TEKNOLOGI KOMUNIKASI
fauziahbelavtha@gmail.com
Pendahuluan
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi saat ini telah mencapai tingkat
kebutuhan bagi manusai yang vital. Bukan saja dalam pemanfaatannya sebagai saluran
komunikasi informasi antara individu dalam interaksi sosial, tertapi juga dalam lingkup yang
lebih luas antar lembaga dengan lembaga, antar wilayah dengan wilayah hingga antar
negara dan benua.
Agama Islam sebagai sumber nilai dan ajaran bagi umatnya telah merangkum
seluruh hajat dan aturan hidup pemeluknya. Bukan saja yang terkait dengan kehidupan di
dunia sebagai bentuk amaliah, tetapi juga kehidupan setelahnya. Demikian juga dalam
konteks hubungan sosial yang diterjemahkan sebagai bentuk “hablum minannas”, yang
mengatur pola interaksi dan komunikasi sebagai jelmaan nilai-nilai dakwah.
Teknologi dan kebudayaan itu sendiri pada dasarnya tumbuh dan berkembang
seiring dengan kemajuan peradaban manusia yang mempunyai konsep agama dan negara.
Juga sekilas tinjauan tentang perubahan dan pembangunan dalam pandangan Islam,
bagaimana konsep ini menjadi bagian yang urgen dalam perubahan sosial budaya
masyarakat kaitannya dengan Dakwah Islam dan kemaslahatan umat. Berangkat dari pokok
dan sub bahasan tersebut tulisan ini menelusuri secara singkat hubungan antara keduanya
dan dampak perubahan yang ditimbulkan.
Uraian Kasus
Salah seorang Guru Besar jurusan Antropologi Universitas Indonesia, M.J. Melalatoa
berpendapat bahwa gagasan-gagasan inilah yang merupakan “puncak” dalam kebudayaan
suku bangsa yang bersangkutan dan sekaligus merupakan sistem budayanya. Puncak-
puncak dari kebudayaan daerah yang ada di seluruh Indonesia itulah yang menjadi bagian
dari kebudayaan bangsa Indonesia. Unsur-unsur puncak itu yang melahirkan tindakan dan
hasil karya dalam masyarakat suku bangsa atau masyarakat daerah di Indonesia. Kalau ada
pakar yang mengatakan bahwa kebudayaan bangsa atau kebudayaan nasional itu harus;
khas, bermutu tinggi dapat dibanggakan, dan menyatukan bangsa ini (Koentjaraningrat,
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, 1983).
Hal tersebut dikuatkan lagi oleh pendapat Hall, yang menyimpulkan bahwa
kebudayaan adalah hasil dari sebuah proses komunikasi anggota masyarakat yang
berlangsung terus menerus. Disusul kemudian oleh para suksesor antara lain David Berlo,
yang menulis The Process of Coimunication yang secara tegas menitik beratkan kajian
kebudayaan dalam konteks komunikasi antar budaya. Pemahaman kebudayaan merupakan
faktor yang menentukan bagi keberhasilan sebuah tindak komunikasi. Sejak saat itu, unsur-
unsur kebudayaan mulai dikaji sebagai variable yang signifikan dalam kajian komunikasi dan
pengaruhnya (Purwasito, 2003).
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi kegenerasi. Sebagaimana juga budaya,
merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung
menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi
dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya,
membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Bangsa Indonesia harus mempersiapkan diri
untuk pengaruh teknologi komunikasi terhadap seluruh aspek kebudayaan kehidupan
bangsa.
Karena perkembangan teknologi saat ini begitu luar biasa terutama yang
berhubungan dengan telekomunikasi dan informasi. Teknologi yang ada diciptakan dengan
tujuan untuk membantu dan memberikan kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan
manusia, baik pada saat manusia bekerja, beraktivitas, bahkan berkomunikasi. Hal positif
dari teknologi komunikasi misalnya menandakan bahwa teknologi di Indonesia mulai
berkembang dan meningkatkan produktivitas. Tetapi tidak berarti bahwa perkembangan
teknologi komunikasi tidak menimbulkan persoalan atau dampak bagi kebudayaan.
