Anda di halaman 1dari 20

Vol. 15 No.

1 (Januari-Juni) 2015

ISSN 1412-999x

DAFTAR ISI
1. Bentuk Sinkretisme Islam-Jawa di Masjid Sunan Ampel Surabaya
Eko Sulistyo Kusumo................................................................................................

113

2. Dari Dukun Bayi Hingga Bidan: Perkembangan Kesehatan Ibu dan


Anak di Surabaya 1950-1980
Eni Sugiarti................................................................................................................. 1428
3. Sistem Encoding Konstruksi Berita MetroTV pada Awal Masa Reformasi
di Indonesia
Eva Leiliyanti............................................................................................................. 2943
4. The Use of Pictures in Scaffolding Young EFL Learners in Writing
Hazem Al Jaddan...................................................................................................... 4453
5. Hegemoni Olahraga dalam Media: Studi Kasus DBL Jawa Pos
Lastiko Endi Rahmantyo, Gesang Manggala Nugraha Putra,
Dadung Ibnu Muktiono............................................................................................ 5466
6. We Are Luckier than Them: The Reading of Trans7s Orang-Orang
Pinggiran by Kampung People in Surabaya
Firza Aidil Firmansyah, Arum Budiastuti............................................................. 6779
7. The Construction of Style and Social Space in Sydneys Fixed Gear Bike
Subculture
Palita Surachinnawat................................................................................................ 8088
8. Kekerasan Budaya, Kekerasan Politik: Kronologi dan Teori Kasus
Pembunuhan Dukun Santet di Banyuwangi 1998-1999
Latif Kusairi................................................................................................................ 89105
9. Homophobia in Torch Song Trilogy (1988) and Boys Dont Cry (1999)
Films
Puguh Budi Susetiyo................................................................................................. 106114
10. Revitalisasi Nilai-Nilai Budaya Etnis Tionghoa-Surabaya dalam
Memperkuat Karakter Bangsa
Shinta Devi Ika Santhi Rahayu................................................................................ 115130

Printed by: Airlangga University Press. (OC 077/02.16/AUP). Kampus C Unair, Mulyorejo Surabaya 60115, Indonesia.
Telp. (031) 5992246, 5992247, Telp./Fax. (031) 5992248. E-mail: aup.unair@gmail.com

Mozaik
Vol 15 (1): 115-130
Penulis (2015)

Revitalisasi Nilai-Nilai Budaya Etnis Tionghoa-Surabaya dalam


Memperkuat Karakter Bangsa
(Revitalisation of Chinese-Surabaya Cultural Values in
Strengthening the Nations Character)
Shinta Devi Ika Santhi Rahayu

Departemen Ilmu Sejarah, Universitas Airlangga


Jalan Darmawangsa Dalam, Surabaya
Tel.: +62 (031) 5033080
Surel: shinta-d-i-s-r@fib.unair.ac.id
Abstrak

Globalisasi menjadi tantangan utama bagi etnis Tionghoa untuk mempertahankan serta merevitalisasi
nilai budaya Tionghoa, bukan hanya sebagai identitas budaya etnis, namun juga dalam rangka
memperkuat karakter bangsa. Fokus utama penelitian ini adalah upaya merevitalisasi nilai-nilai
budaya etnis Tionghoa Surabaya sebagai bagian karakter bangsa dan kebertahanan kebudayaan.
Penelitian ini menggunakan metode sejarah. Data yang digunakan berasal dari berbagai sumber,
berupa sumber tertulis, lisan, dan foto. Sumber tertulis berupa artikel surat kabar maupun majalah
yang terbit di Surabaya maupun kota lain. Foto-foto juga digunakan untuk memberikan informasi
tentang kegiatan etnis Tionghoa dalam merepresentasikan kebudayaan mereka. Penggunaan sumber
lisan dilakukan dengan metode wawancara mendalam (indepth interview). Informan ditentukan
secara acak terstratifikasi (stratified random sampling), yakni dipilih secara acak berdasarkan kategorikategori tertentu, yaitu berdasarkan pendidikan, usia, profesi, kelas sosial, dan lain-lain. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa upaya merevitalisasi nilai-nilai budaya Tionghoa dilakukan dalam
berbagai bidang, mulai dari bidang pendidikan, keagamaan, pedoman hidup hingga kesenian.
Kemampuan menjaga dan merawat tradisi dari berbagai pengaruh modernisasi menjadi salah satu
kekuatan utama dari warga Tionghoa untuk bersikap optimis dalam menapaki perubahan sosial yang
terjadi. Kemampuan mengelola kehidupan sosial melalui internalisasi nilai-nilai kultural tersebut
menunjukkan kuatnya modal dasar masyarakat Tionghoa dalam membentuk kohesi sosial yang
dinamis dan demokratis, serta kemandirian sebagai warga bangsa. Kajian ini menunjukkan bahwa
etnis Tionghoa merupakan representasi masyarakat di Surabaya yang masih memegang teguh adat
dan nilai budaya yang diwariskan oleh leluhur.
Kata kunci: budaya Tionghoa, karakter bangsa, revitalisasi

Abstract

Globalization is a major challenge for the Chinese community to maintain and revitalise the value
of Chinese culture, not only as ethnic cultural identity, but also in order to strengthen the nations
character. The main focus of this study is the effort to revitalize the values of
Chinese culture Surabaya
as part of the nations character and cultural survival. This study uses historical method. The data
used were from a variety of sources, in forms of writings, stories, and photos. Written sources were
from newspapers and magazine articles published in Surabaya and other cities. Photographs were also
used to provide information about the activities of the ethnic Chinese in representing their culture.
The use of oral sources was done by in-depth interviews (depth interview). Informants were recruited
via stratified random sampling, based on certain categories, namely education, age, profession,
social class, and others. The results showed that the effort to revitalise the values of Chinese culture
is done in a variety of fields, ranging from education, religion, way of life to the arts. The ability to
maintain and care for the traditions of the various influences of modernization became one of the
main forces of the Chinese people to be optimistic in treading the social changes that occurred. The
ability to manage social life through the internalisation of cultural values shows strong capital base
of the Chinese community in forming a dynamic social cohesion and democracy, and self-reliance as
citizens of the nation. This study shows that Chinese ethnic is a representation of the community in
Surabaya who still adhere to traditional and cultural values inherited by the ancestors.
Keywords: Chinese culture, nations character, revitalisation

Mozaik Vol 15 (1)

PENDAHULUAN

Saat ini masyarakat Indonesia sedang mengarah pada era yang dinamakan globalisasi.
Perkembangan tersebut berdampak positif, misalnya kemajuan di bidang teknologi,
komunikasi, informasi, dan transportasi yang memudahkan kehidupan manusia
sehingga bangsa Indonesia mampu sejajar dengan bangsa lain (Koesoema 2009:4).
Namun globalisasi berdampak pula pada penolakan terhadap nilai-nilai budaya
lokal yang merupakan pondasi karakter bangsa.
Etnis Tionghoa merupakan salah satu etnis minoritas di Surabaya yang juga
terkena dampak globalisasi. Mereka harus menghadapi tantangan globalisasi yang
dapat mengancam kelestarian nilai-nilai budaya tradisional Tionghoa. Mereka
mengkhawatirkan generasi muda Tionghoa kehilangan jati diri atau identitas sebagai
orang Tionghoa dan melanggar nilai-nilai kesopanan. Hal itu diperkuat dengan
kenyataan bahwa seiring dengan globalisasi, mulai muncul masalah degradasi moral,
mulai dari korupsi, sikap munafik, kerusuhan antar etnis dan terorisme (Oentoro
2010:5).
Globalisasi menjadi tantangan utama bagi etnis Tionghoa untuk mempertahankan
serta merevitalisasi nilai budaya Tionghoa, bukan hanya sebagai identitas budaya
etnis, namun juga dalam rangka memperkuat karakter bangsa. Revitalisasi nilainilai budaya untuk memperkuat karakter merupakan persoalan utama bagi segenap
komponen bangsa Indonesia, termasuk etnis Tionghoa yang telah menjadi bagian
dari bangsa Indonesia. Upaya merevitalisasi nilai-nilai budaya Tionghoa dilakukan
dalam berbagai bidang, mulai dari bidang pendidikan, keagamaan, pedoman hidup
hingga kesenian. Penelitian terdahulu mengungkapkan bahwa keturunan etnis
Tionghoa memiliki peranan dalam kehidupan ekonomi dan politik Indonesia,
sehingga dalam konteks keindonesiaan tidak dapat dianggap remeh (Suhandinata
2009). Tulisan lainnya mengenai usaha-usaha yang dilakukan oleh etnis Tionghoa
di Indonesia paska-Reformasi 1998 adalah Setelah Air Mata Kering: Masyarakat
Tionghoa Pasca Peristiwa Mei 1998 (Wibowo dan Lan 2010). Pada penelitian yang
lain, Christine Susanna Tjhin (2012) mengungkapkan pengaruh peristiwa yang ada
di Indonesia terkait dengan hubungan antara Indonesia dan Tiongkok. Penelitian
lainnya tentang diaspora masyarakat Tionghoa di Cuba dilakukan oleh Metzger
(2009:317-338), sedangkan Shi-xu berpendapat bahwa pemahaman yang memadai
harus memperhitungkan cara budaya berpikir dan berdialektika dengan sejarah
Tiongkok di satu sisi, dan budaya internasional di sisi lain. Entitas psikologis budaya
Tiongkok dilihat sebagai jaringan nilai-nilai, aturan dan sumber daya untuk berpikir
dan perasaan yang diwujudkan dan strategis digunakan dalam praktik diskursif
Tiongkok kontemporer. Berbagai kajian yang ada sebelumnya menunjukkan bahwa
belum ada yang membahas tentang nilai-nilai karakter Etnis Tionghoa untuk
memperkuat karakter bangsa.

