TUGAS KELOMPOK
Disusun Oleh:
FAKULTAS HUKUM
2022
KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BALI.
Karena menurut penduduk desa setempat, jika dua sumber mata air tersebut bisabertemu
maka penduduk desa akan mencapai kemakmuran dan bisa memberikan energi positif pada
masyarakat Jimbaran.
TRADISI NIKAH MASSAL DI PENGOTAN.
Tradisi Nikah Massal merupakan tradisi upacara pernikahan di sebuah desa di Bali
yakni Desa Pengotan yang ada di Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Di Desa Pengotan
Kecamatan Bangli ini,masyarakat yang menikah wajib mengikuti upacara pernikahan
massal.
Tradisi Upacara pernikahan massal menjadi warisan turun-temurun yang sudah
menjadi aturan adat. Kalau tidak mengikuti tradisi ini, makawarga bisa terkena sanksi adat
berupa larangan untuk ke pura atau tempat sucikarena perkawinan mereka masih dianggap
kotor atau belum disucikan.Prosesi penyucian disebut dengan mewidiwadana.
Upacara pernikahan massal di Desa Pengotan, Bangli, digelar dua kali dalam
setahun, yaitu pada bulan Maret dan September. Harinya dipilih berdasarkan hari baik
menurut kalender Bali. Pelaksanaannya pun secara khusus dipusatkan di Pura Penataran
Agung Desa Pengotan, Bali. Bagi yang mengikuti tradisi Upacara pernikahan massal ini
harus menggunakan pakaian adat khas Desa Pengotan.
Dua momen pelaksanaan tradisi tersebut adalah Sasih Kadasa danSasih Kapat
dalam penanggalan Saka Hindu Bali. Biasanya, kedua momen tersebut bertepatan dengan
bulan September dan bulan Maret dalam penanggalan Masehi.
TRADISI MEPANTIGAN
Mepantigan adalah salah satu tradisi atau atraksi seni bela diri tradisional di Bali
yang masih bertahan sampai sekarang, tradisi Mepantigan ini terletak di kawasan
Batubulan dan Ubud. Desa Batubulan terletak di Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar,
dikenal dengan pengrajin patung batu padas dan pemnetasan tari Barong. Sedangkan Ubud
memang kaya dengan alam persawahan dan menjadi salah satu pusat pariwisata Bali.
Di dalam bahasa Bali, Mepantigan memiliki makna salingmembanting, dan uniknya
tradisi Mepantigan ini dilakukan dalam lumpur, peserta bertanding satu lawan satu dengan
cara membanting lawan, kemudian bergulat dan mengunci lawan. Dalam tradisi ini tidak
hanya sekedar keberanian yang diperlukan, tetapi juga teknik agar bisa membanting lawan
dilumpur, sehingga terlihat layaknya gulat lumpur, mereka bergumul dan saling banting di
lumpur.
Tradisi Mepantigan sebenarnya bisa dilakukan di mana saja, namun harus berlokasi
aman bagi para pemain yang melakukan pertandingan, maka areal persawahanlah yang
cocok untuk menggelar tradisi ini atau tempat khusus yang berlumpur. Di Ubud, tradisi
Mepantigan dilakukan di areal persawahan, karena memang daerah Ubud di kabupaten
Gianyar ini banyak memiliki persawahan yang masih terbentang luas.
Pada saat latihan peserta menggunakan pakaian merah putih atau kain batik yang
merupakan ciri khas dari bangsa Indonesia. Saat bertanding sungguhan mereka
menggunakan celana yang dililit dengan kain seperti kamen (kain) kancut dan
menggunakan ikat kain di kepala yang disebutudeng. Para peserta dengan pakaian
tradisional, membuat Tradisi Mempatiganini memang sangat melekat dengan budaya Bali,
peserta Tradisi ini lebih di dominasi oleh kaum laki-laki atau pria.
Seperti tradisi lainnya, tradisi Ngedeblag ini juga memiliki keunikan tersendiri, seperti pada
pakaian atau kostum yang mereka gunakan pada saat menggelar tradisi ini. Para pengayah
(peserta) laki-laki harus menggunakan kamben (kain) yang dilapisi dengan saput tanpa
menggunakan baju dan bisa dibayangkan panas menyengat dari terik matahari yang tepat
berada di atas mereka. Selain itu wajah mereka juga dibuat menjadi seseram mungkin,
dengan cat air warna warni yang nantinya akan diolesi pada wajah mereka dan satu oles
pamor yang di olesi dikening, kepala pengayah jugamenggunakan penutup kepala dari
kukusan.
