Anda di halaman 1dari 89

ETNIS TIONGHOA PADA MASA ORDE BARU :

STUDI ATAS TRAGEDI KEMANUSIAAN ETNIS TIONGHOA


DI JAKARTA (1998)

Skripsi Diajukan Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Sejarah dan Peradaban Islam
(S.Hum)

Disusun Oleh :

Budi Permana
NIM : 1111022000040

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M / 1439 H
ABSTRAK
“ETNIS TIONGOA PADA MASA ORDE BARU : STUDI ATAS TRAGEDI
KEMNUSIAAN ETNIS TIONGOA DI JAKARTA (1998) “

Etnis Tionghoa merupakan salah satu etnis yang terdapat di Indonesa.


Orang-orang Tionghoa pada Abad ke-15 hingga permulaan Abad 20 sudah
berimigrasi ke Indonesia secara bergelombang melalui kegiatan perniagaan. Peran
etnis Tionghoa beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia. Namun dalam
rentang tahun tersebut seringkali keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia tidak
sepenuhnya diterima oleh masyarakat Indonesia Dalam hal ini berbagai tindakan
diskriminasi terhadap etnis Tionghoa kerap kali terjadi. Salah satunya pada
peristiwa kerusuhan Mei 1998 di Jakarta yang menjadi runtutan peristiwa
kemanusiaan terhadap etnis Tionghoa.

Mencermati permasalahan di atas, penulis akan mengkaji mengenai etnis


Tionghoa dengan Judul “Etnis Tionghoa pada masa orde baru :studi atas tragedi
kemanusiaan etnis Tionghoa di Jakarta ( 1998”). Skripsi ini berupaya
menjelaskan kondisi ekonomi,politik, dan sosial etnis Tionghoa pada masa Orde
Baru di Jakarta. Selain itu menjelaskan kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap
etnis Tionghoa, termasuk langkah-langkah pemerintah dalam upaya menghadapi
problematika etnis Tionghoa di Jakarta pada Mei 1998.

Kerusuhan Mei 1998, merupakan puncak dari krisis multidimensi di


Indonesia pada akhir masa pemerintahan Soeharto. Krisis ini bermula dari krisis
moneter yang melanda negara-negara yang berada di Asia Tenggara termasuk di
Indonesia, dimulai dengan turunya nilai tukar rupiah serta kondisi kehidupan
sosial masyarakat Indonesia. Hal ini di tandai dengan meningkatnya jumlah
pengangguran pada tahun 1998 yang mengakibatkan berbagai benturan sosial.

Penurunan tingkat daya beli, munculnya krisis sosial, politik, dan krisis
legitimasi atas pemerintahan Orde Baru, kemudian muncul sebagai reaksi utama.
Berbagai aksi demonstrasi mahasiswa mewarnai berbagai peristiwa di Jakarta.
Bahkan peristiwa ini banyak diisukan bahwa yang menjadi korban adalah etnis
Tionghoa. Sekalipun kehidupan etnis Tionghoa di Jakarta pasca kerusuhan Mei
1998 dapat dikatakan membaik, namun korban jiwa serta kerugian akibat
pengrusakan serta penjarahan yang dilakukan oleh massa sangat parah. Kehidupan
etnis Tionghoa lebih bebas dibandingkan pada masa pemerintahan Orde Baru.

Kata Kunci : Etnis Tionghoa, Teragedi Kemanusiaan, Orde Baru, Jakarta,


1998

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang serta atas rahmat dan karuniaNya, saya dapat menyelesaikan
penyususnan skripsi ini dengan Judul “Etnis Tionghoa Pada Masa Orde Baru :
Studi Atas Tragedi Kemanusiaan Etnis Tionghoa Di Jakarta (1998)“.
Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada seorang yang begitu berjasa di
bumi tercinta ini yaitu Nabi Muhammad saw, beserta para sahabatnya yang begitu
setia menemaninya sampai akhir hayatnya, yang telah memberi pencerahan
kepada kita selaku umatnya.
Penulis menemukan bahwa kasus terhadap etnis Tionghoa khususnya pada
kurun waktu 1998 bisa dikatakan sebagai kasus teragedi kemanusiaan. Hal ini
dilatar belakangi oleh adanya kasus-kasus seperti pembunuhan terhadap warga
dari etnis Tionghoa, sekaligus penjarahan atas harta kekayaan dan dagangan.
Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah
mendorong dan membimbing penulis, baik dalam tenaga, ide, maupun
pemikiranya. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menguncapkan
terimakasih sebesarbesarnya kepada :

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, Selaku Rektor Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora,
yang membantu kelancaran saya selama proses perkuliahan.
3. H. Nurhasan, M.A dan Sholikatus sadiyah M.Pd selaku ketua Program Studi
dan sekretaris Studi Sejarah dan Peadaban Islam.
4. Imas Emalia, M.Hum, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis dan tidak letih untuk
memberikan arahan kepada penulis.
5. Dr. Parlindungan Siregar, M.Ag, selaku Dosen penguji skripsi saya, yang
telah memberikan ilmu dan arahanya kepada saya

iii
6. Dr. Tarmiji Idris. M.A, selaku Dosen penguji saya, yang telah memberikan
ilmu dan arahanya kepada saya
7. Kepada para dosen tercinta, yang telah begitu banyak memberikan ilmu
8. Kepada pihak Administrasi Fakultas Adab dan Humaniora yang telah
membantu kelancaran saya selama perkuliahan
9. Kepada pihak perpusatakaan, khususnya Perpustakaan Universitas Islam
Negri Syarif Hidayatullah yang telah membantu saya dalam mencari sumber
terkait.
10. Drs. Eddy Sadeli,S.H, selaku pengurus pusat PSMTI (Paguyuban Sosial
marga Tionghoa dan Feri Kusuma selaku Kepala Divisi Impunitas KontraS (
komite untuk orang hilang dan tindakan kekerasan ) yang telah membantu
penulis dalam proses pencarian data dan wawancara.
11. Orang tua tercinta, yang menjadi pemantik semangat untuk terus berjuang dan
menyelesaikan tugas ini. Bapak Erom dan Ibu Tati, yang sampai hari ini
menjadi mutiara untuk penulis yang telah memberikan kasih sayang yang
begitu dalam, sungkem saya hatur kan dan mohon maaf atas kekurangan saya
atas bakti yang dipersembahkan.
12. Bella Lestari, selaku kekasih yang masih setia menemani saya sampai proses
pembuatan skripsi ini.
13. Organisasi Gerakan Pemuda Patriotik Indonesia Komesariat Kampus UIN
Jakarta yang menjadi sandaran saya untuk terus berjuang di garis massa dan
setia dalam perjuangan rakyat Indonesia. Serta ilmu yang diberikan di dalam
organisasi ini.

iv
14. Kawan-kawan “the bronx’s” yang setia untuk menjadi pendengar penulis dan
menjadi kawan lelah sehabis beraktivitas.
Kawan-kawan seperjuangan penulis dari Sejarah dan Peradaban Islam
Angkatan 2011, yang selalu memberikan dukungan kepada penulis.

Semoga segala kebaikan yang diberikan kepada saya mendapat


keberkahan di sisi Allah SWT, dan ilmu yang diberikan dapat terus berguna bagi
penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan demi perbaikan kedepanya.

Ciputat, 23 April 2018

Budi Permana
(1111022000040)

v
Daftar Isi

Lembar Pernyataan ..................................................................................... i


Abstrak ………..…........................................................................................ ii
Kata Pengantar …………………………….. ............................................. iii
Daftar Isi ……………………………………. ............................................. vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ….............................. 10
C. Metode Penelitian................................................................. 11
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ . 12
E. Sistematika Penulisan .......................................................... 12

BAB II SELAYANG PANDANG SEJARAH ETNIS TIONGHOA DI


INDONESIA HINGGA MASA ORDE BARU
A. Awal Kedatangan Etnis Tionghoa ke Nusantara ................. 13
B. Nasionalisme Etnis Tionghoa .............................................. 19
C. Munculnya Pergerakan Tionghoa ........................................ 25
1.Kondisi Etnis Tionghoa Awal Orde Baru ......................... 28
2.Kondisi Etnis Tionghoa Menjelang Akhir Orde Baru ...... 35

BAB III AKAR PERMASALAHAN TERAGEDI KEMANUSIAAN


ETNIS TIONGHOA
A. Teragedi Kemanusiaan atau Propaganda Etnis Tionghoa .. 37
B. Melemahnya Kebijakan terhadap Etnis Tionghoa ............... 44
C. Peran Pemerintah dalam Stabilitasi Etnis Tionghoa ............ 45

vi
BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAH ORDE BARU TERHADAP
ETNIS TIONGHOA
A. Kebijikan Orde Baru Dan Kewarganegaraan Etnis
Tionghoa : ............................................................................ 49
1. Kebijakan Politik.............................................................. 51
2.Kebijakan Sosial dan Budaya ........................................... 55
3. Kebijakan Ekonomi .......................................................... 58
4. Kebijakan Agama ............................................................. 60
B. Dampak Kebijakan Pemerintah Orde Baru .......................... 62

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 68
B. Kritik dan Saran .................................................................. 71

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 72


LAMPIRAN
A. Lampiran Intruksi Presiden mengenai Adat Istiadat dan Agama Tionghoa
B. Keputusan Presiden mengenai Sektor Ekonomi Tionghoa
C. Piagam Asimilasi
D.Keputusan Presiden mengenai Pembentukan Lembaga Pembinaan
Kesatuan Bangsa
E. Intruksi Presiden dalam Catatan Sipil untuk Masyarakat Tionghoa
F. Keputusan Presiden mengenai Penambahan Nama Keluarga Tionghoa
G. Foto-foto Kerusuhan Mei 1998

vii
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa Orde Baru (1965-1998), keberadaan etnis Tionghoa merupakan
masalah yang sangat kompleks. Bukan saja mengenai identitas kebangsaanya,
tetapi juga masalah politik, sosial, ekonomi, serta kebudayaanya.1pada awalnya
arus migrasi yang dilakukan sebagian etnis Tionghoa ke wilayah-wilayah Asia
Tenggara, termasuk Indonesia tidaklah lepas dari kondisi sosio-kultural negeri
Cina sendiri, kondisi dan situasilah yang menuntut sebagian etnis Tionghoa untuk
melakukan perpindahan ke wilayah yang mampu menjadikan hidup mereka lebih
baik.
Migrasi etnis Tionghoa terjadi secara besar-besaran setalah peristiwa
perang candu (1839-1842, dan pemberontakan Taiping (1851-1865), yang
mengakibatkan hancurnya perekonomian di Cina Selatan, hal itu menyebabkan
banyak etnis Tionghoa terpaksa meninggalkan kampung halamanya untuk
mendapatkan kehidupan yang lebih baik.2Bangsa Cina yang datang ke Indonesia
pada umumnya bekerja dalam bidang perdagangan.
Pada masa pemerintah kolonial Belanda di Indonesia, orang-oranng Cina
adalah mitra dagang bangsa Belanda sejak berdirinya perusahaan dagang Hindia
Timur Belanda (1692-1799) (VOC) dan keduanya tidak pernah kehilangan posisi
prantara tersebut.Walaupun begitu, bukan berarti bahwa hubungan keduanya
selalu mulus. Peristiwa, pembunuhan masal pertama terhadap orang-orang etnis
Tionghoa terjadi di Batavia ( sebutan untuk Jakarta pada masa Kolonial ) pada
tahun 1740, yang dilakukan oleh beberapa orang Belanda yang tinggal di kota.
Setelah peristiwa tersebut, Belanda memberlakukan kebijakan pemisah ras yang
resmi, etnis Tionghoa harus tinggal dipemukiman yang diperuntukan bagi ras
mereka, yang dapat ditemukan di semua kota, dan mereka diwajibkan mempunyai
surat ijin untuk melakukan perjalanan ke pemukiman yang dikota berbeda. VOC (
( Vereenignde Oostidische Compagnie) membagi penduduk di kepulauan
Indonesia menjadi tioga golongan untuk tujuan administrasi, yaitu : golongan

1
Leo Suryadinata, Dilema Minorotas Tionghoa, Jakarta:Temprint,1998,hlm.63
2
Ririn Darini,”Nasionalisme Etnis Tionghoa di Indonesia, 1900-1945,”
Jakarta:Mozaik,hlm.81
2

Eropa, golongan Timur Asing, dan golongan Bumi Putra. Sistem tersebutpun
seperti yang terjadi di Afrika Selatan yang dianggap sebagai embrio dari apa yang
dikenal sebagi sistem Apharteid3. Namun sebagai sikap pemerintah Belanda tetap
bermitra dan membantu etnis Tionghoa dalam hal ekonomi dibanding dengan
Pribumi.4
Pada abad ke-19 terjadi arus masuk dari sejumlah besar buruh migran etnis
Tionghoa ke Hindia Belanda untuk bekerja dipertambangan dan perkebunan-
perkebunan. Kelompok migran Tionghoa terbesar dimulai antara tahun 1860
sampai 1890, mereka terdiri dari berbagai suku bangsa yang berlainan. Kelompok
imigran Cina tersebut mempunyai kebudayaan dan adat istiadat bahkan bahasanya
sulit dimengerti oleh masing –masing suku, dari suku Hokkian, suku Teo Chiu,
suku Hakka ( kheh ), dan suku Shantung atau orang Kanton.5
Orang- orang Hokkian adalah masyarakat Cina yang pertama kali
bermukim di Nusantara dalam jumlah yang besar, dan mereka merupakan
golongan terbesar di antara para imigran lainya, mereka berdatangan ke Indonesia
sampai dengan abad ke-19. Mereka berasal dari Fukkien Selatan, adalah sebuah
daerah di negri Cina yang mempunyai sifat perdaganganya sangat kuat. Selain
Hokkian adalah sub etnis Teociu yang kebanyak mendiami daerah luar Jawa
seperti di Sumatera.Etnis Teociu ini berkumpul di sepanjang pantai Timur
Sumatera, kepulauan Riau, dan Kalimantan Barat terutama Pontianak.keahlian
mereka adalah bertani dan buruh perkebunan.Sementara etnis Hokkian, berasal
dari pedalaman Kwantung.Kebanyakan mereka berimigrasi karena desakan
ekonomi.Golongan Hakka bermukim di Kalimantan Barat dan mengerjakan
pertamambangan timah.Dalam perkembanganya etnis Hakka banyak berdagang di
Jakarta dan Jawa Barat setelah Priangan di buka bagi pedagang-pedagang
Tionghoa. Adapun etnis Kanton merupakan rombongan awal yang datangn ke
Nusantara, sama seperti etnis Hakka.Mereka Orang-orang Kanton juga terkenal
sebagi sebagi pekerja tambang.Kedatangan mereka juga membawa keterampilan

3
Aparteid adalah sistem pemisaan ras yang diterapkan oleh pemerintahan dengan tujuan
untuk melindungi ak-hak istimewa dari sar ras ata bangsa.
4
Suhandinata Justian,Wni Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik,
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,2009,hlm.10-11
5
Mulyadi hari, Runtunya Kekuasaan “Kraton Alit“ Studi Radikalisasi Sosial “Wong
Sala“ dan kerusuhan mei 1998 di Surakarta. Surakarta : LPTP,1999,hlm.19
3

yang kemudian sangat mempengaruhi perkembangan orang-orang Cina pada


perkembangan berikutnya.6
Setelah berakhirnya tanam paksa di masa pemerintahan Hindia Belanda
1830-1870, maka dimulailah suatu era baru yang dikenal dengan masa
liberalisme. Jaman ini adalah berfungsinya perekonomian dengan modal-modal
swasta.7Begitu juga peran orang Cina sebagai pemodal swasta saat itu sangat
besar. Pemerintah Belanda memberikan kekuasaan kepada orang-orang Cina
untuk berwirausaha sehingga banyak yang mendirikan usaha-usaha berbagai
bidang..Perusahaan Cina banyak memberikan pemasok hasil-hasil komoditi bagi
pemerintah Hindia Belanda, dan memainkan peran di pasaran Eropa.
Undang-undang Agraria tahun 1870 membuka pulau Jawa bagi investasi
asing dengan jaminan kebebasan dan keamanan.Akan tetapi masalah kepemilikan
tanah, tetap ada pada golongan pribumi, pihak swasta asing menyewa dari
pemerintah dan pribumi dengan jangka waktu yang lama, yaitu mencapai 75
tahun.8Masuknya pengusaha asing, menjadikan perdagangan di Jawa semakin
ramai.Munculnya perusahaan-perusahaan swasta mendorong perkembangan suatu
daerah, dengan peluang-peluang ekonomi yang dimunculkan.Dengan adanya
perusahaan dan perdagangan memberikan dampak sosial dan ekonomi yang
memungkinkan dalam memberikan lapangan pekerjaan baru bagi
masyarakat.Perkembangan perusahaan swasta juga menciptakan tumbuhnya
aktivitas ekonomi yang terkait dengan keperluan industri maupun pemenuhan
kebutuhan sehari-hari.
Perkembangan perdagangan yang cukup pesat membawa dampak besar
dalam kegiatan ekonomi masyarakat pada saat itu.Hal itu tampak dengan
dibangunya sarana-sarana yang memenuhi syarat sebagai tempat perkantoran,
toko-toko, dan bank-bank swasta. Kemajuan dalam perdagangan ini juga
dipengaruhi oleh sifat-sifat dasar orang Cina yang lebih mementingakan bidang
perdagangan dibanding perhatianya pada bidang lain. Orang Cina dikenal sebagai
suatu golongan yang ekonominya sangat teliti, cermat, dan tekun, sehingga setiap
sen yang diperoleh dimanfaaknya dengan sebaik-baiknya.

6
Mell G, Tan. Golongan Etnis Tiongoa di Indonesia ( Pembinaan Kesatuan Bangsa,
Jakarta : PT. Gramedia,1981,hlm. 6-7
7
Ibid,hlm.10.
8
MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern,Yogyakarata:UGM Pers,2008,hlm.190
4

Sekalipun Sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, orang-orang Cina


sebagai mitra dagang, namun politik “pecah belah” terhadap golongan antar etnis
tetap diterapkan. Sikap kebangsaan etnis Tionghoa saat itu semakin “dikebiri”
oleh pemerintah. Etnis Tionghoa sangat dibatasi untuk menunjukan sikap mereka
dalam memaknai kewarganegaraanya di Indonesia. Kebudayaan serta kebiaasaan
yang mereka miliki “terpangkas” dengan adanya aturan-aturan dan pembatasan-
pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah. Dimulailah juga di masa Orde Baru
stereotip9yang tumbuh dan berkembang dimasa itu, semakin melemahanya etnis
Tionghoa dalam menumbuhkan jiwa nasionalismenya yang kemudian berlebelkan
“minoritas”.
Sebelum masa Orde Baru, pemerintah Soekarno pernah membolehkan
etnis Tionghoa mengapresiasikan kebudayaan mereka dan menjalankan agama,
atau keyakinan mereka. Namun demikian pemisahaan tetap terjadi kerena dalam
kenyataanya tidak ada interaksi yang efektif antara etnis Tionghoa dengan etnis
lainya. Akibatnya beberapa konflik sempat terjadi. Masalah utama adalah
kesenjangan kemakmuraan antara etnis Tionghoa dengan Pribumi. Beberapa
tokoh nasionalis di bawah Mr. Asaat pernah memperkenalkan sebuah program
ekonomi yang disebut program banteng, yang intinya adalah ingin meningkatkan
partisipasi ekonomi masyarakat pribumi dalam ekonomi nasioanal.10Sistem ini
diberlakukan untuk melindungi para importer agar dapat bersaing dengan orang
asing yang masih melakukan sistem pedagangan di Indonesia. Tujuan dari sistem
banteng adalah agar terbentuk kelompok wiraswasta Indonesia yang mampu
menggerakan perekonomia.Program ini memberikan hak kepada pengusaha
pribumi untuk mendapatkan lisensi dan kredit impor. Sebenarnya pemerintah
Soekarno ingin meminimalisir kebijakan ekonomi politik, sebagai pemicu
pemisah sosial yang mengarah terhadap munculnya anti Tionghoa. Akan tetapi
target ini tidak tercapai dan hanya dimanfaatkan oleh sekelompok elit politik
untuk menumpuk kekayaan pribadi atau menghimpun dana-dana politik, bahkan
memelihara sebuah kerja sama Ali-Baba.” Dalam kerjasama seperti ini pihak
Indonesia asli yang tidak berpengalaman menjual izin dan lisensi kepada para

9
Stereotip adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap
kelompok dimana orang tersebut dapat dikatagorikan atau dapat juga berupa prasangaka positif
dan juga negative, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tidakan diskriminatif.
10
Justian Suhandinata, WNI Keturunan Cina dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik
Indonesia, Jakarta: Gramedia,2009,hlm.312.
5

pedaganag etnis Tionghoa. Dengan cara ini masyarakat Tionghoa tetap mampu
menjalankan usahanya serta mendapatkan keuntungan. Sementara mitra Indonesia
asli hampir tidak mendapatkan pengalaman bisnis yang diperlukan bagi
pengembang ekonomi sosial.11
Pemerintah Indonesia yang dibentuk setelah penyerahan kadaulatan pada
tahun 1950 pada dasarnya mewarisi kebijakan yang ditinggalkan oleh pemerintah
kolonial.Pemerintah membiarkan etnis Tionghoa terus aktif di bidang ekonomi
dan membatasi keberadaan mereka sebagai pejabat di bidang birokrasi. Namun
etnis Tionghoa diperbolehkan dalam bidang politik sehingga terdapat sebagian
orang Tionghoa yang menduduki jabatan sebagai menteri, contohnya Lie Kiat
Teng sebagi menteri kesehatan dan Oey Tjoe Tiat sebagai mentri pada kabinet
100 menteri pada tahun 1960
Pada masa demokrasi terpempin pemerintah juga mengeluarkan
peraturan yang dianggap diskriminatif di bidang ekonomi yaitu PP NO.10/1959
yang isinya melarang etnis Tionghoa berdagang di wilayah pedesaan yang
kemudian melahirkan insiden.Peraturan ini membatasi secara tegasperan dan hak
ekonomi orang Tionghoa.Mereka hanya diperbolehkan berdagang sampai tingkat
kabupaten dan tidak boleh berdagang di tingkat kecamatan apalagi di desa-
desa.Implikasinya, orang-orang di berbagai daerah dilarang dan dipaksa untuk
meninggalkan pemukimanya di pedesaan.dalam praktiknya pembedaan dengan
mereka yang peranakan tidak secara jelas diberlakukan. Selama tahun 1959-1960
kampanye pengusiran berlangsung dengan dukunag pihak TNI-AD ( Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat) sebanyak 136.000 orang Tionghoa
meninggalkan Indonesia, sementara 1000.000 oarang di antaranya pulang ke tanah
leluhur Cina.12
Kerusuhan anti Tionghoa pada tahun 1966 terjadi diberbagai daerah
terutama di Jawa Barat yaitu di Cirebon, Bandung, Sumedang, Bogor, Cipayung,
Tasikmalaya, Garut, dan Sukabumi.Selain itu kerusuhan juga terjadi di Solo,
Surabaya, Malang, dan Medan.Kerusuhan terjadi akibat kesenjangan
kemakmuran.Etnis Tionghoa terkena dampak imbas dari situasi poltik – ekonomi

11
Justian Suhandinata, WNI Keturunan Cina dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik
Indonesia, Jakarta: Gramedia,2009,hlm.315
12
J.A.C.Mackie.”Anti Chinese Outbreak In Indonesia 1959-1968”,dalam The Chinese in
Indonesia:Five Esays,Melborne:Thomas Nelson,1976,hlm.82-85
6

pada saat itu, yaitu inflasi yang melonjak tinggi, kelangkaan barang-barang
kebutuhan pokok, dan frustasi terhadap kebijakan ekonomi pemerintah
Soekarno.Rasa frustasi dengan mudah dapat diarahkan degan mencari target
kemarahan yang termanifestasikan dalam kerusuhan anti Tionghoa, dan ini adalah
bagian dari pertarungan yang memperebutkan kekuasaan politik antara kekuatan
kiri dengan kekuatan kanan.13
Melihat kenyataan tentang besarnya peran serta pengusaha etnis
Tionghoa dalam perekonomian Indonesia, terutama setelah kedatangan para
investor asing yang menanamkan modalnya dan bekerjasama dengan pengusaha
Tionghoa hingga lahirnya praktik percukongan14 yang menimbulkan KKN (
Korupsi Kolusi Nepotisme) ditubuh elit kekuasaan dan para pengusaha Tionghoa,
maka memunculkan kritik-kritik terhadap kebijakan pemerintah saat itu. Kritik-
kritik tersebut selanjutnya diwujudkan dengan aksi demonstrasi yang dilakukan
berbagai lapisan masyarakat, terutama kalangan mahasiswa.
Pada akhir 1973 situasi di kalangan mahasiswa memanas, karena
keresahan yang dialami oleh masyarakat atas perkembangan ekonomi yang
dilaksanakan pemerintah Orde Baru.Isu-isu korupsi, percukongan, modal asing,
serta peranan Jepang menjadi sorotan mereka.Mahasiswa menilai bahwa
pelaksanaan pembanguanan memberikan porsi terlampau besar kepada modal
asing.Aksi-aksi demonstrasi tersebut berkembang menjadi aksi rasialis anti
Tionghoa dengan merusak dan menjarah toko-toko etnis Tionghoa.15
Rangkaian demonstrasi ini akhirnya meledak dalam peristiwa kerusuhan
pada tanggal 15 Januari 1974 yang dikenal sebagai dengan peristiwa Malari
(Malapetaka Lima Belas Januari).Peristiwa itu ditandai degan pengrusakan toko-
toko milik etnis Tionghoa. Semenjak itu pemerintah Orde Baru mulai
menjalankan kebijakan ekonomi mengenai pembatasan dominasi etnis Tionghoa
dan juga pihak asing dalam aktivitas perekonomian di Indonesia. Setelah peristiwa
malari, diskusi mengenai etnis Tionghoa dan penanaman modal asing dibatasi.

