Anda di halaman 1dari 4

Gelar Larung Sesaji hingga Doa 

Bersama
Jalan Spiritual Warga Jawa Tengah Tolak Bencana  Seperti digerakkan
kekuatan spiritual, warga Jawa Tengah cancut taliwanda (saling bahu
membahu) membuat sejumlah ritual dan tradisi yang hakikatnya memohon
keselamatan pada Tuhan Semesta Alam. Berikut hasil rangkuman posmo dari
sejumlah ritual tolak bala ini. BENCANA yang datang bertubi-tubi menerpa
nusantara sungguh sangat menyedihkan. Berbagai komentar pun datang dari
berbagai kalangan. Ada yang mengatakan bahwa bencana datang karena sudah
banyak kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia, sehingga karma Tuhan
datang menghukumnya. Ada juga yang berpendapat bahwa bencana dikarenakan
ulah tangan manusia yang tidak pandai menjaga alam. Di sisi lain, ada juga
yang berpendapat karena lunturnya budaya-budaya yang telah lama dilakukan
oleh nenek moyang sebagai bentuk tolenrasi bangsa manusia dengan bangsa
jin, seperti larung saji. Untuk itu, jalan yang dapat ditempuh adalah
memperbaiki ihwal perbuatan manusia baik itu antarsesama, hubungan dengan
Tuhan, alam maupun dengan makhluk halus. Menyadari perlunya hubungan baik
antara bangsa manusia dan bangsa jin, kemarin Senin (31/7) malam atau
Selasa Kliwon ribuan orang mengikuti upacara Ritual Larung Sesaji Besar di
Pantai Parangkusumo, Kretek, Bantul. Tak hanya warga setempat yang datang,
bahkan ada juga mereka yang dari Bali dan Sumatra.Upacara ritual Larung
Saji Besar itu diselenggarakan oleh Keluarga Besar Sanggar Supranatural
Songgo Buwono. Dalam ritual tersebut, dipimpin langsung oleh Lia Hermin
Putri sebagai pengasuh Sanggar Supranatural Songgo Buwono. Dalam ritual
ini, tujuan utama yang hendak dicapai adalah sebagai usaha menolak balak
dan mencegah segala musibah bencana yang sedang terjadi. Tiga Pusat
MistisRitual Larung Saji Besar baru dimulai pukul 21.00 WIB. Meski
demikian, sejak pukul 19.00 WIB para tamu undangan serta anggota keluarga
besar Sanggar Supranatural Songgo Buwono sudah berdatangan. Bahkan, Ida
Idham Samawi, istri Bupati Bantul juga terlihat dalam acara tersebut.
Makna dari Ritual Larung Saji adalah menyelaraskan hubungan baik antara
manusia dengan bangsa halus. Karena itu diwujudkan sesajian berupa 21
tumpeng, kambing kendit, merpati putih, angsa putih, bebek putih, ayam
putih, dan jajan pasar. Dari 21 tumpeng itu, setiap 7 tumpeng dilarung ke
Gunung Merapi, Lawu, dan Parangkusumo. Ketujuh tumpeng itu adalah Tumpeng
Kendit, Tumpeng Agung, Tumpeng Kencana, Tumpeng Slamet, Tumpeng Tulak,
Tumpeng Robyong, dan Tumpeng Songgo Buwono. Selaku sesepuh, Lia Hermin
Putri memaparkan, bahwa bumi Ngayogyakarta Hadiningrat didanyangi 3
kekuatan mistis yang bersumber pada tiga dimensi yang tidak bisa
ditinggalkan. Yakni, Gunung Merapi, Lawu, dan Pantai Selatan. ”Ketiga
kekuatan ini, tidak boleh kita lupakan, ”Kami sebagai orang Jawa tidak
bisa meninggalkan tradisi. Melalui kegiatan ini, kami berharap masyarakat
kita bisa dijauhkan dari segala musibah,” paparnya. Prosesi ritual Larung
Saji Besar itu dimulai dengan pembacaan mantra dan surat Yasin. Kemudia,
Ubo rampe dilarung ke tempat yang telah ditentukan. Tepat pukul 00.00 WIB
semua sesaji mulai dari jajanan pasar, kembang setaman, tumpeng, ayam,
angsa serta burung merpati dibawa ke Puri Cempeti dan selanjutnya dilarung
ke pantai selatan. Upacara larung sesaji ini mendapat sambutan ribuan
pengunjung Pantai Parangkusumo. Lain di Yogya, masyarakat Bantul juga
menggelar upacara Wiwitan, Wiwitan merupakan tradisi Jawa yang sudah
dilakukan sejak nenek moyang. Dulunya, tradisi ini sebagai bentuk
manifestasi permohonan keselamatan dan izin kepada Tuhan untuk memulai
panen. Tradisi yang kadang disebut pula mboyong Dewi Sri (Sri Mulih) itu
diwujudkan dengan sedekah sawah atau membagi-bagikan makanan (nasi wiwit)
kepada masyarakat sekitar persawahan.Mboyong Dewi Sri (padi) dalam tradisi
wiwitan ini melambangkan kesuburan. Masyarakat petani meyakini, hasil
panen semakin melimpah dan selama proses panen akan sukses serta mendapat
perlindungan dari Tuhan.“Tradisi ini merupakan langkah nyata dalam
membangkitkan aktivitas budaya tradisi pascagempa. Termasuk tradisi petani
yang sudah lama tidak digelar,” papar Sekretaris Masyarakat Tradisi Bantul
(MTB) Noor Janis Lingga Barana.Upacara wiwitan dimulai dengan tradisi
naleni pari (mengikat padi) di empat pojok sawah oleh kaum dusun setempat.
Lantas, semua ubo rampe wiwitan berupa nasi liwet, ingkung ayam, sambel
gepeng, jajanan pasar, dan aneka macam buah diletakkan di pinggir sawah
untuk diadakan doa. Usai didoakan, kemudian dilakukan penyiraman tanaman
dengan air kendi dan memetik padi. Padi itulah yang nanti disimpan petani
untuk dipilih sebagai bibit untuk masa tanam mendatang. Sedang nasi dan
uba rampe wiwitan dibagi-bagikan kepada anak-anak dan nasi yang lain
dimakan bersama lewat kenduri wiwitan.  Tolak BalakDi Semarang, upacara
meminta peerlindungan keselamatan dan dijauhkan dari balak juga digelar di
Kelenteng Kwan Sing Bio di Jalan Tanggul Mas Raya 4-10, Kecamatan Semarang
Utara. Ritual ini juga bertujuan untuk tolak bala Kota Semarang..Upacara
diawali dengan pembacaan doa untuk korban tsunami di Pangandaran dan para
leluhur agar arwah mereka diterima dan ditempatkan di tempat yang layak.
Upacara itu dilakukan di halaman kelenteng. Dalam pelaksanaan doa,
dilakukan pembakaran hio swa oleh para umat kelenteng yang dipandu Biksu
Sukarman dari Palembang. Menurutnya, , selain mendoakan arwah korban
bencana di Pangandaran, ritual juga bertujuan supaya arwah mereka tidak
bergentayangan dan bisa masuk ke alamnya sendiri. Sisi lainnya supaya
negara tercinta ini terhindar dari musibah.

