Anda di halaman 1dari 12

TUGAS PRAKTIKUM KLINIK ILMU PENYAKIT MULUT

JURNAL READING

RECURRENT APHTHOUS STOMATITIS

Oleh:
Anindya Wahyu K 191611101108

Pembimbing:
drg. Dyah Indartin Setyowati, M.Kes

Praktikum Putaran III


Semester Genap Tahun Ajaran 2019-2020
BAGIAN ILMU PENYAKIT MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS JEMBER
2020
BAB 1. PENDAHULUAN

Aphthae (sariawan) telah menjangkiti umat manusia sepanjang catatan


sejarah dan pertama kali disebutkan oleh Hippocrates pada tahun 460–370
sebelum masehi. Hipocrates menggunakan istilah “aphthai” untuk
menggambarkan gangguan atau luka pada mulut. Recurrent Aphthous Stomatitis
(RAS) adalah suatu lesi ulseratif rekuren atau kambuhan pada rongga mulut yang
umum terjadi dan ditandai dengan ulcer kecil multiple, bulat atau oval dengan
batas jelas, tepi kemerahan dan dasar ulcer berwarna kuning atau keabu-abuan.
RAS biasanya muncul pertama kali di masa kecil atau remaja. Berdasarkan studi
di Amerika, RAS adalah kondisi ulseratif inflamasi yang paling umum pada
rongga mulut (Chavan, M dkk, 2012)
Studi epidemiologi telah menunjukkan prevalensi RAS dipengaruhi oleh
populasi yang diteliti, kriteria diagnostik dan faktor lingkungan. Anak-anak
memiliki prevalensi sebesar 39 % dan kemunculuan lesinya dipengaruhi oleh
salah satu atau kedua orangtuanya yang juga mengidap RAS. Anak-anak dengan
orang tua yang positif RAS memiliki resiko 90% mewarisi keadaan tersebut
dibandingkan dengan anak-anak dengan orang tua yang negatif RAS.
Kemunculan RAS sering terjadi pada usia 10-19 tahun dan akan makin menurun
kemunculannya seiring bertambahnya usia. RAS lebih sering dijumpai pada
wanita daripada pria dan pada orang dibawah umur 40 tahun. RAS sering
ditemukan pada dewasa muda dan sebagian besar keadaan, ulser akan semakin
jarang terjadi pada pasien yang memasuki dekade keempat dan seterusnya
(Chavan, M dkk, 2012)
Penyebab dari RAS tidak diketahui secara jelas dan pasti, namun banyak
faktor predisposisi atau faktor pendukung yang memicu kemunculan lesi ini
seperti faktor lokal, imunitas, genetik, nutrisi, mikrobial dan alergi. Secara umum
RAS dibagi menjadi 3 tipe, yaitu RAS minor, RAS mayor dan RAS herpetiform.
Klasifikasi ini didasarkan pada morfologi, distribusi lesi, jumlah lesi maupun
ukuran lesi (Edgar NR dkk,2017).
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS) adalah suatu lesi ulseratif berbentuk


bulat atau oval dan dapat juga berbentuk irregular, multiple, warna kuning atau
keabu-abuan, berbatas jelas dengan tepi kemerahan yang bersifat kambuh atau
recurrant pada rongga mulut. Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS) adalah lesi
ulseratif yang muncul dengan penyebab yang tidak diketahui (Edgar NR
dkk,2017)

2.2 Differential Diagnosa


RAS adalah ulser rongga mulut yang umum terjadi dan tidak disertai dengan
penyakit lain. Detail riwayat dan pemeriksaan secara spesifik harus dapat
membedakan RAS dari lesi akut primer seperti stomatitis yang disebabkan oleh
virus atau lesi kronis multipel seperti pemphigus vulgaris dan bullous pemphigoid
serta kondisi lain yang berhubungan dengan ulser yang bersifat rekuren seperti
penyakit jaringan ikat, reaksi obat dan penyakit dermatologis (Burket LW, 2008).