13
Ririn darini, “Kebijakan Negara dan Sentimen Anti Cina Perspektif Historis”,
Jurnal,hlm.5
14
Percukongan atau Cukong, istilah Tionghoa yang diartikan tuan, dalam konteks kata ini
digunakan untuk pengusaha Etnis Tionghoa yang berkolaborasi dengan elit kekuasaan (termasuk
yang berdiam di istana)dalam berbagai usaha patungan. Mitra pribumi menyediakan fasilitas dan
perlindungan, sedangkan orang Tionghoa mengelola bisnis.Lihat : Leo Suryadinata. 1999. Etnis
Tionghoa dan Pembanguanan Bangsa, Jakarta: LP3ES, hlm. 93
15
Benny G.Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik: Mengungkap Fakta Sejarah
Tersembunyi Orang Tionghoa di Indonesia, Jakarta: Elkasa, 2003,hlm. 1002
7

Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya aksi demonstrasi kembali. Setelah
masa itu, muncul istilah pribumi dan non pribumi. Penggunaan istilah tersebut
digunakan sebagai kritikan teradap pengusaha etnis Tionghoa.
Ketika Orde Baru berkuasa, selama itu pula etnis Tionghoa banyak
merasakan sikap diskriminasi. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa peraturan yang
mengatur eksistensi etnis Tionghoa di Indonesia, antara lain :
1. Intruksi Presiden No. 14/1976, yang berisi larangan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan
adat Tionghoa di Indonesia.
2. Surat Edaran No. 06/Preskab/6/1967, yang isinya menyatakan masyarakat Tionghoa harus
merubah namanya menjadi nama yang identik dengan Indonesia.
3. SK Mentri Perdagangan dan Koperasi No.286/1978, tentang pelarangan impor, penjualan dan
penggunaan bahasa Cina.
4. Surat Edaran SE.02/SE/Ditjen/PPG/K/1978, melarang penerbitan dan percetakan tulisan /atau
iklan beraksara dan berbahasa Cina didepan umum.
5. Peraturan Mentri perumahan No.455.2-360/1988, yang melarang penggunaan lahan untuk
mendirikan atau memperbarui klenteng.
6. Keputusan Presiden No. 56/1996 tertanggal 9 Juli 1996, isinya semua peraturan yang
mensyaratkan SBKRI di hapus.16

Berdasarkan peraturan tersebut, etnis Tionghoa memandang bahwa Orde


Baru memberikan perlakuan diskriminatif terhadap golongan mereka dan
membatasi aktivitas mereka. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah Orde Baru
melanjutkan kebijakan pembaharuanya dan memunculkan konsep SARA (Suku,
Agama, Ras, Antar golongan ) yang ditunjukkan kepada media agar tidak
memberikan ruang pembahasan tentang perbedaan. Namun dalam kenyataanya,
proses pembaharuan yang diimplementasikan oleh pemerintah tidak menunjukan
kerukunan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya yang
berkaitan dengan etnis Tionghoa. Melainkan terjadi sebaliknya, selama
pemerintahan Orde Baru terjadi sentimen anti Tionghoa yang klimaksnya terjadi
pada kerusuhan dan menimbulkan kekerasan tepatnya pada bulan Mei
1998.17Sebetulnya peristiwa ini berlangsung karena kebijakan pemerintah antara
pribumi dan non-pribumi namun lebih kepada sikap pemerintah yang kembali
banyak menjalin hubungan ekonomi dengan asing dan tidak melindungi ekonomi
pribumi. Kecemburuan sosial ini memunculkan pada peristiwa anti asing yang
lebih di jadikan sasaranya adalah etnis Tionghoa.
Sikap anti Tionghoa sering dipertanyakan dengan mengasumsi bahwa
sikap anti Tionghoa merupakan produk dari proses interaksi sosial dengan etnis

16
Majalah Tempo, Etnis Tionghoa di zaman Berubah, Jakarta: edisi 16-22 Agustus 2004.
17
Mely G Tan, golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, Suatau Masalah pembinaan
Kesatuan bangsa,Jakarta:Gramedia,1979,hlm.206
8

lainya dalam kehidupan bermasyarakat yang berlangsung secara alamiah. Dalam


masyarakat sentiment anti Tionghoa didorong oleh faktor kesenjangan ekonomi.
Latar belakang sejarah di bidang ekonomi warga Tionghoa telah melahirkan
kekuatan mitos ekonomi masyarakat Tionghoa. Terdapat pemukulan rata bahwa
etnis Tionghoa adalah kaya dan memperoleh akses pada kekuasaan tertinggi
dalam pemerintahan nasional sebagaimana dahulu masyarakat Tionghoa
mendapatkan perlindungan dan keistimewaan dari pemerintah kolonial yang
ditandai dengan memberikanijin perdagangan kepada etnis Tionghoa.18
Pandangan yang lain justru membawa sikap anti Tionghoa yang dihasilkan atau
direkayasa melalui kebijakan negara sebagai alat peredam yang dipakai penguasa
untuk mempertahankan kekuasaanya. Maka prasangka anti Tionghoa semakin
mendalam dibandingkan pandangan asing lainnya..
Kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah Orde Baru telah
memberikan kesempatan etnis Tionghoa untuk berwirausaha secara bebas, namun
memicu ketidak puasan di kalangan masyarakat pribumi. karena pencapaian
ekonomi oleh etnis Tionghoa mengakibatkan kesenjangan sosial antara etnis
Tionghoa dan Pribumi. kondisi inilah yang memicu kerusuhan dengan bentuk
pengrusakan di tahun 1998 di Jakarta.
Pada awal berjalanya pemerintah Orde Baru menunjukan sistem
liberaterian,yaitu sistem transisi sambil mencari format baru bagi konfigurasi
politik. Program pembangunan yang menitik beratkan pada bidang ekonomi
ditujukan untuk tujuan “stabilitas nasional”. Namun tujuan ini yang dianggap
pada tataran prakteknya ternyata menuntut sistem otoritarian. Oleh sebab itu sejak
penemuan format baru tersebut di tahun 1969/1971, Pemerintah mulai
menampilkan politik “otoriter birokratis”dengan tujuan untuk mengamankan
jalannya pembangunan.19
Pada pertenghan 1970-an, Presiden Soeharto dipandang sebagai
penggerak utama format baru politik “otoriter” tersebut, dengan menggunakan
perwira para militer yang setia untuk menghancurkan musuh-musuhnya.
Pemerintah Orde Baru sangat berhasil dalam membuat dan menyebarkan cerita
menurut versi mereka bagi sebagian besar orang Indonesia tentang “kudeta” 30

18
Ririn Darini, Kebijakan Negara dan Sentimen Anti Cina Presepektif Historis, Jurnal,
hlm.9
19
Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia,Jakarta:LP3ES,2006,hlm.196.
9

september dengan mengalamatkan kepada partai Komunis Indonesia sebagai


dalang utama. Para wartawan, cendikiawan, seniman, dan pejabat yang
dipekerjakan oleh rezim Orde Baru diarahkan untuk menghasilkan laporan dan
kisah tentang kudeta sesuai dengan versi Soeharto. Publikasi-publikasi yang
membuktikan bahwa peristiwa itu adalah “kudeta PKI"20
Kesimpulanya adalah pada masa pemerintahan Orde Baru yang di pimpin
oleh Soeharto berupaya menjaga stabilitas politik dan sosial yang dilakukan
secara paksa dan keras sehingga dirasakan sebagai pemerintahaan yang posesifdan
represif.Siapa yang berani mengkritik Orde Baru maka dianggap musuh Pancasila
atau pro-komunis, sehingga harus disingkirkan.21
Dari urain diatas maka dapat dilihat, bagaimana politik atau kebijakan-
kebijakan pada masa pemerintahan Soeharto yang mengatas namakan Orde Baru
dijalankan. Pada dasarnya politik yang dilakuakan oleh Presiden Soeharto adalah
untuk memuluskan kekuasaanya. Program “stabilitas nasional” bertujuan agar
masyarakat dapat menjakankan dan mengamalkan pancasila secara murni dan
konsekuen.
Menjelang berakhirnya pemerintahan Orde Baru, di anggap sebagai masa
dimana terjadi berbagai sentimen negatif terhadap dominasi etnis Tionghoa di
Indonesia. Krisi moneter yang melanda negara-nrgara Asia, termasuk Indonesia
semakin menimbulkan rasa ketidak puasan di kalangan masyarakat pribumi
terhadap kebijakan ekonomi pemerintahan Orde Baru. Sorotan massa atas
maraknya praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme ditubuh pemerintahan Orde
Baru dipandang sebagai suasana yang memperburuk perekonomian masyarakat.
Ditambah lagi bahwa anggapan terhadap para pengusaha Tionghoa yang
menyokong pemerintah Orde Baru.Maka keadaan ini yang kemudian memicu
meletusnya kerusuhan pada bulan Mei 1998 di berbagai daerah, dan yang
terparah. Kerusuhan ini kemudian mengundang berbagai tindakan aksi rasial etnis
Tionghoa di berbagai daerah, seperti Solo, Pekalongan, Sitobondo, dan Makasar
.Aksi ini pun melebar sampai masalah SARA, terutama masalah tempat ibadah,
baik Gereja, dan juga Klenteng.22Krisis ekonomi berkepanjangan sejak tahun
1997 membuat perokonomian di Indonesia tidak stabil.Naiknya harga sembako,

20
Ibid.,hlm,262.
21
SeloSoemarjan,Pengawasan Sosial Orde baru dan Reformsi,Jakarta:Obor,2011,hlm..639
22
Benny G.Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik,Jakarta:Trans Media,2008,hlm.105
10

banyaknya PHK dan tingginya tingkat pengangguran dan beberapa perusahaan


swasta yang mengalami kerugian hal ini memancing mahasiswa untuk
mengadakan aksi atas keprihatinan Indonesia. Dengan maraknya aksi mahasiswa,
terjadi serangkaian aksi penculiakn ( penangkapan ) terhadap bebrapa aktivis dan
mahasiswa. Aksi mahasiswa yang terjadi sepanjang Mei 1998 menemukan
momentum pada tanggal 12 Mei 1998 tepatnya di Jakarta dan aksi-akasi
selajnjutnya di susul kota-kota besar yang ada di Indonesia.
Pada saat itu berbagai konflik antar etnis merebak di berbagai wilayah
Indonesia.Kebijakan asimilasi yang diberlakukan oleh pemerintah Orde Baru,
tidak mampu menjawab persoalan konflik etnis keturunan Tionghoa dengan
pribumi secara baik.Kerusuhan 13-14 Mei 1998 membuktikan bahwa ada
kekuatan politik, posisi orang-orang Tionghoa di Indonesia sangat rentan terhadap
konflik.Keyakinan kalangan etnis Tionghoa atas perlindungan dari para penguasa
ternyata keliru.
Pelanggaran hak asasi manusia (perampokan,penjarahan,serta pengrusakan
toko-toko khususnya yang dimiliki oleh keturunan etnis Tionghoa), merupakan
kejahatan nasional yang terjadi pada kurun waktu mei 1998. Hal ini di dasasari
ada salah satu oknum yang ingin menjatuhkan Presiden Soeharto pada saat
itu.Peristiwa 1998 adalah pelanggaran Ham terberat yang pernah terjadi di
Indonesia dan hal ini ditujukan hanya etnis Tionghoa saja.23
Kerusuhan yang berbau SARA (Suku Agama Ras) seperti kejadian di
Jakrta pada Mei 1998 merupakan puncak dari kerusuhan yang terjadi selama Orde
Baru, kerusuhan ini juga terletak dari kesenjangan sosial poltik antara pribumi
dengan non pribumi walaupun dengan sebagian etnis Tionghoa yang sudah muali
melebur dengan masyarakat pribumi.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah


Permasalahan pokok dalam skripsi ini ialah peristiwa teragedi
kemanusiaan terhadap etnis Tionghoa pada masa Orde Baru. Dalam kajian ini
difokuskan pada krisis identitas yang terjadi pada etnis Tionghoa.Untuk itu
penulis melakukan identifikasi peristiwa-peristiwa serta penjabaran secara

23
Hasil wawancara dengan PSMTI (paguyuban marga Tionghoa)
11

komprehensif terhadap permasalahan tersebut. Maka dibuat pertanyaan di bawah


ini untuk memudahkan penelitian skripsi :
1. Bagaimana kondisi etnis Tionghoa pada masa Orde Baru tahun 1998 ?
2. Bagaimana kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap etnis Tionghoa ?
3. Bagimana akar permasalahan tragedi kemanusiaan terhadap etnis Tionghoa
tahun 1998 di Jakarta ?
4. Bagimana peran pemerintah Orde baru dalam stabilitasi etnis Tionghoa ?

C. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode sejarah dan bersifat kualitatif dengan
pendekatan deskriptif analistis, pendekatan ini membantu dalam memberi
pemaparan umum tentang etnis Tionghoa khususnya yang ada di Jakarta hingga
terjadi peristiwa teragedi. penelitian tersebut tentu diperlukan data yang penulis
dapatkan,namun lebih bersifat Skunder. Yaitu berupa terbitan surat kabar se
zaman, buku, jurnal, dan majalah. Langkah-langkah metode sejarah yang
ditempuh meliputi :
1. Heuristik (pengumpulan sumber-sumber), dalam proses ini penulis
melakukan pencarian sumber ke berbagai lembaga penyimpanan data yang
sesui dengan tema seperti Perpustakaan Universitas Indonesia,perpustakan
Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Nasional,
2. Kritik sumber (Verivikasi)
Kritik sumber adalah upaya untuk mendapatkan otenitas dan kredibilitas
sumber.
Dalam proses ini dilakukan kritik atas sumber yaiutu menguji kebenaran atau
ketepatan dari sumber yang ditentukan.
3. Interprestasi
Dari data yang telah dikumpulkan dan disesuaikan dengan diinterprestasikan
untuk menghasilkan fakta.
4. Historiografi, adalah tahap terakhir yang sangat penting, dari metode sejarah
yaitu menulis atau merekontruksikan peristiwa sejarah tragedi kemanusiaan
etnis Tionghoa.
12

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Tragedi kemanusiaan etnis Tionghoa pada Orde Baru sangat menarik
untuk direkontruksikan.Oleh karena itu penulis bertujuan untuk mengetahui
sejarah etnis Tionghoa dimasa pemerintahan Orde Baruselain itu untuk kemudian
mengetahui kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap etnis Tionghoa, sehingga
dari kebijakan tersebut memunculkan teragedi kemanusiaan.
Adapun manfaat dari penulisan ini adalah untuk menambah wawasan
sejarah etnis Tionghoa di Indonesia khussnya di masa Orde Baru.

E. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan skripsi ini terbagai menjadi lima bab, adapun

susunan skripsi ini terdiri dari:

Bab I Berisikan Pendahuluan yang terdiri atas penjabaran singkat

permasalahan yang menjadi fokus kajian, identifikasi masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, metodelogi penelitian, tinjauan pustaka serta sistematika

penulisan.

Bab II Membahas mengenai Selayang pandang etnis Tionghoa pada masa

Orde Baru 1998, serta kondisi umum etnis Tionghoa dan munculnya

pergerakan etnis Tiongha

Bab III Membahas akar permasalahan tragedi kemanusiaan etnis Tiongha.


serta melemahnya kebijakan etnis Tionghoa dan peran Orde Baru dalam
stabiltas etnis Tionghoa
Bab IV Membahas mengenai kebijkan pemerintah Orde Baru terhadap etnis
Tionghoa yang meliputi, kebijakan politik, sosial dan budaya, ekonomi, serta
agama.Selanjutnya dampak dari kebujakan pemerintah Orde Baru terhadap
etnis Tionghoa
Bab V Kesimpulan yang berisi jawaban atas permasalahan yang menjadi
fokus kajian skripsi ini dan saran-saran dan masukan-masukan bagi perbaikan
penelitian selanjutnya.
BAB II
SELAYANG PANDANG SEJARAH ETNIS TIONGHOA DI
INDONESIA
ORDE BARU

A. Awal Kedatangan Etnis Tionghoa


Awal persebaran etnis Tionghoa ke Indonesia adalah sejak dinasti kaisar
wang Ming atau kaisar Wang Mang ( 1 – 6 SM ). Di masa itu Tiongkok sudah
mengenal Nusantara atau yang di sebut Huang – Tse.Menurut Setiono, terdapat
dua priode yang mengatakan kedatangan Etnis Tionghoa ke Nusantara. Priode
pertama berlangsung anatara abad III M samapi XI M. Pada priode ini
pengetahuan tentang Nusantara terbatas, berdasarkan catatan sejarah daerah yang
ditemukan oleh bangsa Cina sampai abad X pengetahuan orang Cina terbatas pada
daerah Bangka, Belitung, Sumatera dan Jawa.24Periode kedua terdapat tiga
sumber, berlangsung antara abad XII – XIX M. Saat itu mereka lebih
berpengalaman dan sistematik.Sumber pertama terhimpun dari karya tulis
perorangan, di mana orang Cina menjelaskan Indonesia melalui lukisan-lukisan
yang indah ataupun dengan kisah perjalanan orang-orang Cina kurun waktu
tertentu.Sumber kedua adalah pengetahuan yang berdasarkan cerita orang-orang
Cina yang pulang ke negerinya setelah meraka melakukan perjalanan ke kawasan
Nusantara dan ada juga pengetahuan dari orang-orang yang berkunjung ke Cina
selama priode 800 -1400 M. Yang ketika itu melalui pelabuhan di Cina Selatan
yaitu Chu‟an Chou, dan Chang Chou25.Sumber ketiga adalah pengetahuan yang
diperoleh dari misi perjalanan kerajaan. Misi semacam ini sering dilakukan antara
lain ketika kaisar Ming memerintah Laksamana Cheng Ho untuk menangkap
perompak Hokkian di Kukang.26

24
Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran politik, (Jakarta : Trans Media, 2008)
hlm.73.
25
Salah satu pelabuhan yang cukup terkenal di masa Dinasti Tang dan Sung, lihat Amen
Budiman, MasyarakatIslam Tionghoa di Indonesia.(Semarang: Tanjung Sari,1997), hlm.11.
26
Hari Poerwanto, Orang Cina di Khek Singkawang, (Depok: komunitas Bambu, 2005),
hlm. 40-41.

13
14

Sumber lainya juga mengatakan bahwa pada masa kunjungan armada dari
Dinasti Sung ke Nusantara tahun 1405 – 1430 M, yaitu ke Tuban, Gersik, dan
Surabaya. Saat itu ditemukan pemukiman orang-orang Cina.Di Tuban terdapat
lebih dari seribu orang Cina dan banyak dari mereka berasal dari provinsi
Guangdong atau Kwantung dan Fujian Fujien.Perkampungan orang-orang Cina
serta armada laut di masa itu sedang berkembang dengan pesat aktivitas
perdagangan yang mengakibatkan orang-orang Cina menjadi lebih aktif.Selain itu
juga orang – orang Cina menjadi bagian dari jaringan perdagangan lokal di
Nanyang.Hubungan perdagangan antara kerajaan Tiongkok dengan bangsa asing
pada tahun 1178 memperlihatkan kemajuan yang cukup signifikan. Hal ini terlihat
dari barang – barang yang berhgarga yang di bawa oleh perdagangan asing seperti
dari Arab, Jawa, dan Palembang.27
Selain Jawa yang menjadi jaringan perdagangan bersekala
internasional,adalah jasa Indonesia Timur. Jaringan perdagangan Malaka adalah
dilalui dari Jawa-Maluku Malaka, demikian sebaliknya melalui pesisir selatan
Kalimantan. Pada abad ke8 M Cina juga menjadi salah satu negara tujuan untuk
berdagang orang – orang arab, Persia dan Gujarat. Sebelum ke Cina, biasanya
para pedagang singgah ke Nusantara. Akan tetapi di masa itu di Cina telah terjadi
pelarangan kapal Arab berlabuh di pantai Cina dikarenakan pada masa itu telah
terjadi pengusiran Islam Cina Kanton oleh pemerintah Huang Chou akibat
persengkongkolan dan pemeberontakan petani pada kaisar Cina.28
Selain peristiwa di atas, di masa itu para pedagang asing yang datang ke
Nusantara selalu menghadap raja untuk mempersembahkan hadia. Hal itu
dilakukan agar kepentingan dagangnya tidak dihambat oleh raja dan mendapat
jaminan keamanan dari para perompak. Di dalam buku Tung His Yang K‟au
Dr.Liem Twan Djie menerangkan Ha-kang atau Isia-Shiang, sebagaisebutuan
untuk daerah bagi Banten.Dikatakan bahwa apabila dating perahu Tionghoa maka

27
Amen Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia, (Semarang: Tanjung
sari,1979), hlm.12.
28
M. Dien Madjid, “ Jaringan Perdagangan masa Kerajaan Islam Indonesia (suatu
kajian social ekonomi)” dalam Sudarnoto Abdul Hakim (ed), Islam dan Konstruksi Ilmu
Peradaban dan Humaniora,cet 1, (Jakarta: UIN Press,2003),hlm.220.
15

datanglah seorang pembesar ke atas perahu itu untuk memberikan izin. Bahkan
banyak juga di antara para pedagang Tionhoa memberikan hadiah untuk
memperlancar proses birokrasi. Biasanya hadiah yang diberikan ialah berupa
jeruk-jeruk dari cina, dan sutera.Hadiah-hadiah ini juga dipersembahkan kepada
raja.29
Dalam berita-berita Dinasti Sung (960-1279), perdagangan aktif hamper
seluruhnya dilakukan oleh para pedagang Tionghoa. Terkadang ada juga
pedagang pribumi yang melakukan pelayanan antar pulau. Sangat besar
kemungkina, pedagang pribumi tersebut tidak lain adalah para pejabat yang
bertindak atas perintah raja-raja. Namun secara perlahan keberadaan mereka
makin tergeser oleh orang-orang Tionhoa.Akhirnya perdagangan antara pulau di
wilayah Nusantara lebih didominasi orang Tionghoa dan pribumi hanya
melakukan perdagangan di sekitar Bandar pelabuhan.30
Orang-orang Tionghoa mendapatkan barang dagangan secara langsung
dari warga pribumi dengan harga yang lebih murah.Maka ketika mereka sedang
menunggu musim angin yang bisa menghantar kembali ke wilayah Cina, mereka
seringkali menjadi pengumpul barang-barang dagang dari msayarakat
pribumi.bahkan banyak juga diantra mereka yang menikah dengan orang-orang
pribumi sehingga memunculkan golongan Tionghoa peranakan. Proses tersebut
berjalan secara alamiah.31
Selain hubungan diplomatik pada tahun 1405 – 1433, dinasti Ming juga
banyak mengadakan ekspedisi keluar negeri.Salah satu di antaranya ke Jawa di
bawah Cheng Ho atau Saam Po Kong.Perjalanan Cheng Ho banyak di tulis oleh
Ma Huan yang pada waktu itu ikut dalam perjalanan tersebut.
Pada 1413, Ma Huan pernah menulis laporan yang di antaranya
menyebutkan bahwa di Tuban telah terdapat banyak orang Tionghoa dari Fukien

