Anda di halaman 1dari 22

Tugas Kelompok : Dosen Pengasuh :

Mata Kuliah Hukum Adat Zulherman Idris,S.H,M.H

TUGAS KELOMPOK

“Kearifan Lokal Masyarakat Bali”

Disusun Oleh:

1. SABRI AKBAR NPM. 211010562


2. DIMAS FAJAR KURNIAWAN NPM. 211010413
3. IQBAL MUHAMMADI NPM. 211010573
4. ARIFIN NPM. 211010286

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM RIAU

2022
KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BALI.

TRADISI SIAT YEH DI JIMBARAN


Tradisi Siat Yeh merupakan kearifan lokal yang menjadi budaya dan tradisi
masyarakat Bali yang bertempat di Desa Jimbaran,Kecamatan Kuta selatan, Kabupaten
Badung,yang berada di kawasan pariwisata Bali Selatan, yang sebagian wilayahnya
berbatasan dengan laut, membuat wilayah Jimbaran memiliki wilayah pantai yang cukup
luas.Tradisi Siat Yeh merupakan tradisi unik yang digelar oleh penduduk Desa Jimbaran
setiap hari raya Ngembak Geni (sehari setelah Nyepi). Tradisi Siat Yeh ini juga dikatakan
sebagai penglukatan Agung.Peserta Tradisi Siat Yeh didominasi oleh pemuda-pemudi
banjar Teba.Tradisi Siat Yeh ini diawali dengan pembagian kelompok menjadi 2
kelompok, yang mana 1 kelompok mengambil air dari pantai yang berada di Timur (pantai
Suwung/rawah ) dan satunya lagi pantai yang berada di baratnya (pantai
Segara).Merekapun berbondong-bondong menuju pantai yang menjadi tugas mereka.
Selanjutnya air pantai yang mereka dapat dari hasil pengambilan di kedua sumber mata air
tersebut dituangkan kedalam kendi yang mana pada saat membawa air tersebut ke banjar
akan diiringi dengan gamelan khas Bali yaitu Baleganjur.Sesampainya disana akan ada
tarian yang menyambutnya yang ditarikan oleh seka truni Bakthi Asih yang mana tarian ini
biasa disebut dengan tarian rejang sari.
Setelah selesainya tarian tersebut Tradisi Siat Yeh akan dimulai dengan
pelemparan air dengan cetok atau batok kelapa kecil yang menandakan Tradisi Siat Yeh
ini akan segera dimulai. Sembari saling bernyanyi dan menunjukan keceriannya merekapun
langsung saling siram.
Hal ini bermakna untuk mempertemukan lagi 2 sumber mata air tersebut walaupun
tidak dengan langsung, sebagai sarana penglukatan.

Karena menurut penduduk desa setempat, jika dua sumber mata air tersebut bisabertemu
maka penduduk desa akan mencapai kemakmuran dan bisa memberikan energi positif pada
masyarakat Jimbaran.
TRADISI NIKAH MASSAL DI PENGOTAN.
Tradisi Nikah Massal merupakan tradisi upacara pernikahan di sebuah desa di Bali
yakni Desa Pengotan yang ada di Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Di Desa Pengotan
Kecamatan Bangli ini,masyarakat yang menikah wajib mengikuti upacara pernikahan
massal.
Tradisi Upacara pernikahan massal menjadi warisan turun-temurun yang sudah
menjadi aturan adat. Kalau tidak mengikuti tradisi ini, makawarga bisa terkena sanksi adat
berupa larangan untuk ke pura atau tempat sucikarena perkawinan mereka masih dianggap
kotor atau belum disucikan.Prosesi penyucian disebut dengan mewidiwadana.
Upacara pernikahan massal di Desa Pengotan, Bangli, digelar dua kali dalam
setahun, yaitu pada bulan Maret dan September. Harinya dipilih berdasarkan hari baik
menurut kalender Bali. Pelaksanaannya pun secara khusus dipusatkan di Pura Penataran
Agung Desa Pengotan, Bali. Bagi yang mengikuti tradisi Upacara pernikahan massal ini
harus menggunakan pakaian adat khas Desa Pengotan.
Dua momen pelaksanaan tradisi tersebut adalah Sasih Kadasa danSasih Kapat
dalam penanggalan Saka Hindu Bali. Biasanya, kedua momen tersebut bertepatan dengan
bulan September dan bulan Maret dalam penanggalan Masehi.

