Anda di halaman 1dari 8

Oleh. DR.

Achmad Habib²)

TRANSFORMASI BUDAYA LOKAL DALAM ERA GLOBALISASI


1. A. Pengantar
Keberagaman dalam budaya Indonesia tercermin pada bagian budaya-budaya lokal yang
berkembang di masyarakat. Keragaman tersebut tidak saja terdapat secara internal, tetapi juga
karena pengaruh-pengaruh yang membentuk suatu kebudayaan. Perkembangan budaya lokal
di setiap daerah tentu memiliki peran yang signifikan dalam meningkatkan semangat
nasionalisme, karena kesenian budaya lokal tersebut mengandung nilai-nilai sosial masyarakat.
Namun dalam derasnya arus globalisasi, budaya lokal pada sisi lain mengalami kemajuan yang
sangat pesat, tetapi di sisi lain juga mengakibatkan kerusakan dan pengkikisan budaya lokal
yang luar biasa.
Kemajuan yang terjadi dapat dirasakan adalah dalam bidang perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Namun demikian, yang menjadi kegelisahan adalah bebasnya arus informasi
yang dapat menyebabkan lunturnya nilai-nilai luhur bangsa terutama dalam hal budaya. Bukti
lemahnya masyarakat Indonesia terlihat dari minimnya untuk mempelajari kesenian tradisional
atau daerah yang saat ini sudah hampir dilupakan oleh generasi muda. Masyarakat, khususnya
kaum muda lebih suka kepada kebudayaan asing dibanding dengan budaya sendiri. Mereka
lebih menyukai musik jazz, rock, dan pop atau musik-musik yang berbau Barat atau Korea,
ketimbang kesenian tradisional seperti wayang, ketroprak, jaipong, topeng, ludruk, janger
yang merupakan produk budaya Indonesia yang sesungguhnya. Hal demikian cukup
membuktikan dimana apresiasi masyarakat terhadap budaya daerah masih sangat rendah. Jika
hal ini terus menerus dibiarkan maka akan terjadi dominasi kebudayaan asing dan akan
hilanglah identitas budaya bangsa tersebut.
Ketika budaya dan barang kebudayaan atau hasil buah tangan seniman Indonesia masih ada di
Indonesia, banyak dari warga merasa budaya tersebut tidak berharga, tetapi ketika ada negara
lain akan mengambil budaya tersebut dan kemudian hilang dari kita, barulah mereka merasa
itu sangat berharga. Sebagai contoh adalah baru-baru ini kita dikejutkan akan beberapa aset
budaya yang diklaim oleh Malaysia seperti; Tari Piring (Sumatra Barat), Lagu Anak Kambing
Saya (Nusa tenggara), Tari Reog Ponorogo (Jawa Timur), Tari Soleram (Riau) dan beberapa
budaya lain yang diklaim oleh negara tersebut. Saat budaya yang harusnya dilestarikan dan
dirawat baik-baik, justru diambil oleh negara lain. Sementara, banyak dari warga Indonesia
yang kurang peduli bahkan ada yang tidak peduli tentang budaya Indonesia. Hal inilah yang
menyebabkan banyak budaya Indonesia dicuri oleh negara lain terutama Malaysia. Hal ini pun
akibat dari terlambatnya dalam mematenkan suatu budaya dan benda–benda peninggalan
zaman Indonesia dulu. Ketika kebudaan itu sudah diambil oleh negara lain, barulah kita
kebakaran jenggot dan berebutan menjadi seorang nasionalis. Gagalnya menjaga dan
melestarikan budaya kita, merupakan suatu cerminan bahwa nasionalisme saat ini hanya
omong kosong. Di sisi lain banyak bentuk-bentuk budaya lokal yang tidak bisa lagi
dipertahankan eksistensinya. Padahal jika dirunut dari akar sejarahnya, seharusnya peran
budaya lokal mampu membangkitkan semangat nasionalisme dan mencegah demoralisasi.
