Anda di halaman 1dari 15

1

POLA PENDIDIKAN INFORMAL PADA SENTRA KERAJINAN LOGAM


KOTA PERAK DI KOTAGEDE
Wahyu Kurniawan
S2 Pendidikan Seni, Fakultas Bahasa, Seni dan Budaya, Universitas Negeri Yogyakarta
Email: wahyuk303@gmail.com
Abstrak
Dalam kajian mengenai pewarisan budaya melalui pola pendidikan informal
pada Sentra Kerajian Logam Kota Perak, pendidikan informal memiliki peran penting
dalam pelestarian dan pengembangan budaya kerajinan logam tradisional. Kolaborasi
antara generasi yang berbeda, peningkatan kesadaran masyarakat, pembentukan
komunitas pembelajaran, dan dampak positif secara ekonomi menjadi faktor kunci
dalam upaya menjaga keberlanjutan warisan budaya. Masyarakat pengrajin logam
Kotagede memiliki pewarisan budaya dari generasi tua turun ke generasi muda
dengan beberapa tahapan yaitu, melalui pendidikan informal dari keluarga maupun
tetangga terdekat yang memiliki keterampilan mengolah kerajinan logam, belajar
mengenai kebudayaan dengan mengkaji proses internalisasi, sosialisasi, dan
enkulturasi budaya masyarakat Kotagede sebagai sentra kerajinan logam, serta
menentukan unsur-unsur kebudayaan masyarakat mulai dari bahasa jawa untuk
berinteraksi, sitem pengetahun, sistem kemasyarakatan yang memberikan prioritas
tinggi pada nilai kekeluargaan, sistem peralatan hidup dengan memanfaatkan
peralatan modern yang didesain sesuai dengan kebutuhan pasar, sistem mata
pencaharian sehari-hari sebagai pengrajian logam, sistem keagamaan yang
menjunjung tinggi tradisi agama islam, serta kesenian yang dihasilkan dari kreativitas
membuat produk kerajinan logam.
Kata kunci: pendidikan informal, pewarisan budaya, logam, Kotagede.
A. Latar Belakang
Warisan budaya dalam masyarakat telah melalui transformasi signifikan. Selain
faktor eksternal, transformasi dipengaruhi oleh faktor internal yang ada di manusia
agar beradaptasi dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Pengrajin logam di Kotagede
Yogyakarta merupakan pengrajin yang telah mewarisi keahlian yang mereka punya
diturunkan secara turun temurun. Masyarakat pengrajin logam telah mengahadapi
perubahan, sejalan bersama berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di
zaman ini. Banyak dari para pengrajin yang mengalami peningkatan profesi yang
pada awalnya seorang pengrajin logam menjadi pengrajin profesional, pengusaha,
dan exportir. Sebuah karya seni kriya merupakan cabang dari seni rupa yang
berkembang menghasilkan karya-karya fungsional maupun non-fungsional melalui
proses kreativitas dan interpretasi yang tumbuh dari berbagai pengalaman pribadi
baik apa yang dibaca maupun apa yang dilihat.
Menurut Williams (dalam Soerjono, 2002), sifat esensial dari kebudayaan ini
dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) kebudayaan ini termanifestasi dan dieskpresikan
melalui tindakan manusia, (2) kebudayaan sudah ada sebelum generasi yang terkait
2

lahir, (3) manusia membutuhkan kebudayaan dan mewujudkannya melalui perilaku


mereka; dan (4) kebudayaan melibatkan norma-norma yang mencakup kewajiban,
tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan yang dilarang, dan tindakan yang
diizinkan. Menurut (Nuryanti, 2012), proses pembelajaran kebudayaan melibatkan
beberapa tahap yaitu: (a) proses internalisasi, (b) proses sosialisasi, dan (c) proses
enkulturasi. Unsur-unsur kebudayaan mendukung proses pembelajaran kebudayaan.
Beberapa unsur kebudayaan, diantaranya: (1) sistem religi dan uapacara keagamaan,
(2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) Sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5)
kesenian, (6) sistem mata pencaharian, dan (7) sistem teknologi dan peralatan. Dari
nomor 1 hingga nomor 7 berurutan menurut yang paling sukar berubah kepada yang
paling mudah berubah (Darusman, 2016). Ikatan antara kebudayaan dan kepribadian
sangat erat, karena dalam lingkungan sosial budaya terdapat pola adat pengasuhan
dan pendidikan anak yang didalamnya terdapat proses pembelajaran meniru
menyesuaikan terhadap tradisi masyarakat berkelanjutan dan turun-temurun dari
generasi saat itu ke generasi saat ini (Kodiran, 2004).
Pendidikan ialah proses berkelanjutan serta berkepanjangan dimana hal tersebut
terus menyertai hingga akhir hayat seorang manusia. Dalam UU Sisdiknas Nomor 20
(Peraturan Pemerintahan RI, 2003) terdapat bahwa berbagai jalur dari pendidikan
yang ada di Indonesia yakni informal, non formal serta formal. Adanya jalur ini
memiliki tujuan dalam pembentukan karakter peserta didik maupun anak dalam
pengembangan kebaikan serta interaksi yang dibantu dengan adanya sebuah
lingkungan serta penambahan wawasan yang ada di dalam peserta didik tersebut.
Pendidikan informal ialah sebuah jalur pendidikan lingkungan maupun keluarga
didalamnya. Pendidikan ini dilakukan guna membentuk sebuah kegiatan di dalam
proses belajar dan mengajar secara mandiri. Pengaruh yang penting dalam pola
tingkah dan laku anak yakni keluarga dimana mereka bisa mempengaruhi dalam
bentuk sikap dari orang tua, pola serta gaya asuh pada anak, dan hal lainnya yang
mempengaruhi perkembangan serta pertumbuhan dari anak tersebut (Inanna, 2018).
Hal ini akan menjadikan lingkungan yang ada di dalam pendidikan ini berpengaruh
didalam proses perkembangan serta pertumbuhan anak dan kelangsungan selamanya
dengan perolehan yang ada dalam diri orang yakni pengetahuan, keterampilan, sikap
serta nilai yang ada. Sementara itu jika dilihat dari lingkungan contohnya ialah
tetangga, keluargam pekerjaan, media massa dan lain sebagainya, (Sudjana, 2003).
Dalam pendidikan informal tidak ada kriteria kredensial yang diperlukan dan
tidak ada kredensial yang harus dimiliki oleh pemberi atau penerima pendidikan.
(Rohman, 2009) memaparkan pendidikan informal ialah bentuk pendidikan tersebut
tidak memiliki struktur yang terorganisir, tidak mengikuti urutan kronologis, tidak
memerlukan kredensial, dan lebih berfokus pada pengalaman belajar individu secara
mandiri. Pendidikan yang berlangsung dalam keluarga adalah contoh nyata dari jenis
pendidikan informal, karena tidak menggunakan penilaian program, jenjang,
kurikulum, dan sebagainya, namun hal tersebut merupakan proses yang bersifat
alamiah. Ada berbagai contoh lainnya seperti media massa, kampanye, dan beragam
bentuk keterlibatan dalam kelompok sosial. Dari pernyataan tersebut, dapat diartikan
3