Seperti halnya yang terjadi di Provinsi Aceh dan Nias pasca gempa dan gelombang
Tsunami tanggal 26 Desember 2004 yang lalu, yang banyak mengalami kerusakan secara
fisik dan non fisik serta menelan ratusan ribu korban jiwa. Sejumlah lembaga-lembaga dunia
dan organisasi kemasyarakatan serta negara mengadakan perbaikan dan rehabilitasi
rekontruksi pembangunan yang secara sadar atau tidak, terprogram atau tidak telah
menjadikan masyarakat Aceh dan Nias berpola pikir yang berbeda dari sebelumnya.
Tahap berikutnya adalah lahirnya pola budaya atau perilaku sosial yang cenderung
agak berbeda dari budaya sebelumnya, hasil dari kebiasaan dan pola budaya yang baru
inilah yang kemudian menjadi semacam akulturasi dan asimilasi, meskipun karakteristik
budaya lokal tidak hilang sepenuhnya tetapi ia telah mengalami semacam pembaruan
secara sosial. Proses akulturasi dan asimilasi memang telah ada sejak dulu kala dalam
sejarah kebudayaan manusia, tetapi proses akulturasi yang mempunyai sifat yang khusus
timbul ketika kebudayaan bangsa-bangsa di Eropa Barat mulai menyebar kesemua daerah
lain di muka bumi, dan mulai mempengaruhi masyarakat-masyarakat suku-suku bangsa di
Afrika, Asia, Osenia, Amerika Utara Amerika Latin dan alin-lain.
Dalam setiap kebudayaan selalu adanya suatu kebebasan pada para individu dan
kebebasan individu memperkenalkan variasi dalam cara-cara berlaku dan variasi itu yang
pada akhirnya dapat menjadi milik bersama, dan dengan demikian dikemudian hari mejadi
bagian dari kebudayaan. Atau mungkin beberapa aspek dari lingkungan akan berubah, dan
memerlukan adaptasi kebudayaan yang baru. Bahwa kebudayaan selalu berubah, ternyata
orang memperhatikan sebagian besar dari adat kita. Cara-cara berpakaian, umpamanya
mengalami perubahan.
Teori Aliran
Terdapat enam prinsip dasar sebagai pondasi dari antropologi digital menurut Horst dan
Miller. Enam prinsip dasar inilah juga yang membuat kajian antropologi terhadap fenomena
sosial-budaya dalam dunia digital menjadi khas dan memberikan alternatif sudut pandang
kepada khalayak umum dan akademisi mengenai fenomena sosial-budaya yang ada.
Keenam prinsip dasar tersebut adalah:
Maksud dari prinsip pertama ini adalah bahwa dalam perkembangan digital terdapat
spektrum yang luas, yang mana universalitas dan partikularitas tidak saling berlawanan
(opposed), namun saling berdialketika. Oleh karena itu, antropologi digital mencoba
untuk melihat secara luas fenomena perkembangan digital, dan tidak serta merta
menyetujui anggapan universal bahwa perkembangan digital membuat manusia menjadi
“less human, less authentic, atau more mediated”. Dalam beberapa kasus partikular
perkembangan digital justru dapat membuat manusia menjadi more human, dan bisa
menjadi manusia seutuhnya. Namun juga perlu diingat, hal ini tidak berarti antropologi
digital menghiraukan dampak negatif perkembangan teknologi digital sama sekali.
Antropologi digital menempatkan diri pada berbagai spektrum perkembangan teknologi
digital.
