Anda di halaman 1dari 163

GLOSARIUM

Akulturasi: proses bercampurnya dua budaya atau lebih membentuk budaya baru
dan mengandung kepribadian kebudayaan yang berbaur tersebut.
Asimilasi: proses sosiobudaya masuknya seseorang yang berasal dari satu
kebudayaan ke dalam kebudayaan dominan
Buddha: adalah sebuah sistem religi (agama) yang dibawa oleh Sidharta Gautama
dari India, yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia.
Cheng beng: ziarah kubur orang tua
Chuat guek pa: dibukanya pintu nereraka
Dao: adalah satu sistem religi, yang berpusat dari keberadaan Dao di dunia ini.
Ajaran ini sering juga disebut dengan Tao atau Taoisme.
Etnik: kelompok manusia yang dipandang sebagai keturunan yang sama,
memiliki bahsa yang sama, dan hidup pada wilayah budayanya.
Gong Xi Fat Cai: ucapan yang berarti selamat dan sukses saat Imlek.
Huaqiao: China perantauan
Huaren: Tionghoa sebagai etnik
Huen tong: surge
King ang: guci
Konghucu (Konfusius): adalah sebuah sistem religi yang berasal dari ajaran-
ajaran religi dan filsafat Konfusius atau Kon Fu Tse.
Kuomintang: Partai Nasionalis China
Masyarakat: kesatuan hidup manusia, yang memiliki berbagai tujuan social dan
kebudayaan yang sama.
Migrasi: proses perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain secara
permanen
Paisin: adalah aktivitas sembahyang pada umumnya yang dilakukan umat Tao,
Buddha, dan Konghucu, biasanya memohon dan menanyakan
sesuatu kepada Tuhan/Dewa-Dewi, nenek moyang di Alam Baka,
atau makhluk-makhluk gaib lainnya.
Puak Poi: sebuah artefak religi pada masyarakat Tionghoa yang lazim digunakan
sebagai sarana komunikasi baik terhadap Alam Langit maupun Alam
Baka, biasanya menanyakan dan mengharapkan sesuatu melalui
petanda jawabannya, yaitu tiga jawaban: sengpoi, jipoi, dan kampoi.
San chiao wei yi: Tiga agama yaitu Tao, Budha, dan Konfutse adalah satu
Se shio: nama-nama binaatang untuk tahun China
She: nama keluarga yang ditarik secara patrilineal
Sia hwe: kamar dagang Tionghoa
Tang cek: musim salju
Tenglang: dari kata Tangren, laki-laki dari Dinasti Tang
Tengsua: dari kata Tangsan, Gunung Timur, Tionghoa perantauan
Tiong chiu: bulan 8 hari 15 penyembahan Dewi Bulan
Tionghoa: orang-orang yang berasal dari Tiongkok (Kerajaan Langit)
Tuan yang: hari raya bulan 5 menghormati penyair Chin Yen
Tui lien: kain merah saat Imlek.
Waiji Huaren: orang Tionghoa berkewarganegaraan asing

Universitas Sumatera Utara


Xin ke: pendatang baru
Yang lek: tahun Msehi
Zangguo Xuetong: keturunan Tionghoa
Zhongguo qiaoming: warga China yang bermukim di negara asing

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR INFORMAN DAN PELAKU PAISIN

YANG MENGGUNAKAN PUAK POI DI PEMATANGSIANTAR

A. Informan Kunci (Key Informant)

(1) Nama: Susanto Wijaya (Akiong)

Agama: Buddha.

Profesi: Saikong (pemimpin upacara orang meninggal, upacara ini lazim

disebut dengan tua pi ciu) dan pemilik kelenteng.

Umur: 68 tahun.

(2) Nama: Aliang

Agama: Buddha

Pekerjaan: Wiraswasta. Ia dipandang oleh masyarakat Tionghoa di

Pematangsiantar sebagai sesepuh kebudayaan Tionghoa, yang banyak

menegetahui tentang agama Buddha, Konghucu, dan Tao. Ia juga

memahami tata cara upacara paisin dan makna-makna di balik upacara

tersebut.

Umur: 75 tahun.

B. Para Pelaku Paisin yang Menggunakan Puak Poi

(1) Juli

(2) Candra

(3) Fitri

(4) Nita

(5) Fani

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PERTANYAAN

1. Siapa nama Anda?

2. Apa profesi Anda?

3. Telah berapa lama anda tinggal di daerah ini?

4. Apakah Anda mengetahui apa itu Puak poi?

5. Menurut Anda apakah Puak poi itu?

6. Seberapa sering Anda menggunakan Puak poi?

7. Bagaimana tata cara penggunaan Puak poi?

8. Bagaimana bentuk Puak poi menurut Anda?

9. Apa fungsi Puak poi menurut Anda?

10. Apa Makna Puak poi menurut Anda?

11. Bagaimana cara Anda agar fungsi dan makna Puak poi dapat lebih

dipahami oleh masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar yang masih belum

mengetahui Puak poi?

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

a. Buku dan Artikel

Abdurrahmat, H. Fathoni, 2006. Antropologi Sosial Budaya. Jakarta: Rhineka


Cipta.

Adler, Mortimer J. et al. (eds.). 1983. Encyclopaedia Britannica (Vol. XII).


Chicago: Helen Hemingway Benton.

Akim, Stafanus, 2002. Memahami Budaya Tionghoa. Jakarta: Gramedia.

Ali, Mukti, 1988. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: Institut Agama Islam


Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Press.

Anderson, John, 1971. Mission to the East Coast of Sumatra in 1823. Singapura:
Oxford University Press.

Ardianto dan Lukiah Komala, 2004. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar.


Simbiosa Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Azra, Azyumardi, 2007a. Islam in the Indonesian World: An Account of


Institutional Formation. Bandung: Mizan.

Azra, Azyumardi, 2007b. Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia. Jakarta:


Kanisius.

Bangun, Payung, 1981. Kebudayaan Batak & Pariwisata IV. Medan: Yayasan
Kebudayaan Batak.

Barthes, R., 1967. Elementss of Semiology. London: Jonathan Cape.

Barthes, Roland. 1972. Membedah Mitos-mitos Budaya Massa. Jakarta: Jalasutra.

Bascom, William R., 1965. “The Forms of Folklore: Prose Narratives.” Journal of
American Folklore. Volume 78, nomor 307, Januari-Maret 1965.

Badan Pusat Statistik Pemerintah Kota Pematangsiantar, 2015. Pematangsiantar


dalam Angka. Pematangsiantar: BPS.

Benny, H. Hoed, 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta:


Komunitas Bambu.

Castles, Lance. 1972. The Political Life of A Sumatra Resiency: Tapanuli 1915-
1940. Yale: Yale University. Disertasi Doktoral.

Damanik, Jahutar, 1974. Jalannya Hukum Adat Simalungun. Medan: P.D. Aslan.

Danandjaja, Djames, 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-
lain. Jakarta: Grafiti Pers.
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (eds.). 1995. Handbook of Qualitative
Research. Thousand Oaks, London, dan New Delhi: Sage Publications.

Universitas Sumatera Utara


Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media
Pressindo.

Fiske, John. Cultural and Communication Studies SebuahPengantar Paling


Komprehensif. Bandung: Jalasutra

Hadari dan Martini, 1994. Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia.

Harahap, H.M.D., 1986. Adat-Istiadat Tapanuli Selatan. Jakarta:


Grafindo-Utama.

Harsojo, 1977. Pengantar Antropologi Budaya. Jakarta: Bina Cipta.

Herkovits, Melville J., 1948. Man and His Work. New York: Alfred A. Knopft.

Herskovits, Melville J. dan Frances S., 1958. Dahomean Narrative: A Cross-


cultural Analysis.Northwestern University African Studies, No. 1. Evanston,
III.: Northwestern Univ. Press.

Ihromi, T.O.2006. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor.

Jhuenhyie, 2000. Budaya China. Jakarta: Salemba

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Versi Elektronik Luar Jaringan. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kartodirdjo, Sartono, 1988. Pengantar Sejarah Indonesia Baru. Jakarta:


Gramedia.

Koentjaraningrat (ed.), 1980. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:


Gramedia.

Koentjaraningrat, 1973. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta:


Gramedia.

Koentjaraningrat, 1982. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta:


Gramedia.

Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cistra.

Koentjaraningrat (ed.), 1991. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:


Gramedia.

Koentjaraningrat, 1986. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas


Indonesia (UI Press).

Kriyantono, Rachmat. 2007. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana.

Kwek, J.S., 2006. Mitologi China Dan Kisah Alkitab. Medan: Penerbit Andi.

Universitas Sumatera Utara


Littlejohn, Stephen W, 2009.Theories of Human Communication edisi 9. Jakarta.
Salemba Humanika.

Malinowski, 1948 Man and His Works: The Science of Cultural Anthropo-
logy. New York: Knopf.

Malinowski, 1955 Cultural Anthropology. New York: Knopf. (An abridged


revision of) Man and His Works, 1948.

Malinowski, 1944. “Teori Fungsional dan Struktural,” dalam Teori


Antroplologi I Koentjaraningrat (ed.), 1987. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.

Moleong, Lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja


Roskarya.

Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja


Rosdakarya.

Mulyana, Dedi dan Jalaluddin Rakhmat, 2006. Komunikasi Antarbudaya:


Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung:
Remaja Rosdakarya.

Nababan, P.W.J., 1991. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama.

Narroll, R. 1964. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta: Universitas Indonesia


Press.

Ong Hok Kam, 2005. Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Jakarta: Komunitas
Bambu

Poerwadarminta (ed.), 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: balai


Pustaka.

Poerwadarminta (ed.), 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai


Pustaka.
Purba, Setia Dermawan, 1994. Penggunaan, Fungsi, dan Perkembangan Nyanyian
Rakyat Simalungun bagi Masyarakat Pendukungnya: Studi Kasus di Desa Dolok
Meriah, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Jakarta:
Tesis Magister Antropologi Universitas Indonesia.

Radcliffe-Brown, A.R., 1952., Structure and Function in Primitive Society. Glencoe:


Free Press.

Sangti, Batara [Ompu Buntilan], 1977. Sejarah Kebudayaan Batak. Balige: Karl
Sianipar.

Siahaan, Yudhistira, 2012. Kajian Musikal dan Pertunjukan Barongsai dalam


Perayaan Cap Go Meh Masyarakat Tionghoa di Maha Vihara Maitreya,

Universitas Sumatera Utara


Kompleks Perumahan Cemara Asri Medan. Medan: Skripsi Sarjana
Program Studi Etnomusikologi FIB USU.

Silviana, Yoan, 2012. Fungsi dan Makna Penyambutan Imlek pada Masyarakat
Tionghoa di Pematangsiantar. Medan: Skripsi Sarjana Program Studi Sastra
China FIB USU.

Sinar, Tengku Luckman, 1988. Sejarah Deli Serdang. Lubuk Pakam: Badan
Penerbit Pemerintah Daerah Tingkat II Deli Serdang.

Sou`yb, Joesoef, 1996. Agama-agama Besar didunia, Jakarta: Al-Hussna Dzikra.

Suryadinata, Leo, 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta:


LP3ES. Juga dalam versi Inggris: Leo Suryadinata, 1997. Chinese and
National-Building in Souteast Asia. Asian Studies Monograph No. 3.
Singapore: Singapore Society of Asian Studies.

Suryadinata, Leo, 1992. Pribumi Indonesians: The Chinese Minorities and China
A Study of Perceptions and Politics. Singapore: Heinemann Asia.

Suryanto, Pdt. Markus T., 1996. Mengenal Adat Istiadat Tionghoa. Jakarta:
Pelkrindo (Pelayanan Literatur Kristen Indonesia).

Syafrida, Reny. 2012. Fungsi dan Makna Penyembahan Leluhur Pada


Masyarakat Tionghoa. Skripsi Sarjana Sastra China, Fakultas Ilmu Budaya
USU Medan.

Wang Gungwu, 1981. Community and Nation: Essays on Southeast Asia and the
Chinese. Kuala Lumpur: Heinemann.

Wilton, Syeelwem S., 2014. Struktur dan Makna upacara Cheng Beng bagi
Masyarakat Tionghoa di Berastagi. Skripsi Saraja Sastra China, Fakultas
Ilmu Budaya USU Medan.

Tambunan, Netor Rico, 1996. “Dr. I.L. Nommensen: Missionaris Besar, Penguakl
Kegelapan Tanah Batak,” dalam Kartini, nomor 601. Desember 1996.

Takari, Muhammad, 1997. Struktur Musik Tua Pi Ciu yang Dipergunakan oleh
Masyarakat Tionghoa di Kota Medan pada Upacara Tiau Sang. (Laporan
Penelitian) Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial.

Tanggok, M. Ikhsan, 2005. Mengenal Lebih Dekat “Agama Konghucu di


Indonesia. Jakarta: Pelita Kebajikan.

Tong, Daniel.2010. Tradisi dan Kepercayaan China. Jakarta: Pustaka Sorgawi

Vasanti, Puspa, 1990. “Kebudayaan Orang Tionghoa di Indonesia,” dalam


Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia. Koentjaraningrat (ed.). Jakarta:
Penerbit Jambatan.

Universitas Sumatera Utara


Widyosiswoyo, Supartono. 2001. Sejarah Seni Rupa di Indonesia. Jakarta: Ghalia
Indonesia.

b. Internet

www.baiduwenhua.cn
http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia#masa-masaawal
http:/etnis_Tionghoa_reformasi
www.wikipedia.com
www.sumut.go.id.
www.google.com
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Khonghucu#Intisari_ajaran_Khong_Hu_Cu
http://www.g-excess.com/136/pengertian-agama-konghucu/
http://misi.sabda.org/konfusianisme
(https://www.google.co.id/?gws_rd=cr,ssl&ei=qRGzVb2oLJWPuATulp DoCQ#q
= definisi+ilmu+bahasa).

Universitas Sumatera Utara


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian Kualitatif

Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu frase penelitian kualitatif di Kota

Siantar, maka sepenuhnya penelitian ini menggunakan metode penelitian

kualitatif. Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian analisis

fungsi dan makna tradisi puak poi dalam etnik Tionghoa di kota Siantar melalui

antropologi budaya dengan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

Penelitian ini bersifat deskriptif, bertujuan menjelaskan secara tepat sifat-sifat

individu, keadaan gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan frekuensi

adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala yang lain dalam

masyarakat. Dalam hal ini mungkin telah ada hipotesis-hipotesis, mungkin juga

belum, tergantung dari sedikit banyaknya pengetahuan tentang masalah

bersangkutan (Koentjaningrat,1991:29).

Sedangkan menurut Hadari dan Mimi Martini (1994:176), penelitian yang

bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data atau

informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi

aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Penelitian ini tidak

mempersoalkan sampel dan populasi sebagaimana dalam penelitian kuantitatif.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan

dan menganalisis suatu keadaan atau status fenomena secara sistematis dan akurat

mengenai fakta dari fungsi dan makna dari tradisi puak poi pada masyarakat

Universitas Sumatera Utara


Tionghoa. Denzin dan Lincoln menyatakan secara eksplisit tentang penyelidikan

kualitatif sebagai berikut.

QUALITATIVE [sic.] research has a long and distinguished history


in human disiplines. In sociology the work of the "Chicago school"
in the 1920s and 1930s established the importance of qualitative
research for the study of human group life. In anthropology,
during the same period, ... charted the outlines of the field work
method, where in the observer went to a foreign setting to study
customs and habits of another society and culture. ...Qualitative
research is a field of inquiry in its own right. It crosscuts
disiplines, fields, and subject matter. A complex, interconnected,
family of terms, concepts, and assumtions surround the term
qualitative research (Denzin dan Lincoln, 1995:1).

Menurut Denzin dan Lincoln seperti kutipan di atas, yang dimaksud

dengan penelitian kualitatif adalah adalah suatu metode yang telah lama

dikembangkan di dalam ilmu pengetahuan manusia. Di dalam ilmu sosiologi

karya-karya penelitian kualitatif dihasilkan oleh aliran-aliran para ilmuwan dari

Universitas Chichago, terutama pada dekade 1920-an dan 1930-an. Hasil

penelitian ini merupakan kajian terhadap kehidupan manusia dalam

kebudayaannya. Dalam disiplin ilmu antropologi, dalam periode yang sama, para

ilmuwannya mendisain penelitian dengan cara mengamati dan meneliti adat

istiadat dan kebudayaan di luar kebudayaan sang peneliti, artinya studi lintas

budaya. Penelitian kualitatif ini biasanya dilakukan dengan menggunakan lintas

disiplin, lapangan kajian, dan bidang kajian. Peristilahan yang digunakan dalam

pendekatan penelitian ini juga melibatkan seperangkat konsep dan asumsi yang

kompleks dan saling terjalin.

Lebih jauh Nelson mengkonsepkan mengenai apa itu penelitian kualitatif

itu menurut keberadaannya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah seperti yang

diuraikan berikut ini.

Universitas Sumatera Utara


Qualitative research is an interdisiplinary, transdisiplinary, and
sometimes counterdisiplinary field. It crosscuts the humanities and
the social and physical sciences. Qualitative research is many things
at the same time. It is multiparadigmatic in focus. Its practitioners
are sensitive to the value of the multimethod approach. They are
commited to the naturalistic perspective, and to the interpretive
understanding of human experience. At the same time, the field is
inherently political and shaped by multiple ethical and political
positions (Nelson dan Grossberg, 1992:4, dalam Denzin dan Lincoln,
1995).

Menurut Nelson dan Grossberg seperti dikemukakan di atas, penelitian

kualitatif adalah kajian keilmuan yang bersifat interdisiplin, transdisiplin, dan

kadangkala kounterdisiplin. Pendekatannya selalu melibatkan ilmu-ilmu

kemanusiaan, sosial, dan eksakta. Penelitian kualitatif melibatkan berbagai bahan

kajian pada saat yang sama. Penelitian ini menggunakan multiparadigmatik. Para

pendukung metode ini sangat peka terhadap nilai-nilai yang dianut masyarakat

yang diteliti, serta berbagai metode pendekatan. Para penelitinya sangat

mendukung perspektif alamiah atau seperti apa adanya. Begitu juga dengan

menafsirkan apa yang terjadi dalam pengalaman manusia. Kadangkala penelitian

kualitatif ini inheren dengan politik yang dibentuk oleh berbagai posisi etika dan

politik.

Dalam rangka penelitian terhadap fungsi dan makna tradisi puak poi pada

masyarakat Tionghoa di kota Pematangsiantar, maka metode penelitian yang

penulis pergunakan adalah metode kualitatif, yaitu dengan cara mengkaji kegiatan

ritual (upacara) ini apa adanya. Kemudian menginterpretasikan kegiatan tersebut

berdasarkan etika penelitian yang didasari oleh multidisiplin ilmu. Dalam hal ini

ilmu yang digunakan adalah mencakup ilmu kemanusiaan (antropologi, sosiologi,

filsafat, linguistik), juga ilmu-ilmu bantu lainnya.

Universitas Sumatera Utara


Untuk menginterpretasikan makna-makna yang terjadi, maka penulis

melakukan pendekatan wawancara kepada informan kunci. Selanjutnya untuk

menguraikan fungsi sosiobudaya penulis merenungkan dan mengkaji dalam

perspektif holistik dan mendalam. Dengan demikian, diharapkan penelitian ini

akan mengungkapkan kebenaran realita yang ada serta hal-hal yang

melatarbelakangi kegiatan puak poi dalam upacara paisin ini.

3.2 Data dan Sumber Data

Di dalam setiap penelitian, data menjadi patokan yang sangat penting bagi

setiap penulils untuk menganalisis masalah yang dikemukakan. Data yang

digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data yang dipakai pada upacara

paisin masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar. Data-data yang digunakan

diperoleh dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer

adalah berasal dari informan kunci sebagai berikut:

Sumber Data Primer : 1. Susanto Wijaya (Akiong)

Profesi : Saikong (pemimpin upacara orang meninggal)

dan pemilik kelenteng.

Sumber Data Primer :2. Aliang

Profesi : Wiraswasta

Yang dimaksud dengan informan kunci atau informan pangkal, juga

disebut narasumber kunci (key informant) adalah seorang pemberi data yang

memiliki kapasitas dan kapabilitas terhadap permasalahan yang diajukan dalam

penelitian. Data yang diperoleh informan kunci inilah yang menjadi bahan kajian

Universitas Sumatera Utara


utama dalam penelitian kualitatif. Dengan demikian, penelitian kualitatif sangat

bergantung dari data yang diperoleh dari informan kunci.

Selanjutnya sumber data sekunder adalah sebagai berikut.

Sumber Data Sekunder : Sekilas Budaya Tionghoa

Halaman : 120 hlm

Percetakan : Gramedia

Penerbit : PT Bhuana Ilmu Komputer

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Langkah dalam teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan

mengumpulkan data: wawancara, observasi lapangan, dan studi kepustakaan.

Kegiatan wawancara penulis lakukan kepada informan kunci. Observasi lapangan

adalah dengan cara mengamati langsung proses paisin dan pelemparan puak poi.

Studi kepustakaan adalah membaca berbagai sumber keilmuan seperti skripsi,

makalah, buku, jurnal, dan sebagainya serta sumber-sumber dari internet seperti

blog, situs, dan lain-lainnya.

Sebelum teknik wawancara dilakukan, penulis membuat pedoman sesuai

wawancara yang diberikan kepada beberapa tokoh masyarakat Tionghoa. Untuk

mengumpulkan data pertama penulis menemui informan yaitu seorang pengusaha.

Penulis datang dan bertanya langsung tentang religi tradisional ini. Kemudian

sang informan menjelaskan secara keseluruhan tentang religi tradisonal ini. Dari

hasil wawancara ini diperoleh keterangan tentang religi tradisional budaya

Tionghoa.

Universitas Sumatera Utara


Penulis juga menemui seorang pemuka adat Tionghoa yang bernama

Bapak Aliang yang merupakan salah satu keturunan etnik Tionghoa. Secara

langsung penulis mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan objek

penelitian penulis. Akan tetapi penulis mendapatkan data yang sangat sedikit dari

Bapak Aliang ini.

Untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian skripsi ini

penulis mengunjungi ke Vihara Maitreya Pematangsiantar. Penulis bertemu

dengan Bapak Akiong, salah seorang pengurus vihara, pemilik kelenteng dan

sebagai saikong (pemimpin upacara kematian). Melalui wawancara dengan

beliaulah penulis memperoleh informasi tentang religi-religi tradisional

masyarakat Tionghoa serta sistem kosmologi Tionghoa. Bapak Akiong dengan

senang hati menceritakan religi-religi tersebut, dan mereka sangat senang saat

penulis menanyakan tentang kebudayaan mereka, karena bagi mereka kebudayaan

Khas Tionghoa adalah kebudayaan yang sangat tua, dan hingga kini masih banyak

orang yang ingin mengetahui tentang kebudayaan Tionghoa.

3.3.1 Observasi

Observasi atau pengamatan, dapat berarti setiap kegiatan untuk melakukan

pengukuran dengan menggunakan indera penglihatan yang juga berarti tidak

melakukan pertanyaan-pertanyaan (Soehartono, 1955:69). Dalam mengumpulkan

data salah satu teknik yang cukup baik untuk diterapkan adalah pengamatan

secara langsung/observasi terhadap subyek yang akan diteliti. Dalam penelitian ini

penulis mengadakan tujuh kali pengamatan/observasi secara langsung terhadap

tradisi puak poi.

Universitas Sumatera Utara


3.3.2 Wawancara

Salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian adalah teknik

wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan bertanya secara langsung

kepada subjek penelitian. Sebagai modal awal penulis berpedoman pada pendapat

Koentjaraningrat (1981:136) yang mengatakan, “…kegiatan wawancara secara

umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: persiapan wawancara, teknik

bertanya dan pencatat data hasil wawancara.”

Dalam studi ini penulis melakukan penelitian terhadap beberapa rumah

pada keluarga etnik Tionghoa, Pemuka Adat, Kelenteng dan Vihara yang ada

dikota Siantar. Penulis menggunakan metode wawancara terutama dengan

informan kunci yaitu orang yang banyak mengetahui dan mengerti tentang Tradisi

Puak poi.

Metode wawancara yang penulis gunakan adalah:

1. Wawancara tak berencana atau unstandardized interview. Walaupun

dalam wawancara masalah-masalah yang dipertanyakan tidak

menggunakan daftar pertanyaan, namun penulis menggunakan suatu

pedoman yang berisikan garis besar pokok masalah yang ingin penulis

peroleh informasinya.

2. Wawancara sambil lalu atau casual interview. Bentuk wawancara ini

penulis gunakan juga terhadap beberapa pengurus vihara, kelenteng dan

pemuka adat.

Universitas Sumatera Utara


3.3.3 Studi Kepustakaan

Untuk mencari tulisan-tulisan pendukung, sebagai kerangka landasan

berfikir dalam tulisan ini, adapun yang dilakukan adalah studi kepustakaan.

Kegiatan ini dilakukan untuk menemukan literatur atau sumber bacaan, guna

melengkapi apa yang dibutuhkan dalam penulisan dan penyesuaian data dari

hasil wawancara. Sumber bacaan atau literatur ini dapat berasal dari penelitian

yang telah pernah dilakukan sebelumnya dalam bentuk skripsi. Selain itu sumber

bacaan yang menjadi tulisan pendukung dalam penelitian penulis yaitu berupa

buku, jurnal, makalah, artikel dan berita-berita dari situs internet.

3.4 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini akan diupayakan untuk memperdalam

atau menginterpretasikan secara spesifik dalam rangka menjawab seluruh

pertanyaan.

Adapun proses yang dilakukan adalah:

1. Mewawancarai beberapa keluarga Tionghoa dan beberapa tokoh

masyarakat Tionghoa, untuk memudahkan penulis untuk mengerjakan

tulisan ini, serta mendapatkan informasi tentang tradisi puak poi pada

masyarakat Tionghoa Siantar .

2. Mengumpulkan buku-buku atau jurnal-jurnal yang diharapkan dapat

mendukung tulisan ini kemudian memilih data yang dianggap paling

penting dan penyusunannya secara sistematis.

3. Berdasarkan data-data yang diambil, lalu penulis dapat membuat

kesimpulan dari hasil yang diteliti dalam proses jalannya membuat

penelitian.

Universitas Sumatera Utara


4. Data yang di analisis dengan menggunakan teori fungsionalisme adalah

data yang sudah terkumpul kemudian di tafsirkan oleh penulis. Sedangkan,

data yang di analisis yang menngunakan teori semiotik adalah data yang

berasal dari sumber data primer dan sumber data sekunder.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

GAMBARAN UMUM SISTEM RELIGI MASYARAKAT

TIONGHOA DAN TERAPANNYA DI PEMATANGSIANTAR

Mengkaji puak poi sebagai sebuah artefak budaya, jelas tidak dapat

dipisahkan dari sistem religi yang menyebabkan timbul dan berkembangnya

artefak ini. Kemudian membahas puak poi ini tidak cukup hanya pada benda itu

sendiri, tetapi lebih jauh dalam konteks upacara sembahyang yang lazim disebut

paisin. Secara lebih luas lagi, mengkaji puak poi dalam rangka paisin ini, tidak

dapat dilepaskan dari latar belakang sistem religi yang mendasarinya, terutama

Konghucu, Tao, dan Buddha.

Pada Bab IV ini dikaji mengenai gambaran umum sistem religi [agama]

masyarakat Tionghoa yang berkaitan erat dengan keberadaan puak poi ini, yaitu:

Konghucu, Tao, dan Buddha. Kemudian mendeskripsikan ketiga sistem religi ini

dalam kehidupan masyarakat pendukungnya yaitu masyarakat Tionghoa yang

menganut ketiga sistem religi tersebut di Kota Pematangsiantar. Apakah ada

terapan-terapan yang berbeda dengan masyarakat Tionghoa pada umumnya di

seluruh dunia, atau tidak banyak perbedaan terapannya, terutama dalam konteks

puak poi dan upacara paisin ini.

Hal ini penulis lakukan untuk dapat memetakan keberadaan fungsi dan

makna puak poi baik secara luas dalam konteks kebudayaan Tionghoa di seluruh

dunia, maupun secara rinci dan detil khusus masyarakat Tionghoa di sebuah kota

yang disebut Pematangsiantar. Itulah landasan berpikir dalam rangka

Universitas Sumatera Utara


mendeskripsikan sistem religi dan terapannya di Pematangsiantar dalam mengkaji

keberadaan puak poi.

4.1 Berbagai Sistem Religi Masyarakat Tionghoa

Masyarakat Tionghoa memiliki berbagai sistem religi, 1 baik yang berasal

dari kawasan setempat, yaitu daratan China maupun dari luar, terutama India

dengan agama Buddha. Sebagai permulaan, agama Buddha ternyata bukanlah

agama asli masyarakat Tionghoa, melainkan “diadopsi” dari India. Namun

demikian ajaran-ajaran Tao dan Konfusius memang diakui tumbuh dan

berkembang di daratan China. Kedua ajaran ini mengembangkan filsafat

kebajikan untuk hidup di dunia ini, dan menyembah kepada Tuhan (Thien).

Mereka harus berbuat baik kepada semua manusia dan makhluk di dunia ini.

Karena sejarah dan asal-usul tempat yang sama ini, maka banyak

ditemukan kesamaan antara agama Buddha dan Hindu. Bahkan, jika seseorang

1
Salah satu cabang antropologi yang dapat memberikan gambaran tentang adanya aktivitas
religi pada manusia purba adalah ilmu prehistori atau arkeologi. Melalui penemuan bukti-bukti
ilmu tersebut, ternyata Homo Neanderthal yang pernah hidup di Eropa kira-kira 500.000 tahun
yang lalu ditemukan posisi telentang seperti dimakamkan. Petunjuk ini membuktikan bahwa
makluk tersebut bukan mati seperti binatang. Bahkan di sekitar tubuhnya ditemukan benda-benda
artefak yang secara sengaja diletakan kedalam kuburnya. Hal ini menunjukan bahwa pada manusia
purba telah ditemukan dasar-dasar aktivitas religi. Penguburan manusia berkaitan dengan adanya
keyakinan bahwa akan ada kehidupan setelah kematian. Ada semacam keyakinan, adanya
kehidupan di alam baka (alam kubur). Pada perkembangannya, antropologi berusaha mengungkap
latar belakang mengapa manusia percaya pada kekuatan supranatural? Mengapa pula manusia
melakukan aktivitas-aktivitas yang beraneka ragam untuk melakukan dan mencari hubungan
dengan kekuatan supranatural? Mengapa masyarakat yang satu dengan lainnya memiliki sistem
religi yang berbeda-beda? Bagaimana pula sistem religi mengalami perubahan? Melalui
pertanyaan-pertanyaan tersebut, para antropolog mencoba mengamati berbagai sisrem religi yang
ada dimuka bumi ini dan kemudian mengklarifikasi ke dalam beberapa konsep. Beberapa jawaban
atas pertanyaan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: (a) Kelakuan manusia yang bersifat religi
itu terjadi karena manusia mulai sadar akan adanya faham jiwa; (b) Kelakuan manusia yang
bersifat religi itu terjadi karena manusia mengakui adanya banyak gejalah yang tidak dapat
dijelaskan dengan akalnya; (c) Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi dengan maksud
untuk menghadapi krisis-krisis yang ada dalam jangka waktu hidup manusia. (d) Kelakuan
manusia yang bersifat religi itu terjadi karena ada kejadian luar biasa dalam hidupnya dan alam
sekelilingnya; (e) Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena adanya suatu getaran
atau emosi yang timbul dalam jiwa manusia sebagai akibat dari pengaruh rasa persatuan sebagai
warga masyarakat; (f) Kelakuan manusia yang bersifat religi itu karena manusia mendapat suatu
firman dari tuhan (Koentjaraningrat, 1980).

Universitas Sumatera Utara


mengunjungi Laos, sebuah negara yang didominasi agama Buddha, dan

mengamati beberapa monumen di sana, akan ditemukan gambar-gambar Buddha

yang sangat meyerupai gambar-gambar pada cerita kepahlawanan agama Hindu,

yaitu Ramayana dan Mahabarata. Dengan demikian diingkinkan adanya Dewa

Monyet dalam mitologi China kuno adalah memiliki hubungan persamaan dengan

Hanoman, si raja monyet dalam mitologi Hindu.

Selanjutnya, suatu penelitian atas ajaran sistem religi yang disebut Dao

menunjukkan bahwa ajaran itu tidak dimulai sebagai suatu agama, tetapi sebagai

suatu sistem pemikiran filosofis. Begitu juga dengan agama Konghucu. Pada

dasarnya, sistem religi yang awal kali menguasai orang-orang Tionghoa adalah

sistem religi rakyat atau suku. Setiap suku menyembah Dewa-dewa yang berasal

dari provinsi, kota, ataupun desa mereka sendiri. Dewa-dewa ini menjadi lebih

dihormati lagi di masa Dinasti Shang.

4.1.1 Konghucu

Penemu dari sistem religi ini adalah Kung Fu Tze (551-479 BC) atau

dikenal juga dengan Konghucu dalam bahas Latin. Dalam ajaran-ajarannya,

Konghucu menekankan aspek kemanusiaan dalam menjalani kehidupan. Hal ini

timbul dari pandangannya jika seseorang tidak dapat mengurusi kehidupan

duniawi, dia seharusnya tidak menghiraukan kehidupan surgawi. Suatu pribahasa

yang sering dikaitkan dengan sistem religi Konghucu adalah: “Jika kita tidak

mengenal kehidupan, mengapa kuatir tentang kematian.” Konghucu pada

dasarnya adalah seorang humanis yang percaya akan kecakapan dan kemampuan

manusia, mendukung bahwa semua manusia pada dasarnya adalah baik.