bahwa pendidikan informal merujuk pada bentuk pendidikan dimana individu secara
mandiri, baik dengan kesadaran, secara berkelanjutan dan tidak terstruktur, yang
berlangsung dalam lingkungan keluarga atau masyarakat. Didapatkan sebuah
kesimpulan bahwa sebuah pendidikan secara informal yakni melalui jalur lingkungan
serta keluarga dengan berbagai kegiatan di dalam proses mengajarnya dan hal ini
dikerjakan secara mandiri, penuh tanggung jawab. Perbedaan dari pendidikan
informal, non formal serta formal akan melengkapi serta mengisi secara sekaligus dan
bertahap mengenai keterpaduan dalam pengembangan tanggung jawab yang ada di
sebuah generasi muda, dengan pengharapan suatu kerjasama baik langsung maupun
tidak dengan kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan.
Kebudayaan dan manusia ialah hal yang selalu berdampingan, dimana hal ini
akan selalu bersama dan tidak bisa dipisahkan, karena penghimpunan diri seorang
manusia didalam status secara sosial budaya menjadikan masyarakat di dalam suatu
daerah. Mayarakat bisa untuk mengembangkan, menumbuhkan serta melahirkan
sebuah kebudayaan secara tersendiri. Hasil dari ciptaan manusia tersebut akan
menyusun kebudayaan di dalam sebuah masyarakat (Kistanto, 2017). Sebuah karya
seni kriya merupakan cabang dari seni rupa yang berkembang menghasilkan karya-
karya fungsional maupun non-fungsional melalui proses kreativitas dan interpretasi
yang tumbuh dari berbagai pengalaman pribadi baik apa yang dibaca maupun apa
yang dilihat.
Perhiasan perak, aksesoris logam, dan kerajinan dekoratif merupakan suatu
keperluan esensial bagi manusia selain makanan dan hunian, barang tersebut adalah
benda - benda yang memberikan kesan keserasian dalam berbusana (Arifah A.
Riyanto, 2008). Adapun pelengkap busana, perhiasan, aksesoris, atau kerajinan
dekoratif yang bisa memperindah penambilan saat berbusana yang sering disebut den
an milineris, milineris bukan hanya sebagai pelengkap maupun penunjang namun
mempunyai sebuah nilai jual dengan penjadian usaha yang menjanjikan didalamnya
perhiasan seperti cincin, kalung, anting, gelang, maupun kerajinan dekoratif seperti
hiasan dinding, lampu hias, kaligrafi logam dan lain-lain. Saat ini manusia hidup
dalam zaman globalisasi yang sangat pesat, hampir semua sektor, termasuk bidang
kesenian khususnya kriya mengalami perkembangan yang cukup pesat. Globalisasi
juga dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada kebudayaan dan kesenian yang
terjadi akibat adanya penemuan-penemuan baru, perkembangan ilmu pengetahuan,
inovasi, difusi dan kulturasi sehingga sangat terasa pesat dalam merubah tatanan
sosial dalam masyarakat. Perubahan begitu mudah untuk dilihat salah satunya
dengan melihat dari identitas masyarakat itu semakin redup seiring berjalannya
waktu, budaya juga mengalami perubahan yang terjadi secara perlahan sehingga
semakin lama akan mengalami perubahan yang penting dalam tatanan kehidupan
keseharian masyarakat, berbagai perubahan akan mengakibatkan untung dan rugi, hal
yang paling merugikan adalah hilangnya kebudayaan asli masyarakat dan pelan-pelan
memberi dampak pada perilaku, adat istiadat, dan juga kesenian.
Perkembangan teknologi yang pesat menjadi faktor meningkatnya minat dan
4

keberagaman gaya hidup dalam dunia fashion, yang juga mendorong pertumbuhan
bisnis di industri milineris. Selain menjadi kebutuhan primer, kebutuhan sekunder
juga tidak kalah menarik perhatian kawula muda peminat fashion maupun kolektor.
Seperti halnya aksesoris perhiasan liontin, gelang, anting bagi wanita, perhiasan dapat
dikatak,an investasi. Namun berbeda dengan pria, pria lebih tertarik untuk memiliki
sesuatu yang dianggap menarik perhatian seperti halnya cincin/akik, kaligrafi ukir
logam atau barang-barang dekorasi ukir logam lainnya. Maka diperlukan strategi
yang efektif untuk mearik perhatian konsumen, salah satunya adalah dengan
mengaplikasikan kekayaan budaya yang ada di daerah pusat kerajinan.
Pendidikan bukan hanya semata-mata mengenai sekolah-sekolah formal,
pendidikan bisa dimulai dari lingkungan sebuah industri kerajinan yaitu pendidikan
informal yang terdapat pada industri rumahan atau sentra kerajinan. Pendidikan juga
merupakan alat pewarisan dan penanaman nilai-nilai kehidupan baik sosial atau
budaya, menurut Mollehnhaur (Jailani, 2014) mengenai pendidikan keluarga. Karena
pada saat ini banyak sekali pekerjaan yang lebih baik, seperti pegawai perusahaan,
pegawai negeri, atau sebagainya. Namun perajin masih memberikan perhatian
penting terhadap pendidikan informal pada industri kerajinan logam di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta dengan adanya realitas empiris agar tetap eksis
khususnya di sentra kerajinan logam di Kotagede untuk mewariskan kerajinan logam
bagaimana hal tersebut dapat berjalan sampai saat ini ditengah arus globalisasi.
Dengan merujuk pada pertanyaan dan asumsi dasar yang terungkap, artikel ini
ditujukan utama untuk memberikan solusi terhadap empat permasalahan yaitu, (1)
Bagaimana sejarah sentra kerajinan logam di Kotagede?, (2) Bagaimana pendidikan
informal pada sentra kerajinan logam di Kotagede?, (3) Bagaimana proses pewarisan
budaya sentra kerajinan logam di Kotagede?, (4) Bagaimana unsur kebudayan
masyarakat pengrajin logam di Kotagede? Artikel ini didesain sebagai panduan
komprehensif yang akan membantu pembaca memahami dan menanggapi setiap
aspek permasalahan yang dibahas. Dengan demikian, tujuan penulisan artikel adalah
memberikan wawasan mendalam dan solutif terhadap masalah-masalah yang muncul
dari pertanyaan dan asumsi dasar yang telah diajukan.