TRADISI MEPANTIGAN

Mepantigan adalah salah satu tradisi atau atraksi seni bela diri tradisional di Bali
yang masih bertahan sampai sekarang, tradisi Mepantigan ini terletak di kawasan
Batubulan dan Ubud. Desa Batubulan terletak di Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar,
dikenal dengan pengrajin patung batu padas dan pemnetasan tari Barong. Sedangkan Ubud
memang kaya dengan alam persawahan dan menjadi salah satu pusat pariwisata Bali.
Di dalam bahasa Bali, Mepantigan memiliki makna salingmembanting, dan uniknya
tradisi Mepantigan ini dilakukan dalam lumpur, peserta bertanding satu lawan satu dengan
cara membanting lawan, kemudian bergulat dan mengunci lawan. Dalam tradisi ini tidak
hanya sekedar keberanian yang diperlukan, tetapi juga teknik agar bisa membanting lawan
dilumpur, sehingga terlihat layaknya gulat lumpur, mereka bergumul dan saling banting di
lumpur.
Tradisi Mepantigan sebenarnya bisa dilakukan di mana saja, namun harus berlokasi
aman bagi para pemain yang melakukan pertandingan, maka areal persawahanlah yang
cocok untuk menggelar tradisi ini atau tempat khusus yang berlumpur. Di Ubud, tradisi
Mepantigan dilakukan di areal persawahan, karena memang daerah Ubud di kabupaten
Gianyar ini banyak memiliki persawahan yang masih terbentang luas.
Pada saat latihan peserta menggunakan pakaian merah putih atau kain batik yang
merupakan ciri khas dari bangsa Indonesia. Saat bertanding sungguhan mereka
menggunakan celana yang dililit dengan kain seperti kamen (kain) kancut dan
menggunakan ikat kain di kepala yang disebutudeng. Para peserta dengan pakaian
tradisional, membuat Tradisi Mempatiganini memang sangat melekat dengan budaya Bali,
peserta Tradisi ini lebih di dominasi oleh kaum laki-laki atau pria.

Tradisi mepantigan diperankan oleh dua orang yang mana merekamemulai


pertandingannya di areal sawah atau pantai. Saat pertandingan berlangsung ada wasit yang
mengawasi dan ada juga juri yang duduk diluar arena pertandingan.Tradisi mepantigan
dapat dimainkan dalam 1 pertandingandalam 2 ronde yang mana 1 ronde menghabiskan
waktu tiga menit. Uniknya dalam pertandingan ini, alat pengukur waktu yang digunakan
terbuat dari bambu yang terisi air, yang mana jika bambu di air tersebut habis, maka
pertandingan pun dapat dihentikan.
Tradisi Mepantigan ini bertujuan untuk meredakan aksi kekerasan yang terjadi di
Bali. Karena saat Tradisi Mepantigan ini digelar para pemain diajarkan untuk merasa belas
kasihan serta memiliki rasa hormat terhadap lawan mereka. Tradisi Mepantigan ini dapat
diperankan oleh penduduk setempat ataupun wisatawan asing maupun lokal yang ingin
berpartisipasi untuk memeriahkan tradisi ini.

TRADISI NGEDEBLAG DI KEMENUH


Tradisi Ngedeblag merupakan salah satu tradisi asal desa Pekraman Kemenuh,
Kecamatan Sukawati, Gianyar, yang masih dijaga kelestariannya hingga saat ini. Tradisi ini
biasanya dilaksanakan pada setiap hari Kajeng Kliwon menjelang peralihan sasih kelima
dan sasih keenam (menurut kalender Bali). Tepatnya dilaksanakan sekali dalam setahun,
yang bertujuan untuk mengantisipasi perubahan musim yang akan datang, sehingga
terhindar dari segala macam bencana maupun penyakit menular mematikan.
Menurut penduduk setempat, konon pada masa lalu di Desa Kemenuh, banyak
terjadi bencana yang menimpa desa tersebut, seperti : banjir, tanah longsor termasuk wabah
penyakit yang menyerang penduduk desa saat itu. Untuk menghindari bencana tersebut
penduduk desa yakin dengan mengadakan ritual Tradisi Ngedeblag bencana tersebut tidak
akan mengganggu lagi.