Hal ini juga terjadi pada kekayaan budaya lokal di Kabupaten Banyuwangi yang sebagian
sudah hampir punah. Cerita-cerita rakyat dalam bentuk kitab lontar sudah jarang dibaca ketika
ada upacara-upacara kelahiran, khitanan atau pernikahan. Pertunjukan Prabuloro yang dulu
sangat digemari, juga sudah menghilang ditelan bumi. Rumah adat yang memiliki arsitektur
yang unik sudah jarang kita jumpai di daerah pedesaan, karena sudah banyak dijual keluar
daerah. Ironisnya pembangunan bangunan baru tidak mengacu kepada arsitektur lokal tersebut.
Penggunaan bahasa Osing dan bahasa daerah lainnya sudah berkurang, terutama bagi anak-
anak muda. Untunglah Pemerintah Daerah bersama masyarakat masih berusaha semaksimal
mungkin agar warisan budaya lokal yang sangat bernilai tersebut berhasil tersisa
dalam beberapa bentuk budaya lokal yang sampai sekarang masih eksis, ditengah terpaan
media global. Paper ini bertujuan untuk membahas proses memudarnya budaya lokal di
Banyuwangi dan usaha apa yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan Masyarakat
dalam mengatasi hal tersebut.
B.Globalisasi Media dan Pengikisan Nilai-Nilai Budaya Lokal
Tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi kini menjadi satu kata yang nyaring terdengar di
seluruh dunia pada abad 21 ini. Pro–kontra pun mewarnai perjalanan globalisasi sebagai sebuah
fenomena. Perubahan yang terjadi secara menyeluruh, dirasakan secara kolektif,
dan mempengaruhi banyak orang (lintas wilayah-lintas negara) yang mempengaruhi gaya
hidup dan lingkungan kita. Dunia memang berubah dan globalisasi adalah dunia yang
terhubung (connected world) seolah tanpa batas atau meminjam istilah yang dipakai oleh
McLuhan sebagai global village (Fakih, 2006; McLuhan, 1994).
Salah satu pemaknaan terhadap globalisasi dikatakan bahwa globalisasi merupakan “both a
journey and destination: it signifies a historical process of becoming, as well as an economic
and cultural result; that is arrival at the globalized state” (suatu perjalanan sekaligus juga
tujuan: ia menentukan sejarah proses menjadi serta hasil ekonomi dan budaya; yakni sampai
pada keadaan yang mengglobal (Ferguson, 2002: 239).
Globalisasi pada hakikatnya ternyata telah membawa nuansa budaya dan nilai yang
mempengaruhi selera dan gaya hidup masyarakat. Melalui media yang kian terbuka dan
terjangkau, masyarakat menerima berbagai informasi tentang peradaban baru yang datang dari
seluruh penjuru dunia. Padahal, kita menyadari belum semua warga negara mampu menilai
sampai dimana kita sebagai bangsa berada. Begitulah, misalnya, banjir informasi dan budaya
baru yang dibawa media tak jarang teramat asing dari sikap hidup dan norma yang berlaku di
tingkat local.
Sebenarnya globalisasi telah terjadi sejak dulu kala. Ketika agama Hindu, Budha atau Islam
masuk ke daerah nusantara, proses itu bisa dimaknai sebagai globalisasi. Bedanya adalah pada
saat itu sekat-sekat yang menseklusi wilayah dan kebudayaan nusantara terbuka dan pada
akhirnya bercampur dengan nilai-nilai yang ada pada agama-agama tersebut. Namun, pada
konteks globalisasi dalam dunia komunikasi, globalisasi tumbuh seiring dengan perkembangan
teknologi. Dengan kata lain, pesatnya pertumbuhan alat komunikasi membuat globalisasi
semakin pesat pula (Briggs dan Burke, 2006).