2.3 Etiologi

Etiologi dari RAS tidak diiketahui, namun terdapat beberapa faktor


predisposisi yang memicu kemunculan RAS, diantaranya:

2.3.1 Genetika
Setidaknya 40% pasien RAS, keluarganya juga memiliki riwayat positif
RAS. Peran genetik adalah pemicu RAS yang paling dasar. Anak-anak yang
orangtuanya mempunyai positif RAS mempunya potensi akan mengalami RAS
dimana lesi akan muncul di usia mereka yang masih anak-anak. Spesifik HLA
yang ditemukan pada pasien antara lain HLA-A2, HLA-B5, HLA-B12, HLAB44,
HLA-B51, HLA-B52, HLA-DR2, HLA-DR7, dan Seri HLA-DQS (Miller MF,
1997).

2.3.2 Defisiensi Nutrisi


Sebesar 5-10 % pasien RAS memiliki kadar zat besi, asam folat dan
vitamin B (B1, B2, B6, B12) yang rendah. Pada penderita anemia usia dewasa
rata-rata mengalami RAS major dengan tingkat keparahan yang tinggi. Anemia
menyebabkan aktivitas enzim-enzim pada mitokondria dalam sel menurun karena
terganggunya transpor oksigen dan nutrisi, sehingga menghambat diferensiasi dan
pertumbuhan sel epitel. Akibatnya proses diferensiasi terminal sel-sel epitel
menuju stratum korneum terhambat dan selanjutnya mukosa mulut akan menjadi
lebih tipis oleh karena hilangnya keratinisasi normal, atropi, dan lebih mudah
mengalami ulserasi (Nolan A, 1991).

2.3.3 Alergi
Pada beberapa kasus penderita RAS yang memiliki alergi terhadap susu,
keju dan tepung, pada saat tidak mengkonsumsi bahan-bahan tersebut keadaan
ulser memiliki tingkat keparahan yang rendah dibanding pada saat mereka terkena
reaksi alergi oleh karena bahan-bahan tersebut. Selain itu reaksi alergi pada pasta
gigi yang mengandung sodium lauryl sulfat (SLS) dapat dapat menyebabkan
epitel pada jaringan oral menjadi kering dan lebih rentan terhadap iritasi. Studi
terbaru menunjukkan bahwa penggunaan pasta gigi bebas SLS tidak
mempengaruhi perkembangan lesi baru pada pasien RAS (Akintoye SO, 2005).

2.3.4 Imunitas
Tidak ada teori yang seragam tentang adanya imunopatogenesis dari SAR,
adanya disregulasi imun dapat memegang peranan terjadinya SAR. Salah satu
penelitian mungungkapkan bahwa adanya respon imun yang berlebihan pada
pasien SAR sehingga menyebabkan ulserasi lokal pada mukosa. Respon imun itu
berupa aksi sitotoksin dari limfosit dan monosit pada mukosa mulut dimana
pemicunya tidak diketahui. Terdapat beberapa respon imun yang terjadi pada
RAS, yaitu penurunan jumlah limfosit CD4 dan perubahan rasio CD4:CD8,
penurunan aktivitas regulasi Treg CD4 CD25, peningkatan jumlah limfosit B,
peningkatan jumlah sel (Akintoye SO, 2005).

2.3.5 Faktor lokal


2.3.5.1 Trauma
Ulser dapat terbentuk pada daerah bekas terjadinya penetrasi akibat
trauma. Pendapat ini didukung oleh hasil pemeriksaan klinis bahwa sekelompok
ulser terjadi setelah adanya trauma ringan pada mukosa mulut. Umumnya ulser
terjadi karena tergigit saat berbicara atau saat mengunyah, injeksi anastesi lokal
dan sikat gigi. Trauma bukan merupakan faktor yang berhubungan dengan
berkembangnya SAR pada semua penderita tetapi trauma dapat dipertimbangkan
sebagai faktor pendukung yaitu menentukan lokasi dari ulser pada pasien yang
terkena penyakit ini (Stone OJ, 1991).

2.3.5.2 Tembakau
Seseorang yang berhenti merokok, RAS dapat timbul pada mukosa
seseorang tersebut. Merokok dapat menyebabkan peningkatan keratinisasi pada
mukosa yang berfungsi sebagai penghalang mekanik dan pelindung terhadap
trauma dan mikroba (Jurge S dkk, 2006).

2.4 Gambaran Klinis

RAS memiliki gambaran klinis berupa ulser, multiple, bulat atau oval
dengan batas jelas, tepi kemerahan dan dasar ulcer berwarna kuning atau keabu-
abuan. RAS dibagi menjadi 3 subtipe yang memiliki perbedaan dari segi
morfologi, distribusi lesi, jumlah lesi, ukuran lesi serta prognosis (Wallace A,
2015).