Universitas Sumatera Utara


Khong Hu Cu (Konghucu) hidup 2.500 tahun lalu, tetapi hingga akhir

abad ke-16 ia belum dikenal orang di belahan dunia Barat, yaitu ketika namanya

dilatinkan menjadi Konfucius. Namun kita tidak pernah dapat berharap seperti apa

sebenarnya Khong Hu Cu itu dan apa saja yang terkandung dalam ajarannya.

China adalah sebuah Negara yang memiliki sejarah cukup panjang, yang

konon dimulai sekitar tahun 2.700 S.M. China memiliki tiga agama besar yaitu

Konfusianisme, Taoisme dan Buddhisme. Beberapa sumber kuno seperti Sje-

Tsing (Buku Puji-pujian), dan Shu Ching (Buku Sejarah). Memberi kesan bahwa

bangsa China purba menganut faham monoteis, yaitu percaya pada satu Tuhan,

nama yang diberikan untuk Tuhan mereka adalah Shang-Ti (Penguasa Tertinggi),

dan Thien (Sorga).

Akan tetapi dalam perkembangan sejarah China, kepercayaan yang semula

pada satu Tuhan menjadi kacau karena bangsa China mulai mempercayai roh-roh

halus dan roh-roh nenek moyang, yang semuanya itu mereka puja dalam upacara-

upacara pengorbanan. Kira-kira pada abad VI S.M., kehidupan serta moral bangsa

China mulai merosot.

Dalam situasi seperti ini lahirlah Konfusius, atau Kong Hu Tzu atau Kong

Fu Tze, yang kemudian ajaran-ajarannya kemudian sangat berpengaruh besar

dalam kehidupan bangsa China. Selama hampir 25 abad Konfusius dianggap

sebagai guru pertama oleh orang-orang China. Hal ini tidak berarti bahwa

sebelum Konfusius tidak ada guru di China, melainkan merupakan pengakuan dari

bangsa China bahwa Konfusius berada pada tingkat paling atas dari semua guru

tersebut.

Agama Konghucu, atau biasa dibunyikan dengan Kong Hu Cu, di kaitkan

dengan nama pendiri agama ini yaitu Kung Fu Tze (551-479 SM). Ada yang

Universitas Sumatera Utara


menilai bahwa ajaran Kung Fu Tze bukanlah suatu agama melainkan hanyalah

ajaran tentang nilai-nilai (etika) saja, karena Kung Fu Tzu sendiri menghindarkan

diri untuk berbicara tentang alam gaib. Akan tetapi R.E. Hume dalam bukunya

edisi 1950 menjelaskan bahwa sistem ajaran Kung Fu Tzu itu mengenal

pengakuan terhadap kodrat Maha Agung (Supreme Being), serta mempercayai

pemujaan terhadap arwah nenek moyang, juga mengajarkan tata tertib kebaktian.

dengan landasan inilah seiring perkembangan zaman ajaran Konfusius termasuk

kepada ajaran keagamaan.

Bagi Konghucu, anugerah yang menyelamatkan terletak pada kenyataan

bahwa sifat kita pada dasarnya adalah baik. Jika dipikirkan hal-hal yang benar,

maka seseorang tersebut akan melakukan tindakan yang baik dan diselamatkan.

Karena itu, penekanan sistem religi ini adalah pada pendidikan di masa lalu, dan

kebijaksanaannya dalam konteks hubungan kemanusian dan sosial yang universal

di dunia ini. Adapun inti ajaran dari sistem religi ini adalah empat kebijakan

utama dan lima hubungan utama. Empat kebijakan utama itu adalah: (1) taat

kepada pemimpin atau negara; (2) sayang kepada orang tua; (3) baik kepada

sesama; dan (4) setia kepada teman. Selanjutnya konsep lima hubungan utama itu

adalah: (i) antara pemimpin (negara) dan warga negara; (ii) antara ayah dan anak;

(iii) antara suami dan istri; (iv) antara kakak dan adik, dan (v) antara teman.

Ajaran sistem religi Konfusius mengenai empat kebijakan utama dan lima

hubungan utama ini dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.1:

Empat Kebijakan Utama dan Lima Hubungan Utama

dalam Sistem Religi Konfusius

Ajaran Konfusius dalam Membina Hubungan Sosial


Empat Kebajikan Utama Lima hubungan Utama
1. Taat pada pemimpin atau negara 1. Antara pemimpin (negara) dan
2. Sayang kepada orang tua warga negara
3. Baik kepada sesama 2. Antara ayah daan anak
4. Setia kepada teman 3. Antara suami dan istri
4. Antara kakak dan adik
5. Antara teman

4.1.2 Taoisme (Dao)

Penemu sistem religi Dao yang dikenal addalah Lao Tze (604-524 S.M.)

dan Zhuang Tze (369-286 S.M.). Lao Tze mendirikan aliran filosofis dari

pemikiran Dao Jia, yang menekankan kebijaksanaan dan senioritas. Aliran

pemikiran ini difokuskan pada dimensi sosial kehidupan, yaitu percaya bahwa

seseorang dapat mencapai keabadian melalui pengejatan kebijaksanaan. Karena

itu, senioritas sangat dihargai, dan orang tua dihormati karena banyaknya

pengetahuan dan kebijaksanaan yang telah dimiliki seumur hidup mereka.

Sistem religi Dao mempercayai bahwa semua bagian dari kosmos adalah

milik satu organik yang menyeluruh (yaitu Dao). Dengan demikian, kerukunan

(harmoni) dan keteraturan harus dipelihara setiap saat di dalam jiwa individu, di

dalam setiap aspek kehidupan sosial dan di dalam seluruh kosmos, agar semua

ciptaan hidup dan berfungsi secara sempurna.

Dao dianggap sebagai sumber utama dan sifat dasar semua ciptaan. Hal itu

tidak dapat dinamai, dijelaskan, dan diajarkan. Praktisi dari Shen percaya bahwa

dunia roh yang kuat dan nyata dipenuhi oleh roh-roh yang perilakunya dibentuk

Universitas Sumatera Utara


oleh kegiatan manusia. Roh-roh yang lebih kuat dianggap memiliki kemampuan

untuk mempengaruhi kehidupan manusia dan mengendalikan kegiatan manusia.

Ajaran Dao itu mencakup roh di surga, roh di bumi, Dewa-dewa pada rumah

tangga, Dewa-dewa di kuil, dan roh-roh baik dan jahat. Kepercayaan seperti ini

dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut.

Tabel 4.2:

Kepercayaan terhadap Makhluk Gaib pada Sistem Religi Dao (Taoisme)

Jenis Makhluk Gaib Contoh Makhluk Gaib


Roh di surga Misalnya, Tien gong; roh bintang; angin;
hujan; guntur; dan roh yang bercahaya
Roh di bumi Misalnya, Tu Di Gong; dewa kayu dan
api; jalan air atau roh air
Dewa-dewa rumah tangga Misalnya, dewa dapur; dewa
kemasyhuran; dewa kemakmuran; dewa
umur panjang
Dewa-dewa kuil Misalnya, Na Cha; dewa monyet; dewa-
dewa sembilan kaisar

Roh-roh baik dan jahat Roh-roh baik dipercaya sebagai dewa


daerah yang mempengaruhi kehidupan
sehari-hari, sementara roh-roh jahat
dipercaya sebagai roh orang-orang yang
telah mati yang tidak mau melepaskan
kehidupan dunia.

4.1.3 Agama Buddha

Agama Buddha dimulai dari India dan menyebar ke seluruh China sekitar

abad peertama sebelum Masehi. Awalnya Siddhartha Gautama (563-483 S.M.),

seorang pangeran, yang pada saat lahir diramalkan akan menjadi penyelamat

dunia. Ayahnya, sang raja, karena takut ramalan itu benar, sengaja mengasingkan

Siddhartha Gautama dari dunia di luar istana.

Pada suatu hari ketika Siddhartha Gautama dewasa, dia berhasil

menyelinap keluar dari istana, dan dikejutkan dengan kemiskinan serta

Universitas Sumatera Utara


penderitaan yang dilihatnya di antara rakyat biasa. Dihadapkan dengan hal ini dan

juga ketidakmampuan untuk mengubah kenyataan, Siddhartha Gautama

meninggalkan istana, dia tinggal di bawah sebuah pohon untuk bermeditasi

tentang kehidupan. Dipercayai bahwa melalui masa meditasinya, dia mendapatkan

pencerahan mengenai kehidupan dan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan.

Itulah awal kali kelahiran agama Buddha di dunia ini.

Adapun inti ajaran agama Buddha ini adalah sebagai berikut. Buddha

diagungkan bukan karena kekayaan, keindahan, atau lainnya. Beliau diagungkan

karena kebaikan, kebijaksanaan, dan pencerahan-Nya. Inilah alasan mengapa

umat Buddha, menganggap ajaran Buddha sebagai jalan hidup tertinggi.

Berikut ini adalah keunggulan-keunggulan yang menumbuhkan

kekaguman umatnya terhadap ajaran Buddha, sebagai hasil wawancara dengan

dua narasumber penulis, yaitu Pak Susanto Wijaya dan Pak Aliang (selama kurun

waktu 2014) .

1. Ajaran Buddha tidak membedakan kelas (kasta). Buddha mengajarkan bahwa

manusia menjadi baik atau jahat bukan karena kasta atau status sosial, bukan

pula karena percaya atau menganut suatu ajaran agama. Seseorang baik atau

jahat karena perbuatannya. Dengan berbuat jahat, seseorang menjadi jahat, dan

dengan berbuat baik, seseorang menjadi baik. Setiap orang, apakah ia raja,

orang miskin atau pun orang kaya, dapat masuk surga atau neraka, atau

mencapai Nirvana, dan hal itu bukan karena kelas atau pun kepercayaannya.

2. Agama Buddha mengajarkan belas kasih yang universal. Buddha mengajarkan

umatnya untuk memancarkan metta (kasih sayang dan cinta kasih) kepada

semua makhluk tanpa kecuali. Terhadap manusia, janganlah membedakan

Universitas Sumatera Utara


bangsa. Terhadap hewan, janganlah membedakan jenisnya. Metta harus

dipancarkan kepada semua hewan termasuk yang terkecil seperti serangga. Hal

ini berbeda dengan beberapa agama lain yang mengajarkan bahwa hewan

diciptakan Tuhan untuk kepentingan kelangsungan hidup manusia, sehingga

membunuh makhluk selain manusia bukanlah kejahatan. Beberapa agama

bahkan membenarkan membunuh orang bersalah yang menentang agamanya.

3. Dalam ajaran Buddha, tidak seorang pun diperintahkan untuk percaya Sang

Buddha tidak pernah memaksa seseorang untuk mempercayai ajaran-Nya.

Semua adalah pilihan sendiri, tergantung pada hasil kajian masing-masing

individu. Buddha bahkan menyarankan, “Jangan percaya apa yang Ku katakan

kepadamu sampai kamu mengkaji dengan kebijaksanaanmu sendiri secara

cermat dan teliti apa yang Kukatakan.” Hal ini pun berbeda dengan agama lain

yang melarang pengikutnya mengkritik ajarannya sendiri. Ajaran Buddha tidak

terlalu dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan dan kritik-kritik terhadap ajaran-

Nya. Jelaslah bagi umat Buddha bahwa ajaran Buddha memberikan

kemerdekaan atau kebebasan berpikir.

4. Agama Buddha mengajarkan diri sendiri sebagai pelindung. Buddha bersabda,

“Jadikanlah dirimu pelindung bagi dirimu sendiri. Siapa lagi yang menjadi

pelindungmu? Bagi orang yang telah berlatih dengan sempurna, maka dia

telah mencapai perlindungan terbaik.” Ini dapat dibandingkan dengan pepatah

bahasa Inggris, “God helps those who help themselves,” maksudnya Tuhan

menolong mereka yang menolong dirinya sendiri. Inilah ajaran Buddha yang

menyebabkan umat Buddha mencintai kebebasan, kemerdekaan, dan

menentang segala bentuk perbudakan dan penjajahan. Buddha tidak pernah

mengutuk seseorang ke neraka atau pun menjanjikan seseorang ke surga atau

Universitas Sumatera Utara


Nibbana; karena semua itu tergantung akibat dari perbuatan tiap-tiap orang,

sementara Buddha hanyalah guru atau pemimpin. Seperti tertulis dalam

Dhammapada, “Semua Buddha, termasuk Saya, hanyalah penunjuk jalan.”

Pilihan untuk mengikuti jalan-Nya atau tidak, tergantung pada orang yang

bersangkutan. Hal ini pula yang membedakan dengan agama lain yang percaya

Tuhan dapat menghukum orang ke neraka atau mengirimnya ke surga. Tatkala

orang melakukan segala jenis dosa, jika dia memuja, berdoa, dan menghormati

Tuhan, maka Tuhan akan menunjukkan cinta-Nya dan mengampuni orang

tersebut. Hal ini membuat orang menjadi terdorong untuk tidak peduli, sebesar

apapun dosanya, jika dia memuja Tuhan, dia akan diampuni. Karena ini

pulalah, dia akan terbiasa menunggu bantuan orang lain daripada berusaha

dengan kemampuan sendiri.

5. Agama Buddha adalah agama yang suci. Yang dimaksudkan di sini adalah

agama tanpa pertumpahan darah. Dari awal perkembangannya sampai

sekarang, lebih dari 2500 tahun –agama Buddha tidak pernah menyebabkan

peperangan. Bahkan, Buddha sendiri melarang penyebaran ajaranNya melalui

senjata dan kekerasan. Di lain pihak, banyak pemimpin agama yang sekaligus

juga menjadi raja dari kerajaannya, dan pada saat yang sama menjadi diktator

dari agamanya. Meskipun ada beberapa agama yang tidak disebarkan melalui

senjata atau kekerasan, tetapi mereka telah menyebabkan terjadinya perang

antar agama. Hal ini menyebabkan agama tersebut tidak dapat dianggap

sebagai agama yang suci atau bebas dari pertumpahan darah.

6. Agama Buddha adalah agama yang damai dan tanpa monopoli kedudukan.

Dalam Dhammapada, Buddha bersabda, “Seseorang yang membuang pikiran

untuk menaklukkan orang lain akan merasakan kedamaian.” Pada saat yang

Universitas Sumatera Utara


sama, Beliau memuji upaya menaklukkan diri sendiri. Beliau berkata,

“Seseorang yang menaklukkan ribuan orang dalam perang bukanlah penakluk

sejati. Tetapi seseorang yang hanya menaklukkan seorang saja yaitu dirinya

sendiri, dialah pemenang tertinggi.” Di sini, menaklukka n diri sendiri terletak

pada bagaimana mengatasi kilesa (kekotoran batin). Andaikan semua orang

menjadi umat Buddha, maka diharapkan manusia akan beroleh perdamaian dan

kebahagiaan. Buddha mengatakan bahwa semua makhluk harus dianggap

sebagai sahabat atau saudara dalam kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian.

Beliau juga mengajarkan semua umat Buddha untuk tidak menjadi musuh

orang-orang tak seagama atau pun menganggap mereka sebagai orang yang

berdosa. Beliau mengatakan bahwa siapa saja yang hidup dengan benar, tak

peduli agama apapun yang dianutnya, mempunyai harapan yang sama untuk

beroleh kebahagiaan di kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang.

Sebaliknya, siapapun yang menganut agama Buddha tetapi tidak

mempraktikkannya, hanya akan beroleh sedikit harapan akan pembebasan dan

kebahagiaan.

Dalam agama Buddha, setiap orang memiliki hak yang sama untuk

mencapai kedudukan yang tinggi. Dengan kata lain, setiap orang dapat

mencapai Kebuddhaan. Dalam agama lain, tiada siapapun dapat menjadi Tuhan

selain Tuhan sendiri, tidak peduli sebaik apapun pengikutnya bertindak.

Seseorang takkan pernah mencapai tingkat yang sama dengan Tuhan. Bahkan

pemimpin agama pun takkan pernah mencapai ketuhanan.

7. Agama Buddha mengajarkan hukum sebab dan akibat. Buddha mengajarkan

bahwa segala sesuatu muncul dari suatu sebab. Tiada suatu apapun yang

muncul tanpa alasan. Kebodohan, ketamakan, keuntungan, kedudukan, pujian,

Universitas Sumatera Utara


kegembiraan, kerugian, penghinaan, celaan, penderitaan –semua adalah akibat

dari keadaan-keadaan yang memiliki sebab. bAkibat-akibat baik muncul dari

keadaan-keadaan yang baik, dan akibat buruk muncul dari penyebab-penyebab

buruk pula. Kita sendiri yang menyebabkan keberuntungan dan

ketidakberuntungan kita sendiri. Tidak ada Tuhan atau siapapun yang dapat

melakukannya untuk kita. Oleh karena itu, kita harus mencari keberuntungan

kita sendiri, bukan membuang-buang waktu menunggu orang lain

melakukannya untuk kita. Jika seseorang mengharapkan kebaikan, maka dia

hanya akan berbuat kebaikan dan berusaha menghindari pikiran dan perbuatan

jahat.

Prinsip-prinsip sebab dan akibat, suatu kondisi yang pada mulanya sebagai

akibat akan menjadi sebab dari kondisi yang lain, dan seterusnya seperti mata

rantai. Prinsip ini sejalan dengan pengetahuan modern yang membuat agama

Buddha tidak ketinggalan zaman daripada agama-agama lain di dunia. 2

2
Agama Buddha ini pun pernah menyebar luas ke Nusantara. Pada akhir abad ke-5, seorang
biksu Buddha dari India mendarat di sebuah kerajaan di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Tengah
sekarang. Pada akhir abad ke-7, I Tsing, seorang peziarah Buddha dari Tiongkok, berkunjung ke
Pulau Sumatera (kala itu disebut Swarnabhumi), yang kala itu merupakan bagian dari kerajaan
Sriwijaya. Ia menemukan bahwa Buddhisme diterima secara luas oleh rakyat, dan ibukota
Sriwijaya (sekarang Palembang), merupakan pusat penting untuk pembelajaran Buddhisme (kala
itu Buddha Vajrayana). I Tsing belajar di Sriwijaya selama beberapa waktu sebelum melanjutkan
perjalanannya ke India. Pada pertengahan abad ke-8, Jawa Tengah berada di bawah kekuasaan
raja-raja Dinasti Syailendra yang merupakan penganut Buddhisme. Mereka membangun berbagai
monumen Buddha di Jawa, yang paling terkenal yaitu Candi Borobudur. Monumen ini selesai di
bagian awal abad ke-9. Di pertengahan abad ke-9, Sriwijaya berada di puncak kejayaan dalam
kekayaan dan kekuasaan. Pada saat itu, kerajaan Sriwijaya telah menguasai Pulau Sumatera, Pulau
Jawa, dan Semenanjung Malaya.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 4.1:

Peta Wilayah Persebaran Agama Buddha di Dunia

Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha

4.2 Terapan Ketiga Sistem Religi pada Masyarakat Tionghoa di

Pematangsiantar

Orang-orang Tionghoa yang menganut sistem religi Konghucu, Tao, dan

Budha di Kota Pematangsiantar, secara dasar mengacu kepada sistem religi yang

ada di era China Kuno. Ketiga-tiga umat yang menganut sistem religi yang telah

diuraikan di atas, yaitu Tao (Dao), Konghucu, dan Buddha dalam konteks

berkomunikasi, terutama untuk bertanya kepada Tuhan, Dewa, roh leluhur, atau

makhluk gaib selalu menggunakan puak poi sebagai “media.”

Hal ini menarik bahwa ketiga sistem religi tersebut pada prinsipnya

memeliki persamaan dalam memandang alam ini, yaitu selain adanya dunia kasat

Universitas Sumatera Utara


mata, tumbuhan, hewan, dan manusia, masih ada lagi Dewa dan Dewi, roh

leluhur, makhluk gaib, dan tentu saja Tuhan itu sendiri. Dalam membina

komunikasi denganNya, manusia dapat menggunakan artefak religi yang disebut

dengan puak poi. Demikian pula yang terjadi di dalam masyarakat Tionghoa

beragama Buddha dan Konghucu (bersama Tao) di Pematangsiantar.

4.3 Hari-hari Raya dan Upacara Orang Tionghoa di Pematangsiantar

Hari raya dan upacara bagi masyarakat Tionghoa telah menjadi adat

kebiasaan secara turun temurun. Dalam setahun, yang teramai adalah upacara

Imlek di bulan satu China. Di samping itu hari raya yang disertai upacara lainnya

adalah chang beng di bulan ketiga, tuan yang ciek di bulan kelima, chit guek pua

di bulan ketujuh, tiong chiu di bulan kedelapan, dan tang cek di bulan kesebelas.

Dalam konteks menentukan hari-hari raya ini baik secara kultural maupun religi,

masyarakat Tionghoa menggunakan sistem penanggalan yang berdasarkan kepada

sistem penanggalan China. Dalam sub bab ini dideskripsikan beberapa hari raya

dan upacara yang lazim dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di seluruh dunia,

termasuk di Kota Pematangsiantar.

Yang pertama adalah hari raya dan upacara Cheng Beng adalah hari untuk

berziarah atau berkunjung ke kuburan orang tua ataupun leluhur. Orang-orang

Tionghoa ini kemudian membersihkan kuburan orang tua dan leleuhurnya dan

melakukan sembahyang (paisin) supaya arwah si meninggal mendapatkan

kebebasan dari siksaan. Bagi orang-orang Tionghoa yang memiliki kemampuan

ekonomi yang lebih dari orang kebanyakan, biasanya mereka meminta bantuan

bhiksu (bikhu) untuk melaksanakan upacara sembahyang (paisin) untuk

kebebasan para roh-roh leluhur di Alam Baka sana.

Universitas Sumatera Utara


Di antara orang-orang Tionghoa tersebut, ada pula yang mengambil

kesempatan pada bulan tiga ini untuk melakukan upacara mengambil dan

membersihkan tulang belulang si meninggal untuk dipindahkan ke tempat lain. 3

Untuk melaksanakan pemindahan tersebut harus dimintakan bantuan bhiksu untuk

mencari hari waktu yang baik.

Dalam melaksanakannya pemindahan tersebut, terlebih dahulu harus

dipasang tenda supaya kerangka tidak menghadap ke langit. Setelah itu satu

persatu dari tulang belulang tersebut dibersihkan dan dicuci dengan samsu putih,

kemudian dikeringkan dan disusun dengan rapi lalu dimasukkan ke dalam king

ang (guci). Kemudian dikuburkan kembali ke tempat yang telah ditetapkan

sebelumnya.

Makna kultural dan religius dari pemindahan tulang belulang leluhur ini

adalah meningkatkan keberadaan tempat tinggal rohnya. Juga menghormati

leluhurnya. Selain itu juga sebagai pertanda bahwa keturunannya telah

mempunyai rezeki yang lebih baik dari masa sebelumnya.

Pada umumnya masyarakat Tionghoa di Kota Pematangsiantar, menurut

pengamatan penulis pada hari raya Cheng Beng ini banyak yang mengunjungi

keluarganya di Pulau Pinang, Penang, Malaysia. Mereka datang beramai-ramai ke

sana yang dipandang sebagai kampung halaman mereka juga. Mereka umumnya

3
Upacara pemindahan tulang-tulang mayat dari satu kubur ke kubur baru yang dipandang
lebih baik dari sudut tempat kubur, kualitas kubur, atau tahapan religius yang harus dilakukan,
tampaknya menjadi sebuah fenomena konsep sistem religi dan kebudayaan di seluruh dunia.
Seperti terurai di atas, orang-orang Tionghoa juga selalu melakukan pemindahan tulang belulang
leluhurnya terutama pada masa hari raya Cheng Beng ini. Demikian pula dalam kebudayaan Batak
Toba, mereka sejak awal melakukabn pemindahan tulang belulang para leluhurnya dari kuburan
lama ke kuburan baru. Peristiwa seperti ini disebut dengan mangongkal holi [baca: ma.ngok.kal
ho.li]. Sampai sekarang walaupun masyarakat Batak Toba sebahagian besar telah menganut agama
Kristen (Protestan dan Katolik), mereka juga melakukan upacar mangongkal holi ini. Demikian
pula masyarakat Karo di Sumatera Utara juga melakukan upacara yang sedemikian rupa ini.
Mereka menyebutnya dengan ngampeken tulan-tulan [ngam.pé.kén tu.lan-tu.lan]. Demikian pula
yang terjadi di dalam kebudayaan masyarakat Toraja di Sulawesi, dan berbagai kelompok etnik di
Nusantara ini atau dunia secara umum.

Universitas Sumatera Utara


pergi dan kembali dari Penang dengan menggunakan pesawat udara dari Bandara

Kualanamu Medan, dengan menumpang pesawat-pesawat komersial seperti Air

Asia, Lion Air, dan Malaysia Airlines System (MAS).

Kemudian hari raya dan upacara yang kedua adalah Tuan Yang, hari tuan

yang yang dilaksanakan pada bulan kelima ini adalah hari makan bak cang. Ini

dilaksanakan untuk memperingati seorang penyair dari China yang bernama Chi

Yen. Menurut sejarah China kuno, pada zaman perang tahun 403 sebelum Masehi

pada masa pemerintahan Raja Cou hiduplah seorang penyair bernama Chi Yen.

Beliau adalah seorang yang sangat dihormati dalam kalangan rakyat karena

sangat menjunjung tinggi raja dan negara. Akibatnya raja sendiri merasa terancam

kedudukannya kemudian mengusir beliau keluar dari kerajaan. Walau demikian,

Chi Yen tidak merasa putus asa, berikutnya beliau membuat syair-syair yang

ditujukan kepada raja dengan menyatakan bahwa beliau tidak merasa bersalah.

Sang raja tidak memperdulikan hal tersebut, sehingga akhirnya Chi Yen

putus asa dan melakukan bunuh diri, dengan cara mengikatkan sebuah batu besar

pada tubuhnya kemudian terjun ke sungai Yang Lo. Rakyat yang mengetahui hal

tersebut kemudian membuat kue yang terbuat dari tepung terigu yang dalamnya

diisi dengan daging (babi, lembu, atau kerbau). Kue ini disebut dengan bak cang.

Kemudian dilemparkan ke sungai agar binatang-binatang yang ada dalam sungai

tersebut tidak memakan tubuh Chi Yen melainkan memakan bak cang tersebut.

Sebahagian dari bak cang tersebut dimakan oleh mereka. Orang-orang

Tionghoa juga membuat perahu dengan lambang kepala naga dan membawa

genderang yang disebut ku. Selepas itu, sesampainya mereka di sungai, mereka

bolak-balik mengendarai perahu tersebut dan memukulkan genderang agar setan

(kui) yang ada dalam sungai tersebut jangan mendekati mayat Chi Yen yang tidak

Universitas Sumatera Utara


dapat mereka temukan. Maknanya secara budaya adalah mereka berusaha agar

mayat Chi Yen sebagai pahlawan, tidak ditemukan oleh raja yang haus kekuasaan

tersebut, melalui pertolongan setan sehingga selamat menuju alam rohnya, dengan

keadaan jasad yang tak kurang sesuatu apapun.

Biasanya setiap tahun tepat pada bulan kelima hari tersebut diperingati dan

diadakan perlombaan perahu berbentuk naga. Namun pada umumnya masyarakat

Tionghoa di Pematangsiantar hanya memperingatinya dengan acara memakan bak

cang saja. Memakan bak cang ini berarti memperingati kepahlawanan Chi Yen.

Hari raya dan upacara berikutnya, yang ketiga, adalah Chit Guek Pua.

Dalam sistem kosmologi dan folklor China konon bulan tujuh adalah merupakan

hari kegelapan bagi masyarakat Tionghoa. Hari pertama bulan tujuh adalah

merupakan hari pembukaan pintu neraka, yang menurut mereka adalah

dibebaskannya arwah-arwah untuk berjalan-jalan ke dunia fana. Pada hari

tersebut, masyarakat Tionghoa yang beragama Buddha dan Konghucu (atau juga

Dao) biasanya di kelenteng-kelenteng membuat lampion yang ditempatkan di atas

bambu yang tinggi, yang bertujuan untuk memanggil dan mengumpulkan arwah-

arwah. Kemudian bhiksu membacakan kitab suci untuk menolong arwah-arwah

tersebut supaya mereka dapat pulang ke surga.

Sampai kemudian pada hari yang kelima belas (chit guek pua) adalah

merupakan hari pulangnya arwah-arwah yang bergentayangan tersebut. Pada

setiap rumah penghuninya harus membuat sesajian berupa buah-buahan seperti:

jeruk, nenas, pisang, apel, dan sejenisnya untuk menyatakan perpisahan.

Hari ketiga puluh merupakan hari penutupan pintu neraka. Bagi arwah

yang belum dapat pulang ke surga (thien tong), maka harus pulang kembali ke

Universitas Sumatera Utara


neraka (te qek). Lampion yang dipasang di kelenteng harus diturunkan. Ini disebut

dengan sia teng kha (mengucapkan terima kasih).

Selanjutnya adalah hari raya dan upacara Tiong Chiu, yang dilaksanakan

pada setiap bulan delapan hari kelima belas (pada saat bulan purnama). Pada hari

tersebut di setiap rumah disediakan kue yang bernama tiong chiu pia yang

dimaksudkan untuk menyembah Dewi Bulan. Anak-anak menyalakan lampion

yang dibentuk dalam rupa binatang seperti ayam, kelinci, naga, dan sebagainya.

Pada malam itu merupakan suatu peringatan bagi rakyat China yaitu pada

zaman dahulu, sekitar tahun 206 Sebelum Masehi, Negeri China diserang oleh

Mongolia 4 (negeri tetangga China). Setiap hari rakyat China disiksa oleh pasukan

4
Mongolia (bahasa Mongol: Монгол Улс) adalah sebuah negara yang terkurung daratan di
Asia Timur; berbatasan dengan Rusia di sebelah utara, dan Republik Rakyat Tiongkok di selatan.
Mongolia merupakan pusat Kekaisaran Mongol pada abad ke-13, tetapi dikuasai oleh Dinasti Qing
sejak akhir abad ke-17 hingga sebuah pemerintah merdeka dibentuk dengan bantuan Uni Soviet
pada 1921. Namun demikian, kemerdekaan Mongolia tidak diakui China sampai tahun 1949.
Setelah Partai Komunis menguasai China daratan, China akhirnya mengakui kemerdekaan
Mongolia. Setelah keruntuhan Uni Soviet, Mongolia menganut aliran demokrasi. Sebahagian besar
wilayah Mongolia memiliki tanah yang gersang, kebanyakan wilayah berupa padang rumput
dengan pegunungan di bagian barat dan utara dan Gurun Gobi di selatan. Mayoritas penduduknya
beretnik Mongol yang menganut agama Buddha Tibet (Lamaistik) dengan kehidupan nomaden.
Sejarahnya sebagai berikut. (a) Periode Bangsa Hunnu, bangsa ini menjadi terkenal di bawah
kepemimpinan Modun Khaan dari Dinasti Tiongkok yang mengontrol jalur perdagangan di daerah
Turkistan. Kemudian kehancuran menimpa peradaban Hunnu bersamaan dengan kehancuran
dinasti Hundi Tiongkok. (b) Periode Bangsa Cian-bi. penduduk bangsa Hunnu bergabung ke
wilayah bangsa Cian-bi (136-181 Masehi). Cian-bi menjadi bangsa yang kuat dan memperluas
wilayah dan membagi tiga bagian hingga ke timur sampai ke Korea di bawah kepemimpinan
Tanishikuai. Sampai era kepemimpinan Kabinen, bangsa Cian-bi mengalami banyak perebutan
wilayah. Tahun 235, Kabinen tewas dan bangsa Cian-bi mengalami kehancuran. (c) Periode
Bangsa Jujan, yang dibangun oleh penduduk sisa bangsa Cian-bi, bangsa Jujan yang berpusat di
pegunungan Khangai berkembang pada abad ke-5. (d) Periode Bangsa Tukish, yang dibangun dari
pecahan Kerajaan Jujan memperluas wilayahnya hingga ke semenanjung Korea dan Tiongkok.
Penduduk dari bangsa Uyghur ikut bergabung pada 745 M. Bangsa Tukish menjadi bangsa yang
kuat di Mongolia. (e) Periode Bangsa Uighur yang lahir dari bagian bangsa Tukish. Pada periode
745 M, Uighur mengontrol jalur perdagangan dari China hingga ke kawasan timur Asia. (f)
Periode Bangsa Kitan, abad X-XII, Mongolia dikuasai Kitan yang berpusat di Sungai Liao,
pegunungan Khyangan dan menguasai wilayah Mongolia pada tahun 924 Masehi. Pada 936 M,
bangsa Kitan menguasai wilayah Bahain dan 16 wilayah Tiongkok utara. Tahun 1120, bangsa
Kitan hancur. (g) Periode Mongol, abad XII, Mongolia dikuasai oleh Kerajaan Mongol yang
menduduki tiga sungai dan pegunungan Altai hingga sungai Selenge. Kerajaan ini dipimpin oleh
Khabula Khaan (Kubilai Khan). Cucunya yang bernama Yesugei mendirikan Kerajaan Mongol
Khanlig. Yesudei wafat tahun 1170 dan Kerajaan Mongol terbagi menjadi beberapa bagian.
Anaknya yang bernama Temujin menguasai tampuk kepemimpinan Mongol. Dalam masa
kepemimpinannya, Kerajaan Mongol Khanlig menjadi bagian negara yang disegani.
Mongolia terkenal di abad ke-13 di bawah kepemimpinan Genghis Khan karena berhasil
menaklukkan berbagai kerajaan di Eurasia. Setelah kematian Genghis Khan, Mongolia dibagi

Universitas Sumatera Utara


Mongolia tersebut. Bangsa Mongolia mengeluarkan peraturan bahwa pada setiap

rumah tangga hanya boleh menggunakan sebuah pisau belati untuk keperluan

sehari-hari. Apabila kedapatan memiliki lebuh dari yang ditentukan maka

sekeluarga akan dipacung di depan umum.