Hal senada juga diungkapkan Pawito (2010: 12) bahwa memasuki dekade 1980-an media
massa mengalami transformasi hebat dengan penemuan-penemuan baru dan penyempurnaan-
penyempurnaan di bidang teknologi informasi-komunikasi termasuk misalnya teknik-teknik
digital (di bidang televisi, radio dan alat cetak), integrasi antara komputer dan satelit kemudian
diikuti dengan penggunaan internet secara luas dan juga telepon seluler. Perkembangan dalam
dunia media massa ini ternyata mempercepat proses-proses globalisasi sebagaimana yang telah
dikemukakan.
Dengan internet atau telepon genggam yang memiliki fasilitas internet, misalnya, akses untuk
informasi (nyaris mengenai apa saja) dan hiburan juga nyaris bentuk dan genre apa saja) dari
dunia luar, begitu mudah diperoleh. Pada saat yang sama sajian media massa lain seperti
televisi, radio, suratkabar, majalah, buku-buku domestik, setidaknya untuk banyak hal, lebih
bersifat copy-an dari produk budaya global. Karena berkembangnya kecenderuangan
demikian, maka dapat dikatakan bahwa corak budaya di banyak aspek yang berkembang di
masyarakat, termasuk masyarakat Indonesia, notabenenya adalah hasil penetrasi globalisasi
yang diusung atau difasilitasi oleh media massa.
Marshall McLuhan pada tahun 1962 dalam tulisannya The Guttenberg Galaxy: The Making of
Typographic Man yang menjadi dasar munculnya technological determination theory. Ide
dasar teori ini adalah bahwa perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara berkomunikasi
(yang kebanyakan dipengaruhi media massa) akan membentuk pula keberadaan manusia itu
sendiri. Teknologi membentuk individu bagaimana cara berpikir, berperilaku dalam
masyarakat. Dan teknologi tersebut akhirnya mengarahkan manusia untuk bergerak dari satu
abad teknologi ke abad teknologi lain. McLuhan menegaskan, ”Kita membentuk peralatan
untuk berkomunikasi dan peralatan untuk berkomunikasi yang kita gunakan itu, akhirnya
membentuk atau mempengaruhi kehidupan kita sendiri” (Nurudin, 2007: 184-185). Setidaknya
gambaran dari McLuhan juga telah mengamplifikasi hal-hal mengenai pengaruh
perkembangan media massa tersebut.
Di satu sisi memang globalisasi memberikan keuntungan dalam arti konteks interaksi global
yang memudahkan segenap orang menjalani kehidupannya dalam ranah global village.
Namun perlu diingat bahwa suatu perkembangan zaman layaknya pisau bermata dua. Dedy N.
Hidayat mengingatkan bahwa melalui globalisasi akan muncul suatu konsensus global yang
memungkinkan masuknya produk-produk modernitas Barat dimana juga bisa merupakan suatu
proyek kekuasaan, dominasi, dan manipulasi lokal. Kesemuanya itu melibatkan proyek-proyek
kekuasaan yang jejak historisnya terbentang dari era penaklukan dunia ketiga (termasuk
Indonesia), penyebaran imperialisme, dan dominasi kapitalisme Barat, hingga upaya-upaya
kontemporer ke arah homogenisasi dan pencapaian konsensus global terhadap berbagai ide dan
etika produk modernitas Barat (Hidayat, 1992).
Salah satu wujud imperialisme adalah dalam konteks budaya. Dengan globalisasi ada banyak
kesempatan yang memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.
Ditambah dengan diilhami berkembangnya teknologi komunikasi, maka tak terelakan semakin
cepat pula munculnya suatu perkembangan globalisasi kebudayaan yang kalau dibiarkan akan
menjadi Imperialisme Budaya. Mengenai imperialisme budaya (cultural imperialism) ini
bukanlah isapan jempol belaka. Sebelum abad ke-21, jarang sekali televisi Indonesia yang
menayangkan program-program dari negara-negara lain selain dari AS. Tapi, saat ini di layar
kaca, dapat kita temukan banyak sekali tayangan non-Amerika. Sebut saja dari India, Jepang,
Korea, Cina, Taiwan, Meksiko dan lain-lain. Dunia menjadi lebih terintegrasi berdasarkan
pasar dalam lingkaran pasar kapitalisme.