2. Manusia tidak sedikitpun menjadi lebih termediasi oleh gencarnya perkembangan media
Pada perinsip kedua ini, poin pentingnya terdapat pada penolakan terhadap gagasan
umum bahwa saat ini manusia menjadi tidak otentik lagi, karena teknologi digital seperti
telah memberikan jarak, telah ada perantara diantara manusia. Dalam antropologi,
seluruh manusia sama-sama berbudaya. Orang-orang pedalaman atau native tidak
berarti lebih tidak berbudaya daripada orang-orang kota, dan sebaliknya orang-orang
kota tidak lebih termediasi daripada orang-orang pedalaman. Persoalan yang mendasar
disini adalah bukan banyaknya mediasi atau perantara, namun mengapa dan
bagaimana suatu media dapat dianggap sebagai perantara, sementara yang lain tidak.
Saat ini, media-media digital selalu diidentikkan dengan kepalsuan, ketidakotentikan. Hal
ini dalam beberapa kasus mungkin benar, akan tetapi dalam kasus lain media digital
justru dapat digunakan sebagai arena di mana seseorang, terutama kelompok-kelompok
yang tertindas dan terpinggirkan seperti difabel lebih merasa dapat menjadi manusia
yang utuh. Contoh menarik dari hal ini adalah tulisan milik Humphrey tentang chat
room di Russia, di mana dalam chat room tersebut, avatar seseorang tidak hanya dapat
memproduksi ulang dirinya (ciri fisiknya) seperti pada dunia nyata, namun
dalam chat room ini, mereka pada akhirnya dapat merasakan kebebasan sepenuhnya
untuk mengkespresikan jiwa dan passion mereka. Atau dengan kata lain, melalui media
online digital berupa chat room ini mereka lebih bisa menunjukkan diri mereka yang
sesungguhnya atau otentisitas mereka, daripada di melalui dunia nyata.
3. Pendekatan antropologis terhadap etnografi berfokus pada dunia yang dibentuk dalam
kerangka proyek etnografi tertentu, tetapi juga dunia yang lebih luas yang memengaruhi
dan melampaui kerangka itu
Prinsip ketiga ini berkenaan dengan ciri khas pendekatan antropologi yang holistik.
Dalam meneliti fenomena digital, antropologi menyadari bahwa aspek-aspek yang ada
dalam fenomena tersebut terhubung satu sama lain. Hal ini kemudian juga berarti bahwa
untuk meneliti media sosial misalnya, maka seorang antropolog tidak bisa hanya
melakukan isolasi pada hanya satu media, karena media sosial terkait satu dengan yang
lain. Hal ini sesuai dengan konsep polymedia milik Madianou dan Miller, yang
menyatakan bahwa saat ini tindakan komunikasi individu tidak lagi ditentukan oleh akses
dan biaya, orang cenderung dinilai berdasarkan mengapa mereka memilih satu media
tertentu daripada yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara satu
media sosial dengan media lain, dan para antropolog yang meneliti persoalan tentang
media sosial harus sadar akan konsep ini, agar penelitian yang dihasilkan dapat bersifat
holistik. Dalam kajian antropologi digital juga mempertimbangkan konteks sosial
budaya offline dari fenomena digital yang diteliti. Selain itu, untuk mendapatkan data
yang lebih lengkap, pendekatan antropologi digital juga menyarankan untuk
memanfaatkan big data.
4. Antropologi digital menegaskan kembali pentingnya relativisme budaya dan sifat global
perjumpaan kita dengan digital
Pada perinsip ini, antropologi digital tidak semata-mata menerima gagasan umum
mengenai homogenisasi yang disebabkan oleh perkembangan teknologi digital, namun,
antropologi digital juga melihat bahwa perkembangan terknologi digital juga membuka
peluang kebebasan kepada banyak kelompok marginal untuk dapat menyuarakan
kepentingan mereka. Sudut pandang antropologi digital menganggap gagasan bahwa
dunia semakin terhomoegnisasi akibat perkembangan teknologi digital dan globalisassi
merupakan gagasan yang bersifat mengeneralisasi, yang sering kali dilihat hanya
melalui sudut pandang eurocentric. Antropologi digital berupaya untuk menawarkan
alternatif sudut pandang bahwa tidak selalu, perkembangan teknologi digital
mengarahkan manusia kepada homogenisasi. Antopologi digital menempatkan manusia
sebagai subjek, yang dapat bertindak dan berfikir untuk diri mereka. Melalui kajian
antropologi digital, relativisme budaya menjadi lebih terlihat. Untuk memahami suatu
fenomena secara utuh dibutuhkan pemahaman tentang konteks fenomena tersebut.
Dalam perkembangan teknologi digital, dampak yang dihasilkan akan berbeda-beda
pada tiap kelompok masyarakat dan tiap budaya.
6. Mengakui materialitas dunia digital, yang tidak lebih dan tidak kurang material dari dunia
nyata
Pada prinsip ini, atnropologi digital tidak menanggap hal digital sama dengan hal
yang immaterial. Dalam hal ini, antropologi digital melihat digital sebagai hal material
dengan mempertimbangkan tiga hal, yaitu materialitas dari infrasturkur dan teknologi
digital, materialitas dari konten digital, dan materialitas dari konteks digital. Pada
kaitannya dengan materialitas dari infrasturkur dan teknologi digital, antropologi digital
menganggap bahwa infrastruktur dan teknologi yang digunakan untuk dapat
menghasilkan sesuatu yang digital jelas merupakan hal yang material, seperti komputer,
chip, dan sebagainya. Dalam konteks yang kedua, yaitu materialitas dari konten digital
dapat kita amati pada dampak dari produk digital. Produk-produk digital tak jarang
membuat manusia lebih sadar akan materialitas. Dan dalam konteks yang ketiga,
maksudnya adalah bahwa dalam dunia digital juga terdapat jejak yang dapat dilihat.
Analisis Kritis
Didalam pembahasan diatas dapat di analisis kritis bahwa ketika teknologi semakin
maju akan memunculkan masalah terhadap kebudayaan-kebudayaan daerah yang ada di
bangsa ini. Kebudayaan daerah akan semakin mengikis sebab masyarakatnya itu sendiri
yang melupakan atau tidak mengembangkan budaya yang ada. Bisa saja kebudayaan yang
mengandalkan kearifan dan simbol-simbol budaya digantikan oleh teknologi komunikasi
informasi sehingga membentuk manusia yang serba ketergantungan.
Dengan demikian kearifan budaya dengan segala nilai-nilainya akan tetap terjaga
dan terlestarikan. Karena efek media kemajuan media dan Teknologi komunikasi kaitanya
dengan perubahan sosial tidak serta merta harus merubah struktuk sosial. Demikianpun
dengan sisi kehidupan beragama dan hubungan/interaksi antas sesama. Justru dengan
kemajuan Teknologi Komunikasi seharusnya justru kehidupan sosial dan budaya semakin
dapat dikembangkan. Dengan jalan inilah segala arus perkembangan teknologi dapat
disiasati. Bukan malah memusuhi apalagi menafikannya.
Kesimpulan
Terdapat enam prinsip dasar sebagai pondasi dari antropologi digital menurut Horst
dan Miller yaitu, perkembangan digital telah memperkuat atau mengintensifkan dialektika
alami dari budaya, manusia tidak sedikitpun menjadi lebih termediasi oleh gencarnya
perkembangan media, pendekatan antropologis terhadap etnografi berfokus pada dunia
yang dibentuk dalam kerangka proyek etnografi tertentu tetapi juga dunia yang lebih luas
yang memengaruhi dan melampaui kerangka itu, antropologi digital menegaskan kembali
pentingnya relativisme budaya dan sifat global perjumpaan kita dengan digital,
meningkatnya ambiguitas mengenai keterbukaan dan penutupan (openness dan closure)
dalam budaya digital, mengakui materialitas dunia digital, yang tidak lebih dan tidak kurang
material dari dunia nyata.
Referensi