Akhirnya rakyat China bangkit melawan pemerintahan Mongolia dipelopori

oleh tokoh-tokoh yang tidak dikenal. Mereka mengadakan pemberontakan dengan

jalan menyelipkan surat ke dalam kue Tiong Chiu yang berisikan tulisan China

yang artinya kira-kira sebagai berikut: “ Mulai dari saat ini diharapkan pada

seluruh rakyat untuk membuat senjata tajam dan tepat pada tanggal 15 bulan

delapan jam 24.00 tepat pada saat kentongan dibunyikan maka secara serentak

harus menyerang ke tempat kediaman bangsa Mongolia yang ditandai dengan

adanya lampion yang digantungkan di depan rumah. Pada malam itu juga, mereka

berhasil mengusir penjajah Mongolia tersebut. Oleh karena itulah maka pada

setiap tahun diperingati dan juga sebagai ucapan terima kasih kepada dewi bulan

yang telah melindungi mereka dari para penjajah.

Berikutnya adalah hari raya dan upacara Tang Cek, biasanya dilaksanakan

pada setiap bulan sebelas. Tang berarti musim salju, cek adalah tiba. Hari Tang

Cek berarti musim salju telah tiba. Setiap penghuni rumah harus membuat yi

(cenil), yang terbuat dari tepung tapioka, dimasak dan dicampur dengan air gula

dan jahe secukupnya. Yi sendiri melambangkan bahwa umur seseorang telah

menjadi beberapa negara bagian yang kuat dan terpecah pada abad ke-14. Semua negara bagian
kemudian bersatu kembali ke Mongolia awal dan berada di bawah pemerintahan Tiongkok. Pada
1921, atas bantuan Uni Soviet (telah bubar), Mongolia merdeka dari Tiongkok. Sebuah
pemerintahan komunis dibentuk pada 1924. Pada era 1990-an, Partai Revolusioner Rakyat
Mongolia (MPRP) mengalahkan Koalisi Uni Demokratik (DUC). Ini merupakan kumpulan dari
berbagai partai beraliran demokratis. Koalisi DUC mengalahkan MPRP pada pemilu tahun 1996.
Pada Pemilu tahun 2000, parlemen Mongolia dikuasai oleh MPRP. Pada pemilu 2004, DUC dan
MPRP membentuk koalisi pemerintahan. Pada 11 Januari 2005, sepuluh menteri di pemerintahan
koliasi mengundurkan diri dan dalam kondisi krisis. Ada 18 menteri di dalam pemerintahan koalisi
antara MPRP (yang sebelumnya bernama Partai Komunis) dan Partai Demokratik yang merupakan
payung politik mantan Perdana Menteri Tsakhia Elbegdorj. Partai Demokratik hanya mempunyai
25 anggota di parlemen (disunting dari wikipedia.org).

Universitas Sumatera Utara


bertambah satu tahun walaupun tanggal satu atau Hari Raya Imlek belum tiba.

Perayaan Tang Cek ini, adalah sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas

bertambahnya usia.

4.4 Penghormatan Leluhur

Kamus New Expanded Webster mengartikan pemujaan sebagai memuja

(memandang dengan kagum dan hormat) atau menganggap sesuatu itu keramat.

Bagi orang Tionghoa, hal ini sehubungan dengan kepercayaan animistis mereka

akan arwah dan keragaman dewa. Sampai pada batasan di mana tidak terdapat

pembedaan yang jelas saat harus membedakan antara Shen (para Dewa, mereka

yang hidup abadi, dan hantu), dan kui (hantu-hantu kelaparan dan arwah-arwah

leluhur yang tidak terurus).

Praktik penghormatan leluhur tersebar dengan cepat akibat ajaran

Konghucu mengenai darma bakti. Dewasa ini, teori dasar ini, dalam banyak hal,

telah digantkan oleh kepercayaan Buddha dan Tao dalam hal reinkarnasi dan Dao

(upacara pemakaman, dan pemberian persembahan untuk mengumpulkan darma,

dan lain-lain). Konghucu menyatakan bahwa untuk membangun keluarga, li (tata

krama dan ketaatan pelaksanaan upacara dengan cara dan waktu yang tepat) harus

dijalankan. Hal ini termasuk tata krama yang sejalan dengan kehendak leluhur

kita, yang mengatur kehidupan rumah tangga keturunannya. Kelima bagian dari

hubungan sosial yang diajarkan Konghucu adalah: penguasa kepada materi; ayah

kepada putra; suami kepada istri; kakak lelaki kepada adik lelaki; dan teman

kepada teman.

Universitas Sumatera Utara


4.4.1 Perayaan untuk Leluhur

Perayaan-perayaan berikut ini, yakni Qing Ming Jie, Zhong Yuan Jie dan

Chong Yang Jie, secara khusus dilakukan untuk mengenang mereka yang telah

meninggal dan sebagai pemujaan kepada nenek moyang. Aktivitas upacara ini

adalah menjaga hubungan antara Alam Dunia (manusia) dengan Alam Baka.

Qing Ming Jie biasa dilakukan pada musim semi, ketika tumbuh-

tumbuham berbunga kembali setelah musim dingin berlalu, di bulan April, dan

berhubungan dengan berakhirnya bulan kedua atau permulaan bulan ketiga pada

kalender lunar China. Qing Ming Jie adalah waktu di mana etnis Tionghoa

mengenang mereka yang telah meninggal dan mengadakan kunjungan khusus ke

kuburan, atau tempat penyimpanan abu jenazah (untuk mereka yang dikremasi)

dan kuil-kuil (di mana saat ini banyak yang menyimpan abu/batu nisan dari

keluarga yang telah meninggal).

Perayaan ini juga merupakan waktu untuk seluruh keluarga mengunjungi

dan membersihkan tempat di mana jasad dari nenek moyang mereka

dikebumikan. Untuk mereka yang melakukannya, perayaan ini menjadi sangat

berarti untuk generasi berikutnya dengan membuat ikhtisar kehidupan dan

kontribusi dari nenek moyang. Persembahan makanan, dupa, puak poi dan uang

kertas adalah hal yang biasa di dalam kunjungan ini.

Zhong Yuan Jie ini biasanya dirayakan sekitar bulan Agustus, sepanjang

bulan ketujuh, dan dikenal sebagai Perayaan Hantu yang Lapar. Perayaan ini

menunjukkan kepedulian di dalam kepercayaan agama China terhadap keberadaan

yang menyedihkan dari jiwa-jiwa yang tidak diperhatikan oleh orang yang masih

hidup. Secara khusus, perayaan ini didedikasikan untuk kui (hantu yang lapar)

Universitas Sumatera Utara


yang dilepaskan dari kediaman mereka di neraka untuk menjelajahi bumi sselama

bulan ini.

Di dalam ajaran Dao, pintu-pintu neraka dibuka di hari prtama bulan

ketujuh, untuk memperbolehkan kui (roh-roh yang tidak diperhatikan atau roh-roh

yang sedang dalam masa hukuman dan dikunci di neraka) menjelajahi bumi,

mencari makan sebelum dikunci lagi untuk tahun berikutnya. Kepercayaannya

adalah ketika pintu dibuka, kui ini akan keluar untuk mencari makanan dan jika

tidak seorangpun menyediakan persembahan, mereka akan masuk kerumah-rumah

dan mengambilnya sendiri. Takut akan kunjungan ini, orang biasanya cepat-cepat

menyediakan persembahan untuk menenangkan dan menangkal hantu-hantu yang

lapar.

Chong Yang Jie, yang juga dikenal sebagai Perayaan Ganda Bulan

Kesembilan, biasanya dirayakan disekitar bulan Oktober, dari hari pertama sampai

hari kesembilan di bulan kesembilan. Chong Yang Jie awalnya dilakukan untuk

merayakan musim gugur, sebelum musim dingin tiba, di mana orang-orang untuk

terakhir kalinya mengunjungi kuburan orang yang dikasihi yang telah meninggal.

Mereka akan membuat persembahan makanan dan pakaian musim dingin untuk

mereka yang telah meninggal untuk melindungi mereka dari kelaparan dan

kedinginan selama musim dingin yang panjang.

Aspek lain dari perayaan ini berhubungan dengan pemujaan kumpulan

sembilan binatang yang dianggap sebagai dewa-dewa Jiu Huan Da Di (Sembilan

Dewa Kaisar). Para pemuja Jiu Huan Da Di akan pergi ke tepi laut pada hari

pertama bulan kesembilan untuk menyambut dewa-dewa ini dengan sembilan

kursi tandu berwarna kuning. Warna kuning melambangkan ratapan atas kaisar

Chong Zhen, kaisar terakhir dari Dinasti Ming yang digulingkan oleh orang-orang

Universitas Sumatera Utara


Manchuria di tahun 1644. Setelah perjamuan Jiu Huang Da Di selama seminggu,

para pemuja akan mengantarkan mereka kembali ke pantai, pada hari yang

kesembilan. Perayaan ini juga dikenal sebagai perayaan vegetarian 5 karena

mereka yang merayakannya hanya memakan sayur-sayuran selama masa

perayaan, setelah berpuasa selama sebulan sebelum perayaan dimulai. Tidak ada

pengikut yang boleh yang membunuh mahluk hidup apapun selama perayaan;

para pemuja di Thailand juga menindik tubuh mereka, seringkali dengan

menggunakan barang sehari-hari seperti lampu meja, sebagai tindakan pemurnian.

4.4.2 Altar Keluarga

Rumah-rumah di mana terdapat praktek penyembahan leluhur, salah satu

ruangan atau sudut dari rumah tersebut akan disediakan untuk altar keluarga. Di

atas altar ini diletakkan papan-papan nama leluhur (biasanya yang mempunyai

pertalian keluarga langsung seperti orang tua dan kakek-nenek; papan nama para

leluhur terdahulu biasanya disimpan di klenteng). Tempat dupa, dua batang lilin

dan puak poi. Beberapa makanan dan buah-buahan juga dapat ditinggalkan di atas

altar.

Namun demikian, foto orang-orang yang telah meninggal tidak akan

ditemukan di atas altar. Persembahan dupa harian diletakkan di atas altar ini

disertai dengan persembahan dan doa-doa khusus setiap tanggal 1 dan 15, dan hari

peringatan meninggalnya almarhum.

5
Vegetarian adalah istilah yang lazim digunakan untuk menyebutkan orang-orang di dunia
ini yang tidak memakan daging, karena alasan-alasan kemanusiaan atau makhluk secara universal
dan juga kesehatan. Mereka tidak memakan daging-daging semua hewan, bahkan ada juga yang
tidka makan telur sebagai asal untuk tumbuh menjadi berbagai unggas. Mereka para vegetarian ini
ada yang berasal dari agama Buddha, Konfusius, Hindu, bahkan Kristen (terutama aliran Advent).

Universitas Sumatera Utara


Gamabar 4.2 :

Altar Keluarga

Sumber: Sanni Tung ( 2015 )

4.4.3 Puak Poi

Puak poi adalah salah satu benda yang sering dijadikan simbol di dalam

upacara paisin orang-orang Tionghoa. Puak poi tersebut juga merupakan salah

satu sarana komunikasi di dalam paisin karena sebagian besar budaya China

berdasarkan tanggapan bahwa wujudnya sebuah dunia roh. Puak poi juga menjadi

sarana bertanya kepada Dewa buat mengobati orang yang sedang sakit, dengan

obat apa orang tersebut disembuhkan. Puak poi ini juga adalah ekspresi budaya

rakyat, yang dapat dijadikan sarana bertanya untuk berbagai hal, yang tidak dapat

dijawab oleh manusia pada umumnya. Di dalam semua yang berkaitan dengan

puak poi, terkandung unsur mitos, agama, dan fenomena sosial dan budaya yang

aneh memang rapat sekali.

Puak poi juga memiliki arti sebagai berikut: puak adalah meminta

petunjuk dengan melemparkan; sedangkan poi memiliki arti jadi atau terjadilah.

Universitas Sumatera Utara


Menurut penjelasan Susanto Wijaya (informan penulis) puak poi dalam budaya

China telah ada sejak ribuan tahun lalu yang digunakan sebagai petunjuk

mengenai apapun kehidupan mereka. Puak poi merupakan salah satu benda dan

sarana yang digunakan untuk menanyakan hal yang ingin ditanyakan pada dewa

atau leluhur yang telah diwariskan oleh nenek moyang yang dilestarikan sampai

saat ini. Menurut pengamatan dan pengalaman penulis puak poi ini dijumpai pada

sebahagian besar upacara paisin masyarakat Tionghoa.

Puak poi terbuat dari dua potong batang bambu, masing-masing berbentuk

setengah lingkaran. Pada masa sekarang boleh dibuat dari bahan kayu (apa saja

jenisnya). Zaman dahulu puak poi berwarna seperti warna asli pada bambu

sedangkan pada saat sekarang ini puak poi telah terbuat dari kayu yang

keseluruhan permukaan luarnya diberi warna merah. Dalam kebudayaan

Tionghoa, warna merah merupakan simbol keagungan atau kehokian.

Demikian gambaran umum kebudayaan, sistem religi, berbagai upacara

dan hari raya masyarakat Tionghoa, termasuk di Pematangsiantar, serta

penggunaan puak poi dalam setiap upacara paisin di dalam kehidupan mereka.

Semua ini menjadi satu kesatuan dalam konteks memenuhi fungsi untuk menjaga

konsistensi internal kebudayaan Tionghoa. Selanjutnya dideskripsikan keberadaan

masyarakat Tionghoa di Kota Pematangsiantar, yang beridentitaskan kebudayaan

multietnik dan multikultural. 6

6
Multikulturalisme adalah sebuah terminologi dalam ilmu-ilmu sosiobudaya yang acapkali
digunakan sejak dasawarsa 1970-an. Istilah ini lazim digunakan untuk menjelaskan pandangan
seseorang tentang keanekaragaman hidup manusia di dunia ini, atau kebijakan kebudayaan yang
menekankan perhatian kepada penerimaan terhadap realitas keanekaragaman budaya
(multikultural) yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Keanekaragaman ini menyangkut:
nilainilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. Multikulturalisme pada
dasarnya adalah gagasan yang diaplikasikan ke dalam berbagai kebijakan budaya, berdasar kepada
penerimaan terhadap realitas aneka agama, pluralitas, dan multikultural dalam kehidupan
masyarakat di dunia ini. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang
kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik (Azyumardi Azra, 2007).

Universitas Sumatera Utara


4.5 Gambaran Umum Kota Pematangsiantar dan Masyarakatnya

Secara geografis kota Pemtang Siantar terletak diantara 3°01’09”-2

54’00” Lintang Utara dan 99°06’-99 01’ Bujur Timur. Kota ini terletak pada

ketinggian 400 meter diatas permukaan laut. Seluruh kota Pematangsiantar

memiliki luas wilayah 79,07 kilometerpersegi. Kota Pematangsiantar mempunyai

iklim tropis dengan suhu minimum antara 23,2-24,1 Celcius dan suhu maksimum

berkisar antara 30,6-34,1 Celcius. Selain itu, karena letaknya hanya 400 di atas

permukaan laut maka suhu di daerah ini umumnya tidak terlalu dingin (BPS

Pematangsiantar, 2015)

Jumlah penduduk di Kota Pematangsiantar tahun 2015 sebanyak 249.985

jiwa, dengan rumah tangga sebanyak 55.656 rumah tangga. Dengan luas wilayah

sekitar 79,97 kilometer persegi, maka tingkat penduduk Kota Pematangsiantar

kira-kira 3.100 jiwa perkilometer persegi. Sebagian besar penduduk hidup sebagai

18 pegawai, karyawan, pedagang dan wiraswasta, dan hanya sebagian kecil yang

hidup sebagai petani.

Pematangsiantar adalah kota yang majemuk, baik dalam hal suku maupun

agama. Meskipun kota ini dikelilingi Kabupaten Simalungun, namun data statistik

menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Kota Pematangsiantar adalah suku

Batak Toba (Tapanuli) sebanyak 47,4 persen, disusul oleh suku Jawa diurutan

kedua sebanyak 25,5 persen, kemudian Simalungun 6,6 persen diurutan ketiga.

Selebihnya adalah Mandailing dan Angkola 5,6 persen, Tionghoa 3,7 persen,

Minangkabau 2,4 persen, dan Karo 1,7 persen. Sisanya adalah Melayu , Pakpak,

Aceh dan sebagainya. Agama yang dianut pun beraneka ragam. Mayoritas adalah

Kristen Protestan sebanyak 44,4 persen, disusul oleh Islam 43,6 persen, Katolik 5

persen, Buddha 3,2 persen, sisanya adalah Hindu, Konghucu, dan lain-lain (BPS

Universitas Sumatera Utara


Pematangsiantar, 2015). Data ini dapat dijabarkan dalam bentuk tabel dan bagan

sebagai berikut.

Tabel 4.3

Distribusi Penduduk Kota Pematangsiantar Berdasar Kelompok Etnik

No Etnik Jumlah Persentase


1. Batak Toba 118.493 47,4 %
2. Jawa 63.747 25,5 %

3. Simalungun 16.499 6,6 %

4. Mandailing-Angkola 13.999 5,6 %

5. Tionghoa 9.250 3,7 %

6. Minangkabau 5.999 2,4 %

7. Karo 4.250 1,7 %

8. Melayu, Pakpak, Aceh, 17.748 7,1 %


dan Lainnya
Total 249.985 jiwa 100%
Sumber: BPS Kota Pematangsiantar, 2015

Berdasarkan kajian wilayah budaya, maka Kota Pematangsiantar pada

awalnya, sebelum menjadi kota multikultural, adalah kawasan yang menjadi

bagian dari kebudayaan etnik Simalungun. Secara umum, etnik Simalungun ini

memiliki budaya Simalungun. Kebudayaan Simalungun berdasarkan kepada

pendukung utamanya yaitu etnik Simalungun yang memiliki konsep-konsep hidup

mereka yang khas.

Menurut J. Damanik dalam bukunya yang bertajuk Jalannya Hukum Adat

Simalungun bahwa istilah simalungun berasal dari pokok kata lungun yang artinya

sunyi atau sepi. Ditambah awalan kata ma menjadi malungun yang berarti suatu

keadaan yang sunyi. Kemudian ditambah lagi awalan kata si yaitu sebuah sebutan

Universitas Sumatera Utara


untuk menamakan suatu tempat. Jadi simalungun berarti suatu nama bagi areal

tanah yang disebut sunyi dan belum dikenal orang.

Pada masa-masa awal terbentuknya kebudayaan masyarakat Simalungun,

masih relatif jarang penghuninya. Kini telah berubah seiring dengan

perkembangan zaman, dengan dibukanya perkebunan-perkebunan sawit, coklat

dan getah. Masyarakat Jawa datang ke daerah ini sejak abad ke-19, yang

umumnya sebagai buruh di perkebunan-perkebunan Belanda. Setelah habis masa

kerja di perkebunan, mereka membuka perkampungan sendiri. Kini menjadi

Daerah Kabupaten Simalungun, yang umumnya dihuni oleh etnik Simalungun dan

Jawa.

Sebelumnya, kira-kira tahun 500–1290 Masehi di daerah Simalungun telah

berdiri sebuah kerajaan, yang disebut Kerajaan Nagur dipimpin seorang raja yang

bernama Damanik (Jahutar Damanik 1974:33). Rakyatnya disebut suku Timur

Raya, karena daerah Simalungun ini terletak di Timur Danau Toba (M.D. Purba,

1977:21). Setelah masa pemerintahan Kerajaan Nagur berakhir, maka digantikan

oleh Kerajaan Silou (1290-1350).

Sebelum tahun 1500, wilayah Simalungun terlepas dari Kerajaan Silou,

sehingga masing-masing wilayah memegang kekuasaan masing-masing. Tahun

1500-1906 di Simalungun berdiri empat kerajaan yang disebut Raja Maroppat.

Kerajaan ini terdiri dari: (1) Kerajaan Dolok Silou dan (2) Kerajaan Panei masing-

masing dengan rajanya bermarga Purba; (3) Kerajaan Siantar yang rajanya

bermarga Damanik; dan (4) Kerajaan Tanah Jawa yang rajanya bermarga Sinaga.

Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, Simalungun

menjadi Daerah Tingkat II Simalungun dan Kotamadya Pematang Siantar,

Universitas Sumatera Utara


kemudian sesuai dengan semangat reformasi sejak 2000 yang lalu berubah

menjadi Kabupaten Simalungun dan Kota Pematangsiantar.

Pada awalnya, etnik Simalungun menganut suatu religi yang disebut

dengan Sipajuh Begu-begu atau Parbegu. Sipajuh Begu-begu adalah orang yang

menyembah dan memuja roh-roh nenek moyangnya. Secara etimologis, sipajuh

artinya menyembah atau menghormati—par artinya memiliki atau orang yang

mengerjakan sesuatu. Selanjutnya begu dapat diartikan sebagai roh orang yang

telah meinggal dunia. Selain itu boleh pula berarti harimau. Sipajuh Begu-begu

berarti menyembah begu-begu. Parbegu berarti seseorang yang memiliki begu

atau seseorang yang mengerjakan penyembahan kepada begu. Kini istilah ini

selalu juga dikaitkan dengan begu ganjang, yang dapat diertikan sebagi roh-roh

yang dapat disuruh untuk mencelakai orang lain, yang digambarkan sebagai roh

yang panjang dan besar. Pada masa kini hanya sebahagian kecil saja dari etnik

Simalungun yang masih menganut religi ini. Sebagian besar telah menganut

agama Kristen (terutama Protestan) dan Islam. Sebelum masuknya agama Kristen

dan Islam, orang-orang Simalungun dapat dikelompokkan ke dalam orang-orang

yang religinya bersifat animisme. Orang-orang Simalungun yang beragama

Kristen Protestan terintegrasi ke dalam persekutuan iman gereja yang disebut

Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS).

Religi “asli” orang-orang Simalungun, mengajarkan penganutnya untuk

mempercayai kekuatan di jagad raya ini berupa roh-roh yang dapat mengatur

keberadaan hidup manusia. Untuk mendapatkan tingkat hidup yang baik, maka

mereka harus mengadakan hubungan baik dengan roh-roh ini. Salah stunya

mengadakan upacara-upacara. Roh-roh ini menurut mereka terdiri dari berbagai

jenis, yaitu: tondui, begu, simagot, dan sahala. Tondui adalah roh seseorang, yang

Universitas Sumatera Utara


juga menjadi bagi diri orang yang memilikinya. Begu adalah roh seseorang yang

telah meninggal dunia dan mengembara di alam semesta ini dan mau mengganggu

kehidupan manusia. Manakala simagot adalah roh manusia yang telah meninggal

dunia, kemudian hidup di alam semesta, dan dapat membantu berbagai

kepentingan keturunannya jika dipuja dan dihormati secara baik. Sahala adalah

roh atau semangat yang dimiliki manusia selama masih hidup.

Sistem kekerabatan etnik Simalungun berdasarkan kepada sistem

keturunan patrilineal. Kelompok kekerabatan terkecil disebut satangga, yang

terdiri dari suami, istri, dan anak-anaknya. Anggota kerabat satu ayah disebut

sabapa, satu kakek disebut saompung. Dalam masyarakat Simalungun dikenal

istilah tolu sahundulan lima saodoran (“kedudukan yang tiga barisan yang lima”),

terdiri dari: tondong (pihak pemberi isteri), sanina (pihak satu marga) dan anak

boru (pihak pengambil isteri). Ditambah dua kelompok lagi yaitu tondong ni

tondong (tondong dari pihak pemberi isteri) dan boru ni boru (boru dari

pengambil isteri). Pada setiap upacara adat dan pelaksanaan horja (pesta), semua

unsur kekerabatan tersebut selalu berperan. Mereka akan tampil dengan

mewujudkan sifat tolong-menolongnya. Pihak yang menyumbang uang atau beras

adalah tondong, sedangkan yang menyumbangkan tenaga adalah pihak boru.

Selanjutnya pada masa sekarang ini, etnik mayoritas di Kota

Pematangsiantar adalah etnik Batak Toba. Mereka datang ke Pematangsiantar

didukung oleh konsep budayanya yang memperluas wilayah asal mereka ke

wilayah harajaon (merantau membuka kampung yang baru), termasuk ke wilayah

Simalungun, terutama Pematangsiantar.

Secara umum masyarakat batak Toba, baik secara peribadi maupun

berkelompok mengakui adanya kuasa di luar kuasa manusia. Dalam menghormati

Universitas Sumatera Utara


kuasa tersebut mereka mempunyai cara penyembahan yang berbeda sesuai dengan

kesanggupan memahami makna kuasa tersebut.

Religi selain agama Kristen dan Islam, dan masih ada pengikutnya sampai

kini, yang dianut oleh sebahagian masyarakat Batak Toba adalah Parmalim,

Parbaringin, dan Parhudamdam. Religi-religi ini sering pula disebut agama Si

Raja Batak, karena religi ini diyakini oleh sebagian besar orang Batak Toba,

dianut oleh Raja Si Singamangaraja XII. Menurut Sangti, didirikannya religi-

religi tersebut adalah sengaja diperintahkan oleh Si Singamangaraja XII, sebagai

gerakan keagamaan dan politik, yaitu Parmalim; dan sebagai gerakan ekstrimis

berani mati, yaitu Parhudamdam (Sangti, 1977:79). Setelah perang Lumban Gorat

Balige pada tahun 1883, seorang keperayaan Raja Si Singamangaraja XII yang

bernama Guru Somalaing Pardede, ditugaskan memperkuat pertahanan di wilayah

Habinsaran, terutama untuk membendung pengaruh agama Kristen dan

membentuk sebuah agama baru yang disebut Parmalim (Sangti, 1977:79).

Penyebaran agama Kristen, awalnya dimulai oleh Pendeta Burton dan

Ward dari Gereja Baptis Inggris tahun 1824. Kedua pendeta ini mencoba

memperkenalkan Injil di kawasan Silindung (sekitar Tarutung sekarang).

Kehadiran mereka tidak diterima oleh masyarakat Batak Toba. Kemudian tahun

1834 Kongsi Zending Boston Amerika Serikat, mengirimkan dua orang pendeta,

yaitu Munson dan Lymann. Kedua misionaris ini dibunuh oleh penduduk di

bawah pimpinan Raja Panggalamei, di Lobupining, sekitar Tarutung, pada bulan

Juli 1834. Tahun 1849, Kongsi Bibel Nederland mengirim ahli bahasa Dr. H.N.

van der Tuuk untuk meneliti budaya Batak. Ia menyusun Kamus Batak-Belanda,

dan menyalin sebahagian isi Alkitab ke bahasa Batak.

Universitas Sumatera Utara


Tujuan utama Kongsi Bibel Nederland ini adalah merintis penginjilan ke

Tanah Batak melalui budaya. Tahun 1859, Jemaat Ermelo Belanda dipimpin oleh

Ds. Witeveen mengirim pendeta muda G. Van Asselt ke Tapanuli Selatan. Ia

tinggal di Sipirok sambil bekerja di perkebunan Belanda. Kemudian disusul oleh

para pendeta dari Rheinische Mission Gesellschaft (RMG), pada masa sekarang

menjadi Verenigte Evangelische Mission (VEM), dipimpin Dr. Fabri. Penginjilan

sampai saat ini berjalan lambat. Kemudian tahun 1862 datanglah pendeta RMG,

yang kemudian diterima oleh masyarakat Batak Toba, yaitu Dr. Ingwer Ludwig

Nommensen. Di bawah pimpinannya misi penginjilan terjadi dengan pesat.

Sampai dekade-dekade awal abad kedua puluh, sebagian besar etnik Batak Toba

telah menganut agama Kristen Protestan. Berdasarkan rapat pendeta pada 3

Februari 1903, penginjilan diperluas ke daerah Simalungun dan Karo, dan

ternyata berhasil dengan baik (Tambunan, 1996:58-60).

Bila diperhatikan lebih jauh, khusus tentang terjadinya marga dalam

masyarakat Batak Toba merupakan hal yang rumit, karena erat sekali

hubungannya dengan mite 7 dan sejarah penyebaran masyarakat Batak Toba.

Pada umumnya setiap individu dalam masyarakat Batak Toba mempercayai

dirinya sebagai keturunan Si Raja Batak, yang kalau diurutkan juga sebagai

7
Mite adalah bagian dari folklor (cerita rakyat). Dari semua bentuk atau genre folklor,
yang paling banyak diteliti para ahli folklor adalah cerita prosa rakyat. Mengikut William R.
Bascom, cerita prosa rakyat dapat dapat dibagi ke dalam tiga golongan besar, yaitu: (1) mite
(myth), (2) legenda (legend) dan (3) dongeng (folktale). Mite adalah cerita prosa rakyat yang
dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh pemilik cerita. Mite ditokohi para dewa atau
makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti kita
kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-
ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap
suci—namun legenda ditokohi oleh manusia, meski kadangkala memiliki sifat-sifat luar biasa, dan
sering juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat terjadinya adalah di duania seperti yang kita
kenal sekarang, waktu terjadinya belum begitu lama. Dongeng adalah prosa rakyat yang tidak
dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita, tidak terikat oleh waktu dan ruang. Lihat
William R. Bascom (1965). Parafrase pengertian tiga bentuk cerita rakyat ini lihat Djames
Danandjaja (1984:50-51).

Universitas Sumatera Utara


keturunan dari Debata Mula Jadi na Bolon, yaitu dewa yang mempunyai

kekuasaan paling tinggi dalam sisetm religi Batak Toba.

Memperhatikan peranan marga pada masyarakat Batak Toba merupakan

satu hal yang sangat penting. Sedemikian pentingnya, sehingga dalam kehidupan

sehari-hari terutama pada saat perkenalan terlebih dahulu menyebutkan marga.

Sejauh ini tidak ada orang Batak Toba tanpa marga. Melalui marga orang-orang

Batak Toba boleh mengadakan partuturan (mencari hubungan kekerabatan) yang

merupakan salah satu aspek mendasar dalam dalihan na tolu, yang selalu

diterjemahkan sebagai tungku nan tiga, yaitu sebuah ungkapan yang menyatakan

kesatuan hubungan kekerabatan pada masyarakat Batak Toba. Dalihan na tolu

berarti tungku yang terdiri dari tiga buah batu, yang digunakan untuk memasak.

Konsep tersebut diterapkan pada sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba

yang terdiri dari tiga unsur, yaitu: (1) dongan sabutuha (teman semarga); (2) hula-

hula (keluarga dari pihak istri); (3) boru (keluarga dari pihak menantu laki-laki).

Pedoman bersikap antara ketiga kelompok kekerabatan itu tergambar dalam

konsep: (1) molo naeng ho sangap, manat mardongan tubu, artinya jika kamu

ingin menjadi orang terhormat, hati-hatilah dan cermat dalam bergaul dengan

dongan sabutuha (teman semarga); (2) molo naeng ho gabe, somba ma ho

marhula-hula, artinya jika ingin keturunan banyak hormatilah hula-hula dan (3)

molo naeng namora, elek ma ho marboru, artinya kalau ingin kaya, baik-baiklah

kepada boru. Demikian secara umum keberadaan etnik Batak Toba, termasuk

mereka yang kini mayoritas di Pematangsiantar.

Berikutnya etnik Jawa adalah etnik mayoritas yang ada di Sumatera Utara.

Sejak berabad lalu mereka melakukan migrasi ke kawasan ini. Perpindahan orang-

Universitas Sumatera Utara


orang Jawa secara masif adalah ketika dibukanya tembakau Deli di Sumatera

Utara pada abad kesembilan belas.

Daerah kebudayaan Jawa dapat dikatakan sangat luas, yang meliputi

bagian tengah dan timur Pulau Jawa. Walaupun demikian ada daerah-daerah yang

secara kolektif sering disebut daerah Kejawen. Sebelum ada perubahan status

wilayah seperti sekarang ini daerah itu meliputi Banyumas Kedu, Yogyakarta,

Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri. Daerah di tuar tersebut dinamakan daerah

pesisir dan ujung timur.

Kebudayaan Jawa semula berpusat di Surakarta, tetapi dengan terjadinya

perjanjian Giyanti 1755 pusat kebudayaan Jawa juga terdapat di Yogyakarta. Di

berbagai daerah tempat kediaman orang Jawa terdapat variasi dan perbedaan-

perbedaan yang bersifat lokal dalam beberapa unsur kebudayaan, seperti

perbedaan mengenai berbagai istilah teknis, dialek, bahasa, dan lain sebagainya.

Namun kalau diteliti lebih jauh hal-hal itu masih merupakan suatu pola atau satu

sistem dalam satu kebudayaan Jawa.