METODE

Metode yang digunakan dengan metode penelitian deskriptif yaitu memecahkan


permasalahan dengan mengumpulkan data, menyusun atau mengklasifikasi,
menganalisis, dan mengintepretasi. Kajian ini menggunakan metode sejarah, yang
dimulai dengan pengumpulan sumber-sumber tertulis, lisan, dan foto. Untuk sumber
116

Revitalisasi Nilai-Nilai Budaya Etnis Tionghoa-Surabaya dalam Memperkuat Karakter Bangsa

tertulis, peneliti menggunakan artikel surat kabar maupun majalah yang terbit
di Surabaya maupun kota lain untuk melengkapi data yang dibutuhkan. Selain
melalui perpustakaan, sumber tertulis juga diperoleh melalui akses internet. Sumber
berikutnya yang digunakan penulis adalah foto. Foto-foto tersebut memberikan
informasi tentang kegiatan etnis Tionghoa dalam merepresentasikan kebudayaan
mereka. Selain sumber tertulis dan foto, sumber yang tidak kalah penting adalah
sumber lisan. Sumber lisan dilakukan dengan metode wawancara mendalam (indepth
interview). Informan ditentukan secara acak terstratifikasi (stratified random sampling),
yakni dipilih secara acak berdasarkan kategori-kategori tertentu, yaitu pendidikan,
usia, profesi, kelas sosial, dan lain-lain. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah penelitian sosiologis-antropologis, yang sangat bermanfaat untuk melihat
dan menganalisis suatu fenomena sosial budaya sampai mendetil. Diharapkan
dengan menggunakan pendekatan itu akan diperoleh pemahaman dan penjelasan
yang komprehensif tentang revitalisasi nilai-nilai budaya etnis Tionghoa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konstruksi Identitas Etnis Tionghoa


Seperti halnya komunitas masyarakat lainnya, etnis Tionghoa juga memiliki ciri
kebiasaan yang khas, yang menjadi identitas ketionghoaan mereka. Identitas terbentuk
karena setiap individu maupun kelompok sosial berupaya saling mengenal satu sama
lain dan dapat saling membedakan. Dalam teori identitas, proses pengembangan
identitas diri dimulai dari proses kategori sosial. Identitas diartikan sebagai pilihan
kategori sosial yang digunakan oleh seseorang untuk menjelaskan dirinya. Identitas
bisa berbentuk kebangsaan, ras, etnik, kelas pekerja, agama, umur, gender, suku,
keturunan, dan sebagainya. Identitas menjelaskan bagaimana seseorang berpikir
dan merasa atas dirinya sendiri, juga atas perilaku dan pengalaman dirinya sendiri.
Melalui pengidentifikasian diri, dapat dijelaskan mengapa setiap individu dengan
individu lain, dan setiap komunitas dengan komunitas lainnya memiliki perbedaan
identitas. Begitu halnya dengan konstruksi identitas etnis Tionghoa yang tentu saja
memiliki kebiasaan yang berbeda dengan masyarakat lainnya.
Tuntutan beradaptasi dan menempatkan diri dalam lingkungan menjadi penyebab
pasang surut identitas mereka, seiring perjalanan waktu, serta berbagai peristiwa
sosial, ekonomi dan politik yang mereka alami. Di lain pihak, hidup bersama dan
berdampingan dengan komunitas masyarakat yang lain membentuk kebiasaan yang
bersifat komunal, sehingga selanjutnya hal tersebut terkonstruksi sebagai identitas.
Hal itu memunculkan perdebatan di kalangan etnis Tionghoa tentang batasan
atau penanda yang harus dimiliki sebagai orang Tionghoa. Ada kalanya kebijakan
penguasa turut mempengaruhi pemikiran etnis Tionghoa dalam menentukan ciriciri atau karakter yang harus mereka pertahankan untuk memperkuat identitas keTionghoaan (Suryadinata 1994:21).
Menurut Gidden, identitas adalah cara berpikir tentang diri kita. Namun yang
kita pikir tentang diri kita, berubah dari satu situasi ke situasi yang lain menurut
ruang dan waktu serta terkait dengan konteks sosial dan budaya, sehingga identitas
sepenuhnya bersifat sosial dan budaya, dengan alasan bahwa pandangan tentang
bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah pertanyaan budaya dan sumber
117

Mozaik Vol 15 (1)

daya yang membentuk materi identitas adalah bahasa, praktik budaya, dan karakter
sosial (Barker 2006:171-172). Perubahan cara berpikir tentang identitas juga tampak
pada etnis Tionghoa. Perubahan itu muncul seiring dengan perubahan situasi sosial
politik di Indonesia. Melalui konsep identitas budaya, terbuka kemungkinan untuk
mengetahui bagaimana orang-orang Tionghoa menopang identitas ketionghoaan
mereka, tetapi juga bagaimana sebagian mereka dapat menerima suatu identitas
bukan Tionghoa menjadi bagian dari identitas etnis Tionghoa (Wu 1991:8).
Penerimaan budaya lain dalam suatu komunitas etnis merupakan suatu hal yang
biasa terjadi dalam masyarakat kota. Pada umumnya, kota terdiri dari masyarakat
yang memiliki latar belakang etnis beragam. Penerimaan atau pengadopsian budaya
tersebut melahirkan budaya hibrida. Namun dalam proses terbentuknya budaya
hibrida, setiap etnis yang tinggal di dalamnya, termasuk pula etnis Tionghoa
berupaya mencari bentuk penyesuaian budaya lain berdasarkan referensi kulturalnya.
Artinya, etnis Tionghoa menerima nilai-nilai budaya etnis lain yang sesuai dan tidak
bertentangan dengan nilai-nilai budaya Tionghoa. Sehingga tidak mengherankan
jika kita menjumpai etnis Tionghoa mudah beradaptasi dengan lingkungan sosial
maupun budaya di tempat mereka tinggal.
Budaya Tionghoa dan Masyarakat Kota Surabaya
Saat ini, etnis Tionghoa tinggal menyebar di hampir seluruh pelosok kota Surabaya.
Hampir semua orang Tionghoa yang tersebar dalam wilayah kota Surabaya
mengidentifikasi diri sebagai orang Tionghoa-Indonesia. Sebagai salah satu etnis
keturunan asing, orang-orang Tionghoa memiliki kebudayaan dan kebiasaan hidup
yang khas yang membedakan mereka dengan kelompok etnis yang lain. Kebudayaan,
adat istiadat, maupun kebiasaan hidup tersebut diajarkan secara turun temurun
maupun melalui pendidikan di sekolah. Namun sejarah panjang keberadaan etnis
Tionghoa membuktikan identitas etnis Tionghoa mengalami pasang surut, baik
disebabkan karena kondisi lingkungan, perubahan sosial, ekonomi maupun tekanan
politik.
Keberadaan komunitas Tionghoa di Surabaya tidak terlepas dari kedudukan kota
Surabaya sebagai kota pelabuhan dan menjadi pusat perdagangan sejak abad ke13. Oleh sebab itu, pada awalnya sebagian besar orang Tionghoa yang datang ke
Surabaya berasal dari kelompok pedagang. Mereka dikenal sebagai pedagang yang
ulet, rajin, dan tidak mudah menyerah. Di kemudian hari, semangat untuk tidak
malas melakukan sesuatu, berusaha dan mengejar sekecil apapun (Fu 2014:37),
mengantarkan mereka menjadi pedagang dan pengusaha yang sukses.
Aktivitas berdagang menjadi media bersentuhan dengan komunitas etnis yang lain
dan mendorong mereka segera beradaptasi dengan budaya masyarakat setempat.
Salah satu bentuk adaptasi tersebut adalah mempelajari bahasa masyarakat setempat.
Kemampuan berbahasa setempat tersebut juga menjadi jembatan mengantarkan
mereka sebagai pedagang yang sukses. Proses adaptasi semakin lancar seiring
dengan semakin banyak laki-laki Tionghoa yang menikah dengan wanita pribumi
setempat. Pada awal abad ke-20 wanita hasil pernikahan campuran tersebut banyak
yang menikah dengan laki-laki Tionghoa. Selanjutnya menjelang pertengahan abad
118

