REFORMASI 1998
Tiar Devianti
4415080234
Proposal penelitian ini disusun untuk memenuhi persyaratan mata kuliah Metodelogi
Sejarah
JURUSAN SEJARAH
2011
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Dasar Pemikiran
Masalah minoritas selalu menimbulkan pertanyaan dan menjadi masalah bagi setiap
negara yang mengandung paham kebebasan dan pada negara yang memiliki banyak suku
bangsa yang mendiaminya. Layaknya negara besar yang memiliki berbagai suku dan ras,
Indonesia juga memiliki masalah dengan kaum minoritas yang ada. Sudah sejak lama
Nusantara merupakan tempat pertemuan antara beberbagai suku bangsa yang ada di dunia.
Silang budaya yang terjadi di Indonesia merupakan suatu hal dasar yang lumrah. Singgungan
antar suku bangsa sangat rentan terjadi di Indonesia terutama berdampak pada mereka kaum
minoritas. Masalah minoritas, sejak permulaan konsep kebangsaan timbul, belum pernah 100
persen dipecahkan. Masalah ini sering menyebabkan tragedi, peprangan diskriminasi, atau
permusuhan terhadap minoritas, yang tentunya makan biaya tinggi.1
Seperti layaknya kaum minoritas, masyarakat Tionghoa merupakan sebuah suku bangsa
yang menjadi salah satu kaum minoritas di Indonesia. Mereka merupakan kaum yang
mendapatkan dampak diskriminasi sosial dari kaum yang menyebut diri mereka pribumi.
Mula-mula warga negara Indonesia keturunan Tionghoa tidak diperbolehkan mendirikan
sekolah Tionghoa, aktivitas oarang Tionghoa asing pun mulai dibatasi.2 Hingga beberapa
usaha niaga mereka banyak di larang oleh masayarakat Pribumi.
Bukan hanya dari pihak rakyat semata, dari pihak pemerintah sendiri memiliki andil
dalam terjadinya diskriminasi sosial pada masayarakat keturunan Tionghoa. Pemerintah
membatasi pergerakan mereka dengan mengeluarkan peraturan-peraturanm yang mengekang
dan membuat gerakan masayarakat keturunan Tionghoa sendiri semakin tidak bebas.
Sebetulnya, ketrurunan Tionghoa peranakan sudah tidak mengenal betul hirarki dari
kebudayaan asli yang dibawa oleh nenek moyang mereka. Mereka sudah banyak berbaur dan
berasimilasi budaya dengan masayarakat setempat seperti yang terjadi di pulau Jawa. Orang
perantau Inggris, Jerman, atau swedia yang tinggal di Amerika menyebut diri mereka orang
Amerika, begitu pula orang-orang Tionghoa yang ada di Indonesia. Mereka tak punya
hubungan dengan “induknya”, tanah leluhurnya.3
1
Onghokham, Wahyu Yang Hilang, Negeri Yang Guncang(Jakarta: PDAT, 2003) h. 320
2
Leo Suryadinata, Negara dan etnis Tionghoa: kasus Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2002) h. 15
3
Onghokam, Op.Cit.,h. 322.
2
Dalam hal ini masayarakat keturunan Tionghoa terjadi degradasi budaya yang disebut
dengan detradisionalisasi. Mereka memiliki banyak perubahan dan menjadikan diri mereka
berbada dengan kebudayaan leluhur mereka. Penyebab detradisionalisasi ini beragam dan
kadangkala antara gejala dan menyebabkannya sukar dipisahkan atau dibesakan. Kristianisasi
dikalangan etnis Tionghoa, misalnya, berjalan cepat. Lembaga-lembaga pendidikan Kristen,
baik Protestan maupun Khatolik, ikut menyebarkan Kristianisasi ini.4
Ketionghoaan menjadi sebuah hal yang buruk bagi kaum pribumi. Mereka menganggap
sebuah hal yang hina pada masyarakat keturunan Tionghoa. Masyarakat pribumi
menganggap bahwa masayarakat Tionghoa merupakan orang yang menutup diri dan
memiliki sifat yang angkuh terhadap masayarakat pribumi. Mereka mengganggap
masayarakat Tionghoa terlalu menganggap rendah kaum Pribumi. Settingan-setingan yang
dijalankan oleh berbagai elem yang terkai dengan kaum Prinbumi menambah keyakinan
kaum Pribumi akan keangkuhan masayarakat Tionghoa.