Semakin banyak negara yang berlomba-lomba untuk memasarkan program televisinya.
Televisi Indonesia menjadi semakin lebih berwarna dengan kehadiran tayangan dari negara
lain. Sebut saja serial TV dari Jepang dan Korea, Telenovela dari Amerika Latin dan film dari
India. Apakah hal ini negatif atau poisitif? Seperti sekeping mata uang, semua hal ada positif
dan negatifnya. Sisi positifnya, kita bisa mengenal kebudayaan lain dan membuat wawasan
kita bertambah, sedangkan sisi negatifnya kebudayaan lokal kita semakin luntur akibat
gempuran kebudayaan asing. Inilah praktik, imperialisme budaya tersebut ditambah hal itu,
bisa saja terjadi karena kita kurang menghargai budaya kita sendiri. Dalam konteks dunia
ketiga, sangatlah dipahami jika sampai saat ini inferioritas ini masih mendominasi sehingga
apapun yang berasal dari Barat akan selalu dianggap lebih indah, lebih menarik, lebih modern
dibandingkan yang berasal dari Timur.
Kehadiran internet dan televisi yang menjembatani negara-negara di seluruh belahan bumi pun
membuat penyebaran budaya semakin cepat, perembesan satu budaya yang berasal dari negara-
negara yang dianggap superior masuk ke negara-negara yang inferior tanpa disadari. Dalam
televisi, orang-orang yang berada di balik layar, seperti para pekerja rumah produksi, produser,
sutradara, hingga ke pemilik stasiun televisi biasanya orang-orang yang hanya mengejar
keuntungan finansial untuk kocek mereka sendiri, sehingga mereka pun menayangkan
program-program yang sering berkiblat ke negara-negara yang dianggap superior, untuk
menarik lebih banyak pemirsa, yang berarti akan menaikkan rating, dus bermakna semakin
banyak iklan yang masuk, tanpa mempedulikan bahwa hal ini berarti mereka telah melakukan
suatu tindakan nyata untuk menghancurkan budaya bangsa sendiri secara perlahan-lahan.
Melihat semua ini, haruskah kita salahkan generasi muda kita yang mungkin akan lebih bangga
jika mereka disebut sebagai generasi MTV? Haruskah kita salahkan mereka yang tidak lagi
mengenal bahasa daerah masing-masing, wayang, tarian tradisional, dan lain-lain? Haruskah
kita salahkan mereka yang lebih suka menghabiskan waktu luangnya window shopping di mall-
mall, sembari makan-makan di fast food restaurant yang merupakan franchise produk luar
negeri? Bukankah mereka sebenarnya merupakan korban keegoisan para pemilik modal, dan
generasi yang lebih tua dari mereka yang menjejalkan budaya asing lewat media?
Tak terbantahkan kini budaya di Indonesia juga telah terkontaminasi budaya global dari
Amerika. Walhasil ada ketegangan-ketegangan karena terjadinya benturan antara budaya
global yang dianggap modern, dengan budaya lokal yang mewakili semangat nasionalisme atau
bahkan kedaerahan, tapi juga yang berkesan tradisional.
Khusus di daerah Banyuwangi, selain terpaan media yang terus menerus sepanjang hari, letak
geografis daerah Banyuwangi yang sangat dekat dengan Bali, juga sangat cepat mempengaruhi
perilaku para anak-anak dan kawula muda dalam mengekspresikan model-model budaya luar.
Model-model permainan tradisional sudah mulai dilupakan dan asyik dengan permainan
modern, terutama video game on line. Kegemaran akan musik dan gaya berpakaian mereka
lebih cendrerung kebarat-baratan atau model K-Pop. Segi negatif dari terpaan budaya asing
tersebut antara lain adalah: ketagihan main game on line, tergerusnya nilai dan norma etika,
konsumerisme, kenakalan remaja dan perilaku menyimpang yang lain. Sudah saatnya
pemerintah daerah dan seluruh lapisan masyarakat memikirkan solusi terbaik dan mengurangi
dampak negatif dari terpaan budaya asing tersebut.