Seperti tradisi lainnya, tradisi Ngedeblag ini juga memiliki keunikan tersendiri, seperti pada
pakaian atau kostum yang mereka gunakan pada saat menggelar tradisi ini. Para pengayah
(peserta) laki-laki harus menggunakan kamben (kain) yang dilapisi dengan saput tanpa
menggunakan baju dan bisa dibayangkan panas menyengat dari terik matahari yang tepat
berada di atas mereka. Selain itu wajah mereka juga dibuat menjadi seseram mungkin,
dengan cat air warna warni yang nantinya akan diolesi pada wajah mereka dan satu oles
pamor yang di olesi dikening, kepala pengayah jugamenggunakan penutup kepala dari
kukusan.
Prosesi Tradisi Ngedeblag akan dimulai tepat pukul 12.00 siang dengan diawali
melakukan persembahyangan bersama. Setelah itu semua yang berperan dalam Tradisi
Ngedeblag seperti : para warga, gong, kulkul dan alat-alat yang nantinya dipakai akan
dipercikan tirta agar pelaksanaan Tradisi Ngedeblag dapat berjalan dengan lancar. Saat itu
juga para pengayah baik lakimaupun perempuan dan anak-anak hingga lansia sangat
antusias memulai Tradisi Ngedeblag yang akan dilakukannya.
Setelah yang dibutuhkan selesai, maka mulailah Tradisi Ngedeblag ini digelar. Ida
Ratu Agung pun tedun, dalam perjalanannya diawali dengananak-anak yang membawa
batang pohon jaka (enau) dan sisanya mengikuti dari belakang dengan membawa
kelengkapan Ngedeblag. Rute perjalananmereka adalah keliling desa sambil membawa air
suci (tirta), hal yang membuat menarik lagi yaitu barong sakral yang diarak beberapa
penduduk Desa Kemenuh yang mana disertai dengan bunyi gamelan, kentongan ataupun
prabotan yang mereka bawa.
Dalam setiap perjalanannya jika menemukan persimpangan jalan, paraibu-ibu akan
menyambutnya dengan membawa sesajen sebagai bentuk menghaturkan puja-puja kepada
Ida Sang Hyang Widhi Wasa untukmelakukan pembersihan alam semesta dan untuk
menetralisir roh-roh maupunhal-hal negatif yang nantinya dapat mengganggu masyarakat
setempat, kegiataan ini biasa disebut dengan istilah “menyomia kala”. Dengan
dilaksanakannya Tradisi Ngedeblag, dan setelah tradisi tersebut digelar masyarakat Desa
Kemenuh mengaku merasakan kenyamanan lahir batin.
Tujuan Ngedeblag ialah memohon keselamatan alam Bhuwana Agungdan Bhuwana
Alit (alam dan segala isinya), karena diyakini pada bulan Sasih Kelima Kalendar Bali
sering terjadi penyakit yang disebarkan oleh virus yang kita tidak tahu asal muasalnya dan
maka dari itulah dimohonkan kepada Ida Hyang Widhi Wasa untuk dianugerahi
keselamatan dan juga terhindar dari cuaca buruk (pancaroba), seperti hujan, angin kencang
serta panas yang menyengat.

TRADISI NGABEN
Tradisi Ngaben merupakan upacara adat prosesi pembakaran jenzah yang dilakukan
umat hindu, khususnya di Bali. Upacara Ngaben juga dikenal sebagai Pitra Yadyna,
Pelebon, atau upacara kremasi. Tradisi Ngaben bertujuan untuk melepaskan jiwa orang
yang sudah meninggal dunia agar dapat memasuki alam atas di mana ia dapat menunggu
untuk dilahirkan kembali atau reinkarnasi.
Bagi masyarakat Bali, Ngaben merupakan peristiwa yang sangatpenting,karena
dengan melangsungkan tradisi ini,keluarga dapat membebaskan arwah orang yang telah
meninggal dari ikatan-ikatan duniawimenuju surga dan menunggu reinkarnasi. Dengan
membakar jenazah maupunsimbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut
memilikimakna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawiansehingga
dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam).

Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian tradisi Ngaben untuk mengembalikan
segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya
masing-masing agar tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka. Bagi pihak keluarga,
tradisi Ngaben ini merupakan simbol, bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan
kepergian yang bersangkutan. Jika Ngaben ditunda terlalu lama, rohnya akan gentayangan
dan menjadi bhuta cuwil. Demikian pula bila yang orang meninggal dunia dikubur di tanah
tanpa upacara yang patut.
Proses upacara Ngaben berlangsung cukup panjang. Dimulai dengan Ngulapin,
yaitu pihak keluarga melakukan ritual permohonan izin dan restu kepada Dewi Surga yang
merupakan sakti dari Dewa Siwa. Ngulapin dilakukan di Pura Dalem. Setelah itu,
dilakukan upacara Meseh Lawang yang bertujuan untuk memulihkan cacat atau kerusakan
jenazah yang dilakukan secara simbolis.
Upacara Meseh Lawang ini dilakukan di catus pata atau di bibir kuburan.
Berikutnya adalah upacara Mesiram atau Mabersih, yaitu memandikan jenazah yang
terkadang hanya berupa tulang belulang, dilakukandi rumah duka atau kuburan. Tahap
pertama, adalah upacara Ngaskara, yaitu upacara penyucian jiwa tahap awal. Dilanjutkan
dengan Nerpana yaitu upacara persembahan sesajen ata bebanten kepada jiwa yang telah
meninggal. Puncak dari prosesi Ngaben adalah Ngeseng Sawa, yaitu pembakaran jenazah
yang dilakukan di setra atau kuburan. Jenazah yang akan dibakar diletakkan di dalam
sebuah replika lembu yang disebut Petulangan.
Prosesi terakhir adalah Nganyut, yaitu menghanyutkan abu jenazah ke laut, sebagai
simbolis pengembalian unsur air dan bersatunya kembali sang jiwa dengan alam.

TRADISI DEWA MASRAMAN


Dewa Mesraman atau Masraman adalah tradisi wajib digelar di BanjarTimbrah, Desa Adat
Paksebali, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, tradisi unik tersebut setiap 6 bulan
sekali dan merupakan rangkaian dari upacara pujawali Pura Panti Timbrah
(Timrah).Tradisi Dewa Mesraman merupakan suatu warisan leluhur yang sudah mulai
dilakukan dari tahun 1500Masehi dan sampai sekarang masih bertahan dan digelar rutin
oleh penduduk setempat.Sebagai Rangkaian dari upacara pujawali di Pura Panti Timrah
yang jatuh pada Saniscara Kliwon wuku Kuningan membuat Tradisi ini bertepatan dengan
digelarnya hari raya Kuningan.
Sebagai asal dari Tradisi Dewa Masraman, maka Karangasem juga memiliki tradisi
yang sama, ritual tersebut digelar di simpang empat desa di Bugbug dan di sini dikenal
dengan tradisi Mebiasa dan kemudian dikenal dengan Perang Jempana.Dilihat dari filosofi
kata Mesraman berasal dari “mesra” yang berarti bersenang-senang secara lahir batin, itu
juga terlihat daripara pengayah yang menampilkan kegembiraan mereka pada saat
menjalankan Tradisi Dewa Mesraman (Masraman).
Saat semua prasarana banten sudah siap, masyarakat akan kumpul di Pura Panti
Timrah untuk membuat lawar. Lawar diperlukan sebanyak 5 jenis lawar yang akan dibuat
yang mana terdiri dari : lawar belimbing, lawar nangka, lawar kacang dan lawar gedang
(pepaya).Pembuatan lawar ini memiliki simbol sebagai bentuk pemersatu segala perbedaan
yang ada di Desatersebut. Sekitar pukul 03.00 sore pembuatan lawar pun selesai. Kemudian
dilanjutkan dengan nunas paica (berkah) yang berisi lawar, nasi dan satedengan beralaskan
klangsah terbungkus daun pisang. Nunas paica ini melibatkan anak-anak yang belum
beranjak dewasa.
Setelah kegiatan nunas paica dilanjutkan dengan megibung (makan bersama)
dengan menu nasi putih, lawar, garam dan beralaskan klakat. Kegiatan ini melibatkan
orang dewasa. Makna dari prosesi megibung yaitu untuk mempersatukan semua perbedaan
sifat dan perilaku yang dimiliki penduduk Desa Paksebali.Tepat pukul 05.00 sore mulai
diadakan pesucian 7 jempana (joli) diusung oleh teruna dari desa adat yang mana 1
jempanadiusung 2 teruna dan akan dibawa ke sungai seganing (sumber air).Prosesi ini
bermakna untuk memohon air suci dan membersihkan jiwa raga para pengayah sebelum
dan sesudah upacara Dewa Mesraman. Setelah dirasa bersih maka jempana tersebut
dibawa kembali ke pura. da saat tiba di jaba tengah pura 7 jempana tersebut akan
disambut tarian rejang dewa yangditarikan anak-anak putri Desa Adat Paksebali yang
belum menginjak remaja. Setelah itu akan disambut juga dengan tari baris yang memegang
keris ditangan kanannya dan 6 dari 7 jempana yang diusung mulai diarak seolah-olah
terjadi perang. Selain itu penari baris mengelilingi jempana denganmengejar dan menabrak
setiap jempana dari satu ke yang lain.Bentuk jempanaseperti melilit jadi satu seperti telah
terjadi peperangan, perang jempana diPaksebali inilah yang disebut dengan Dewa
Mesraman. Konon 1 jempanayang tidak diikutsertakan itu merupakan simbol dari Ida
Bhatara Ratu Lingsir.
Setelah itu jempana akan dibawa keliling pura dengan searah jarum jam dan lalu
diusung menuju wilayah utama pura (pesucian atau jeroan) dan setelah itu keenam jempana
tersebut akan distanakan di tempatnya masing- masing. Setelah rangkaian kegiatan Tradisi
Dewa Mesraman selesai akandiadakan persembahyangan kembali.
Dilaksanakannya tradisi Dewa Masraman sebagai wujud bakti umatnya kepada
para leluhur agar senantiasa disertai dan diberikan keselamatan melalui serentetan upacara
yang dilaksanakan dalam prosesi Dewa Masraman.