B. Hasil dan Pembahasan


1. Sejarah Sentra Kerajinan Logam di Kotagede
Kotagede yang didalamnya terdapat kehidupan bermasyrakat dengan pekerjaan
masyarakatnya ialah pengusaha dibidang industri serta pedagang. Sudah menjadi hal
yang turun menurun pekerjaan di Kotagede. Sejak abad ke-16, khususnya pada masa
Kerajaan Mataram Islam, Kotagede telah menjadi pusat perdagangan yang
berkembang pesat. Selain memperdagangkan hasil bumi untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, juga terdapat perdagangan barang-barang hasil kerajinan dari masyarakat
Kotagede (Albiladiyah, 1997). Menurut (Albiladiyah, 1997), pada masa pemerintahan
Sultan Agung (1613-1646) di Kerajaan Mataram Islam, penduduk Kotagede dibagi
menjadi empat golongan berdasarkan bidang pekerjaan yang memiliki peran dan
5

fungsi tersendiri. Pertama, terdapat golongan pegawai kerajaan atau yang lebih
dikenal sebagai abdi dalem. Mereka mengemban jabatan seperti pengurus masjid,
petugas pemakaman, dan penjabat pemerintah, yang biasanya tinggal di keratin
sebagai tempat kediaman. Kedua, terdapat golongan pengusaha industri pengrajin
perak yang melibatkan pengrajin dalam perusahaannya. Para pedagang besar keluar
jawa menjalankan penjualan dengan mengenalkan berbagai barang, sering kali
memerlukan kerjasama yang solid dengan pemastian dari pengrajin.
Ketiga yaitu terdiri dari pengrajin dan pedagang kecil yang berperan sebagai
subordinat dari golongan kedua. Pengrajin bekerja untuk perusahaan industri perak
dengan keahlian yang beragam, menjalankan pesanan dari perusahaan pedagang
kecil. Pedagang kecil ini mencakup pedagang kelontong yang beroperasi baik di
rumah maupun di pasar lokal. Selanjutnya, golongan keempat melibatkan buruh
harian dan petani, yang hidup tanpa penghasilan tetap dan bergantung pada orang-
orang yang membutuhkan jasanya. Di Kotagede, petani menjadi minoritas karena
mayoritas penduduk terdiri dari pengrajin. Golongan ini cenderung tinggal di daerah
mutihan. Dengan demikian, struktur sosial Kotagede mencerminkan keragaman peran
dan kontribusi masing-masing golongan dalam kehidupan sehari-hari.
Sejak abad ke-16, terutama pada masa Kerajaan Mataram Islam, Kotagede
sudah menjadi pusat perniagaan yang berkembang pesat. Selain memenuhi kebutuhan
sehari-hari, perdagangan di Kotagede juga melibatkan barang-barang hasil kerajinan
masyarakat setempat, pada masa Sultan Agung (1613-1646) di Kerajaan Mataram
Islam, penduduk Kotagede terbagi menjadi empat golongan berdasarkan pekerjaan
mereka (Albiladiyah, 1997). Golongan pertama adalah pengrajin dan pedagang kecil
yang merupakan anak buah dari golongan kedua. Para pengrajin bekerja untuk
perusahaan industri perak dan mengerjakan pesanan dari perusahaan pedagang kecil,
baik di rumah maupun di daerah pasar, seperti pedagang kelontong. Selain itu,
perkampungan di Kotgede memiliki toponim yang mencerminkan jenis kerajinan
yang dilakukan oleh penduduknya. Sampai sekarang, nama-nama kampung tersebut
masih tidak sulit dikenali di sekitar Kotagede, bahkan dijadikan sebagai nama jalan
di wilayah tersebut. Misalnya, perkampungan bagi pengrajin perak (dan perunggu)
disebut Kemasan, bagi pengrajin alat-alat dari besi disebut Pandean, bagi pengrajin
keris adalah Mranggi atau Mranggen yang sekarang menjadi Prenggan, dan bagi
pengrajin batik disebut Bathikan.
Perkembangan pesat industri seni terjadi sekitar tahun 1934-1939, dikarenakan
banyaknya campur tangan bangsa asing seperti Belanda karena ketertarikannya
dengan hasil perak Kotagede untuk dijadikan oleh-oleh untuk dibawa ke negaranya.
Meningkatnya keuntungan para pelaku industri perak menarik minat para golongan
pemodal dan pedagang untuk mengalihkan usahanya kebidang usaha industri dan
produk seni kerajinan perak (Armiyati, 2014). Perkembangan pusat tersebut membuat
masyarakat di Kotagede merasa bahwa berbisnis perak sangat menguntungkan, dan
membuat masyarakat memilih menjual perak dari pada kerajinan lainnya. Masa-masa
6

kejayaan industri perak tidak berlangsung lama. Perang dunia II (1939-1945)


membuat industri perak terkena dampak yang cukup membuat pelaku industri perak
memutar otak supaya industrinya tetap berjalan. Mahalnya harga bahan baku perak
pada masa kedudukan Jepang memaksa pengrajin dan pengusaha menggunakan
bahan baku yang lebih murah, seperti tembaga dan kuningan, yang kemudian disepuh
dengan warna perak, sesuatu yang tidak boleh dipandang kemunduran, melainkan
upaya sebagai perluasan usaha dengan kreasi dan variasi baru dengan
mempertimbangkan bahan dan harga bahan dengan jangkauan masyarakat konsumen
yang lebih luas pula. Atmodimulyo menjelaskan tentang bagaimana industri perak
melakukan inovasi baru bahwa, “Dalam masa-masa sulit seperti itu terjadi pula
diversifikasi usaha ialah dikembangkannya pula seni kerajinan dengan bahan-bahan
baku seperti tempurung kelapa, tanduk, dan tulang binatang. Produknya adalah
berupa tusuk konde, sisir, cincin, peniti dan lain-lain” (Atmodimulyo, 1997). Periode
ini merupakan masa krisis pertama kali pengrajin perak sebelum tahun 1998,
bertahannya para industri perak di tahun 1998 di pengaruhi oleh krisis tahun 1939an
ini dimana industri perak berusaha berinovasi untuk bertahan dari permasalahan
negara saat itu.
Pada masa tersebut, kerajinan perak memiliki popularitas yang lebih tinggi
daripada kerajinan perunggu. Nilai intrinsik perhiasan emas juga lebih tinggi daripada
perak. Hal ini terjadi karena emas dianggap sebagai investasi jangka panjang yang
lebih menguntungkan daripada perak. Selain itu, perak memiliki beberapa kelemahan
bagi pembeli perhiasan, seperti sulitnya menjual perak kembali dibandingkan dengan
emas yang lebih mudah dijual kembali saat harga bahan baku perak naik. Selain itu,
investasi jangka panjang dalam perak cenderung kurang menguntungkan karena
harga perak yang tidak stabil. Terakhir, perak juga kalah bersaing dengan emas putih
yang lebih menguntungkan (Albiladiyah, 1997). Saat ini, Kotagede terlihat sebagai
pasar atau pusat perdagangan yang besar. Pasar Gede menjadi pusat kegiatan
ekonomi dan kerajinan masyarakat. Pasar ini tidak hanya berfungsi sebagai lokasi
berbelanja, tetapi juga sebagai lokasi sosialisasi masyarakat. Pasar Gede menjadi titik
pertemuan bagi penduduk dari berbagai penjuru Kotagede karena berlokasi di tengah
pemukiman masyarakat. Pasar Gede dianggap penting oleh tradisi kerajaan karena
terdapat makam raja, sehingga selalu dihindari oleh pasukan Diponegoro
(Surjomihardjo, 2008).
Pasar Gede tetap menjadi tujuan favorit masyarakat untuk berbelanja hingga
saat ini. Pasar ini juga menjadi simbol kemakmuran dan kekayaan Kotagede. Pasar
Gede telah mengalami pemugaran beberapa kali dan saat ini menjadi pasar yang luas
dengan banyak kios yang menjual berbagai kebutuhan. Namun, gambaran pasar
tersebut sangat berbeda dengan pasar tradisional saat ini. Pada masa lalu, aktivitas
jual beli dilakukan dibawah pohon-pohon rindang dengan penjual yang duduk di atas
tanah. Barang-barang yang diperdagangkan pada masa itu terutama hasil pertanian
seperti sayur dan buah-buahan (Albiladiyah, 1997). Meskipun sekarang ada pedagang
lokal yang masih berdagang di bawah pohon, sebagian besar transaksi perdagangan di
Pasar Gede melibatkan kios-kios dan toko-toko yang menjual berbagai kebutuhan.
7

Kerajinan batik tidak sepopuler kerajinan perak di Kotagede, namun


keberadaannya tetap terkenal. Kerajinan perak yang mendominasi perdagangan di
Kotagede tercermin pada corak dan cara pembuatannya yang masih tradisional.
Proses pembuatan kerajinan perak di Kotagede masih dilakukan secara tradisional
tanpa menggunakan peralatan modern atau teknologi. Pengrajin perak di Kotagede
masih mengandalkan keterampilan tangan dan imajinasi dalam mengukir barang-
barang kerajinan. Meskipun ada peningkatan harga material dasar perak yang dapat
menimbulkan kecurangan, seperti penggunaan tembaga atau kuningan yang
kemudian dilapisi dengan lapisan perak, kerajinan perak di Kotagede terus bertahan
dengan motif khas daerah (Soekiman, 1993).
Kerajinan perak di Kotagede juga telah memberikan dampak positif terhadap
perekonomian dan kegiatan kreatif masyarakat setempat. Perak telah menjadi bagian
dari identitas Kotagede dan kota ini dikenal dengan sebutan "Kota Perak".
Masyarakat Kotagede, terutama para pengrajin, memiliki keahlian dalam kerajinan
perak yang diwariskan dari generasi ke generasi. Banyak pengrajin perak yang
memulai usaha sendiri setelah bekerja sebagai buruh di perusahaan-perusahaan perak.
Mereka melihat peluang bisnis yang menguntungkan dan dengan dana yang dimiliki,
mereka mendirikan usaha kerajinan perak yang dapat bersaing dengan perusahaan-
perusahaan yang lebih mapan.
2. Pendidikan Informal Pada Sentra kerajinan Logam di Kotagede
Masyarakat Kotagede Daerah Istimewa Yogyakarta sebagian penduduk
memiliki mata pencaharian di bidang kerajinan logam, dan ini telah menjadi tradisi
turun temurun dalam masyarakat sebagai pengrajin logam. Berdasarkan observasi
pendahuluan, diketahui bahwa masyarakat Kotagde memperoleh keterampilan dalam
kerajinan logam melalui pembelajaran mandiri di rumah orang lain atau home
industry, serta melalui pendidikan yang diterima dari orang tua. Pendidikan informal
tumbuh di masyarakat Kotagede, dimana mayoritas pengrajin logam terdiri dari anak
maupun cucu dari pemegang usaha pengrajin logam. Secara tidak langsung
pendidikan informal sering kali terjadi melalui pengamatan aktivitas produksi
lingkungan sekitar. Dismaping itu, mayoritas pengrajin logam menggeluti usahanya
karena peninggalan bapak ibu atau saudara. Masyarakat yang telah menekuni sektor
kerajinan logam juga berperan sebagai pengusaha dalam bidang yang sama.
Misalnya, pelaku bisnis perhiasan, aksesoris, dan kerajinan dekoratif lainnya.
Pekerjaan masyarakat Kotagede setiap harinya didominasi dengan pengrajin logam,
oleh karenanya mayoritas yang bekerja merupakan pegawai tetap.
Nilai mendasar dalam mekanisme belajar dimasyarakat yaitu pembelajaran
dalam pendidikan informal. Masyarakat Kotagede menekuni pendidikan informal
usaha kerajinan logam dengan proses yang sangat panjang dan berkelanjutan.
Keahlian yang dimiliki diperoleh dari kerabat, tetangga, dan belajar secara otodidak
dengan melihat langsung keluarga yang sedang mengolah bahan logam yang akan
dijadikan kerajinan.Seiring berjalannya waktu kemudian mendemonstrasikan sendiri
lalu bisa sampai saat ini, karena melihat tutuntan pelanggan yang memerlukan hasil
8

karya kerajinan logam. Ada tiga jenis pendekatan pendidikan anak yang
diimplementasikan orang tua dalam keluarga. Pendekatan pendidikan otoriter terdiri
dari salah satu pendektan pendidikan yang paling umum digunakan dalam pendekatan
pendidikan anak. Pendekatan ini ditandai dengan implementasi pelaksanaan aturan
yang tegas dan intimidasi terhadap anak. Karakteristik pendektan ini mencerminkan
interaksi antara orang tua, tokoh masyarakat, atau orang dewasa yang berusaha
memberikan pendidikan kepada anak melalui komunikasi dan pertukaran pikiran
dengan menggunakan aturan yang tegas, bahkan dengan intimidasi terhadap anak
(Idris, Zahara, & Jamal, 1995).
Orang tua dalam pendidikan otoriter cenderung meyakini bahwa semua sikap
dan tindakan mereka terhadap anak telah benar, hingga mereka tidak
mempertimbangkan padangan anak. Meskipun kadang anak-anak merasa bahwa
mereka adalah individu yang telah dewasa dan seharusnya memiliki hak-hak
pendidikan yang layak, seperti yang seharusnya terjadi dalam hubungan pendidikan
yang memahami hak dan posisi yang setara antara pendidik dan peserta didik.
Pendidikan permisif adalah pendekatan yang membiarkan anak bertindak sesuai
keinginanya tanpa adanya panduan, nasihat, atau teguran dari orang tua. Dalam
pendektan ini, orang tua tidak memberikan arahan yang jelas kepada anak.
(Purwanto, 1998). Dalam hal ini, orang tua atau orang dewasa sebagai pendidik tidak
memperhatikan perkembangan psikis anak, tetapi lebih memprioritaskan kepentingan
mereka sendiri. Akibatnya, anak diabaikan dan dibiarkan tumbuh tanpa bimbingan
yang memadai. Pendidikan demokratis adalah pendekatan aktif, dinamis dan terarah
yang bertujuan untuk mengembangkan potensi anak dalam perkembangan mereka
(Arief, 2002). Dalam pendidikan, pendekatan ini mengutamakan peran anak sebagai
individu yang paling penting dan menjadi fokus utama. Dalam proses pendidikan,
hubungan antara orang tua atau orang dewasa sebagai pendidik dan anak diwujudkan
melalui human relationship yang didasarkan pada etika saling menghargai dan
menghormati.
Mayoritas pengusaha kerajinan logam yang ada hingga kini termasuk kelompok
yang mampu memperluas wawasan dengan menginovasi hasil karya individu lain.
Sejak dahulu dalam menekuni sektor kerajinan logam mayoritas memperoleh ilmu
dari orang lain, misalnya model desain perhiasan terkini, wujud dan tampilan yang
sedang digemari khalayak, dan kreativitas barang jadi kerajinan logam yang sedang
ramai terjual di pasaran. Agar memperoleh karya kerajinan terbaik pengrajin logam
menggunakan material logam yang terbaik juga. Lokasi pembuatan usaha kerajinan
logam disamping memproduksi barang juga sebagai mengumpulkan ilmu bagi
masyarakat sekitar, sehingga lazim apabila kerajinan logam yang ditekuni hingga saat
ini adalah peninggalan turun temurun dari orang tuanya.
Model pewarisan budaya pada masyarakat pengrajin logam di Kotagede Daerah
Istimewa Yogyakarta pada umumnya, ini adalah aktivitas pendidikan informal.
Dalam proses pembuatan kerajinan logam, para pengrasin mempelajari seni kerajinan
logam dari pengalaman yang diwarisi dari keluarga, masyarakat sekitar, maupun dari
melalui pengamatan langsung atas keseharian para pengrajin yang ahli dalam
9

membuat kerajinan berbahan dasar logam. Menurut peraturan (Sisdiknas, 2003) No.
20 pasal 27 bahwa “kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan
lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri”. Keadaan ini sesuai dengan
hasil observasi bahwa ketrampilan dalam kerajinan logam diwarisi melalui
pembelajaran secara mandiri di masyarakat dan didapat dari pembelajaran yang
berada di lingkungan keluarga.
Sistem belajar yang dijalankan masyarakat Kotagede yaitu proses edukasi yang
terjadi dalam konteks kehidupan sosial yang berlangsung secara berkelanjutan dengan
keterlibatan berbagai pihak, termasuk pendidikan informal. Pendidikan informal
berdasarkan pengalaman serta aktivitas keseharian dengan kesadaran serta tidak sadar
dan berlangsung selamanya (Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, 2001).
Keberlangsungannya berada di dalam masyarakat, pekerjaan, pergaulan sehari hari
serta keluarga. Dalam konteks ini, masyarakat juga mengikuti pendidikan non-formal
yang tidak tergantung pada lembaga pendidikan resmi. Masyarakat Kotagede telah
menggeluti bisnis kerajinan logam sudah bertahun-tahun. Maka, kemahiran dalam
membuat kerajinan logam merupakan sumber penghasilan utama bagi masyarakat
Kotagede. Masyarakat Kotagede menghasilkan berbagai jenis kerajinan, termasuk
pembuatan perhiasan berupa cincin, kalung, anting, gelang, maupun kerajinan
dekoratif seperti hiasan dinding, lampu hias, kaligrafi logam dan lain-lain.
Masyarakat tetap menjaga tradisi pembuatan kerajinan logam karena keterampilan ini
tersebut telah diwariskan dari generasi ke generasi dalam keluarga.
Para pengrajin tidak segera berhasil dengan cepat dalam proses pewarisan
budaya, mereka melalui proses yang berkelanjutan. Mayoritas pengrajin masih
menjalankan usaha mereka adalah masyarakat yang terbuka untuk belajar dari karya-
karya orang lain. Oleh karena itu pengrajin wajib mampu berinovasi dan beradaptasi
dengan permintaan pasar. Supaya dapat tetap relevan dalam dunia bisnis, pengrajin
logam perlu memastikan bahwa produk yang mereka jual memenuhi kebutuhan
fungsional. Pengrajin logam harus memiliki keahlian untuk beradaptasi dengan
perubahan lingkungan yang cepat. Oleh sebab itu para pengrajin harus
mengembangkan produk mereka secara unik agar diminati oleh pasar. Selain
digunakan sebagai tempat usaha dan produksi, tujuan lainnya yaitu sebagai
lingkungan dimana saudara, tetangga, maupun kerabat dapat belajar, dan tertarik
untuk terlibat dalam industri kerajinan logam, ini adalah tujuan pencapaian (goal
achievment). Pada sisi lain, integrasi (integration) dalam upaya mengelola bisnis
kerajinan logam, beberapa pengrajin memperoleh bimbingan dan pelatihan
manajemen kewirausahaan untuk mencapai integrasi yang lebih baik. Anggota atau
komunitas dalam sentra kerajinan logan di Kotagede membutuhkan kerjasama dan
dukungan saling diberikan dalam dalam penjualan produk kerajinan.

3. Proses Pewarisan Budaya Sentra Kerajinan Logam di Kotagede


Kepiawaian untuk mengerjakan kerajinan berbahan logam merupakan mekanisme
yang sudah dijalani selama bertahun-tahun. Penemuan logam dengan beberapa proses
didalamnya dan berawal dari keadaan murni seperti silikon, fosfor, sulfur, perak dan
10

emas terdapat penambangan terlebih dahulu didalam proses pengolahannya . Proses


ini melibatkan pemecahan bijih dengan tangan, pemilihan bijih yang mengandung
unsur logam, pencucian dengan air untuk menghilangkan kotoran, dan pengeringan
melalui pemanggangan untuk menghilangkan uap yang mengandung (Amanto, 2006).
Logam adalah barang galian contohnya baja, seng, platina, nikel, timah, aluminium,
kuningan, perunggu, besi, perak serta emas (Sunaryo, S Hudi dan Bandono, 1979).
Logam dikenal sebaga penghantar listrik yang baik. Logam-logam dapat menjadi
mengkilap jika digosok dengan baja pengkilap, sehingga memiliki kemampuan
memantulkan cahaya yang tinggi. Hal ini sebagian membuat logam memiliki daya
tarik seni yang tinggi. Logam juga digunakan sebagai bahan dalam Teknik serta
logam yang dibuat guna pertimbangan sebuah jenis dan pembentukan logam
mengenai karakteristik layaknya kekuatan, kekakuan serta kekerasan didalamnya.
Layaknya pada rangkaian mempelajari kebudayaan masyarakat Kotagede untuk
melestarikan budaya sebagai pengrajin logam melalui langkah-langkah sehingga
sampai saat ini sentra kerajinan Kotagede tetap eksis untuk mewariskan kerajinan
logam dapat berjalan ditengah arus globalisasi. (Nursalam, 2016) menyatakan jika
kebudayaan yang terwujud secara multukultural sebaiknya dipertahankan. Alangkah
lebih baik jika pnidikn diberikan alam konteks keluarga membuat aktivitas
pendidikan yang berusaha menjaga dan melestarkan keanekaragaman budaya lokal
yang imiliki oleh bangsa ini, sera memanfaatkannya dalam kehiupan sehai-hari
secara bersama-sama.
Dalam upaya belajar dan memahami budaya yang dilakukan yaitu proses
internalisasi, dimana dalam kegiatan ini pengrajin gembira dan puas terhadap
pekejaan mereka sebagai seorang pengrajin logam, memiliki semangat untuk belajar
dan mengembangkan bisnis kerajinan logamnya. Kedua yaitu proses sosialisasi, di
mana dalam porses ini terjadi pertukaran pengetahuann budaya antara satu sama lain
yang berlangsung di masyarakat Kotagede. Maka dari itu dalam proses adaptasi sosial
menjadi hal yang umum dan diterima ketika seseorang meniru atau mengadopsi hasil
karya kerajinan. Seperti membuat kerajinan perhiasan cincin, liontin, gelang, kalung
maupun yang lainnya. Sektor kerajinan ini kerap diperhatikan orang untuk dicoba dan
dicontoh di lokasi berbeda, maupun sebaliknya. Ketika mendalami sektor kerajinan
logam para pengrajin mengikuti perkembangan pasar dengan memperhatikan tren
terkini dalam hal model, motif, dan bentuk. Ketiga yaitu proses enkulturasi, tahap
inipengrajin logam didorong untuk belajar dengan cepat dan beradaptasi dengan
permintaan pasar, yang mendorong mereka untuk bekerja lebih keras dalam
memenuhi minat pasar. Namun tetap waspada dalam membuat kerajinan logam
karena peralatan yang digunakan harus sesuai dengan SOP (Standar Operasional
Prosedur) sebagai suatu pedoman untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan dengan
fungsi dan alat penilaian kinerja instansi pemerintahan maupun non-pemerintah,
usaha maupun non-usaha, berdasarkan indicator-indikator teknis, admininstratif, dan
procedural sesuai tata kerja, prosedur kerja dan system kerja pada unit kerja yang
bersangkutan (Atmoko, 2012).
11

Kerajinan logam merupakan sebuah bentuk upaya masyarakat untuk menjalani


kehidupan dengan menggabungkan keterampilan yang mereka miliki dalam usaha
mereka. Hal ini terkait dengan pembelajaran budaya yang terjadi pada kalangan
pengrajin logam di Kotagede Daerah Istimewa Yogyakarta, memiliki masyarakat
yang mayoritasnya kerja di sektor industri rumahan. Isu tersebut mencerminkan pola
kerja masyarakat di rumah dengan memanfaatkan logam sebagai bahan menjadikan
kerajinan untuk digunakan dalam aktivitas sehari-hari sebagai penunjang kebutuhan
ekonomi. Dalam produksi kerajinan logam, terlibat proses pembelajaran kebudayaan
bagi para pengrajin logam. Proses pembelajaran kebudayaan ini senada dengan hasil
penelitian (Nuryanti, 2012) dalam disertasinya yang berjudul “Model Pembelajaran
Berlatar Budaya Lokal Untuk Meningkatkan Interaksi Pedagogis Tutor dan Siswa”.
Menurut penelitian tersebut proses pembelajaran kebudayaan sendiri memiliki
tahapan tertentu antara lain. Pertama yaitu proses internalisasi, manusia diciptakan
Tuhan dengan diberikan penghargaan yang paling prestisius yang dimiliki gen setiap
insan. Peluang ini mencakup kemampuan individu untuk mengendalikan dan
mengatur perasaan, keinginan, emosi, dan dorongan dalam setiap aspek kepribadian
mereka. Pembuat pengrajin logam menikmati dan bahaia dengan karier yang telah di
alami selama ini. Kedua yaitu proses sosialisasi, adalah proses pembelajaran
kebudayaan yang terjadi dalam interaksi sistem sosial. Dalam konteks ini, seseorang
mempelajari berbagai pola perilaku melalui komunikasi dengan berbagai insan
disekitarnya sepanjang hidupnya, mulai dari masa kecil hingga masa dewasa. Dalam
membuat kerajinan logam perhiasan seperti cincin, kalung, anting, gelang, maupun
kerajinan dekoratif seperti hiasan dinding, lampu hias, kaligrafi logam dan lain-lain
lokasi usaha kerajinan kerap menjadi contoh dan dijadikan acuan untuk lokasi lain
yang ingin dicoba. Hal ini mengidintasikan bahwasanya lokasi pembuatan tidak
hanya berfungsi menjadi lokasi usaha, tetapi berfungsi menjadi lokasi dimana yang
lain dapat belajar. Ketiga yaitu proses enkulturasi, adalah respon seseorang ketika
menanggapi, belajar, dan mengadaptasi kemampuan berpikir serta bagaimana
individu tersebut berinteraksi kepada sistem, norma, serta peraturan yang ada dalam
kebudayaannya. Oleh karena itu saat memproduksi logam menjadi perhiasan cincin,
kalung, anting, gelang, maupun kerajinan dekoratif seperti hiasan dinding, lampu
hias, dan kaligrafi logam langsung saja menggunakan alat kerajinan logam yang
sudah disiapkan untuk menciptakan kerajinan. Dan yang paling terpenting adalah
harus selalu memperhatikan keamanan penggunaan peralatan agar tidak
membahayakan keselamatan pengrajin logam.

4. Unsur-Unsur Kebudayaan Masyarakat Pengrajin Logam di Kotagede


Pada unsur-unsur kebudayaan (Koentjaraningrat, 1994) menyebutkan unsur-
unsur universal dari kebudayaan adalah (1) sistem religi dan upacara keagamaan, (2)
sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5)
kesenian, (6) sistem mata pencaharian hidup, dan (7) sistem teknologi dan peralatan.
Pada unsur yang pertama adalah unsur kebudayaan sistem religi, hal tersebut dapat
dilihat dari mayoritas pengrajin logam yang beragama islam, oleh karena itu
12

kebiasaan yang dilakukan oleh pengrajin logam ini didasarkan pada ajaran agama
islam di dalam sistem religi yang tenang. Unsur kebudayaan masyarakat yang kedua
adalah mengenai sistem organisasi dan kemasyarakatan, dalam sistem ini, masyarakat
pengrajin logam masih mempertahankan dan menghormati sistem kemasyarakatan
yang ada. Terlihat dari para pengrajin logam yang umumnya masih saudara sebapak,
anak, keponakan, sepupu maupun tetangga. Sehingga dalam hubungan antara
pengrajin, sistem kemasyarakatan masih didasarkan pada nilai-nilai kekeluargaan.
Unsur kebudayaan yang ketiga yaitu pengetahuan, pada sistem ini masyarakat
pengrajin logam biasanya perhatian pada kerajinan tradisional seperti perhiasan
dengan desain yang sudah ada dan turun-temurun maupun dekorasi ukir logam
hiasan dinding. Unsur keempat, telepon digunakan sebagai media dan sarana
komunikasi yang umum digunakan untuk berinteraksi dengan pelanggan. Saat ini
berkembang menggunakan media lain seperti whatsapp, email, maupun telegram.
Unsur kelima yaitu kesenian atau kesenanga, dalam sistem ini para pengrajin logam
masih jarang menunjukanb unsur kesenian. Hal ini terjadi karena para pengrajin
logam fokus pada produksi kerajinan logam untuk memenuhi permintaan pasar.
Selanjutnya yang keenam tentang sistem mata pencaharian hidup dan sistem
ekonomi, dalam hal ini masyarakat Kotagede dalam kesehariannya bergantuk pada
sektor kerajinan logam. Hal tersebut terjadi karena masyarakat Kotagede memiliki
kemampuan sebagai pengrajin logam. Urutan ketujuh yaitu tentang sistem peralatan
hidup atau teknologi, dalam sistem ini para pengrajin logam masih menggunakan
alat-alat tradisional untuk memprduksi kerajinan logam. Untuk teknologi yang
digunakan pengrajin logam telah beralih memakai mesin dinamo, mesin potong
logam, dan alat-alat untuk membuat perhiasan produksi pabrik yang memakai bahan
bakar minyak.
Tradisi lokal yang menjadi milik suatu daerah disebut juga dengan budaya
masyarakat. Tradisi lokal adalah pengetahuan yang terus berkembang, diterapkan
secara dinamis, dan diwariskan oleh kelompok tertentu. Pengetahuan ini terhubung
dengan pengetahuan mereka tentang lingkungan alam dan kebudayaan. Masyarakat
pengrajin logam Kotagede memiliki pemahaman terdahap unsur budaya berupa
bahasa, pengetahuan, kemasyarakatan, sistem peralatan hidup dan teknologi, mata
pencaharian, religi dan kesenian. Unsur-unsur kebudayaan masyarakat pengrajin
logam seperti yang tunjukan oleh (Darusman, 2016) meliputi; (1) sistem religi dan
upacara keagamaan, (2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) Sistem
pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata pencaharian, dan (7) sistem
teknologi dan peralatan. Unsut tersebut disusun berdasarkan tingkat kesulitan
perubahan, dimulai dari tingkatan yang sangat sulit maupun yang sederhana. Sistem
mata pencaharian terdiri dari unsur-unsur budaya yang dapat dengan mudah berubah
mengikuti perkembangan zaman dan tuntutan yang ada.
Aspek kebudayaan masyarakat pengrajin logam Kotagede terpaut dengan
kebudayaan menyangkut sistem religi, masyarakat pengrajin logam mayoritas
memeluk agama islam, jadi kebiasaan yang diterapkan dalam keseharian yaitu
13

kebiasaan agama islam, yang dibalut dengan budaya kerajaan islam. Namun untuk
struktur organisasi sosial, sistem kekeluargaan masih dihargai dan diutamakan dalam
upaya kolaboratif dalam kerajinan yang dilakukan bersama keluarga atau orang
terdekat. Pengetahuan yang dimiliki masyarakat pengrajin logam dalam pembuatan
kerajinan, fokusnya adalah pada permintaan dan tren dalam dunia fashion seperti
perhiasan maupun dekorasi rumah seperti kaligrafi ukir logam. Sistem bahasa media
dan mayoritas komunikasi dengan pelanggan dilakukan melalui telepon. Saat ini
berkembang menggunakan media lain seperti whatsapp, email, maupun telegram.
Namun, seni yang menjadi ciri khas dari kerajinan pengrajin logam masih dalam
tahap pengembangan untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat Kotagede.
Sistem mencari nafkah yang menopang dalam sektor kerajinan logam
masyarakat Kotagede perhiasan seperti cincin, kalung, anting, gelang, maupun
kerajinan dekoratif seperti hiasan dinding, lampu hias, kaligrafi logam dan lain-lain
termasuk di dalamnya. Sampai kini masyarakat tetap menjalani usaha itu. Hal ini
berlangsung akbiat tuntutan pasar terhadap proyek-proyek tersebut relatif tinggi.
Masyarakat masih menggunakan peralatan dan teknologi yang mereka rakit sendiri
dalam proses produksi kerajinan logam, dengan menggunakan mesin yang terhubung
dengan sumber listrik. Contohnya yaitu mesin dinamo, mesin penghalus, mesin
pemotong logam, mesin las. Sebagian masyarakat memanfaatkan minyak bumi dan
gas selain menggunakan listrik seperti mesin peleburan logam dan alat las.
C. Kesimpulan
Nilai penting yang harus dilestarikan dalam masyarakat pengrajin logam di
Kotagede yaitu pendidikan informal. Pendidikan informal di Kotagede berperan
penting dalam melestarikan warisan budaya pengrajin logam. Potensi lokal yang
melibatkan masyarakat adalah pendidikan tradisional yang diwariskan oleh nenek
moyang. Ada beberapa tahapan untuk pemindahan budaya dari generasi sebelumnya
ke generasi saat ini di masyarakat pengrajin logam Kotagede yaitu, pendidikan
informal belajar dengan anggota keluarga dan kerabat terdekat yang mempunyai
kemampuan memproses logam, tahapan belajar kebudayaan yaitu meneliti langkah-
langkah internalisasi, sosialisasi, enkulturasi budaya masyarakat, dan menetapkan
unsur-unsur budaya masyarakat, mulai dari bahasa jawa untuk bahasa sehari-hari,
sistem pengetahuan, sitem kemasyarakatan yang menghormati kekeluargaan, sistem
peralatan hidup dengan memanfaatkan peralatan modern yang disusun sesuai
kebutuhan, sistem mata pencaharian sehari-hari sebagai pengrajian logam, sistem
keagamaan yang menghargai tradisi agama islam karena Kota Yogyakarta terkenal
dengan kerajaan mataram islam, selain itu, kesenian yang dihasilkan kerajinan logam.
14

DAFTAR PUSTAKA
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati. (2001). Ilmu Pendidikan. Jakarta. PT Rineka Cipta.
Albiladiyah, S. I. (1997). Kotagede: Pesona Dan Dinamika Sejarahnya. Lembaga
Studi Jawa.
Amanto, H. D. (2006). Ilmu Bahan. Jakarta. Bumi Aksara.
Arief, H. M. (2002). Mendidik Anak Secara Bijak; Panduan Keluarga Muslim
Modern. Bandung. Marja.
Arifah A. Riyanto. (2008). Desain Busana. YAPEMDO.
Armiyati, L. (2014). Industri Perak Kotagede Yogyakarta Melawan Badai Krisis.
Jurnal Sejarah Dan Kebudayaan, 2, 167.
Atmodimulyo. (1997). Riwayat Berdirinya Koperasi Produksi Pengusaha Perak
Yogyakarta (KP3Y). KP3Y.
Atmoko, T. (2012). Jurnal. In Standar Operasional Prosedur (SOP) dan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Unpad.
Darusman, Y. (2016). Kearifan Lokal Kerajinan Bordir Tasikmalaya Sebagai
Ekonomi Kreatif Terbuka Untuk Modern. Journal of Nonformal Education, 1,
1–8. http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jne.
Idris, Zahara, & Jamal, L. H. (1995). Pengantar Pendidikan. PT Grasindo.
Inanna. (2018). Jurnal. Peran Pendidikan Dalam Membangun Karakter Bangsa Yang
Bermoral . Vol. 1 Nomor 1, 1. http://ojs.unm.ac.id/JEKPEND
Jailani, M. S. (2014). Teori Pendidikan Keluarga dan Tanggung Jawab Orang Tua
dalam Pendidikan Anak Usia Dini. Nadwa, 8(2), 245.
https://doi.org/10.21580/nw.2014.8.2.580
Kistanto, N. H. (2017). Tentang Konsep Kebudayaan. Sabda : Jurnal Kajian
Kebudayaan, 10(2), 1–11. https://doi.org/10.14710/sabda.v10i2.13248
Kodiran. (2004). Pewarisan Budaya Dan Kepribadian. 2004, 16(1), 10–16.
Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Gramedia.
Nursalam. (2016). Pembelajaran Ekonomi Berbasis Budaya Lokal Bugis dalam
Pendidikan Keluarga. Journal of Chemical Information and Modeling, 9, 59.
Nuryanti, P. (2012). Model Pembelajaran Berlatar Budaya Lokal Untuk
Meningkatkan Interaksi Pedagogis Tutor Dan Siswa [Universitas Pendidikan
Indonesia]. http://repository.upi.edu/7749/
Peraturan Pemerintahan RI. (2003). Undang-Undang Nomor 30 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Jakarta.
15

Purwanto, N. M. (1998). Administrasi dan Supervisi Pendidikan. PT Remaja


Rosdakarya.
Rohman, A. (2009). Politik Ideologi Pendidikan. Laksbang.
Sisdiknas. (2003). Sistem Pendidikan Nasional No. 20 pasal 27. Jakarta.
Soekiman, D. (1993). Kota Gede. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan.
Soerjono, S. (2002). Sosiologi Suatu Pengantar. Raja Grafindo Persada.
Sudjana. (2003). Penilaian Hasil Belajar Mengajar. Rosdakarya.
Sunaryo, S Hudi dan Bandono, A. S. (1979). Pengetahuan Teknologi Kerajinan
Logam 1. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Surjomihardjo, A. (2008). Kota Yogyakarta Tempo Doloe. Yogyakarta. Komunitas
Bambu.

Anda mungkin juga menyukai