1. B. Upaya Mempertahankan Eksistensi Budaya Lokal


Menurut Koentjaraningrat, budaya di dalam masyarakat dapat dibagi menjadi tiga aspek yaitu
mentifak, sosiofak, dan artefak. Mentifak berkaitan dengan pemikiran dan falsafah dasar
kebudayaan, sosiofak berkaitan dengan perilaku sosial dan penerapan nyata mentifak dalam
kehidupan, dan artefak merupakan hasil nyata dari sebuah kebudayaan yang dapat berupa
barang, tarian, teks, atau lagu. Ketiga aspek dari budaya berkaitan antara satu lainnya dan
membentuk sebuah kesatuan budaya karena penggunaan dan pembuatan artefak membutuhkan
sebuah sosiofak tertentu dengan landasan mentifak masyarakat tersebut. Maka, dapat
disimpulkan bahwa pelestarian budaya hanya dapat dilakukan dengan melestarikan proses
produksi dan konsumsi simbol di dalam masyarakat melalui pelestarian aspek-aspek
pembentuk budaya di dalam masyarakat. Dengan pengembangan produsen dan pengubahan
selera konsumen, proses produksi dan konsumsi budaya dapat terus berlangsung di masyarakat
sehingga budaya akan lestari di dalam masyarakat. Pelestarian budaya dengan cara ini akan
menjaga budaya di dalam masyarakat, bukan membekukannya dalam waktu. Dengan cara ini,
generasi mendatang akan dapat menikmati budaya sebagai identitas mereka, bukan hanya
menikmati barisan arca kuno yang sudah tidak dikenal lagi maknanya di dalam museum.
Apalagi kalau usaha pelestarian budaya semacam ini juga dihubungkan dengan kegiatan
pariwisata daerah. Sudah tentu kedatangan wisatawan manca negara maupun lokal, akan terus
mendorong kreativitas budayawan dan masyarakat pada umumnya untuk terus menciptakan
produk-produk budaya baru dalam kehidupan kesehariannya.
Oleh sebab itu saya sangat mengapresiasi usaha Pemerintah Daerah dan seorang pengusaha
dalam menentukan desa Kemiren sebagai cagar budaya Osing yang dihubungkan dengan
pariwisata. Saya juga sangat mendukung usaha Pemda dalam mendorong semangat masyarakat
dalam pelestarian budaya lokal Banyuwangi dengan terus melakukan terobosan kebijakan yang
luar biasa. Namun demikian usaha tersebut belumlah cukup, apabila tidak dibarengi dengan
semangat multikulturalisme, yaitu dengan mendorong juga perkembangan budaya lokal lain,
selain budaya Osing (misalnya: budaya Mendalungan Madura yang masyarakat pendukungnya
kebanyakan tinggal di bagian utara dan Jawa Mataraman yang sebagian besar pendukungnya
berdiam di bagian selatan. Usaha pemerintah tersebut juga tidak perlu menekankan pada aspek
struktural, yaitu seakan hanya inisiatif Pemda melalui Dinas Pariwisata dan Budaya, namun
harus lebih banyak mendorong masyarakat, terutama para produsen budaya (budayawan) untuk
lebih semangat agar produktivitas mereka meningkat. Kasus musik Kendang Kempul
membuktikan bahwa betapa masyarakat sangat kreatif menciptakan lagu-lagu baru yang
akhirnya sangat digemari oleh masyarakat tingkat nasional.