29
Hari Poerwanto, Orang Cina dari Khek Singkawang, (Depok: Komunitas
Bambu.2005),hlm.43. Lihat Juga Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik, (Jakarta:
Trans Media,2008),hlm.73.
30
Hari Poerwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang, (Depok:Komunitas
bamboo,2005),hlm.24
31
Ongkokham, Anti Cina, kapitalisme Cina dan Gerakan Cina, ed Wasni Alhaziri,
(Jakarta: Komunitas bamboo 2008),hlm.135-136
16

dan Kanton. Bahkan disebutkan bahwa Tse-tsun atau Gerseik dibangun dan
dirombak menjadi pusat perdagangan yang subur oleh masyarakat Tionghoa.,
Daerah-daerah inilah yang kemudian menjadi sasaran kedatangan penduduk
Tionghoa berikutnya. Pada masa-masa setelah itu, mereka kemudian tidak hanya
menjadi pedagang tetapi juga mulai belajar sebagai petani.Pada msa ini pula
dimungkinkan sebagian orang Tionghoa sudah ada yang mendiami daerah Banten
Sunda Kelapa.32
Demikian etnis Tionghoa memiliki sejarah panjang dalam
mengintegrasikan diri ke dalam populasi Asia tenggara.Sebelum abad ke-19
ketika jumlah orang Tionghoa masih sedikit, lebih mudah bagi populasi orang
Asia Tenggara untuk menyerap orang Tionghoa. Sejak abad ke-19 setelah
gelombang besar populasi Tionghoa masuk ke Asia Tenggara, asimilasi lebih sulit
lag dirasakan. Pendatang yang lebih belakangan membentuk komunitas baru yang
sering terpisah dari masyarakat Tionghoa yang telah mapan dan terbentuk lebih
dulu.Jumlah pendatang baru (xien ke) lebih besar dan lebih dinamis daripada
pendatang terdahulu.Namun para pendatang baru kurang berintegrasi dengan
masyarakat setempat.Pendatang baru masih berbicara dalam bahasa Cina (dialek
atau Mandarin) dan masih menggap sebagai warga Cina masih berhubungan
dengan Cina, dan masih berorientasi ke negeri Cina baik secara kultural maupun
politis.33Hal tersebut dikarenakan pada masa awal kolonial Belanda orang-orang
Tionghoa dihitung menjadi kaulanegara Belanda. Bagi yang tidak suka aturan ini,
hal ini dipandang terlalu memaksa sehingga orang-orang Tionghoa di kepulauan
Indonesia tidak dapat menganggap dirinya tidak lain sebagai orang-orag asing.34
Sementara menurut Wang Gungwu dalam buku Leo Suryadinata35 terdapat
4 tahap proses migrasi warga Cina ke Nusantara yaitu : 1. Dimulai pada abad ke-
19 dengan negara-negara kolonial transisional atau semikolonial setelah revolusi

32
Benny G. Setiono, Tionghoa dalam pusaran politik,(Jakarta Trans Media,2008),hlm.32-
33.
33
Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: PT.Pustaka
LP3ES Indonesia,199,hlm.13
34
Sudargo Gautama. Warga Negara dan Orang Asing. Bandung: Alumni,1987,hlm.50
35
Leo Suryadinata. . Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa.Jakarta: PT.Pustaka
LP3ES Indonesia,199,hlm.14
17

industri di Eropa. 2. Pada negara-negara bangsa yang baru lahir pada abad ke-20.
3. Timbulnya prospek remigrasi ke negara-negara migran Amerika dan Australia,
setelah migrasi ke Nusantara. 4. Adanya perpanjangan waktu bermukim sebagi
dari globalisasi migrasi.
Pada abad ke-19 terjadi arus masuk dari sejumlah buruh migrant Cina ke
Hindia Timur Belanda untuk bekerja di pertambangan dan perkebunan.Kelompok
migran Cina terbesar dimulai antara tahun 1860 sampai dengan tahun 1890,
mereka terdiri dari beberapa suku bangsa yang sangat berlainan. Kelompok
imigran Cina tersebut mempunyai kebudayaan dan adat istiadat bahkan bahasanya
pun sulit dimingerti oleh masing-masing susku, yaitu dari susku Hokkian, susku
Teo-Chiu, susku Hakka (Kheh), suku shantung atau orang Kanton.36
Indonesia sebagai salah satu daerah migrasi orang-orang Cina yang telah
dilakukan jauh sebelum kemerdekan atau tepatnya pada saat perang Dunia ke-2.
Cina perantauan dalam hal ini terutama mereka yang berdomisili di Indonesia atau
sekitar wilayah Asia tenggara, merujuk pada cina sebagai Tengsua
(Tangshan,Gunung Tang) dan diri mereka sebagi Tenglang(Tangren,laki-laki
dinsti tang). Memiliki makna khusus dikalangan Cina perantauan. Pemerintahan
Cina membagi warga Cina menjadi 2 bagian, yaitu: sebutan Zhongguo Qiomin,
warga Cina yang tinggal di luar negri tetapi masih memiliki orientasi kenegri
Cina, dan mereka yang tidak lagi berorientasi kepada Cina disebut Huaqiao. Ini
terjadi sekitar abad 19-20.37Sentimen anti Tionghoa yang kuat muncul dianatra
pejabat kolonial Belanda.Hal itu sangat terlihat dibawah kebijakan politik etis
tahun 1900 yang dibuat untuk mendorong kepentingan penduduk pribumi.dlam
rangka politik etis tersebut didirikan lumbung desa, bank kredit rakyat dan rumah-
rumah gadai pemerintah serta diadakan pengawasan penjualan candu pada rakyat.
Para pejabat kolonial Belanda merasa bhwa mereka harus melindungi penduduk
pribumi terhadap warga Tionghoa yang ketia pemerintahan kolonial dianggap

36
Hari Mulyadi. Runtuhnya Kekuasaan “Kraton Alit”: Studi RadikalisasiSosial” Wong
Sala” dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta. Surakarta:LPTP, 1999,hlm.19
37
Leo Suryadinata. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa.Jakarta: PT.Pustaka
LP3ES Indonesia,1999,hlm.13
18

licik.Namun, hal ini dan pratktik diskriminatiflainya tidak berarti, dan tetap saja
warga tionghoa bisa hidup dengan makmur di bawah sisitem Kolonial.38
Pada bad ke-19, warga Tionghoa diberi keistimewaan (hak konsesi) untuk
menanam dan memperdagagkan candu (opium) dan menjalankan usaha rumah
gadai sebagai imbalan atas pembayaran pajak yang besar dan harus disetor disetor
kepada pemerintah.Yang mendapatkan hak konsesi ialah orang-orang tionghoa
yang berkedudukan di Hinda Belanda.Orang Timur Asing juga dapat menerima
hak konsesi kecuali bila bersedia membayar pajak yang sangat besar kepada
pemerintah, hak konsesi ini diberikan dengan maksud untuk memeberikan
kesempatan kepada kaum pemodal untuk menanmkan modalnya di lapangan
pertanian dan mendpatkan tanah seluas-luasnya.Dan hal ini membuat kepala desa
tidak disenangi.Perkebunan bisanya dikuasai oleh kepala desa yang sebagian
diwariskan.Pemiliknya biasanya pedagang besar karena kedekatanya dengan
pemerrintah berarti mereka beserta agenya dapat pengecualian dan pembatasan
perjalanan yang dikenakan kepada masyarakat Tionghoa.Sisitem ini mendorong
kapitalisme Tionghoa.39
Sebetulnya hubungan Tionghoa dengan pribumi di masa sebelum
kedatangan orang-orang kulit putij ke Indonesia, pendatang-pendatang dari
tiongkok hidup damai dengan penduduk setempat.Mereka hidup membaur dengan
saling membawa budaya masing-masing.Orang Tionghoa hidup dengan
berdagang, bertani dan menjadi tukang.Mereka tidak membawa istri dari
Tiongkok karena memang ada larangan dari kaisar membawa perempuan keluar
dari dartan Tiongkok, disamping berbahaya di dalam pelayaran pada masa
itu.40Mereka menikah dengan pribumi setempat atau membeli budak untuk
dijadikan sebagai gundik,sehingga lahirlah keturunan campuran antara masyarakat
Tionghoa dengan pribumi yang biasa disebut peranakan atau babah.

38
Noer Fauzi.Petani & penguasa: Dinamika Perjalanan Politik AgrariaIndonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1998,hlm.39
39
Noer Fauzi.Petani & penguasa: Dinamika Perjalanan Politik AgrariaIndonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1998,hlm.37
40
Major William Thorn, The Conquest Of Java,1815,reprinted 1993 by Periplus Edition
(HK)Ltd, hlm.242-244
19

Namun pada 1950-an diperkenalkan kebijakan yang diskriminatif terhadap


warga Tionghoa, termasuk “kebijakan Benteng” yang melarang perdagangan dan
pemukiman warga Tionghoa asing di pedesaan. Awal tahun 1960-an, kedaan
ekonomi negri sangat memburuk dan warga Tionghoa menjadi pion dalam catur
politik perang dingin. Beberapa kerusuhan sempat terjadi di bebrapa kota pada
masa ketidak pastian tahun 1965 sampai dengan 1966, meskipun kebanyakan
kekerasan tersebut ditujukan kepada para anggota kominus. Perselisihan atau
pasukan yang pro dengan pasukan yang anti komunis.Serangan tersebut
menimbulkan pergolakan sosial dan politik yang serius di Indonesia, yang para
ahli dari luar negri ditafsirkan sebagai pembantaian terhadap warga
Tionghoa.Kesalahpahaman ini mungkin muncul sebagi akibat oegenaan larangan
terhadap banyak aspek kehidupan dan budaya warga Tionghoa yang dinyatalan
illegal adalah dram (bukan film), perayaan umum, dan memperlihatkan tulisan-
tulisan Tionghoa. Gerakan mendorong warga Tionghoa untuk mrenggunakan
nama lokal juaga dilaksanakan bersamaan dengan pengekangan kebudayaan
Tionghoa.41

B. Nasionalisme Etnis Tionghoa


Sebuah natie (Bangsa) berbeda dengan kerajaan.Proses terbentuknya
sebuah natie terjadi secara wajar, sesuai dengan kehendak alam, sedangkan proses
terbentuknya suatu kerajaan melalui proses penggunaan kekuatan
senjata.Terbentuknya sebuah natie terjadi oleh sejumlah sebab atau
alasan.Kekuatan utama yang memungkinkan bagi terbentuknya sebuah natie
adalah perhubungan darah umum.Bangsa Tionghoa adalah golongan bangsa yang
termasuk dalam golongan bangsa berkulit kuning karena mereka memiliki
hubungan darah dengan bangsa kulit kuning.42

41
Leo Suryadinata. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa.Jakarta: PT.Pustaka
LP3ES Indonesia,1999,hlm.13-14
42
Tan Swie Ling, pengantar:Ben anderson, G30S 1965,Perang dingin & Kehancuran
Nasionalisme,(Jakarta:Komunitas Bambu 2010), hlm.359-360.
20

Nasioanalisme berasal dari kata nation (Inggris) dan natie (Belanda), yang
berarti bangsa.43L.Stoddard mengemukakan bahwa “ nasonalisme “ adalah suatu
kepercayaan, yang dianut oleh sejumlah besar manusia perorangan sehingga
mereka membentuk suatu kebangsaan Pada tingkat terakhir, nasionalisme adalah
suatu diatas segalanya yang menjelmakan dirinya dalam sintese yang baru dan
lebih tinggi. Mendefinisikan nasionalisme adalah, merupakan kesadaran yang kuat
yang berlandaskan atas kesabaran akan pengorbanan yang pernah diderita
bersama dalam sejarah dan atas kemauan menderita hal-hal serupa itu di masa
depan”. Slamet Mulyana menyatakan bahwa ”nasionalisme adalah manifestasi
kesadaran berbangsa dan bernegara atau semangat bernegara.
Menurut Han Kohn, yang dimaksud nasionalisme adalah suatu faham yang
berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara
kebangsaan. Nasionalsime menyatakan bahwa negara kebangsaan adalah cita-cita
dan satu-satunya bentuk sah dari organisasi politik dan bahwa bangsa sumber
daripada semua tenaga kebudayaan kreatif dan kesejahteraan ekonomi.44
Adapun sementara, Sukarna mengemukakan, bahwa nasionalisme ialah
kesetiaan dari pada setiap individu atau bangsa ditujukan kepada untuk
kepribadian bangsa.45 Menurut S.Pamuji, nasionalisme adalah konsesus umum
mengenai cara hidup (Way of life ) suatu inspirasi dan devisa yang secara
secara resmi.46
Dari berbagai pendapat tentang pengertian nasioanilme di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa nasionalisme adalah suatu rasa kesadaran yang kuat akan
pengorbanan yang pernah diderita bersama dalam sejumlah sejarah dan dilandasi
suatu kepercayaan yang dianut sejumlah besar manusia perorangan yang harus
diserahkan kepada negara kebangsaan sehingga membentuk suatu kebangsaan.
Sementara itu masalah kewarganegaraan tidak terlepas dari paham
nasionalisme.Peraturan mengenai kewarganegaraan merupakan suatu konsekuensi

43
Leo Agung S, Sejarah Intelektual, (Salatiga:Widya Press,2002),hlm.31
44
Hans Khon, Nasionalsme Arti dan Sejarahnya, Jakarta:Airlangga,hlm.12.
45
Sukarna, Pembangunan Politik, Bandung: Mandar Maju, 1990, hlm. 57.
46
Pramuji.S, Perbandingan Pemerintah, Jakarta:Bumi Aksara, 1985,.hlm.28
21

langsung dari perkembangan paham nasionalisme. Dengan terbentuknya negara


modern atau negara kebangsaan, dirasa perlu untuk hak kewarganegaraanya47
Istilah Cina dalam bahasa Indonesia memeng memiliki beberapa konotasi.
Untuk menghapus konotasi yang negatif, istilah ini dalam pers Indonesia sekitar
tahun 1950-an diubah menjadi Tionghoa (sesuai ucapannya dalam Hokkian) untuk
merujuk kepada oarng Cina, dan Tiongkok untuk negara Cina. Melly G.Tan
mendefinisikan orang Cina, sebagi berikut :
Berhubung dengan kenyataan adanya berbagai jenis orang yang oleh masyarakat luas
sering disebut sebagai orang Tionghoa atau orang Cina, untuk menganalisa kelompok ini, perlu
kita bedakan mereka yang asing dari mereka yang warga negara atau totok yang peranakan.Dalam
uraian ini mereka yang asing disebut orang Tionghoa asing dan mereka dan mereka yang warga
negara Indonesia disebut dengan WNI keturunan Tionghoa atau lebih praktisnya orang Indonesia
Tionghoa.Kedua kelompok bersama-sama disebut orang etnis Tionghoa, karena adanya satu
kelompok yang dianggap mempunyai cirri-ciri khas yang berbeda dari orang-orang Indonesia,
memang merupakan suatu kenyataan sosial dalam masyarakat Indonesia. 48

G.William Skiner dalam Mell G.Tan, menyebutkan bahwa semua orang


Tionghoa di Indonesia merupakan imigran kelahiran Tiongkok atau ketrununan
imigran menurut garis laki-laki.Dengan adanya per kaiwinan dengan etnis pribumi
lambat laun berkembang menjadi masyarakat yang stabil.Hal ini mulai
berlangsung pada abad ke-1, dan kebanyakan masyarakat hasil campuran ini
menjadi stabil pada abad ke-18.49
Dari abad ke-18 sampai permulaan abad ke-20, sebagian besar orang
Tionghoa adalah peranakan. Asimilasi menuju masyarakat peranakan sangat cepat
sehingga kaum imigran Tionghoa dengan anak-anaknya yang belum sepenuhnya
menjadi peranakan itu hanyalah membentuk kelompok yang kecil dan peralihan
saja coraknya. Tetapi pada permulaan abad ini beberapa perkembangan baru telah
mendasari bangkitnya masyarakat Tionghoa yang stabil bukan lagi peranakan. Hal
ini terjadi karena beberapa faktor, anatara lain : Jumlah imigran Tionghoa
bertambah cepat sekali selama tiga puluh tahun pertama pada abad ke 18. Proporsi
orang-orang Hokkian imigran bertambah dengan cepat sehingga orang Hakka dan

47
Soetoprawiri, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian
Indonesia,Jakarta:Gramedia,1996,hlm.4
48
Mell G.Tan, Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, Jakarta:Gramedia, 1981,hlm. 12-
13
49
Melly G.Tan.Etnis Tionghoa di Indonesia, Jakarta:Gramedia,1981,hlm.1
22

Kanton melampaui jumlah orang Hokkian dengan mudah karena sebelumnya suku
Hokkian mendominasi sebagai etnis Tiongoa. Perbandingan jenis kelamin kaum
imigran itu makin lama makin seimbang, menuju pertambahan yang cepat pada
jumlah kelurga yang kedua orangtuanya adalah kelahiran Tiongkok.Bangkitnya
nasionaisme Tionghoa.50
Penggunaan kriteria fisiosomatik tidak beraku pada etnis Tionghoa yang
telah melakukan imgrasi dari daerah asal, karena etnis Tionghoa yang melakukan
migrasi secara fisik telah mengalami perubahan. Perubahan fisik tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya yaitu fakor perkawinn campuran
yang menyebabkan perubahan secara genetik dan faktor perbedaan lingkungan
asal menyebabkan terjadinya proses penyesuaiaan diri atau beradaptasi terhadap
lingkungan baru.
Di Indonesia, etnis Tionghoa berdasarkan orientasi kebudayaan dapat
dibedakan ke dalam 2 kelompok besar yaitu : 1. Peranakan,yaitu etnis Tionghoa
yang lahir di Indonesia dan berbahasa Indonesia, atau hasil perkawinan campuran
antara orang Tionghoa dengan orang Indonesia. Selain itu, istilah peranakan
digunakan untuk menyebut enis Tionghoa yang telah berasimilasi dengan
masyarakat seempat dan mereka beroientasi dengan kebudayaan setempat,
Tionghoa peranakan sebagian besar bermukim di Jawa. 2, Totok,yaitu etnis
Tionghoa yang lahir di Tiongkok dan berbahasa Cina. Selain itu,istilah etnis
Tionghoa totok digunakan untuk menyebut pendatag baru atau lama yang masih
berorientsi atau mendukung secara kultur tradisi Tiongkok daratan.51
Setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya yaitu pada 17
Agustus 1945, maka sebagai bangsa yang baru terbebas dari belenggu penjajahan,
Indonesia mulai menata kehidupan bangsa dan bernegara, maka pemerintah mulai
membuat kebijakan yang berkaitan dngan keberlangsungan bangsa di masa yang
akan datang. Kebijakan yang diterapkan saat itu antara lain tentang poitik,

50
Skinner, G. William. Golongan Minoritas Tionghoa dalam Mely G. Tan,Golongan
Etnis Tionghoa di Indonesia: Suatu Masalah PembinaanKesatuan Bangsa. Jakarta:
Gramedia,1981,hlm.10
51
Leo Suryadinata. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa.Jakarta: PT.Pustaka
LP3ES Indonesia,1999,hlm.170
23

ekonomi, bahasa, budaya, pendidikan, pemerintahan serta yang tak kalah penting
adalah kebijakan di kewarganegaraan. Undang-undang ini menggunakan asas ius
sanguinis yang berarti semua orang Cina dimanapun berada maka dikalim
sebagai warga Cina. Hal ini mengakibatkan semua orang Cina yang berstatus
sebagai warga Negara ndonesia menadi bertatus bipatride yang berarti di samping
sebagi warga negara Indonesia sekaligus merupakan warga negara RRC.
Saat pengakuan kedaulatan, 27 Desember 1949, pemerintah Kuo Min
Tang di Taiwan langsun mengakui mengakui kemerdekaan Republik Indonesia.
Tapi Indonesia lebih condong untuk mengadakan hubungan diplomatik dengan
pihak RRC. RRC berkepentingan memotong pengaruh Taiwan terhadap para Cina
perantauan di Asia Tenggara. Usul perbincangan Indonesia-RRC ini disambut
baik secara positif oleh pihak RRC, dalm rangka politik luar negri RRC yag baru,
dikenal dengan peaceful coexistence. RRC merasa perlu mmembina hubungan
baik dengan negara-negara di Asia Tenggara, guna membangun basis kerja yang
sama-sama anti-imprealis.kemudian mulai diadakan sejumlah pembicaraan yng
diadakan dipeking, Jakarta, maupun di Bandung. Rangkaian pembicaraan ini
berpuncak pada suatu persetujuan antara Sunario (Mentri Luar Negri Indonesia )
dan Chou En-lai (Mentri Luar Negri RRC), yang dilakukan pada tanggal 22 April
1955 di tengahpenyelenggaraan konferensi Asia-Afrika di Bandug persetujuaan
ini dikena sebagai perjanjian Dwi-Kewarganegaraan.
Tujuan utama pihak Indonesia dalam persetujuaan itu adalah untuk
meniadakan akibat masa opsi. Selain itu, Indonesia juga menghendaki adanya
kepastian akan lepasnya tuntutan yuridis terhadap orang Cina di Indonesia
sebelum mereka diberikan kesempatan baru untuk memilih kewarganegaraan
mereka. Keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia telah berlangsung berabad-abad
lamanya, ternyata menumbuhan rasa nasionalisme terhadap Indonesia dan
berjuang untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia. Sementara itu, RRC
juga menerima baik keinginan Indonesia utuk menentukan sendiri siapa saja di
antara orang Cina Indonesia yang harus memilih dan siapa saja yang tidak ikut
memilih, karena secara implisit memilih kewarganrgaraan Indonesia berdasarkan
24

kedudukan sosial politik mereka. Secara yuridis, isi persetujuan tersebut


dituangkan dalam bentuk undang-undang No. 2/1958.52
Sebelum udang-undang No.62/1958 disahkan, pada tahun yang sama pula
tahun 1958 disahkan pula suatu undang-undang yang mengatur masalah
kewarganegaraan Indonesia yaitu undang-undang No.2/1958, pembahasan
undang-undang No.2 tahun 1958 sengaja dilakukan setelah pembahasan undang-
undang No.62/1958 dikarenakan berbagai hal anata lain seperti: dilihat dari nomor
undang-undang No.2/1958 ada terlebih dahulu. Undang-undang No.62/1958
dinyatakan sah berlaku sejak tanggal 1 Agustus 1958. Sedangkan undang-undang
No 2 tahun 1958 menyataan bahwa perjanjian Dwi kewarganegaraan mulai
berlaku pada tanggal penukuran surat-surat peking, yaitu pada tanggal 20 Januari
1960 serta isi undang-undang No 2 tahun 1958 khususya yang menyangkut
masalah surat bukti kewarganegaraan Indonesia telah menimbulkan berbagai
masalah yang sangat pelik yang memerlukan penanganan yuridis berkepanjangan
sampai bertahun-tahun, kemudian Undang-undang ini disahkan pada tangga 11
januari 1958 dan di undang-undangkan dalam lembaran negara 1958 pada tanggal
27 januari 1958. Termasuk didalam ketentuan undang-undang ini adalah
pertukaran Nota anatara perdana Mentri Ali Sastriamidjojo dan perdana Mentri
Chou Enlai tertanggal Peking 3 Juni 1955.Undang-undang ini bertujuan untuk
menyelesaikan masaah dwi-kewarganegaraan yan adapada saat itu, dan mencegah
timbunya dwi-kewargangraan di kemudian hari. Menurut perjanjian ini, masalah
dwi-kewarganegaraan yang ada itu diselesaikan dengan cara menghilangkan satu
kewarganegaraan yang serempak dimiliki seseorang.
Etnis Tionghoa biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah
Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongyin (Hakka). Dalam bahsa
mandarin mereka disebut Tangren (Hanzi:orang Tang) atau disebut Huaren (Hanzi
Tradisional:Hanzi sederhana). Disebut tangeran sesuai dengan kenyataanya bahwa
orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok selatan yang
menyebut diri mereka sebagi orang tang, sementara orang Tiongkok utra

52
Koerniatmanto Soetoprawiro. 1996. Hukum Kewarganegaraan dan
KeimigrasianIndonesia. Jakarta: Gramedia, 1996,hlm. 105-107
25

menyebut dirinya sebagai orang han (Hanzi:Hanyu Pinyin:Hanren:orang Han).


Leluhur orang Tionghoa Indonesia berimigrasu secara bergelombang sejak ribuan
tahun lalu yang melalui kegiatan perniagaan.Peran mereka muncul dalam sejarah
Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan
terbentuk.catatan-catatan dari Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan
kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di
Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas
barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.53
Pendidikan kebangkitan nasionalisme di Hindia Belanda tidak terlepas dari
perkembangan yang terjadi pada komunitas Tionghoa. Tanggal 17 Maret 1900
terbentuk di Batavia Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mendirikan sekolah-
sekolah, seperti di kota garut di rintis dan didirikan pada tahun 1907 oleh
seseorang pengusaha hasil bumi saat itu bernama Lauw O teng beserta kedua anak
lelakinya bernama Lauw Tek Hay dan Lauw Tek siang. Dengan tujuan agar orang
Tionghoa menjadi pintar. Selajutnya inisiatif ini kemudian di ikuti oleh etnis lain,
seperti keturunan Arab yang mendirikan Djamiat-ul Chair meniru model THHK.
Dan pada giliranya menyadarkan priyayi Jawa tentang penting pendidikan bagi
generasi muda sehingga di bentuklah untuk kalangan terpelajar Budi Utomo.