Agama yang dianut mayoritas orang Jawa adalah agama Islam, kemudian

agama Kristen Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha. Orang santri adalah mereka

yang secara patuh dan teratur menjalankan ajaran-ajaran Islam. Sedangkan orang

Islam Kejawen biasanya tidak menjalankan shalat, puasa, dan tidak bercita-cita

naik haji, tetapi mereka mengakui ajarn-ajaran agama Islam pada umumnya.

Orang Jawa mempunyai kepercayaan adanya suatu kekuatan yang melebihi segala

kekuatan di mana saja yang pernah mereka kenal, yakni kesakten, kemudian

arwah atau roh le1uhur dan mahluk-mahluk halus seperti memedi, lelembut, tuyul,

demit, jin, dan lain sebagainya. Mahluk-mahluk tersebut bertempat tinggal di

sekitar kediaman mereka. Menurut kepercayaan masing-masing mahluk-mahluk

Universitas Sumatera Utara


tersebut dapat mendatangkan kebahagiaan, ketentraman, dan keselamatan—t etapi

juga dapat menimbulkan gangguan pemikiran, kesehatan bahkan dapat

menyebabkan kematian. Bila seseorang ingin hidup tanpa menderita ganguan, ia

harus berbuat sesuatu untuk mernpengaruhi alarn sernesta dengan berprihatin,

berpuasa, berpantang melakukan perbuatan serta makan-makanan tertentu,

berselarnatan, dan bersaji. Kedua cara terakhir ini kerap kali dijalankan oleh

masyarakat Jawa di desa-desa pada waktu tertentu dalam peristiwa kehidupan

sehari-hari.

Orang Jawa meskipun pada umumnya diketahui sebagai penghuni

daerah agraris, merek sejak zaman dahulu melakukan perpindahan dalam

berbagai bentuk seperti perdagangan, pendudukan kerajaan-kerajaan Jawa,

migrasi secara spontan, dan sebagainya. Sebagai pedagang, umpamanya, mereka

terkenal bergerak antar pulau-pulau di Nusantara, terutama membawa beras dan

tekstil (Sartono Kartodirdjo 1988:10). Kerajaan-kerajaan yang muncul di pulau

Sumatera di antaranya banyak yang silsilah raja-raja atau golongan bangsawannya

merupakan keturunan orang-orang Jawa atau yang menjalin hubungan perkawinan

dengan pihak Kerajaan Jawa. Begitu juga Kerajaan Malaka. Kampung Jawa di

sana-sisni dibangun sejak zaman dahulu, seperti di Daerah Deli terdapat

pemukiman orang Jawa kira-kira 500 orang yang disebut Kota Jawa (Luckman

Sinar, 1985:6), dan daerah Asahan sekitar Pasir Putih dikatakan sebagai

pemukiman orang Jawa beberapa abad sebelum kunjungan John Anderson

(Anderson, 1971:136).

Selanjutnya penduduk Pematangsiantar adalah suku bangsa Mandailing-

Angkola yang digolongkan ke dalam kelompok Proto Melayu (Melayu Tua)

yang mempunyai persamaan ciri fisik dengan etnik: Toba, Simalungun,

Universitas Sumatera Utara


Pakpak-Dairi-Dairi, dan Karo. Kelompok Proto Melayu ini berasal dari

Tiongkok Selatan dan pindah ke wilayah Indonesia, yang diperkirakan

berlangsung pada abad kedelapan atau kedau belas sebelum Masehi. Dengan

melihat ciri-ciri khas bentuk fisik dan temperamennya, maka nenek moyang

etnik Mandailing-Angkola termasuk rumpun Proto Melayu (H.M.D. Harahap

1986:12). Sampai pada penjajahan Belanda, penduduk wilayah Mandailing-

Angkola umumnya dihuni etnik Mandailing-Angkola saja. Namun setelah

kemerdekaan, banyak orang Toba yang merantau dan menetap di daerah ini,

yang sampai sekarang bertambah terus jumlahnya. Selain orang Toba, terdapat

juga orang Minangkabau yang datang dari Sumatera Barat dan umumnya

bekerja sebagai pedagang.

Etnik Mandailing-Angkola menganut garis keturunan patrialineal,

mempunyai sistem kemasyarakatan yang disebut dalian na tolu ("tiga

tumpuan"). Sistem kekerabatan ini terdiri dari tiga unsur fungsional yang

masing-masing unsur tersebut mempunyai rasa ketergantungan antara satu

dengan lainnya yang berupa ikatan darah (genealogis) dan ikatan perkawinan.

Ketiga kelompok tersebut adalah: (1) mora, (2) kahanggi, dan (3) anak boru.

Mora adalah kelompok kerabat yang memberi anak perempuan atau pihak

pemberi isteri. Kahanggi yaitu kelompok keluarga yang mempunyai satu garis

keturunan yang sama atau disebut juga keluarga semarga. Anak boru yang

merupakan pihak penerima anak perempuan atau kerabat suami (H.M.D.

Harahap, 1986:12).

Selain itu ada sistem sosial berdasarkan garis keturunan yang disebut

marga. Setiap anggota masyarakat yang mempunyai marga, biasanya

menempatkan nama marga di belakang namanya. Orang-orang Mandailing dan

Universitas Sumatera Utara


Angkola yang semarga disebut markahanggi. Di dalam masyarakat Mandailing

dan Angkola, terdapat sejumlah marga, yang di antaranya adalah: Lubis,

Nasution, Rangkuti, Batubara, Daulae, Pulungan, Parinduri, Matondang,

Siregar, Hasibuan, dan lainnya. Di antara marga-marga ini sampai sekarang

marga Lubis dan Nasution merupakan marga yang paling banyak jumlah

warganya di Mandailing. Sedangkan di wilayah Angkola Siregar adalah marga

terbesarnya.

Demikian pula etnik-etnik lainnya hidup dan berkembang di wilayah Kota

Pematangsiantar ini. Mereka di antaranya adalah orang Melayu, Pakpak, Nias,

Aceh, Minangkabau, Sunda, Banjar, dan lain-lainnya. Tampaknya dalam

perkembangan berikutnya, Kota Pematangsiantar adalah salah satu kota dengan

berbagai kebudayaan, yaitu kota multikultural, seperti juga halnya Kota Jakarta,

Surabaya, Medan, dan lain-lainnya. Dalam hal ini masyarakat Tionghoa

berusaha menempatkan dirinya beradaptasi dalam kondisi budaya yang

sedemikian rupa. Strategi yang mereka lakukan, menurut pengamatan penulis

adalah salah satu sisi mempertahankan kebudayaan orang Tionghoa, namun

sekaligus juga mereka melakukan adaptasi (penyesuaian) dengan masyarakat di

Pematangsiantar ini. Termasuk dalam kegaiatan paisin yang menggunakan artefak

puak poi.

Universitas Sumatera Utara


Bagan 4.1

Persentase Penduduk Kota Pematangsiantar Berdasar Kelompok Etnik

Dari Tabel 4.3 dan bagan 4.1 seperti terlihat di atas, maka masyarakat

Tionghoa di Pematangsiantar berada di dalam lingkungan kebudayaan yang

multikultural. Masyarakat Tionghoa sendiri berjumlah 3,75 persen dari total

249.985 jiwa penduduk Pematangsiantar. Sehingga masyarakat Tionghoa ini

termasuk ke dalam kelompok minoritas. Apalagi jika dipilah ke dalam etnisitas,

pastilah lebih kecil lagi. Dengan komposisi yang demikian, maka orang-orang

Tionghoa di Pematangsiantar ini harus bijaksana menempatkan dirinya sebagai

bagian dari komunitas masyarakat multietnik di Kota Pematangsiantar.

Namun demikian, dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI) orang-orang Tionghoa di Pematangsiantar ini dijamin hak-hak etniknya

Universitas Sumatera Utara


dan hak-hak religinya. Mereka berhak menggunakan bahasa etniknya, adat

istiadat, juga menjalankan ibadah agama, dengan prinsip bertoleransi dalam

bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Polarisasi agama dan etnik adalah sebahagian besar penganut Protestan

dan Katolik adalah etnik Batak Toba dan Simalungun. Sementara itu, agama Islam

mayoritas dianut oleh suku Jawa, Mandailing, Melayu, Aceh, dan lainnya. Orang-

orang Tionghoa di Kota Pematangsiantar umumnya mayoritas beragama Budha

dan Konghucu, dan juga Protestan dan Katolik. Orang Tionghoa yang beragama

Protestan umumnya berada dalam organisasi Gereja Methodis. Orang Tionghoa

yang beragama Islam biasanya masuk ke dalam kelompok ahlusunnah wal

jamaah atau Sunni dan sebahagian adalah dalam organisasi Muhammadiyah.

Orang-orang Tionghoa muslim ada yang menyatu dalam kelompok PITI

(Persatuan Islam Tionghoa Indonesia). Secara perekonomian, masyarakat

Tionghoa di Kota Pematangsiantar umumnya adalah bergerak di bidang

perniagaan menjadi pedagang.Mereka membuka mal, toko serba ada, kedai

sampah, kedai grosir, perniagaan alat-alat, 19 industri, makanan dan minuman

(yang terkenal salah satu di antaranya adalah kopi tiam Sedap, dan juga roti ganda

khas Pematangsiantar), usaha perkebunan, dan lain-lainnya. Di antara masyarakat

Tionghoa ini ada juga yang berusaha sebagai penanam sayur-mayur, yang selalu

disebut sebagai China kebun sayur.

Bagaimanapun, orang Tionghoa umumnya ulet dalam usaha perdagangan

ini, termasuk di Kota Pematangsiantar. Di antara kota-kota di Sumatera Utara,

kota Pematangsiantar adalah kota terbesar kedua setelah kota Medan, tidak hanya

dalam hal penduduk tetapi juga dalam hal industri. Sektor industri merupakan

Universitas Sumatera Utara


tulang punggung perekonomian kota ini, dan memberikan kontribusi terbesar pada

kegiatan ekonomi.

Di Kota Pematangsiantar terdapat 45 perusahaan industri besar dan sedang

yang menyerap tenaga kerja lebuh dari 4.600 orang. Pada tahun 2006 industri

besar dan sedang menghasilkan nilai produksi sebesar Rp. 2,59 triliun, dan

memberikan nilai tambah sebesar Rp 1,2 triliun. Hasil industri antara lain dalah

rokok putih filter dan non filter serta tepung tapioka. Salah satu pabrik rokok

terkenal di Sumatera Utara terdapat di Kota ini yaitu Pabrik Rokok Sumatera

Tobacco Trading Company (STTC).

Sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Pematangsiantar

merupakan daerah Kerajaan Siantar yang berpola sistem politik etnik Simalungun,

yang berkedudukan di Pulau Holing dan raja terakhir dinasti keturunan marga

Damanik ialah Tuan Sangnawaluh Damanik, yang memegang kekuasaan sebagai

raja tahun 1906. Setelah Belanda memasuki Sumatera Utara, Simalungun

menjadi daerah kekuasaannya, sehingga pada tahun 1907 berakhirlah kekuasaan

para raja-raja. Contreleur Belanda yang semula berkedudukan di Perdagangan

pada tahun 1907 dipindahkan ke PematangSiantar.

Universitas Sumatera Utara


Gambar Peta 4.2:

Kota Pematangsiantar

Sumber: Pemerintah Kota Pematangsiantar, 2015

Sejak itu Pematangsiantar berubah menjadi daerah ynag banyak

dikunjungi 20 pendatang baru. Orang-orang Tionghoa umumnya mendiami

kawasan Timbang Galung dan Kampung Melayu.

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan Staadblad Belanda Nomor 285 tanggal 1 Juli 1917,

Pematangsiantar kemudian berubah menjadi Gemeente (Dewan Kota) yang punya

kewenangan otonomi sendiri. Sejak 1 Januari 1939 berdasarkan StaadBlad Nomor

717 Kota Siantar berubah menjadi Gemeente yang punya Dewan Kota. Pada masa

pendudukan Jepang berubah menjadi Siantar State dan menghapuskan Dewan

Kota. Kemudian setelah proklamasi kemerdekaan, berdasarkan UU Nomor

22/1948, status Gemeente dirubah menjadi ibukota Kabupaten Simalungun dan

walikotanya dirangkap Bupati Simalungun hingga tahun 1957. Berdasarkan UU

Nomor 1/1957 berubah menjadi Kotapraja penuh. Dengan keluarnya UU Nomor

18/1965 berubah menjadi Kotamadya dan berdasarkan UU Nomor 5/1974,

tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, resmi menjadi Kotamadya

Pematangsiantar, dan dengan keluarnya UU No.5/1974 Tentang Pokok-pokok

Pemerintah di Daerah berubah menjadi Daerah Tingkat II Pematangsiantar, dan

sejak 1999 nama “Kotamadya” Pematangsiantar berubah menjadi “Kota”

Pematangsiantar, selaras dengan tatakelola sistem pemerintahan di Era

Reformasi. 8

8
Reformasi merupakan suatu perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu
masa. Era Reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden
Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden B.J. Habibie. Krisis
finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya
ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu
menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi
mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia. Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi
Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya.
Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari
dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Setelah itu kepemimpinan Indonesia dijabat oleh B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, kemudianm
Megawati Sukarnoputri, Soesilo Bambang Yoedhoyono, dan kini 2015-2019 dipimpin oleh Joko
Widodo.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 4.3:

Logo Kota Pematangsiantar

Gambar 4.4:

Monument Wacana Tata Nugraha sebagai Ikon Kota Pematangsiantar

Sumber: Dokumentasi Sanni Tung, 2015

Universitas Sumatera Utara


Gambar 4.5:

Salah Satu Vihara di Kota Pematangsiantar

Sumber: Dokumentasi Sanni Tung, 2015

Universitas Sumatera Utara


BAB V

FUNGSI DAN MAKNA PUAK POI DALAM KONTEKS

UPACARA PAISIN MASYARAKAT TIONGHOA

DI PEMATANGSIANTAR

Bab V ini berisi analisis fungsi dan makna puak poi dalam konteks

upacara paisin masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar. Analisis terdiri atas dua

bagian, yaitu (1) analisis fungsi dan (2) analisis makna puak poi. Namun

demikian, sebelumnya dideskripsikan tentang bentuk puak poi yang tidak

terpisahkan dari fungsi dan maknanya.

5.1 Fungsi

Puak poi telah merupakan benda wajib yang ada di setiap kelenteng,

vihara dan rumah-rumah masyarakat Tionghoa yang masih menjalankan ritual

paisin. Hal ini dikarenakan mereka masih mempercayai fungsi dari puak poi

tersebut dan masih menjalankan tradisi dari leluhur mereka.

Berdasarkan data penelitian yang diperoleh, maka penulis menganalisisnya

berdasarkan fungsi puak poi. Fungsi-fungsi tersebut masih digunakan dan

dipercayai oleh masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar. Mereka juga

menganggap bahwa puak poi mempermudah mereka untuk berkomunikasi dengan

para dewa dan para leluhur mereka.

Jadi, di dalam kebudayaan Tionghoa, puak poi memiliki peranan yang sangat

penting dalam konteks menjalankan ritual paisin. Puak poi mempunyai beberapa

Universitas Sumatera Utara


fungsi yang masih sangat dipercayai oleh masyarakat Tionghoa di

Pematangsiantar.

Kebudayaan Tionghoa terkenal sebagai kebudayaan yang tua di dunia dan

kaya akan simbol. Simbol telah digunakan dalam kebudayaan Tionghoa sejak

berabad-abad lalu. Setiap aspek kehidupan dalam masyarakat Tionghoa berkaitan

secara langsung maupun tidak langsung dengan simbol-simbol ini.

Simbol-simbol yang digunakan dalam kebudayaan Tionghoa Kuno banyak

yang masih bertahan sampai saat ini. Masyarakat Tionghoa begitu menghargai

kebudayaan mereka yang secara turun temurun telah mereka yakini. Orang-orang

Tionghoa masih mempertahankan kebudayaan mereka dan masih menerapkan

kebudayaan Tionghoa tersebut di dalam kehidupan mereka.

Jika dikaitkan dengan teori Malinowski tentang fungsionalisme, etnis

Tionghoa sampai saat ini masih menganggap bahwa simbol-simbol yang ada di

dalam kehidupan mereka masih sangat berfungsi bagi kehidupan mereka. Etnis

Tionghoa percaya bahwa simbol-simbol tersebut mempunyai fungsinya masing-

masing. Hal ini sesuai dengan landasan teori fungsionalisme Malinowski yang

menganggap bahwa semua unsur kebudayaan itu berfungsi bagi kehidupan.

Simbol dan kebudayaan Tiongkok hampir selalu ada pada acara ataupun

upacara paisin. Adapun simbol dalam upacara tersebut adalah benda yang sering

dijadikan sebagai simbol dari kebudayaan itu sendiri seperti dupa, lilin, dan puak

poi.

Dalam masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar mereka masih sangat

mempercayai fungsi dari puak poi tersebut. Menurut mereka puak poi merupakan

peninggalan dari leluhur mereka yang harus tetap dijaga dan dilestarikan agar

tidak terkikis oleh budaya yang lain dan sering ditemukan dalam upacara paisin.

Universitas Sumatera Utara


Menurut informan pertama (Bapak Susanto Wijaya), beliau sangat

peracaya dan meyakini puak poi tersebut dan selalu menggunakannya pada saat

upacara paisin. Dia mengaku bahwa menggunakan puak poi merupakan tradisi

turun-temurun yang diwariskan oleh para nenek moyang mereka dalam kehidupan

masyarakat Tionghoa. Beliau mengungkapkan hal tersebut secara verbal dalam

sebuah wawancara dengan penulis sebagai berikut.

Sebagai seorang Tionghoa warga Negara Indonesia yang


beragama Buddha, saya sangat meyakini akan kebenaran puak poi
sebagai jawaban dari Tuhan dan para Dewa di Alam Langit atau juga
para leluhur yang hidup di Alam Baka, terhadap apa yang kita
tanyakan, untuk mengetahui berbagai permasalahan di dalam hidup
kita. Puak poi ini bagi kami merupakan sarana komunikasi yang
sangat penting baik itu ke Alam Langit maupun ke Alam Baka.
Seperti diketahui bahwa dalam kepercayaan orang-orang Tionghoa
terdapat tiga alam, yaitu Alam Langit, Alam Dunia, dan Alam Baka.
Ketiga alam ini dapat dihubungkan dengan sepasang puak poi. Kita
akan mengetahui bagaiman jawaban Tuhan dan para Dewa terhadap
pertanyaan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan hidup kita.
Begitu juga jawaban para leluhur kita yang ada di Alam Baka
tentang keadaan mereka, sehingga kita dapat berkomunikasi dan
menyelesaikan cara terbaik dalam kehidupan kita yang ada di dunia
maupun memperbaiki keadaan kehidupan leluhur kita di Alam Baka
sana (wawancara penulis dengan Susanto Wijaya, 2 Oktober 2014 di
Pematangsiantar).

Lebih jauh lagi, berdasarkan wawancara penulis dengan kedua informan

kunci, disertai dengan kajian fungsional secara budaya terdapat fungsi-fungsi dari

puak poi tersebut, sebagai berikut.

1. Sarana komunikasi kepada (Tuhan, para Dewa, dan leluhur).

2. Menyelesaikan berbagai permasalahan manusia dalam menjalani

hidupnya.

3. Menjaga keseimbangan kosmos.

4. Memperkuat ajaran-ajaran sistem religi masyarakat Tionghoa.

5. Menguatkan integrasi keturunan dan kekerabatan.

Universitas Sumatera Utara


6. Menjaga kontinuitas kebudayaan dalam proses perubahan dalam ruang dan

waktu.

5.1.1 Fungsi Puak Poi sebagai Sarana Komunikasi

Sesuai dengan sistem kosmologi Tionghoa, yang mempercayai eksistensi

tiga alam yaitu: Alam Langit, Alam Dunia, dan Alam Baka, maka untuk

menghubungkan antara alam-alam ini dapat digunakan berbagai media. Di

antaranya adalah media melalui orang-orang yang menguasai aspek supernatural,

seperti bhiksu atau dukun. Komunikasi melalui medium manusia yang menguasai

supernatural ini memang lazim dilakukan oleh masyarakat Tionghoa, terutama

yang beragama Konghucu, Tao, dan Buddha. Melalui perantara-perantara ini

manusia dapat bermohon mengenai nasibnya agar mendapatkan berbagai

kebaikan hidup di dunia ini, seperti rezeki, jodoh, nasib baik, pekerjaan, dan hal-

hal sejenis. Dalam situasi yang sedemikian rupa komunikasi ini tidak langsung.

Oleh karena itu, dalam sistem religi masyarakat Tionghoa digunakan pula

komunikasi antara manusia dengan Alam Langit dan Alam Baka tersebut, yaitu

melaui media puak poi.

Sebagai sarana komunikasi yang langsung antara si penanya atau pemohon

dengan Tuhan/Dewa atau roh nenek moyang, maka puak poi memiliki fungsi

utama di sini. Puak poi dalam hal ini merupakan jawaban dari Tuhan/ Dewa atau

roh leluhur yang dimintai pertanyaan. Umumnya pertanyaan-pertanyaan yang

diajukan oleh para pelaksana paisin ini, berkisar pada seputar bagaimana

mengatasi permasalahan hidup. Demikian pula para manusia yang bertanya ini

dapat mengajukan pertanyaan meneganai bagaimana kabar atau kehidupan

leluhurnya di Alam Baka sana. Dapat juga mereka memohon petunjuk dari para

Universitas Sumatera Utara


leluhur untuk menyelesaikan permasalahan hidupnya, dengan cara bertanya dan

kemudian dijawab melalui media puak poi ini. Jadi fungsi komunikasi puak poi

ini dapat diklasifikasikan kepada dua komunikasi timbal balik (dua arah):

1. Komunikasi manusia dengan Alam Langit, dalam hal ini Tuhan dan

Dewa-Dewa.

2. Komunikasi manusia dengan Alam Baka, dalam hal ini para leluhur yang

telah meninggalkan dunia dan hidup di Alam Baka, atau makhluk gaib

lainnya.

5.1.1.2 Fungsi Puak Poi sebagai Sarana Komunikasi dengan Tuhan dan

Dewa

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dalam kepercayaan masyarakat

Tionghoa, terutama dari ajuaran Tao, Konghucu, dan Buddha, bahwa terdapat tiga

alam, yaitu: ALam Langit, Alam Dunia, dan Alam Baka. Orang-orang Tionghoa

ini mempercayai bahwa di Alam Langit terdapat tempat tinggal Thien dan juga

para Dewa dan Dewi. Tuhan adalah sebagai pencipta seluruh alam tersebut dan ia

Maha Kuasa. Jika manusia mengalami berbagai persoalamn hidup, atau ingin

memecahkan permasalahan hidupnya tentu saja ia dapat meminta pertolongan

kepada Yang Maha Kuasa ini yaitu Thien. Oleh karena itu dilakukanlah upacara

paisin (sembahyang) untuk memecahkan masalah hidup manusia ini. Ia kemudian

bertanya tentang masalah hidupnya ini, baik itu mengenai rezeki, jodoh,

kesehatan, pengobatan penyakit, nasibnya di masa depan, dan lain-lain.

Pertanyaan-pertanyaan ini diajukan kepada Tuhan. Kemudian pertanyaan kepada

Tuhan tersebut dijawab melalui puak poi, dengan kemungkinan adalah tiga

jawaban: sengpoi, jiupoi, dan kampoi.

Universitas Sumatera Utara


Fungsi puak poi yang seperti ini adalah sebagai sarana komunikasi dengan

Tuhan. Dalam melakukan pertanyaan, secara umum masyarakat Tionghoa di

seluruh dunia umumnya menggunakan bahasa etniknya atau bahasa Mandarin.

Yang menarik bagi penulis, masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar walau ada

yang menggunakan bahasa etnik atau Mandarin, mereka lebih sering

menggunakan bahasa Indonesia.

Sebagai fungsi komunikasi, maka prosesnya dipandang dari sudut ilmu

komunikasi adalah sebagai berikut. Pelaksana atau pelaku paisin (sembahyang)

dapat sendiri atau berkelompok adalah dipandang sebagai komunikator

(penyampai pesan awal). Pelaku paisin ini meminta kepada Tuhan melalui pesan-

pesan secara kebahasaan (verbal) dan juga nonverbal. Adapun pesan-pesan

tersebut didukung oleh peralatan upacara seperti: dupa, hio, asap hio, dan yang

penting adalah puak poi.

Setersunya pesan atau message ini disampikan kepada Tuhan, yang dalam

ilmu komunikasi dipandang sebagai komunikan, dengan posisi kekuasaan Dia

adalah pencipta manusia dan yang melakukan reinkarnasi. Dengan demikian

pertanyaan dan sekaligus permintaan pelaku paisin tadi adalah hak Tuhan secara

absolut, apakah Ia jawab ya, digantung, atau tidak. Apakah permintaan dikabulkan

atau ditolak. Dalam hal ini puak poi menjadi sarana penting dalam konteks

komunikasi antara manusia pelaku paisin dengan Tuhan. Demikian menurut

kepercayaan yang dipegang teguh oleh orang-orang Tionghoa dalam hal

komunikasi kepada Tuhan ini.

Selain kepada Tuhan, orang-orang Tionghoa yang menganut sistem religi

Konghucu (dan Tao) serta Buddha mempercayai berbagai Dewa dan Dewi.

Umumnya para Dewa dan Dewi ini memiliki sifat dan kemampuan khusus dalam

Universitas Sumatera Utara


hal menolong manusia yang meminta dan berdoa kepada mereka. Di

Pematangsiantar, orang-orang Tionghoa yang melakukan upacara paisin dengan

menggunakan media puak poi ini, selalu bertanya dan memohon petunjuk kepada

para Dewa sesuai dengan sifat dan kemampuan khususnya. Sepertrti telah

diuraikan di atas, untuk menanyakan mengenai usaha atau perniagaan, mereka

menujukan pertanyaan dan petunjuk kepada Dewa Hok Tek Ceng Sin dan Dewa

Cai Sen. Demikian pula untuk meningkatkan kemakmurannya mereka dapat

bertanya dan petunjuk dari Dewa Kemakmuran. Atau berbagai masalah kehidupan

yang universal seperti mohon kebijaksanaan dan cinta kasih (welas asih) di dalam

hidup mereka memohon kepada Dewi Kwan Im, dan lain-lainnya. Fungsi puak

poi sebagai saran komunikasi kepada Tuhan dan para dewa ini dapat digambarkan

sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara


Bagan 5.1:

Fungsi Puak Poi sebagai Sarana Komunikasi dengan

Tuhan dan Para Dewa

ALAM LANGIT

komunikan
Thien

Dewa-Dewi Kwan
Im, Hok Tek Ceng
Sin,Dewa
Kemakmuran, dll

komunikasi

pertanyaan dan pesan


mohon petunjuk komunikasi

puak poi dan dupa


JAWABAN
DAN PETUNJUK
peralatan komunikasi

Orang yang
melakukan komunikator
paisin

KEBUDAYAAN
TIONGHOA
ALAM DUNIA

ALAM BAKA

Universitas Sumatera Utara


5.1.1.2 Fungsi Puak Poi sebagai Sarana Komunikasi dengan Para Leluhur

Dalam hal komunikasi ini, maka salah satu fungsi puak poi lainnya adalah

sebagai sarana komunikasi dengan para leluhur yang berada di Alam Baka. Dalam

proses komunikasi yang seperti ini, maka orang yang melaksanakan paisin

bertanya kepada para leluhur tentang berbagai hal. Di antara pertanyaan itu adalah

tentang kabar leluhur di Alam Baka. Atau dapat juga bertanya tentang bagaimana

cara si pelaksana paisin memecahkan permasalahan hidupnya, apakah itu masalah

pekerjaan, rezeki, jodoh, kesehatan, penyakit, dan aspek-aspek lainnya.

Dari perspektif komunikasi, pelaksana paisin ini adalah sebagai

komunikator atau sumber awal komunikasi. Bentuk pertanyaan atau memohon

petunjuk dapat dikategorikan sebagai pesan komunikasi. Selanjutnya dupa, hio,

asap hio, jumlah hio, dan puak poi adalah benda-benda pendukung komunikasi.

Selanjutnya leluhur atau para leluhur di Alam Baka sana dipandang sebagai

komunikan yang akan memberikan jawaban atau petunjuk terhadap pertanyaan

atau permohonan petunjuk dari kerabatnya yang ada di dunia. Berikut ini adalah

gambaran fungsi puak poi sebagai sarana komunikasi dengan para leluhur.

Universitas Sumatera Utara


Bagan 5.2:

Fungsi Puak Poi sebagai Sarana Komunikasi dengan

Para Leluhur

ALAM LANGIT

Thien

Dewa-Dewi Kwan
Im, Hok Tek Ceng
Sin,Dewa
Kemakmuran, dll

ALAM BAKA
ALAM DUNIA
pertanyaan dan pesan
mohon petunjuk komunikasi
JAWABAN
DAN PETUNJUK komunikasi bertanya Para leluhur

puak poi dan dupa


komunikasi
menjawab Komunikan

peralatan komunikasi
Orang yang
melakukan komunikator
paisin

KEBUDAYAAN
TIONGHOA

5.2.2 Fungsi Menyelesaikan Berbagai Permasalahan Manusia

Seterusnya fungsi puak poi lebih jauh selepas sebagai media komunikasi,

puak poi juga adalah berfungsi dalam menyelesaikan berbagai permasalahan

manusia di dalam menjalani kehidupannya di muka dunia ini. Siapa saja manusia

dan di mana saja dia berada, di dalam rangka menjalani kehidupannya, manusia

Universitas Sumatera Utara


tersebut pasti akan menemui berbagai masalah. Masalah ini ada yang bersifat

psikologis, fisik, material, sosial, budaya, dan lain-lain.

Di dalam sistem religi manapun di dunia ini, manusia umumnya

mempercayai adanya Yang Maha Kuasa atau makhluk-makhluk yang lebih

berkuasa dibandingkan dirinya. Dalam rangka menyelesaikan berbagai

permasalahan atau persoalan hidupnya ini, maka manusia selalu meminta

petunjuk dari Tuhan atau makhluk-makhluk yang dipandang lebih berkuasa dari

dirinya seperti Dewa, Dewi, malaikat, makhluk gaib, dan lain-lain.

Dalam hal ini puak poi jika dipandang dari sudut kebudayaan yang lebih

luas adalah memiliki fungsi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan hidup

manusia di dunia ini. Permasalah mengenai apa yang harus diperbuatnya di dunia

ini, dapat meminta tolong kepada Tuhan Yang Maha Kuasa (Thien). Untuk

menyelesaikan permasalahan mengenai usaha atau perniagaan, mereka menujukan

pertanyaan dan petunjuk kepada Dewa Hok Tek Ceng Sin dan Dewa Cai Sen.

Selanjutnya untuk menyelesaikan permasalahan rezekinya yang relatif sedikit

sehingga dia masuk ke dalam kategori oranmg miskin selama ini, dia dapat

memohon rezeki yang lebih baik dari Dewa Kemakmuran. Begitu pula untuk

menyelesaikan berbagai masalah kehidupan yang universal seperti mohon

kebijaksanaan dan cinta kasih (welas asih) di dalam hidup, mereka memohon

kepada Dewi Kwan Im. Begitu juga untuk menyelesaikan permasalahn-

permasalahan hidup lainnya di dunia ini. Sistem religi Tionghoa memberikan

solusi jawaban terhadap permasalahan hidup ini. Salah satu medianya adalah puak

poi. Dengan demikian, puak poi ini menyumbang kepada konsistensi internal

budaya Tionghoa seperti yang ditawarkan oleh Radcliffe-Brown, mengenai fungsi

aktivitas sosial di dalam masyarakat.

Universitas Sumatera Utara


5.1.3 Fungsi Menjaga Keseimbangan Kosmos

Fungsi puak poi yang digunakan dalam upacara paisin dalam rangka

berkomunikasi dengan Tuhan/Dewa atau para leluhur, menurut penulis adalah

menjaga keseimbangan kosmos (alam). Di dalam sistem religi, khususnya yang

berkaitan dengan kosmologi Tionghoa, dikenal tiga alam ciptaan Thien yaitu

Alam Langit, Alam Dunia, dan Alam Baka. Alam Langit adalah tempat

bersemayamnya Tuhan Yang Maha Kuasa (Thien), juga para Dewa dan Dewi

dengan berbagai kemampuannya. Kemudian Alam Dunia adalah tempat tinggal

manusia, makhluk-makhluk lain yaitu binatang, tumbuhan, termasuk roh-roh yang

bergentayangan di dunia ini. Begitu juga lingkungan seperti gunung, daratan,

sungai, hutan, dan lain-lain.

Selain itu terdapat pula Alam Baka. Alam ini dipercayai oleh orang-orang

Tionghoa terutama yang menganut sistem religi Konghucu, Tao, dan Buddha

sebagai tempat leluhur yang telah meninggalkan dunia ini, termasuk juga

makhluk-makhluk gaib. Baik Alam Langit, Alam Dunia, mapun Alam Baka,

memiliki ciri-ciri dan sifat yang hampir sama, yaitu dihuni oleh masyarakat yang

memiliki pemerintahan, dan juga kebutuhan hidup.