Prosesi Tradisi Ngedeblag akan dimulai tepat pukul 12.00 siang dengan diawali
melakukan persembahyangan bersama. Setelah itu semua yang berperan dalam Tradisi
Ngedeblag seperti : para warga, gong, kulkul dan alat-alat yang nantinya dipakai akan
dipercikan tirta agar pelaksanaan Tradisi Ngedeblag dapat berjalan dengan lancar. Saat itu
juga para pengayah baik lakimaupun perempuan dan anak-anak hingga lansia sangat
antusias memulai Tradisi Ngedeblag yang akan dilakukannya.
Setelah yang dibutuhkan selesai, maka mulailah Tradisi Ngedeblag ini digelar. Ida
Ratu Agung pun tedun, dalam perjalanannya diawali dengananak-anak yang membawa
batang pohon jaka (enau) dan sisanya mengikuti dari belakang dengan membawa
kelengkapan Ngedeblag. Rute perjalananmereka adalah keliling desa sambil membawa air
suci (tirta), hal yang membuat menarik lagi yaitu barong sakral yang diarak beberapa
penduduk Desa Kemenuh yang mana disertai dengan bunyi gamelan, kentongan ataupun
prabotan yang mereka bawa.
Dalam setiap perjalanannya jika menemukan persimpangan jalan, paraibu-ibu akan
menyambutnya dengan membawa sesajen sebagai bentuk menghaturkan puja-puja kepada
Ida Sang Hyang Widhi Wasa untukmelakukan pembersihan alam semesta dan untuk
menetralisir roh-roh maupunhal-hal negatif yang nantinya dapat mengganggu masyarakat
setempat, kegiataan ini biasa disebut dengan istilah “menyomia kala”. Dengan
dilaksanakannya Tradisi Ngedeblag, dan setelah tradisi tersebut digelar masyarakat Desa
Kemenuh mengaku merasakan kenyamanan lahir batin.
Tujuan Ngedeblag ialah memohon keselamatan alam Bhuwana Agungdan Bhuwana
Alit (alam dan segala isinya), karena diyakini pada bulan Sasih Kelima Kalendar Bali
sering terjadi penyakit yang disebarkan oleh virus yang kita tidak tahu asal muasalnya dan
maka dari itulah dimohonkan kepada Ida Hyang Widhi Wasa untuk dianugerahi
keselamatan dan juga terhindar dari cuaca buruk (pancaroba), seperti hujan, angin kencang
serta panas yang menyengat.
TRADISI NGABEN
Tradisi Ngaben merupakan upacara adat prosesi pembakaran jenzah yang dilakukan
umat hindu, khususnya di Bali. Upacara Ngaben juga dikenal sebagai Pitra Yadyna,
Pelebon, atau upacara kremasi. Tradisi Ngaben bertujuan untuk melepaskan jiwa orang
yang sudah meninggal dunia agar dapat memasuki alam atas di mana ia dapat menunggu
untuk dilahirkan kembali atau reinkarnasi.
Bagi masyarakat Bali, Ngaben merupakan peristiwa yang sangatpenting,karena
dengan melangsungkan tradisi ini,keluarga dapat membebaskan arwah orang yang telah
meninggal dari ikatan-ikatan duniawimenuju surga dan menunggu reinkarnasi. Dengan
membakar jenazah maupunsimbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut
memilikimakna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawiansehingga
dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam).
Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian tradisi Ngaben untuk mengembalikan
segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya
masing-masing agar tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka. Bagi pihak keluarga,
tradisi Ngaben ini merupakan simbol, bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan
kepergian yang bersangkutan. Jika Ngaben ditunda terlalu lama, rohnya akan gentayangan
dan menjadi bhuta cuwil. Demikian pula bila yang orang meninggal dunia dikubur di tanah
tanpa upacara yang patut.