Perlu juga digalakkan penulisan cerita-cerita rakyat yang dulu bisa dipentaskan dalam bentuk
Prabuloro atau Damar Wulan dan sekarang sudah hampir punah dalam bentuk novel. Nilai-
nilai yang terkandung dalam cerita-cerita rakyat tersebut sangat berguna agar generasi muda di
Banyuwangi tidak terlepas dari akar budaya lokalnya. Bahkan nilai-nilai yang menjadi
stereotype orang Osing yang sangat sinis, seperti : “anggak”, “bengkak”, “aclak” dan
“nggrecak” apabila ditulis dalam sebuah novel, mungkin akan mampu memberikan semangat
kepada generasi muda agar berani tampil, berani bersaing dan mampu mengaktualisasikan
dirinya dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh, saya pernah memberikan semangat
agar para pemuda di desa kelahiran saya, agar lebih berani berkreasi, berpetualang dan
semangat belajar hingga di Perguruan Tinggi. Ternyata nilai-nilai yang dianggap negatif
tersebut justru mampu memberikan semangat kepada mereka untuk tidak rendah diri, walaupun
mungkin secara ekonomi tidak mungkin mampu.
Demikian juga nilai dan norma dalam hal hidup berdampingan dengan penuh toleran dan damai
dalam suatu komunitas yang berbeda agama, aliran dan praktek keagamaan yang berbeda,
sebagaimana telah ditulis oleh Antropolog Andrew Beatty (2001) perlu dikembangkan dalam
kehidupan bermasyarakat, terutama dalam kehidupan pelajar dan para pemuda agar terhindar
dari konflik yang mendorong untuk tawuran. Nilai-nilai tersebut sebenarnya tercermin dalam
kesenian “Angklung Caruk”. Dalam pertunjukan tersebut, walaupun pemain dan penonton
bersaing dalam tebak-tebakan lagu, hampir tidak pernah berakhir dengan pertengkaran dan
keributan. Perlombaan untuk menulis sejarah dan cerita-cerita lokal Banyuwangi sudah
selayaknya lebih digalakkan oleh Pemda dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat.
Disamping itu tidaklah cukup hanya berusaha untuk melestarikan budaya lokal saja
tanpa merubah mind-set masyarakat dalam hal memandang budaya asing melalui terpaan
media global. Sebagaimana lontaran Gramsci yang terkenal dengan teori hegemoninya
mengatakan bahwa untuk melepaskan diri dari cengkeraman budaya asing, diperlukan
partisipasi keikutsertaan para intelektual organik yang punya komitment tinggi yang harus
menyadarkan masyarakat, terutama generasi muda, bukan kaum intelektual tradisional yang
justru lebih melegitimasikan budaya-budaya asing tersebut (Gramsci dalam Bocock, 2007: 39-
40).
Namun tentu saja hal ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, jika kaum intelektual
organik tersebut lemah modal. Bagaimana mereka akan mampu membuat produk saingan
untuk menggeser tayangan-tayangan impor dari luar, agar lebih menarik para generasi muda
jika mereka tidak memiliki modal yang cukup kuat? Menurut pengamatan saya selama ini,
kaum intelektual organik ini jumlahnya lebih sedikit, sehingga menyerahkan beban untuk
menjaga generasi penerus dari pengaruh negatif globalisasi kepada mereka tentu sangat tidak
bijaksana. Disinilah perlunya media lokal yang berupa radio dan televisi dalam hal
mengimbangi terpaan media asing.
Setidaknya jalan alternatif yakni perlu untuk segera disosialisasikan dan direalisasikan gerakan
media literacy (melek media) untuk dapat menangkal pengaruh buruk globalisasi media. James
Potter mendefinisikan media literacy sebagai: ”A perspective that we actively use when
explosing ourselves to the media in order to interpret the meaning of the messages when we
counter. We build our perspective from knowledge structure. To build our knowledge
structures, we need tools and raw material. The tools are our skills. The raw material is
information from the media and the real world. Active use means we are aware of the messages
and are consciuously with them” (Potter, 2001).