Bagi orang-orang Tionghoa yang menganut religi yang disebutkan di atas,

percaya adanya hubungan antara ketiga alam ini. Jikalau terjadi kerusakan di salah

satu alam, maka akan terjadi guncangan-guncangan atau ketidakharmonian alam

secara keseluruhan, yang berpengaruh kepada semua sistem kehidupan. Oleh

karena itu, untuk menjaga harmoni kosmos, diperlukan hubungan yang baik

antara tiga alam ini. Salah satu penyumbang harmoni atau keseimbangan alam itu

Universitas Sumatera Utara


adalah artefak puak poi. Artefak ini mampu mengkomunikasikan antara tiga alam

tersebut, yang pada saatnya menjaga harmoni hubungan. Dengan demikian alam

ini berjalan pada perjalanan yang telah diatur oleh Thien, dan harmonilah

hubungan antara ketiganya.

Demikian pula halnya dalam rangka membersihkan altar yang terdapat di

kelenteng,vihara dan rumah-rumah yang masih menjalankan ritual sembahyang.

Karena dalam membersihkan altar tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Hal

ini dikarenakan masyarakat Tionghoa mempercayai dewa yang ada di altar atau

papan nama leluhur yang berada di altar hidup. Kegiatan ini juga dapat dipandang

sebagai fungsi menjaga keseimbangan kosmos.

5.1.4 Memperkuat Ajaran-ajaran Sistem Religi Masyarakat Tionghoa

Menurut penulis puak poi juga berfungsi untuk memperkuat ajaran-ajaran

sistem religi masyarajat Tionghoa, terutama sistem religi Konghucu, Tao, dan

Buddha. Ajaran-ajaran sistem religi ini, memiliki persamaan dalam konsep-

konsep memandang dan mengklasifikasikan alam (kosmos). Ketiganya sering

juga disebut tiga agama yang satu.

Ketiga agama ini memiliki konsep yang “sama” tentang Tuhan. Dalam

ajaran Konghucu segala sesuatu yang ada di Alam Dunia, Alam Langit, dan Alam

Baka adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Demikian pula ajaran Tao (Dao)

bahwa pusat dari alam ini yang terdiri dari Alam Langit, Alam Dunia, dan Alam

Baka adalah Dao atau Tuhan Yang Maha Kuasa. Di dalam ajaran agama Buddha

dijelaskan bahwa Tuhan itu adalah yang mutlak adanya, Tuhan tidak bermula dan

tidak berakhir, Tuhan yang mengatur semua yang diciptakan. Tuhan memeliki

welas asih yang tidak terhingga.

Universitas Sumatera Utara


Konsep lainnya yang terekspresi dari penggunaan puak poi yang berfungsi

memperkuat ajaran-ajaran ketiga sistem religi tari adalah, pentingnya menjaga

keteraturan alam. Manusia hanya salah satu makhluk saja di dunia ini, yang wajib

melakukan harmonisasi dengan semua makhluk, baik itu alam sekitar, makhluk

hidup lainnya (hewan dan tumbuhan), begitu juga dengan makhluk-makhluk gaib,

roh yang bergentayangan, dan lain-lainnya. Ketiga agama ini memang

mengajarkan tentang harmoni terhadap semua yang diciptakan Tuhan, termasuk

jangan merusak alam.

Di dalam aktivitas paisin yang menggunakan puak poi ini juga tersirat

ajaran reinkarnasi di dalam ajaran agama Buddha. Reinkarnasi adalah kehidupan

kembali kedunia berdasarkan kehidupan masa lalu. Sementara dia menunggu

dilahirkan kembali ke dunia, dia berada di Alam Baka. Dalam keadaan yang

sedemikian rupa, para keturunannya di dunia ini seharusnya tetap menjaga

hubungan kekerabatannya melalui puak poi dan paisin. Melalui aktivitas dan

artefak ini, maka ajaran-ajaran mengenai reinkarnasi di dalam agama Buddha

tersosialisasi dengan sendirinya.

5.1.5 Menguatkan Integrasi Keturunan dan Kekerabatan

Budaya Tionghoa, baik yang berada di pusatnya yaitu daratan China

maupun persebarannya di seluruh dunia, mengajarkan tentang pentingnya

menjaga garis keturunan yang diwariskan secara patrilineal. Garis keturunan

patrilineal adalah cara menarik garis keturunan yang berasal dari pihak ayah.

Sebaliknya masyarakat atau kelompok etnik yang menarik garis keturunan dari

pihak ibu, secara antropologis lazim disebut dengan matrilineal. Kalau menarik

Universitas Sumatera Utara


garis keturunan kedua-duanya, yaitu dari pihak ayah dan ibu sekaligus lazim

disebut dengan bilateral atau parental.

Orang-orang Tionghoa umumnya menarik garis keturunan secara

patrialineal (patriachart). Dalam hal ini mereka memiliki marga (klen) tertentu

yang di dalamnya menjelaskan tentang asal-usul, tempat wilayah budayanya, dan

eksistensinya dalam sejarah peradaban Tiongkok. Orang-orang Tionghoa ini

sangat menghargai diri, keluarga inti, keluarga besar, dan keturunannya. Mereka

memiliki marga-marga seperti Lim, Lee, Tung, Tong, Tan, Han, dan lain-lain.

Melalui penggunaan puak poi yang dilakukan melalui aktiivitas paisin ini,

penulis melihatnya adalah sebagai fungsi untuk menguatkan integrasi keturunan

dan kekerabatan. Dengan cara bertanya kepada para leluhur yang dipercayai hidup

di Alam Baka, maka seseorang yang melakukan paisin melalui artefak puak poi

ini, sadar atau tidak sebenarnya memperkuat integrasi keturunan dan

kekerabatannya. Ia menyadari bahwa memiliki nenek moyang yang sedemikian

rupa yang dapat dihubungi melalui puak poi. Selanjutnya setelah menyadari akan

garis keturunan ini, maka nilai-nilai internal yang ia serap adalah perlunya

menguatkan persatuan dan kesatuan keturnan dan kekerabatan. Bagaimanapun,

keluarga dan kerabat yang besar ini dipercaya akan dapat mengatasi semua

permasalahan hidup, baik di dunia maupun alam baka. Demikian salah satu fungsi

puak poi ini.

5.1.6 Menjaga Kontinuitas Kebudayaan dalam Proses Perubahan

Istilah kontinuitas atau lazim juga disebut sebagai kesinambungan adalah

penting dalam konteks manusia menjalani sejarah hidupnya. Namun di sisi lain

perubahan juga tidak dapat ditolak, karena perubahan itu memang menjadi sifat

Universitas Sumatera Utara


alam dan telah menjadi ketentuan Tuhan. Jadi biasanya kontinuitas dan perubahan

menjadi satu kesatuan di dalam kehidupan manusia.

Demikian pula yang terjadi di dalam pelaksanaan paisin yang menggunakan

puak poi ini, salah satu fungsinya adalah menjaga kontinuitas kebudayaan dalam

proses perubahan. Dengan menggunakan puak poi sebagai sarana komunikasi

kepada Alam Langit dan Alam Baka dengan Alam Dunia, maka secara alamiah

sebenarnya menjaga kontinuitas kebudayaan dalam proses perubahan. Puak poi

yang dilakukan nenek moyang orang-orang Tionghoa memiliki nilai-nilai religi

dan tradisi dengan kearifannya yang terus-menerus dijaga sampai kapanpun,

karena artefak dan kegiatan ini adalah sebagai penciri utama identitas orang-orang

Tionghoa.

Di sisi lain perubahan-perubahan yang terjadi juga tidak dilawan atau

ditentang, tetapi adalah bagaimana secara arif dan bijaksana mengelola perubahan

tersebut dalam kehidupan religinya. Kebijakan dalam menghadapi yang paling

jelas adalah puak poi itu sendiri pun matrialnya berubah, dari bambu menjadi

berkembang dapat juga menggunakan kayu. Dari bambu dengan warna alamiah

dengn kayu yang seluruh permukaannya dicat merah juga adalah menandakan

perubahan.

Selain itu, masyarakat Tionghoa juga menyebar ke seluruh penjuru dunia,

yang tentu saja mengalami adaptasi-adapatasi kebudayaan dengan kawasan

setempat. Dalam hal paisin ini, di Pematangsiantar orang-orang Tionghoa selain

memakai bahasa Hokkian juga menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan

lokusnya di Pematangsiantar Indonesia.

Demikian pula keturunan orang-orang Tionghoa ini ada pula yang

menikah dengan bukan orang Tionghoa, dapat saja orang Batak Toba,

Universitas Sumatera Utara


Simalungun, Jawa, mandailing, Karo, dan lainnya. Semua ini adalah

kebijaksanaan dan strategi orang Tionghoa di Pematangsiantar dalam menghadpi

perubahan-perubahan budaya dan sosial. Dalam konteks tersebut, ada pula

kemudian di antara orang-orang Tionghoa yang awalnya menganut sistem religi

Konghucu, Tao, dan Buddha kemudian menganut agama-agama samawi, yaitu:

Protestan, Katolik, atau Islam, namun terus mengekalkan berbagai ide, aktivitas,

maupun artefak berciri Tionghoa. Misalnya dalam perayaan Imlek, semua warga

Tionghoa dari sistem religi atau agama apa saja pastilah terlibat. Demikian

pandangan penulis dalam mengkaji salah satu fungsi puak poi sebagai menjaga

kontinuitas kebudayaan dalam proses perubahan. Fungsi-fungsi puak poi dalam

masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar itu dapat dilihat pada bagan berikut ini.

Universitas Sumatera Utara


Bagan 5.3:

Fungsi-fungsi Puak Poi

FUNGSI-FUNGSI

1. Sebagai Sarana Komunikasi dengan Alam Langit dan Alam Baka

2.Fungsi Menyelesaikan Berbagai Permasalahan Sosial

3. Fungsi Menjaga Keseimbangan Kosmos

4. Memperkuat Ajaran-ajaran Sistem Religi Orang Tionghoa

5. Menguatkan Integrasi Keturunan dan Kekerabatan

6. Menjaga Kontinuitas Kebudayaan dalam Proses Perubahan

Puak Poi

Aktivitas
Paisin

Sistem religi: Tao,


Konfusius, Buddha

KEBUDAYAAN TIONGHOA Pematangsiantar


Tingkok / Cina Indonesia
Hua Ren

Universitas Sumatera Utara


5.2 Makna

Setelah menganalisis fungsi puak poi, maka berikut kita akan membahas

tentang makna puak poi secara semiotik, di dalam konteks upacara paisin pada

masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar. Makna ini tercakup di dalam wujud

ideasional (gagasan) orang-orang Tionghoa, yang sifatnya adalah abstrak, namun

menjadi nyata setelah dipraktikkan di dalam aktivitas paisin, dan dapat dikaji

melalui artefak yang digunakan yaitu puak poi. Jadi ada hubungan yang

berkesinambungan antara gagasan budaya yang berkaitan dengan puak poi ini,

dengan aktivitas paisin, dan artefak puak poi itu sendiri. Untuk itu perlu dikaji

makna puak poi.

Dalam kebudayaan Tionghoa tidak sedikit benda-benda di dalam upacara

paisin dijadikan sebagai simbol dari kebudayaan mereka. Bagi etnik Tionghoa

pada masa itu benda-benda yang dijadikan sebagai simbol tersebut memiliki

makna tersendiri dalam menjalankan ritual paisin. Puak poi dijadikan sebagai

salah satu benda yang dijadikan sebagai simbol penanda dalam ritual paisin.

5.2.1 Makna Puak Poi Dikaji dari Aspek Etimologi

Secara etimologis atau harfiah, puak poi juga memiliki arti sebagai

berikut. Istilah ini didukung oleh dua kata yaitu:

(i) puak yang maknanya adalah meminta petunjuk dengan melemparkan;.

(ii) poi memiliki makna jadi atau terjadilah.

Jadi secara etimologis puak poi bermakna meminta petunjuk dengan cara

melemparkan benda yang disebut puak poi dan kemudian petunjuk tersebut

terjawab (terjadilah) melalui posisi puak poi setelah dilemparkan.

Universitas Sumatera Utara


Lebih jauh lagi, menurut penjelasan Bapak Susanto Wijaya (informan

penulis) puak poi dalam budaya China telah ada sejak ribuan tahun lalu yang

digunakan sebagai petunjuk mengenai apapun kehidupan mereka. Puak poi

merupakan salah satu benda dan sarana yang digunakan untuk menanyakan hal

yang ingin ditanyakan pada para Dewa atau roh leluhur, yang telah diwariskan

oleh nenek moyang dan perlu dilestarikan. Menurut pengamatan dan pengalaman

penulis puak poi ini dijumpai pada sebahagian besar upacara paisin masyarakat

Tionghoa.

Puak poi adalah salah satu benda yang sering dijadikan simbol di dalam

upacara paisin orang-orang Tionghoa. Puak poi tersebut juga merupakan salah

satu sarana komunikasi di dalam paisin karena sebagian besar budaya China

berdasarkan tanggapan bahwa wujudnya sebuah dunia roh. Puak poi juga menjadi

sarana bertanya kepada Dewa buat mengobati orang yang sedang sakit, dengan

obat apa orang tersebut disembuhkan. Puak poi ini juga adalah ekspresi budaya

rakyat, yang dapat dijadikan sarana bertanya untuk berbagai hal, yang tidak dapat

dijawab oleh manusia pada umumnya. Di dalam semua yang berkaitan dengan

puak poi, terkandung unsur mitos, agama, dan fenomena sosial dan budaya yang

aneh memang rapat sekali.

5.2.2 Makna Puak Poi dalam Kebudayaan Menurut Pandangan Masyarakat

Puak poi pada masyarakat Tionghoa sangat berperan penting sebagai salah

satu peninggalan kebudayaan yang masih terjaga hingga saat ini. Puak poi

merupakan benda yang dapat dijadikan sebagai sarana komunikasi yang mudah

kepada para Dewa atau para leluhur.

Universitas Sumatera Utara


Menurut penjelasan Bapak Susanto Wijaya, memaknai puak poi sebagai

peninggalan para nenek moyang secara turun temurun yang sampai saat ini masih

dipercayai. Berikut kutipannya :

Menurut saya puak poi merupakan peninggalan budaya yang harus


dilestarikan agar tidak tergeser oleh kebudayaan yang lain. Kami sebagai
etnis Tionghoa sampai saat ini masih mempercayai puak poi dapat dijadikan
sebagai sarana komunikasi kami terhadap para dewa atau leluhur kami. Selain
itu, dengan adanya puak poi juga menandakan benda tersebut merupakan
salah satu dari kebudayaan Tionghoa. ( Wawancara )

Menurut pendapat Bapak Aliang, yang hampir memiliki pendapat yang sama

bahwa puak poi merupakan salah satu benda yang dijadikan sebagai penanda

identitas atau jati diri dalam kebudayaan Tionghoa. Berikut kutipannya:

Dalam kehidupan sehari-hari, puak poi selalu menjadi kebudayaan yang


sangat kami percayai. Keberadaan puak poi ini juga dapat membantu
kami untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang tidak dapat kami
pecahkan, dengan cara bertanya kepada para dewa atau leluhur. Puak poi
juga merupakan identitas kami sebagai etnis Tionghoa. ( Wawancara )

Dari hasil penelitian terhadap kedua informan yang telah penulis wawancarai

tentang makna puak poi adalah keduuanya memiliki pendapat yang hampir sama

dan mereka percaya terhadap puak poi tersebut. Mereka berpendapat bahwa puak

poi dapat membantu mereka untuk berkomunikasi kepada dewa dan leluhur serta

dapat membantu memecahkan masalah mereka dengan bertanya kepada dewa atau

leluhur melalui media puak poi tersebut. Oleh sebab itu, etnis Tionghoa di

Pematangsiantar menggunakan puak poi dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Bila kita melihat puak poi pasti kita langsung mengetahui bahwa puak poi adalah

salah satu peninggalan kebudayaan Tionghoa, karena puak poi identik dengan

dalam upacara paisin dan kebudayaan Tionghoa dan diibaratkan sebagai identitas

masyarakat Tionghoa.

Universitas Sumatera Utara


5.2.3 Makna Jawaban yang Didapat dari Sepasang Puak Poi

Puak poi juga memiliki arti di mana puak berarti meminta petunjuk

dengan melemparkan dan poi jadi. Dengan demikian puak poi ini adalah medium

bertanya seseorang kepada Tuhan, Dewa-Dewi, atau roh-roh leluhur, yang

kemudian memberikan jawabannya, yang dapat dilihat dari posisi puak poi

tersebut setelah dilempar ke atas.

Berdasarkan hukum probabilitas matematis, maka hanya akan terjadi tiga

kemungkinan posisi sepasang puak poi setelah dilemparkan ke atas dan

menyentuh lantai atau bidang sentuh lainnya. (a) Kemungkinan pertama adalah

terbuka satu atau tertutup satu. Kemungkinan ini juga ada dua. Katakanlah puak

poi sebelah kiri (kr) dan kanan (kn) dilepmarkan ke atas secara bersamaan, maka

kemungkinan adalah terbuka kiri tertutup kanan sebesar 50 % dan begitu juga

terbuka kanan dan tertutup kiri sebesar 50 % dari sejumlah x lemparan yang

dilakukan. Kejadian ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara


Bagan 5.4:

Kemungkinan Hasil Lemparan Sepasang Puak Poi

Satu Terbuka dan Tertutup (Sengpoi)

Adapun arti jawaban atau makna dari puak poi tersebut adalah sebagai

berikut.

1. Sengpoi (terbuka satu dan tertutup satu), seng yang berasal dari bahasa

Hokkien yang berarti baik atau bagus menandakan pertanda baik atau sebagai

jawaban, ”Ya” dari Tuhan, Dewa, atau dari para leluhur terhadap pertanyaan

yang diajukan. Biasanya jika dalam sekali meminta dan melempar langsung

mendapatkan jawaban sengpoi biasanya orang yang menggunakan benda

tersebut hanya cukup sekali saja menanyakan apa yang ingin ditanyakannya.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 5.3:

Sengpoi

Sumber: Dokumentasi Sanni Tung, 2015

Universitas Sumatera Utara


Bagan 5.5:

Bagan Sengpoi

2. Jiupoi (keduanya terbuka), jiu yang berasal dari bahasa Hokkien yang artinya

tertawa mendadakan Tuhan, Sang Dewa, atau para leluhur merasa lucu dan masih

enggan memberikan kepastian jawaban dari apa yang sedang ditanyakan.

Biasanya orang yang menggunakan puak poi tersebut jika mendapatkan jawaban

jiupoi akan mengulangi kembali dengan jedah waktu 3-5 menit kemudian.

Normanya secara religius hanya boleh dilakukan sebanyak 3 kali saja, sekali dan

diulang 2 kali.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 5.4:

Jiupoi

Sumber: Dokumentasi Sanni Tung, 2015

Universitas Sumatera Utara


Bagan 5.6:

Bagan Jiupoi

3. Kampoi (keduanya tertutup), kam yang berasal dari bahasa Hokkien yang

berarti tutup atau tertutup merupakan suatu pertanda tidak baik atau buruk dan

jawaban tidak dari Tuhan, Dewa, ataupun para leluhur. Biasanya jika terjadi

kampoi, Tuhan/Dewa atau leluhur sedang dalam keadaan marah dan tidak mau

menjawab pertanyaan yang ingin ditanyakan.

Orang yang menggunakan puak poi tersebut jika mendapatkan jawaban

kampoi, maka ia akan mengulangi kembali dengan jedah waktu 3 sampai 5

menit kemudian. Dalam hal ini penanya yang disertai dengan upacara paisin

hanya dapat dilakukan sebanyak 3 kali saja dalam pengulangannya. Biasanya

jika tidak mendapatkan jawaban, maka orang yang menggunakan puak poi

tersebut akan kembali di lain waktu atau bahkan tidak akan kembali lagi

menanyakan hal yang sama. Dalam realitias religi, sejauh yang penulis amati,

hal ini sangat jarang terjadi.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 5.5:

Kampoi

Sumber: Dokumentasi Sanni Tung, 2015

Bagan 5.7:

Bagan Kampoi

Universitas Sumatera Utara


5.2.4 Analisis Semiotik Jawaban yang Didapat dari Sepasang Puak Poi

Secara semiotik jawaban yang diperoleh dari pertanyaan kepada

Tuhan/Dewa dan roh-roh leluhur ini, secara pasti dapat dikategorikan sebagai

indeks. Dalam kajian-kajian semiotik yang dimaksud dengan indeks itu adalah

suatu kejadian yang sebenarnya diakibatkan oleh sebuah kejadian awal. Dalam hal

ini contoh yang menarik dari kajian semiotik yang termasuk kepada indeks adalah

adanya asap karena adanya api. Atau dalam kalimat lain terjadinya asap karena

adanya sumber api. Tidak mungkin asap itu muncul atau eksis sendiri tanpa

adanya api.

Dalam hal sepasang puak poi yang dilempar dan kemudian mendarat pada

bidang tertentu ini, maka itu hanyalah indeks dari jawaban Tuhan/Dewa atau para

roh leluhur terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh yang bertanya

melalui upacara paisin. Jawaban indeksikal ini sifatnya adalah tertutup. Artinya

hanya ada tiga jawaban saja dari Tuhan/Dewa (di Alam Langit) atau para roh

leluhur di Alam Baka sana, terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh

seseorang melalui upacara paisin ini. Jawaban-jawaban indeksikal ini, secara

semiotik dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 5.2:

Kajian Semiotik terhadap Tampilan Puak Poi sebagai Indeks

DATA ANALISIS

No Keadaan Istilah Makna Indeks Tindakan Orang Keterangan


Visual yang dalam Kajian yang Bertanya
Sepasang Digunakan Semiotik
Puak Poi
1. Satu terbuka, Sengpoi Jawaban ya dari Segera Tuhan/Dewa
satu tertutup Tuhan/Dewa dan menerima dan roh para
roh para leluhur jawaban itu, leluhur
terhadap mempercayainya berkenan
pertanyaan yang dan menerapkan mengabulkan
diajukan. tindakan pertanyaan
selanjutnya. dan merestui
doa yang
dipanjatkan.
Tuhan/Dewa
dan roh para
leluhur dalam
keadaan baik
dan gembira.

2. Kedua-dua Jiupoi Tuhan, Sang Biasanya orang Tuhan/Dewa


buah puak poi Dewa, atau roh yang dan roh para
dalam keadaan para leluhur menggunakan leluhur
terbuka merasa lucu dan puak poi tertawa dan
masih enggan tersebut jika enggan
memberikan mendapatkan memberika
kepastian jawaban jiupoi kepastian
jawaban dari apa akan jawaban yang
yang sedang mengulangi ditanyakan,.
ditanyakan. kembali dengan Normanya
jedah waktu 3-5 secara
menit kemudian. religius hanya
boleh
dilakukan
sebanyak 3
kali saja,
sekali dan
diulang 2
kali.

3, Kedua-dua Kampoi Jawaban tidak Biasanya orang Normanya


buah puak poi dari Tuhan, yang secara
dalam keadaan Dewa, atau roh menggunakan religius hanya

Universitas Sumatera Utara


tertutup leluhur. Artinya puak poi boleh
tidak merestui tersebut jika dilakukan
niat penanya mendapatkan sebanyak 3
melalui jawaban kampoi kali saja,
pertanyaan yang akan sekali dan
diajukannya. mengulangi diulang 2
Pertanda tidak kembali dengan kali.
baik atau buruk. jedah waktu 3-5 Biasanya jika
Tuhan. Dewa menit kemudian. tidak
dan roh para mendapatkan
leluhur marah jawaban,
dan dalam maka orang
keadaan tidak yang
baik responsnya menggunakan
terhadap puak poi
pertanyaan yang tersebut akan
diajukan. kembali di
lain waktu
atau bahkan
tidak akan
kembali lagi
menanyakan
hal yang
sama.

5.2.5 Analisis Semiotik Teks Pertanyaan dan Harapan

Teks yang menjadi bahan kajian ini, dipilih dalam konteks upacara

sesungguhnya, yaitu dengan memilih beberpa pelaku, dengan tema pertanyaan

yaitu menanya rezeki, jodoh, pengobatan, kerja, kelulusan, proses pendidikan, dan

pembersihan altar keluarga.

(a) Menanya rezeki, pelakunya adalah Juli (perempuan) umur 32

tahun, alamat Jalan Mataram II, Pematangsiantar. Dia menanyakannya melalui

komunikasi verbal, sebagai berikut: “Akong dan ama, ini Juli datang ingin

menanyakan bagaimana rezeki saya dalam pekerjaan saya akhir-akhir ini. Ingin

bertanya apakah lancar-lancar saja atau terhambat, karena adanya halangan yang

datang? Kalau rezeki saya bagus, saya mohon puak poi yang saya lemparkan ini

Universitas Sumatera Utara


diberikan jawaban ya atau sengpoi terima kasih akong dan ama.” Setelah

dilemparkannya ternyata jawabannya adalah sengpoi.

Secara semiotik, pertanyaan dari Juli tersebut terfokus kepda bagaimana

rezekinya. Beliau berkomunikasi kepada akong dan amanya. Akong dan ama ini

dipercayai Juli hidup di alam lain, namun masih dapat berkomunikasi dengan

alam manusia. Jawaban tersebut pun dimaknai sebagai sebuah kebenaran bagi

pelaku ini.

(b) Menanya tentang jodoh. Dalam upacara paisin tersebut, pelakunya

adalah Chandra (laki-laki) umur 35 tahun, dengan alamat di Jalan Sriwijaya, Kota

Pematangsiantar. Adapun pertanyaan verbal beliau dalam bahasa Hokkian kepada

Dewa (Zhu) adalah sebagai berikut: “Zhu wa ai mui,wa e jodoh ancua? Wa lao

liao boi kek hun. Wa u kin kak cabo. I ane sui. Tapi wa ane kia ai kong kak i wa

ane gien kak i loh. Zhu bantu wa lah. Kak wa buka i e mata hati. Mai ho wa

jawaban yang bo pasti. Tolong co sengpoi mai co kampoi lah. Kamsia Zhu.”

[artinya: Dewa saya mau bertanya, bagaimana jodoh saya? Saya telah tua tapi

masih belum menikah. Saya ada dekat dengan seorang wanita. Dia sangat cantik.

Tapi saya sangat takut mengatakan kepadanya kalau saya sangat suka dia. Dewa

bantu saya. Tolong bantu saya membuka mata hatinya. Jangan berikan saya

jawaban yang tidak pasti. Tolong berikan sengpoi jangan buat kampoi. Terima

kasih dewa.] Jawaabannya adalah jiupoi (ketawa).

Dari teks pertanyaan kepada Dewa tersebut, tampak bahwa si beliau

berusia relatif tua. Secara manusiawi setiap orang yang berusia tua dan belum

menikah, maka risau hati dan gundah gulana bagaimana nasibnya. Untuk itu ia

bertanya kepada Dewa yang memang mengetahui nasibnya ini. Dari teks bahasa

tersebut nampak bahwa yang menjadi pilihannya adalah wanita yang cantik.

Universitas Sumatera Utara


Namun ada kelemahan lelaki ini, yaitu ia takut dan ragu mengungkapkan cintanya

tersebut. Untuk mengatasi ini ia melakukan upacara paisin dan memohon

petunjuk serta jawaban Dewa. Demikian kira-kira tafsiran semiotik terhadap teks

pertanyaan ini.

(c) Menanyakan pengobatan . Dalam upacara paisin tersebut pelakunya

adalah seorang tabib bernama lai an (laki-laki) umur 58 tahun , dengan alamat di

Jalan Mataram II, Kota Pematangsiantar. Adapun pertanyaan verbal beliau adalah:

“Dewa ini saya punya pasien yang sedang sakit kanker dan datang berobat dengan

saya dengan cara pengobatan tradisional dan di dukung dengan doa. Dewa saya

mau memberikan obat yang telah saya racik. Jika memang pasien saya akan

segera sembuh jika menjalani pengobatan dengan saya, berikan sekali sengpoi.

Kamsia.”Jawabannya adalah : sengpoi (ya)

Dari teks pertanyaan kepada Dewa tersebut, tampak bahwa beliau tidak

mau sembarangan dalam memilih obat untuk pasiennya dan berusaha untuk

menyembuhkan pasien yang datang kepada beliau untuk berobat. Untuk itu beliau

bertanya kepada Dewa yang dapat membrikan jawaban atas pertanyaan beliau.

Untuk mengatasi ini beliau melakukan upacara paisin dan memohon petunjuk

serta jawaban Dewa. Demikian kira-kira tafsiran semiotik terhadap teks

pertanyaan ini.

(d) Menanyakan kerja. Dalam upacara paisin tersebut pelakunya adalah

Xiuping umur 30 tahun, dengan alamat di Jalan Mataram II, Kota

Pematangsiantar. Adapun pertanyaan verbal beliau dengan bahasa hokkian kepada

orang tua beliau adalah:

Universitas Sumatera Utara


“Pa, macai wa ai khi lamar cokang. Wa co persiapan liao. Papa e pendapat ancua

li? Wa e cokang apa bo? Kalau papa setuju wa cokang khi napeng, ho wa sengpoi

la. Kamsia pa.”

[“Pa, besok saya mau melamar pekerjaan. Saya telah membuat persiapan.

Pendapat papa bagaimana? Saya dapat kerja atau tidak? Kalau papa setuju saya

kerja disana, kasih saya sengpoi. Terima kasih pa.”] Jawabannya adalah: kampoi

(tidak). Kemudian penanya tidak mau mengulangi lagi.

Dari teks pertanyaan tersebut bahwa beliau sangat berhati-hati dalam memilih

pekerjaan dan berusaha meminta saran dari orang tuanya yang telah tiada.

Demikian kira-kira tafsiran semiotik terhadap teks pertanyaan ini.

(e) Menayakan kelulusan. Dalam upacara paisin tersebut pelakunya

adalah Nita, Umur 22 tahun dengan alamat di jalan Tanah Jawa Kota

Pematangsiantar. Dengan pertanyaan verbal sebagai berikut:

“Kwain im, apakah saya akan lulus dalam ujian kali ini? Saya telah belajar dengan

giat dan selalu mengulang pelajaran yang akan diujiankan. Apakah saya juga akan

mendapatkan nilai yang bagus di ujian kali ini? Berikan saya jawaban dewi.”

Jawabannya adalah : sengpoi

Dari teks pertanyaan tersebut dapat diketahui bahwa beliau sangat

khawatir dalam menghadapi ujian dan berusaha menghilangkan rasa khawatirnya

dengan cara menanyakan sesuatu yang mengganjal hatinya kepada Kwain im.

Demikian kira-kira tafsiran semiotik terhadap teks pertanyaan ini.

(f) Menanyakan proses pendidikan. Pelaku upacara paisin ini adalah Fitri,

Universitas Sumatera Utara


umur 18 tahun, alamat jalan Mojopahit Kota Pematangsiantar. Dengan pertanyaan

verbal sebagai berikut:

“Dewa, tahun ini saya telah mulai belajar di perguruan tinggi dan pasti ini jenjang

yang lebih susah dibandingkan yang sebelumnya. Dewa , apakah saya dapat

mengikuti pelajaran yang akan datang? Dan apakah saya akan mendapatkan nilai

yang bagus?” Jawabannya adalah : Jiupoi . Kemudian Fitri mengulangi

pertanyaan lagi dan mendapatkan jawaban sengpoi.

Dari teks pertanyaan tersebut dapat diketahui bahwa pelaku sangat ingin

mengetahui apakah dia dapat mengikuti pelajaran di perguruan tinggi atau tidak.

Demikian kira-kira tafsiran semiotik terhadap teks pertanyaan ini.

(g) Menanyakan proses pembersihan altar keluarga . Pelaku dalam upacara

ini Fani, umur 15 tahun dengan alamat di jalan Mataram I Kota Pematangsiantar.

Dengan pertanyaan verbal yang menggunakan bahasa hokkian sebagai berikut:

“Akong,ama w ai co cengki lu e sintok. E sai bo?”

[“kakek, nenek saya mau membersihkan altar sembahyangmu. Boleh tidak?”]

Jawabannya adalah: sengpoi

Dari teks tersebut dapat diketahui bahwa anak tersebut meminta izin untuk

membersihkan altar sembahyang dari leluhurnya yang telah tiada agar tidak

menimbulkan kemarahan bagi leluhurnya. Demikian kira-kira tafsiran semiotik

terhadap teks pertanyaan ini.

Universitas Sumatera Utara


BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Setelah diuraikan secara rinci dari Bab I sampai Bab V, maka pada Bab VI

ini, penulis memaparkan simpulan dari penelitian yang ditulis dalam bentuk

skripsi sarjana ini. Simpulan yang dibuat adalah untuk menjawab pertanyaan yang

diajukan pada pokok masalah, yaitu: (1) bagaimana fungsi puak poi pada upacara

paisin di dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar dan (2)

bagaimana makna puak poi pada upacara paisin di dalam kebudayaan masyarakat

Tionghoa di Pematangsiantar.

Dalam realitas sosioreligius, dalam menjalani kehidupan sehari-hari,

masyarakat Tionghoa biasanya selalu menggunakan kebiasaan atau adat istiadat

yang telah turun-temurun diyakini. Salah satunya penggunaan puak poi dalam

kehidupan sehari-hari. Menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa, puak poi di

dalam kebudayaan Tionghoa yang sering mereka gunakan bukan hanya sebagai

penanda identitas mereka sebagai orang Tionghoa, tetapi puak poi mempunyai

fungsi dan makna tersendiri di dalam kehidupan masyarakat Tionghoa. Dalam

penelitian ini, untuk mengkaji fungsi puak poi digunakan terori fungsionalisme

dan mengkaji maknanya digunakan teori semiotik.

