1. Tradisi yang berkembang di daerah sekitar, serta perubahannya saat ini
Tradisi Cembengan di Karanganyar
Grebeg Giling merupakan upacara tradisi sebelum dimulainya Giling tebu.
Grebeg Giling yang lebih dikenal di daerah dengan sebutan Cembengan bisa dikatakan sebagai pesta rakyat dengan penyelenggaranya adalah Pabrik Gula. “Cembengan” PG Tasimadu Berbeda dengan PG Semboro Jember Jawa Timur dan PG Jatibarang, Brebes, Jawa Tengah. PG Tasikmadu, Karanganyar Jawa Tengah, menyebut prosesi awal “pesta kebun tebu” ini dengan istilah Cembengan. Upacara Cembengan semula hanya merupakan upacara ritual yang dilakukan oleh para pekerja di dalam PG untuk meminta keselamatan dan hasil produksi yang baik. Namun perkembanganya telah berubah menjadi pesta rakyat bagi masyarakat sekitar pabrik. Keramaian selama perayaan Cembengan menyerupai pasar malam yang berlangsung antara satu hingga dua pekan. Puluhan pedagang mainan, pakaian, dan makanan menggelar dagangannya, baik di sekitar pabrik hingga ke halaman dalam pabrik. Berbagai jajan tradisional seperti es dawet, berondong jagung, arum manis, komedi putar, hingga pentas dangdut membuat Cembengan selalu menimbulkan kemeriahan yang melegakan. Pada hari-hari seperti ini, citra pabrik yang biasanya angker untuk sementara tersingkir. Antara karyawan dan warga masyarakat sesaat membaur. Sayangnya, upacara Cembengan dan segenap nilai budaya lama yang mendukung keberadaan industri PG di Jawa itu kini telah mulai memudar seiring kemajuan jaman di satu sisi, dan mulai hilangnya kepercayaan terhadap satu sub sektor perekonomian yang lebih dari satu abad dianggap menjadi sumber penghidupan oleh sekian banyak orang. Ritual Cembengan sebenarnya merupakan adopsi dari tradisi Cina, Cing Bing. Yaitu tradisi ziarah ke makam leluhur menjelang suatu karya besar. Masyarakat keturunan Cina yang bermukim di pantura (pantai utara) Jawa yang mengenal teknologi pembuatan gula tebu ini pada masa lalu selalu melakukan upacara Cing Bing sebelum memproduksi gula. Ritual Cembengan di PG Tasikmadu juga didahului ziarah ke makam-makam pendiri Praja Mangkunegaran di tujuh lokasi. Upacara Grebeg Giling puncaknya dilaksanakan pada hari Jum;at Wage (kalender jawa) Diawali dengan penebangan dua batang tebu temanten (pengantin) yang akan dijadikan tebu pertama pada saat giling perdana esok harinya. Petangnya dilanjutkan dengan ritual untuk meletakkan sesaji di lokasi mesin-mesin produksi yang dianggap vital. Sesaji itu diletakkan di dalam jodang-jodang yang dihias dengan kertas. Isinya jenang, gecok bakar, telur asin, kinangan, tumpeng, ketupat, dan sebagainya. Dalam ritual itu, sembilan ekor kerbau dipotong dan kepalanya ditaruh di bagian-bagian mesin yang dianggap vital. Upacara yang disertai doa memohon keselamatan biasanya dipimpin langsung Administratur PG. Rangkaian upacara ritual itu dilakukan dengan khidmat, serta melibatkan kalangan santri yang membawakan doa keselamatan. Esok harinya, mengawali giling perdana, dilakukan prosesi bagi tebu temanten berikut tebu pengiring. Ada perlakuan khusus bagi tebu-tebu tersebut. Selain batang tebunya dipilih yang paling baik dan memiliki rendemen tinggi, tebu temanten didandani layaknya pengantin dan mengenakan topeng Dewi Sri dan Dewa Sadana yang melambangkan kepercayaan masyarakat agraris. PG Tasikmadu sekitar 15 kilometer arah timur Kota Solo, adalah PG kedua setelah PG Colomadu (1860), yang dibangun oleh pribumi yakni KGPAA Mangkoenagoro (MN) IV pada 11 Juni 1871. MN IV adalah seorang Adipati dari Pura Mangkunegaran yang terkenal sebagai pujangga, sekaligus cendekiawan yang memiliki pandangan jauh ke depan. PG Colomadu (ditutup tahun 1997) dan PG Tasikmadu merupakan monumen hasil karya MN IV yang merefleksikan kecendekiawanan MN IV yang mumpuni (unggul) pada jamannya. Itu menunjukkan bahwa ia seorang ilmuwan yang menguasai berbagai masalah secara komprehensif. Pembangunan PG ini, MN IV memiliki perhitungan yang amat matang. Hal itu terlihat dari posisi Waduk Delingan dekat PG Tasikmadu, dan Waduk Cengklik untuk kebutuhan PG Colomadu sengaja dibangun sebagai sumber air yang memberi pengairan kepada area tanaman tebu kedua PG, sehingga memberi dukungan bagi PG. MN IV pun amat memperhatikan pelestarian hutan di sekitar waduk. Di samping untuk mencegah erosi, juga terjadi resapan air. Selain itu, ia membuat jaringan irigasi pengairan, bendung-bendung sungai, jalan untuk transportasi, serta jaringan rel kereta lori pengangkut tebu. Dengan membuat jalur-jalur transportasi itu, selain untuk kepentingan pengangkutan hasil produk, jaringan transportasi juga sampai ke pelosok desa, sehingga PG menjadi sentra kegiatan ekonomi pada waktu itu. PG Tasikmadu merupakan aset ekonomi dan aset budaya yang tak ternilai. Makna Filosofis Cembengan Sekilas pesta Cembegan hanya merupakan bentuk perayaan. Namun apabila kita