Ritual yang sama juga dilakukan warga Banyumas dengan mengelar doa bersama di Pendapa Sipanji Pemkab

Banyumas, Selasa (1/8) malam. Sembilan kiai dari ponpes besar di Banyumas turut hadis dalam acara

tersebut, mereka adalah KH Mohammad Hidayat, KH Syaiful Anwal, dan KH Imam Muhazir, semuanya berasal

dari Kecamatan Sokaraja. KH Atabiq Al Husni, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cabang Banyumas KH

Mizbahuzur LC dari Sirau Kemranjen, KH Zaenur Rohaman dari Pasirraja, Bantarsoka, KH Achmad Sobri dari

Jatilawang, serta KH Abu Hamid dari Beji, Kecamatan Kedungbanteng. Acara inti berupa doa bersama antar

umat beragama. Acara yang diprakarsai Bagian Kesejahteraan Rakyat Setda itu dimulai pukul 21.00 hingga

22.30. Para kiai secara bergantian memimpin doa. Doa diawali dengan membaca Surat Al Fatihah sebanyak

tujuh kali yang dipimpin KH Mohammad Hidayah.


Kabupaten Nias adalah salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang terletak di pulau
Nias. Dengan Ibukota Gunungsitoli. Kabupaten Nias memiliki andalan pariwisata tersendiri
selain Rumah adat dan Tari perang yaitu Tradisi Lompat Batu atau Fahombo yaitu tradisi yang
dilakukan oleh seorang pria yang mengenakan pakaian adat setempat Nias dan meloncati
susunan batu yang disusun setinggi lebih dari 2 (dua) meter.

Konon ajang tersebut diciptakan sebagai ajang menguji fisik dan mental para remaja pria
di Nias menjelang usia dewasa. Setiap lelaki dewasa yang ikut perang wajib lulus ritual lompat
batu. Batu yang harus dilompati berupa bangunan mirip tugu piramida dengan permukaan bagian
atas datar. Tingginya tak kurang 2 (dua) meter dengan lebar 90 centimeter (cm) dan panjang 60
cm. Para pelompat tidak hanya sekedar harus melintasi tumpukan batu tersebut, tapi ia juga harus
memiliki tekhnik seperti saat mendarat, karena jika dia mendarat dengan posisi yang salah dapat
menyebabkan cedera otot atau patah tulang.

Selain sebagai penguji fisik dan mental bagi pemuda yang berhak mengikuti perang,
Tradisi Fahombo ini juga dinilai sebagai syarat bagi mereka yang siap menikah, karena bagi
mereka yang tidak berhasil melompati batu tersebut dianggap belum pantas untuk meminang
seorang gadis. Begitu terkenalnya tradisi lompat batu ini membuat tradisi ini pernah diabadikan
pada pecahan uang seribu rupiah pada awal tahun 1990-an dengan gambar seorang pria Nias
yang sedang melompati tugu batu.

Anda mungkin juga menyukai