C. Munculnya Pergerakan Tionghoa


Pergerakan Tionghoa adalah gerakan untuk perbaikan nasib serta
mencapai perlakuan sama rata dari orang-orang Tionghoa yang berada di
Indonesia. Pergerakan Tionghoa merupakan faktor pendorong dari dalam
negeri,agar dilakukan suatu peraturan kewarganegaraan yang pasti bagi Hindia
Belanda. Menurut Fromberg, keganjilan orang-orang Tionghoa bukan karena
mereka ingin dipersamakan dengan golongan Eropa. Namun usaha pergerakan
Tionghoa justru membawa manfaat bagi masyarakat pribumi.Karena pergerakan
Tionghoa dapat menjadikan masyarakata Indonesia telah turut bangkit, sehingga

53
www.Jurnalasia.com
26

dalam waktu yang cepat memunculkan berbagai perhimpunan-perhimpunan


nasional Indonesia.54
Semangat nasionalisme yang sedang bergelora di Tiongkok negri leluhur,
tidak dirasakan oleh orang-orang Tionghoa di Indonesia saat itu. Namun mereka
menilai sebagai “etat nation”
Pada pasca kemerdekaan, Soekarno dan Hatta membuat undang-Undang
dasar 1945 yang disahkan sebagai konstitusi Republik Indonesia, yang mengatur
tentang kewarganegaraan. Pasal 26 UUD 1945 sebagai berikut:
(1). Yang menjadi warga negara adalah orang-orang Indonesia asli dan orang-orang bangsa
lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
(2). Syarat-syarat mengenai kewarganegraan ditetapkan dengan undang-undang.

Secara otentik penjelasan UUD 1945 mengenai ketentuan di atas


menerangkan bahwa
Orang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda, peranakan
Tionghoa, dan peranakan Arab, yang bertempat tinggal di Indonesia, mengakui
Indonesia sebagai tanah airnya, dan bersikap setia kepada Negara Republik
Indonesia, serta dapat menjadi warga negara.55Penjelasan tersebut sesungguhnya
merangkul seluruh masyarakat yang ada di tanah Indonesia dalam satu rasa
nasionalisme, sekallipun berbeda-beda suku atau etnis dan keturunan.
Berdasarkan Undang-undang No.5 tahun 1946 tentang kewarganegaraan yang mengatur
tentang kewarganegaraan dan kependudukan yang dilandaskan pada asas ius soli dan „sistem
pasif‟. Disebutkan bahwa warga negara Indonesia terdiri dari orang asli yang bertempat tinggal di
daerah Indonesia dan orang-orang yang tidak dalam kelompok yang tersebut di uraikan di atas,
akan tetapi yang lahir di daerah-daerah teretorial Indonesia dan telah tinggal di sana selama lima
tahun terakhir berturut-turut, serta mereka telah berumur 21 tahun, dengan syarat orng-orang
tersebut tidak menolak kewarganegraan Indonesia karena menjadi warga negara lain. 56

Etnis Tionghoa, khusunya yang tinggal di Jawa, merasa sudah secara


otomatis menjadi warga negara Indonesia kalau mereka tetap pasif (kalau mereka
tidak mengambil langkah-langkah untuk menolak status mereka).Terlebih pula
tternyata tidak banyak pengaruhnya terhadap etnis Tionghoa.Padahal

54
Sudargo Gautama,Warga Negara dan Orang Asing,Bandung:Alumni,1987,hlm.48-49
55
Koerniatmanto Soetoprawiro. Hukum Kewarganegaraan dan KeimigrasianIndonesia.
Jakarta: Gramedia, 1996,hlm.26
56
Leo Suryadinata. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa.Jakarta: PT.Pustaka
LP3ES Indonesia,199,hlm,121
27

sesungguhnya sangat mempengaruhi terkait pengalaman mereka sebagi warga


negara Republik Indonesia.
Namun karena kebijakan liberal yang didasarka pada asa ius soli ternyata
tidak sejalan dengan presepsi sebagian besar masyarakat Indonesia tentang
minoritas etnis Tionghoa. Pada akhirnya antara keduanya baik etnis Tionghoa
maupun masyarakat Pribumi selalu dalam kemelut baik mempermasalahkan
kewarganegaraan maupun motif ekonomi. Masayarakat Indonesia tidak
mempercayai golongan Tionghoa dan memandang mereka sebagai orang asing
yang sulit sekali berasimilasi. Alasan diterapkanya kebijak yang begitu liberal
yang di terapkan pemerintah mungkin dianggap untuk membantu mendapatkan
dukungan orang-orang Tionghoa yang secara ekonomis. Namun, anggapan
masyarakat Indonesia bahwa etnis Tionghoa merupakan warga negara asing, hal
ini mungkin saja terjadi, karena atas dasar UU No.3/1946 itu memunculkan proses
menjadi warga negara asli 57
Berdasarkan pasal 1 undang-undang kewarganegaraan Indonesia yang
pertama ini ( UU No 3 tahun 1946 ), kewarganegaraan Indonesia bisa didapatkan
oleh :
a. Orang yang asli dalam wilayah negara Indonesia
b. Orang yang tidak termasuk dalam golongan tersebut di atas, tetapi keturunan seorang dari
golongan itu serta lahir, bertempat kedudukan, dan berkediaman dalam wilayah negara
Indonesia, dan bukan keturunan seoarang dari golongan termasuk yang lahir, bertempat
keduudukan, dan berekediaman yang paling akhir selama sedikitnya lima tahun berturut-turut
did alam wilyah negara Indoensia, yang telah berumur 21 tahun atau telah menikah.
c. Orang yang mendapat kewarganegaraan Indonesia dengan cara naturalisasi.
d. Anak yang sah, disahkan, atau diakui dengan cara yang sah oleh bapaknya, yang pada saat
lahir bapaknya mempunyai kewarganegraan Indonesia.
e. Anak yang lahir dalam jangka waktu tiga ratus hari setelah bapaknya yang mempunyai
kewarganegaraan Indonesia, meninggal dunia.
f. Anak yang hanya oleh ibunya diakaui dengan cara yang sah, yang pada saat lahir mempunyai
kewarganegaraan Indonesia.
g. Anak yang diangkat sah oleh warga negara Indonesia.
h. Anak yang lahir di dalam wilayah negara Indonesia, yang oleh bapaknya ataupun ibunya
tidak diakui secara sah.
i. Anak yang lahir di dalam wilayah negar Indonesia, yang tidak diketahui siapa orangtuanya
dan kewarganegaraan orang tuanya.
Oleh undang-undang N0.6/1947, klasifikasi warga negar Indonesia di atas di tambah
dengan :
j. Badan hukum yang dididrikan menurut hukum yang berlaku dalam negara Indonesia dan
bertempat kedududkan di dalam wilayah negara Indonesia.

57
Leo Suryadinata. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa.Jakarta: PT.
Pustaka LP3ES Indonesia,199,hlm,116
28

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa warga negara Indonesia asli


adalah mereka yang memperoleh status itu dari tanggal 17 Agustus 1945 sampai
tangggal 17 Agustus 1948 dan keturunanya. Sementara itu warga negara
Indonesia ketururna asing adalah mereka yang memperoleh status tersebut melelui
proses pewarganegaraan mulai tanggal 17 Agustus 1948. Berdasarkan keputusan
Presiden No.7 tahun 1971, ketentuan-ketentuan dalam undang-undang No. 3/1946
(setelah ditambah dan diubah) digunakan untuk menetapkan kewarganegaraan
Republik Indonesia bagi peduduk Irian Barat ke tangan Republik Indonesia.58

1. Kondisi Etnis Tionghoa Awal Orde Baru


Selain peristiwa 30 September 1965, demontrasi ati-Tionghoa pertama kali
terjadi di Makasar, pada tanggal 10 November 1965. Dalam aksi ini mahasiswa
dan anggota HMI dan Ansor berdemonstrasi di konsulat republic Rakyat Cina
(RRC), kemudain aksi lanjut kepertokoan dan pemukiman etnis Tionghoa. Para
demonstran membakar mobil an menjarah pertokoan serta rumah milik etnis
Tionghoa. Demonstrasi anti Tioghoa berikutnya terjadi di Medan lebih brutal dan
mengakibatkan korban jiwa di kalangan etnis Tionghoa, hal ini disebabkan
tembakan yang ditujukan kepada demonstran di konsulat RRC, yang megakibatka
massa marah dan menyerang siapapun etnis Tionghoa.59
Munculya prasangka di kalangan pribumi terhadap etnis Tionghoa
bukanlah tanpa sebab. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya
prasangka ini seperti aktivitas Baperki60suatu organisasi etnis Tionghoa yang
ideologinya condong kearah Komunis. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya
kegiatan anti-Tionghoa, kerana tuduhan-tuduhan yang berkembang dimsayarakat
bahwa Baperki merupakan antek PKI dan Republik Rakyat Cina (RRC). Baperki

58
Koerniatmanto Soetoprawiro. Hukum Kewarganegaraan dan KeimigrasianIndonesia.
Jakarta: Gramedia,1996,hlm.27-29
59
Ibid,hlm.128
60
Pada tahun 1954 organisasi yang dinakamakan Badan Permusyawaratan kewarganegran
(Baperki) didirikan oleh beberapa tokoh peranakan Tionghoa.Masalah yang dihadapi tokoh
Baperki yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan pada masa itu bukan lagi identitas ke-Tionghoaan
yang mereka hadapi adalah diskriminasi rasial di berbagai bidang. Baperki berkembang sebagai
sebuah organisasi massa yang mengutamakan perjuangan politik dalam mencapai tujuan
ekonomi,sosial,kebudayaan dan pendidikan.
29

sendiri dianggap sebagai organisasi yang mewakili kepentingan Tionghoa di


Indonesia. Selain itu, dalam sususnan Dewan Revolusi terdapat nama Siauw Giok
Tjhan. Oleh sebab itu, masyarakat Indonesia beranggapan bahwa etnis Tionghoa
yang diwakili oleh Baperki dalam kegiatan politiknya, merupakan pendukung
paham komunis dan peristiwa 30 September 1965.
Anggapan tersebut muncul karena tindakan-tindakan yang dilakukan
Baperki pada peristiwa 30 September 1965, yang mengutuk gerakan tersebut
ataupun mengeluarkan pernyataan duka cita atas meninggalnya para jendral.
Anggapan ini diperkuat dengan dugaan yang belum terbukti, bahwa Baperki
merupakan penyandang dana bagi PKI. Selain itu, ketidak sukaan masyarakat
terhadap etnis Tionghoa semakin besar karena adanya provokasi yang dilakukan
oleh RRC melalui siaran radio Peking, terhadap revolusi Indonesia dan sikap
mendukung gerakan 30 September.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh Amerika dan Inggris, untuk mengalihkan
perhatian masyarakat Indonesia dari kegiatan anti-Imrealisme Amerika-Inggris.
Kedua negara tersebut melaksanakan propaganda agar masyarakat Indonesia tidak
lagi mengarah kepada RRC yang dianggap sebagi musuh rakyat Indonesia. Oleh
sebab itu bisa dikatan masa-masa peristiwa 30 September 1965 merupakan masa
genting bagi etnis Tionghoa Indonesia, akibat prasangka-prasangka masyarakat
terhadap etnis Tionghoa.
Pada pada 15 April 1966, sebanyak 15.000 oarng Tionghoa Indonesia
berkempul di lapangan Banteng Jakarta, untuk mendengar sambutan pidato-pidato
dan sambutan tertulis mentri luar negri Adam malik, yang menyerukan kepada
etnis Tionghoa di Indonesia untuk membuktikan kesetiaan mereka kepada
Republik indonesiasenada dengan aksi demonstrasi di Medan, dalam rapat umum
ini juga mengutuk tindakan RRC yang mencampuri urusan dalam negri Indonesia
dan memuntut kepada pemerintahan untuk memutuskan hubungan diplimatik
kepada RRC. Para demonstran juga menuntut untuk memulangkan orang
Tionghoa asing kembali ke Tiongkok,selain itu menutup sekolah-sekolah Cina
yang ada di Indonesia. Selain itu 15.000 orang Tionghoa yang berkumpul
dilapangan Banteng, juga menyatakan kesetianya kepada Negara Republik
30

Indonesia.61dalam aksi ini, demonstran juga beregerak ke kedutaan Cina, merusak


pintu gerbang,menghancurkan peralatan kantor, dan melukai beberapa orang staf.
Menanggapi aksi demonstran yang dilakukan oleh orang Tionghoa
Indonesia menghasilkan menyatakan pernyataan kesetiaan kepada Indonesia, pres
Indonesia menanggapinya dengan positif. Akan tetapi, menurut pers Indoesia
kesetiaan tersebut akan menjadi tidak ada artinya jika mereka masih
mempertahankan keekslusifan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab
itu diharapkan orang Tionghoa Indonesia, merubah cara hidup mereka yang
cenderung ekslusif untuk menghilangkan prasangka yang berkembang di
masyarakat.62
Aksi-aksi anti Tionghoa terus berlanjut dan mengarah kepada masyarakat
Pribumi untuk mengusir orang Tionghoa yang berkewarganegraan Cina.Tuntutan
tersebut merupakan reaksi dari perdebatan antara pemertintah Indonesia dan
pemerintah Cina. Perdebatan berisi tuntutan pemerintah RRC kepada pemerintah
RI untuk menyediakan kapal bagi orang Tionghoa yang ingin kembali ke Cina.
Hal ini dikarenakan pemerintah Indonesia dinilai gagal menjaga kepentingan
orang Tionghoa asing di Indonesia. Jawaban terhadap tuntutan ini ialah pada
prinsipnya orang-orang Tionghoa Asing bebas untuk pergi ke Tiongkok.
Pemerintah RI juga menolak menanggung biaya pemulangan orag Tionghoa asing
kembali ke negranya63. Akhirnya permasalahan terpecahkan dengan pengiriman
kapal Kuang Huo pleh pemerintah RRC, pada akhir September 1966.
Pada tanggal 25-31 Agustus 1966, Angkatan Darat Ri menyelenggarakan
seminar bertempat di Bandung. Tujuan seminar adalah merumuskan kembali
doktrin Angkatan Darat dengan mengingat perubahan-perubahan politik dan
program angkatan darat karena perubahan politik yang terjadi semenjak
diadakanya seminar Angkatan Darat I, pada April 196564. Meskipun bertemakan

61
Setiono Benny G, Tionghoa Dalam Pusaran Politik,Jakarta:Elkasa,2005,hlm.958
62
Copple,op,cit,hlm.17
63
Ibid,hlm.139
64
Copple,op,cit,h.171. Dalam seminar tersebut hadir pula para ekonom UI seperti
Dr.Widjaja Nitisastro, Emil Salim, Subroto, dan Sadli Sarbini yang bmembahas permasalahan
ekonom di Indonesia dan memberikan solusinya. Selain itu hadir pula, K Sindhinata dan dr.Lie
Tek Tjeng, membahas mengenai permasalahan Tionghoa Indonesia.Dr. Lie Tek Tjeng berpendapat
31

perumusan kembali doktrin Angkatan Darat, seminar tersebut justru menghasilkan


keputusan yang berbeda jauh dengan tema yang diangkat. Dalam seminar
tersebut, diputuskan untuk mempergunakan kembali kata Cina untuk Republik
Rakyat Cina dan warga negaranya. Keputusan mengenai hasil seminar ini sebagai
berikut :
“Untuk mengembalikan sebutan umum kepada pemakaian Tjina telah
lajim terdapat dimana-mana baik didalam negri maupun di luar negri. Dan
dalam berbagai bahasa, sebagai sebutan bagi negara dan warga
negara.Maka patut pula kami laporkan bahwa seminar telah memutuskan
untuk kembali memakai sebutan bagi Republik Rakyat Tiongkok dan
warga negara.di rubah menjadi Republik Rakyat Tjina.Hal ini dapat
dipertanggung jawabkan secara Historis dan sosiologis.”

Hasil dari seminar tersebut, sebenarnya ditunjukan kepada warga negara


Cina beserta negaraya, yang dianggkap sebagi pendukung PKI serta Gerakan 30
September, serta sikap bermusuhan yang ditunjukan kepada pemerintah
Indonesia, terutama kepada AD65. Akan tetapi pada perkembangan sebutan ini
juga dipergunakan untuk menyebut WNI keturunan Tionghoa.Konotasi yang
terkandung dalam penyebuyan Cina kepada etnis Tionghoa Indonesia, memiliki
makna menghina dan merendahkan, suatu hal yang tidak pernah diakui secara
ekplisit selama ini.66Hal ini pun diakui oleh Muchtar Lubis seorang penulis
terkenal dan mantan pemimpin redaksi Indonesia Raya, yang mengatakan bahwa
pemakaina istilah Cina mungkin sesuai untuk menunjukan kemarahan Bangsa
Indonesia kepada Peking.

harus ditarik garis jelas untuk memisahkan antara etnis Tionghoa Indonesia dan etnis Tionghoa
Asing. Hal ini dikarenakan kesulitan untuk membedakan keduanya, menyebabkan peraturan
pemerintah yang ditunjukan kepada warga negara Asing , terkadang berimbas kepada warga
negara Indonesia keturunan Tionghoa dalam melakukan aktivitasnya di Indonesia. Hal ini
dikarenakan meskipu mereka sudah berkewarganegraan Inodesia, statusnya masih samakan
dengan warga negara asing.
65
Suryadinata,Leo, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus
Indonesia,Jakarta:LP3ES,2002,hlm.34
66
Tan,op,cit,h.198. penggunaan kata Cina kepada Tionghoa memiliki konotasi yag sama
penyebutan dengan indlander kepda masyarakat pribumi, pada masa Hindia Belanda Indlander
memiliki arti makana pribumi setempat. Dimana penyebutan tidak memiliki konotasi negative jika
digunakan untuk menyebut orang Belanda di Nederland.Akan tetapi arti tersebut menjadi negative
saat pemerintah Hindia Belanda mempergunakanya untuk menyebut orang Indonesia pada masa
itu.
32

Lebih lanjut lagi ia mengatakan bahwa penggunaan itilah ini tidak dapat
dibatasi pada warga negara RRC saja, akan tetapi juga akan berdampak pada
warga negara Indonesia yang keturunan Tionghoa.67 Menurut Dr.Lie Tek Tjeng,
penggunakan kata Cina untuk menyebut orang Tionghoa berkewarganegaraan
Cina, tidak tepat sasaran. Hal ini dikarenakan peneyebutan kata Cina juga kepada
WNI keturunan Tionghoa hal tersebut menurutnya akan membahayakan stabilitas
ekonomi/politik kabinet Ampera, yang merupakan syarat dari suksesnya
pembangunan Orde baru.
Dinamika sosial Etnis Tionghoa di Jakarta pada masa Orde baru dapat di
lihat dari 2 sektor penting yaitu sosial dan politik.Sehingga dapat disimpulkan
kehidupan masyarakat Tionghioa di masa itu sangat mendukung di bidang
Ekonomi. Di lihat pada sektor sosial Etnis Tionghoa pada masa Orde baru
mengalami pasanga surut. Hal ini dikarenakan di masa pemnerintahan Orde baru
sedang mencanagkan kebijakan pembaharuan yang ditujukan untuk
menghilangkan prasangka etnis Tionghoa yang menginginkan status
kewarganegraan yang jelas dan tidak lagi mejadi korban diskriminasi ras. Namun
pada kenyataanya etnis Tionghoa mendapatkan perlakuan yang tidak
menyenangkan. Oleh sebab itu, permasalahan ini membuat beberapa pangamat
sosial dan politik menganjurkan pemerintah memberikan perlindungan khusus
untuk masyarakat Tionghoa.68
Oleh karena perlindungan khusus di ajukan oleh pengamat sosial dan
politik ini membuat citra masyarakat Tionghoa di Jakarta mendapatkan citra
negatif. Hal ini tentunya bertolak belakang dari kebijakan asimilasi yang
disepakati oleh pemerintah dengan masyarakat Tionghoa.Di dalam piagam
asimilasi pada tahun 1961 masyarakat Tionghoa telah menyetujui dengan adanya
peranaksasi dan Indonesianisasi. Berdasarkan kebijakan asimilasi yang di ambil
oleh Presiden Soeharto dengan kata lain, walaupun identitas Tionghoa masih
belum beretahan hanya komponen totoknya makin berkurang. Satu-satunya cara
untuk menghilangkan diskriminasi adalah melalui asimilasi. Onghokham
67
Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus
Indonesia,Jakarta:LP3ES,2002,hlm.109
68
Leo Suryadinata, Negara dan etnis Tionghoa, (Jakarta:LP3ES.2002),hlm.22.
33

menegaskan bahwa hambatan terbesar bagi peleburan kaum mionoritas adalah


lemahnya orientasi kaum minoritas terhadap Indonesia.69
Kebijikan-kebijakan yang di terapkan oleh pemerintah untuk masyarakat
Tionghoa juga menjalar ke bidang politik dan status kewarganegraan, kebijakan
yang dicangkan pemerintah seperti ganti nama dan tidak diizinkanya masyarakat
Tionghoa masuk ke dalam aspek politik disebabkan pemerintah hanya ingin
masyarakat Tionghoa berada dalam aspek ekonomi. Dalam status
kewarganegaraan, kebijakan untuk masyarakat Tionghoa pada keputusan
Presidium no. 127/U/Kep/12/1976 mengenai peraturan ganti nama WNI
keturunan Cina yang masih memkai nama Cina bersedia ganti nama mereka
dengan nama Indonesia. Melalui peraturan tersebut pemerintah juga memutuskan
agar prosedur penggantian nama itu di permudah. Intruksi Presiden No.14 tahun
1967 mengenai agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina. Dalam intruksi itu
antara lain dikemukakan, tanpa mengurangi kebebasan sesama WNI untuk
melaksanakan ritual keagamaan sesuai ketentuan yang diputaskan oleh
pemerintah, selain pemerintah menganjurkan agar terjadinya asimilasi total dalam
masyarakat Tionghoa, karena walaupun masyarakatTionghoa sudah konservasi
agama menjadi Islam tetapi pihak pribumi masih saja menggap mereka sebagai
orang asing dikerenakan mereka yang masih menggunakan nama Tionghoa.70
Namun lain pihak, pemerintah yang menganjurkan ganti nama dan
merubah setatus warga Negara, ternyata masih saja membedakan warga
negaranya berdasarkan keturunan. Bahkan kartu tanda penduduk (KTP) non
pribumi diberikan tanda atau kode yang khas ini berlaku untuk semua masyarakat
Tionghoa.Selain status warga negara, dalamaspek politik, pemerintah Orde Baru
juga menentukan dan membatasi jumlahpartai dan organisasi etnis Tionghoa.71
Meskipun masyarakat Tionghoa mendapatkan celah untuk berpartisipasi
dalam aspek politik, tetapi pemerintah tidak menaruh minat membawa etnis
Tionghoa dalam bidang politik, misalnya pamongpraja ataupun yang lainya. Para

69
Ibid,hlm.51.
70
Junus jahja, Masalah Tionghoa di Indonesia dalam asimilasi dan Integrasi,
(Jakarta:LPMB,1999), hlm,132.
71
Leo Suryadinata,Negara dan Etnis Tionghoa, ( Jakarta: LP3ES,2002), hlm,62
34

pengamat masalah Tionghoa menganjurkan dalam pokok-pokok kebijaksanaan


pemerintah mengenai pembinaan Bangsa seharunya di rumuskan dan dituang
dalam GBHN (Garis Besar Haluan Negara) agar terlihat jelas tanggung jawab,
kewajiban serta hak dari masyarakat etnis Tionghoa kepada Bangsa Indonesia.72
Pada era pemerintahan Soeharto, insiden anti Tionghoa terjadi di berbagai
tempat meskipun tidak secara serempak di banyak tempat. Kebijakan pemerintah
Orde Baru teradap warga Tionghoa lebih sistematis dibandingkan dengan
kebijakan sebelumnya. Pemerintah Orde Baru ini membungkam kenegaraan
kelompk etnis, salah satunya adalah etnis Tionghoa. Pembungkaman ini dilakukan
karena kelompok etnis dianggap sebagai ancaman politik yang dapat
mengguncang kekuasaan. Jika ada kelompok etnis yang menentang kekuasaan
akan segera di tindas. Meski dalam kontrol kekuasaan, kebijakan politik Orde
Baru terhadap satu kelompok etnis dengan kelompok lainya tidak seragam,
diperlakukan berbeda-beda sesuai dengan kepentingan kekuasaan saat itu.
Pada awal pemerintahan Orde Baru, Presiden Soeharto menjalin
hubungan dengan orang-orang Tionghoa untuk kepentingan ekonomi. Bersama
dengan konsolidasi kekuasaan Orde Baru Tionghoa. Bagi kalangan pemilik
modal, merepat ke kekuasaan dan memperoleh keuntungan ekonomi.Proteksi
politik ini membuat pengusaha Tionghoa memonopoli sektor ekonomi sampai
akhirnya dapat membangun imperium bisnis di Indonesia. Dari sinilah muncul
cukong, taipan dan kolongmerat.Mereka bekerja sama dengan petinggi-petinggi
militer yang pada saat itu menjadi aktor politik yang sangat berpengaruh.
Akibatnya orang Tionghoa mendominasi sektor ekonomi yang luar biasa
besar. Namun orang-orang Tionghoa menjadi apolitis dan menjauhakan diri dari
kehidupan sosial politik. Maka tidak heran bila daalam waktu yang
bersamaan,selalu menempatkan orang-rang Tionghoa menjadi kambing hitam dari
persoalan politik. Prsiden Soeharto dalam hal ni kemudian memunculkan gejolak
politik baik di kalangan elit maupun masyarakat. Permasalahan ini hingga
melebur ke ranah agama, tempat ibadah dan sebagainya. Pada akhirnya

72
Ariel Haryanto.”jalan di hadapan”.dalam Leo Suryadinata(ed),Pemikiran Politik etnis
Tionghoa Indonsia 1900-1002,cet 1 (Jakarta:LP3ES,2005 ),hlm.368
35

masyarakat pun terlibat dalam sentiment tersebut sehingga orang-orang Tionghoa


selalu menjadi target kemarahan mereka. Bagi orang-orang etnis Tionghoa masih
selalu menempatkan diri sebagai apolitis dan konsentrasi terhadap pengembangan
perekonomian. Mereka juga terus dilindungin oleh pemerintah , kondisi ini terus
memicu kecemburuan atas kesenjangan sosial di masyarakat.