2.4.1 RAS Minor


Ras minor adalah bentukan yang paling lazim dan biasanya terjadi pada
pasien dengan rentang usia 5-19 tahun. Memiliki karakteristik berupa ulser
dangkal dengan diameter kurang dari 10 mm, disertai pseudomembran abu-abu,
tepi kemerahan dan berjumlah sedikit. Lesi minor biasanya terbatas pada mukosa
bibir, mukosa bukal dan lidah (Wallace A, 2015).

2.4.2 RAS Major


RAS major adalah lesi ulseratif yang lebih menyebar (umumnya meluas ke
gingiva dan mukosa faring. Ulser pada RAS major memiliki ukuran yang lebih
besar yaitu lebih dari 10 mm dan memiliki durasi yang lebih lama. Apabila lesi
minor sembuh dalam waktu 14 hari, lesi major dapat bertahan hingga lebih dari 6
minggu. Lebih lanjut, lesi major menunjukkan resiko menimbulkan bekas yang
signifikan (Yasui K, 2010).

2.4.1 RAS Herpetiform


RAS Herpetiform muncul dengan jumlah puluhan ulser dalam yang
berukuran lebih kecil dan lebih sering bergerombol, sehingga dapat pula timbul
ulser yang besar dengan tepi yang irregular. Ulser pada RAS herpetiform tidak
berbekas dan sembuh kurang dari 1 bulan. Bagimanapun subtipenya, lesi RAS
dapat mengganggu proses bicara, menelan bahkan kegiatan dalam menjaga oral
hygine oleh karena rasa sakit yang ditimbulkan apabila tersentuh (Yasui K, 2010).
Perbedaan lebih lanjut antara RAS minor, major dan herpetiform dapat
dijelaskan pada tabel berikut (Edgar NR dkk,2017).

Predileksi RAS minor RAS major RAS Herpetiform


Morfologi  Lesi berbentuk  Lesi berbentuk • Ulser
bulat atau oval bulat atau oval berukuran
 Pseudomembra  Pseudomembran kecil dan
n berwarna berwarna abu- umumnya
abu-abu putih abu putih bergerombol
 Tepi kemerahan  Tepi kemerahan • Batas tidak
teratur
Distribusi Bibir, mukosa Bibir, palatum, Bibir, mukosa
bukal, lidah, dasar faring bukal, lidah,
mulut dasar mulut,
gingiva

Jumlah Ulser 1-5 1-10 10-100

Ukuran Ulser <10 mm >10 mm 2-3 mm

Prognosis • Sembuh dalam • Ulser bertahan > • Sembuh


4-14 hari 6 minggu dalam < 30
• Tidak berbekas • Memiliki resiko hari
tinggi untuk • Jarang
meninggalkan berbekas
bekas

Jenis Kelamin sama sama Perempuan


.
2.7 Terapi
Untuk membantu menentukan strategi manajemen penatalaksanaan RAS,
praktisi membagi dalam 3 gambaran klinis, yaitu tipe A, tipe B dan tipe C (Scully
C, 2003).

2.7.1 Tipe A
RAS yang muncul hanya bertahan sampai beberapa hari saja., dan muncul
hanya beberapa kali dalam setahun. Pada klasifikasi ini rasa sakitnya masih dapat
ditoleransi. Seorang klinisi harus mengidentifikasi apa yang membuat ulcer
semakin parah, terapi apa yang biasanya pasien lakukan untuk merawat lesi
tersebut dan bagaimana keefektifitasnya. Apabila efektif dan aman, seorang klinisi
harus mendukung pasien untuk melanjutkan perawatannya. Apabila faktor
pencetus ditemukan, klinisi harus mengeleminasinya terlebih dahulu. Contoh:
Apabila RAS diduga dipicu oleh trauma, maka klinisi harus memberi instruksi
pasien untuk menggunakan sikat gigi dengan bulu yang lembut dan menyikat gigi
dengan tekanan ringan. Medikasi khusus tidak diperlukan (Scully C, 2003).