TRADISI PERANG KETUPAT


Tradisi perang ketupat adalah Salah satu tradisi yang terletak di desa adat Kapal,
Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung – Bali. Prosesi unikPerang Ketupat ini digelar
setiap satu tahun sekali bertepatan dengan PurnamaKapat Tradisi dalam Aci Rah
Pengangon ini merupakan salah satu cara bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widi atas
segala berkah yang telah diberikan dan wujud dari rasa syukur tersebut melalui upacara
Perang Ketupat.
Prosesi Perang Ketupat diawali dengan melakukan persembahyangan di Pura
Setempat dipimpin oleh seorang Pemangku, berdoa bersama agar
prosesi tersebut berjalan lancar dan selalu diberikan keselamatan dan kesejahteraan bagi
warga setempat. Setelah persembahyangan usai, warga membagi diri dalam dua kelompok
terpisah dan saling berhadapan, mereka membawa amunisi berupa ketupat dan kue bantal
yang siap digunakan untuk menyerang lawan. Ketupat-ketupat dan kue bantal tersebut
berasal dari warga yang sudah dikumpulkan sebelumnya dan diupacarai terlebih dahulu.
Perang ketupat ini hanya melibatkan para laki-laki, mereka berbusana pakaian adat
tradisional Bali dengan bertelanjang dada, begitu ada aba-aba untuk memulai perang, saling
lempar dan serang dengan ketupat terjadi dalamareal pura. Kemudian Perang Ketupat
merembet ke luar pura sampai ke jalan raya, mengambil areal yang lebih leluasa,
merekapun membagi diri atau membentuk 2 kelompok,saling serang dengan ketupat yang
ada digenggaman,seperti perang sungguhan.
Pada saat prosesi berlangsung, semua di depan mata adalah musuh yang wajib
diserang dengan amunisi ketupat, tidak ada aturan tertentu, semua bebas menyerang kubu
lawan, bahkan bisa mengenai penonton.Ratusan bahkan ribuan ketupat melayang di udara
untuk menemukan sasarannya, walaupun dalam suasana perang mereka terlihat begitu
gembira dan suka cita, pada akhir perang tidak ada merasakan dendam karena terkena
amunisi lawan.Setelah prosesi selesai mereka akhirnya saling berpelukan, menandakan
tidak ada lagi permusuhan.
Tradisi Perang Ketupat di bertujuan juga untuk memohon keselamatandan
kesejahteraan bagi alam dan umat manusia, sehingga tradisi Perang Ketupat ini dianggap
sebagai simbol kesejahteraan dan kemakmuran manusia.