2. Kondisi Etnis Tionghoa Menjelang Akhir Orde Baru


Menjelang berakhirnya pemerintahan Orde Baru, di anggap sebagai masa
dimana terjadi berbagai sntimen negatif terhadap dominasi ernis Tionghoa di
Indonesia. Krisi moneter yang melanda negara-nrgara Asia, termasuk Indonesia
semakin menimbulkan rasa ketidak puasan di kalangan masyarakat pribumi,
terhadap kebijakan ekonomi pemerintahan Orde Baru. Sorotan massa atas
maraknya praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme ditubuh pemerintahan Orde
Baru dipandang sebagai suasana yang memperburuk perekonomian masyarakat.
Ditambah lagi bahwa anggapan terhadap para pengusaha Tionghoa yang
menyokong pemerintah Orde Baru.Maka keadaan ini yang kemudian memicu
meletusnya kerusuhan pada bulan Mei 1998 di berbagai daerah, dan yang
terparah. Kerusuhan ini kemudian mengundang berbagai tindakan aksi rasial etnis
Tionghoa di berbagai daerah, seperti Solo, Pekalongan, Sitobondo, dan Makasar
.Aksi ini pun melebar sampai masalah SARA, terutama masalah tempat ibadah,
baik Gereja, dan juga Klenteng.73
Pada saat itu berbagai konflik antar etnis merebak di berbagai wilayah
Indonesia. Kebijakan asimilasi yang diberlakukan oleh pemerintah Orde Baru,
tidak mampu menjawab persoalan konflik etnis keturunan Tionghoa dengan
pribumi secara baik. Kerusuhan 13-14 Mei 1998 membuktikan bahwa ada
kekuatan politik, posisi orang-orang Tionghoa di Indonesia sangat rentan terhadap
konflik. Keyakinan kalangan etnis Tionghoa atas perlindungan dari para penguasa
ternyata keliru.

73
Benny G.Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik,Jakarta:Trans Media,2008,hlm.105
36

Pelanggaran hak asasi manusia (perampokan,penjarahan,serta pengrusakan


toko-toko khususnya yang dimiliki oleh keturunan etnis Tionghoa), merupakan
kejahatan nasional yang terjadi pada kurun waktu mei 1998. Hal ini di dasari ada
salah satu oknum yang ingin menjatuhkan Presiden Soeharto pada saat itu.
Peristiwa Mei 1998 adalah pelanggaran Ham terberat yang pernah terjadi di
Indonesia dan hal ini ditujukan hanya etnis Tionghoa saja.74
Kerusuhan yang berbau SARA seperti kejadian di jakrta pada Mei 1998
merupakan puncak dari kerusuhan yang terjadi selama Orde Baru, kerusuhan ini
juga terletak dari kesenjangan sosial poltik antara pribumi dengan non pribumi
walaupun dengan sebagian etnis Tionghoa yang sudah muali melebur dengan
masyarakat pribumi.

74
Hasil wawancara dengan PSMTI (paguyuban marga Tionghoa)
BAB III

AKAR PERMASALAHAN TERAGEDI KEMANUSIAAN


ETNIS TIONGHOA

A. Teragedi Kemanusiaan atau Propaganda Etnis Tionghoa


Berbagai konflik antar etnis merebak di berbagai wilayah Indonesia, yang
pada awalnya disulut oleh isu anti-Cina. Menurut Leo Suryadinata Kebijakan
asimilasi yang diberlakukan oleh pemerintah Orde Baru sejak tahun 1967,
ternyata tidak mampu menjawab persoalan konflik etnis keturunan Tionghoa
dengan komunitas pribumi secara tuntas. Kerusuhan Mei 1998 membuktikan
bahwa tanpa memiliki tendensi kekuatan politik, posisi orang-orang Tionghoa di
Indonesia ternyata sangat rentan terhadap konflik. Keyakinan kalangan etnis
Tionghoa bahwa berlindung kepada para penguasa ternyata keliru,dan bahkan
memunculkan kecemburuan sosial antara etnis Tionghoa dengan masyarakat
pribum, sehingga terjadi konflik sosial pada tanggal 13-14 Mei 1998.75
Reformasi Mei 1998 telah membawa berbagai perubahan mendasar dalam
kehidupan bernegara dan berbangsa Indonesia. Pertama, sejak jatuhnya Soeharto,
kita tidak lagi memiliki pemimpin sentral dan menentukan. Munculnya pusat-
pusat kekuasan baru di luar negara telah menggeser kedudukan seorang Presiden
dari penguasa yang hegemonik dan monopolistik menjadi kepala pemerintahan
biasa, yang sewaktu-waktu dapat digugat bahkan diturunkan dari kekuasaannya.
Kedua, munculnya kehidupan politik yang lebih liberal, yang melahirkan proses
politik yang juga liberal. Ketiga, reformasi politik juga telah mempercepat
pencerahaan politik rakyat. Semangat keterbukaan yang dibawanya telah
memperlihatkan kepada publik betapa tingginya tingkat distorsi dari proses
penyelenggaraan negara. Keempat, pada tataran lembaga tinggi negara, kesadaran
untuk memperkuat proses checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan
telah berkembang sedemikian rupa bahkan melampaui konvensi yang selama ini

75
Leo Suryadinata, etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia, ( Jakarta, PT Kompas
Media Nuasantara, 2010), Op,Cit,hlm.217

37
38

dipegang yakni ”asas kekeluargaan” didalam penyelenggaraan negara. Kelima,


reformasi politik telah mempertebal keinginan sebagiaan elit berpengaruh dan
publik politik Indonesia untuk secara sistematik dan damai melakukan perubahan
mendasar dalam konstitusi Republik Indonesia.76
Pemerintah Orde Baru berusaha untuk menata kehidupan berbangsa dan
bernegara agar menjadi lebih baik.Usaha-usaha di dasarkan pada Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Seperti yang
disampaikan presiden Soeharto, berdirinya Orde Baru adalah dengan tujuan untuk
membangun struktur kehidupan rakyat, bangsa, dan negara. Yang semuanya
berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.77Penerapan Pancasila sebagai
ideologi tunggal bangsa, tak dianggap menjadi sarana membangun citra
pemerintahan yang anti komunisme dan bersih dari faham tersebut. Salah satu
aspek yang kemudian menjadi sorotan pembenahan Orde Baru adalah mulai
membangun politik luar negeri yang bebas dan aktif. Karena pada masa
Demokrasi terpimpin (Orde Lama), politik luar negeri Indonesia lebih cenderung
berkiblat pada negara-negara komunis.Hal ini terlihat dari dibentuknya poros
dengan negara-negara komunis seperti dengan Peking, Pnom Phen, Hanoi dan
Pyongyang.Oleh sebab itulah Orde Baru pada masa awal kekuasaannya berusaha
merubah citra tersebut dengan melakukan pembenahan politik luar negeri dan
kembali menjadi anggota PBB78.
Dalam menciptakan dan menebarkan propaganda, pemerintah Orde Baru
berusaha memanfaatkan berbagai media yang ada.Penguasaan dan dominasi Orde
Baru atas berbagai media massasemakin membuat arus propaganda yang
menyebar ketengah masyarakat kian tak terbendung. Media cetak maupun
elektronik seperti televisi seakan tak kuasa melakukan penolakan untuk menjadi
corong pemerintah Orde Baru dengan berbagai agenda propagandanya. Sarana
atau media propaganda Orde Baru lebih banyak memanfaatkan pemberitaan yang

76
(Indria Samego, Perubahan Politik dan Amandemen UUD 1945, Makalah dalam
Seminar dan Lokakarya Nasional ”Evaluasi Kritis Atas Proses dan Hasil Amandemen UUD 1945”
yang diselenggarkan Keluarga Alumni Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 8-10 Juli 2002).
77
Soeharto, “Amanat Kenegaraan I,1967-1971 Jilid II,”Inti Indayu
Press,Jakarta,1985,hlm.7
78
Heri Kusmanto,”Desa Tertekan Kekuasaan” Bitra Indonesia,Medan,2007,hlm.10
39

beredar di surat kabar, dan melalui munculnya berbagai acara acara yang
ditayangkan TVRI selaku satu-satunya televisi nasional pada masa tersebut.
Berbagai slogan-slogan propaganda dan segala hal mengenai pencitraan Orde
Baru mengisi berbagai lembaran berita surat kabar maupun tema-tema acara yang
ada pada media televisi. Oleh karena itulah, bisa dikatakan pada masa Orde Baru,
media massa hanya menjadi perantara antara komunikator yang duduk di jabatan
tertinggi pemerintahan sehingga informasi yang beredar pun hanya untuk
sementara itu masyarakat diposisikan hanya sebagai komunikan yang
diinformasikan dengan berbagai propaganda. Pada masa Orde Baru, media massa
sendiri sengaja diatur oleh Soeharto untuk memiliki fungsi ganda. Fungsi yang
pertama dari media massa saat itu ialah menjadi industri yang mampu
mendongkrak kemajuan iklim investasi kearah yang lebih baik. Fungsi yang
kedua dari media massa saat itu di jadikan sebagai corong dari propaganda
kepentingan kekuasaan Orde Baru79
Pada kurun waktu 1982-1984 ada penembakan misterius. Di tahun
tersebut orang-orang yang bertato dan berambut gondrong di tembak secara
misterius, banyaknya peristiwa pada masa Orde Baru Rentang waktu 1997-1998
yang kemudian terjadi kerusuhan mei, dan sebenarnya kontras menyebut itu
bukan suatu kerusuhan melainkan suatau peristiwa Mei 1998, di dalam peristiwa
Mei ini ada keterlibat negara oleh aparat ABRI yang pada saat itu di pakai sebagai
alat kekuasaan oleh penguasa, dan ada juga gerakan-gerakan kelompok
masyarakat yang di bentuk oleh militer. Dan kelompok-kelompok masyarakat ini
lah yang malakukan tindakan kekerasan dan kerusuhan pada Mei
1998.Penjarahan, pemerkosaan yang tejadi pada etnis Tionghoa dan di era 1998
itu juga terjadi penembakan mahasiswa Trisakti, dan penembakan semanggi I dan
semanggi II.80

Tindakan anarkis dan kekerasan yang terjadi pada peristiwa Mei 1998
merupakan puncak dari berbagai kekerasan anti Tionghoa yang terjadi di
Indonesia di masa Rezim Soeharto.Ada berbagai toko, rumah tinggal milik orang-
orang Tionghoa habis di jarah dan dibakar oleh amukan masa pada peristiwa Mei

79
Effendi Gazali,„Communication of P o l i t i c s a n d P o l i t i c s o f Communication
in Indonesia: A Studyo n Me d i a P e r f o r m a n c e ,Responsbility and Accountability‟,Doctoral
Thesis ,Radboud University,2004, hlm.22
80
Feri Kusuma, Wawancara, Jakarta Selasa 06 Februari 2018
40

1998. Akibat dari kekerasan ini masyarakat Tionghoa yang merasa trauma dan
ketakutan dengan berbagai jalan berusaha menyelamatkandiri dengan
meninggalkan seluruh harta bendanya untuk mengungsi di berbagai tempat yang
dianggapnya aman diantaranya adalah Bali, Singapore, Malaysia, Hongkong,
Australia, Eropa bahkan Amerika Serikat. Penyelamatan diri inilah yang
dihembus-hembuskan oleh sebagian orang sebagai “eksodus” dan tindakan
anasional. Jumlah seluruh kerugian diperkirakan mencapai paling sedikit Rp.2,5
Triliun, tiga belas pasar, 2,479 ruko, 40 mall dengan 1.604 toko, 45 bengkel, 387
kantor, 9 SPBU, 8 bus dan kendaraan umum lainya, 1.119 mobil, 821 sepeda
motor dan 1.026 rumah tinggal habis dirusak, dijarah dan dibakar selama
berlangsung aksi anarkis tersebut.81
Pergantian kekuasaan dari rezim otorian ke rezim demokrasi pada tahun
1998 telah memberikan angin segar terhadap penegakan HAM di Indonesia.
Pemerintah kemudian mengelurakan berbagai kebijakan untuk menopang usaha
penyelesain pelanggaran HAM yang tejadi dimasa lalu.Tahun 1998, merupakan
tahun yang sangat bersejarah dalam perkembangan HAM di Indonesia. Salah satu
syarat dalam sebuah negara yang mengalami proses transisi dari sistem oteriter
menuju ke sisitem demokratis adalah penyelesaian pelanggaran atau kejahatan
yang dilakukan oleh rezim.82Pristiwa Mei 1998 yang merupakan suatu gerakan
reformasi di Indonesia ini dilatar belakangi oleh berbagai faktor, baik politik,
sosial, dan ekonomi.Dari faktor politik, dipicu oleh pengangkatan kembali
Presiden Soeharto menjadi Presiden Indonesia setelah hasil pemuli 1997,
menunjukan bahwa Golkar sebagai pemenang mutlak.Hal ini berarti dukungan
mutlak kepada Soeharto makin besar untuk menjadi Presiden lagi di Indonesia
dalam sidang MPR 1998.Terpilihnya kembali Soeharto menjadi Presiden
Indonesia kemudian membentuk kabinet pembangunan VII yang penuh dengan
ciri nepotisme dan kolusi.

81
Damar Harsono”May Riots Still Burns Into Victim‟s Minds”dalam The Jakarta Post, Mei
14,2002
82
Badruzaman Ismail, Pola-Pola damai sebagai solusi penyelesain HAM masa lalu,
dalam http:/www.acehinstitute.org/opini_hbadruzzaman_pola-damai.htm, diakses pada tanggal 27
Juli 2017.
41

Peristiwa 1998 adalah rangkaian dari peristiwa sebelumnya, peristiwa ini


terjadi pada rezim otoriter. Dalam teori politik kekuasaan, seseorang yang meraih
kekuasaan dengan kekerasan maka dikemudaian hari akan mempertahankan
kekuasaan itu juga dengan cara-cara kekerasan. Soeharto mendapatkan kekuasaan
itu dengan peristiwa 1965, di dalam peristiwa itu Soeharto membungkam dan
mengahabisi orang-orang yang bertentangan dengan pancasila dan di tuduh
berpaham komunis. Pasca peristiwa 1965 rezim Soharto menyasar entitas-entitas
yang lain, seperti kelompok-kelompok islam. Selama rezim Orde Baru berkuasa
hampir semua orang yang dianggap melawan negara, melawan rezim Orde Baru
akan dibungkam dengan cara-cara kekerasan. Dan puncaknya di era 1998. Ada
pra kondisi di tahun 1997 dengan adanya penculikan aktivis, ada 21 orang aktivis
yang pro-demokrasi dan warga sipil biasa dan orang yang berafeliasi dengan
partai PDI ( Partai Domokrasi Indonesia ) pada masa itu di culik oleh rezim Orde
Baru.83

Dari faktor ekonomi, Indonesia merupakan salah satu negara yang terkena
dampak dari krisis moneter dunia yang berakibat pada merosotnya nilai rupiah
secara drastis. Hal ini diperparah dengan utang luar negri Indonesia yang semakin
memburuk. Keadaan semakin kacau karena terjadinya ketidak stabilan harga-
harga bahan pokok termasuk minyak. Kenaikan harga minyak sendiri kemudian
berpengaruh pada kenaikan tarif angkutan umum. Dari faktor sosial, banyak
terjadinya konflik-konflik sosial diberbagai daerah di Indonesia. Selain itu, krisis
ekonomi yang berkepanjangan berdampak pada rakyat yang banyak mengalami
kelaparan. Hal ini berakibat pada hilangnya kepercayaan rakyat kepada
pemerintah. Ini beararti bahwa krisis ekonomi yang melanda Indonesia
mendorong hancurnya kredibilitas pemerintah Orde Baru dimata rakyat.84

Pada tahun 1997 krisis moneter mulai melanda Indonesia akibat


banyaknya kasus KKN. Awal tahun 1998 gerakan mahasiswa mulai melakukan
demonstrasi yang menuntut pemerintah Orde Baru untuk diruntuhkan. Mahasiswa
menuntut menurunkan harga-harga barang yang melonjak tinggi yang
mengakibatkan angka kemisikinan meningkat, naiknya jumlah pengagguran dan
menurunya minat murid untuk bersekolah. Demonstrasi ini juga mengakibatkan
bentrokya aparat keamanan dengan mahasiswa hingga memakan korban.85

83
Feri Kusuma, Wawancara, Jakarta: Selasa 06 Februari 2018
84
Setiono, Benny G.(2008).Tionghoa Dalam Pusaran Politik.Jakarat:Transmedia Pustaka
hlm.54-56
85
Ibid,hlm. 60
42

Demonstrasi mahasiswa yang menuntut agar MPR segera melaksanakan


sidang istimewa untuk memilih presiden baru guna memulihkan kondisi negara
yang semakin parah dan meminta Presiden Soeharto mundur dari jabatannya
karena dinilai gagal memulihkan kondisi ekonomi nasional, serta dilaksanakannya
reformasi politik, ekonomi, hukum dan budaya secara total. 86Menjelang kejatuhan
Soeharto, telah terjadi aksi mahasiswa besar-besaran hampir di seluruh wilayah
Indonesia dengan tuntutan perubahan akan pemerintahan yang demokratis serta
reformasi total. Demonstrasi mahasiswa itu ditangani dengan pola-pola represif,
melalui pembubaran aksi-aksi demonstrasi mahasiswa, penembakan di luar proses
hukum, maupun tindakan penganiayaan lainnya. Tragedi terbesar terjadi pada 12
Mei 1998, dimana aparat melakukan penembakan terhadap 4 orang mahasiswa
Trisakti, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto dan
Hendriawan Sie. Sementara korban luka mencapai 681 orang dari berbagai
perguruan tinggi di Indonesia.Esoknya terjadi kerusuhan massal yang
meluluhlantakkan sendi kehidupan rakyat Indonesia, khususnya Jakarta.Buntutnya
Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden pada 21 Mei 1998.
Sekitar taggal 8 – 14 November 1998, kembali terjadi kekerasan terhadap
mahasiswa. Mahasiswa berdemonstrasi untuk menolak sidang istimewa yang
dinilai inkonstitusional serta meminta presiden untuk mengatasi krisis ekonomi.
Demonstari ini kembali direspon aparat lewat penembakan dengan peluru tajam.
Akibatnya 18 orang mahasiswa meninggal, 4 orang diantaranya adalah yaitu
Teddy Mardani, Sigit Prasetya, Engkus Kusnadi dan BR Norma Irmawan.
Sementara korban yang luka-luka mencapai 109 orang, baik masyarakat maupun
mahasiswa.87
Aturan yang sedianya akan menggantikan UU Subversif, karena dianggap
bersifat otoriter itu dinilai tak jauh berbeda dengan UU Subversif itu sendiri.
Aparat keamanan kembali melakukan penembakan kepada mahasiswa, relawan
kemanusiaan, tim medis dan masyarakat yang menimbulkan 11 orang meninggal
di seluruh Jakarta, salah satunya adalah Yap Yun Hap di bilangan Semanggi
86
Rene L. Pattiradjawane, Trisakti Mendobrak Tirani Orde Baru Fakta dan Kesaksian
Tragedi Berdarah 12 Mei 1998, (Jakarta : Grasindo, 1999 ).hlm. 130-131.
87
Ibid,hlm. 135
43

Jakarta. Sementara korban luka-luka mencapai 217 orang.88Berbagai macam


stereotip dikenakan pada etnis Tionghoa.Stereotip itu semakin lama justru
membuat mereka menjadi semakin terdesak. Ketika mereka merasa terdesak,
mereka akan saling mendukung. Dalam kondisi itu, relasi antara sesama etnis
Tionghoa justru akan semakin kuat. Mereka akan semakin takut untuk keluar dari
kelompok mereka. Akibatnya, sikap eksklusif mereka justru akan semakin
menguat. Dan sebagai counter-nya, mereka akan berusaha bangun dengan sekuat
tenaga. Sering kali, setelah mereka bisa bangun, mereka kemudian bisa jadi balik
menyerang dengan berbagai macam sarana dan kesempatan yang mereka miliki.
Dengan kata lain, asimilasi total justru membawa pada perasaan tertekan.
Asimilasi tidak boleh dipaksakan. Asimilasi adalah sebuah proses wajar.
Asimilasi bisa berjalan dengan baik jika mereka diberi rasa aman, tanpa rasa
aman, asimilasi tidak akan terjadi. Yang terjadi justru adalah eksklusifitas yang
semakin tinggi.Ketika eksklusifitas semakin tinggi, kerusuhan menjadi tak
tertangguhkan.
Dalam susasana yang cheos pada saat itu, sampai saat ini tidak jelas
kenapa kemudian etnis Tonghoa di jadikan sebagai korban. Kekerasan yang
terjadi di 1998 terbukti dilapangan bukan saja kepada etnis Tionghoa, ternyata
banyak masyarakat asli warga Jakarta atau Indonesia yang menjadi korban
amukan masa pada saat itu. Mahasiswa mentuntu Soeharto untuk mundur dari
jabaatan sebagai presiden Indonesia, di saat bersamaan ada pihak-pihak dalam
gerakan reformasi yang bermain pada saat itu. Dan Tentara pada saat itu terpecah,
terjadi beberapa fraksi , dan di kabinet Gotong royong pun pecah. Ada
pertarungan politik pada masa, dan momentumnya terjadi pada Reformasi.89

Setelah kerusuhan itu, banyak orang tionghoa yang kehilangan segala-


galanya.Mereka kehilangan harapan, harga diri sebagai manusia, harga diri
sebagai wanita, dan juga harta mereka.Dalam situasi itu, tidak dipungkiri bahwa
banyak warga etnis tionghoa yang kemudian lari ke luar negeri.Bahkan,
menjelang kampanye pemilu 1999, mereka banyak yang mengantisipasi dengan
pergi ke luar negeri.Mereka trauma dengan peristiwa Mei 1998 di mana mereka
menjadi korban.