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis dapatkan dengan melakukan

wawancara terhadap informan dapat diketahui bahwa puak poi yang ada di dalam

kebudayaan Tionghoa ini dianggap masih memiliki fungsi bagi kehidupan

masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar. Fungsi-fungsi tersebut adalah sebagai

berikut.

Universitas Sumatera Utara


1. Sebagai sarana komunikasi dengan Alam Langit (Tuhan, Dewa, Dewi)

dan Alam Baka (para leluhur),

2. Fungsi menyelesaikan berbagai permasalahan sosial, seperti (rezeki,

jodoh, kesehatan, pengobatan, nasib, dan lain-lain).

3. Fungsi menjaga keseimbangan kosmos.

4. Memperkuat ajaran-ajaran sistem religi orang-orang Tionghoa,

terutama Konghucu, Tao, dan Buddha.

5. Menguatkan integrasi keturunan dan kekerabatan.

6. Menjaga kontinuitas kebudayaan dalam proses perubahan.

Dari fungsi-fungsi di atas, puak poi dalam kebudayaan Tionghoa di

Pematangsiantar dianggap masih berfungsi dalam kehidupan masyarakatnya yang

masih digunakan dalam kehidupan hingga saat ini. Hal ini sesuai dengan teori

fungsionalisme oleh Mallinowski yang beranggapan bahwa semua unsur

kebudayaan yang bermanfaat bagi masyarakat, maka ia akan dapat bertahan dalam

ruang dan waktu, yang diekspresikan dalam pola kelakuan yang telah menjadi

kebiasaan.

Selain memiliki fungsi, puak poi juga memiliki makna dalam kehidupan

masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar. Makna puak poi tersebut adalah sebagai

berikut.

1. Secara etimologis atau harfiah, puak poi memiliki arti sebagai berikut. Istilah

ini didukung oleh dua kata yaitu: puak yang maknanya adalah meminta

petunjuk dengan melemparkan; poi memiliki makna jadi atau terjadilah. Jadi

secara etimologis puak poi bermakna meminta petunjuk dengan cara

melemparkan benda yang disebut puak poi dan kemudian petunjuk tersebut

terjawab (terjadilah) melalui posisi puak poi setelah dilemparkan.

Universitas Sumatera Utara


2. Makna puak poi dalam masyarakat adalah sebagai warisan leluhur yang

pemberi identitas kepada kebudayaan Tionghoa.

3. Makna dari puak poi adalah sebagai penanda yang digunakan dalam kehidupan

menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa, karena menurut adat istiadat yang

telah turun-temurun dari nenek moyang.

4. Puak poi memiliki makna dalam bentuk tiga penanda (signified) jawaban dari

Tuhan/para dewa atau leluhur atas apa yang ditanyakan. Sengpoi yang

merupakan jawaban iya atau baik, jiupoi yang merupakan jawaban yang masih

ragu belum adanya kepastian dan kampoi merupakan jawaban yang mendakan

tidak. Hal inilah yang masih menjadikan puak poi tersebut sebagai alat

komunikasi yang di mana Tuhan/para dewa dan leluhur memberikan jawaban

dari tiga panandaan tersebut yang masih diyakini oleh masyarakat Tionghoa di

Pematangsiantar.

5. Selanjutnya makna teks pertanyaan berkaitan dengan tema pengharapan

kehidupan yang diinginkan oleh para pelaksana upacara paisin ini. Adapun

tema-temanya menurut penulis adalah: rezeki, jodoh, pengobatan, kerja,

pembersihan altar keluarga, dan lainnya.

Demikian simpulan terhadap puak poi pada upacara paisin di dalam

kebudayaan masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar, baik itu fungsi maupun

maknanya. Semua fungsi dan makna baik secara budaya, sosial, dan religi ini

sesuai dengan teori fungsionalisme Malinowski adalah untuk memenuhi

kebutuhan hidup berupa material dan spiritual orang-orang Tionghoa. Semua ini

tidak terlepas dari keinginan orang-orang Tionghoa untuk memenuhi sistem

kebudayaan yang telah dibangun selama berabad-abad, yaitu apa yang disebut

oleh Radcliffe-Brown dengan konsistensi internal kebudayaan. Artinya apa pun

Universitas Sumatera Utara


yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa di Pematangsiantar ini tujuan yang

paling luas adalah untuk mencapai harmoni sosial, kebudayaan, dan kosmik

(alam).

6.2 Saran

Berikut ini adalah saran-saran penulis.

(a) Kebudayaan Tionghoa yang menyimpan banyak nilai positif dapat

dimanfaatkan dalam kehidupan kita sekarang ini. Generasi muda sekarang ini

telah mulai tidak begitu memahami dan memperhatikan nilai-nilai budaya yang

terkandung di dalam berbagai simbol peninggalan leluhur, baik itu simbol dalam

artefak, perbuatan atau prilaku, apalagi simbol dalam bentuk gagasan. Melalui

penelitian ini diharapkan dapat mengingatkan kembali pentingnya nilai- nilai

budaya yang dikandung dalam puak poi tersebut di dalam konteks upacara paisin,

sehingga generasi muda mulai lebih memperhatikan dan berupaya melestarikan

budaya bangsanya agar tidak terkikis oleh budaya yang lain.

(b) Kebudayaan yang ada pada masyarakat Tionghoa sebaiknya lebih

ditampilkan dan dilestarikan agar masyarakat biasa dapat mengerti dan memahami

maksud dan tujuan dari setiap kebudayaan yang ada pada masyarakat Tionghoa.

Pelestarian kebudayaan Tionghoa dalam konteks Indonesia adalah menjadi satu

kesatuan dengan filsafat kehidupan berbangsa dan bernegara yang terdapat di

dalam Pancasila, yaitu walau berbeda-beda tetapi tetap satu juga (bhinneka

tunggal ika). Masyarakat Tionghoa yang ada di Indonesia sepenuhnya adalah

warga negara Indonesia yang menghayati nilai-nilai kebangsaannya dalam

konteks masyarakat Indonesia yang multikultural. Mereka menjadi bahagian yang

tidak terpisahkan dalam konteks berbangsa dan bernegara di Indonesia. Mereka

Universitas Sumatera Utara


seharusnya juga peka dan tanggap terhadap semua permasalahan bangsa,

termasuk permasalahan etnik, masyarakat atau komunitas, dan lain-lainnya.

(c) Kebudayaan Tionghoa di Pematangsiantar merupakan salah satu aset

kebudayaan Indonesia, bersama-sama kebudayaan etnik Simalungun, Batak Toba,

Jawa, Mandailing-Angkola, Karo, Melayu, Nias, Pesisir, Pakpak, Aceh, banjar,

dan lain-lainnya. Oleh karena itu penelitian kebudayaan seperti ini diperlukan

dalam konteks memahami, menghormati, dan bertoleransi kepada setiap

pendukung kebudayaan di wilayah yang multikultural di seluruh Indonesia ini.

Dengan cara penelitian keilmuan secara mendalam dan holistik, disertai cita-cita

dan sikap dalam bingkai integrasi budaya tentu saja akan memberikan kekuatan

dalam membangun bangsa ini.

(d) Secara sejarah dan genealogis, memang masyarakat Tionghoa di

Pematangsiantar tidak dapat dipisahkan dari leluhurnya, apakah itu mereka yang

berasal dari Tiongkok Selatan maupun Tiongkok Utara, mereka menyadari adanya

kesadaran genealogis ini. Oleh karena itu tetap diperlukan kajian-kajian secara

monogenesis (asal-usul) atau difusi peradaban. Dalam hal ini masyarakat

Tionghoa yang ada di Pematangsiantar ini juga menjadi bahagian yang tidak

terpisahkan dengan orang-orang Tionghoa di seluruh dunia. Namun demikian,

yang penting diperhatikan secara bersama adalah pentingnya skala orientasi

kultural orang Tionghoa di kawasan ini. Orientasi pertama adalah kepentingan

bersama dalam konteks integrasi sosiobudaya di pematangsiantar, Sumatera

Utara, dan Indonesia. Orientasi berikutnya adalah dalam konteks Asia Tenggara

(ASEAN). Kemudian masyarakat Tionghoa itu sendiri, dan terakhir adalah

masyarakat seluruh dunia. Bukan seperti yang terlihat selama ini, orang-orang

Tionghoa “lebih mementingkan ketiongkokannya” dibandingkan dengan

Universitas Sumatera Utara


“keindonesiaannya.” Ke depan hal ini skala prioritas sosial dan budaya ini tentu

perlu disosialisasikan kepada orang-orang Tionghoa WNI termasuk di

Pematangsiantar dengan tujuan untuk integrasi dan kemakmuran secara bersama.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat, setelah menyelidiki

atau mempelajari (KBBI, 2003:912). Pustaka adalah kitab-kitab, buku, buku

primbon (KBBI, 2003:912). Dalam skripsi sarjana ini, yang dimaksud tinjauan

pustaka adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat setelah menyelidiki atau

mempelajari pokok masalah seperti atau yang dekat secara tematik maupun

keilmuan dengan yang penulis lakukan ini oleh para penulis terdahulu, baik

berupa skripsi sarjana dan makalah. Pustaka yang penulis maksudkan di dalam

skripsi ini adalah berupa buku-buku atau kitab yang berkaitan pokok masalah

yang penulis kerjakan, yaitu mencakup: puak poi, paisin, kebudayaan Tionghoa,

masyarakat Tionghoa, kosmologi orang-orang Tionghoa, Buddha, Konghucu, dan

lain-lainnya. Hasil yang penulis peroleh dalam tinjauan pustaka ini adalah sebagai

berikut.

Reny Syafrida, menulis sebuah skripsi sarjana di Program Studi Sastra

China, Fakultas Ilmu Bidaya (FIB) Universitas Sumatera Utara (USU), tahun

2012, yang berjudul Fungsi dan Makna Penyembahan Leluhur pada Masyarakat

Tionghoa. Di dalam penelitiannya dikatakan bahwa masyarakat Tionghoa dari

dahulu hingga kini masih melestarikan upacara penyembahan leluhur dan mereka

masih meyakini bahwa leluhur mereka terdahulu masih berada di tengah

kehidupan mereka dan masih mempunyai manfaat di dalam kehidupan mereka.

Universitas Sumatera Utara


Skripsi sarjana ini menjadi bahan pustaka penulis dalam mengkaji sistem

kosmologi terutama penyembahan leluhur pada masyarakat Tionghoa.

Syeelwem Wilton S., yang juga menulis skripsi sarjana pada Program

Studi Sastra China, FIB USU, pada tahun 2014, yang bertajuk Struktur dan

Makna Upacara Cheng Beng bagi Masyarakat Tionghoa di Berastagi. Di dalam

penelitian ini Syeelwem menjelaskan tentang struktur dan makna paisin sebagai

perilaku dan ideologi keagamaan masyarakat Tionghoa, dengan studi kasus yang

ada di Kota berastagi, di dalam wilayah budaya Karo Gugung. Skripsi sarjana ini

menjadi bahan pustaka untuk kajian penulis dalam mengkaji ritual paisin pada

masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar.

Sebuah skripsi sarjana, yang ditulis oleh Yudhistira Siahaan pada tahun

2012 bertajuk Kajian Musikal dan Pertunjukan Barongsai dalam Perayaan Cap

Go Meh Masyarakat Tionghoa di Maha Vihara Maitreya, Kompleks Perumahan

Cemara Asri Medan. Di dalam skripsi ini dianalisis pertunjukan barongsai dan

musik pengiringnya. Sebagai sebuah pertunjukan masyarakat Tionghoa, di

dalamnya juga terkandung komunikasi kepada Alam Langit dan Alam Baka

dalam sistem kepercayaan Buddha, Tao, dan Konfusius. Skripsi ini menjadi salah

satu bahan pustaka penulis dalam mengkaji fungsi dan makna puak poi dalam

konteks upacara paisin masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar.

Sebuah penelitian yang berjudul Struktur Musik Tua Pi Ciu yang

Dipergunakan oleh Masyarakat Tionghoa di Kota Medan pada Upacara Tiau

Sang, dilakukan oleh Muhammad Takari yang didanai oleh Yayasan Ilmu-ilmu

Sosial dan The Toyota Foundation pada tahun 1997. Penelitian ini fokus mengkaji

upacara kematian di kalangan masyarakat Tionghoa di Kota Medan, terutama

yang beragama Buddha. Bahwa upacara kematian itu adalah bagian dari

Universitas Sumatera Utara


perpindahan manusia dari alam dunia ke alam baka. Ritus-ritus yang dilakukan

mencakup persiapan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan upacara. Di dalam

penelitian ini juga dibahas tentang sistem kosmologi di dalam kebudayaan

Tionghoa. Melalui laporan penelitian ini, penulis menggunakan data-datanya

untuk mengkaji puak poi dalam ritual paisin di dalam kebudayaan masyarakat

Pematangsiantar.

Yoan Silviana, pada tahun 2012 menulis sebuah skripsi sarjana di

Departemen Sastra China FIB USU. Tajuk skripsinya adalah Fungsi dan Makna

Penyambutan Imlek pada Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar. Di dalam

skripsi ini dibahas secara detil tentang hari raya Imlek dalam kebudayaan

Tionghoa, termasuk di Kota Pematangsiantar. Ia juga membahas fungsi dan

makna benda-benda yang lazim digunakan di dalam konteks penyambutan tahun

baru China ini, seperti: lampion, kue keranjang, ikan, ayam, bakmi, dan lain-

lainnya. Skripsi ini menjadi bahan pustaka penulis dalam mengkaji puak poi di

dalam kebudayaan Tionghoa. Kami juga sama-sama melakukan penelitian budaya

Tionghoa di Pematangsiantar. Namun perbedaannya Silviana mengkaji fungsi dan

makna Imlek, sedangkan penulis mengkaji puak poi.

Daniel Tong, seorang penulis budaya Tionghoa, pada tahun 2010, menulis

sebuah buku yang bertajuk Tradisi dan Kepercayaan China. Tong di dalam buku

ini menjelaskan berbagai tradisi upacara dalam kebudayaan China, seperti Imlek,

Ceng Beng, dan lain-lainnya. Beliau juga menjelaskan praktik-praktik kultural

dalam kebudayaan China pada umumnya seperti organisasi berdasarkan kampung

halaman, klen dan kekerabatan, perkawinan, kepercayaan, dan lain-lain. Buku ini

menjadi rujukan penulis di dalam melihat kebudayaan masyarakat Tionghoa pada

umumnya.

Universitas Sumatera Utara


Ernst Cassirer, seorang penulis budaya internasional ternama, tahun 1987,

menulis buku yang berjudul Manusia dan Kebudayaan. Satu hal yang menarik

dalam konteks penelitian ini, di dalam buku ini dijelaskan bahwa kebudayaan

sangat berkaitan erat dengan tradisi dan bahasa. Melalui buku ini penulis melihat

bahwa manusia umumnya memiliki tradisi dan bahasa dalam kebudayaannya yang

memperjelas identitas manusia tersebut. Demikian pula puak poi jelas

mempertegas identitas masyarakat Tionghoa di mana pun di dunia ini, termasuk di

Kota Pematangsiantar.

Jhuenhyie, seorang penulis kebudayaan masyarakat Tionghoa, pada tahun

2000, menulis sebuah buku yang berjudul Kebudayaan China. Di dalam buku ini

dijelaskan tentang konsep hidup masyarakat Tionghoa, kebudayaan, agama, dan

ritual. Buku ini menjadi bahan pustaka penulis dalam rangka penelitian puak poi

ini.

2.2 Konsep

Pengertian konsep dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:588) adalah

gambaran mental dari suatu objek, proses atau apapun yang ada di luar bahasa,

yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Menurut Melly

(dalam Koentjaraningrat, 1991:21), konsep merupakan defenisi apa yang kita

amati, konsep menentukan veriabel-variabel mana yang kita inginkan, untuk

menentukan empiris. Dalam hal ini defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan

istilah yang digunakan secara mendasar dan penyamaan persepsi tentang apa

yanag akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan

tujuan penelitian. Dalam penelitian ini, konsep yang penulis jelaskan adalah: (1)

Universitas Sumatera Utara


kebudayaan, (2) upacara, (3) paisin, (4) tradisi puak poi, dan (5) masyarakat

Tionghoa.

2.2.1 Kebudayaan

Kebudayaan adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki

bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Kroeber dan Kluckhohn (1952) mengumpulkan berpuluh-puluh defenisi yang

dibuat ahli-ahli antropologi dan membaginya atas 6 golongan, sebagai berikut.

(1) Deskriptif, yang menekankan unsur-unsur kebudayaan,

(2) Historis, yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyara-

katan,

(3) Normatif, yang menekankan hakekat kebudayaan sebagai aturan hidup dan

tingkah laku,

(4) Psikologis, yang menekankan kegunaan kebudayaan dalam penyesuaian diri

kepada lingkungan, pemecahan persoalan, dan belajar hidup,

(5) Struktural, yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang

berpola dan teratur,

(6) Genetika, yang menekankan terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya

manusia (P.W.J. Nababan, 1984:49).

Herskovist dan Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang

terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh

masyarakat itu sendiri. Istilah ini disebut dengan cultural determinism. Herskovist

memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun-temurun dari satu generasi ke

generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganik.

Universitas Sumatera Utara


Menurut Mulyana dan Rakhmat, budaya adalah suatu cara hidup yang

berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan

dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit,

termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,

bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian

yang tidak terpisahkan dari diri manusia, sehingga banyak orang cenderung

menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha

berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya, dan menyesuaikan

perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya

adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas.

Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur

sosiobudaya ini tersebar, dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia (Mulyana

dan Rakhmat, 2006:25).

Definisi lainnya adalah dari Melville Jean Herskovits (1895-1963) yang

merupakan seorang antropolog Amerika. Dua poin penting dalam memahami

konsepsi tentang antropologi: pertama, dia adalah seorang humanis yang

bersangkutan dengan totalitas perilaku budaya dan, kedua, dia percaya bahwa

metode induktif adalah satu-satunya metodologi berlaku untuk antropologi.

Dalam keduanya dia mengungkapkan pengaruh meresap Franz Boas, gurunya di

Columbia University.

Presentasi paling lengkap dari pandangan Herskovits terhadap kebudayaan

ditemukan dalam tulisannya Man and His Work (1948), direvisi dan diringkas

sebagai Cultural Anthropology (1955). Menurut Herskovits budaya adalah

bersifat inklusif (meluas dan universal), untuk itu perlu memahami perilaku dan

ideasional, kelompok, dan individu. Orientasi humanistiknya jelas yaitu berpusat

Universitas Sumatera Utara


pada kepentingan dalam individu, yang dianggapnya sebagai peserta aktif dalam

membentuk budaya. Sebagai individu itu penting dalam pandangannya tentang

budaya, sejarah juga penting dalam mengkaji ide perubahan budaya. Akulturasi,

reinterpretasi, retensi, dan sinkretisme adalah konsep yang dia kemukakan dalam

membantu merumuskan dan masing-masing memiliki dimensi historisnya.

Oposisi Herskovits yang diterapkan antropologi adalah berbasis pada

relativisme budaya. Dia bersikeras bahwa konsep relativisme memiliki relevansi

untuk semua pembelajaran budaya dan meminta perhatian pada pengaruh budaya

pada persepsi. Dia merasa bahwa penting untuk membedakan antara istilah

"absolut" yang bervariasi dari budaya yang satu ke budaya yang lain, dan istilah

"universal," yang merupakan konsekuensi dari kondisi manusia; dan dia

menyimpulkan bahwa tidak ada kriteria mutlak nilai atau moral, atau bahkan,

psikologis untuk waktu atau ruang, dalam konteks nilai-nilai universal dalam

budaya manusia" (1948:76). Relativisme budaya membuatnya menolak istilah

"primitif," meskipun oleh para antropologi telah digunakan secara luas.

Dari berbagai defenisi tersebut, dapat diperoleh pengertian bahwa

kebudayaan adalah sesuatu yang mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi

sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam

kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan

kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk

yang berbudaya, berupa perilaku benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-

pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni dan lain-lain,

yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan

kehidupan bermasyarakat.

Universitas Sumatera Utara


2.2.2 Upacara

Upacara menurut Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(1990:1994) adalah 1. tanda-tanda kebesaran, 2. peralatan menurut adat istiadat, 3.

rangkaian tindakan atau perbuatan yang terkait kepada aturan-aturan tertentu

menurut adat atau agama, 4. perbuatan yang dilakukan atau diadakan sehubungan

dengan peristiwa penting.

Istilah upacara selalu dikaitkan dengan budaya menjadi upcara budaya.

Budaya atau kebudayaan adalah keseluruah yang kompleks, yang di dalamnya

terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat

dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai

anggota masyarakat.

Siklus hidup pada masyarakat Tionghoa adalah suatu konsep antropologi

budaya yang berarti lingkaran hidup mulai saat kelahiran, kematian, dan alam

setelah kematian. Melukiskan siklus hidup dari warga yang dianggap warga rata-

rata, merupakan salah satu cara yang dapat mengungkapkan banyak keterangan

mengenai suatu kebudayaan. Khususnya, diperhatikan kejadian-kejadian yang

dianggap penting dalam kebudayaan yang bersangkutan, yaitu upacara-upacara

yang menandakan perubahan kedudukan para warga masyarakat, atau upacara

peralihan (Ihromi, 2006).

Istilah upacara budaya dalam penelitian ini merupakan sebuah kegiatan

yang bersifat sosial. Banyak sekali peradatan dan upacara perayaan ini, yang

masih tetap dilakukan oleh masyarakat Tionghoa menurut waktu yang ditentukan.

Masyarakat Tionghoa masih mempertahankan tradisi leluhur, bukan hanya di

belahan Asia saja. Di negara seperti Indonesia sekalipun, masyarakat Tionghoa

masih tetap teguh melaksanakan tradisinya. Menurut Lina Wang dalam majalah

Universitas Sumatera Utara


Festival China (2010), wanita profesional yang menekuni feng shui dan mengerti

banyak tentang peradatan Tionghoa, dalam berbagai hal warna merah sangat

memegang peranan dalam berbagai upacara dan peradatan masyarakat Tionghoa.

Dalam penelitian ini warna merah juga digunakan pada puak poi yang terbuat dari

kayu.

2.2.3 Paisin

Paisin adalah sebuah konsep religi orang-orang Tionghoa, baik itu yang

beragama Buddha, Konghucu (Konfusius), maupun Tao, yang secara umum

dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sembahyang. Istilah ini berasal dari

bahasa etnik Hokkian. Paisin dapat dimaknai sebagai sembahyang, sebagai sarana

komunikasi manusia kepada Tuhan (Thien), juga Dewa dan Dewi, termasuk juga

kepada leluhur yang telah mendahului kematiannya dan meninggalkan semua

keturunan di dunia ini. Intinya melalui paisin manusia berdoa dan memohon

petunjuk kepada Tuhan dan para Dewa yang ada di Alam Langit dan leluhur yang

berada di dalam kehidupan lain di Alam Baka.

Paisin ini secara antropologis dapat dikategorikan sebagai upacara. Di

dalamnya ada pelaku upacara yaitu orang yang melaksanakan paisin dengan

berbagai tujuan, harapan dan doa. Selain itu, ada waktu upacara, yang dilakukan

pada waktu-waktu tertentu, apakah dalam berbagai hari raya atau dalam konteks

ketika manusia memerlukan petunjuk dari Tuhan, para Dewa, maupun leluhur di

Alam Baka. Paisin ini juga dilakukan di tempat tertentu seperti altar keluarga,

vihara, kelenteng, dan lain-lain. Dengan demikian, paisin dapat dimaknai sebagai

upacara bersembahyang dengan berbagai tujuan yang terdapat di dalam

Universitas Sumatera Utara


kebudayaan masyarakat Tionghoa di seluruh dunia, terutama yang menganut

sistem religi Buddha, Konghucu, maupun Tao.

2.2.4 Tradisi Puak Poi

Semua aktivitas manusia yang berhubungan dengan religi didasarkan atas

suatu getaran jiwa yang biasanya disebut dengan emosi keagamaan. Emosi

keagamaan ini biasanya dialami setiap manusia, walaupun getaran emosi itu

hanya berlangsung beberapa detik saja, untuk kemudian menghilang kembali.

Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang melakukan tindakan-tindakan

bersifat religi.

Sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri khusus

untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu di antara pengikut

pengikutnya. Dengan demikian emosi keagamaan merupakan unsur-unsur penting

dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur yang lain yaitu: sistem keyakinan,

sistem upacara keagamaan, dan suatu umat yang menganut religi itu.

Sejarah penggunaan puak poi dengan prinsip Yin Yang dan Sheng telah

ada tercatat sejak zaman Musim Semi dan Gugur, yaitu kira-kira 600-an Seb. M.

Tentunya dengan metode dan konsep yang berbeda, yaitu mereka menggunakan

batang-batang bambu untuk menyusun garis Yang dan garis Yin dan konsepnya

adalah mencari tahu atau memprediksi keadaan atau situasi dengan membaca

gejala atau sinyal dari alam.

Puak poi dalam ilmu metafisik Tiongkok, termasuk bagian dari budaya.

Bukan hanya sebagai alat atau sarana berkomunikasi dengan Dewa dan leluhur

tetapi juga lebih ke arah membaca tanda alam yang berkaitan dengan

permasalahan atau pertanyaan kita. Namun demikian di dalam sebahagian besar

Universitas Sumatera Utara


kegiatan ritual dan upacara penghormatan yang penulis amati, puak poi ini

merupakan alat atau sarana berkomunikasi dengan alam lain.

Kehadiran puak poi itu sebenarnya untuk bertanya kepastian jawaban

kepada Tuhan atau para Dewa. Puak poi itu tidak hanya untuk ciam si

(pembakaran dupa dan aktivitas paisin) tetapi juga berkaitan dengan kegiatan

membersihkan altar, mengangkat sajian, mengambil buah dan juga bertanya

kepada Dewa atau roh leluhur. Jawaban Tuhan atau Dewa dan leluhur melalui

puak poi itu adalah dimanifestasikan pada bagian terbuka dan bagian tertutup,

sama seperti koin memiliki dua bagian, sisi muka dan sisi belakang yang terdiri

dari dua buah seperti pisang yang dibelah dua.

2.2.5 Bentuk Puak poi

Puak poi terbuat dari dua potong bambu, masing-masing berbentuk setengah

lingkaran. Masing-masing memiliki dua sisi, yaitu sisi tertutup dan sisi terbuka.

Pada masa sekarang puak poi boleh dibuat dari bahan kayu (apa saja jenisnya).

Zaman dahulu puak poi warnanya berasal dari warna asli pada bambu, sedangkan

pada saat sekarang ini puak poi dapat juga dibuat dari kayu yang keseluruhan

permukaannya diberi cat warna merah. Secara umum. dalam kebudayaan

Tionghoa, warna merah merupakan simbol keagungan atau kehokian. Warna

merah dan kuning juga adalah sebagai indeks dari kebudayaan China pada

umumnya. Warna ini begitu dominan di tempat-tempat permukiman orang-orang

Tionghoa, terutama pada saat-saat upacara adat atau agama mereka, seperti:

Imlek, Ceng Beng, dan lain-lainnya.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.1:

Puak poi yang Berwarna Merah Terbuat dari Kayu

Sumber: Dokumentasi Sanni Tung, 2015

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.2:

Puak poi yang Terbuat dari Bambu

Sumber: Dokumentasi Sanni Tung, 2015

2.2.6 Tata Cara Upacara Paisin dan Makna Hio

Tata cara upacara paisin atau sembahyang di dalam masyarakat Tionghoa

(Tao, Konfusius, dan Buddha) biasanya dimulai dengan pembakaran hio.

Kemudian memegang kedua puak poi itu di dalam genggaman. Seterusnya

bertanya, dapat secara berkata seperti bahasa biasa sehari-hari, atau berbisik-bisik,

dan juga di dalam kalbu saja. Dari hasil penelitian lapangan, bahasa yang

digunakan oleh orang Tionghoa di Pematangsiantar dalam bertanya kepada

Tuhan/ Dewa atau leluhur yang hidup di Alam Baka, umumnya menggunakan

bahasa Indonesia, atau ada yang sebahagian menggunakan bahasa Hokkian

(sebagai suku yang paling banyak jumlahnya di antara suku-suku lainnya pada

masyarakat Tionghoa di daerah ini). Setelah itu puak poi diasapi oleh asap yang

Universitas Sumatera Utara


dikeluarkan oleh hio yang telah ditancapkan di dupa dan dibakar. Kemudian

dilemparkan ke atas atau langsung ke lantai.

Universitas Sumatera Utara


Bagan 2.1:

Proses Upacara Paisin dan Penggunaan Puak Poi

Dilakukan tindakan berdasarkan jawaban

DIPEROLEH JAWABAN

dilakukan tiga kali

Jiupoi
Sengpoi ( jawaban antara ya Kampoi
( jawaban ya ) dan tidak ) ( jawaban tidak )

Media Puak Poi

DUPA
hio, altar, sesajian, dll

Bertanya kepada
Bertanya kepada Thien /
leluhur di Alam Baka
Dewa di Alam Langit
atau makhluk gaib

ORANG-ORANG TIONGHOA
(Tao, Konghucu, Buddha)

KEBUDAYAAN TIONGHOA

Universitas Sumatera Utara


Seterusnya kedua buah puak poi tadi mendarat di lantai, dan posisinya

adalah indeks jawaban dari pertanyaan yang telah diajukan pada upacara paisin

tersebut. Jawaban hanya tiga saja, yaitu: (a) sengpoi, (b) jiupoi, dan (j) kampoi.

Seperti telah diuraikan sebelumnya, sengpoi adalah jawaban ya, kemudian jiupoi

belum ada jawaban, dan kampoi adalah penolakan. Untuk merespons jawaban

kedua dan ketiga, dapat diulang dua kali lagi dengan masa jedah 3 sampai 5

menit. Demikian kronologi paisin dalam konteks penggunaan puak poi ini.

Namun secara kultural religius berdasarkan penelitian lapangan, diperoleh makna-

makna mengenai pembakaran dupa, hio, jumlah hio, warna hio, tata cara atau

aturan paisin, cara penghormatan kepada Tuhan, Dewa, dan para leluhur, arti pai,

dan lain-lainnya seperti yang penulis uraikan berikut ini.

Hio artinya harum. Namun istilah hio ini sendiri mencakup keseluruhan

dupa, yaitu bahan pembakar yang dapat mengeluarkan asap yang berbau

sedap/harum. Dupa yang dikenal pada zaman Nabi Khonghucu berwujud bubuk

atau belahan kayu. Membakar dupa mengandung makna sebagai berikut.

a. Jalan Suci itu berasal dari kesatuan hatiku ( Too Yu Siem Hap ), hatiku dibawa

melalui keharuman dupa (Siem Ka Hiang Thwan).

b. Selain itu dupa juga untuk menentramkan pikiran, memudahkan konsentrasi,

meditasi.

c. Dalam mitologi Tionghoa mitologi dupa ialah untuk menyampaikan atau

mengirimkan doa kita melalui wewangian/ asap yang terus menjunjung tinggi

hingga ke segala arah

Tata cara sembayang rakyat atau paisin atau juga minjian xinyang, dalam

peradaban masyarakat Tionghoa biasanya dibagi ke dalam 3 tata cara, yaitu cara

Buddha Mahayana, Kong Hu Cu, dan Tao.

Universitas Sumatera Utara


(a) Semuanya menggunakan satu atau tiga batang hio.

(b) Susunan meja sembayang secara umum: teh, air putih, arak (ciri Taoisme

dan Konfusianisme), lambang Taiji Yinyang, air putih lambang taichi, teh

lambang yin, arak lambang yang.

(c) Lima macam buah atau lima warna, lambang lima unsur. Kalau agama

Buddha, ada yang mengaitkan dengan 5 Dhyani Buddha.

(d) Tiga batang hio lambang San Cai/ Sanguan/ Taiji Liangyi, Triratna, dan

Sanqing.

(e) Satu batang hio lambang Taiyi dalamm konsep religi Taoisme.

Cara penghormatan kepada Tuhan, Dewa, atau para leluhur adalah sebagai

berikut.

(1) Kepalan yang membentuk delapan kebajikan dan orang tua, cara

Konghucu.

(2) Kepalan yang membentuk bola Taiji adalah cara Tao.

(3) Anjali atau merangkapkan kedua telapak tangan/ cara Buddha.

Tiga arti Pai:

(a) Pai pertama membalas jasa Alam Langit dan Bumi (yi bai baoda tiandi

en),

(b) Pai kedua membalas jasa orang tua (er zhai bai baodao fumu en),

(c) Pai ketiga membalas jasa para guru (san bai baodao enshi en).

Menurut kedua informan kunci penulis, secara umum, jumlah hio ganjil

adalah untuk Dewa, Tuhan, tokoh yang berjasa untuk masyarakat luas, dan

mahluk suci lainnya. Ganjil dalam metafisika Tiongkok adalah lambang dari

unsur Yang atau positif. Yang berjumlah genap adalah untuk leluhur, arwah yang

meninggal, dan setan gentayangan.

Universitas Sumatera Utara


Ketika melangkah masuk ruang sembahyang juga harus kaki kiri dahulu

yang maknanya adalah kita harus mengutamakan sifat-sifat kebajikan kita.

Menancapkan hio dengan tangan kiri juga artinya kita akan selalu menancapkan

kebajikan di alam langit dan alam bumi.

