangan
keluarga Kerajaan. Toping-toping atau huda-huda ini terdiri dari 3 (tiga)
bagian, bagian pertama yaitu huda-huda yang dibuat dari kain dan
memiliki paruh burung enggang yang menyerupai kepala burung enggang
yang konon menurut cerita orang tua bahwa burung enggang inilah yang
akan membawa roh yang telah meninggal untuk menghadap yang kuasa,
bagian yang kedua adalah manusia memakai topeng yang disebut topeng
dalahi dan topeng ini dipakai oleh kaum laki-laki dan wajah topeng juga
menyerupai wajah laki-laki dan kemudia topeng daboru dan yang
memakai topeng ini adalh perempuan karena topeng ini menyerupai wajah
perempuan (daboru). Pada tanggal 06 s/d 08 Agustus 2009 tepatnya di
Kota Perdagangan Pematang Siantar diadakan acara yang disebut dengan
Pasta Rondang Bintang, acara ini dilaksanakan secara rutin setiap
tahunnya. Dalam acara ini digelar berbagai kegiatan seni dan budaya
diantaranya berbagai jenias tari daerah Simalungun, Festival Lagu daerah,
permainan tradisional (Jelengkat atau enggrang) dan Festival Toping-toping
dan tangis-tangis.

Festival toping-toping dan tangis-tangis ini diadakan pada acara Pesta


Rondang Bintang dengan tujuan untuk mengangkat dan mengembangkan
kembali peranan toping-toping atau tangis-tangis yang biasanya
dilaksanakan pada saat acara duka cita di daerah Simalungun. Pada
Zaman dahulu penampilan huda-huda atau toping-toping dan tangistangis hanya dilaksanakan dikalangan keluarga kerajaan saja dan karena
sekarang keberadaannya sudah tidak ada lagi, maka akan diaktifkan
kembali dalam kehidupan sehari hari. Dari sekian lama Pesta Rondang
Bintang dilaksanakan baru kali ini diadakan festival toping-toping dan
tangis-tangis karena dari pengamatan dan pantauan dilapangan sudah
sangat jarang dan biasanya acara ini juga dilaksanakan jika orang yang
punya hajatan adalah orang yang sudah saur matua atau orang yang
sudah lengkap anak, cucu dari masa tuanya.
Dengan keragaman budaya yang ada di Indonesia, tentanya kebudayaan
ini sangatlah penting arti dan manfaatnya dimasa mendatang, oleh sebab
itu diharapkan hendaklah kita dapat melestarikan budaya peninggalan
nenek moyang kita yang diwariskan kepada kita dan anak cucu kita. Kalau
ditinjau dari segi jenis tarian dan kebudayaan, tari toping-toping dan
tangis-tangis ini tidak dapat kita jumpai dimanapun terkecuali di daerah
Simalungun dan ini akan menjadi aset atau kekayaan budaya daerah
Simalungun khususnya dan Sumatera Utara juga Indonesia pada
umumnya, oleh sebab itu marilah kita menjaga dan mengembangkan
kekayaan budaya yang kita miliki.
Tortor sombah

Tari Haruan Bolon

MAKANAN KHAS SIMALUNGUN


Leave a reply

DAYOK NABINATUR
Setiap suku tentunya memiliki makanan khasnya masing masing. Demikian pula dengan
Simalungun, ada beberapa jenis makanan yang merupakan khas dari Simalungun. Salah satu
diantaranya adalah Dayok Nabinatur, jika diartikan secara langsung ke dalam bahasa
Simalungun, Dayok Nabinatur bisa diartikan , Ayam (Dayok) yang disusun secara Teratur
(Nabinatur). Pengertian dari disusun yaitu cara memotong bagian tubuh dari ayam yang
teratur dan disusun dalam sebuah tempat penghidang dengan susunan yang teratur layaknya
seperti susunan Ayam tersebut ketika masih hidup.

Dayok Nabinatur biasanya dihidangkan pada saat acara-acara adat ataupun acara keluarga.
Dayok Nabinatur memiliki filosofi/ tujuan agar kehidupan kita menjadi teratur seperti
keteraturan dari masakan ayam yang sudah diatur sedemikian rupa. Dayok nabinatur biasanya
di Surdukkan (diberikan) kepada seseorang (sekelompok orang) sebagai bentuk/wujud terima
kasih dan raya syukur serta doa agar yang menerima diberikan kesehatan oleh Tuhan,
memiliki keteraturan di dalam kehidupan, dan memiliki semangat dalam menjalaninya.
Dalam proses memberikan Dayok Nabinatur ini sering di sebutkan kata kata seperti, Sai
andohar ma songon paratur ni Dayok Nabianur On. yang artinya semoga seperti
keteraturan dari ayam yang diatur ini.

Sesuai namanya Dayok Nabinatur, tentunya Makanan ini merupakan Olahan makanan yang
terdiri dari Daging Ayam yang diolah dengan berbagai jenis rempah/bumbu, Biasanya Ayam
yang digunakan adalah Ayam Jantan Kampung , Ayam jantan sebagai simbol dari kegagahan,
kekuatan, semangat , kerja keras, pantang menyerah dan kewibawaan.

Umumnya Dayok Nabinatur diolah dalam dua proses memasak, yaitu Dipanggang dan juga
Digulai (Ilompah). Berikut ini Tips/ Resep Cara Membuat Masakan Dayok Nabinatur Khas
Simalungun.
Hinasumba

Nitak

Anda mungkin juga menyukai