Hal ini penting karena akan mendorong individu untuk secara aktif menafsirkan pesan dan
menguatkan individu dalam menghadapi atau mengakses media. Positif atau negatif dampak
dari globalisasi salah satunya ditentukan oleh sikap kita dalam menggunakan media tadi. Oleh
karena itu, dibutuhkan yang namanya melek media, agar kita dapat melihat mana yang baik
dan mana yang buruk dari isi yang dibawa media sehingga kita tidak terseret dalam arus
globalisasi. Hal ini perlu dilakukan, karena hamper tidak mungkin menghentikan terpaan media
asing tersebut, tanpa mengimbangi dengan medi nasional maupun lokal yang lebih memenuhi
selera masyarakat luas.

C.Penutup
Sebagai kesimpulan dari tulisan pendek ini, saya hanya menghimbau bahwa setiap lapisan
masyarakat Banyuwangi dari etnik manapun harus segera menyadari akan bahanya terpaan
media asing kepada generasi muda kita. Dalam kehidupan keluarga sudah selayaknya ada
gerakan “melek media”, agar para anggotanya selamat dari tragedy akibat dampak yang luar
biasa sebagai akibat dari terpaan “imperialisme budaya”. Perkenalkanlah nilai-nilai budaya
lokal kepada anak-anak kita sejak dini dan marilah kita dorong agar pimpinan di lembaga
pendidikan juga mulai sadar akan pentinynya mendidikkan nilai-nilai budaya lokal yang
bersifat positif.
Sebaiknya para pimpinan formal maupun informal bersama-sama masyarakat agar mendorong
masyarakat untuk melakukan transformasi budaya lokal, agar masyarakat lokal Banyuwangi
tidak terseret oleh arus modernisasi yang cendrerung bersifat dehumanisasi dan demoralisasi.
Peran Pemda adalah mendorong proses transformasi budaya dalam kehidupan masyarakat,
bukan bersifat struktural seakan hanya Pemda yang memahami kebutuhan budaya masyarakat.
Serahkanlah sepenuhnya kepada kreatifitas masyarakat daripada menghegemoni mereka
dengan kebijakan-kebijakan yang seringkali kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Daftar Pustaka
Anoegrajekti, Novi. 2003. “Identitas dan Siasat Perempuan Gandrung” dalam Jurnal Srinthil.
No. 3 Tahun 2003.

Beatty, Andrew. 2001. Variasi Agama di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi. Edisi1. Cetakan
1. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Bocock, Robert. 2007. Hegemoni. Terj. Ikramullah Mahyuddin. Yogyakarta dan Bandung:
Jalasutra.
Briggs, Asa dan Peter Burke. 2006. A Social History of the Media. Terj. A.
Rahman Zainuddin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Daniel. 1992. “Seblang Bakungan, Sampai Kapan Bertahan?”. Mutiara No. 611
Tahun ke-15, Minggu I Juli 1992.

DeFleur, Melvin L. and Sandra J. Ball-Rokeach. 1989. Theories of Mass


Communication, Fifth Edition. New York: Longman.
Fakih, Mansour. 2006. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Cet. 4.
Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar.
Ferguson, Marjorie. 2002. The Mythology About Globalization dalam Denis
McQuail (ed.) McQuail’s Reader in Mass Communication Theory. London:
Sage Publication.
Hidayat, Dedy N. Globalisasi, Pascamodernisme dan Dunia Ketiga. Kompas, 18 Desember
1992.
McQuail, Denis. 2000. Mass Communication Theories, Fourth Edition. London: Sage
Publication.
McLuhan, Marshall. 1994. Understanding Media: The Extension of Man. London: The MIT
Press.
Morley, David. 2006. Globalisation and Cultural Imperialism Reconsidered: Old Question in
New Guide dalam James Curran and David Morley (ed.). Media and Cultural Theory. New
York: Routledge.
Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Potter, James W. 2001. Media Literacy. New Delhi: Sage Publication.
Straubhaar, Joseph D; Robert LaRose and Lucinda Davenport. 2009. Media Now:
Understanting Media, Culture and Technology. Belmont: Wadsworth.
Tomlinson, John. 2002. The Discourse of Cultural Imperialism dalam Denis
McQuail (ed.) McQuail’s Reader in Mass Communication Theory. London: Sage Publicati

Anda mungkin juga menyukai