Namun demikian, di dalam masyrakat awam timbul keyakinan bahwa

melangkah dengan kaki kiri akan membuat rezeki melimpah. Sebaliknya, jika

dimulai dengan langkah kaki kanan adalah mengacaukan tatanan alam semesta

dan mengundang bencana.

Pada umumnya orang Tionghoa (Buddha, Tao, dan Konfusius) melakukan

sembahyang (paisin) mengunakan 1 atau 3 batang hio. Secara sosioreligius ketiga

batang hio ini adalah indeks dari aspek-aspek berikut.

(a) Satu batang hio biasanya ditujukan dalam konteks berkomunikasi dengan

Kauw Siu Thao, Para Dewa-Dewi di rumah untuk hari biasa, kecuali Ce It

dan Cap Go setiap bulannya.

(b) Tiga batang hio umumnya untuk Pai Thien (Ti Kong) dan para Dewa-

Dewi.

(c) Lima batang hio biasanya untuk usaha atau perniagaan (oleh karena itu

khusus untuk Dewa Hok Tek Ceng Sin dan Dewa Cai Sen).

(d) Enam batang hio biasanya untuk keperluan orang lain.

(e) Tujuh batang hio biasanya untuk mohon khusus dan juga untuk sesuatu hal

membalikan kepada orang lain.

(f) Delapan batang hio biasanya dalam hal ini bila berbagai kesialan di dalam

hidup seseorang terus-menerus menimpanya.

Universitas Sumatera Utara


(g) Sembilan batang hio, sebagai indeks puji-pujian untuk semua makhluk dan

Dewa-Dewi (paling baik kalau melakukan paisin ini pada jam 9 malam di

rumah).

(h) Dua belas batang hio sebagai ikon agar semua makluk dapat kebahagiaan.

(i) Tiga puluh enam batang hio sebagai simbol kesuksesan dan keharmonisan.

(j) Seratus delapan batang hio bila terdesak oleh keadaan atau ada permintaan

khusus sekali.

Norma-norma menempatkan hio dalam konteks upacara paisin.

(1) Usahakan saat menancapkan hio membentuk pola berjejer seperti kipas.

(2) Tancaplah hio dengan hormat, jangan sembarangan.

(3) Khusus untuk 7 batang hio hanya digunakan bila terpaksa saja (keadaan

terdesak).

(4) Khusus menggunakan 108 batang hio merah untuk sembahyang kepada

Thien (Tuhan) tepat jam 12 malam. Lalu sampaikan permintaan atau

permohonan. Berdoa harus dengan hati yang tulus pada Thien. Setiap

habis melaksanakan upacara paisin (sembahyang), bakar Toa Kim satu

kunci, tulis nama, umur, shio dan alamat permohonan lalu dibakar di

tempat yang bersih. Lakukanlah 3 malam berturut-turut.

(5) Hio warna merah khusus mohon sesuatu.

(6) Hio warna kuning untuk sembayang biasa.

(7) Hio warna hijau biasanya untuk orang meninggal.

Umumnya dalam sistem religi Tao, lima batang hio melambangkan lima

arah. Tujuh batang melambangkan tujuh bintang utara. Dua belas batang

melambangkan dua belas satuan waktu bumi. Ini semua berkaitan dengan ritual

yang ditujukan untuk kasus-kasus khusus. Dua belas batang hio untuk permintaan

Universitas Sumatera Utara


kepada Thien dan harus dilakukan jam 12 malam karena saat itu suasana hening

dan sunyi. Jam 12 malam dilakukan sembahyang (paisin) ini berkaitan dengan

pergantian qi alam semesta, saat itu unsur Yang menguat dan unsur Yin melemah

dan dalam satuan pengertian zi pada 12 cabang bumi adalah mulainya sesuatu

yang baru. Artinya adalah berkaitan dengan perubahan waktu.

Ritual orang Tionghoa memiliki banyak nilai filsafatnya dan arti

tersembunyi, seperti mengapa harus menaruh hio di antara ke dua alis, kenapa

harus diletakkan di tengah dada dan sebagainya. Arti meletakkan hio di tengah

dada adalah menyalakan hio hati dan api hio hati itu harus selalu dijaga, artinya

adalah kita harus melakukan kebajikan dan biarlah kebajikan kita itu bagaikan

asap hio yang harum dan memberikan kebahagian kepada sekitar kita. Untuk

posisi di antara dua alis, ini berkaitan dengan titik jalan darah. Namun demikian,

dapat juga diartikan penghubung antara langit, bumi, dan manusia.

2.2.7 Masyarakat Tionghoa

Orang-orang Tionghoa (biasa disebut China) di Indonesia adalah salah

satu kelompok di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah

Tenglang (Hokien), Tenglang (Tiociu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa

Mandarin mereka disebut Tangren. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang

Tionghoa Indonesia mayoritas berasal dari China Selatan yang menyebut diri

mereka dengan orang Tang, sementara orang China Utara menyebut diri mereka

sebagai orang Han.

Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak

ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali

muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia

Universitas Sumatera Utara


dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari China menyatakan bahwa

kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-

dinasti yang berkuasa di China. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan

perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari China ke Nusantara dan

sebaliknya.

Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganega-

raan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional

Indonesia. Hal ini sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang

Kewarganegaraan Republik Indonesia.

2.3 Landasan Teori

Teori merupakan yang alat terpenting dari suatu pengalaman. Tanpa teori

hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu

pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973:10). Teori adalah landasan dasar keilmuan

untuk menganalisis berbagai fenomena. Teori adalah rujukan utama dalam

memecahkan masalah penelitian didalam ilmu pengetahuan.

Sebagai pedomaan dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan

teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas

dalam tulisan ini. Adapun teori yang penulis pergunakan adalah seperti teori yang

akan diuraikan sebagai berikut.

2.3.1 Teori Fungsionalisme

Untuk mengkaji fungsi dan makna dari tradisi puak poi, peneliti

menggunakan teori fungsionalisme yang ditawarkan oleh Malinowski. Teori

fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan dalam ilmu sosial, yang

Universitas Sumatera Utara


menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi (pranata-pranata)

dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan

bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi-institusi-institusi seperti: negara,

agama, keluarga, aliran, dan pasar terwujud.

Teori fungsionalisme dalam ilmu Antropologi mulai dikembangkan oleh

seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu

Bronislaw Malinowski (1884-1942). Malinowski lahir di Cracow, Polandia,

sebagai putera keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya adalah guru besar dalam

Ilmu Sastra Slavik. Jadi tidak mengherankan apabila Malinowski memproleh

pendidikan yang kelak memberikannya suatu karier akademik juga. Tahun 1908

Malinowski lulus Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dri Universitas Cracow. Yang

menarik, selama studinya Malinowski gemar membaca buku mengenai folkor dan

dongeng-dongeng rakyat, sehingga Malinowski menjadi tertarik kepada ilmu

psikologi. Malinowski kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt, di

Leipzig, Jerman (Koentjaraningrat, 1987:160).

Malinowski kemudian mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk

menganalisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori

fungsionalisme kebudayaan, atau a functional theory of culture. Malinowski

kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika

Malinowski menjadi guru besar Antropologi di University Yale tahun 1942.

Sayangnya tahun itu Malinowski juga meninggal dunia. Buku mengenai

fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Crains dan

menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski, 1944).

Selanjutnya Malinowski (T.O. Ihromi 2006), mengajukan sebuah orientasi

teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa

Universitas Sumatera Utara


semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu terdapat.

Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan

mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang telah menjadi kebiasaan, setiap

kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu

masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang

bersangkutan. Menurut Malinowski, fungsi dari satu unsur budaya adalah

kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa

kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para

warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan, reproduksi

(melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan,

kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi

kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu, muncul

kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang harus juga

dipenuhi oleh kebudayaan.

Ahli teori fungsionalisme dalam disiplin antropologi lainnya, Radcliffe-

Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial

masyarakatnya. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-

individu dapat berganti setiap waktu. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang

melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat,

mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada

keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah

untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikan

Radcliffe-Brown berikut ini.

By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a


partial activity makes of the total activity of which it is a part. The
function of a perticular social usage is the contribution of it makes to
the total social life as the functioning of the total social system. Such

Universitas Sumatera Utara


a view implies that a social system ... has a certain kind of unity,
which we may speak of as a functional unity. We may define it as a
condition in which all parts of the social system work together with a
sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without
producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated
(1952:181).

Sejalan pula dengan pandangan Radcliffe-Brown, artefak budaya puak poi

dalam kebudayaan Tionghoa, dapat dianggap sebagai bahagian dari struktur sosial

masyarakatnya. Puak poi pada upacara paisin dalam budaya Tionghoa ini adalah

salah satu artefak dan sekaligus sebahagian aktivitas yang dapat menyumbang

kepada keseluruhan aktivitas masyarakat, yang pada masanya akan berfungsi bagi

kelangsungan kehidupan budaya masyarakat pengamalnya dalam hal ini

masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar. Fungsinya lebih jauh adalah untuk

mencapai tingkat harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu,

dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi sosial dan budaya dalam masyarakat

Tionghoa di Pematangsiantar, misalnya lingkungan yang heterogen secara etnik di

Sumatera Utara, penguatan identitas dan kumpulan etnik di dalam masyarakat

Tionghoa, masalah perubahan kebudayaan, transmisi nilai-nilai religi baru yang

merubah nilai-nilai religi lama, dan masalah-masalah sosial dan kebudayaan

lainnya.

2.3.2 Teori Semiotik

Dalam membahas makna-makna yang terkandung dalam tradisi puak poi

pada masyarakat Tionghoa, secara lebih mendetail, penulis menggunakan teori

semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Semiotik berasal dari bahasa

Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik adalah model penelitian sastra

dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut dianggap mewakili sesuatu

Universitas Sumatera Utara


objek secara representative. Istilah semiotik sering digunakan dengan bersama

dengan istilah semiologi. Istilah pertama merujuk pada sebuah disiplin sedangkan

istilah kedua merujuk pada ilmu tentangnya. Baik semiotik atau semiologi sering

digunakan bersama-sama, tergantung di mana istilah itu popular (Endaswara,

2008:64)

Menurut Barthes dalam (Kusumarini, 2006), “denotasi adalah tingkat

pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas,

menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat

pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya

beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.”

Barthes adalah penerus pemikiran Saussure tertarik pada cara kompleks

pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna. Di sisi

lain, Barthes kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama dapat saja

menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.

Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi

antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi

antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh

penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan order of signification,

mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda

yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan

Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-

signified yang diusung Saussure.

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang menandai

suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan,

jadi setelah terbentuk system sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi

Universitas Sumatera Utara


penanda baru yang kemudian memiliki pertanda kedua dan membentuk tanda

baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian

berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan

menjadi mitos.

Dalam konteks penelitian ini penulis menggunakan teeori semiotik yang

ditawarkan Barthes tersebut. Penulis mengkaji makna-makna pada artefak, yang

mencakup: (a) puak poi itu sendiri, (b) benda-benda upacara di dalam aktivitas

paisin (sembahyang) seperti: dupa, hio (warna, jumlah, asap), (c) “jawaban” dari

hasil lemparan puak poi, (d) altar, dan lain-lainnya. Selain itu juga, penulis

mengkaji makna-makna teks (bahasa) yang ditanyakan oleh para penanya dalam

upacara paisin ini melalui media puak poi. Makna yang dikaji adalah mencakup

makna denotatif dan konotatif dengan pendekatan semiotik Barthes.

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Melihat keberadaan manusia di dunia ini, maka kita akan dapat menemukan

berbagai keberadaannya yang kompleks. Mulai dari ia adalah makhluk hidup, tetapi

tidak dikategorikan sebagai hewan atau tumbuhan, sampai ia adalah makhluk yang

khas, yang dianugerahi Tuhan akal, pikiran, dan perasaan. Manusia terdiri dari unsur

fisik dan juga roh. Manusia merupakan makhluk yang semestinya menjadi pemimpin di

muka bumi ini, dan lain-lainnya.

Manusia di dalam kerangka menjalani kehidupannya melakukan usaha-usaha

ekonomis yang sering disebut sebagai mata pencaharian. Dalam hal ini, manusia

memberdayakan alam sekitarnya. Dalam konteks tersebut ia berdoa kepada Tuhan Yang

Maha Kuasa untuk memberikan rezeki, keberhasilan dalam hidup, memiliki keturunan

yang berguna bagi sesamanya, dan aspek-aspek lain, yang diekspresikan di dalam

sistem religi atau agama yang dianutnya. Manusia juga belajar dari sesama mereka dan

juga dari alam, dan membentuk sistem pendidikan. Selanjutnya manusia adalah

makhluk sosial yang membentuk ikatan-ikatan dan integrasi yang terwujud dalam

berbagai organisasi kemasyarakatan. Selain itu dalam rangka berkomunikasi

menggunakan ujaran-ujaran dengan sistem tertentu yang lazim disebut dengan bahasa.

Manusia juga dalam usahanya mempermudah kerja menghasilkan teknologi. Makhluk

manusia memiliki kebutuhan akan keindahan yang disebut dengan kesenian.

Universitas Sumatera Utara


Keseluruhan unsur-unsur budaya tersebut biasanya mengandung tiga wujud,

yaitu berupa: gagasan, kegiatan, dan benda-benda. Misalnya di dalam sistem organisasi

di Indonesia, dikenal konsep gotong-royong, yang mendasari semua orang Indonesia

selalu bekerjasama dalam bekerja terutama kerja komunal. Konsep ini kemudian

diterapkan dalam berbagai aktivitas seperti membuat jalan raya bersama, bekerja di

ladang bersama-sama secara bergiliran, dan lainnya. Konsep dan kegiatan dalam

kerangka gotong royong ini akan menghasilkan benda-benda atau artefak seperti

kentongan untuk berkumpul, balai desa tempat rapat dan musyawarah, peralatan-

peralatan pertanian (cangkul, sabit, tajak), alat-alat nelayan (jaring, perahu, jala, pukat,

sondong), dan masih banyak lagi yang lainnya. Dalam situasi yang demikianlah

manusia menghasilkan kebudayaan.

Kata budaya atau kebudayaan 1 dalam bahasa Indonesia, berasal dari bahasa

Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi (budi atau

akal), yang lazim diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal

manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata

Latin colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Dapat diartikan juga sebagai mengolah

tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam

bahasa Indonesia (Koentjaraningrat, 1982:9). Di sisi lain, Supartono berpendapat bahwa

kebudayaan berasal dari kata budi dan daya. Budi adalah akal yang merupakan unsur

rohani dalam kebudayaan, sedangkan daya berarti perbuatan atau ikhtiar sebagai unsur

1
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terdapat “perbedaan kecil” (nuansa) antara
istilah budaya dan kebudayaan. Kata budaya (bu.da.ya) n. 1. pikiran, akal budi; 2. adat istiadat; 3.
sesuatu mengenai kebudayaan yang telah berkembang (beradab, maju); 4. sesuatu yang menjadi
kebiasaan yang telah sukar diubah. Di sisi lain, kebudayaan (ke.bu.da.ya.an), n. 1. hasil kegiatan dan
penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat; 2. dalam ilmu
antropologi adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk
memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.

Universitas Sumatera Utara


jasmani, sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil dari akal dan ikhtiar manusia

(Supartono, 2001; Prasetya, 1998).

Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem yang terbentuk dari

perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Hal ini berkaitan erat dengan adanya

respon masyarakat terhadap budaya yang dinamis dan dalam kurun waktu tertentu,

sehingga akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam kumpulan

masyarakat tersebut. Termasuk masyarakat yang ada di Indonesia.

Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa (etnik) 2 yang sangat kaya dengan

beraneka ragam budaya yang menjadi bagian dari suku bangsa atau subsuku bangsa

tersebut. Kemajemukan kebudayaan tersebut tentunya akan melahirkan orientasi yang

majemuk pula, karena salah satu fungsi kebudayaan bagi masyarakat adalah sebagai

sumber nilai yang menjadi objek orientasinya (Bangun, 1981:12). Termasuk masyarakat

Tionghoa yang ada di Indonesia.

Masyarakat Tionghoa ini didukung oleh kelompok-kelompok etnik seperti:

Tenglang (Hokkian), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka), Khek, Kwong Fu,

dan lain-lain. Orang-orang Hokkian adalah salah satu pendukung masyarakat Tionghoa

di Indonesia. Orang-orang Tionghoa ini, secara antropologi dapat dipandang sebagai


2
Etnik, kelompok etnik (ethnic group) atau dalam bahasa Indonesia suku bangsa atau suku
menurut disiplin ilmu antropologi adalah (misalnya Narroll, 1964), sebagai populasi yang: (1) secara
bilogis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar
akan rasa kebersamaan dalam sebuah bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi
sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat
dibedakan dari kelompok populasi lain.Dalam konteks menganalisis kelompok etnik ini adalah
pentingnya asumsi bahwa mempertahankan batas etnik tidaklah penting, karena hal ini akan terjadi
dengan sendirinya, akibat adanya faktor-faktor isolasi seperti: perbedaan ras, budaya, sosial,dan bahasa.
Asumsi ini juga membatasi pemahaman berbagai faktor yang membentuk keragaman budaya. Ini
mengakibatkan seorang ahli antropologi berkesmpulan bahwa setiap kelompok etnik mengembangkan
budaya dan bentuk sosialnya dalam kondisi terisolasi. Ini terbentuk karena faktor ekologi setempat yang
menyebabkan berkembangnya kondisi adaptasi dan daya cipta dalam kelompok tersebut. Kondisi seperti
ini telah menghasilkan suku bangsa dan bangsa yang berbeda-beda di dunia. Tiap bangsa memiliki
budaya dan masyarakat pendukung tersendiri.

Universitas Sumatera Utara


salah satu masyarakat yang didukung oleh beberapa kelompok etnik 3 di Indonesia yang

berintegrasi dengan etnik-etnik dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI). Dalam bahasa Mandarin, orang Tionghoa disebut Tangren (Hanzi: 唐 人 ,

"orang Tang") atau lazim disebut Huaren (Hanzi Tradisional: 華人 ; Hanzi Sederhana :

华人) . Disebut Tangren dikarenakan sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa

di Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok selatan yang menyebut diri mereka

sebagai orang Tang, sementara orang Tiongkok utara menyebut diri mereka sebagai

orang Han (Hanzi: 漢 人 , Hanyu Pinyin: Hanren, "orang Han"). Tionghoa atau

Tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Tionghoa di

Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam

dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.

Berbicara masyarakat Tionghoa tidak lepas dari kebudayaan Tionghoa itu

sendiri, yang selalu berhubungan dengan simbol keberuntungan yang sangat kaya dan

terbentuk dari kebudayaan leluhur masyarakat Tionghoa sejak zaman prasejarah

3
Orang-orang Tionghoa yang terdapat di Indonesia dapat dikategorikan sebagai sebuah
masyarakat yang memiliki asal-usul yang sama, yakni dari daratan Tiongkok, yang kini
membentuk negara bangsa yang disebut dengan awalnya Republik Takyat China kini menjadi
Republik Rakyat Tiongkok. Mereka ini terdiri dari berbagai suku bangsa, yang memiliki
kebudayaan dan bahasa yang berbeda-beda. Namun mereka dapat disebuit sebagai orang-orang
Tionghoa. Masyarakat yang dimaksud di dalam skripsi ini adalah sesuai dengan definisi dari
Koentjaraningrat, masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem
adat-istiadat tertentu yang bersifiat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama
(1990:146-147). Definisi itu menyerupai suatu definisi yang diajukan oleh J.L. Gillin dan J.P. Gillin
dalam buku mereka Cultural Sociology (1954:139), yang merumuskan bahwa masyarakat atau society
adalah: ... the largest grouping in which common customs, traditions, attitudes and feelings of unity are
operative." Unsur grouping dalam definisi itu menyerupai unsur "kesatuan hidup" dalam definisi kita,
unsur common customs, traditions, adalah unsur "adat-istiadat", dan unsur "kontinuitas" dalam definisi
kita, serta unsur common attitudes and feelings of unity adalah sama dengan unsur "identitas bersama.”
Suatu tambahan dalam definisi Gillin adalah unsur the largest, yang "terbesar," yang memang tidak kita
muat dalam definisi ini. Walaupun demikian konsep itu dapat diterapkan pada konsep masyarakat sesuatu
bangsa atau negara, seperti misalnya konsep masyarakat Indonesia, masyarakat Filipina, masyarakat
Belanda, masyarakat Amerika, dalam contoh di atas.

Universitas Sumatera Utara


kemudian menjadi salah satu tulang punggung transformasi kebudayaan Tionghoa

selama ribuan tahun dalam sejarahnya. Simbol-simbol keberuntungan itu oleh orang

Tionghoa kemudian divisualisasikan dan dimaterialisasikan. Bentuk visual dan

materialnya dapat seperti dupa, kertas paisin, bahkan puak poi digunakan dalam upacara

paisin oleh masyarakat Tionghoa sebagai salah satu simbol.

Setiap kebudayaan memiliki sistem religi atau sistem kepercayaan, termasuk

dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa di manapun mereka berada, termasuk di

Indonesia, juga lebih khusus di Pematangsiantar. Mereka selalu melestarikan

kebudayaan dari leluhur mereka terdahulu. Masyarakat Tionghoa ini mengembangkan

dan membangun sistem kepercayaan atau keyakinannya. Sistem keyakinan

mempengaruhi dalam kebiasaan bagaimana memandang hidup dan kehidupan.

Termasuk di dalamnya adalah menghormati leluhur atau moyangnya.

Orang-orang Tionghoa, sejak awal nenek moyang mereka ada di daratan China,

mereka tetap memegang teguh kepercayaan tradisional ini namun dengan polarisasi

sosial dan budaya yang berbeda-beda, terutama ketika orang tersebut manganut agama-

agama di luar Konghucu, Buddha, dan Tao. Dalam kepercayaan tradisional ini dikenal

konsep tiga alam sebagai inti dari kepercayaan tradisional Tionghoa. Leluhur orang

Tionghoa percaya bahwa, tiga alam ini mempunyai peranannya masing-masing dalam

menjaga keseimbangan alam semesta. Ketiga alam tersebut tidak dapat dipisahkan dan

berdiri sendiri tanpa kedua alam lainnya. Ketiga alam ini terdiri atas:(1) Alam Langit,

(2) Alam Bumi, dan (3) Alam Baka.

Dalam kepercayaan tradisional, leluhur orang Tionghoa mempercayai bahwa

kehidupan setelah meninggal, yaitu di Alam Baka, lebih kurang sama dengan kehidupan

Universitas Sumatera Utara


manusia di dunia ini. Dalam perkembangannya, terutama bagi orang Tionghoa yang

beragama Buddha, kepercayaan mengenai Alam Baka ini kemudian menyelaraskannya

dengan konsep dan kepercayaan terhadap reinkarnasi dalam agama Buddha. Ini

ditandai dengan kepercayaan roh yang hidup di Alam Baka dan akan terlahir kembali ke

dunia sebagai manusia atau makhluk apapun, tetapi mereka lupa dengan kehidupan

sebelumnya. Perbedaan yang mendasar adalah kepercayaan tradisional ini menganggap

manusia hanya akan terlahir kembali sebagai manusia dan tidak sebagai makhluk

lainnya. Tiga alam ini mempunyai hubungan antar satu sama lain dan dapat berinteraksi

(Reny, 2012).

Di dalam agama Buddha, istilah reinkarnasi (diserap dari bahasa Latin untuk

memaknai sebagai "lahir kembali" atau "kelahiran semula") atau t(um)itis (bahasa Jawa)

yang merujuk kepada kepercayaan bahwa seseorang itu akan mati dan dilahirkan

kembali dalam bentuk kehidupan lain. Yang dilahirkan itu bukanlah wujud fisik

sebagaimana keberadaan kita saat ini. Yang lahir kembali itu adalah jiwa orang tersebut

yang kemudian mengambil wujud tertentu sesuai dengan hasil perbuatannya terdahulu.

Terdapat dua aliran utama reinkarnasi ini. Pertama, mereka yang mempercayai

bahwa manusia akan terus menerus lahir kembali. Kedua, mereka yang mempercayai

bahwa manusia akan berhenti lahir semula pada suatu ketika apabila mereka melakukan

kebaikan yang mencukupi, atau apabila mendapat kesadaran agung (nirvana) atau

menyatu dengan Tuhan (moksha).

Kelahiran kembali adalah suatu proses penerusan kelahiran pada kehidupan

sebelumnya. Dalam agama Hindu dan Buddha, kepercayaan kepada reinkarnasi

mengajarkan manusia untuk sadar terhadap kebahagiaan yang sebenarnya dan

Universitas Sumatera Utara


bertanggung jawab terhadap nasib yang sedang diterimanya. Selama manusia terikat

pada siklus reinkarnasi, maka hidupnya tidak luput dari dukha. Selama jiwa terikat pada

hasil perbuatan yang buruk, maka ia akan bereinkarnasi menjadi orang yang selalu

duka. Dalam ajaran Hindu dan Buddha, proses reinkarnasi memberi manusia

kesempatan untuk menikmati kebahagiaan yang tertinggi. Hal tersebut terjadi jika

manusia tidak terpengaruh oleh kenikmatan maupun kesengsaraan duniawi sehingga

tidak pernah merasakan duka, dan apabila mereka mengerti arti hidup yang sebenarnya

(wawancara dengan informan Aliang di Pematangsiantar 21 Januari 2015).

Masa roh manusia di Alam Baka ketika dalam proses reinkarnasi juga dapat

berkomunikasi dengan manusia khususnya kerabat yang hidup di dunia. Cara

berkomunikasi itu adalah sembahyang (paisin) dan juga melalui artefak kultural yang

disebut puak poi.

Secara umum, kepercayaan tradisional Tionghoa (termasuk Tao, Konghucu, dan

Buddha), mementingkan ritual penghormatan kepada leluhur. Hal ini dikarenakan

pengaruh ajaran Konfusianisme yang mengutamakan bakti kepada orang tua termasuk

leluhur jauh. Leluhur orang Tionghoa sebelum mengenal agama dan filsafat, telah

terlebih dahulu mengenal penghormatan pada leluhur. Penghormatan leluhur ini

kemudian menjadi titik tolak dan dasar dari kepercayaan tradisional Tionghoa yang

muncul lebih dahulu ada, dibandingkan daripada semua agama yang ada di Tiongkok.

Evolusi kepercayaan tradisional Tionghoa ini kemudian mempercayai bahwa

manusia setelah meninggal akan menuju ke Alam Baka, namun bagi manusia yang

dianggap mempunyai kontribusi dan jasa besar bagi masyarakat mendapat pengecualian

untuk berdomisili di Alam Langit. Alam Langit dan Alam Baka, juga dipercaya

Universitas Sumatera Utara


mempunyai pemerintahan, kehidupan interaksi masyarakat yang mirip dengan alam

manusia. Atas dasar kepercayaan inilah, uang emas (kim cua) dan uang perak (gin cua)

diciptakan. Uang emas adalah diperuntukkan bagi Dewa dan Dewi di Alam Langit.

Uang perak diperuntukkan bagi roh manusia di Alam Baka. Uang perak juga

diperuntukkan bagi roh manusia yang gentanyangan di alam manusia (hantu). Dalam

konteks komunikasi kepada Dewa dan Dewi serta roh-roh nenek moyang di Alam Baka

tersebut, masyarakat Tionghoa (terutama yang beragama Buddha, Tao, dan Konfusius)

melakukan ritual yang disebut dengan paisin.

Budaya sistem kosmologi masyarakat Tionghoa yang beragama Konghucu,

Buddha, dan Tao juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh ajaran kepercayaan terhadap

Dao. Ajaran dari sistem kosmologi mengenai Dao adalah mempercayai bahwa semua

bagian dari kosmos adalah milik satu organik yang menyeluruh (Dao). Dengan

demikian, kerukunan (harmoni) dan keteraturan harus dipelihara setiap saat di dalam

jiwa individu, di dalam setiap aspek kehidupan sosial dan di dalam seluruh kosmos agar

semua ciptaan hidup dan berfungsi secara sempurna. Semua yang ada, termasuk

manusia, berasal dari Dao dan masing-masing mempunyai tempat yang tepat di

dalamnya. Inti dari Dao adalah mengajarkan bahwa ketidakharmonisan batin kita

dengan Dao adalah bahan penting yang hilang dari agama dan kehidupan yang benar.

Untuk menjalani kehidupan yang baik dan berdamai dengan alam semesta, seseorang

perlu hidup harmonis dengan Dao.

Dao dianggap sebagai sumber utama dan sifat dasar semua ciptaan. Segala

sesuatu adalah hasil dari Dao dan segala sesuatu menuju kepada Dao. Setiap mahluk

hidup atau benda memiliki Dao di dalamnya dan merupakan bagian dari Dao. Hal ini

Universitas Sumatera Utara


membuat setiap mahluk hidup, baik hewan atau tumbuhan, tanpa terelaknya

berhubungan dengan Dao. Oleh karena itu, seseorang tidak dapat melawan aliran

harmonis dari alam. Jika seseaorang melakukannya akan menciptakan chaos di dalam

keseluruhan Dao dan menyebabkan ketidakseimbangan yang hebat. (Tong, 2010:23)

Begitu juga dengan puak poi di mana dipercayai bahwa artefak ritual ini

mengandung Dao, yang menjadi media penyalur keseimbangan hubunguan harmonis

antara manusia dengan Tuhan, Dewa dan Dewi, roh-roh leluhur, makhluk gaib, dan

lainnya. Manusia hanya dapat berkomunikasi dengan unsur-unsur tersebut melalui puak

poi. Itu sebabnnya di dalam setiap ritual masyarakat Tionghoa yang berhubungan

dengan komunikasi kepada Tuhan, Dewa dan Dewi, roh-roh leluhur, makhluk gaib,

selalu ditemukan puak poi sebagai media perantara. Keseluruhan ritual ini lazim disebut

sebagai paisin.

Paisin adalah suatu bentuk kegiatan keagamaan yang menghendaki terjalinnya

hubungan dengan Tuhan (Thien), Dewa, Dewi, roh-roh nenek moyang, atau kekuatan

gaib yang dipuja, dengan melakukan kegiatan yang disengaja. Paisin dapat dilakukan

secara bersama-sama atau perseorangan. Dalam beberapa tradisi agama yang dianut

masyarakat Tionghoa, paisin dapat melibatkan nyanyian berupa himne, tarian,

pembacaan naskah agama dengan dinyanyikan atau disenandungkan, pernyataan formal

kredo, atau ucapan spontan dari orang yang berdoa (www.wikipedia.com Tradisi

Masyarakat Tionghoa).

Agama Buddha juga selalu menggunakan ritual paisin. Kegiatan berpaisin ini

ada yang mengaturnya dengan cara dapat dilakukan kapan saja dan oleh siapa saja.

Namun demikian, dalam beberapa komunitas agama Buddha dan Konghucu,

Universitas Sumatera Utara


mengaturnya dengan cara meritualkan kegiatan ini dengan berdasarkan waktu, tata cara,

dan urutan. Ada juga yang menerapkan aturan ketat mengenai apa saja yang harus

disediakan, misalnya benda persembahan (sesaji), serta kapan ritual itu harus dilakukan.

Puak poi adalah salah satu benda yang sering dijadikan tanda jawaban dari

Tuhan, Dewa, Dewi, roh-roh nenek moyang, dan makhluk alam gaib di dalam upacara

paisin orang-orang Tionghoa, terhadap pertanyaan-pertanyaan para pelaku upacara

paisin. Puak poi juga menjadi sarana bertanya kepada Tuhan dan Dewa untuk

mengobati orang yang sedang sakit, dengan obat apa ia disembuhkan. Dengan

demikian, secara umum, puak poi ini juga adalah ekspresi budaya rakyat, yang dapat

dijadikan sarana bertanya untuk berbagai hal kepada Tuhan/Dewa, roh leluhur, dan

mahkluk gaib, yang tidak dapat dijawab oleh manusia pada umumnya. Di dalam semua

yang berkaitan dengan puak poi.

Secara harfiah puak poi juga memiliki arti sebagai berikut: puak adalah meminta

petunjuk dengan melemparkan; sedangkan poi memiliki arti jadi atau terjadilah.

Menurut penjelasan Susanto Wijaya (informan penulis) puak poi dalam budaya China

telah ada sejak ribuan tahun lalu yang digunakan sebagai petunjuk mengenai apapun

kehidupan mereka. Puak poi merupakan salah satu benda dan sarana yang digunakan

untuk menanyakan hal yang ingin ditanyakan pada para Dewa atau roh leluhur, yang

telah diwariskan oleh nenek moyang dan perlu dilestarikan. Menurut pengamatan dan

pengalaman penulis puak poi ini dijumpai pada sebahagian besar upacara paisin

masyarakat Tionghoa.

Puak poi terbuat dari dua potong batang bambu, masing-masing berbentuk

setengah lingkaran. Kedua puak poi ini, sisi satunya cembung dan sisi satunya cekung.

Universitas Sumatera Utara


Pada masa sekarang boleh dibuat dari bahan kayu (apa saja jenisnya). Zaman dahulu

puak poi berwarna seperti warna asli bambu, sedangkan pada saat sekarang ini puak poi

sebahagian besar terbuat dari kayu yang keseluruhan permukaan luarnya dicat warna

merah. Dalam kebudayaan Tionghoa, warna merah merupakan simbol keagungan atau

kehokian.