Para Ulama menganggap keturunan Tionghoa kafir yang perlu diperangi dan merupakan
hal yang haram untuk menjadikan mereka teman. Kaum keturunan lain seperti masayarakat
keturunan Arab memanfaatkan kegamangan kaum Pribumi dengan mengadu domba dan
memanfaatkan hal tersebut untuk mendongkrak popularitas mereka sebagai kaum yang benar
dan satu-satunya kaum yang membela kaum pribumi. Para seniman pun mengintepretasikan
masyarakat keturunan Tionghoa dnegan gambaran yang angkuh dan selalu menindas dalam
setiap karya mereka. Pada masa pemerintahan Orde Baru rupanya ingin mengikis habis
kebudayaan Tionghoa, bukan saja tidak mengizinkan orang mengamalkan tradisi dan adat
istiadatnya secara publik, misalnya tidak boleh merayakan tahun baru Imlek dan Cap Gome,
tidak boleh main barongsai, semua kelenteng harus diubah menjadi wihara, agama
Konghuchu tidak diakui, belajar bahasa Tionghoa tidak diperbolehka. Istilah Tiongkok dan
Tionghoa diganti menjadi Cina sejak tahun 1967 atas Instruksi Presiden RI No. 14/1967 yang
membatasi adat-istiadat etnis Tionghoa.5
4
Ibid., h. 323.
5
Leo Suryadinata, Op.Cit.,h. 16
3
keturunan Tionghoa yang biasa disebut Amoy ikut merasakan akibatnya dnegan banyaknya
laporan pemerkoasaan kepada mereka oleh oknum Pribumi yang tidak bertanggung jawab.
Dengan kasus-kasus yang terjadi terhadap kaum keturunan Tionghoa menjadikan peneliti
ingin meneliti lebih jauh tentang masalah sosial yang terjadi pada masyarakat Tionghoa dan
ingin lebih mendalami kondisi masyarakat keturunan Tionghoa pada kerusuhan yang terjadi
pada Mei 1998.
Penelitian ini di fokuskan pada kondisi sosial masayarakat Tionghoa. Batasan awal
penelitian ini adalah pada saat kerusuhan 1998. Sedangkan batasan akhir dari penelitian ini
adalah penghapusannya Impres No. 14/1967 oleh Presiden Abdurahman Wahid pada tahun
2000. Penelitian ini difokuskan di Jakarta untuk membatasi spasial dari penelitian yang
terlalu jauh.
2. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah dalam Kajian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana Kondisi sosial dan ekonomi Masyarakat Tionghoa di Jakarta pasca
Proklamasi Kemerdekaan hingga berakhirnya Orde Baru?
b. Bagaimana Kondisi masyarakat Tionghoa pada kerusuhan tahun 1998?
4
Penelitian ini menggunakan metode sejarah dan penyajian hasil penelitiannya dilakukan
dalam bentuk deskriptif-naratif yang lebih banyak menguraikan kejadian dalam dimensi
ruang dan waktu. Mengenai metode historis, Gootschalk mengemukakan bahwa metode
sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa
lampau.6
Kedua, pada tahapan kritik peneliti akan melakukan pengujian terhadap otentitas dan
kredibilitas sumber yang telah didapat dengan melakukan analisa data melalui metode
sejarah, hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang akurat.
Ketiga, pada tahapan interpretasi, fakta-fakta yang telah didapat akan dikelompokkan
sesuai dengan klasifikasinya untuk kemudian di analisa berdasarkan pemahaman dan logika
peneliti. Subjektifitas dalam tahapan ini tentu tidak dapat dihindari8, meskipun demikian
harus diupayakan secara maksimal untuk melakukan rekonstruksi sejarah yang seobjektif
mungkin.
Keempat, tahapan penulisan atau Historiografi yang merupakan proses rekonstruksi masa
lampau berdasarkan data yang diperoleh.9 Pada tahapan ini bahan mentah akan diproses
menjadi tulisan dengan melakukan seleksi, penyusunan dan deskripsi atau pengkisahan10 dan
disajikan dengan sistematis, logis dan jelas.
2. Sumber Penelitian
6
Louis Gootschalk (Nugroho Notosusanto: Penterjemah), Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 32
7
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Benteng, 2001, h.91
8
Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, (Jakarta: Inti Idayu Press, 1984), h. 13
9
Louis Gootschalk, Op.Cit., h. 87
10
Ibid., h. 5
5
Dalam rangka penelitian ini peneliti akan mengunakan sumber primer dan sumber
skunder .
Primer : Wawancara dengan keturunan Tionghoa yang menjadi korban kerusuhan 1998 dan
menggunakan Koran-koran yang sezaman.
Skunder : Buku-buku yang membahas tentang konflik yang terjadi pada keturunan Tionghoa
dan Pribumi pada pristiwa 1998.
E. Jadwal Penelitian
BAB I PENDAHULUAN
1. Dasar Pemikiran
2. Pembahasan dan Perumusan Masalah
3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
4. Metode, Sumber dan Jadwal Penelitian
BAB II KONDISI SOSIAL MASAYARAKAT TIONGHOA PADA SAAT
KEMERDEKAAN HINGGA PEMILU 1997
1. Kondisi Sosial dan ekonomi masyarakat Tionghoa pada pemerintahan Orde Lama
(1945-1966)
BAB V KESIMPULAN
6
DAFTAR PUSTAKA
Onghokham, Wahyu Yang Hilang, Negeri Yang Guncang, Jakarta: PDAT, 2003
Suryadinata, Leo, Negara dan etnis Tionghoa: kasus Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2002
Louis Gootschalk, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press, 1986
Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, Jakarta: Inti Idayu Press,
1984
7
8