TRADISI MEKOTEK
Tradisi Mekotek salah satu tradisi tolak bala dari Desa Munggu, Kecamatan Mengwi,
Kabupaten Badung, Bali, Indonesia. Upacara Mekotek dilaksanakan dengan tujuan
memohon keselamatan. Upacara Mekotek juga dikenal dengan istilah ngerebek. Mekotek
merupakan warisan leluhur yang dilaksanakan turun temurun hingga saat ini oleh umat
Hindudi Bali.Tradisi Mekotek dilaksanakan setiap 6 bulan sekali atau 210 hari
(berdasarkan kalender Hindu) pada Sabtu Kliwon. Upacara ini dilakukan tepat pada Hari
Raya Kuningan atau setelah selesai Hari Raya Galungan.
Pada zaman dahulu, tradisi Mekotek dilaksanakan dengan menggunakan besi untuk
membakar semangat juang ke medan perang atau dari medan perang. Ternyata, banyak
peserta yang terluka, maka tombak dari besi yang biasa digunakan dalam upacara Mekotek
diganti dengan tongkat dari kayu pulet yang sudah dikupas kulitnya. Ukurannya berkisar 2
- 3,5 meter.
Selama pelaksanan upacara, peserta wajib mengenakan pakaian adat madya, yaitu
kancut dan udeng batik. Peserta berkumpul di Pura Dalem Munggu untuk melaksanakan
persembahyangan serta ucapan terima kasihatas hasil perkebunan. Selesai sembahyang,
peserta akan melakukan pawai menuju sumber air di kampung Munggu. Pawai diikuti oleh
2.000 peserta. Mereka merupakan panduduk Munggu yang terdiri dari 15 banjar yang
berusia 12 sampai 60 tahun.
Pada saat pawai, para peserta dibagi menjadi beberapa kelompok,setiap kelompok
terdiri dari 50 orang. Di setiap pertigaan yang dilewati,masing-masing kelompok akan
membuat bentuk segi tiga denganmenggabungkan kayu-kayu membentukkerucut. Lalu,
mereka akan berputar dan berjingkrak dengan iringan gamelan.

Sesorang yang mempunyai nyali sekaligus memiliki kaul akan mendaki ke puncak
kerucut. Ia melakukan atraksi berupa mengangkat tongkat atau berdiri dengan
mengepalkan tangan. Ia juga berteriak sambil memberikankomando menabrakkan pada
kelompok lain yang tengah mendirikan tumpukkan kayu. Sampai di sumber air, semua
perangkat upacara yang dibawa dari Pura Dalem diberi tirta suci untuk dibersihkan.
Pulangnya, peserta kembali melakukan pawai ke Pura Dalem untuk menyimpan semua
perkakas yang digunakan untuk berkeliling tadi.
Tradisi Mekotek merupakan simbol kemenangan, selain itu upacara inijuga sebagai
upaya untuk menolak bala yang pernah menimpa desa puluhan tahun yang lalu