88
Jurnal KontraS “Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan”
89
Feri Kusuma, Wawancara, Jakarta: Selasa 06 Februari 2018
44

Isu rasial yang selalu di pakai pada Mei 1998 sering kali terjadi dalam
beberapa peristiwa yang terjadi di Indonesia, bukan isu baru adanya
pengklasifikasian antar etnis yang terjadi di Indonesia. Pola-pola isu rasial terus
berulang di Indonesia hanya saja kemasannya yang di perbaharui seseuai kondisi
dan situasi zaman. Peristiwa ini berpotensi untuk berulang kalau impunitas
kekebalan hukum terhadap pelaku masih terus terjadi persoalan sampai hari ini.90

B. Melemahnya Kebijakan Terhadap Etnis Tionghoa


Lengsernya Orde Baru, lantas berkembang era reformasi. Pada era ini
pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang lebih berpihak pada posisi
etnis Tionghoa di Indonesia khususnya di Jember. B.J Habibie menerbitkan
Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang penghentian penggunaan istilah
pribumi dan non-pribumi. Seluruh aparatur pemerintahan diperintahkan untuk
tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan
penduduk keturunan Tionghoa dengan Warga Negara Indonesia pada umumnya.
Disusul dengan kebijakan Abdurrahman Wahid yaitu Peraturan Presiden
No.6/2000 yang mencabut Instruksi Presiden No.14 1967 yang diskriminatif yang
dikeluarkan oleh pemerintah Soeharto. Inpres tersebut melarang segala bentuk
ekspresi agama dan adat istiadat di tempat umum. Dengan pencabutan larangan
tersebut, semua ketentuan yang ada akibat Instruksi Presiden No.14 tahun 1967
tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa tersebut dinyatakan tidak
berlaku. Dengan demikian penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan,
dan adat-istiadat Tionghoa dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus. kehadiran
undang-undang itu dengan tujuan untuk menghapus diskriminasi
kewarganegaraan etnis Tionghoa.91
Kerusuhan Mei 1998 sebagai klimaks ksrisi ekonomi politik yang
mengundang gerakan protes mahasiswa yang mengakibatkan banyak pengikut
Soeharto yang menarik dukunganya. Karena tidak mampu bertahan dalam

90
Feri Kusuma, Wawancara, Jakarta: Selasa 06 Februari 2018
91
Mahfud, Choirul.Manifesto Politik Tionghoa di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2013,hlm.283
45

keadeaan tersebut, Soeharto pada akhirnya dipaksa turun.Rezim baru yang


diagantkan oleh B.J. Habibie, terpaksa membuat dunia politik Indonesia menjadi
lebih demokratis sesuai dengan tuntutan Reformasi. Setelah jatuhnya Soehrto,
dibentuklah partai-partai politik baru. muncul lebih dari 100 partai, tiga
diantaranya didominasi oleh etns Tionghoa, yaitu: Partai Reformasi Tionghoa
(Parti), Partai Pembaharuan Indonseia dan Partai Bhineka Tunggal Ika Indonesia.
Sejumlah kelompok etnis Tionghoa tidak setuju dengan dibentuknya partai-partai
etnis Tionghoa, dan mereka lebih menginginkan organisasi-organisasi Tionghoa
non partai seperti Lembaga Swadaya Masyarakat. LSM Tionghoa pertama adalah
paguyuban Marga Sosial Tionghoa Indonesia (PMSTI,yang dikenal sebagi Yinni
Baijiaxiang Xiehui). 92

C. Peran Pemerintah dalam Stabilitas Etnis Tionghoa


Pasca lengsernya pemerintahan Orde Baru merupakan masa dimana terjadi
berbagai sentimen negatif terhadap dominasi etnis Tionghoa di Indonesia. Krisis
moneter yang menimpa Indonesia memunculkan rasa ketidak puasan dari
kalangan masyarakat luas terhadap kebijakan ekonomi pemerintah.Maraknya
praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) diperburuk lagi dengan kenyataan
bahwa beberapa pengusaha Tionghoa yang kaya adalah penyokong utama
pemerintah Orba, keadaan ini kemudian memicu meletusnya kerusuhan pada
tanggal 13-14 Mei 1998 di Jakarta. Kerusuhan ini kemudian mengundang
berbagai tindakan untuk melaksanakan aksi rasial anti Tionghoa di beberapa
daerah antara lain Purwakarta, Solo, Pekalongan, Jakarta, Situbondo,
Rengasdengklok, Banjarmasin, dan Makasar.Aksi tersebut bukan hanya ditujukan
pada kalangan pengusaha kecil etnis Tionghoa tetapi juga kepada tempat ibadah
seperti halnya Gereja Kristen dan Katolik serta beberapa Vihara dan Klenteng.93
Sikap politik para presiden RI mempengaruhi kehidupan orang Tionghoa,
dengan kebijakan yang mereka keluarkan.Kehidupan orang Tionghoa sebenarnya

92
Dwipayana, G.dan R.K. Hadimadja, Soeharto,Pemikiran,Ucapan dan Tindakan
saya,Jakarta:Citra Lamtoro Gung Persada, 1989.

93
Setiono, Benny G. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: ELKASA,2002,hlm.105
46

banyak mengalami perubahan. Sebagai perbandingan di era pemerintahan


presiden Suharto, ada kebijakan yang melarang segala hal yang berkaitan dengan
Tionghoa, mulai dari penggunaan nama, bahasa dan koran mandarin, sekolahan
dengan berbahasa mandarin.94Apalagi etnis ini masih dianggap sebagai orang
asing, yang secara politik dapat dimanfaatkan oleh para pemimpin Indonesia.Saat
presiden Suharto sering berulang-ulang mengatakan golongan minoritas
Tionghoa. Mesti melakukan pembauran Soeharto sebenarnya menganggap
masyarakat Indonesia harmonis. Jika terjadi kesenjangan kaya-miskin karena ada
kapitalis Tionghoa. Sedangkan pembangunan kurang lancar karena kurang
partisipasi warga Tionghoa yang kurang sadar sebagai warga negara. Di lain sisi
konglomerat Tionghoa dipandang sebagai etalase yang menampilkan wajah
ekonomi Indonesia yang maju, namun sekaligus sebagai kambing hitam politik.
Ada pula pandangan ekstrem mengatakan, yang bikin kacau ekonomi juga
konglomerat yang dapat fasilitas dari pejabat karena kedekatan mereka, misal
mendapat kemudahan kredit perbankan. Kenyataannya, di kalangan para muda
Tionghoa sebenarnya banyak mahasiswa yang terjun di bidang politik, misalnya
Ulung Rusman dengan gagah berani berdiri dibaris depan sebagai mahasiswa
angkatan Reformasi dalam era pergerakan reformasi tahun 1998. Ester Indahyani
Yusuf dan Surya Candra menggeluti profesi advokad di LBH Jakarta.95Mahasiswa
yang terlibat dalam pergerakan mahasiswa tahun 1998-1999 itu mendirikan
Jaringan Tionghoa Muda (JTM) yang terdiri dari berbagai elemen seperti peneliti,
pengusaha, mahasiswa, LSM.
Pada pemerintahan transisi Presiden Habibie, etnis Tionghoa mulai sedikit
demi sedikit diakui keberadaannya sebagai warga bangsa yang sama dengan
warga lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan mulai dihapuskannya kebijakan yang
berbau stigma terhadap etnis Tionghoa, diantaranya adalah penggunaan kata
Tionghoa untuk mengganti sebutan ‟Cina‟.96Meski demikian, tetap saja ada
beberapa menteri pada era Habibie seperti Menteri Koperasi, Adi Sasono yang
menggulirkan semangat ekonomi kerakyatan, dituduh anti-Tionghoa.
94
Ivan Wibowo (ed), Cokin? So What Gitu Loh!, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008, hlm.v
95
Ibid,hlm.436
96
Ibid,hlm.5
47

Kebijakannya membuat kalangan Tionghoa khawatir, karena berimplikasi


munculnya sentimen anti-Tionghoa dan terjadinya dikotomi antara kaum pribumi
dan non pribumi. Agar isu ini tidak membangkitkan sentimen anti-Tionghoa yang
memicu tindak kekerasan terhadap etnis cina seperti di pra reformasi, maka
dikeluarkanlah Inpres no 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak dibutuhkan lagi.
Salah satu strategi budaya yang dapat dilakukan untuk semakin
mendukung terjadinya asimilasi positif etnis Tionghoa sebagai bagian penuh dari
bangsa Indonesia adalah dengan menyembuhkan luka sejarah. Hal ini menjadi
strategi lanjut atas pengakuan simbolik formal yang telah dicetuskan oleh
pemerintah pasca Reformasi terhadap eksistensi etnis Tionghoa Indonesia sebagai
bagian dari bangsa Indonesia.Untuk itulah, luka sejarah itu harus disembuhkan
dengan mulai mengakui eksistensi etnis Tionghoa sebagai bagian integral dari
bangsa Indonesia.
Puncak kerusuhan yang terjadi karena kekosongan berpikir dari warga
pribumi ini terjadi saat kerusuhan Mei 1998 meletus.Era reformasi yang ditandai
dengan bangkitnya angkatan muda rasional kritis dalam diri para mahasiswa
ketika berhasil melengserkan kekuasaan Orde Baru menjadi harapan baru bagi
kehidupan bangsa Indonesia yang lebih demokratis. Bagi etnis Tionghoa yang
selama ini selalu dijadikan ‟kambing hitam‟ pun mulai mendapatkan harapan baru
dengan kebijakan-kebijakan yang baru dari rezim reformasi berkaitan dengan
penegasan identitas diri mereka (etnis Tionghoa) sebagai bagian dari bangsa
Indonesia. Pasca reformasi, etnis Tionghoa mulai mendapatkan pengakuan
simbolik dari pemerintah bahwa keberadaan mereka di negeri ini adalah sebagai
bagian integral dari bangsa Indonesia.Berbagai macam keputusan pemerintah
Orde Reformasi yang menghapus keputusan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa
era Orde Baru menjadi semacam usaha dalam merajut kembali konsolidasi
sebagai bangsa Indonesia yang plural. Dengan adanya kebijakan-kebijakan
tersebut, kini etnis Tionghoa mulai menegaskan kembali identitas khas mereka
sebagai etnis Tionghoa Indonesia, sebagaimana juga terjadi bagi etnis-etnis yang
lain. Kebudayaan mereka pun mulai diakui sebagai bagian dari kebudayaan
48

Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan mulai diberlakukannya Hari Raya Imlek
sebagai hari libur Nasional sebagaimana Muharam dalam Jawa, agama Konghucu
serta falsafah Tionghoa mulai diakui dalam hidup masyarakat, serta terbukanya
keterlibatan politik praktis bagi warga etnis Tionghoa dalam proses demokrasi
pemerintahan Indonesia.97
Multikulturalisme didefinisikan sebagai pengakuan dan dorongan terhadap
pluralisme budaya, muliti budaya menjunjung tinggi dan berupaya untuk
melindungi segenap warga negara Indonesia. Dalam konsep kenegaraan bangsa
Indonesia, meski pun sudah mulai bernuansa pluralis, dasar kepribumian itu kini
bukan saja di-tujukan kepada etnis Tionghoa, tetapi juga kepada sesame suku
Indonesia sendiri. Misalnya, orang Madura di Kalmantan dianggap bukan pribumi
sehingga mendapat perlakuan yag tidak wajar. Jadi, dampak kepribumian bukan
saja terhadap etnis Tionghoa, tetapi lebih besar lagi bagi negara kesatuan
Indonesia.98

97
Keppres yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid memberi kebebasan ritual
keagamaan, tradisi dan budaya kepada etnis Tionghoa; Imlek menjadi hari libur nasional berkat
Keppres Presiden Megawati Soekarnoputri.Di bawah kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono,
agama Khonghucu diakui sebagai agama resmi dan sah.berbagai kalangan etnis Tionghoa
mendirikan partai politik, LSM dan ormas. SBKRI tidak wajib lagi bagi WNI.
(http://www.ranesi.nl/tema/masyarakat/etnis_tionghoa_reformasi080731)
98
Eddy Sadeli, wawancara, Jakarta, Sealasa 21 januari 2018
BAB IV
KEBIJAKAN PEMERINTAH ORDE BARU
TERHADAP ETNIS TIONGHOA

A. Kebijikan Orde Baru Dan Kewarganegaraan Etnis Tionghoa


Orde baru memulai kekuasannya setelah Soeharto menjadi Presiden., saat
itulah dimulai penerapan kebijakan yang melarang segala hal yang berbau
Tionghoa. Sebuah rezim yang pro terhadap Barat, membuat Indonesia menjdi
negara yang sangat diskriminatif pada etnis Tionghoa99. Sejak peristiwa 30
September 1965, ada trauma yang mendalam di kalangan masyarakat Tionghoa
yang menyebakan mereka selalu menghindari keterlibatan di bidang
politik.Mereka bahkan enggan berbicara mengenai hal-hal yang bersinggungan
dengan yang terjadi pada saat itu. Orang-orang keterunun Tionghoa distigmakan
sebagi kelompok yang berkiblat pada (komunis) ke Tiongkok selama Rezim Orde
Raru berkuasa100sejak awal berdirinya rezim Soeharto,ada keyakinan umum
bahwa keturunan Tionghoa tidak memiliki sentiment kebangsaan. Orang-orang
keturunan Tionghoa di curigai telah mendukung politik kaum kiri karena RRC
adalah negara komunis.Terjadi idintifakasi yang esensial dan umum antara etnis
Tionghoa dan komunisme.Stigma sebagi kaum kiri keturunan Tionghoa karena
telah terlibat dalam kudeta 1965 dianggap menular dan menurun kegaris
selanjutnya.
Pengakuan terhadap identitas kultural sebagi hak yang perlu dimiliki oleh
setiap kelompok etnis juga dirasakan oleh oarng-orang keturunan Tionghoa di
Indonesia .keberadaan mereka hingga sekarang masih menjadi suatu
persoalan.Orang-orang Tionghoa belum diterima secara penuh kedalam bagian
dari anggota bangsa Indonesia. Hal ini dikarenakan oleh tidak adanya istilah baku
bagi keturunan Tionghoa yang telah menaggalkan akar-akar kultural mereka

99
Nuraini,Soyomukti,Soekarno&Cina,Yogyakarta:Garasi,2002,hlm.304
100
Chaang-Yau Hoon,identitas Tionghoa pasca Soeharto:Budaya,Politik,dan
media,Jakarta:Yayasan Nabil dan LP3ES,2012,hlm.174

49
50

dari negeri asal101. Pengakuan terhadap identitas kultural ( keturunan Tionghoa )


merupakan salah satu bagian dari masalah etnis Tionghoa yang belum
terselesaikan. Pada masyarakat pribumi berkembang pandangan yang tidak
menguntungkan terhadap keberadaan orang-orang keturunan Tionghoa yang
cenderung ekslusif dan mempertahankan hubungan kekaraban dengan negri
leluhurnya.Selain masih berkembangnya sikap negatif dikalangnan pribumi
tehadap orang-orang Tionghoa, kebijaka pemerintah yang tidak menentu arahnya
dalam menangani persoalan kultural, merupakan wujud nyata belum
terselesaikanya masalah Tionghoa.
Masalah Tiongho di Indonesia sangat berkitan dengan sikap dan kebijakan
pemerintah yang tidak cukup tegas dalam persoalan kewarganegaraan orang-
orang keturunan Tionghoa. Kebijakan asimilasi yang diterapkan menjadi salah
arah, dikarenakan muncul pandangan bahwa loyalitas orang-orang keturunan
Tionghoa hanya dapat dicapai melalui pengingkaran terhadap cirri-ciri cultural
mereka, dalam kenyataanya, keberagaman adalah sebuah fakta kehidupan, dan
kesatuan dalam keberagaman dapat dicapai tanpa harus melakukan peyeragaman.
Orde Baru dibawah pimpinan Presiden Soeharto menaruh curiga atas
hubungan-hunbungan yang dijalin oleh etnis Tionghoa dengan Republik Rakyat
Tiongkok .pemerintah Indonesia begitu bersemangat untuk menciptakan sebuah
homogen sehingga pemerintah mengambil kebijakan asimilasi terhadap kelompok
etnis Tionghoa. Penting untuk dicatat bahwa bangsa yang homogen disini
ditegakan atas model pribumi. Kelompk etnisTionghoa dipandang sebagi
kelompok nonpribumi dankarena itu harus menanggalkan identitas ketiongkokan
mereka jika ingin menjadi warga negara Indonesia asli.Namu, identitas Pribumi
Indonesia yang harus dikikuti oleh kelompok etnis Tionghoa itu tidak di
definisikan dengan jelas.
Kebijakan asmilasi yang diterapkan pada masa Orde Baru di dasarkan
pada semboyan Bhineka Tunggal Ika, Tan Han Dharma Mangrwa.Indonesia
mempunyai masyarakat yang beraneka ragam,bergabung bersama kesatuan

101
Turnomo Rahardja,Kebijkan Pemerintah Tentang Cina dalam Dialog, JLAKP:12
No.2,Mei, c2005,hlm.784
51

Indonesia seperti digambarkan dalam lambang”Bhineka Tunggal Ika”, Tan Han


Dharma mangrwa , makna semboyan Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi
pada hakekatnya satu, satu bangsa dan satu negara Republik Indonesia. Sementara
semboyan Tan Han Dharma Mangrwa102memiliki makna yaitu tidak ada
kebenaran yang bermuka dua, sesungguhnya memiliki pengertian agar hendaknya
setiap insan manusia senantiasa berpegang dan berlandaskan pada kebenaran satu.
Orang-orang keturunan Tionghoa diharapkan meleburkan kebudayaanya,
adat istidat serta cirri-ciri lainya kedalam kebeinekaan masyarakat Indonesia.
Semboyan Bhineka Tungkal Ika menghendaki kesatuan bangsa, termasuk juga
kesatuan antara minirotas dan mayoritas.Golongan minoritas tidak bisa hanya
menuju ke suatu masyarakat yang adil dan makmur, tetapi juga harus memenuhi
dan melaksanakan cita-cita negara Indonesia yaitu kearah kesatuan. Selanjutnya
menuju kearaha kesatuan ini hanya dapat terwujud dengan proses asimilasi,
sehingga sifat eklusif tidak lagi tertanam di kalangan etnis Tionghoa. sehingga
hubungan antara minoritas dan mayoritas di pererat dan menambah perkawinan-
perkawinan campuran antara pribumi dan etnis Tionghoa. Maka dengan demikian
dapat tercapailah asimilasi, sosial,ekonomi serta politik.

1. Kebijakan Terhadap Politik


Kegiatan orang Tionghoa dalam bidang politik begitu dibatasi seperti
pelarangan yang mengarah kepada yang bersinggungan dengan politik.Hal ini
ditunagkan dalam intruksi Presidium kabinet No.31/U/IN/12/1966. Kepada mentri
dan kantor catatan sipil103. Setelah pergantiaan pemerintah dari Orde Lama ke
Orde Baru, Orde Baru melarang semua organisasi sosial-politik yang bersifat

102
Semboyan Tan Han Dharma Mangrwa ini dianut dan dipercaya oleh Presiden Soeharto
pada saat itu, karena presiden Soeharto sendiri adalah seorang militer. Semboyan Than Han
Dharma Mangrwa juga diterapkan di bidang militer, sesui dengan maknanya yaitu tidak ada
keragu-raguan, tidak ada kebenaran yang bermuka dua serta senantiasa berpegang dan
berlandaskan pada kebenaran yang satu, kerana didalam militersendiri kesetiaan dan kepercayaan
hanya ada satu yaitu kepercayaan kepada pemimpin. Semboyan Tan Han Dharma Mangrwa ini
diterpkan kepada orang-orang keturunan Tionghoa karena mereka memiliki kesetiaan yang
mendua yiaitu kesetiaan kepada Indonesia, dan juga kepada negrinya Tiongkok.Dengan
diterapkanya semboyan tersebut, maka diharpkan oarng-orang keturunan Tionghoa hanya
mempunyai kesetiaan yang satu yaitu kesetiaan kepada negara Republik Indonesia.
103
Junus Jahja, Non Pri di Mata Pribumi, Jakarta:Yayasan Tunas Bangsa,1991,hlm.224
52

ekslusif yang ingin melihat orang Tionghoa yang bergabung dalam organisasi
masyarakat yang didominasi oleh pribumi. Hal ini bisa dilihat pada tahun 1965,
bahwa keturunan Tionghoa tidak ada yang menjadi pegawai negri atau pegawai
pemerintahaan. Pegawai negri ataupun pegawai pemerintahan mayoritas dipegang
sepenuhnya oleh kalangan pribumi.
Selama 30 tahun masa pemerintahan Orde Baru yang otoriter, akibat
peraturan yang berlaku pada saat itu, orang Tionghoa tidak dapat melakukan
kegitan apapun di bidang politik. Terjadinya sikap apolitik dikalangan Tionghoa
walaupun sikap yang sama tampak pada hampir semua kelompok orang
Indonesia. Seperti telah diungkapkan oleh beberapa pengamat, orang-orang
Tionghoa mengalihkan kegiatan mereka ke bidang ekonomi, satu-satunya bidang
kehidupan yang masih terbuka bagi mereka. Perlahan-lahan mereka menjadi
merubah diri mnjadi economic animal yang pada giliranya menimbulkan rasa
marah dikalangan no-Tionghoa, sikap apolitik dikalangan Tionghoa telah
membuat diri mereka benar-benar anti politik, dengan sedemikan rupa sehingga
mereka menjauhi segala sesuatu yang bersinggungan dengan politik, sikap anti
politik inilah yang kini tertanam dalam bidang-bidang yang sangat sulilt untuk
diatasai104
Untuk menganalisis letak permasalahan yang dihadapi etnis Tionghoa
dalam sektor Politik di masa pemerintahan Orde Baru terdapat 3 faktor yaitu :
Pertama adalah perkembangan kebijakan pemerintah orde baru yang secara sadar
membangkitkan perbedaan golongan pribumi dan non pribumi. Selain itu
perlakuan khusus secara berabad-abad sebagai golongan penduduk istimewa telah
menumbuhkan di golongan pribumi sikap hidup dan prilaku ekslusif. Namun
perlakuan yang berbeda dari kelompok non pribumi ini hanya diberikan
kebebasan dalan sektor ekonomi tidak dalam bidang seperti (Politik,sosial-budaya
dan Hankam ). Kedua, konsep nation dan character building yang diterapkan
pemerintah memang menimbulkan perbedaan dalam sektor ekonomi pasar untuk
masyarakat Tionghoa sehinggamereka Etnis Tionghoa dapat lebih maju dalam

104
Wibowo I, Setelah Ari Mata Kering „Masyarakat Tionghoa Pada Peristiwa Mei 1998‟,
Jakarta:Kompas,2010,hlm.25-26
53

sector ekonomi. Dan oleh sebab itu perasaan tidak puas akan keadaan ini di
tunjukan oleh masyarakat pribumi yang pada akhirnya membuat pemerintah perlu
campur tangan untuk mengkoreksi mekanisme pasar yang tecantum, di keputusan
Presiden nomor 14A/1982 tentang pelaksaan Anggaran pendapatan dan belanja
negara mengurangi ketimpangan ekonomi antara Pribumi dan nonpribumi. Ketiga,
kasus BAPERKI (BadanPermusyawaratan Indonesia) juga menjadi penghambat
msayarakat Tionghoa untuk berpartisipasi dalam sector politik, dan hal ini
dikarenakan di mmasa orde baru pembentukan kekuatan politik yang didasarkan
ras tidak dapat diterima terlebih organisasi ini memiliki hubungan dengan RRC
(Republik Rakyat Cina) dan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang menginginkan
negara Indonesia menjadi Negara Komunis.105
Di masa itu hampir seluruh masyarakat Tionghoa berorientasi ke tanah
leluhurnya membuat gerakan Pan-Cina. Inilah awal pertama kali masyarakat
Tionghoa mulai mengenal perpolitikan walaupun di masa – masa selanjutnya
gerakan Pra-Cina ini dipecah menjadi 2 bagian yang berhaluan BAPERKI (Badan
Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) dan haluan lainyana seperti LPKB
(Lembaga kesatuan Pembinaan Bangsa).106
Dari ketiga faktor tersebut terlihat bahwa kelompok Tionghoa hanya di
berikan keluasaan dalam sector ekonomi oleh pemerintah, walaupun dalam sektor
politik pemerintah memberikan sedikit ruang untuk masyarakat Tionghoa dalam
berpartisipasi di kancah perpolitikan Indonesia. Unsur-unsur yang mendukung
terjadi problematika politik etnis Tionghoa di Indonesia pada masa Orde Baru
adalah ketika tahun 50-an, pergolakan politik di banyak Negara Asia Tenggara
lebih diwarnai oleh pertentangan-pertentangan paham/ideologi terbentuknya
kolonialisme dan nasionalisme, terbentuuknya otoritierisme dengan demokrasi,
terbentuknya kapitalisme dengan sosialisme dan komunisme, tetapi dimasa

105
Siswanto Yudohusodo,”kelompok Bisnis Dalam Proses Politik di Indonesia”,dalam
Junus Jahja (ed ),Non Pribumi dimata Pribumi,(Jakarta:Yayasan Tunas bangsa,1990,hlm.242
106
Leo Suradinata, Negara dan etnis Tionghoa,(Jakarta:LP3ES,2002), hlm. 94
54

sekarang pergolakan politik yang terjadi lebih banyak terjadi disebabkan oleh
masalah-maslah ekonomi.107
Selain faktor ekomoni yang mendukung pergolakan politik masyarakat
Tionghoa, yaitu terdapat juga faktor pendukung yang terjadinya problematika
politik etnis Tiongha yaitu masalah pembauran yang tidak dapat diselesikan
pemerintah. Walaupun pemerintah memberikan upaya untuk menyelesaikan
masalah pembaharuan dengan program asimilasi.Tetapi dalam prakteknya
program asimilasi ini mengalami banyak kendala seperti hubungan Pribumi
dengan etnis Tionghoa yang kurang baik.108
Walaupun begitu banyak kendala yang di hadapi, namun selama
pemerintah Orde Baru program asimilasi secara perlahan dapat diterapkan kepada
masyarakat Pribumi atauEtnis Tionghoa. Di samping itu masyarakat Tionghoa
secara perlahan telah mengalami peranaksasian dan Indonesianisasi kerena
kebijakan asimilasi yang di ambil oleh Presiden soeharto dengan kata lain,
walaupun identitas Tionghoa masih bertahan hanya komponen totok-nya yang
semakin berkurang. Selain kebijakan asimilasi yang diterapkan, konsep bangsa
pribumi ( nation ) Indonesia yang ketat (rigid) juga menjadi penghalang bagi
masyarakat Tionghoa terutama peranakan Tionghoa ke dalam wadah bangsa
Indonesia baik dalam bidang ekonomi dan politik yang demokrasi.109
Pengalaman rezim Orde Lama memotivasi Rezim Orde Barumengubah
kebijakan untuk mengatasi permasalahan perihal dominasi etnis Tionghoa di
Indonesia. Namun pergantian pemerintaha Orde Lama tidak serta merta
membawa angin segar terhadap hilangnya diskriminasi rasial yang dialami oleh
etnis Tionghoa di Indonesia. kenyataan yang ada, diskriminasi rasial terhadap
etnis Tionghoa masih saja terjadi dan berlanjut pada masa Orde Baru. Pada masa
pemerintahan Orde Baru, keberadaan etnis Tionghoa menjadi masalah yang lebih
serius.Masalah tersebut begitu kompleks bukan hanya mengenai identitas
kebangsaan, tetapi berkaiatan juga dengan permasalahan politik.