cermati, sebenarnya mengandung filosofi yang mendalam dan keberadaanya telah mendarah daging di masyarakat. Pertama, merupakan manifestasi rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, apa pun varian cara yang dilakukan, menurut keyakinan masing-masing. Rasa syukur perlu dikedepankan mengingat kerja kerasnya telah dikaruniai keberhasilan dan sebentar lagi akan melakukan panen. Oleh karena itu, agar mencapai finishing touch (proses akhir) berupa giling tebu dan hasilnya bisa diuangkan secara maksimal, maka dilakukanlah doa agar berjalan dengan sukses. Kedua, merupakan ilustrasi terkabulnya harapandan penantian panjang selama setahun bekerja keras. Cembegan merupakan kristalisasi keceriaan bahwa kerja kerasnya sudah hampir bisa dinikmati. Cembegan juga merupakan obat penawar atas keluh kesah petani yang selama proses penanaman dan perawatan mengalami kesulitan modal, pupuk, dan bibit serta ancaman hama. Semua keluh kesah itu terhapus oleh munculnya harapan baru. Ketiga, merupakan bentuk keberlangsungan roda kehidupan, karena hasil panen itu telah dinantikan untuk melangsungkan hidupnya, membiayai anak-anak dan keluarganya, merupakan pintu untuk meraih cita-cita dalam hidupnya. Sebuah kebanggaan bisa membahagiakan keluarga. Maka pesta kebun tebu merupakan terwujudnya “janji” keluarga yang telah dinantikan selama setahun. Keempat, pesta kebun tebu merupakan tanda bergeraknya roda ekonomi masyarakat. Hidup menjadi dinamis dan berdampak pada banyak sektor ekonomi rakyat. Pedagang, usaha angkutan, petani, dan karyawan PG beserta keluarganya. 2. Tradisi Cembengan dalam arus Globalisasi dan Modernisasi Tradisi ini dapat bertahan di tengah arus Globalisasi dan Modernisasi karena memang upacara ini telah diwajibkan setiap tahunnya bagi pegawai Pabrik Gula Tasikmadu, Karanganyar. Tradisi Cembengan yang telah berlangsung sekian lama ini digelar sebagai pertanda dimulainya musim giling tebu. Cembengan di pabrik gula Tasikmadu, Sondokoro, Karanganyar, rutin digelar untuk mengawali musim giling tebu setiap tahunnya, yang biasa jatuh di bulan April atau Mei. Slametan cembengan yang semula merupakan upacara ritual yang dilakukan oleh para pekerja dipabrik gula untuk meminta keselamatan dan hasil yang baik telah berubah menjadi pesta rakyat sekitar pabrik Tradisi tersebut dilakukan secara turun temurun yang diyakini dapat menghindarkan manusia dari pengaruh buruk yang merupakan akulturasi tradisi Cina. Selain itu pula kini keramaian selama perayaan Cembengan menyerupai pasar malam yang berlangsung antara satu hingga dua pekan dan dimeriahkan pula oleh Puluhan pedagang mainan, pakaian, dan makanan menggelar dagangannya, baik di sekitar pabrik hingga ke halaman dalam pabrik. Berbagai jajan tradisional seperti es dawet, berondong jagung, arum manis, komedi putar, hingga pentas dangdut membuat Cembengan selalu menimbulkan kemeriahan yang melegakan. Pada hari-hari seperti ini, citra pabrik yang biasanya angker untuk sementara tersingkir. Antara karyawan dan warga masyarakat sesaat membaur. Sayangnya, upacara Cembengan dan segenap nilai budaya lama yang mendukung keberadaan industri PG di Jawa itu kini telah mulai memudar seiring kemajuan jaman di satu sisi, dan mulai hilangnya kepercayaan terhadap satu sub sektor perekonomian yang lebih dari satu abad dianggap menjadi sumber penghidupan oleh sekian banyak orang. Menurut saya pribadi, kini Upacara Mantenan Tebu pada Cembengan tidak begitu mengalami peubahan yang dan masih menjaga nilai luhur warisan nenek moyang, meskipun hanya minoritas mayarakat yang percya akan hal ini. Masih ada suatu kepercayaan dalam diri masyarakat Jawa bahwa suatu tatanan leluhur, akan membawa masyarakat tersebut kepada kebaikan dan apabila dilanggar atau ditinggalkan akan membawa suatu mala petaka. Upacara Cembengan ini menjadi sarana selamatan sebelum memulai musim giling tebu, yang dipercayai akan menjauhkan malapetaka selama musim giling tebu berlangsung. Penggunaan berbegai sesaji dapat melambangkan beberapa hal, seperti sebagai bentuk rasa syukur, sebagai sarana penolak bala dan sebagai perwujudan do’a kepada leluhur. Pengunaan sesaji tersendiri merupakan suatu penerminan bentuk percampuaran budaya, yang terasa teramat kental adalah budaya Jawa dengan budaya Hindu. Upacara itu masih bisa tetap terus dilesatarikan selama masih ada orang yang percaya akan nilai-nilai religi di dalamnya. Jika sudah tidak ada mungkin ke depannya upacara ini hanya digunakan sebagai hiburan semata. Namun menurut saya tidak menjadi masalah, asal kebudayaan tetap bisa dilestarikan dan tidak hilang. Penambahan acara lain dalam tradisi cembengan seperti dangdutan, perayaan pasar malam merupakan salah satu upaya yang dilakukan masyarakat sekitar agar upaca cembengan itu tetap bisa lestari seiring berkembangnya zaman, di tengah arus Globalisasi dan Modernisasi.