TRADISI MESURYAK
Tradisi Mesuryak merupakan sebuah tradisi unik yang masihberlangsung
hingga sekarang secara turun temurun. Tepatnya di DusunBongan Gede, Desa Bongan,
Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan, Bali.Penyelenggaraan upacara adat ini
bertepatan pada Hari Raya Kuningan (10 hari setelah Galungan) setiap 6 bulan sekali.
Pelaksanaanupacara dilakukan pada pukul 09.00 hingga 12.00 WITA. Upacara tidak boleh
dilakukan setelah pukul 12.00 WITA. Karena diyakini setelah pukul 12.00
WITA, para leluhur telah kembali ke surga.
Prosesi yang dilakukan sejak nenek moyang ini akan diikuti oleh anak-anak, orang
dewasa, sampai orang tua, laki-laki dan perempuan bercampur baur. Tradisi akan diawali
dengan ibadah di rumah masing-masing, kemudian dilanjutkan ke Pura Meraja (pura
keluarga besar) dan Pura Khayangan Tiga. Sembahyang dilakukan untuk keselamatan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa dan para leluhur yang ada di rumah sejak Galungan hingga
Kuningan. Rangkaian sesaji untuk perjalanan ke Swarga Loka telah disiapkan di depan
pintu gerbang rumah masing-masing.
Sesaji yang disebut juga dengan banten pengadegan terdiri dari nasi, telur, dan pis
bolong atau uang kepeng. Jumlah uang kepeng untuk bekal para leluhur sesuai dengan
kemampuan masing-masing keluarga. Kemudian, sesepuh Hindu atau pendeta akan
melantunkan pujian dan menutup dengan mesuryak. Anggota keluarga yang melaksanakan
tradisi mesuryak harus melemparkan uang ke atas kepala. Setelah uang jatuh ke bawah
akan diperebutkan masyarakat Desa Bongan yang ikut hadir dan menyaksikan tradisi ini.
Dalam suasana suka cita, mereka akan saling berdesakan untuk memperebutkan
uang sambil berteriak (mesuryak). Kondisi tersebut memunculkan keakraban antar warga.
Pada masa lalu, tradisi ini menggunakan uang kepeng. Namun seiring perkembangan
zaman, uang kepeng diganti dengan uang logam dan kertas. Tradisi ini dilakukan di depan
rumah penyelenggaran.
Makna dan tujuan tradisi adalah rasa bahagia. Lalu bersuka cita memberikan bekal
pada leluhur agar kembali ke alam surga dengan damai dantenang. Makna Tradisi
Mesuryak secara Niskala ialah memberikan bekal kepada leluhur. Bekal merupakan
persembahan atau sesajen.

TRADISI SIAT SAMPIAN


Siat Sampian adalah tradisi unik yang rutin digelar di Pura Samuan Tiga, desa
Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Tradisi inipun digelar setiap setahun
sekali yaitu bertepatan dengan Purnama Jiyestha, bulan 11 kalender Bali atau sekitar bulan
Mei pada kalender masehi bertepatan dengan bulan penuh (purnama). Pura Samuan Tiga
ini sendiri adalah pura peninggalan masa lampau yang merupakan tempat atau tonggak
sejarah bersatunya sekte-sekte yang ada di Bali masa silam.
Pura Samuan Tiga dibangun pada zaman Kerajaan Udayana pada abadX Masehi
silam, sekte yang memiliki keyakinan dan pemahaman berbeda tersebut rentan terjadi
gesekan dan akhirnya saat rapat (pesamuan) disepakati dewa Tri Murthi sebagai
pemujaannya dan dibangunlah Pura Kahyangan Tigapada setiap desa Pakraman.
Tradisi siat sampian tersebut memiliki hubungan erat dengan sejarah penyatuan
sekte yang ada di Bali tersebut.

Tradisi perang atau siat sampian tersebut digelar saat rangkaian upacara pujawali atau
piodalan di Pura Samuan Tiga di Bedulu dan berlokasi di areal Jaba Tengah pura. Perang
atau siat dalam tradisi tersebut menggunakan rangkaian janur atau sampian yang biasanya
sebagai perlengkapan banten (sesajen) dan sekarang digunakan untuk senjata. Dalam
prosesi tersebut dilakukan oleh pengayah (peserta) perempuan ataupun laki- laki. Peserta
tersebut dipilih melalui prosesi atau ritual yang bernama mapekeling atau pawintenan, dari
sanalah diketahui siapa saja yang terpilih dan dipercaya oleh Ida Sesuhunan (Batara yang
berstana) di Pura Samuan Tiga sebagai pengayah.
Tidak sembarangan orang bisa terlibat dalam tradisi Siat Sampianwalaupun orang
itu masih termasuk penduduk dari Desa Bedulu, Gianyar. Jumlah pengayah atau peserta
Siat Sampian ini juga berbeda-beda, yang manajumlah pengayah laki-laki lebih banyak
bisa mencapai ratusan, sedangkan pengayah perempuan ditunjuk kurang lebih 35 orang
dari Desa Adat Bedulu, yang mana peserta yang sudah ditunjuk harus dengan iklas dan
senang hati menjalankan perintah dari Ida Bhatara.

Anda mungkin juga menyukai