2.7.2 Tipe B
Pada klasifikasi ini RAS muncul tiap bulan, dan lesinya bertahan dari 3
sampai 10 hari. Pasien RAS tipe B ini baiknya merubah pola makan yang lebih
sehat dan lebih menjaga oral hyginenya. Selain itu terapi yang dibutuhkan adalah
obat kumur chlorhexidine (tanpa alkohol) dan kortikosteroid topikal yang
dioleskan segera pada saat lesi awal muncul. Karena tipe ini memiliki
kekambuhan atau rekurensi yang berpola, maka pasien harus mematuhi setiap
perwatan yang diberikan dengan sebaik mungkin. Alternatif lain adalah
penggunaan dexamethasone 0,05 mg/5 ml (kumur 3 kali sehari) atau
kortikosteroid topikal seperti salep clobetasol 0,05 % atau salep fluosionid 0,05
% Apabila ulser tetap kambuh pada lokasi yang sama, gunakan tiga kali dalam
sehari. Pada kasus yang lebih parah, terapi kortikosteroid sistemik mungkin
diperlukan, namun tidak boleh melebihi 50 mg per hari selama 5 hari dimana
peresepan obat ini harus dibawah pengawasan dokter spesialis penyakit mulut
(Scully C, 2003).

2.7.3 Tipe C
RAS tipe ini melibatkan ulser yang kronis, yaitu 1 ulser sembuh, yang lain
akan tetap berkembang bahkan muncul baru. Pada pasien RAS tipe C ini
sebaiknya dirawat oleh dokter spesialis penyakit mulut, yang sering memakai
topikal kortikosteroid seperti betamethasone, beclomethasone, clobetasol,
fluticasone atau fluocionide. Kemudian penggunaan kortikosteroid sistemik yaitu
azathioprine, atau immunosupresan lain seperti dapsone, pentoxifylin dan
terkadang thalidomide. Selain itu dokter spesialis penyakit mulut dapat suntikan
atau injeksi kortikosteroid untuk meningkatkan respon lokal, sehingga
memerlukan perawatan sistemik yang lebih sedikit (Scully C, 2003).
BAB 3. PEMBAHASAN

Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS) adalah suatu lesi yang bersifat


rekuren dengan gambaran klinis berupa ulser, berbentuk bulat atau oval, multiple,
berbatas jelas, dasar berwarna putih keabu-abuan karena dilapisi oleh bekuan
fibrin , tepi erytematous dan terasa sakit. RAS pada umumnya berlokasi pada
mukosa bibir,mukosa bukal, lidah, gingiva, palatum dan faring. Etiologi atau
penyebab dari RAS adalah idiopatik atau tidak diketahui secara jelas, namun ada
beberapa faktor predisposisi yang mendukung terbentuknya lesi pada RAS.
Beberapa faktor predisposisi tersebut adalah genetik, imunitas, alergi, defisiensi
nutrisi serta faktor lokal seperti trauma dan konsumsi tembakau. RAS adalah
suatu lesi yang bersifat self limiting atau dapat sembuh dengan sendirinya yang
didukung oleh ketahanan imun yang baik.
RAS dibagi menjadi 3 subtipe berdasarkan morfologi, distribusi lesi, jumlah
lesi maupun ukuran lesi yaitu RAS minor, RAS major dan RAS herpetiform. RAS
minor adalah RAS yang memiliki karakteristik berupa ulser dangkal dengan
diameter kurang dari 10 mm, disertai pseudomembran abu-abu, tepi kemerahan
dan berjumlah sedikit. Lesi minor biasanya terbatas pada mukosa bibir, mukosa
bukal dan lidah. RAS minor berlangsung kurang lebih selama 4-14 hari dan tidak
menimbulkan bekas.
Ras major memiliki penampakan yang hampir serupa dengan RAS minor
namun dengan diameter yang lebih besar yaitu lebih dari 10 mm. Ulser pada RAS
major dapat berbentuk bulat atau oval maupun irregular. Distribusi ulser pada
RAS major adalah lebih menyebar hingga meluas ke gingiva bahkan mukosa
faring. RAS major memiliki kemampuan bertahan hingga lebih dari 6 minggu dan
biasanya menimbulkan bekas.
RAS herpetiform memiliki gambaran klinis yang agak berbeda dari minor
dan major oleh karena RAS herpetiform memiliki gambaran klinis berupa ulser
dengan diameter kecil dan sangat banyak hingga mencapai angka puluhan. RAS
herpetiform memiliki karakteristik bergerombol, sehingga beberapa ulser yang
bergerombol tersebut dapat membentuk 1 ulser yang besar dengan tepi yang
irregular. RAS herpetiform lebih cepat sembuh dibanding RAS major dan
cenderung tidak meninggalkan bekas. Terapi pada RAS dapat didasarkan pada
rekuransinya dan tingkat keparahannya, yang dikelompokkan menjadi 3 tipe,
yaitu RAS tipe A, RAS tipe B dan RAS tipe C. Ras tipe A adalah ulser yang rasa
sakitnya masih dapat ditolerir oleh seseorang dan rekuransinya hanya beberapa
kali dalam setahun. Terapi yang dibutuhkan untuk tipe ini adalah dengan
menghilangkan faktor predisposisinya serta instruksi kepada pasien untuk
meningkatkan sistem imun seperti pola makan dengan gizi seimbang, pola tidur
yang cukup dan rajin berolahraga. Pasien juga dapat diberikan multivitamin B
complex untuk menunjang daya tahan tubuhnya. Instruksi untuk senantiasa
menjaga oral hygine juga diperlukan. Jenis RAS ini tidak perlu pengobatan
khusus.
RAS tipe B adalah RAS yang rekurensinya lebih berpola dan muncul setiap
1 bulan sekali. RAS tipe B dapat dilakukan terapi berupa kortikosteroid topikal
yang dioleskan segera pada saat lesi awal muncul. Selain itu juga dapat
menggunakan obat kumur antiseptik seperti dexamethasone 0,05 mg/5 ml (kumur
3 kali sehari). Pada kasus dengan tingkat keparahan yang tinggi dapat diresepkan
kortikosteroid sistemik dengan anjuran dokter spesialis penyakit mulut.
RAS tipe C adalah tipe yang bersifat kronis dan selalu ada pada rongga
mulut oleh karena ulser baru selalu muncul atau berkembang ketika ulser lain
mulai sembuh atau menghilang. Terapi pada tipe ini cenderung menggunakan
kortikosteroid sistemik bahkan terdapat beberapa kasus yang menggunakan
injeksi kortikosteroid di daerah lesi untuk mempercepat reaksi obat dan
meminimalisir penggunaan kortikosteroid sistemik.
BAB 4. KESIMPULAN