Proses upacara Ngaben berlangsung cukup panjang. Dimulai dengan Ngulapin,
yaitu pihak keluarga melakukan ritual permohonan izin dan restu kepada Dewi Surga yang
merupakan sakti dari Dewa Siwa. Ngulapin dilakukan di Pura Dalem. Setelah itu,
dilakukan upacara Meseh Lawang yang bertujuan untuk memulihkan cacat atau kerusakan
jenazah yang dilakukan secara simbolis.
Upacara Meseh Lawang ini dilakukan di catus pata atau di bibir kuburan.
Berikutnya adalah upacara Mesiram atau Mabersih, yaitu memandikan jenazah yang
terkadang hanya berupa tulang belulang, dilakukandi rumah duka atau kuburan. Tahap
pertama, adalah upacara Ngaskara, yaitu upacara penyucian jiwa tahap awal. Dilanjutkan
dengan Nerpana yaitu upacara persembahan sesajen ata bebanten kepada jiwa yang telah
meninggal. Puncak dari prosesi Ngaben adalah Ngeseng Sawa, yaitu pembakaran jenazah
yang dilakukan di setra atau kuburan. Jenazah yang akan dibakar diletakkan di dalam
sebuah replika lembu yang disebut Petulangan.
Prosesi terakhir adalah Nganyut, yaitu menghanyutkan abu jenazah ke laut, sebagai
simbolis pengembalian unsur air dan bersatunya kembali sang jiwa dengan alam.
TRADISI MEKOTEK
Tradisi Mekotek salah satu tradisi tolak bala dari Desa Munggu, Kecamatan Mengwi,
Kabupaten Badung, Bali, Indonesia. Upacara Mekotek dilaksanakan dengan tujuan
memohon keselamatan. Upacara Mekotek juga dikenal dengan istilah ngerebek. Mekotek
merupakan warisan leluhur yang dilaksanakan turun temurun hingga saat ini oleh umat
Hindudi Bali.Tradisi Mekotek dilaksanakan setiap 6 bulan sekali atau 210 hari
(berdasarkan kalender Hindu) pada Sabtu Kliwon. Upacara ini dilakukan tepat pada Hari
Raya Kuningan atau setelah selesai Hari Raya Galungan.
Pada zaman dahulu, tradisi Mekotek dilaksanakan dengan menggunakan besi untuk
membakar semangat juang ke medan perang atau dari medan perang. Ternyata, banyak
peserta yang terluka, maka tombak dari besi yang biasa digunakan dalam upacara Mekotek
diganti dengan tongkat dari kayu pulet yang sudah dikupas kulitnya. Ukurannya berkisar 2
- 3,5 meter.
Selama pelaksanan upacara, peserta wajib mengenakan pakaian adat madya, yaitu
kancut dan udeng batik. Peserta berkumpul di Pura Dalem Munggu untuk melaksanakan
persembahyangan serta ucapan terima kasihatas hasil perkebunan. Selesai sembahyang,
peserta akan melakukan pawai menuju sumber air di kampung Munggu. Pawai diikuti oleh
2.000 peserta. Mereka merupakan panduduk Munggu yang terdiri dari 15 banjar yang
berusia 12 sampai 60 tahun.
Pada saat pawai, para peserta dibagi menjadi beberapa kelompok,setiap kelompok
terdiri dari 50 orang. Di setiap pertigaan yang dilewati,masing-masing kelompok akan
membuat bentuk segi tiga denganmenggabungkan kayu-kayu membentukkerucut. Lalu,
mereka akan berputar dan berjingkrak dengan iringan gamelan.
Sesorang yang mempunyai nyali sekaligus memiliki kaul akan mendaki ke puncak
kerucut. Ia melakukan atraksi berupa mengangkat tongkat atau berdiri dengan
mengepalkan tangan. Ia juga berteriak sambil memberikankomando menabrakkan pada
kelompok lain yang tengah mendirikan tumpukkan kayu. Sampai di sumber air, semua
perangkat upacara yang dibawa dari Pura Dalem diberi tirta suci untuk dibersihkan.
Pulangnya, peserta kembali melakukan pawai ke Pura Dalem untuk menyimpan semua
perkakas yang digunakan untuk berkeliling tadi.