107
Emil Salim,”Membina Keselarasan hubungan antara pribumi dan non-pribumi”dalam
junus Jahja,Non Pri dimata Pribumi,(Jakarta:yayasan Tunas Bangsa,1991),hlm. 152
108
Ibid,hlm. 154
109
Leo Suryadinata, Negara dan etnis Tionghoa,(Jakarta:LP3ES,2002),hlm. 20.
55

2. Kebijakan Terhadap Sosial dan Budaya


Salah satu peraturan yang berkaitan dengan asimilasi, yang pertama kali
dikeluarkan oleh pemerintah Orde Baru adalah Intruksi Presiden No.14/1967. Isi
intruksi tersebut adalah sebagi berikut :
“Tanpa mengurangi jaminan keleluasaan memeluk agama dan menunaikan
ibadatnya, tata cara ibadat etnis Tionghoa yang memiliki aspek afinitas kultur
pada negri leluhur, pelaksanaanya harus dilakukan secara intern dalam hubungan
keluarga atau perorangan.
Pada tangggal 6 Desember 1967 presiden soeharto mengeluarkan intruksi
presiden nomor 14 tahun 1976 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat
Tionghoa. Dalam intruksi tersebetut ditetapkan bahwa semua upacara agama,
kepercayaan, dan adat istiadat etnis Tionghoa hanya boleh dialaksanakan di
keluarga dan dalam ruang tertutup.Intruksi presidenini bertujuan untuk
melikuidiasi pengaruh seluruh kebudayaan Tionghoa.Termasuk kepercayaan,
tradisi, adat istiadat, dan agamanya, dan mendorong terjadinya asimilasisecara
menyeluruh.
Keluarnya intruksi presiden tersebut menyatakan adat istiadat Tionghoa
dilarang dipertontonkan di depan umum, hal ini membuat keturunan Tionghoa
tidak bebas melestarikan budaya leluhurnya di Indonesia. Tidak hanya disitu,
pelestarian budaya leluhur orang-orang keturunan Tionghoa dikhawatirkan oleh
pemerintah akan mengganggu proses program asimilasi yang telah di susun.
Keijakan asimilasi mengakibatkan pengikisan bahasa serta kebudayaa
Tionghoa.Organisasi di bubarkan dan sekolah yang berbau Tionghoa ditutup.Hal
ini berjalan dengan kebijakan asimilasi ini. Kebijakan asmilisasi di Indonesia
merupakan kebijakan yang paling radikal, sebab kebijakan tersebut telah
menghilangkan tiga pilar yaitu menyangga keberadaan masyarakat dan identitas
kultural orang-orang keturunan Tionghoa, yaitu sekolah, media masa, dan
asosiasi-asosiasi orang keturunan Tionghoa110.

110
Rahardja.T, Menghargai Perbedaan Kultur: Mindfullnes dalam Komunikasi antar
Etnis,Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2005,hlm.787
56

Selama 11 tahun sesudah Soherto memegang kekuasaan, rezim yang baru


menyambut baik agama Konghucu.Pemimpin-pemimpin mereka menjalin
hubungan erat dengan militer.Mereka juga di dukung oleh partai pemerintah yaitu
Golkar, pada pemilihan 1977.Tak lama kemudian rezim Soeharto merasa cukup
kokoh sehingga tidak memerlukan dukungan kelompok penganut agama
Konghucu.Lagi pula para jendral merasa bahwa agama konghucu adalah
penghambat bagi asimilasi warga negara Indonesia keturunana Tionghoa.Sejak
tahun 1978, pemerintah juga mulai menjaga jarak terhadap agama Konghucu.
Pada awal tahun 1979 pemerintah Orde Baru juaga menerbitkan sebuah surat
keputusan yang menyebutkan bahwa agama konghucu bukan agama. Berikut ini
adalah diskriminasi akibat dari dikeluarkanya intruksi presiden dalam masalah
konghucu :
a. Diskriminasi pendidikan
Umat Konghucu dipaksa untuk mangambil salah satu mata pelajaran
agama dari kelima agama yang ada.Maka hal tersebut dikarenakan tidak ada
guru yang mengampu pendididkan agama Konghucu.Rata-rata umat
Konghucu pada zaman terdahulu mengambil mata pelajaran Katolik, Kristen
dan Budha.Ada pula yang akhinrnya mengambil mata pelajaran pendidikan
agama Islam.Dikarenakan siswa yang berkeyakinan agama konghucu di
sekolah tidak mendapatkan hakuntuk memperoleh agama Konghucu, maka
banyak masyarakat Konghucu berpindah agama.
b. Diskriminasi Beribadah
Umat Konghucu hanya dapat beribadah dengan cara sembunyi-
sembunyi di litang maupun Klenteng. Akan tetapi ketika ingin mengadakan
upacara-upacara besar/tahun baru Imlek di batasi, bahkan klenteng di agar
ditutup.

c. Diskriminasi Aksara
Aksara kitab-kitab Konghucu tidak ditulis dalam bahssa mandarin
sehingga diterjemahkan dalam baha Indonesia murni dengan tidak
menampilkan kitab aksaranya.Dahulu tidak diperbolehkan, karena kalau
57

ditapmilkan dalam bahasa mandarin bisa di tanggap, disita bahkan sampi


diintimidasi.
d. Diskriminasi Perkawinan
Dalam perkawinan umat Konghucu juga harus memilih perkawinan
satu diantra lima agama, yaitu Islam, Katolik,Kristen, Hindu dan Budha.
Menyikapi permasalahan ini ada tiga jalan : pasangan penganut agam
Konghucu menggugat kecatatan sipil walupun prosesnya begitu panjang
sampai dengan ke Mahkamah Agung. Kedua, jalan yang paling banyak
ditempuh oelh umat yang beragama Konghucu mencatatakan dirinya sebagai
agama lain misalnya agama Katolik, Budha walaupun di berkati di
liteng/klenteng agar perkawinan diakui oleh negara.
e. Diskriminasi KTP (Kartu Tanda Penduduk)
Di dalam KTP, tidak ada pilihan agama Konghucu, sehingga umat
Konghucu dipaksa untuk memilih ke lima agama yang ada di Indonesia.
Dsiriminasi juga dialami dalam administrasi kependudukan seperti KTP
(Kartu Tanda Penduduk) dan akta kelahiran, kebanyakan dari penganut
agama Konghucu akhirnya mencatatakan agama lain di akta kelahiran
maupun di KTP, jiak tidak memilih satu dari agama yang ada, maka sama
saja tidak mendapatkan haknya sebagi warga negara. Seperti kesulitan dalan
pencatatan perkawinanan di catatan sipil, kesulitan mendapatkan akta
kelahiran anak dan memperoleh hak pendidikan bagi si anak. Akan tetapi jika
umat Konghucu mencatatkan agamanya di kolom KTP tidak sesuai dengan
keyakinanya sama saja dengan membohongi Tuhanya. Pada akhirnya umat
Konghucu menuliskan agamanya di kolom KTP terserah dan tidak
mempermasalahakanya, yang terpenting adalah meyakinkan keyakinan
mereka kepada Tuhan.
Kebijakan asmilasi etnis Tionghoa didefinisikan dari sudut upaya untyk
menghapus komponen Tionghoa dari kebudayaan Indonesia, maka tidak
mengherankan apabila tidak lama sesudah agama Konghucu tidak diakui
sebagi agama, pemerintah mulai membina agama Budhha. Menurut pandanga
rezim Orde Baru agama Budhha lebih mencirikan Indonesia dibanding
58

dengan agama Konghucu.Indonesia memang pernah menjadi tempat


tumbuhnya dua kerajaan Budhha yang besar, yaitu Syailendra dan
Sriwijaya.111

3. Kebijakan dalam Bidang Ekonomi


Berakhirnya demokrasi terpimpin pada tahun 1967 mewariskan keadaan
ekonomi yang sangat buruk bagi priode pemerintahan Orde Baru di Indonesia.
Pada tahun 1965, harga-harga umumnya lebih naik dari 500%.keadaan yang
paling parah terjadi pada bulan Januari, Februari, dan Maret 1966112. Pada awal
pemerintahan Orde Baru berkuasa terjadi ketidak stabilan ekonomi, yang
sebenarnya merupakan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang terjadi pada
pemerintahan sebelumnya. Melihat hal tersebut maka kebijakan-kebijakan di
bidang perekonomian mulai diupayakan pemerintah, seperti meninggalkan pola
ekonomi komando versi Orde lama dan membiarkan kekuatan pasar sebnyak
mungkin untuk menentukan keputusan-keputusan ekonomi.menghadapi
kenyataan tersebut, pemerintah Orde Baru mengambil kebijakan untuk mengatasi
perekonomian negara yang semakin memburuk. Salah satu kebijakanyanya adalah
menggunakan etnis Tionghoa berdasarkan kecenderugan tersebut pemerintah
megambil keputusan yang sangat penting dalam upaya mengembalikan kestabilan
dan membangun perekonomian serta menarik para kreditor investor asing.
Berdasarkan hal tersebut, maka pemerintah Indonesia memberlakukan Undang-
undang Penanaman Modal Asing (UUMPA) dan Undang-undang penanaman
Modal Dalam Negri (UUPMDN), sebagimana dijelaskan sebagi berikut :
Di bidang ekonomi perubahan penting yang dilakukan Orde Baru adalah
dengan di terapkanya TAP No. XIII/MPRS/1966 tentang penyelesaian ekonomi
dan permasalahan keuangan, serta di terapkanya undang-undang penanaman
modal asing (UUMPA) tahun 1967 dan undang-undang penanaman modal dalam

111
Wibowi I dan Tung Ju Lan, Setelah air nata Kering: masyarakat Tinghoa pasca
peristiwa Mei 1998,Jakarta:Kompas,hlm.85
112
Herwiranto M, Klenteng :Benteng Terakhir dan Titik awal perkembangan Budaya
Tionghoa di Indenesia,hlm.83
59

negri (UUPMDN)tahun 1968, yang menjamin keamanan modal asing di


Indonesia”113
Dengan adanya UUPMA dan UUPMD tersebut, pemerintah Orde Baru
memberikan berbagai kemudahan yang member jaminan keuntungan dan
perlakuan istemewa terhadap investor asing.Kebijakan ini memberikan
kesempatan bagi para pengusaha Tionghoa untuk dapat memperbesar
usaha.Sehingga mereka memiliki peranan penting dalam perekonomian di
Indonesia. Situasi ini dijelaskan sebagai berikut :
“Pada awal pemerintahan Soeharto, tahun 1966oarng Tionghoa banyak
diberikan peluang, karena pada saat itu mereka dianggap memiliki akses keluar
negri untuk menarik para investor asing, khususnya warga etnis Tionghoa yang
keturunan Taiwan, Hongkong dan Singapura. Kenyataanya, strategi yag
diterapkan oleh pemerintahan Soeharto pada saat itu cukup berhasil menarik para
investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Banyak investor asing
yang pada umumnya bekerjasama dengan etnis Tionghoa, karena kelompok ini
telah menguasi jalur distribusi perdagangan dalam negri dan dekat dengan elit
pemerintahan Soeharto, sehingga mudah mendapatkan koneksi dan lisensi.114
Sejalan dengan kebijkan tersebut, pemerintah Orde Baru juga
menganjurkan kepada para pengusaha Tionghoa untuk melakukan usaha kerja
sama dengan perusahaan swasta nasional Indonesia. Pemberian kebebasan bagi
pengusaha Tionghoa untuk bekerjasama dengan perusahaan swsta maupun
pemerintah tersebut membawa dampak negatif seperti lahirnya kerjasama atau
pengusaha Tionghoa dengan pemerintah.Para elit memberikan perlindungan
keamanan dan memberikan fasislitas kepada pengusaha Tionghoa, semantara itu
pengusahah Tionhoa memberiikan jaminan uang sebesar-besarnya kepada elit
pemerintah, agar memperlancar usaha mereka.Kerjasama ini yang kemudian
dikenal dengan sistem cukong atau cukongnisme yaitu istilah Tionghoa (Hokkien)
yang artinya majikan.Cukong diadopsi daro sistem benteng Ali Baba pada masa
Orde Lama. Pada satu hal, kebijakan ekonomi tersebut banyak memberikan
113
Wirawan Yery, Dinamika Ekonomi Politik Awal Orde Baru,Jakrta:Skripsi Program
Studi Sejarah Fakultas sastra Universitas Indonesia,hlm.47
114
Ibid,hlm.38
60

keuntungan pertumbuhan ekonomi bagi Indonesia. Dengan adanya keterbukaan


penanaman modal asing mendorong terciptanya pasar bebas, kemudian
munculnya dominasi Tionghoa dalam sektor perekonomian seiring dengan
perekonomian Indonesia yang terus membaik dan stabil.
Meski pada awalnya etnis Tionghoa diberikan kesempatan untuk
menegembangkan usahanya dalam rangka pembangunan ekonomi, dalam
prakteknya mereka selalu berhadapan dengan birokrasi dan masalah keamanan
usaha dari ancaman pribumi yang selalu memendam prasangka kepada
mereka.Untuk mengatasi birokrasi tersebut mereka menjalin tali kerjasama
dengan para elit pribumi yang dekat dengan kekuasaan.Dengan adanya kerjasama
dijelaskan sebagi berikut :
“Untuk menghindari kesulitan birokrasi dan untuk pengamnan banyak pengusaha etnis
Tionghoa berkolaborasi dengan elit Indonesia, terutama dengan pihak militer. Kolaborasi yang
tidak resmi yang sangat umum pada saat itu adalah pengusaha etnis Tionghoa memberikan
dukungan modal dan mengelola usaha, sedangkan elit Indonesia memberikan konesi atau lisensi
monopoli, keduanya sangat diuntungkan oleh kerjasama semacam ini, yang dikenal pada saat itu
dengan sebutan Cukongnisme”.115
Kerjasama tersebut menghasilkan sikap atau tindakan saling mengisi
antara elit pribumi dan pengusaha Tionghoa. Dengan adanya aksi-aksi kerusahan
imbas dari dominasi para pengusaha Tionghoa dalam bidang perekonomian,
mereka tidak segan-segan dalam memberikan sogokan dalam bentuk uangdan
sebagainya dengan cumlah yang besar.Sebagai jaminanya mereka diberikan
perlindungan khusus oleh elit pribumi. Para cukong memberikan sumbangan
untuk tujuan yang mereka anggap baik untuk beberapa saat. Media massa tersebar
dengan laporan-laporan yang mengindikasikan keterlibatan mereka dalam
pembiayaan kampanye politik Golkar samapi aksi-aksi yang kurang transparan116
.
4. Kebijakan Dalam Bidang Agama
Pada kebijakan bidang Agama Pemerintah Orde Baru menerapkan
kebijakan di bidang Agama teradap etnis Tiongoa tidak jauh berbeda dalam
bidang sosial dan politik yang dipersempit ruang lingkupnya ole pemerinta Orde
115
I Wibowo, Retropeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina, Jakarta:PT. Gramedia
Pustaka Utama,1999,hlm.99
116
Yuisum Lien, Prasangka Terhadap Etnis Cina:sebuah intisari evaluasi 33 tahun di
bawah rezim Soeharto,Jakarta:Djambatan,2000,hlm.75
61

baru dan hanya diizinkan bergabung dengan organisasi-organisasi yang telah


berbaur dengan pemerintah Orde baru. Hal ini dikarenakan setelah adanya
peristiwa Gerakan 30 September 1965 terjadi organisasi-organisasi baik berbentuk
sosial ataupun politik dan keagamaan dipersempit ruang lingkupnya. Sementara
itu kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Orde baru untuk etnis
Tionghoa seperti pelarangan menonjolkan SARA (Suku,Ras dan agama) dalam
publik umum.
Pada tanggal 6 Desember 1967, Orde Baru mengeluarkan keputusan No.14
tahu 1967 tentang asimilasi atau pembaharuan, dalam hal ini adalah dimaksud
memaksa warga Tionghoa untuk menghilangkan identitas Tionghoa dan diganti
dengan identitas budaya setempat. Peraturan ini memenag tidak langsung
berdampak terhadap bagi umat konghucu tetapi hanya membatasi aktivitas budaya
etnis Tionghoa di depan umum. Namun pada perkembanganya peraturan tersebut
turut mempengaruhi aktivitas umuta Konghucu dikarenakan ajaran Konghucu
adalah bagian dari identitas budaya etnis Tionghoa.
Mencermati berbagai fungsinya, tidaklah disangkal bahwa klenteng
menjadi salah satu pusat kegiatan masyarakat Tionghoa yang berada di Indonesia.
Akan tetapi pemerintah Orde Baru membawa perubahan besar terhadap klenteng-
klenteng di Indonesia melalui Mentri perumahan No.455.2.-360.1988, yang
isisnya melarang mnegugunakan lahan untuk mendirikan memperluas, atau
memperbaharui klenteng.117
Istilah klenteng juga menunjukan tempat ibadah orang Tionghoa tidak lagi
digunakan dan diganti dengan Wihara (tempat ibadah agama Budha). Selama
Orde Baru Berjaya mendirikan sebuah perhimpunan tempat ibadah Tri Dharma
yang mencakup tiga agama segaligus yaitu Konghucu, Tao, dan Budhha.
Perhimpunan tempat beribadah Tri Dharma kemudian berkembang menjadi
perhimunan tempat beribadah tri Dharma se-Indonesia. Rezim Soeharto berusaha
merubah Klenteng menjadi Wihara yang lebih mengacu sebagai tempat ibadah
agama Budhha sedangkan ajaran Taoisme dan Konghucu dianggap sebagai

117
Majalah Tempo, Etnis Tionghoa di Zaman Berubah, Jakarta:Edisi 16-22 Agustus
2004,hlm.37
62

sampingan saja dan harus berlindung dibalik agama Budhha akibatnya di


beberapa Kelenteng.
Di masa Orde Baru pemerintah secara berurut-turut mengeluarkan
kebijakan-kebijakan untuk masyarakat Tionghoa, hal ini dikarenakan berbagai
permasalahn yang dihadapi oleh etnis Tionghoa yang menyebabkan semakin besar
prasangka anti Tionghoa serta kerusuhan yang disebabkan oleh prasangka
tersebut.Maka dari itu pemerintah yang awalnya mencanangkan kebijakan
asimilasi kemudian berubah menjadi integrasi, kemudian utnuk memutuskan
mengambil kebijakan yang dilakukan pemerintah Orde Baru kepada msayarakat
Tionghoa.118
Segala larangan di lakukan pemerintah pasca Gerakan 30 September yang
disinyalir ada hubunganya dengan etnis Tionghoa, oleh karena itu di masa Orde
Baru segala organisasi etnis Tionghoa baik muslim ataupun non muslim baik itu
yang bersifat politik sosial ataupun budaya bahkan keagamaan didalam struktur
kepengurusan harus terdapat warga Pribumi.119
Selain kebijakan pemerintah terdapat pula faktor yang mendukung
terhambatnya proses asimilasi dikalangan masyarakat keterununan Tionghoa,
walupun hal ini merupakan masa klasik yaitu dimasa kolonial Belanda agama
Islam merupakan agama klas rendah yang terlalu banyak aturan tidak seperti
agama Kristen yang mentolelir setiap adat istiadat nenek moyang masyarakat
Tionghoa, Terlebih dimasa itu masyarakat digolongkan menjadi tiga golongan,
pertama golongan Belanda, kedua golongan Timur asing yaitu golongan untuk
Arab dan Cina, ketiga golongan Pribumi, dimana ketiga golongan ini terpisah satu
sama lain dalam kedudukan hukum, ekonomi maupun agama.120
B. Dampak Kebijakan Pemerintah Orde Baru
Tidak dapat diragukan lagi bahwa di pemerintahan Soeharto telah
memperkenalkan kebijakan asimilasi terhadap etnis Tionghoa sebagai sebuah

118
Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa, (Jakarta:LP3ES,2002),hlm.62.
119
Chirstianto Wibisono,”UpayaMarathon Pembinaan Kesatuan bangsa 1984”dalam Leo
Suradinata(ed),Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, cet 1,
(Jakarta:LP3ES,2005), hlm.343
120
Jurnal Penamas (Jurnal Penelitian Agama dan kemasyarakatan), Islam Di Mata Etnis
Cina,(Jakarta:Balai Penelitian Agama dan Kemasyarakatan,1998), hlm.3
63

praktik politik yang tidak pernah dilakukan pada msa pemerintahan sebelumnya
yaitu masa pemerintahan orde lama.Sebelum priode parlementer (1948-1958)
yang berazaskan demokrasi, kebijakan asimilasi sulit dan bahkan tidak mungkin
diterapkan karena asimilasi melawan prinsip-prinsip umum demokrasi. Tetap
demikian, rezim demokrasi terpimpin (1959-1965) yang bersifat semi-otoriter
tetap mempertahankan sejumlah ciri pluarlistik di satu sisi, dan mulai melakukan
praktek integrasi yang mendekati usaha asimilasi disisi lain. Hal ini tercermin
dalam kebujakan pemerintah untuk membatasi pendaftaran di sekolah-sekolah
menengah Tionghoa serta jumlah dan pengelolaan koran Tionghoa.anak-anak
warga negara Indonesia dilarang masuk dalam sekolah-sekolah tersebut dan
sejumlah besar koran asing ditutup. Hal-hal tersebut tidak dapat dikatagorikan
secara hitam-putih bersifat asimilasi, mengingat bahwa tiga pilar budaya
Tionghoa, yaitu pers berbahasa Tionghoa, sekolah-sekolah menengah Tionghoa,
dan organisasi-organisasi etnis Tionghoa masih tetap ada.121kebijakan asimilasi
menyeluruh baru ditetapkan selama pemerintahan Soeharto pada tahun 1966 –
1998. Soeharto sendiri menyatakan secara jelas bahwa warga negara Indonesia
keturunan Cina harus segera berintegrasi dan berasimilasi dengan masyarakat
Indonesia asli. Namun, dalam praktiknya seringkali asimilisasi berjalan dengan
kabur dan bertentangan dan bahkan dalam beberapa kebijakan soeharto cenderung
anti asimilasi karena pertimbangan kondisi politis.Sebagai contoh, toleransi
terhadap agama-agama minoritas dan pembedaan antara pribumi dan non pribumi
cenderung malahan memilah, dan bukan mempersatukan etnis Tionghoa dan
orang Indonesia asli. Dengan perkataan lain, etnis Tionghoa tetap terpisah dari
komunitas tuan rumah.
Setelah dikeluarkanya keputusan Presiden No.56/1966 dan intruksi
Presiden No.4/1999 tentang pelaksanaan keputusan Presiden No. 56/1996yang
mengintruksikan tidak berlakunya SKBRI bagi etnis Tionghoa yang menjadi
WNI, SBKRI di cabut. Pencabutan secara nasional ini terinspirasi dari Surakarta.
Ketika Walikota Surakarta, Slamet Suryanto ditengah kesimpamgsiuranantara

121
Dwipayana, G.dan R.K. Hadimadja, Soeharto,Pemikiran,Ucapan dan Tindakan
saya,Jakarta:Citra Lamtoro Gung Persada,1989,hlm.279
64

ketentuan dan praktek birokrasi, pihaknya melakukan penghapusan SBKRI bagi


warga keturan Tionghoa di Surakarta. Melalui intruksi Walikota
No.471/006/02/2004 yang dikeluarkan pada tanggal 19 Juli 2004 tentang
penggunaan bukti kewraganegaraan RI merupakan tidak lanjut dari pencabutan
SBKRI secara nasional sesuai keppres No.56/1996 dan inpres No.4/1999.
Selanjutnya masyarakat Tionghoa tidak lagi disebutkan dengan bukti
kewarganegaraan tambahan selain Kartu Tanda Penduduk (KTP)122.
Masyarakat Tionghoa pada umumnya menerima kebijakan asimilasi
tersebut meskipun beberapa diantara golongan etnis Tionghoa enggan berganti
nama menjadi nama khas Indonesia. Beberapa yang lain juga enggan mencatatkan
pernikahan di department terkait, karena permasalahan birokrasi yang dirasa
sulitserta sarat dengan penarikan uang ataupun pungutan uang secara ilegal.
Selanjutnya dampak dikeluarkanya kebijakan dalam bidang ekonomi,
maraknya sisitem cukong dimasa Orde Baru memicu praktik Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN).Pada akhirnya, kelompok (KKN) inilah yang sebetulnya
menguasi perekonomian Indonesia. Hal ini muncul dengan hadirnya beberapa
konglomerat yang memainkan peran sangat dominan dalam praktek ekonomi,
contohnya seperti Liem Sioe Liong atau Sudono salim, Wiliam Soerdjaya Bob
Hasan serta yang lainya, sementara itu orang-orang yang bersal dari elit pribumi
diantaranya adalah Ali Murtopo, Ali Sadikin, dan Ibnu Sutowo,dan berbagai
petinggi militer yang memegang jabatan strategis di masa Orde Baru.singkatnya
pada masa Orde Baru setiap pengusaha yang dekat dengan penguasa bisnisnya
akan menjadi berkembang dan menjadi besar. Hal ini Liem Sioe Liong atau
Sudono Salim.Kemampuannya menjalin kedekatan dengan Soeharto
menjadikanya salah satu konglomeratterbesar di Indonesia.Ini tidak dapat
dipungkiri dari citranya sebagai pengusaha sukses yang mempunyai beberapa
perusahaan besar dan sangat berkemabng di Indonesia, diantaranya adalah
PT.Indocemet, Bank Central Asia (BCA), dan masih banyak lagi perusahaan