Revitalisasi Nilai-Nilai Budaya Etnis Tionghoa-Surabaya dalam Memperkuat Karakter Bangsa

ke-20, pernikahan campuran tersebut semakin jarang dilakukan. Hal itu terjadi
seiring dengan kedatangan para imigran wanita Tionghoa serta keinginan orang tua
pihak laki-laki Tionghoa agar melalui perkawinan sesama etnis, nilai-nilai bidaya
Tionghoa lebih mudah diwariskan.
Di Surabaya, pernikahan antara laki-laki Tionghoa dengan wanita pribumi
menyebabkan munculnya tiga kelompok Tionghoa yaitu pertama, kelompok
Tionghoa totok, yaitu kelompok Tionghoa yang dalam kehidupan sehari-hari masih
mempertahankan adat istiadat dan bahasa Tionghoa. Adat istiadat yang mereka
gunakan masih berwarna adat istiadat tradisional Tionghoa. Kelompok yang kedua,
kelompok Tionghoa peranakan, yaitu generasi Tionghoa yang lebih dekat dengan
budaya lokal di tempat mereka tinggal. Kedekatan seorang anak dengan ibu dan
kesibukan ayah di luar rumah menyebabkan budaya Jawa lebih mudah diwariskan
pada anak daripada budaya tradisional Tionghoa. Namun meskipun generasi mereka
kurang mengenal budaya tradisional Tionghoa, nilai-nilai yang terkandung dalam
budaya tersebut tetap disosialisasikan dan diwariskan pada anak-anak, terutama
yang berhubungan dengan bakti pada orang tua, yaitu berbakti kepada orang tua
tidak hanya ketika mereka masih hidup di dunia, tetapi tetap dilakukan ketika
mereka sudah tiada, yaitu dengan doa dan melakukan nasehat teladan mereka
(Fu 2014:8). Hal yang menarik penerapan nilai-nilai tersebut mendapatkan wajah
baru yaitu terepresentasikan dalam adat istiadat Jawa yang menurut mereka tidak
menyimpang dari nilai-nilai budaya Tionghoa, misalnya melakukan tradisi slametan
dan kirim doa pada orang tua yang telah meninggal.
Keberadaan komunitas etnis Tionghoa turut memperkaya budaya masyarakat kota
Surabaya. Setiap hari kita tidak asing dengan berbagai jenis bahan memasak dan
kuliner yang berasal dari hasil kreativitas etnis Tionghoa, meskipun banyak pula
yang tidak mengetahui asal-usul kuliner tersebut. Beberapa bahan memasak yang
berasal dari etnis Tionghoa, diantaranya adalah kecap. Kuliner khas Tionghoa
yang tidak asing di lidah masyarakat pribumi adalah soto, bakso, bubur ayam,
tekwan, bakpao, lumpia dengan bahan isi yang beragam tergantung pada selera.
Bakpao yang cukup populer di Surabaya adalah yang diproduksi oleh Fuh Yen dan
Chik Yen. Kedua merek bakpao tersebut dijajakan keliling keluar masuk kampung.
Kuliner berikutnya adalah bacang dan kuecang. Kuliner yang sangat tidak asing
bagi masyarakat kota Surabaya adalah cap cai dan siomai. Di beberapa tempat di
Surabaya, cap cay dan siomai dijual oleh pedagang kaki lima atau penjaja keliling
yang menjajakan makanan keluar masuk perkampungan.
Pada perkembangannya, akulturasi budaya Jawa-Tionghoa turut mempengaruhi
tampilan siomai, yaitu adanya penambahan saus kacang yang dipadu dengan saus
tomat serta perasan jeruk nipis atau irisan jeruk purut. Saat ini di Surabaya, penjual
siomai didominasi oleh imigran Bandung yang berlatar belakang suku Sunda. Berbagai
kuliner khas Tionghoa tersebut sangat digemari oleh masyarakat pribumi yang
mayoritas beragama Islam. Oleh sebab itu, untuk memenuhi keinginan konsumen,
banyak restoran atau depot yang dikelola oleh orang Tionghoa menghindari
pemakaian minyak maupun daging babi serta menuliskan tulisan halal di dinding
restoran mereka. Beberapa diantaranya adalah adalah Depot Slamet yang terletak
119

Mozaik Vol 15 (1)

tidak jauh dari RS Dr. Soetomo dan restoran Tasty yang terletak tidak jauh dari
Universitas Airlangga Kampus B. Keputusan mereka untuk tidak menggunakan
unsur daging babi ke dalam masakan mereka justru menyebabkan restoran ramai
dikunjungi konsumen, baik konsumen Tionghoa maupun non Tionghoa.
Selain kuliner, ragam bahasa Tionghoa juga mempengaruhi bahasa masyarakat kota
Surabaya, misalnya dalam penyebutan mata uang, aneka perabot hingga peralatan
dapur dalam rumah tangga (Tedja 2006). Selanjutnya tidak ketinggalan pula dalam
hal busana, banyak busana yang dipakai oleh masyarakat kota Surabaya sangat
dipengaruhi oleh budaya Tionghoa, misalnya kebaya nyonya atau kebaya encim,
baju koko yang kerap dipakai oleh laki-laki muslim, sandal selop serta termasuk pula
busana pengantin Surabaya yaitu busana pengantin pegon selain mendapat pengaruh
buda Jawa dan Arab, juga mendapat pengaruh dari gaya busana Tionghoa.
Selain kuliner dan pakaian, ada hal yang menarik dalam salah satu seni pertunjukan
Tionghoa, yaitu wayang potehi di klenteng Dukuh. Para pemainnya terdiri dari
orang-orang Jawa dan orang-orang Tionghoa dengan jumlah yang seimbang. Mereka
mendirikan perkumpulan dengan nama Lima Merpati, karena setiap memainkan
wayang dilakukan oleh lima orang secara bergantian (Mudjono 2005).
Elemen Karakter Bangsa Etnis Tionghoa
Sumber dasar nilai-nilai karakter bangsa sebenarnya telah ada dalam keseharian
dan ritual adat yang ada dalam masyarakat Tionghoa. Meskipun mereka tidak
sadar bahwa apa yang dilakukan oleh masyarakat sehari-hari merupakan nilai-nilai
luhur yang menjadi penopang karakter kebangsaan. Sumber nilai tersebut berasal
dari ajaran dan tradisi yang sudah lama dan secara turun-temurun diwariskan
lintas generasi. Dalam hal ini peran orang tua dan guru sangat penting sebagai
proses pewarisan nilai-nilai adat dan tradisi tersebut. Bagi masyarakat Tionghoa,
elemen karakter bangsa ini tidak terbatas hanya dijadikan sebagai pedoman, tetapi
diimplementasikan dalam kehidupannya sehari-hari secara konkret. Namun
berbagai kebijakan politik penguasa dan arus globalisasi menyebabkan menurunnya
pemahaman generasi muda Tionghoa terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalam
budaya Tionghoa.
Kebijakan Orde Baru dengan melarang pelestarian adat istiadat dan budaya Tionghoa
mengakibatkan generasi muda Tionghoa tidak memiliki ketentuan yang mengatur
perilaku mereka. Seperti yang diungkapkan oleh Liem Tjiok Fan (2014) bahwa saat ini
nilai-nilai budaya Tionghoa yang bersumber pada ajaran Khonghucu, Tao dan Budha
ditinggalkan oleh sebagian besar warga Tionghoa dan digantikan dengan ajaran
yang bersumber dari agama yang diakui oleh pemerintah. Hal itu menimbulkan
persoalan baru yaitu rasa bakti terhadap orang tua, penipuan dan ketidak jujuran
dalam dunia bisnis, pembunuhan akibat harta waris, dan ketimpangan moralitas
yang tidak sesuai dengan ciri khas Tionghoa, hilangnya solidaritas serta terpecahnya
kehidupan harmonis keluarga Tionghoa mewarnai kehidupan sehari-hari warga
Tionghoa.

120

Revitalisasi Nilai-Nilai Budaya Etnis Tionghoa-Surabaya dalam Memperkuat Karakter Bangsa

Baik ajaran Khonghucu, Tao maupun Budha dapat dijadikan sebagai sistem
pengendali sosial ketika melakukan interaksi sosial dengan kelompok warga lain.
Selain ketiga ajaran tersebut, sumber nilai yang dapat dijadikan pengendali sosial
serta pedoman hidup adalah dongeng serta mitos yang berkembang dalam etnis
Tionghoa. hampir semua mitologi maupun legenda yang berkembang di kalangan
etnis Tionghoa selalu mensyiratkan ajaran moral tentang kebaikan hidup, serta
keselarasan hidup. Berdasarkan ajaran tersebut, maka harmonisasi sosial menjadi
bagian tak terpisahkan dari cara hidup etnis Tionghoa. Sikap harmonis dalam keluarga
dan menjauhkan diri dari konflik serta hidup selaras dengan watak sejati, bersahaja,
jujur, dapat dipercaya, bekerja keras, tahan bantingan, tidak menyakiti orang lain,
bijaksana dan seterusnya, merupakan sikap yang bercirikan Ketionghoaan.
Budaya Tionghoa sesungguhnya bukan hanya bentuk fisik saja melainkan mewujud
secara spikis dalam bentuk etika moral atau budi pekerti yang justru sangat
berharga bukan hanya bagi etnis Tionghoa, namun bagi semua bangsa di dunia
ini. Budaya Tionghoa dalam bentuk spikis tidaklah inklusif melainkan bersifat
universal serta mampu mengangkat martabat kemanusiaan. Bangkitnya pemikiran
Khonghucu yang dapat memajukan martabat manusia secara universal, menjadikan
ajaran Khonghucu bukan hanya dimiliki oleh kaum Tionghoa saja.
Pembentuk Karakter Bangsa
Alasan terbesar pembentuk perilaku masyarakat Tionghoa dalam keseharian dan
kehidupan ritual didasarkan pada ajaran tradisi leluhur. Implementasi ajaran tersebut
dalam perilaku warga Tionghoa sangat tergantung pada lembaga-lembaga dan tokoh
masyarakat yang peduli terhadap upaya menghidupkan kembali budaya Tionghoa
yang bersumber dari ajaran Khonghucu, Tao dan Budha. Di Surabaya, salah satu
tempat terbesar di Asia Tenggara sebagai pusat pembelajaran etika moral Tionghoa
adalah Boen Bio yang berada di Jalan Kapasan. Di Boen Bio inilah nilai-nilai Tionghoa
dikembangkan melalui ceramah-ceramah, peneritan buku majalah, seminar dan lainlain. Ceramah tersebut disampaikan oleh pemuka agama Khonghucu setiap hari
Minggu. Selain itu diselenggarakan pula sekolah Minggu untuk anak-anak yang
bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai etika moral berdasarkan ajaran Khonghucu
(Yang 2014).
Selain itu dibentuk pula organisasi pemuda yaitu PAKIN yang bertujuan untuk
melakukan kaderisasi agar ada generasi yang meneruskan aktivitas memberikan
ceramah. Kegiatan PAKIN adalah menerbitkan majalah Genius dan Gema Boen
Bio, PAKIN Boen Bio juga mulai mengaktifkan latihan seni Barongsai. Melalui sie
Barongsai, mereka mengajak para pemuda dan anak-anak konfusiani untuk latihan
Barongsai. Bagi orang Tionghoa, Barongsai tidak hanya memiliki nilai seni tetapi
juga nilai religius sekaligus menambah kebugaran tubuh, karena seni Barongsai
membuat tubuh menjadi tangkas, lincah dan sehat.
Selanjutnya, pengikut ajaran Khonghucu juga membentuk Wanita Khonghucu
Indonesia Boen Bio (WAKIN Boen Bio). Tujuannya diharapkan wanita sebagai
pendidik pertama bagi generasi muda Tionghoa di dalam lingkungan keluarga,
wanita mampu menanamkan nilai-nilai budaya Tionghoa yang terkandung dalam
121

Mozaik Vol 15 (1)

ajaran Khonghucu pada anak-anak mereka. Dalam organisasi tersebut, wanita juga
dididik mampu tampil percaya diri di depan publik dengan cara diberikan pelatihan
sebagai penceramah.
Melalui pemahaman ajaran Khonghucu yang diajarkan di klenteng Boen Bio, para
penganut Khonghucu mengimplementasikan jaran-ajaran leluhur dalam setiap
aktivitas dan sikap keseharian maupun pada saat melaksanakan ritual upacaraupacara. Dimana dalam aktifitas tersebut ternyata menjadi contoh yang baik dalam
rangka penerapan karakter bangsa. Nilai-nilai positif dari karakter bangsa yang ada
di dalam masyarakat Tionghoa menjadi potret bagi masyarakat Indonesia dalam
praktek kehidupan berbangsa.
Proses pewarisan nilai-nilai tradisi masyarakat Tionghoa dimulai dari sejak dini
melalui keluarga. Masing-masing keluarga Tionghoa berusaha melibatkan anakanak dalam setiap ritual upacara, misalnya ritual pemujaan terhadap leluhur sebagai
implementasi berbakti pada orang tua, ritual perayaan Imlek, ritual perayaan Cap Go
Meh, ritual Ceng Beng, dll. Selain bersifat tradisi, ternyata proses pewarisan tradisi
dan adat juga dilakukan melalui jalur pendidikan formal. Sebagai contoh sekolah
YPPI, selain mengajarkan nilai-nilai budaya Jawa, juga mengajarkan nilai-nilai
budaya Tionghoa yang berdasarkan pada ajaran Khonghucu, Tao, maupu Budha.
Nilai-nilai budaya tersebut langsung diimplementasikan melalui proses belajar
mengajar pada murid-murid mulai sekolah tingkat dasar hingga sekolah menengah
atas. Selain sekolah YPPI, pada masa reformasi banyak sekolah yang mengajarkan
tiga bahasa yaitu Bahasa Indonesia, Inggris dan Mandarin yang memasukkan nilainilai budaya Tionghoa dalam kurikulum pendidikan sekolah tersebut.
Selain Boen Bio, di Surabaya juga terdapat Budhis Centre, yang fungsinya adalah
sebagai pusat mempelajari nilai-nilai ajaran Budha. Untuk menyebarluaskan
ajaran Budha, Budhis Centre menyelenggarakan kegiatan seminar, pameran dan
mendatangkan pemuka agama Budha dari berbagai negara, misalnya dari Thailand.
Selain itu banyak aktivitas sosial yang dilakukan lembaga tersebut, misalnya
menggalang dana untuk membantu korban gempa bumi, tanah longsor, dan banjir
yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
Dalam banyak literatur berkaitan dengan kebertahanan tradisi, selalu disebutkan
bahwa tradisi hanya dalam bertahan ketika masyarakat pendukungnya masih
memiliki komitmen untuk tetap merawat dan menjalankannya dari generasi
ke generasi. Meski demikian, beberapa tokoh masyarakat Tionghoa tidak bisa
memberikan jaminan bahwa adat istiadat serta nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya dapat bertahan terus menerus dalam masa akan datang. Hal yang bisa
mereka lakukan adalah tetap mewariskan tradisi kepada generasi muda tentang
pentingnya adat istiadat serta menanamkan tradisi serta nilai yang terkandung di
dalamnya melalui ceramah, surat kabar dan media audiovisual.
Nilai-nilai Positif sebagai Elemen Karakter Bangsa
Persoalan karakter bangsa kini menjadi pembicaraan yang menarik karena
berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan di masyarakat. Karakter bangsa
122

Revitalisasi Nilai-Nilai Budaya Etnis Tionghoa-Surabaya dalam Memperkuat Karakter Bangsa

ini dapat digunakan sebagai landasan atau pijakan cara pandang, cara berpikir, cara
bersikap dan bertindak di dalam interkasi sosial. Dengan kata lain, karakter bangsa
dapat dibentuk melalui pengembangan dan penerapan nila-nilai budaya dalam
kehidupan sehari-hari sebagai masyarakat beragama, berbudi luhur, produktif, dan
kreatif.
Pembentukan karakter bangsa dapat dilihat melalui watak, sikap, perilaku,
tabiat atau akhlak sebagai hasil proses pengembangan pribadi seseorang. Proses
pengembangan tersebut diterapkan dengan cara menumbuhkan hubungan antar
individu dengan kelompok lain. Dengan demikian, terbentuk sebuah interaksi
dengan orang lain sehingga dapat membentuk karakter masyarakat yang bermuara
pada perwujudan karakter bangsa. Salah satu bagian yang fenomenal adalah karakter
bangsa bagi masyarakat Tionghoa sebagai elemen identitas kehidupan masyarakat
yang berbudaya.
Masyarakat Tionghoa merupakan masyarakat yang memiliki pola kehidupan yang
menarik terutama dilihat dari ranah sosial budaya. Ranah sosial budaya masyarakat
Tionghoa bersumber dari nilai budaya, kepercayaan, dan nilai tradisi atau adatistiadat yang diwariskan secara turun-temurun dari leluhurnya. Sumber nilai budaya,
nilai agama dan adat-istiadat atau tradisi dapat dijadikan sebagai dasar peletakan
elemen-elemen pembentuk karakter yang positif bagi masyarakat Tionghoa pada
umumnya dan masyarakat lain pada khususnya. Pembentukan karakter tersebut
dapat dideskripsikan secara keseluruhan tentang pemahaman dan wawasan
tentang masyarakat Tionghoa sebagai salah satu ikon yang dapat diaplikasikan
dalam interaksi sosial untuk penggalian nilai-nilai budaya. Nilai budaya dan tradisi
masyarakat Tionghoa dapat dikatakan masih relevan dengan kemajuan zaman dan
tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai pedoman dasar dan
falsafah negara. Kepercayaan atau keyakinan masyarakat Tionghoa tampak dalam
perwujudan pemujaan kepada leluhur, tokoh-tokoh suci, Dewa sebagai penguasa
alam dan pelaksanaan upacara-upacara Tionghoa.
Konsep dasar yang melandasi kehidupan etnis Tionghoa dalam bermasyarat
bersumber dari ajaran Khonghucu, Tao, dan Budha. Ajaran Khonghucu didasarkan
pada pendidikan moral. Ia mendorong agar setiap individu berbuat baik. Gagasangagasannya bisa diketahui melalui Lun Yu atau untaian ajaran Khonghucu yang
merupakan kumpulan dari ucapan Khonghucu yang berhasil dihimpun oleh muridmuridnya, serta Liu Yi, yaitu kitab yang enam atau kitab klasik yang enam. Liu Yi
terdiri dari Yi, yaitu kitab tentang perubahan, Shih, yaitu kitab tentang puisi, Shu,
yaitu kitab tentang sejarah kaisar-kaisar yang pernah berkuasa di Tiongkok, Li, kitab
tentang tata upacara atau ritus, Yueh, kitab tentang musik, dan Chun Chiu, yaitu
kitab kejadian musim semi dan musim gugur yang berisi sejarah negeri Lu, tempat
kelahiran Khonghucu.
Pendidikan moral yang ditekankan dalam ajaran Khonghucu adalah agar manusia
menjadi kuncu atau susilawan yang utuh, yang berguna bagi negara, masyarakat,
dan senantiasa berada pada jalan tengah sempurna, atau tidak menyeleweng. Ajaran
Khonghucu menekankan agar setiap orang melakukan kewajibannya dalam belajar
123

Mozaik Vol 15 (1)

menjadi manusia yang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, sebagai


kesatuan dengan lingkungannya (Wei-Ming 2005:ix). Hal itu tercermin dalam ajaran
Khonghucu yang mengatur perilaku individu dalam keluarga, masyarakat, dan
negara.
Inti ajaran Khonghucu yang berkaitan dengan perilaku individu dalam keluarga
adalah hao, yaitu berbakti pada orang tua. Istilah berbakti (hao) menurut Khonghucu
memiliki makna yang luas dan mendalam jika dibandingkan dengan makna berbakti
dalam bahasa lain. Berbakti tidak hanya diartikan menuruti perintah orang tua
tetapi menghormati dan menyayangi orang tua dengan cara berperilaku benar
dan baik sehingga tidak membuat malu orang tua. Menurut ajaran Khonghucu,
orang yang berbakti pada orang tua pada umumnya berkelakuan baik, mencintai
saudaranya, bangsa, negerinya, dan selalu menghormati bangsa dan negeri lain
(Po 1927:3-4). Ajaran Khonghucu tentang menghormati orang tua dan penguasa
terangkum dalam kitab Xiaojing. Diperkirakan kitab tersebut disusun pada tahun
400 SM, yang merupakan hasil percakapan Khonghucu dengan muridnya bernama
Zeng Zi.
Inti ajaran Khonghucu yang berkaitan dengan perilaku individu dalam masyarakat
adalah kebajikan. Dalam hal berbuat kebajikan, ajaran Khonghucu menuntut agar
setiap individu bersikap jujur, mengutamakan sikap cinta kasih, mampu menepati
janji, dapat dipercaya, bersikap lapang hati, dan menghormati orang lain (Majelis
Tinggi Agama Khonghucu Indonesia 1970:301). Selanjutnya, inti ajaran Khonghucu
yang berkaitan dengan sikap individu terhadap negara adalah berpangkal dari
keharmonisan rumah tangga. Ajaran tersebut sangat menarik, karena Khonghucu
meletakkan keharmonisan rumah tangga sebagian pangkal keteraturan negara.
Menurut ajaran Khonghucu, untuk mengatur negara harus terlebih dahulu menjaga
keharmonisan dalam keluarga, karena Khonghucu memiliki pemikiran bahwa kasih
sayng dan cinta dalam keluarga menjadi pangkal kedamaian suatu negara (Majelis
Tinggi Agama Khonghucu Indonesia 1970:301).
Selain mengatur hubungan individu dengan keluarga, masyarakat dan negara,
ajaran Khonghucu juga mengutamakan arti penting pendidikan sebagai sistem
yang berfungsi untuk membina diri bagi setiap individu agar menjadi manusia
yang utuh. Dalam hal pendidikan, Khonghucu menekankan bahwa pendidikan
adalah satu-satunya alat untuk menghapuskan perbedaan dan meninggikan derajat
individu dalam lingkungan bermasyarakat (Hwa 1995:42-44) Dalam hal pendidikan,
Khonghucu mengenalkan sistem pendidikan yang tidak hanya menghasilkan calon
pegawai pemerintah yang hanya melaksanakan apa yang dinginkan penguasa tetapi
menghasilkan calon pegawai yang dapat memainkan peran yang dinamik untuk
merombak pemerintahan di tempat mereka berada agar dapat memenuhi kebutuhan
dan keinginan rakyat, serta berjuang demi prinsip-prinsip yang mereka anut (Creel
1990:30-31).
Selanjutnya, ajaran Khonghucu yang tidak kalah penting adalah tentang pendidikan.
Menurut Khonghucu, pada dasarnya manusia lahir dengan kualitas ren yang imanen
dan inheren dalam diri setiap orang. Namun kualitas itu harus dikembangkan terus
124

Revitalisasi Nilai-Nilai Budaya Etnis Tionghoa-Surabaya dalam Memperkuat Karakter Bangsa

menerus melalui pendidikan. Dalam kitab Lun Yu menekankan pentingnya belajar


dan belajar serta menempa diri secara berkelanjutan untuk menjadi pribadi yang
terbaik, seperti yang tertulis dalam kitab tersebut:
Sang Guru berkata
Merenung dalam keheningan
Tak Jemu untuk belajar
Tak lelah untuk mengajar
Adalah itu dalam diriku
Sang Guru berkata
Pada usia 15, kupacu diriku untuk belajar
Pada usia 30, kukuhkan pendirianku
Pada usia 40, ku tak lagi bermimpi
Pada usia 50, ku tahu tujuan hidupku
Pada usia 60, kukenali kebenaran dalam pendengaranku
Pada usia 70, kuikuti kata hatiku tanpa berbuat salah (Lun Yu Lun Gi
2012)
Dalam ajaran Khonghucu mengedepankan pentingnya mengejar ilmu sampai ke
akarnya hingga menemukan makna terdalam. Pengejaran ilmu tersebut hendaknya
tidak hanya dilakukan oleh kelompok bangsawan, namun harus dilakukan oleh
seluruh masyarakat (Sinamo 2013:36). Arti penting pendidikan untuk memajukan
negara menginspirasi beberapa organisasi Tionghoa di Surabaya untuk aktif dalam
kegiatan pendidikan, misalnya membuka sekolah, memberikan beasiswa bagi
siswa sekolah yang berprestasi, membuka perpustakaan serta memberi dana hibah
penelitian bagi peneliti yang melakukan penelitan bertema nation building. Salah
satu tokoh Tionghoa terkemuka di Indonesia yang tidak hanya turut membangun
sektor ekonomi namun juga pendidikan adalah Ciputra. Hal itu dibuktikan dengan
usahanya membuka sekolah dari mulai sekolah tingkat dasar hingga tingkat tinggi
atau universitas. Universitas Ciputra di Surabaya terletak di kawasan Surabaya
Barat.
Bagi masyarakat Tionghoa, hubungan manusia dengan Tuhan merupakan konsep
keyakinan yang wajib dijalankan sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Ditinjau secara
sosial-budaya, masyarakat tersebut memiliki sifat khas tradisi dan budaya yang
secara historis merupakan peninggalan leluhur mereka di Tiongkok. Dalam hal
budaya Tionghoa, kita dapat membedakan ajaran Khonghucu, Tao, dan Budha
sebagai religi atau agama, dan sebagai pedoman hidup yang dipatuhi oleh ketiga
umat tersebut, dan umat Kristen serta Islam yang masih melestarikan nilai-nilai
ajaran Khonghucu, Tao maupun Budha sebagai pedoman hidup bermasyarakat.
Ajaran berikutnya yang menjadi pedoman hidup etnis Tionghoa adalah ajaran
Tao yang dikembangkan oleh Lao Zi. Nama aslinya adalah Li Dan, dan ada yang
menyebutnya Li Er. Diperkirakan Lao Zi hidup sejaman dengan Khonghucu. Ajaran
Lao Zi sangat dipengaruhi oleh I Ching atau Kitab Perubahan, yang menjelaskan
tentang asal-usul segala sesuatu di alam semesta (Sinamo 2013:41) Ajaran Lao
125

Mozaik Vol 15 (1)

Zi terdapat dalam kitab Dao De Jing, yang di kemudian hari menjadi dasar ilmu
yang membahas hukum alam, perilaku kebajikan, etika moral, dan pengobatan
tradisional. Ajaran Tao sangat mempengaruhi ajaran Khonghucu maupun Budha.
Hal itu terbukti dengan banyaknya pengikut ajaran Khonghucu dan Budha yang
juga meyakini serta memuja Dewa Dewi dalam ajaran Tao. Oleh pengikutnya, Lao
Zi dipuja sebagai Dewa Tai Shang Lao Jun (Wang 2012:4). Pemujaan Lao Zi sebagai
dewa tersebut juga dilakukan oleh pengikut ajaran Tao di Surabaya.
Adapun konsep dasar dalam ajaran Lao Zi adalah Tao, Te, Wu Wei, Yin Yang, Chi, Wuji,
Wu Xing, Neidan, dan Feng Shui. Tao, merupakan jalan hidup yang ditafsirkan sebagai
asal muasal segala sesuatu yang ada di alam semesta. Tao juga dipandang sebagai
Yang Absolut atau Pencipta Agung, awal dari dan proses penciptaan segala sesuatu
di alam semesta ini. Setiap manusia diharapkan mencapai kesadaran Tao untuk
akhirnya menjadi dewa, atau setara dengan dewa atau menyatu dengan dewa. Te,
merupakan perwujudan Tao melalui fenomena alam dan hukum alam, yaitu kebajikan
utama, atau keluhuran moral. Te bertugas mendidik manusia menjadi makhluk
berbudi luhur dan berakal jernih yang tidak tergesa-gesa dan tamak, melainkan
sabar, dan lemah lembut, bersedia mengalah dan merendah dengan bijaksana seperti
karakter air yang mengalir, tidak ingin bersaing dengan apapun dan siapapun.
Dalam pandangan Te, orang yang tinggi kebajikannya tidak memperlihatkan diri
punya kebajikan. Dengan Te, manusia mampu melihat kehidupan yang berubah dan
berkembang secara damai dan alami. Wu Wei, secara harfiah wu berarti tidak, tidak
ada, kosong atau hampa. Sedangkan wei berarti berbuat, bertindak. Dengan demikian
wu wei berarti tidak bertindak. Wu wei merupkana cerminan pemahaman Lao Zi
tentang sifat alam yang selalu memberi dengan ikhlas dan menyediakan dengan
limpah. Melalui wu wei, manusia diajarkan meniri tabiat alam yang pemurah, apa
adanya, selalu merendah seperti air, dan berlapang dada seperti lembah. Pemimpin
selalu diminta agar bersikap sabar, mengayomi rakyat, dan memberi tanpa menuntut
balas jasa.
Yin Yang, adalah dualitas yang saling melengkapi sehingga sehat, kuat dan bertenaga.
Yin dan yang adalah pemahaman Tiongkok klasik yang melihat belahan bola dunia
yang terkena sorotan matahari sebagai yang, dan yang tidak terkena sorotan matahari
sebagai yin, berarti siang dan malam. Fenomena alam itu diadaptasikan pada bidang
yang lain. Bumi dipandang sebagai Yin, langit sebagai yang, laki-laki sebagai Yang,
wanita sebagai Yin, lunak sebagai Yin, terang sebagai Yang, lemah sebagai Yin,
kuat sebagai Yang, dingin sebagai Yin, dan panas sebagai Yang. Chi, merupakan
konsep dasar pengobatan tradisional Tiongkok, seperti akupuntur, meditasi, tekhnik
pernafasan, berbagai ramuan herbal, gerak badan, dan seni bela diri Kungfu maupun
Wushu. Chi adalah suatu zat aktif yang menjadi bagian utama makhluk hidup. Chi
juga dimaknai sebagai energi hidup, kekuatan atau aliran energi hidup. Dalam
pengobatan tradisional, Chi dimaknai sebagai energi penyembuh. Wuji, yang berarti
Tidak Terhingga atau Tidak Terbatas, Tidak Tertandingi, Tak Terukur dan Maha
Segala. Proses mencapai Wuji dapat dilatih melalui meditasi. Wu Xing, yang bearti
lima frasa atau lima transformasi dari Yin Yang, meliputi unsur air, api, logam, kayu,
dan tanah. Segala sesuatu yang ada di dunia melewati lima unsur tersebut. Neidan,
konsep alkimia Tiongkok yang meliputi alkimia internal dan spiritual yang dapat
126

Revitalisasi Nilai-Nilai Budaya Etnis Tionghoa-Surabaya dalam Memperkuat Karakter Bangsa

dicapai melalui serangkaian latihan fisik dan mental, khususnya untuk mencapai
umur panjang dan membuat rohani abadi pasca kematian. Melalui neidan, tubuh
manusia dilihat sebagai wadah bagi tiga pusaka hidup yang meliputi jing, chi, dan
shen. Ketiganya adalah energi vital yang bertujuan meningkatkan kesehatan tubuh,
mentalitas menguat dan menyatu dengan Tao sehingga diperoleh hidup yang kekal.
Feng Shui, yaitu ilmu tata ruang Tiongkok yang berdasarkan pada pemahaman
bahwa alam adalah gabungan dari unsur-unsur yang berbeda dalam suatu ruang
dan waktu (Sinamo 2013:36).
Ajaran Lao Zi tersebut mendasari perilaku etnis Tionghoa di Surabaya sehingga
mudah beradaptasi dengan perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Sikap tersebut
meliputi upaya mencari jalan tengah ketika terjadi konflik, ulet, sederhana, mengalah
untuk mencapai kemenangan, siap menerima perubahan sehingga tidak ketinggalan
zaman, tidak larut dalam sistem yang dibangun penguasa, dimana aturan diciptakan
untuk membedakan manusia. Sikap tersebut terutama diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari oleh warga Tionghoa yang berprofesi sebagai pengusaha.
Ajaran selanjutnya adalah ajaran Budha. Bagi etnis Tionghoa, ajaran Budha menyatu
dalam kehidupan mereka bersama dengan ajaran Tao dan Khonghucu sehingga
bersinergi menjadi tiga pondasi pembentuk budaya Tionghoa. Salah seorang
narasumber menyatakan bahwa salah satu pengikut ajaran maupun agama tersebut
tidak bisa memisahkan dua ajaran yang lainnya (Rahayu 2013). Hal itu disebabkan
adanya keyakinan bahwa ada banyak kesamaan dalam ketiga ajaran tersebut dan
ketiganya menjadi pedoman hidup agar hidup menjadi selaras dan damai (Fan 2013).
Bentuk keyakinan tersebut dibuktikan dengan penerapan Feng Shui oleh penganut
ajaran Budha dan Khonghucu, pemujaan terhadap dewa dan dewi dalam ajaran Tao
oleh penganut Budha, dan mengutamakan konsep Hao atau berbakti pada orang tua
yang terdapat dalam ajaran Khonghucu oleh penganut Tao maupun Budha.
Inti ajaran Budha adalah jalan tengah yang mencakup empat kebenaran mulia dan
delapan jalan utama. Dalam ajaran tersebut menganjurkan metode pembebasan diri
dengan komitmen dan usaha individu yang keras, sehingga meditasi menjadi hal
yang penting. Pengutamaan meditasi menunjukkan adanya kesamaan antara ajaran
Tao dan Budha. Adapun empat kebenaran mulia yakni penderitaan dialami oleh
semua makhluk hidup, yang meliputi kelahiran, umur tua, sakit, mati, disatukan
dengan yang tidak dikasihi, serta tidak mencapai yang diinginkan. Penderitaan
selalu disebabkan oleh nafsu untuk mendapatkan kenikmatan duniawi, untuk terikat
terhadap hidup atau mendekati bahaya kematian. Penderitaan bisa disingkirkan.
Dengan mengikuti delapan jalan utama atau jalan suci, manusia akan terbebas dari
segala nafsu, mengakhiri segala penderitaan hidup, dan kelahiran kembali.
Delapan jalan suci meliputi kebijaksanaan mengenai pengertian yang benar,
kebijaksanaan mengenai tujuan dan pikiran yang benar, moralitas ucapan yang
benar, moralitas perbuatan yang benar, moralitas bermatapencaharian yang benar,
disiplin mental dalam upaya yang benar, disiplin mental dalam perhatian yang
benar, disiplin mental dalam konsentrasi yang benar (Stokes 2001:46-47).

127

Mozaik Vol 15 (1)

Dalam perkembangannya, diaspora etnis Tionghoa di Jawa, terutama di Surabaya


mengakibatkan adaptasi, akulturasi serta upaya menyelaraskan nilai-nilai budaya
Tionghoa dengan nilai-nilai budaya Jawa. Akibat dari proses tersebut adalah, etnis
Tionghoa mampu menyerap nilai-nilai budaya Jawa sesuai dengan referensi kultural
mereka yaitu nilai-nilai budaya Tionghoa yang bersumber pada nilai-nilai ajaran
Khonghucu, Tao, dan Budha. Oleh sebab itu kita dapat melihat kepatuhan mereka
terhadap ketiga ajaran tersebut seraya mampu beradaptasi dengan budaya lokal
Surabaya yang banyak bersumber pada nilai budaya Jawa. Menurut beberapa tokoh
Tionghoa di Surabaya, kemudahan etnis Tionghoa beradaptasi dengan budaya Jawa
disebabkan karena banyak kesamaan antara nilai-nilai budaya Jawa dengan budaya
Tionghoa yang bersumber dari ketiga ajaran tersebut.

SIMPULAN

Bentuk karakter bangsa yang dimiliki oleh warga Tionghoa yang dapat dijadikan
sebagai role model pendidikan karakter bagi warga lainnya adalah sebagai berikut:
pertama, kemampuan warga Tionghoa sebagai individu yang mandiri dan
independen, bahwa kesadaran menjadi warga yang bertanggungjawab merupakan
bentuk kesadaran, bukan karena keterpaksaan. Kedua, memenuhi tanggungjawab
sebagai warga negara di bidang ekonomi dan politik; bahwa orang Tionghoa
memiliki harga diri yang cukup tinggi untuk memenuhi tuntutan perekonomian
dengan cara membentuk jaringan atau organisasi agar dapat saling membantu;
ketiga, penghormatan harkat dan martabat kemanusiaan setiap individu, bahwa
kemampuan mendengar dan kesopanan terhadap orang lain menjadi alasan betapa
keharmonisan dalam bermasyarakat perlu dijaga; keempat, berbakti pada orang
tua menjadi alasan betapa bersikap jujur, mampu bekerjasama, bersikap adil,
kemandirian maupun prestasi yang diraih merupakan bentuk dari berbakti pada
orang tua.
Berbagai karakter yang dimiliki oleh warga masyarakat Tionghoa tersebut terbentuk
melalui proses pembiasaan sejak kecil dalam proses keterlibatan dalam setiap
kegiatan upacara Tionghoa, pengintegrasian dalam pendidikan formal, serta
keteladanan yang diberikan oleh tokoh-tokoh masyarakatnya. Hampir dapat
dipastikan bahwa karakter baik haruslah berasal dari model dan figur yang
berkarakter baik pula, dan masyarakat Tionghoa mampu mempresentasikan diri
melalui keteladanan dalam hidup sebagai individu, sebagai warga masyarakat,
dan sebagai warga bangsa. Kemandirian orang Tionghoa memang menarik dan
unik. Dengan percaya pada potensi diri, orang Tionghoa memilih berwirausaha dan
menciptakan lapangan pekerjaan. Bagi mereka, bekal pendidikan dan pengalaman
sudah cukup mampu membuat mereka menjadi pribadi yang mandiri dan memiliki
rasa percaya diri, bahkan meskipun terkadang mereka tidak berbekal pendidikan
tinggi.
Perubahan besar yang melanda dunia pada umumnya akibat pengaruh globalisasi
dan berbagai kebijakan politik misalnya, ternyata mampu menggeser adat istiadat
Tionghoa. Namun, pergeseran adat istiadat tersebut bukanlah mencerminkan
hilangnya nilai-nilai budaya Tionghoa, dengan alasan pengadopsian nilai-nilai
budaya modern merupakan bukti kemampuan mereka dalam mengimplementasikan
128

Revitalisasi Nilai-Nilai Budaya Etnis Tionghoa-Surabaya dalam Memperkuat Karakter Bangsa

nilai-nilai budaya Tionghoa. Dari masyarakat Tionghoa, masyarakat lain dapat


belajar tentang prinsip hidup bersama namun tidak menghilangkan kemandirian
yang saat ini sudah semakin rapuh oleh individualisasi. Kajian ini masih terbatas
pada pengungkapan aspek-aspek yang idealis dalam elemen-elemen karakter
bangsa, sehingga keberlanjutan dari kajian ini yaitu bagaimana strategi membumikan
elemen karakter bangsa perlu dilakukan pada penelitian selanjutnya, termasuk juga
bagaimana nuansa budaya lokal berpengaruh dalam pembentukan dan penerapan
karakter.

DAFTAR PUSTAKA

Barker, Chris. 2006. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Creel, HG. 1990. Alam Pikiran Cina Sejak Confusius sampai Mao Zedong. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Fan, wawancara oleh Shinta Rahayu. 2013. Ajaran dan Budaya Tionghoa (13
Desember).
Fu, Rita Lauw. 2014. Tiongkok Wise Stories: 96 Cerita Bijak Inspiratif. Jakarta: Bhuana
Ilmu Populer.
Koesoema A Doni. 2009. Pendidikan Karakter di Zaman Keblinger: Mengembangkan Visi
Guru Sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidikan Karakter. Jakarta: Grasindo.
Liem Tjiok Fan, wawancara oleh Shinta Rahayu. 2014. Budaya Tionghoa di Surabaya
(23 Januari).
Lun Yu Lun Gi. 2012. Diterjemahkan oleh Bratayana Ongkowijaya. Tanpa
penerbit.
Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia. 1970. Su Si Kitab Suci Agama Khonghucu.
Jakarta: MATAKIN.
Metzger, Sean. 2009. Unsettling Towards a Chinese/Cuban Cultural Critique.
Cultural Dynamics21(3):317-338.
Oentoro, Jimmy. 2010. Indonesia Satu Indonesia Beda Indonesia Beda. Jakarta:
Gramedia.
Rahayu, wawancara oleh Shinta Rahayu. 2013. Ajaran dan Budaya Tionghoa (12
Desember).
Suhandinata, Justin. 2009.WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik
Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Suryadinata, Leo. 1994. Politik Tionghoa Peranakan di Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.
Sinamo, Jansen. 2013. The Chinese Ethos: Memahami Adidaya China Abad 21 dari Perspektif
Budaya dan Sejarah. Jakarta: Institut Darma Mahardika.
Stokes, Gillian. 2001. Seri Siapa Dia? Buddha. Jakarta: Erlangga.
Wang, Andri. 2012. The Wisdom of Lao Zi. Jakarta: Gramedia.
129

Mozaik Vol 15 (1)

Wibowo, I, dan Thung Ju Lan (eds). 2010. Setelah Air Mata Kering: Mmasyarakat
Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Xu, Shi. 2013. Contemporary Chinese Communication Made Understandable: A
Cultural Psychological Perspective. Culture Psychology19 (1): 3-19.

130

PANDUAN UNTUK PENULIS MOZAIK


A. Panduan menyiapkan naskah publikasi

Redaksi menerima kiriman artikel dengan ketentuan sebagai berikut.