Tradisi Mekotek merupakan simbol kemenangan, selain itu upacara inijuga sebagai
upaya untuk menolak bala yang pernah menimpa desa puluhan tahun yang lalu
TRADISI MESURYAK
Tradisi Mesuryak merupakan sebuah tradisi unik yang masihberlangsung
hingga sekarang secara turun temurun. Tepatnya di DusunBongan Gede, Desa Bongan,
Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan, Bali.Penyelenggaraan upacara adat ini
bertepatan pada Hari Raya Kuningan (10 hari setelah Galungan) setiap 6 bulan sekali.
Pelaksanaanupacara dilakukan pada pukul 09.00 hingga 12.00 WITA. Upacara tidak boleh
dilakukan setelah pukul 12.00 WITA. Karena diyakini setelah pukul 12.00
WITA, para leluhur telah kembali ke surga.
Prosesi yang dilakukan sejak nenek moyang ini akan diikuti oleh anak-anak, orang
dewasa, sampai orang tua, laki-laki dan perempuan bercampur baur. Tradisi akan diawali
dengan ibadah di rumah masing-masing, kemudian dilanjutkan ke Pura Meraja (pura
keluarga besar) dan Pura Khayangan Tiga. Sembahyang dilakukan untuk keselamatan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa dan para leluhur yang ada di rumah sejak Galungan hingga
Kuningan. Rangkaian sesaji untuk perjalanan ke Swarga Loka telah disiapkan di depan
pintu gerbang rumah masing-masing.
Sesaji yang disebut juga dengan banten pengadegan terdiri dari nasi, telur, dan pis
bolong atau uang kepeng. Jumlah uang kepeng untuk bekal para leluhur sesuai dengan
kemampuan masing-masing keluarga. Kemudian, sesepuh Hindu atau pendeta akan
melantunkan pujian dan menutup dengan mesuryak. Anggota keluarga yang melaksanakan
tradisi mesuryak harus melemparkan uang ke atas kepala. Setelah uang jatuh ke bawah
akan diperebutkan masyarakat Desa Bongan yang ikut hadir dan menyaksikan tradisi ini.
Dalam suasana suka cita, mereka akan saling berdesakan untuk memperebutkan
uang sambil berteriak (mesuryak). Kondisi tersebut memunculkan keakraban antar warga.
Pada masa lalu, tradisi ini menggunakan uang kepeng. Namun seiring perkembangan
zaman, uang kepeng diganti dengan uang logam dan kertas. Tradisi ini dilakukan di depan
rumah penyelenggaran.
Makna dan tujuan tradisi adalah rasa bahagia. Lalu bersuka cita memberikan bekal
pada leluhur agar kembali ke alam surga dengan damai dantenang. Makna Tradisi
Mesuryak secara Niskala ialah memberikan bekal kepada leluhur. Bekal merupakan
persembahan atau sesajen.
Tradisi perang atau siat sampian tersebut digelar saat rangkaian upacara pujawali atau
piodalan di Pura Samuan Tiga di Bedulu dan berlokasi di areal Jaba Tengah pura. Perang
atau siat dalam tradisi tersebut menggunakan rangkaian janur atau sampian yang biasanya
sebagai perlengkapan banten (sesajen) dan sekarang digunakan untuk senjata. Dalam
prosesi tersebut dilakukan oleh pengayah (peserta) perempuan ataupun laki- laki. Peserta
tersebut dipilih melalui prosesi atau ritual yang bernama mapekeling atau pawintenan, dari
sanalah diketahui siapa saja yang terpilih dan dipercaya oleh Ida Sesuhunan (Batara yang
berstana) di Pura Samuan Tiga sebagai pengayah.
Tidak sembarangan orang bisa terlibat dalam tradisi Siat Sampianwalaupun orang
itu masih termasuk penduduk dari Desa Bedulu, Gianyar. Jumlah pengayah atau peserta
Siat Sampian ini juga berbeda-beda, yang manajumlah pengayah laki-laki lebih banyak
bisa mencapai ratusan, sedangkan pengayah perempuan ditunjuk kurang lebih 35 orang
dari Desa Adat Bedulu, yang mana peserta yang sudah ditunjuk harus dengan iklas dan
senang hati menjalankan perintah dari Ida Bhatara.