122
Winara Frans H, „Upaya Penghapusan Praktik Diskriminasi, Khususnya Surat bukti
Kewarganegraan Republik Indonesia, Pasca Lahirnya Undang-Undang No.12 tahun 2006 tentang
kewarganegraan Republik Indonesia‟,Jurnal,hlm.6
65

lainya yang merupakan deretan kelompok usaha-usaha besar strategis bagi


perkembangan ekonomi di Indonesia123.
Melihat kenyataan tentang besarnya peran serta pengusaha Tionghoa
dalam perekonomian Indonesia, terutama setelah kedatangan para investor asing
yang menanamankan modalnya dan bekerjasama dengan pengusaha Tionghoa
hingga lahirnya peraktik percukongan yang menimbulkan KKN di tubuh para elit
kekuasaan dan pengusaha Tionghoa yang ikut terlibat didalamnya, maka muncul
kritikan-kritikan terhadap kebijakan pemerintah tersebut. Kritikan tersebut
selanjutnya diwujudakn dalam bentuk aksi demonstrasi.
Bahkan beberpa kebijakan Pemerintah Orde Baru yang menggaris bawahi
proses pembauran dalam setiap keputusan dan intruksi dan mengharap orangorag
Tionghoa benar-benar menyatu dengan penduduk pribumi. Namun dampak dari
kebijakan tersebut semakin memisahkan masyarakat Tionghoa dengan masyarakat
pribumi, bahkan terkesan bahwa orang-orang Tionghoa merasa secara terus
menerus didiskriminasi dan dicurigai masih memeliki sifat ekslusivisme.124
Dampak yang jelas terlihat dari kebijakan seperti ini adalah menambah
jurang pemisah antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat pribumi, sebagai
contoh dalam sector ekonomi, kebijakan pemerintah Orde Baru yang memberikan
ruang lingkup seluas-luasnya pada aspek ekonomi yang tercantum di peraturan
Presiden No.10 (PP 10). Kebijakan ini merupakan keputusan yang dibuat pada
seminar Angkatan Darat yang diselenggarakan di Bandung tahun 1966, dimana
ditetapkan bahwa orang Tiongho harus dicegah masuk ke bidang lain, terutama ke
bidang politik, tentunya mengapa hal ini terjadi karena para pemimpin militer
tidak percaya kepada masyarakat Tionghoa sebagai sebuah kelompok
125
masyarakat.
Harus diakui bahwa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto telah
berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dalam jangka

123
Siswanto Yudo H, Warga Baru: Kasus Cina di Indonesia,Jakarta: Lembaga Penelitian
Yaysan Padamu Negri,1985,hlm.85
124
Chistiano Wibisiono,‟Merintis Jalan Pemecah Masalah WNI keturunan Tionghoa
(1977),‟ Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, Cet,1,
(jakarta:LP3ES,2005,hlm.355
125
Leo Surydinata, Negara dan Etnis Tionghoa, (Jakarta:LP3ES,2002), hlm.90
66

waktu yang panjang.Pertumbuhan ekonomi ini juga telah menimbulkan dampak


positif maupun negatif.Dampak positifnya seperti penurunan angka kemiskinan
yang diikuti dengan perbaikan indikator kesejahteraan rakyat secara rata-rata,
sedangkan dampak negatifnya berupa kerusakan lingkungan hidup, perbedaan
ekonomi antardaerah, antargolongan pekerjaan, dan antarkelompok dalam
masyarakat yang terasa semakin tajam.
Pemerintah mengeluarkan Intruksi Presiden N0.14/1967 untuk
pelaksanaan kegiatan keagamaan etnis Tionghoa.Kehadiran agama-agama yang
dibawa oleh etnis Tionghoa ini ternya tidak selalu mendapatkan sambutan baik
oleh negara, terutama setelah Indonesia merdeka.Ada upaya-upaya untuk
mengelola dan mengaturnya.Begitu pula dengan dua agama yang diakui secara
resmi, yaitu agama Budha dan agama Konghucu.Keduanya terkait dengan
kelompok etnis Tionghoa yang merupakan mayoritas penganut dari agama-agama
tersebut.Rezim Soeharto beranggapan bahwa agama Konghucu dan Sam Kauw
(Tridharma).126merupakan suatu rintangan dari kebijakan asimilasi, tetapi tidak
bisa menghapusnya begitu saja karena ideologi Pancasila yang masih dianut oleh
pemerintahan Indonesia.
Sejak tahun 1979 agama konghucu tidak lagi ditemukan dalam kartu
penduduk warga Indonesia.Para penganut agama Konghucu harus didaftarkan
sebagai penganut agama Budha.Hal itu disebabkan ajaran Budha dan Konghucu
saling berkaitan sehingga mayoritas etnis Tionghoa berpindah ke agama
Budha.Ketika mereka menikah, penganut agama Konghucu harus didaftarkan
sebagai pasangan beragama Budha dalam dokumen perkawinan agar dapat diakui
oleh negara.Meskipun demikian, hal ini tidak menimbulkan protes karena terdapat
dua alasan. Pertama, para penganut agama Konghucu takut akan penindasan
pemerintah. Kedua, sangat mungkin agama Budha di Indonesia dijalankan secara
liberal sehingga dapat mencakup penganut agama Konghucu bahkan agama

126
Istilah Tridharma (3 agama) adalah nama baru dari sam kauw. Tridharma berasal dari
kata Tri dan Dharma.Tri yang berarti “tiga” Dharma yang berarti “ajaran kebenaran”. Jadi
Tridharma berarti “tiga ajaran kebenaran”. Yaitu, Sakyamuni,Budha, ajaran Nabi Khong Hu Cu,
dan ajaran Nabi Lo Cu. Tridharma merupakan agama yang penghayatanya menyatu dalam ajaran
Budhha. Khong Hu CU dan Lo Cu. Ketiga ajaran tersebut sama, tidak dicampur aduk dan tetap
berpegang pada kitab sucu masing-masing. Lihat, www.tionghoa.info.com
67

Tridharma.127Kebjakan asimilasi terhadap orang-orag keturunan Tionghoa


didefinisikan dari sudut upaya untuk menghapus komponen Tionghoa dari
kebudayaan Indonesia, maka tidak mengherankan apabila tidak lama setelah
agama Konghucu tidak diakui sebagi agama, pemerintah mulai membina agama
Budha.
Banyak orag-orang keturunan Tionghoa yang memeluk agama Konghucu
sebenarnya tidaklah murni pengikut Konghucu. Mereka adalah pengikut Sam
Kauw campuran agama Konghucu,Tao dan Budha.128Tempat ibadah orang-orang
Tionghoa ini memiliki karakteristik yang dimiliki tiga agama ini.Tempat ibadah
tersebut dinamakan Klenteng.129sementara agama Budha bisa berkembang selama
Soeharto, agama Konghucu tidak diakui dan kebijakan asimilisai semakin
ditingkatkan.
Dampak dari kebijakan asimilasi Soeharto bisa dikatakan bermacam-
macam.Pada satu sisi kebijakan tersebut membuat etnis Tionghoa secara
kebudayaan kurang, mereka merasa kehilangan penguasaan atas bahasa Tionghoa
dan menjadi lebih berakar dalam kebudayaan nasional Indonesia. Namun, pada
sisis lain sebagian besar dari mereka tetap mempertahankan identitas terpisah
karena rezim Soeharto menawarkan kesempatan untuk melestarikan identitas etnis
Tionghoa di bawah ideologi negara Pancasila. Ideologi negara yang menjamin
kebebasan beragama, memberikan kesempatan kepada etnis Tonghoa di
Indonesiuntuk bersembunyi di balik identitas agamaminoritas misalnya seperti
agama Buddha, Tridharma, dan agama Kong Hucuisme.130

127
Suryadinata, dalam Wibiwo dan Lan,Op,Cit,hlm.84-85
128
Ajaran konfusianisme yang disampaikan oleh Kong Hu Cu menekankan pada tiga
unsure, yaitu pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, leluhur dan penghormatan terhadap Kong
Hu Cu.Taoisme merupukan ajaran Lao Tze yang mengutamakan kesederhanaan dan ketenangan
dengan tujuan utama tercapainya Wu atau kehampaan. Taoisme mengajarkan mengenai
keseimbangan yang disimbolkan dengan Yin yang. Budhisme merupakan ajaran Budha dari India
dan mengajarkan kepercayaan akan kehidupan setelah kematian dan kelahiran kembali
(reinkarnasi).Lihat:Titiek Sulyati,et al,,Op,Cit,hlm.70.
129
Suryadinata, dalam Wibiwo dan Lan,Op,Cit,hlm.83-85
130
Suryadinata Leo, etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia, ( Jakarta, PT Kompas
Media Nuasantara, 2010), hlm. 221
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil penelitian dalam bab sebelumnya, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :
Perubahan kondisi politik di Indonesia pasca peristiwa 1965 ditandai
munculnya sosok Soeharto Kemunculan seorang Soeharto pada panggung politik
sebagai pemimpin Orde Baru mampu membuat perubahan yang sangat besar bagi
kondisi Indonesia pasca lengsernya Soekarno. Orde Baru mampu mengendalikan
percaturan politik nasional, dengan berbagai cara dan kebijakan untuk sebuah
kedamaian.Pada periode 1966 hingga 1980, merupakan tahap-tahap bagi Orde
Baru untuk membuat pemerintahannya.Orde Baru adalah membuat rakyat patuh
dan menerima segala hal yang sudah digariskan pemerintah.Pada dasarnya
kebijakan ini bertujuan agar rakyat mengerti dan mampu berpartisipasi dalam
menjalankan program pembangunan yang sudah disusun pemerintah.namun untuk
masalah politik pemerintah tidak member peluang pada rakyat agar dapat
mengerti.Manuver politik yang dilakukan oleh Orde Baru di akhir kekuasaanya
tidak berubah seperti di awal. Lebih terkesan pada politik pencitraan yang
memberikan control ketat pemerintah terhadap rakyat dengan menggunakan
militer, birokrasi, dan Golkar. Orde Baru juga tak segan melakukan tindakan
represif untuk menindak segala gerakan yang bersifat subversif dan berpotensi
mengancam kekuasaannya. Banyak lawan politik Orde Baru yang berakhir
sebagai tahanan politik karena dianggap tidak mau tunduk dan patuh. Lembaga
pers yang sebelumnya kritis berusaha dibungkam dan dijinakkan melalui berbagai
kebijakan yang tentu saja menguntungkan pihak penguasa.Semua yang tindakan
keras dan kontrol ketat tersebut dilakukan Orde Baru dengan mengatasnamakan
stabilitas nasional sebagai prioritas.
Kedua, terdapat banyak hal yang melatar belakangi kebijakan pemerintan
Orde Baru terhadap etnis Tionghoa, mulai dari menerapkan politik ras atas

68
69

namaetnis. Akibatnya muncul sentiment rasial dalam kehidupan bernegara.Sikap


rasialis juga berkembang karena adanya prasangka-prasangka yang hidup dalam
masyarakat, misalnya bahwa orang Tionghoa itu hidup secra ekslusif dan
memiliki sifat oprtunis. Pada era pemerintahan Orde Baru, insiden anti Tionghoa
terjadi di berbagi tempat meskipun tidak meluas secara serempak di banyak
wilayah. Kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa lebih sisitematis
dibandingkan kebijakan negara sebelumnya. Pemerintah Orde Baru berpendapat
bahwa keterlibatan etnis Tionghoa pada peristiwa 30 September 1965 merupakan
hasil dari tidak berasimilasinya etnis Tionghoa dalam msayarakat Indonesia.Oleh
sebab itu pemerintah meluncurkan program asimilasi yang sangat gencar.
Pemerintah mengeluarkan intruksi Presiden No.14 tahun 1967 menegnai
pelarangan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina yang menghalangi ekspresi
kehidupan sehari-hari etnis Tionghoa.
Ketiga, pelaksanaan kebijakan yang dilakukan Orde Baru terhadap etnis
Tionghoa yaitu melalui proses marginalisasi dilakukan dengan cermat.
Pasrtisipasi politik dihambat dengan berbagai alasan, termasuk dalam bidang
sosial budaya. Pemerintah melakukan kebijakan asimilasi terhadap orang-orang
Tionghoa dengan memutuskan hubungan dengan leluhurnya yaitu dengan
pergantian nama WNI yang memakai nama Tionghoa menjadi nama Indonesia,
diharuskanya memiliki SKBRI ( Surat Bukti Kewarganegaraan Republik
Indonesia ) yang terkadang masih dipertanyakan, larangan memperdagangkan dan
mengedarkan segala jenis barang-barang cetak dalam bahasa Cina, sekolah-
sekolah Cina ditutup dan semua anak sekolah harus pindah ke pengajaran yang
dismapikan dalam bahasa Indonesia. Etnis Tionghoa kembali berkonsentrasi
dalam bidang ekonomi.Bentuk ekonomi kerjasama atau ekonomi Ali-baba seperti
di era pemerintahan Soekarno tetapi pada praktek bisnis di era Orde Baru dikenal
sebagi sistem cukongnisme.Orientasi Orde Baru pada ekonomi membutuhkan
penciptaan basis investasi yang luas dan dan bersifat masal.Dalam hal ini yang
memenuhi syarat untuk menghimpun modal hanyalah golongan etnis Tionghoa
karena lemahnya struktur modal yang dimiliki oleh pengusaha
pribumi.pemerintah Orde Baru benar-benar memfasilitasi untuk beberapa bisnis
70

tokoh Tionghoa, misalnya Sudono salim. Motif dibalik program pemerintah


tersebut adalah untuk mengerahkan potensi ekonomi Cina di Indonesia dan
dengan demikian mendorong mereka menarik lebih banyak modal asing. Segala
fasilitas pemerintah yang menguntungkan mempercepat kembali kebangkitan
Cina dalam ekonomi Indonesia dan mendesak perusahaan-perusahaan pribumi.
kebijakan Orde baru ini dalam sektor ekonomi dilatarbelakangi kepentingan
politik dan ekonomi yang tampak sebagai upaya untuk menyangga dan
melengganggakan kekusaan Orde Baru.
Keempat, adanya program pembaharuan yang di canagkan Orde Baru
dimasa lampau berdampak langsung kepada kelompok etnis Tionghoa.Salah
satunya akibatnya cukup fatal yang terjadi pada program pembaharuan yang tidak
dapat berjalan mulus karena sarat dengan muatan politis. Kebijakan asimilasi
ternyata tidak menghasilkan sebuah pembauran budaya akan tetapi justru menjadi
kelompok etnis Tionghoa terdiskriminasi dan terasing dari banyak aspek
kehidupan nyata karena yang terjadi adalah pembatasan-pembatasan. Asimilasi
total lebih bertitik tolak pada apa yang di bolehkan dan apa yang tidak
diperbolehkan. Pembatasan tersebut terbentang dari yang bersifat substansial
sampai yang bersifat ritual. Contohnya adalah masuk dalam perguruan tinggi
negri, pembatasan untuk menjadi pegawai pemerintahan termasu menjadi anggota
militer dan polisi serta pembatasan lainya yang dilakukan oleh Orde Baru untuk
etnis Tionghoa. Pada satu sisi khususnya dalam sektor perekonomian etnis
Tionghoa diberi peluang, yang sebenarnya tujuan tersebut tidak lain juga demi
kepentingan politis penguasa. Dampak kebijakan itu adalah adanya perbedaan
sosial perekonomian yang sangat terlihat antara pribumi dan non pribumi, yang
akhirnya bermuara pada munculnya kecemburuan sosial dan isu SARA dan
berpuncak pada Teragdei kemanusiaan etnis Tionghoa 1998 di Jakarta.
71

B. Kritik Dan Saran


Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan maka ada beberapa
saran yang penulis akan sampaikan diantaranya adalah sebagi berikut :
1. Bagi masyarakat etnis Tionghoa yang sudah memiliki kewarganegaraan
Indonesia, harus bisa mengikuti peraturan yang dibuat oleh pemerintah
Indonesia. Selama itu diharapkan masyarakat etnis Tionghoa dan pribumi dapat
bisa berbaur, bekerjasama demi kesatua bangsa dan negara.
2. Masyarakat etnis Tionghoa yang merupukan warga negara Indonesia dan
khususnya organisasi-organisasi etnis Tionghoa agar bisa menunjukan sikap
loyal terhadap negara Indonesia serta mentaati hukum yang berlaku di Indonesia.
3. Etnis Tionghoa yang memilih Indonesia sebagai negaranya harus bisa
memberikan peraanan serta kontribusi yang nyata terhadap bangsa Indonesia
serta turun berpartisipasi membangun dan memajukan Indonesia agar menjadi
negara yang maju dan demokratis.
4. Pemerintah Indonesia harus bisa lebih konsisten terhadap kebijakan yang
dikeluarkan untuk etnis Tionghoa, serta di berlakukanya undang-undang yang
tidak berpihak kepada siapapun.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
A. Coppel, Charles. 1994. Tionghoa Indonesia dalam krisis, Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan.

Suryadinata, Leo. 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan bangsa, Jakarta


:LP3ES.

Ricklefs, M.C. 1998. Sejarah Indonesia Modren, Gadjah Mada University

Press.Suryadinata, Leo. 2002. Negara dan Etnis Tionghoa, Jakarta :LP3ES.

Suryadinata, Leo. 1990. Mencari Identitas Nasional: Dari Tjoe Bou San sampai
Yap Thiam Hien, Jakarta : LP3ES

Suryadinata Leo. 2010etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia, Jakarta, PT Kompas


Media Nuasantara,

Poerwanto, Hari. 2005. Orang Cina Khek dari Singkawang, Depok: Komunitas
Bambu.

Onghokham. 2008. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina, ed Wasni
Alhaziri, Jakarta : Komunitas Bambu.

Jahja,Junus. 2002. Peranakan Idealis dari lie Eng Hok sampai Teguh karya,
Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia.

Dwipayana, G.dan R.K. Hadimadja. 1989. Soeharto,Pemikiran,Ucapan dan


Tindakan saya,Jakarta:Citra Lamtoro Gung Persada

G.Setiono, Benny.2008, Tionghoa dalam Pusaran Politik, Jakarta: Trans Media.

Wibowo, I, 1999, Retrospeksi dan Rekontekstualisasi masalah Cina,


Jakarta: Gramedia

Coople Charles A,1993, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis,Jakarta : Sianar


Harapan.

Helius Sjamsudin. 2012, Metodologi dalam Sejarah,Yogyakarta:Ombak.

Hari Mulyadi. 1999. Runtuhnya Kekuasaan “Kraton Alit”: Studi RadikalisasiSosial”


Wong Sala” dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta.Surakarta.LPTP.

Siswanto Yudo H, 1985. Warga Baru: Kasus Cina di Indonesia,Jakarta: Lembaga


Penelitian Yaysan.

72
73

Chirstianto Wibisono,2005, ”UpayaMarathon Pembinaan Kesatuan bangsa


1984”dalam Leo Suradinata(ed),Pemikiran Politik etnis Tionghoa
Indonesia 1900-2002 cet 1, Jakarta:LP3ES.

Junus Jahja,1999, Pembaruan dan Iskam aneka pemikiran, Jakarta:Yayasan Haji


Karim Oie.

Yuisum Lien,2000, Prasangka Terhadap Etnis Cina:sebuah intisari evaluasi 33


tahun di bawah rezim Soeharto,Jakarta:Djambatan.

Soeharto 1985 “Amanat Kenegaraan I,1967-1971 Jilid II,” Jakarta, Inti Indayu
Press Gazali Effendi 2004, Communication of Politicsand
PoliticsofCommunication in Indonesia: A Studyon Media
Performance,Responsbility and Accountability, Doctoral Thesis Radboud
University.

Rene L. Pattiradjawane, 1999 Trisakti Mendobrak Tirani Orde Baru Fakta dan
Kesaksian Tragedi Berdarah 12 Mei 1998,Jakarta : Grasindo.

Rahardja.T, 2005 Menghargai Perbedaan Kultur: Mindfullnes dalam Komunikasi


antar Etnis,Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Siswanto Yudohusodo, 1990 ”kelompok Bisnis Dalam Proses Politik di


Indonesia”,dalam Junus Jahja (ed ),Non Pribumi dimata
Pribumi,(Jakarta:Yayasan Tunas bangsa.

Turnomo Rahardja, 2005. Kebijkan Pemerintah Tentang Cina dalam Dialog, JLAKP:12
No.2,Mei.

Nuraini,Soyomukti, 2002. Soekarno&Cina,Yogyakarta:Garasi.

Chaang-Yau Hoon, 2012.identitas Tionghoa pascaSoeharto:Budaya,Politik,dan


media,Jakarta:Yayasan Nabil dan LP3ES

A. Jurnal
Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, No.1, Vol.1, Maret 2013
Winara Frans H, Upaya Penghapusan Praktik Diskriminasi, Khususnya Surat bukti
Kewarganegraan Republik Indonesia, Pasca Lahirnya Undang-Undang No.12 tahun
2006 tentang kewarganegraan Republik Indonesia,
Jurnal Penamas (Jurnal Penelitian Agama dan kemasyarakatan), Islam di mata
Etnis Cina, Jakarta:Balai Penelitian Agama dan Kemasyarakatan.1998
74

Junus jahja, WNI beragama Islam,(Jakarta:Yayasan Abdulkariom Oie Tjeng


Hein,1991),h.41. Lihat juga Tarmizi Teher, Masyarakat Cina(Ketahanan Nasional
Integrasi Bangsa di Indonesia),(PPIM,1997).
Majalah Tempo, Etnis Tionghoa di Zaman Berubah, Jakarta:Edisi 16-22 Agustus
2004
Damar Harsono”May Riots Still Burns Into Victim‟s Minds”dalam The Jakarta
Post, Mei 14,2002
Jurnal Kontras “Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan”

B. Wawancara
Drs. Eddy Sadeli,S.H, ( Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia ),
Jakarta,23-01-2018
Feri Kusuma, (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan ),
Jakarta, 06-02-2018

C. Sumber Elektronik
Badruzaman Ismail, Pola-Pola damai sebagai solusi penyelesain HAM masa lalu,
dalam http:/www.acehinstitute.org/opini_hbadruzzaman_pola-damai.htm, diakses
pada tanggal 27 Juli 2017.

Keppres yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid memberi kebebasan


ritual keagamaan, tradisi dan budaya kepada etnis Tionghoa; Imlek menjadi hari
libur nasional berkat Keppres Presiden Megawati Soekarnoputri.Di bawah
kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, agama Khonghucu diakui sebagai
agama resmi dan sah.berbagai kalangan etnis Tionghoa mendirikan partai politik,
LSM dan ormas. SBKRI tidak wajib lagi bagi WNI.
(http://www.ranesi.nl/tema/masyarakat/etnis_tionghoa_reformasi080731)
www. Tiongho.info.com
Lampiran I : Intruksi Presiden mengenai Adat Istiadat dan Agama
Tionghoa
Lampiran II : Keputusan Presiden mengenai Sektor Ekonomi Tionghoa
Lampiran II : Piagam Asimilasi
Lampiran IV : Keputusan Presiden mengenai Pembentuka Lembaga
Pembinaan Kesatuan bangsas
Lampiran V : Intruksi Presiden dalam Catatan Sipil untuk Masyarakat
Tionghoa
Lampiran VI : Keputusan Presiden mengenai Penambahan Nama
Keluarga Tionghoa

Lampiran VII : Foto-foto Kerusuhan Mei 1998


Kerusuhan 13-15 Mei 1998 di Glodok,Jakarta
Sumber Foto : Tempo /Ruly Kesuma
Penjarahan toko-toko milik warga Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998
Sumber : MI/Metro News Media

Bangunan Pertokoan Hancur akibat kerusuhan tahun 1998


Sumber Foto : Hujan Sutedja

Bangunan pertokoan hancur


Sumber foto : Tribunnews

Bangkai sepedah motor yang hangus terbakar


Sumber foto : Agriana Ali/ Gatra News

Demo mahasiswa di gedung DPR/MPR

Sumber Foto : Agriana Ali/ Gatra News


Demo mahasiswa didepan kampus Trisakti

Sumber Foto: Agriana Ali/Gatra News

Anda mungkin juga menyukai