1. Artikel belum pernah dipublikasikan oleh media lain..
2. Artikel orisinal tentang kajian ilmu humaniora, baik sastra, linguistik, sejarah,
filsafat, filologi maupun kajian-kajian kebudayaan dan kemasyarakatan.
3. Artikel diketik dengan huruf Times New Roman ukuran 12, spasi 1 pada kertas
ukuran A4 dengan pias kiri 3,5 cm, pias kanan 3 cm, pias atas dan bawah 3 cm.
Panjang artikel tidak lebih dari 7000 kata, termasuk gambar, grafik, tabel, dan
daftar pustaka.
4. Judul, abstrak, dan kata-kata kunci ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa
Inggris.
5. Artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris.
6. Sistematik penulisan artikel disusun dengan urutan sebagai berikut: (a) judul:
komprehensif, jelas, dan singkat. Judul dibatasi tidak lebih dari 15 kata. Judul
artikel, judul bagian, dan judul subbagian dicetak tebal. Huruf kapital digunakan
untuk mengawali setiap kata dalam judul kecuali kata depan; (b) nama dan
institusi penulis: nama ditulis lengkap tanpa gelar. Nama institusi ditulis di
bawah nama penulis, disertai alamat lengkap institusi, nomor telepon institusi,
dan alamat surel penulis; (c) abstrak: merupakan intisari artikel, terdiri atas
150250 kata, dan dituangkan dalam satu paragraf; (e) kata kunci: di bawah
abstrak dicantumkan kata-kata kunci (keywords) paling banyak lima kata dan ditulis
urut secara alfabetis. Kata-kata kunci harus mencerminkan konsep penting yang
ada di dalam artikel; (f) pendahuluan (tanpa subbagian): berisi latar belakang
masalah, tujuan, tinjauan pustaka, dan signifikansi artikel (jika ada); (g) metode;
(h) hasil dan pembahasan: disajikan dalam subbagian-subbagian; (i) perujukan
atau pengutipan: ditulis menggunakan sistem pengarang-tahun (author-date)
dan disarankan mencantumkan nomor halaman; (j) gambar, grafik, dan tabel:
diberi nomor, judul, dan keterangan serta dikutip di dalam teks. Perujukan atau
pengutipan gambar, grafik, dan tabel menggunakan penomoran, bukan dengan
kata-kata seperti di bawah ini, sebagai berikut, atau berikut ini. Contoh: Struktur
penulisan judul berita pada rubrik ekonomi harian Kompas disajikan dalam Tabel 4.
Untuk gambar dan grafik, nomor dan judulnya diletakkan di bawahnya, sedangkan
untuk tabel, nomor dan judulnya diletakkan di atasnya. Gambar, grafik, dan tabel
merupakan data yang sudah diolah. Pencantuman tabel atau gambar yang terlalu
panjang (lebih dari 1 halaman) sebaiknya dihindari. Tabel harus disajikan tanpa
garis vertikal. (k) simpulan (bukan ringkasan atau pengulangan hasil); (l) daftar
pustaka (bukan bibliografi): berisi pustaka-pustaka yang diacu dalam artikel, ditulis
secara alfabetis dan kronologis menurut nama penulis tanpa mencantumkan gelar.
Jika seorang penulis menulis lebih dari satu artikel/buku dalam tahun yang sama,
di belakang tahun baik di dalam teks maupun di dalam daftar pustaka dibubuhi
huruf kecil (a, b, dan c). Dalam daftar pustaka, penulisan nama depan pengarang
boleh ditulis lengkap atau disingkat, misalnya Storey, John atau Storey, J.
7. Artikel yang ditulis dalam Bahasa Inggris dapat menggunakan ejaan British English
atau American English dan harus konsisten di keseluruhan artikel.
8. Artikel dapat dikirim melalui surel ke up2dfibunair@yahoo.co.id

9. Kepastian pemuatan atau penolakan artikel akan diberitahukan secara tertulis


kepada penulis. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan.
10. Penulis bersedia melakukan revisi artikel jika diperlukan.
11. Penulis yang artikelnya dimuat akan menerima sepuluh cetak lepas tanda bukti
pemuatan.
12. Bahasa yang digunakan dalam penulisan Daftar Pustaka mengikuti bahasa
artikel.
13. Penulis disarankan menggunakan software Mendeley dalam penulisan sitasi dan
daftar pustaka (bisa diunduh secara gratis di www.mendeley.com) dan memilih
gaya selingkung Turabian style (author-date). Jika menyusun sitasi dan daftar pustaka
secara manual, perujukan ditulis dengan tata cara seperti contoh berikut.

Buku

Pengutipan dalam teks:


(Arivia 2003:25)
Penulisan dalam Daftar Pustaka:
Nama belakang penulis, Nama depan atau Inisial. Tahun. Judul. Kota tempat terbit:
Penerbit.
Arivia, Gadis. 2003. Filsafat Berspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Bunga rampai/antologi dan prosiding konferensi yang ber-ISBN


Pengutipan dalam teks:
(Roth 2008)

Penulisan dalam Daftar Pustaka:


Nama belakang penulis, Nama depan atau Inisial. Tahun. Judul. Dalam Judul Buku
Antologi, disunting oleh Nama Lengkap (atau dengan Inisial) Penulis. Kota terbit:
Penerbit.
Roth, Paul. 2008. The Epistemology of Science after Quine. Dalam The Routledge
Companion to Philosophy of Science, disunting oleh Stathis Psillos dan Martin Curd.
London and New York: Routledge.
Jika yang dirujuk adalah bunga rampai secara keseluruhan, maka dituliskan sebagai
berikut:
Psillos, S, dan Martin Curd (eds). 2008. The Routledge Companion to Philosophy of Science.
London and New York: Routledge.

Jurnal cetak

Pengutipan dalam teks:


(Istanti 2001)
Penulisan dalam Daftar Pustaka:
Nama belakang penulis, Nama depan atau Inisial. Tahun. Judul. Nama Jurnal volume
(nomor jika ada): rentang halaman.
Istanti, Kun Zachrun. 2001. Hikayat Amir Hamzah: Jejak dan Pengaruhnya dalam
Kesusastraan Nusantara. Humaniora 13 (1): 2337.

Artikel surat kabar cetak


Pengutipan dalam teks:
(Santoso 2004)

Penulisan dalam Daftar Pustaka:


Nama belakang penulis, Nama depan atau Inisial. Tahun. Judul. Nama Surat Kabar,
tanggal dan bulan diterbitkan.
Santoso, Iwan. 2004. Meruntuhkan Prasangka Menjalin Kebersamaan. Kompas, 22
Mei.

Makalah dalam pertemuan ilmiah


Pengutipan dalam teks:
(Sartini 2011)

Penulisan dalam Daftar Pustaka:


Nama belakang penulis, Nama depan atau Inisial. Tahun. Judul. Nama Pertemuan
Ilmiah. Nama Kota.
Sartini, Ni Wayan. 2011. Strategi Linguistik dalam Wacana Politik. Seminar Nasional
Politik Bahasa dan Bahasa Politik. Surabaya.

Laporan penelitian, skripsi, tesis, atau disertasi


Pengutipan dalam teks:
(Saputra 2003)

Penulisan dalam Daftar Pustaka:


Nama belakang penulis, Nama depan atau Inisial. Tahun. Judul. Kota: Nama
Institusi.
Saputra, Heru. 2003. Mantra Sabuk Mangir dan Jaran Goyang dalam Budaya Using di
Banyuwangi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Panduan lengkap gaya selingkung Mozaik bisa dilihat di http://journal.unair. ac.id/gayaselingkung-informasi-314-19.html

B. Etika Penulisan

Ketika menyerahkan artikel, penulis harus mengirimkan juga formulir penyerahan


naskah berisi:
1. Formulir Pernyataan, bahwa a) artikel tersebut adalah asli/bebas plagiarisme, belum
pernah dipublikasikan, dan tidak sedang dipertimbangkan untuk publikasi di jurnal/
media lain, b) tidak memiliki permasalahan hak cipta untuk gambar atau tabel yang
disajikan, dan c) semua penulis telah menyetujui urutan kepengarangan, isi naskah,
dan publikasi naskah.
2. Formulir Perjanjian Hak Cipta, bahwa penulis memberikan lisensi bebas royalti
kepada penerbit yang ditunjuk manajemen Mozaik untuk menerbitkan, mereproduksi,
menyimpan, dan mendistribusikan naskah dalam bentuk cetak dan digital kepada
khalayak, dan bahwa penulis tetap memegang hak cipta atas naskah.

Informasi lebih lanjut bisa dilihat di http://journal.unair.ac.id/pernyataan-penulisinformasi-315-19.html

Anda mungkin juga menyukai