RAS merupakan suatu lesi berbentuk ulser yang bersifat rekuren atau
kambuh yang tidak diketahui faktor penyebabnya. Terapi yang dapat dilakukan
berupa KIE, obat kumur antiseptik, vitamin dan kortikosteroid baik topikal
maupun sistemik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Chavan M, Jain H, Diwan N, Khedkar S, Shete A, Durkar S. Recurrent


aphthous stomatitis:a review. J Oral Pathol Med. 2012;41:577-83.
2. Scully C, Porter S. Oral mucosal disease:recurrent aphthous stomatitis.Br J
Oral Maxillofac Surg. 2008;46:198-206.
3. Yasui K, Kurata T, Yashiro M, Tsuge M, Ohtsuki S, Morishima T. The
effect of ascorbate on minor recurrent aphthous stomatitis. Acta Paediatr.
2010;99:442-5.
4. Jurge S, Kuffer R, Scully C, Porter SR. Mucosal Diseases Series, Number
VI Recurrent aphthous stomatitis. Oral Dis 2006; 12: 1–21.
5. Akintoye SO, Greenberg MS. Recurrent aphthous stomatitis. Dent Clin
North Am 2005; 49: 31–47.
6. Miller MF, Garfunkel AA, Ram CA, Ship II. The inheritance of recurrent
aphthous stomatitis. Observations on susceptibility. Oral Surg Oral Med
Oral Pathol 1980; 49: 409–12.
7. Stone OJ. Aphthous stomatitis (canker sores): a consequence of high oral
submucosal viscosity (the role of extracellular matrix and the possible role
of lectins). Med Hypotheses 1991; 36: 341–4.
8. Nolan A, McIntosh WB, Allam BF, Lamey PJ. Recurrent aphthous
ulceration: vitamin B1, B2 and B6 status and response to replacement
therapy. J Oral Pathol Med 1991; 20: 389–91.
9. Wallace a, rogers hJ, hughes sC, et al. Management of recurrent aphthous
stomatitis in children. Oral Medicine. 2015;42(6):564–572.
10. Burket LW, Greenberg MS, editors. Burket’s Oral Medicine. 11th ed.
Hamilton,Ont: BC Decker. 2008.

Anda mungkin juga menyukai