Adapun cara menggunakan puak poi dalam konteks upacara paisin tersebut

adalah sebagai berikut. Sebelum melemparkannya ke atas secara vertikal, terlebih

dahulu puak poi tersebut diasapi terlebih dahulu pada hio pada dupa yang telah dibakar,

sehingga ujungnya mengeluarkan asap. Kemudian puak poi tersebut diputar kedua

telapak tangan orang yang melakukan ritual paisin, mengelilingi hio dari arah kiri ke

kanan kemudian orang tersebut melemparkan puak poi ke lantai. Kegiatan ritual

menggunakan puak poi seperti itu juga dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di

Pematangsiantar.

Pematangsiantar sebagai salah satu kota di Sumatera Utara yang dimukimi

orang-orang Tionghoa. Mereka ini ada yang beragama Buddha, Konghucu, Kristen,

Islam, dan lainnya. Umumnya yang beragama Buddha, Konghucu (yang bersatu dengan

Tao) masih menjalankan ritual paisin secara rutin dan masih memegang kepercayaan

terhadap para leluhur dan Dewa. Masyarakat Tionghoa di kota ini ada yang percaya

fungsi dan makna dari puak poi tersebut. Mereka percaya bahwa puak poi tersebut

merupakan sarana komunikasi kepada Tuhan, Dewa dan roh leluhur yang dapat

memberikan petunjuk atas apa yang ingin ditanyakan seseorang pada saat paisin.

Contohnya mengenai pertanyaan tentang: karir, rezeki, nasib, kesehatan, pengobatan,

dan jodoh dalam rangka menjalani hidup di dunia ini.

Universitas Sumatera Utara


Puak poi juga banyak digunakan dalam upacara paisin, yang salah satunya pada

saat Ceng Beng. Pada saat Ceng Beng ini seluruh masyarakat Tionghoa akan ziarah ke

makam dan banyak sesajian yang disediakan. Biasanya puak poi juga digunakan untuk

menanyakan apakah para roh leluhur telah datang untuk makan, telah selesai makan,

dan telah mengizinkan para keluarga yang berziarah untuk pulang kembali ke rumahnya

masing-masing. Puak poi dalam konteks ini menjadi media perantara untuk

menfasilitasi komunikasi antara manusia dengan arwah leluhur. Dipercayai bahwa roh

leluhur akan menjawab melalui puak poi melalui tanda-tanda pada hasil lemparan di

depan kuburan ataupun meja persembahan yang telah dipenuhi oleh berbagai jenis

sesajian.

Keberadaan puak poi dalam upacara paisin, seperti diurai di atas sangat relevan

dikaji dari sisi ilmu budaya dan linguistik sekaligus sebagai ilmu yang penulis pelajari

dalam beberapa tahun belakangan ini. Untuk itu perlu dijabarkan sekilas mengenai dua

ilmu ini, yaitu ilmu antropologi budaya dan linguistik.

Pada prinsipnya, antropologi ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari manusia

dan budaya yang dihasilkan oleh manusia tersebut. Antropologi budaya membantu kita

memahami berbagai adat dan tingkah laku yang dianut oleh masyarakat yang berbeda.

Di Inggris, bidang antropologi budaya awalnya disebut sebagai antropologi sosial.

Bidang ini berkaitan dengan kajian budaya yang berhubungan dengan struktur sosial,

agama, politik, dan berbagai faktor lainnya. Ruang lingkup bidang antropologi sangat

luas. Berbagai perubahan yang terjadi di dalam masyarakat akan tercermin dalam adat,

tingkah laku (prilaku), dan bahasa. Berbagai perubahan ini secara bersama-sama

Universitas Sumatera Utara


mengungkapkan gambaran terhadap budaya masyarakat tertentu, yang disebut sebagai

budaya.

Antropologi budaya adalah cabang antropologi yang mempelajari variasi budaya

manusia. Antropologi budaya mempelajari fakta tentang pengaruh politik, ekonomi, dan

faktor-faktor lain, dari budaya lokal yang terdapat di suatu daerah tertentu. Para

ilmuwan yang bekerja di bidang ini, dikenal sebagai antropolog budaya. Fakta dan data

budaya biasanya diperoleh melalui berbagai metode seperti survei, wawancara,

observasi, perekaman data, pengamatan terlibat (partisipant observer), pendekatan

emik dan etik, dan lainnya.

Dalam sejarah ilmu pengetahuan, penelitian di bidang antropologi budaya

dimulai pada abad ke-19. Antropologi budaya mulai berkembang dengan bantuan upaya

yang dilakukan oleh ilmuwan antropologi Edward Tylor, J.G Frazen, dan Edward Tylor.

Mereka menggunakan bahan-bahan etnografis yang dikumpulkan oleh para pedagang,

penjelajah, dan misionaris untuk tujuan referensi. Dengan demikian, antropologi budaya

adalah cabang ilmu antropologi yang khusus mempelajari berbagai variasi budaya

manusia.

Dalam kaitannya dengan penulis skripsi sarjana ini, ilmu antropologi budaya

digunakan untuk mengkaji struktur dan makna puak poi pada upacara paisin, dalam

konteks kebudayaan masyarakat Tionghoa yang beragama Buddha dan Konghucu

(bersatu dengan Tao) di Kota Pematangsiantar. Ilmu ini juga digunakan untuk

membantu mengkaji sejauh apa fungsi sosiobudaya artefak puak poi ini di dalam

kebudayaan masyarakat Tionghoa baik itu yang etniknya: Hokkian, Kwong Fu, Hakka,

Khek, dan lainnya.

Universitas Sumatera Utara


Selanjutnya yang dimaksud bahasa dan ilmu bahasa adalah sebagai berikut. Ilmu

bahasa dinamakan linguistik. Kata linguistik berasal dari kata Latin lingua. Lingutsik

modern berasal dari sarjana Swiss Ferdinand de Saussure. De Saussure membedakan

langue dan langage. Ia membedakan juga parole dari kedua istilah tersebut. Bagi de

Saussure, langue adalah salah satu bahasa (misalnya bahasa Prancis, bahasa Inggris,

atau bahasa Indonesia) sebagai suatu sistem. Sebaliknya, langage berarti bahasa sebagai

sifat khas makhluk manusia, seperti dalam ucapan, "Manusia memiliki bahasa, binatang

tidak memiliki bahasa." Parole (tuturan) adalah bahasa sebagaimana dipakai secara

konkret. Ilmu linguistik sering disebut linguistik umum, artinya linguistik tidak hanya

menyelidiki salah satu bahasa saja, tetapi linguistik itu menyangkut bahasa pada

umumnya. Dengan memakai istilah de Saussure, dapat dirumuskan bahwa linguistik

tidak hanya meneliti salah satu langue saja, tetapi juga langage, yaitu bahasa pada

umumnya. Objek kajian linguistik adalah bahasa. Yang dimaksud bahasa di sini adalah

bahasa dalam arti sebenarnya, yaitu bahasa yang digunakan oleh manusia sebagai alat

komunikasi, bukan bahasa dalam arti kias.

Sebagai objek kajian linguistik, parole merupakan objek konkret karena parole itu

berwujud ujaran nyata yang diucapkan oleh para bahasawan dari suatu masyarakat

bahasa. Langue merupakan objek yang abstrak karena langue itu berwujud sistem suatu

bahasa tertentu secara keseluruhan, sedangkan langage merupakan objek yang paling

abstrak karena dia berwujud sistem bahasa secara universal. Yang dikaji linguistik

secara langsung adalah parole itu, karena parole itulah yang berwujud konkret, nyata,

yang dapat diamati atau diobservasi. Kajian terhadap parole dilakukan untuk

Universitas Sumatera Utara


mendapatkan kaidah-kaidah suatu langue dan dari kajian terhadap langue ini akan

diperoleh kaidah-kaidah langage, kaidah bahasa secara universal.

Secara populer, orang sering menyatakan bahwa linguistik adalah ilmu tentang

bahasa atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, atau lebih tepat lagi

telaah ilmiah mengenai bahasa manusia. Ilmu linguistik sering jugs disebut linguistik

umum (general linguistics). Artinya, ilmu linguistik itu tidak hanya mengkaji sebuah

bahasa saja, seperti bahasa Mandailing atau bahasa Arab, melainkan mengkaji seluk

beluk bahasa pada umumnya, bahasa yang menjadi alat interaksi sosial milik manusia,

yang dalam peristilahan Prancis disebut langage. Untuk jelasnya perhatikan contoh

berikut. Kata bahasa Indonesia perpanjang dapat dianalisis menjadi dua buah morfem,

yaitu morfem per- dan panjang. Morfem per- disebut sebagai morfem kausatif karena

memberi makna 'sebabkan jadi', perpanjang berarti 'sebabkan sesuatu menjadi panjang'.

Sekarang perhatikan bahasa Inggris (to) be friend yang berarti 'menjadikan sahabat'. Di

sini jelas ada morfem be- dan friend, dan morfem be- juga memberi makna kausatif.

Perhatikan pula kata bahasa Belanda vergroot 'perbesar'. Jelas di situ ada morfem

kausatif ver- dan morfem dasar groot yang berarti 'besar'. Dengan membandingkan

ketiga contoh itu, kita mengenali adanya morfem pembawa makna kausatif baik dalam

bahasa Indonesia, bahasa Inggris, maupun bahasa Belanda, ataupun dalam bahasa lain.

begitulah bahasa-bahasa di dunia ini meskipun banyak sekali perbedaannya, tetapi ada

pula persamaannya. Ada ciri-ciri yang universal. Hal seperti itulah yang diteliti

linguistik. Maka karena itulah linguistik sering dikatakan bersifat umum, dan karena itu

pula nama ilmu ini, linguistik, biasa juga disebut linguistik umum.

Universitas Sumatera Utara


(https://www.google.co.id/?gws_rd= cr,ssl&ei= qRGzVb2oLJWPuATulp DoCQ#q

=definisi+ilmu+bahasa).

Dengan latarbelakang seperti yang telah dideskripsikan di atas, maka penulis

tertarik untuk meneliti fungsi dan makna puak poi pada upacara paisin dalam

kebudayaan masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar, dengan pendekatan ilmu budaya

dan bahasa atau linguistik. Adapun judul skripsi sarjana ini adalah: “Fungsi dan Makna

Puak Poi pada Upacara Paisin dalam Kebudayaan Masyarakat Tionghoa di

Pematangsiantar.” Latar belakang penelitian ini dapat digambarkan melalui Bagan 1.1

sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara


Bagan 1.1

Latar Belakang Penelitian Fungsi dan Makna Puak Poi dalam Upacara

Paisin dalam Kebudayaan Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar.

Antropologi Fungsi

Paisin ( Sembahyang)
Linguistik Makna
Artefak Puak Poi

i
as
Teori Fungsionalisme

ik
un
om
K
Semiotik
Manusia

Model Penelitian Kualitatif

Alam Baka Alam Langit


Alam Bumi (Roh Leluhur, (Tuhan [Thien]
Makhluk Gaib) Dewa, Dewi)

DAO

Sistem Religi : Buddha, Konghucu, Kristen, Islam, dll

Etnik: Hokkian, Hakka, Khek, Kwong Fu, dll

Pematangsiantar, Indonesia

Masyarakat Tionghoa dan Kebudayaan di Negeri Tiongkok /


di Perantauan (Hua Ren)

Universitas Sumatera Utara


1.2 Batasan Masalah

Setiap penulisan karya ilmiah pastilah bertitik tolak dari adanya masalah yang

dihadapi dan perlu untuk dipecahkan. Agar penulisan skripsi ini terhindar dari batasan

yang terlalu luas dan kesimpangsiuran dalam menafsirkan, maka penulis akan

membatasi permasalahan pada fungsi dan makna puak poi pada upacara paisin

masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar.

1.3 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dikemukakan dan diuraikan oleh penulis

diatas, maka, penulis membuat rumusan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana fungsi puak poi pada upacara paisin masyarakat Tionghoa di Kota

Pematangsiantar?

2. Bagaimana makna puak poi pada upacara paisin masyarakat Tionghoa di kota

Pematangsiantar?

1.4 Tujuan Penelitian

Melalui penelitian ini, penulis memiliki tujuan yang ingin dicapai. Tujuan

penelitian adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis fungsi puak poi pada upacara paisin dalam kehidupan

masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar.

2. Menganalisis makna puak poi pada upacara paisin dalam kehidupan

masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar.

Universitas Sumatera Utara


1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang dapat diambil dari hasil penelitian adalah

penulis bagi ke dalam dua jenis manfaat, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis.

Kedua manfaat ini dijabarkan sebagai berikut.

1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk mengembangkan pengetahuan dan

pemahaman tentang makna puak poi pada masyarakat Tionghoa secara umum dan pada

masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar secara khusus. Selain itu juga untuk

mengetahui fungsi dari puak poi dalam kehidupan sehari-hari.Penelitian ini juga

diharapkan dapat menjadi referensi ataupun dapat dijadikan sebagai bahan

perbandingan penelitian-penelitian yang akan datang.

1.5.2 Manfaat Praktis

Melalui penelitian ini diharapkan masyarakat Tionghoa secara umum, maupun

masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar khususnya dapat memahami fungsi dan

makna dari puak poi tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAKSI

Skripsi sarjana ini berjudul Fungsi dan Makna Puak Poi pada Upacara
Paisin dalam Budaya Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar. Tujuan
penelitian dalam menulis skripsi ini adalah mengetahui dua aspek dari eksistensi
puak poi pada upacara paisin dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa di
Pematangsiantar, yaitu: (a) fungsi dan (b) makna (bahasa dan budaya).Metode
penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang ditulis
secara deskriptif. Metode pengumpulan data dilakukan melalui studi lapangan
berupa: wawancara, observasi, perekaman upacara dan penggunaan puak poi,
pengamatan terlibat (participant observer), dan studi kepustakaan. Narasumber
kunci yang didapat di lapangan adalah dua orang saikong yang berkompeten.
Pengamatan upacara paisin dilakukan kepada para pelakunya dengan mengambil
beberapa peristiwa upacara di Pematangsiantar, sesuai dengan tema komunikasi
dalam upacara paisin ini, yaitu: rezeki, jodoh, pengobatan, kerja, pembersihan
altar keluarga, dan lain-lain. Penelitian ini menggunakan dua teori utama untuk
mengkaji dua rumusan masalah. Untuk mengkaji fungsi puak poi pada upacara
paisin, digunakan teori fungsionalisme Malinowski dan untuk mengkaji makna
(bahasa dan budaya) digunakan teori semiotik Barthes. Temuan keilmuan yang
diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) puak poi pada upacara
paisin dalam budaya masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar berfungsi sebagai:
sarana komunikasi kepada (Tuhan, para Dewa, dan leluhur); menyelesaikan
berbagai permasalahan manusia dalam menjalani hidupnya; menjaga
keseimbangan kosmos; memperkuat ajaran-ajaran sistem religi masyarakat
Tionghoa; menguatkan integrasi keturunan dan kekerabatan; dan menjaga
kontinuitas kebudayaan dalam proses perubahan dalam ruang dan waktu. (2)
Makna puak poi adalah secara etimologis adalah bertanya dan terjadilah. Secara
kontekstual berarti puak poi ini adalah sarana komunikasi kepada Tuhan/Dewa,
leluhur di Alam Baka, atau makhluk gaib lainnya. Secara semiotik puak poi
memiliki tiga petanda jawaban yaitu: sengpoi (jawaban ya), jiupoi (jawaban yang
menggantung antara ya dan tidak), dan kampoi (jawaban tidak). Teks pertanyaan
sekaligus permintaan umumnya menggunakan bahasa Indonesia, dengan tema
berupa rezeki, jodoh, pengobatan, kerja, pembersihan altar keluarga, dan lainnya.

Kata Kunci: fungsi, makna, puak poi, paisin, sengpoi, jiupoi, kampoi

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

The title of this thesis is The Function and Meaning of Puak Poi in Paisin
Ceremony in the Culture of the Chinese community at Pematangsiantar. The
objective of the study was to find out two aspects of the existence of Puak Poi in
Paisin Ceremony in the culture of the Chinese community at Pematangsiantar,
which were (a) the function and (b) the meaning (language and culture).The
research used descriptive qualitative method. The data were taken through field
research by means of: interview, observation, recordings of the ceremony and the
use of puak poi, participant observation (participant observer), and library
research. The key respondent in the field were persons with capability; they were
saikong. The paisin ceremony observation was conducted towards the performers
by taking some events in the ceremony at Pematangsiantar into observation,
accordingly with the communication themes of the paisin ceremony, which were:
luck, match, medication, work, the cleaning of family’s altar, and so on.The
research used two main theories in studying the two research problems. In order to
study the function of puak poi in paisin ceremony, the research used the theory of
functionalism by Malinowski. Meanwhile, in order to study the meaning
(language and culture), this research used semiotics theory by Barthes. The results
were: (1) the function of puak poi in paisin ceremony in the culture of the Chinese
community at Pematangsiantar were , as the media for communication with (God,
gods, and ancestors); to overcome the problems of human beings in this life; to
maintain the balance of cosmos; to strengthen the religious system teachings of
the Chinese community; to strengthen the integration of descents and family
relation, and to maintain the cultural continuity within the process of spatial and
time changes. (2) the meaning of puak poi etimologically was to ask and to
happen. Contextually, puak poi was meant as the media for communication with
God/gods, ancestors in the hereafter, or other astral creatures. Semiotically, puak
poi had three answer markers: they were sengpoi (the answer of yes), jiupoi (the
answer of being between yes or no), and kampoi (the answer of no). The question
and request texts generally used Indonesian, with the themes of: luck, match,
medication, work, the cleaning of family’s altar, and so on.

Keywords: Function, Meaning, Puak Poi, Paisin, Sengpoi, Jiupoi, Kampoi

Universitas Sumatera Utara


FUNGSI DAN MAKNA PUAK POI PADA UPACARA PAISIN DALAM

BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA DI PEMATANGSIANTAR

尼先达市华裔掷茭研究 (Yìnní xiān dá shì huáyì zhì jiāo yánjiū )

SKRIPSI
OLEH :
SANNI TUNG
110710006

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

PROGRAM STUDI SASTRA CHINA

MEDAN

2015

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAKSI

Skripsi sarjana ini berjudul Fungsi dan Makna Puak Poi pada Upacara
Paisin dalam Budaya Masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar. Tujuan
penelitian dalam menulis skripsi ini adalah mengetahui dua aspek dari eksistensi
puak poi pada upacara paisin dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa di
Pematangsiantar, yaitu: (a) fungsi dan (b) makna (bahasa dan budaya).Metode
penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang ditulis
secara deskriptif. Metode pengumpulan data dilakukan melalui studi lapangan
berupa: wawancara, observasi, perekaman upacara dan penggunaan puak poi,
pengamatan terlibat (participant observer), dan studi kepustakaan. Narasumber
kunci yang didapat di lapangan adalah dua orang saikong yang berkompeten.
Pengamatan upacara paisin dilakukan kepada para pelakunya dengan mengambil
beberapa peristiwa upacara di Pematangsiantar, sesuai dengan tema komunikasi
dalam upacara paisin ini, yaitu: rezeki, jodoh, pengobatan, kerja, pembersihan
altar keluarga, dan lain-lain. Penelitian ini menggunakan dua teori utama untuk
mengkaji dua rumusan masalah. Untuk mengkaji fungsi puak poi pada upacara
paisin, digunakan teori fungsionalisme Malinowski dan untuk mengkaji makna
(bahasa dan budaya) digunakan teori semiotik Barthes. Temuan keilmuan yang
diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) puak poi pada upacara
paisin dalam budaya masyarakat Tionghoa di Pematangsiantar berfungsi sebagai:
sarana komunikasi kepada (Tuhan, para Dewa, dan leluhur); menyelesaikan
berbagai permasalahan manusia dalam menjalani hidupnya; menjaga
keseimbangan kosmos; memperkuat ajaran-ajaran sistem religi masyarakat
Tionghoa; menguatkan integrasi keturunan dan kekerabatan; dan menjaga
kontinuitas kebudayaan dalam proses perubahan dalam ruang dan waktu. (2)
Makna puak poi adalah secara etimologis adalah bertanya dan terjadilah. Secara
kontekstual berarti puak poi ini adalah sarana komunikasi kepada Tuhan/Dewa,
leluhur di Alam Baka, atau makhluk gaib lainnya. Secara semiotik puak poi
memiliki tiga petanda jawaban yaitu: sengpoi (jawaban ya), jiupoi (jawaban yang
menggantung antara ya dan tidak), dan kampoi (jawaban tidak). Teks pertanyaan
sekaligus permintaan umumnya menggunakan bahasa Indonesia, dengan tema
berupa rezeki, jodoh, pengobatan, kerja, pembersihan altar keluarga, dan lainnya.

Kata Kunci: fungsi, makna, puak poi, paisin, sengpoi, jiupoi, kampoi

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

The title of this thesis is The Function and Meaning of Puak Poi in Paisin
Ceremony in the Culture of the Chinese community at Pematangsiantar. The
objective of the study was to find out two aspects of the existence of Puak Poi in
Paisin Ceremony in the culture of the Chinese community at Pematangsiantar,
which were (a) the function and (b) the meaning (language and culture).The
research used descriptive qualitative method. The data were taken through field
research by means of: interview, observation, recordings of the ceremony and the
use of puak poi, participant observation (participant observer), and library
research. The key respondent in the field were persons with capability; they were
saikong. The paisin ceremony observation was conducted towards the performers
by taking some events in the ceremony at Pematangsiantar into observation,
accordingly with the communication themes of the paisin ceremony, which were:
luck, match, medication, work, the cleaning of family’s altar, and so on.The
research used two main theories in studying the two research problems. In order to
study the function of puak poi in paisin ceremony, the research used the theory of
functionalism by Malinowski. Meanwhile, in order to study the meaning
(language and culture), this research used semiotics theory by Barthes. The results
were: (1) the function of puak poi in paisin ceremony in the culture of the Chinese
community at Pematangsiantar were , as the media for communication with (God,
gods, and ancestors); to overcome the problems of human beings in this life; to
maintain the balance of cosmos; to strengthen the religious system teachings of
the Chinese community; to strengthen the integration of descents and family
relation, and to maintain the cultural continuity within the process of spatial and
time changes. (2) the meaning of puak poi etimologically was to ask and to
happen. Contextually, puak poi was meant as the media for communication with
God/gods, ancestors in the hereafter, or other astral creatures. Semiotically, puak
poi had three answer markers: they were sengpoi (the answer of yes), jiupoi (the
answer of being between yes or no), and kampoi (the answer of no). The question
and request texts generally used Indonesian, with the themes of: luck, match,
medication, work, the cleaning of family’s altar, and so on.

Keywords: Function, Meaning, Puak Poi, Paisin, Sengpoi, Jiupoi, Kampoi

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas
berkatNya yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Makna dan Fungsi
Upacara Puak Poi pada Upacara Paisin dalam Budaya Masyarakat Tionghoa di
Pematangsiantar” sebagai salah satu syarat kelulusan dalam menyelesaikan studi
di Program Studi Sastra China, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara
untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra.

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bantuan dan
bimbingan, baik secara moril maupun materil dari berbagai pihak. Atas bantuan
dan dukungan yang penulis terima, pada kesempatan ini penulis terlebih dahulu
mengucapkan banyak terima kasih kepada orang tua penulis Tung Lai Hok (alm)
dan Ana Tan, serta saudara Santi Tung, Ilie Cang, Steven Cang, Tung Lai Hua
dan Fani Agresia S yang selama ini telah mendukung dan memeberikan doa,
motivasi, perhatian, dan kasih sayang tanpa batas kepada penulis.

Dengan segala kerendahan hati, penulis juga mengucapkan terima kasih


yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya


Universitas Sumatera Utara, beserta Para wakil Dekan I, II dan III atas
bantuan dan fasilitas yang penulis peroleh semasa kuliah di Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A., selaku ketua Program Studi Sastra
China, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara yang selalu
bersedia meluangkan waktu untuk memberikan masukan dan saran
dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Ibu Dra. Nur Cahaya Bangun, M.Si., selaku Sekretaris Program Studi
Sastra China Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang

Universitas Sumatera Utara


selalu bersedia meluangkan waktu untuk memberikan masukan dan
saran dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D., selaku Dosen
pembimbing I yang dengan sabar telah membimbing dan memberikan
arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dalam bahasa
Indonesia.
5. Ibu Vivi Andriyani Nasution, S.S., MTCSOL., selaku Dosen
Pembimbing II yang dengan sabar telah membimbing dan memberikan
arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dalam bahasa
Mandarin.
6. Ibu Julina MTCSOL, selaku Dosen penguji yang telah memberikan
saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Bapak Susanto Wijaya (Akiong) dan Aliang sebagai informan yang
telah banyak memberikan bantuan berupa penjelasan mengenai data
yang dikaji dalam skripsi ini.
8. Bapak/Ibu Staf pengajar dan para dosen Program Studi Sastra China
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, serta dosen tamu
dari Jinan University, Guangzhou, Republik Rakyat China yang telah
banyak memberikan bimbingan dan pengajaran selama penulis
mengikuti perkuliahan selama 4 tahun terakhir.
9. Sahabat seperjuangan penulis Fernando E P Manurung, Camellia
Novella, Emmanuella Laudia, Ely Sovita Siahaan S.S., Nur Aliyah
Adewita Damanik, Hotmaria J Purba, Jade Ekklesia Christy Saragih,
Paskah Aprillia BB, Betty Marshaulina S, Yuli Esterina Ginting, Ricky
Fernando Simanjuntak, Panji Villiberto Sirait dan Jernita Limbong
yang telah bersedia meringankan hati untuk saling mendukung dan
memberi bantuan selama ini, baik dalam suka maupun duka, serta
memberikan inspirasi. Terima kasih untuk cinta yang tak terbatas
kepada penulis.
10. Seluruh teman-teman Program Studi Sastra China angkatan 2011, para
Alumni dan Mahasiswa Sastra China Univeritas Sumatera Utara yang

Universitas Sumatera Utara


telah membantu, memberi semangat, serta meluangkan waktu untuk
saling bertukar pikiran kepada penulis.
11. Pihak lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna. Untuk itu dengan
segala kerendahan hati, penulis memohon maaf sebesar-besarnya dan berharap
adanya kritik dan saran yang membangun dalam penyelesaian skripsi ini. Akhir
kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan peneliti
berikutnya.

Medan, 10 Desember 2015

Penulis

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

halaman

ABSTRAKSI ............................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ............................................................................... iv
DAFTAR ISI ........................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... x
DAFTAR BAGAN .................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1


1.2 Batasan Masalah .................................................................... 18
1.3 Rumusan Masalah ................................................................. 18
1.4 Tujuan Penelitian .................................................................. 18
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................ 19
1.5.1 Manfaat Teoretis ......................................................... 19
1.5.2 Manfaat Praktis ........................................................... 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN


LANDASAN TEORI ................................................................ 20
2.1 Tinjaun Pustaka .................................................................... 20
2.2 Konsep ................................................................................. 23
2.2.1 Kebudayaan ................................................................. 24
2.2.2 Upacara ........................................................................ 27
2.2.3 Paisin ........................................................................... 28
2.2.4 Tradisi Puak Poi ............................................................ 29
2.2.5 Bentuk Puak Poi.............................................................. 30
2.2.6 Tata Cara Upacara Paisin dan Makna Hio ....................... 32
2.2.7 Masyarakat Tionghoa ................................................... 39
2.3 Landasan Teori ...................................................................... 40
2.3.1 Teori Fungsionalisme ..................................................... 40

Universitas Sumatera Utara


2.3.2 Teori Semiotik ............................................................... 43

BAB III METODE PENELITIAN ........................................................ 46


3.1 Metode Penelitian Kualitatif ................................................. 46
3.2 Data dan Sumber Data .......................................................... 49
3.3 Teknik Pengumpulan Data .................................................... 50
3.3.1 Observasi ................................................................... 51
3.3.2 Wawancara ................................................................. 52
3.3.3 Studi Kepustakaan ....................................................... 53
3.4 Teknik Analisis Data ............................................................ 53

BAB IV GAMBARAN UMUM SISTEM RELIGI MASYARAKAT


TIONGHOA DAN TERAPANNYA DI
PEMATANGSIANTAR ......................................................... 55

4.1 Berbagai Sistem Religi Masyarakat Tionghoa ..................... 56


4.1.1 Konghucu .................................................................. 57
4.1.2 Taoisme (Dao) .......................................................... 60
4.1.3 Agama Buddha .......................................................... 61
4.2 Terapan Ketiga Sistem Religi pada Masyarakat Tionghoa
di Pematangsiantar .............................................................. 67
4.3 Hari-hari Raya dan Upacara Orang Tionghoa di
Pematangsiantar ................................................................... 68
4.4 Penghormatan Leluhur ........................................................ 74
4.4.1 Perayaan untuk Leluhur .......................................... 75
4.4.2 Altar Keluarga ........................................................ 77
4.4.3 Puak Poi ................................................................ 78
4.5 Gambaran Umum Kota Pematangsiantar dan
Masyarakatnya ....................................................................... 80

BAB V FUNGSI DAN MAKNA PUAK POI DALAM KONTEKS


UPACARA PAISIN MASYARAKAT TIONGHOA DI
PEMATANGSIANTAR ......................................................... 99

5.1 Fungsi ................................................................................ 99

Universitas Sumatera Utara


5.2.1 Fungsi Puak Poi sebagai Sarana Komunikasi ............. 102
5.2.1.1 Fungsi Puak Poi sebagai Sarana Komunikasi
dengan Tuhan dan Dewa ............................... 103
5.2.1.2 Fungsi Puak Poi sebagai Sarana Komunikasi
dengan Para Leluhur ..................................... 107
5.2.2 Fungsi Menyelesaikan Berbagai Permasalahan
Manusia ................................................................... 108
5.2.3 Fungsi Menjaga Keseimbangan Kosmos .................. 110
5.2.4 Memperkuat Ajaran-ajaran Sistem Religi
Masyarakat Tionghoa ................................................ 111
5.2.5 Menguatkan Integrasi Keturunan dan Kekerabatan ... 112
5.2.6 Menjaga Kontinuitas Kebudayaan dalam
Proses Perubahan ........................................................ 113
5.2 Makna ................................................................................ 117
5.2.1 Makna Puak Poi Dikaji dari Aspek Etimologi ............ 117
5.2.2 Makna Puak Poi dalam Kebudayaan Menurut
Pandangan Masyarakat ............................................. 118
5.4.3 Makna Jawaban yang Didapat dari Sepasang
Puak Poi ................................................................... 120
5.2.4 Analisis Semiotik Jawaban yang Didapat dari
Sepasang Puak Poi .................................................... 127
5.2.5 Analisis Semiotik Teks Pertanyaan dan Harapan ...... 129

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 134

6.1 Simpulan ............................................................................... 134


6.2 Saran ..................................................................................... 137

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 140

a. Buku dan Artikel ...................................................................... 140


b. Internet ..................................................................................... 144
DAFTAR INFORMAN ......................................................................... 147

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PERTANYAAN ........................................................................ 148

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Puak poi Berwarna Merah Terbuat dari Kayu ................ 31
Gambar 2.2 Puak poi yang Terbuat dari Bambu ............................... 32
Gambar 4.1 Peta Wilayah Persebaran Agama Buddha
di Dunia ...................................................................... 67
Gambar 4.2 Altar Keluarga ............................................................... 78
Gambar 4.3 Peta Kota Pematangsiantar ............................................ 95
Gambar 4.4 Logo Kota Pematangsiantar ........................................... 97
Gambar 4.5 Monumen Wacana Tata Nugraha sebagai Ikon Kota
Pematangsiantar ............................................................. 97
Gambar 4.6 Salah satu Vihara di Kota Pematangsiantar..................... 98
Gambar 5.1 Sengpoi .......................................................................... 122
Gambar 5.2 Jiupoi ............................................................................. 124
Gambar 5.3 Kampoi .......................................................................... 126

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR BAGAN

halaman

Bagan 1.1 Latar Belakang Penelitian Fungsi dan Makna Puak poi
dalam Upacara Paisin dalam Kebudayaan Masyarakat
Tionghoa di Pematangsiantar ............................................ 17
Bagan 2.1 Proses Upacara Paisin dan Penggunaan Piak poi .............. 34
Bagan 4.1 Persentase Penduduk Kota Pematangsiantar Berdasar
Kelompok Etnik ............................................................... 92
Bagan 5.1 Fungsi Puak poi sebagai Sarana Komunikasi dengan
Tuhan dan para Dewa ....................................................... 107
Bagan 5.2 Fungsi Puak poi sebagai Sarana Komunikasi dengan
para Leluhur ..................................................................... 108
Bagan 5.3 Fungsi-fungsi Puak poi .................................................... 116
Bagan 5.4 Kemungkinan Hasil Lemparan Sepasang Puak poi
Satu Terbuka dan Tertutup ............................................... 121
Bagan 5.5 Sengpoi ............................................................................. 123
Bagan 5.6 Jiupoi............................................................................... 125
Bagan 5.7 Kampoi ............................................................................. 126

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

halaman
Tabel 4.1 Empat Kebijakan Utama dan Lima Hubungan Utama
Dalam Sistem Religi Konfusius ...................................... 60
Tabel 4.2 Kepercayaan Terhadap Mahluk Gaib pada Sistem Religi
Dao (Taoisme) ............................................................... 61
Tabel 4.3 Distribusi Penduduk Kota Pematangsiantar
Berdasar Kelompok Etnik .............................................. 81
Tabel 5.2 Fungsi-fungsi Puak poi terhadap Tampilan Puak poi
sebagai Indeks ................................................................ 128

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai