Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

MAPALUS DALAM PERSPEKTIF KEARIFAN MASYARAKAT LOKAL

DISUSUN OLEH:
CHRISTIAN DANIEL KAMASI

UNIVERSITAS NEGERI MANADO


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUKUM
2022

BAB1
PENDAHULUAN
I.Latar belakang

Pengembangan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat untuk memperkuat dan
mengembangkan budaya Indonesia merupakan bagian penting dalam pembangunan yang
dilaksanakan oleh masyarakat dan pemerintah. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa orientasi
pembangunan yang berkaitan dengan pengembangan nilainilai budaya itu, yang pada kelanjutannya
merupakan kebudayaan nasional, belum terwujud secara baik sebagai nilai-nilai keindonesiaan
(Indonesian values). Bahkan, ada kecenderungan bahwa akibat pembangunan yang berlangsung
kurang seimbang di berbagai bidang kehidupan masyarakat, hal itu telah menimbulkan persoalan
baru yang jauh lebih kompleks. Belum adanya keseimbangan antara pembangunan fisik dan non fisik
di Indonesia telah menimbulkan berbagai fenomena baru dalam bidang kebudayaan.

Hal ini menyangkut kemerosotan nilainilai yang humanistis, termasuk di dalamnya nilai-nilai budaya.
Masuknya nilai-nilai baru telah menimbulkan perubahan yang sangat mendasar dalam kehidupan
masyarakat. Termasuk di dalamnya pula, akibat pengaruh intern dan ekstern, nilai-nilai budaya itu
berubah, baik menuju ke perubahan positif maupun negatif.

Nilai-nilai budaya, antara lain nilai-nilai kehidupan tradisional, misalnya cara bertani, cara
bernelayan, cara membangun rumah, cara menyelenggarakan pesta, cara memakamkan orang, dan
cara mengatur uang, yang dimiliki oleh masyarakat berubah, bahkan makin merosot. Perubahan dan
kemerosotan itu menjadikan nilai-nilai budaya bergeser menjadi nilai baru, misalnya cara bertani
tidak lagi sama kebersamaannya dengan cara bertani tradisional, cara bernelayan kini sudah
merupakan cara modern dan lebih individualis, cara menyelenggarakan pesta sudah tidak lagi
dibiayai dan didukung bersama, cara membangun rumah sudah lebih profesional lagi, dan cara
memakamkan orang bergeser tidak segotong-royong tolong-menolong seperti dulu lagi.

Kenyataan menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya yang berkembang pada saat ini pun belum
tersosialisasi dengan baik. Artinya, sementara orang masih berpegang teguh pada nilai-nilai budaya
lama, generasi berikutnya sudah mulai meninggalkannya. Dengan bergesernya, bahkan dengan
merosotnya, nilai-nilai kebudayaan itu, hal ini menunjukkan bahwa modernisasi kehidupan
masyarakat cenderung menimbulkan benturan nilai. Benturan nilai ini terjadi karena proses
pembauran dari nilai tradisional ke nilai baru belum berlangsung baik. Belum berlangsungnya proses
pembauran itu dengan baik karena beberapa faktor, baik intern maupun ekstern. Akibatnya, timbul
krisis nilai-nilai kebersamaan. Timbulnya krisis nilai-nilai kebersamaan yang berupa nilai
kekeluargaan dan kegotong-royongan di kalangan masyarakat Indonesia merupakan contoh aktual
yang dapat dijumpai dalam kehidupan masyarakat kota.

Hal ini dialami juga oleh masyarakat desa. Krisisnya nilai-nilai kebersamaan itu terjadi disebabkan,
antara lain, aktivitas pembangunan tidak dilakukan secara berangsur-ansur, tetapi cenderung
bersifat revolusioner, yaitu cenderung menghendaki perubahan secara menyeluruh dan mendasar.
Aktivitas pembangunan berlangsung secara cepat. Hal ini mengakibatkan perubahan nilai-nilai
budaya yang dianut oleh kelompok masyarakat tertentu. Perubahan nilai-nilai budaya ini kemudian
menimbulkan berbagai goncangan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Perubahan ini merupakan persoalan masyarakat. Persoalan seperti ini sangat besar pengaruhnya
terhadap upaya membangun persatuan dan kesatuan nasional. Jika persoalan ini tidak teratasi,
dapat menimbulkan akibat negatif bagi masyarakat Indonesia.

Akibat yang lebih jauh lagi adalah bahwa persoalan itu dapat berlanjut sebagai persoalan yang
sangat rentan terhadap disintegrasi nasional. Persoalan lain yang dianggap berpengaruh terhadap
pembangunan bidang kebudayaan adalah kehidupan masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk.
Aspek kemajemukan tersebut dapat dilihat dari, antara lain, segi tradisi, adat-istiadat, budaya, dan
kehidupan sosial. Kesemuanya ini berkait erat dalam interaksi sosial. Interaksi sosial yang
berlangsung dalam masyarakat itu sangat bervariasi. Oleh karena itu, diperlukan suatu kesepakatan
dalam pengembangan sebuah sistem ideologi yang mengikat seluruh rakyat Indonesia dalam bentuk
cita-cita dan perangkat nilai budaya tertentu (Budhisantoso, 1993).

Sistem ideologi yang mengikat rakyat Indonesia dalam bentuk cita-cita dan perangkat nilai-nilai
budaya tertentu itu dapat membanggakannya. Kebanggaan pada aneka ragam budaya itu tercermin
dalam semboyan negara yaitu Bhineka Tunggal Ika yang secara eksplisit bermakna mengakui adanya
perbedaan-perbedaan, tanpa harus mengorbankan kesatuan dan persatuan. Bineka artinya beragam
atau beraneka ragam. Tunggal ika berarti menjadi satu. Jadi, dengan beraneka ragamnya nilai-nilai
budaya itu, keberanekaragaman itu tetap menjadi satu, yaitu nilai budaya Indonesia. Semboyan yang
rasanya sudah begitu lama dan menjadi kebanggaan orang Indonesia, kini diuji kembali
kebenarannya (Ahimsa-Putra, 1999). Ujian ini tertempa pada majemuknya masyarakat Indonesia.

Untuk memahami persoalan masyarakat majemuk, seperti Indonesia, secara tepat, diperlukan
pemahaman yang lebih mendasar tentang struktur sosial. Struktur sosial ini ditandai oleh dua ciri,
yaitu (1) struktur yang bersifat horizontal, ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial
berdasarkan perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, perbedaan adat, dan perbedaan
kedaerahan dan (2) struktur yang bersifat vertikal, ditandai oleh kenyataan adanya perbedaan
antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam (Nasikun, 2000). Baik struktur horizontal
maupun struktur vertikal dalam struktur sosial ini juga terlihat dalam masyarakat Minahasa, yang
menjadi wilayah penelitian ini.

Lebih lanjut terlihat bahwa selama ini strategi pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah
kurang mempertimbangkan kondisi struktur masyarakat secara lebih tepat. Akibatnya,
pembangunan yang mengabaikan pemahaman struktur sosial sangat berpengaruh terhadap
kelancaran pembangunan, terutama pembangunan bidang kebudayaan. Nilai-nilai budaya yang
dimiliki oleh masyarakat Indonesia belum mampu memperkaya kebudayaan nasional karena budaya
lokal berada pada posisi marjinal dan nilai keasliannya cenderung mengalami kemerosotan. Proses
merosotnya nilai budaya tersebut terjadi karena masuknya nilai-nilai budaya yang berasal dari luar
dan karena pesatnya kemajuan di bidang informasi, komunikasi, transportasi, pendidikan, dan lain-
lain.

Demikian juga, proses merosotnya nilai-nilai budaya itu juga dipengaruhi oleh faktor yang berasal
dari dalam, tempat masyarakat pemilik nilai-nilai itu berada. Kemerosotannya ini terlihat dari
berbagai fenomena. Fenomena merosotnya nilai-nilai budaya, menurut Jacob (1999) dalam
bahasannya tentang ketahanan nasional dan milenium ketiga, adalah bahwa ketahanan kultural
ternyata juga mudah hancur. Hal itu terjadi karena pluralisme budaya dalam negeri dan kontak
budaya yang makin intens dengan dunia Barat, terutama budaya elektronik yang menyeragamkan
dunia. Kebudayaan Indonesia sedang terbentuk dari hasil interaksi budaya etnis yang
beranekaragam. Di samping itu, nilai-nilai budaya bangsa akan berhadapan dengan nilai-nilai budaya
asing yang dapat menpengaruhi identitas kepribadian bangsa. Oleh karena itu, diharapkan dari
berbagai subkultur, timbul multikulturalisme dengan warna Indonesia meskipun terdapat juga
perbedaan vertikal, di samping perbedaan horizontal dalam evolusi mosaik budaya di Indonesia.

Mosaik budaya artinya kepingan-kepingan budaya yang beraneka warna dan yang tersusun menjadi
satu kesatuan, yaitu satu budaya Indonesia. Mosaik budaya Indonesia ini, antara lain, diwargai oleh
aneka budaya daerah, misalnya budaya Jawa, budaya Sunda, budaya Batak, budaya Dayak, budaya
Bali, dan budaya Minahasa. Budaya Minahasa inilah merupakan budaya yang hidup dalam
masyarakat Minahasa dan yang menjadi salah satu titik mosaik budaya Indonesia. Salah satu budaya
Minahasa yang populer sejak dulu hingga dewasa ini adalah mapalus. Dalam realitas kesehariannya,
mapalus itu tidak berlangsung statis sejak semula.

Dalam perkembangan zaman, mapalus bergeser, bahkan merosot nilainya sebagai nilai budaya
karena berbagai hal. Kemerosotannya itu terjadi karena berbagai sebab pula. Bila dilihat lebih
mendalam, keadaan mapalus di Minahasa ini menarik untuk diteliti. Kini dialami oleh masyarakat
Minahasa bahwa dalam melaksanakan budaya mapalus mereka dipengaruhi oleh perubahan yang
bersumber dari dalam lingkungan masyarakat Minahasa, seperti meningkatnya pendidikan,
melengkapnya dan majunya alat komunikasi, berkembangnya transportasi, dan tingginya mobilitas
sosial. Tidak hanya itu, ada pula pengaruh luar. Perubahan yang terjadi akibat pengaruh dari luar
masyarakat Minahasa adalah, antara lain, pengaruh budaya Barat, berkembangnya sistem
pertukaran dengan menggunakan uang, dan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan terpengaruhnya budaya mapalus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar masyarakat
Minahasa, maka terjadi pergeseran, perubahan, dan bahkan kemerosotannya. Dalam menyikapi
kemerosotannya, dan dalam hal kehidupan budaya mapalus di kalangan komunitas Minahasa,
Turang (dalam Masinambow et.al 1991) berpendapat bahwa apabila tidak diambil langkah sedini
mungkin, sudah dapat dipastikan pada masa mendatang hanya ditemukan katakata mapalus, tetapi
makna dan arti fungsionalnya sudah tidak ada dalam kehidupan generasi mendatang.

Pada zaman dahulu, kira-kira dua atau tiga generasi sebelum generasi sekarang, masyarakat
Minahasa dalam mempraktekkan mapalus sebagai suatu bentuk kerja sama melalui sistem tolong-
menolong antarwarga berdasarkan pada tradisi kerja. Tradisi kerja maksudnya satu jenis pekerjaan
yang memerlukan tenaga itu diganti dengan tenaga untuk mewujudkan kepentingan bersama.
Setiap individu yang tergabung dalam mapalus memiliki rasa kebersamaan berdasarkan ikatan moral
dan etika. Hal ini memperlihatkan ciri yang bersifat khas masyarakat Minahasa dalam menata
kehidupan bermasyarakat. Akan tetapi, keadaan ini kini mulai bergeser, bahkan merosot.
Keadaannya adalah bahwa mapalus belum dipahami oleh generasi Minahasa sekarang secara
mendasar. Mereka belum menyadarinya bahwa mapalus adalah unsur kebudayaan daerah yang
menjadi milik nasional. Dengan menyadarinya bahwa mapalus merupakan salah satu titik mosaik
kebudayaan nasional, yaitu kebudayaan Indonesia, maka nilai budaya mapalus ini perlu digali,
dibina, dan dilestarikan. Jika generasi Minahasa dewasa ini tetap mengabaikannya, yang pada
realitasnya adalah merosotnya nilai budaya mapalus, kebudayaan Indonesia pun akan
memungkinkan untuk merosot.

Apakah mapalus? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa mapalus adalah semangat
gotong-royong cara Minahasa yang juga dijadikan senjata melawan kriminal (KBBI, 1999). Pengertian
yang tercantum dalam kamus ini adalah pengertian mapalus yang spesifik, artinya pengertian
mapalus yang bersifat khusus atau khas, yaitu yang terarah ke semangat gotong-royong pada
umumnya dan bahkan yang dapat dijadikan senjata melawan kriminal. Akan tetapi, pengertian ini
bukan pengertian yang umum seperti terjadi dalam pelaksanaan mapalus.

Pengertian yang diperdalam ke arah kebersamaan dalam melawan kriminal, seperti tercantum
dalam kamus ini, adalah pengertian masyarakat Minahasa yang bersatu-padu menjaga ketertiban
dan keamanan daerahnya. Bahkan, jika ada tindak kriminalistas, bukan mereka yang melakukannya
bersama-sama, tetapi mereka secara bergotong-royong tolong-menolong memberantas dan
mengatasi tindak kriminal itu. Dalam penelitian ini, pengertian mapalus yang terbatas, sebatas
tertera dalam KBBI itu, tidak digunakan.

Yang digunakan adalah pengertian mapalus seperti tertera pada sumber acuan lain, yang ditulis oleh
para ahli di bidangnya. Pengertian-pengertian mapalus yang lebih luas itu adalah sebagai berikut.
Menurut Turang (1997) budaya mapalus tidak saja merupakan tindakan kerja sama (cooperation),
yang anggota kelompok kerja itu bekerja sama untuk kepentingan belaka, tetapi meliputi suatu
keutuhan hidup berdasarkan paradigma kerja secara bersama (working togetherness) dalam bidang
ekonomi, budaya, organisasi, dan manajemen kerja sama, masyarakat, keagamaan, pertahanan, dan
keamanan. Belakangan ini mapalus telah mengalami pergeseran yang menunjukkan indikasi bahwa
telah terjadi perubahan terhadap nilai-nilai keasliannya dalam kehidupan masyarakat Minahasa.
Perubahan itu terjadi karena berbagai faktor, baik intern maupun ekstern. Nilai budaya mapalus
yang menjiwai hakikat gotong-royong tolong-menolong antarwarga merupakan salah satu bentuk
solidaritas khas masyarakat Minahasa. Masyarakat yang berbudaya seperti ini selalu terikat satu
sama lain berdasarkan relasi sosial yang disebut ikatan primordial, yaitu ikatan keluarga, dekatnya
letak geografis, serta iman dan kepercayaan (Kartodirdjo, 1978). Bagi masyarakat di perkotaan,
mapalus merupakan perkumpulan kalangan orang yang setempat asal seperti sedesa, sekecamatan,
atau dahulu disebut walak atau pakasa'an, yang lahir di luar lingkungan itu, seperti banyak terlihat di
Manado dan kota-kota lain di luar Minahasa.

Bahkan, di kota-kota tersebut ada organisasi besar untuk seluruh masyarakat Minahasa yaitu
organisasi kawanua, yang menjalankan berbagai kegiatan tolong-menolong. Kegiatan
tolongmenolong yang menonjol dari perkumpulan-perkumpulan ini berkaitan dengan kebutuhan-
kebutuhan yang muncul pada peristiwa kedukaan (Kalangi, 1997). Pola ini memiliki kesamaan
dengan sistem gotong-royong yang berlangsung di tempat-tempat lain seperti yang terjadi di
kalangan masyarakat Jawa. Menurut Koentjaraningrat (1985) bahwa dalam kehidupan masyarakat
desa di Jawa, gotong-royong merupakan sistem pengerahan tenaga tambahan dari luar kalangan
keluarga untuk mengisi kekurangan tenaga pada masa-masa sibuk dalam lingkaran aktivitas produksi
bercocok tanam di sawah. Kegotong-royongan ini mempunyai ciri khas, seperti halnya kegotong-
royongan dalam mapalus. Ciri khas gotong-royong melalui mapalus di Minahasa adalah sebagai
berikut.

Menurut Kalangi (1997) makna mapalus dalam arti yang umum disebut sebagai suatu bentuk kerja
sama atau tindakan bantu-membantu dari orang sekampung dalam bentuk kelompok yang relatif
kecil. Jumlahnya berkisar 20 orang. Mereka mempunyai kepentingan yang sama. Hal ini dipenuhi
secara bergiliran atas dasar derajat yang sama, yang diatur dengan suatu sistem adat untuk
menjamin kelancaran dan tercapainya kepentingan anggota-anggota yang bersangkutan. Setiap
kelompok mapalus dipimpin oleh seorang ketua, dahulu disebut tu'a im palus. Menurut Turang
(1983) bahwa mapalus berarti orang-orang yang sedang melakukan kegiatan bersama untuk
kepentingan bersama sehingga tiap-tiap anggota memperoleh bagian secara bergiliran. Dengan
melihat terjadinya pergeseran, bahkan kemerosotan nilai mapalus sebagai nilai budaya,
dimungkinkan ada penyebabnya. Pergeseran dan kemerosotan pelaksanaan mapalus ini diamati,
dibandingkannya dengan pelaksanaan mapalus pada generasi sebelumnya, dan jika terjadi
perubahan dicari penyebabnya. Jika diketahui penyebab bergeser dan merosotnya mapalus, dicari
pula upaya pelestariannya. Alasannya adalah sebagai berikut.

Mapalus memiliki semangat gotong-royong yang sangat dalam. Untuk memahami dan mengetahui
apa saja penyebab perubahan, pergeseran, dan bahkan kemerosotan mapalus di Minahasa,
diperlukan penelitian ke arah sana. Penelitian ini dilakukan untuk melihat posisi mapalus sebagai
mosaik nilai-nilai budaya nasional, untuk mengetahui pergeseran dan kemerosotannya, dan langkah
berikutnya adalah untuk memberikan alternatif upaya pelestariannya. Dengan dilakukannya
penelitian ini, usaha pelestarian mapalus dalam rangka pemeliharaan pengembangan kebudayaan
nasional dapat dilaksanakan.

1. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara
fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan
dengan orang-orang tersebut dalam bahasannya dan dalam peristilahannya Kirk dan Miller yang
tegaskan kembali oleh Moleong (1998). Dalam mengembangkan metode kualitatif, Moleong (1998)
mengemukakan hal-hal berikut ini. Pertama, menyesuaikan motode kualitaf lebih mudah apabila
berhadapan dengan kenyataan ganda. Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat
hubungan antara peneliti dan responden. Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat
menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang
dihadapi.

2.Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di wilayah Tanah Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Aktivitas
penelitian dilakukan di Kabupaten Minahasa yaitu Kecamatan Tondano Utara, dan Kecamatan
Pineleng Pertimbangan dalam menentukan lokasi penelitian ini ialah karena masyarakat di desa-desa
tersebut masih melaksanakan mapalus.

3.Penentuan Informan
Langkah awal dalam penentuan informan adalah menentukan informan yang terdiri dari masyarakat,
tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, dan pimpinan kelompok mapalus, yang terdiri dari
masing-masing komponen satu orang. Selain itu ada informan kunci yang terdiri dari kepala desa dan
kelurahan, kepala wilayah kecamatan, Pimpinan Majelis Kebudayaan Minahasa, dan Kepala Bagian
Pemerintahan Kabupaten Minahasa.Teknik Pengumpulan Data Data penelitian terdiri dari data
sekunder dan data primer. Cara yang digunakan dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut

a.studi Kepustakaan

Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan yaitu penelaahan terhadap
berbagai referensi, baik dokumentasi yang terdapat pada perpustakaan maupun arsip yang ada pada
lembaga pemerintah. Studi ini dilakukan dari awal sampai akhir penulisan laporan penelitian dengan
maksud agar dapat memperluas wawasan dan dapat menghimpun berbagai kajian yang relevan
dengan penelitian ini.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan dilakukan untuk menghimpun data dari informan yang benar-benar memahami
mapalus. Langkah utama yang ditempuh dalam studi lapangan ini ialah studi penjajakan atau survei.
Pada umumnya yang merupakan unit analisis survei adalah individu (Singarimbun, 1987). Data hasil
penjajakan awal kemudian dikelompokkan sesuai dengan kebutuhan penelitian untuk menetapkan
informan yang akan ditemui pada saat penelitian berlangsung. Data awal tersebut diperoleh dari
Kepala Wilayah Kecamatan Tondano Selatan, Tomohon Selatan, Tombatu Timur, dan Motoling
Barat. Setelah memperoleh informasi yang dibutuhkan dari kepala kecamatan masing-masing,
ditetapkan desa-desa sebagai objek studi. Pertimbangan dalam menentukannya ialah desa-desa
tersebut masih melaksanakan kegiatan mapalus dengan berbagai wujud kegiatan, yaitu mapalus di
bidang ekonomi, teknologi, dan kemasyarakatan.

c. Wawancara

Dalam pengumpulan data primer dilakukan wawancara kepada informan kunci. Teknik wawancara
yang dikembangkan ialah menggunakan pedoman wawancara. Selain itu, dikembangkan juga
wawan- 33 cara mendalam. Pedoman wawancara ini mencantumkan pokokpokok pertanyaan yang
akan ditanyakan kepada informan. Teknik wawancara mendalam yang dilakukan melalui studi
kualitatif dapat dijadikan sebagai andalan. Penggunaan teknik wawancara seperti ini menurut
Banana (dalam Smith 1975) ialah,

(1) inklusif, seberapa banyak bagian rabaannya atau yang termasuk dari wawancara;
(2) kontrol, seberapa besar persepsi mereka dalam kontrol atau di luar kontrol wawancara mereka;
dan

(3) afeksi, bagaimana rabaan mereka terhadap orang yang diwawancarai.

Dalam menggunakan teknik wawancara, yang penting untuk dipahami secara mendalam, ialah
walaupun wawancara berstruktur adalah wawancara yang paling tepat dalam mengklasifikasi
dimensidimensi sikap dan perilaku yang dipahami dengan jelas, ada beberapa situasi yang peneliti
kurang memahami kerangka berpikir, tingkat informasi, dan struktur pendapat responden. Dalam
beberapa kasus, peneliti berusaha untuk lebih tidak berstruktur atau tidak mendalam sebagai pilihan
strategi wawancara (Smith, 1975). Strategi yang dikembangkan dalam melakukan wawancara untuk
mengumpulkan data selalu berpedoman pada pandangan bahwa wawancara yang dikembangkan
dalam suatu penelitian bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia
dalam suatu masyarakat serta pendirian-pendirian mereka itu. Hal ini merupakan suatu pembantu
utama dari metode observasi (Koentjaraningrat, 1989).

d. Teknik Observasi Partisipasi

Penggunaan teknik observasi partisipasi dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi yang
lengkap tentang kondisi masyarakat yang diteliti. Biasanya masalah-masalah yang menjadi sasaran
penelitian dalam mempelajari hubungan antarmanusia dan kegiatan manusia dalam hubungan
mereka satu sama lain haruslah diamati di tempat mereka dijumpai. Biasanya peneliti tidak dapat
menyembunyi- 34 kan diri pada waktu mengamati orang-orang bersangkutan Kabberry (dalam
Koentjaraningrat, 1989). Observasi partisipasi yang dilakukan oleh peneliti dimaksudkan untuk
mendalami berbagai pengalaman hidup sehari-hari dari masyarakat desa dalam melakukan aktivitas
mapalus sebagai sistem gotongroyong tolong-menolong. Dilakukan pendalaman terhadap nilai-nilai
yang berkaitan dengan aktivitas mapalus, dan cari faktor-faktor apakah yang telah mempengaruhi
budaya mapalus sehingga cenderung mengalami perubahan.

Analisis Data Data yang berhasil dihimpun dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif.
Penggunaan analisis kualitatif dianggap lebih sesuai karena pertimbangan, (1) menyesuaikan metode
kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; (2) metode ini menyajikan
secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan informan; dan (3) metode ini lebih peka dan
dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola- pola nilai
yang dihadapi (Moleong, 1998). Artinya, analisis terhadap hasil penelitian itu terutama dilakukan
dengan menggunakan kata-kata, bukan dengan angka-angka (Miles dan Huberman, 1992).
Penekanan terhadap analisis kualitatif dimaksudkan untuk menjawab persoalan objektivitas sampai
batas tertentu yang dapat dipahami sehingga tidak menimbulkan konsep yang mendua (ambiquitas),
yang satu sisi mengacu pada asumsi dan pada prinsipnya merupakan sesuatu yang secara universal
dapat dijelaskan dalam kausalitas. Dalam ilmu-ilmu sosial, asumsi ini seringkali diabaikan karena apa
yang dijelaskan oleh para ilmuan sosial adalah konsekuensi dari pilihan-pilihan eksistensial yang
dibuat dalam setiap diri manusia (Kirk dan Miller, 1986).

II.MASALAH
Dinamika masyarakat Minahasa yang pada awalnya kental dengan pola kerja sama antarwarga
berdasarkan sistem gotong- 10 royong dalam berbagai aspek kehidupan mereka, pada dewasa ini
tengah dihadapkan pada perubahan, pergeseran, bahkan kemerosotannya. Demikian halnya hal ini
terjadi pada mapalus. Praktek gotongroyong tolong-menolong antarwarga yang berwujud tolong-
menolong dalam pekerjaan dan dalam pengumpulan dana melalui asas timbalbalik tersebut mereka
sebut mapalus. Dalam melakukan kegiatan mapalus, berbagai kepentingan individu, keluarga, dan
kerabat dapat dilaksanakan secara bersama-sama. Setiap individu yang terlibat dalam mapalus
memiliki keterikatan moral yang sangat kuat.

Keterikatan moral itu berlanjut pada adanya sanksi sosial bagi mereka yang mengingkari,
menghindari, atau tidak melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan bersama. Dalam mapalus ada
sanksi sosial apabila seseorang pada waktu tertentu tidak dapat melaksanakannya, misalnya dengan
tidak diterimanya yang bersangkutan menjadi anggota mapalus. Pada saat ini praktek mapalus telah
menunjukkan indikasi ke arah perubahan, pergeseran, bahkan kemerosotan nilai-nilai keasliannya,
seperti nilai kebersamaan, nilai kekeluargaan, dan nilai tolong-menolong. Berdasarkan uraian
tersebut di atas, perlu diketahui pelaksanaan mapalus pada awalnya dan faktor-faktor yang
berpengaruh dalam pelaksanaan mapalus di Minahasa, baik faktor intern maupun ekstern. Untuk
mengetahui penyebab merosotnya nilai mapalus dan upaya pelestariannya, rumusan masalah
penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana budaya mapalus sebagai sistem gotong-royong tolong-menolong hidup di Minahasa


pada generasi-generasi terdahulu?

2. Faktor-faktor apakah yang merupakan penyebab perubahan, pergeseran, dan kemerosotan


pelaksanaan mapalus di Minahasa?

3. Bagaimana praktek mapalus di Minahasa dewasa ini?

4. Bagaimana upaya pelestarian mapalus di Minahasa dalam konteks pengembangan kebudayaan


nasional?

III.PEMBAHASAN
A.Letak Geografis
Kabupaten Minahasa Minahasa adalah salah satu kabupaten tertua yang ada di Provinsi Sulawesi
Utara. Ibukota Kabupaten Minahasa ialah Tondano, berjarak sekitar 35 km dari Manado, ibukota
Provinsi Sulawesi Utara. Adapun batas-batasnya ialah sebagai berikut:

 Sebelah utara dengan Laut Sulawesi, Kota Manado, dan Kota Tomohon;

 Sebelah Timur dengan laut Maluku, Kabupaten Minahasa Utara, dan Kota Tomohon;

 Sebelah selatan dengan Laut Maluku dan Kota Tomohon;

 Sebelah Barat dengan Kabupaten Mianahasa Selatan dan Kota Tomohon.

Luas Kabupaten Minahasa ialah 1.029,82 Km2 , terdiri atas 25 kecamatan, dimana kecamatan terluas
adalah kecamatan Tombariri (139,2 Km2 ). Sebagian besar wilayah Minahasa memiliki topografi
bergunung-gunung yang membentang dari utara ke selatan. Diantaranya terdapat beberapa gunung
berapi yang masih aktif. Sedangkan Gunung tertinggi di Kabupaten Minahasa yaitu G. Rindengan
(1.553 meter).

Di antara barisan pegunungan terhampar dataran seperti Tondano. Sungai Tondano sepanjang
41.100 meter yang bermuara ke laut sulawesi, airnya berawal dari Danau Tondano, yang memiliki
luas 4.278 hektar dengan kedalaman 20 meter dan berada sekitar 700 meter di atas permukaan laut.
(Minahasa dalam Angka, 2013) 36 Iklim Kabupaten Minahasa beriklim tropis dan hanya mengenal 2
musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan.

Menurut data yang tercatat pada stasiun Geofisika Tondan sepanjang tahun 2012 pada umumnya
angin bertiup menuju arah utara dan selatan. Kelembaban udara berkisar rata-rata antara 89 sampai
94 persen. Sedangkan rata-rata suhu minimum dan maksimum berkisar antara 16,2 dan 30,4 derajat
celsius. Kabupaten Minahasa yang berada di bagian utara Pulau Sulawesi, secara klimatalogis,
Kabupaten Minahasa termasuk beriklim tropis dan sangat dipengaruhi oleh angin muson. Arus angin
muson bertiup pada bulan November, Desember, Januari, Februari, Maret, dan April. Angin bertiup
dari barat laut di wilayah ini cenderung mendatangkan hujan. Pada bulan Mei, Juni, Juli, Agustus,
September, dan Oktober bertiup angin dari arah selatan dan tenggara. Angin yang bertiup pada
bulan-bulan tersebut di atas cenderung mendatangkan suhu yang kering. Curah hujan di Kabupaten
Minahasa yaitu 2,279 mm dan rata-rata yang terjadi per bulan yaitu 189,9 mm.

Keadaan topografi Kabupaten Minahasa ialah terdiri dari dataran rendah, dataran tinggi, dan daerah
perbukitan yang diselingi oleh pegunungan. Dataran rendah digunakan oleh masyarakat sebagai
tempat permukiman penduduk dan pengembangan pertanian. Secara umum pengembangan
pertanian meliputi tanaman berumur pendek atau jenis tanaman semusim seperti padi, jagung,
kacang tanah, sayuran, buah-buahan, vanili, ubi-ubian, kentang, dan lain-lain. Tanaman berumur
panjang yang dikembangkan ialah cengkih, kelapa, kopi, pala, cokelat, dan buah-buahan. Tanaman
yang berumur panjang (tanaman tahunan) biasanya ditanam di sekitar daerah pegunungan.

B. Keadaan Penduduk di Kabupaten Minahasa


Untuk mengetahui kondisi penduduk di Kabupaten Minahasa, baik dalam hal kepadatan maupun
perbandingannya dengan luas wilayah, jumlah penduduk di Kabupaten Minahasa ialah 316.884 jiwa
sesuai dengan hasil Sensus Penduduk 2010. Persentase penduduk yang lebih tinggi terdapat di
Kecamatan Pineleng 48.258, yaitu 15,23% lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kecamatan
lainnya di Kabupaten Minahasa, dengan kepadatan penduduk sebanyak 445 jiwa per Km2 .
Sebaliknya, penduduk yang terdapat di Kecamatan Lambean Timur mempunyai persentase yang
lebih kecil daripada semua kecamatan yang terdapat di Kabupaten Minahasa yaitu, 2,29% dengan
kepadatan 104 jiwa per Km 2 . Kepadatan penduduk secara keseluruhan di Kabupaten Minahasa
adalah 180 Km 2 (Minahasa dalam Angka, 2013). Kepadatan penduduk yang tinggi di Kecamatan
Pineleng terjadi karena daerah ini merupakan daerah pinggiran kota Manado, pusat aktivitas
masyarakat setiap harinya, seperti pendidikan, perkantoran.

Selain itu, Kecamatan Pineleng merupakan daerah permukiman penduduk yang menyenangkan
karena berdekatan dengan daerah perkotaan dan sejuk. Faktor lain yang turut mempengaruhi
kepadatan penduduk di daerah ialah karena daerah ini merupakan jalur penghubung yang strategis
bagi wilayah Kabupaten Minahasa, Tomohon, Minahasa Tenggara ke ibukota provinsi Sulawesi Utara
yaitu Manado. Sebaliknya, Kecamatan Lembean Timur berkepadatan penduduk lebih rendah
daripada kecamatan lain di Kabupaten Minahasa karena daerah ini kurang berpotensi untuk
mendukung aktivitas masyarakat. Kurang berminatnya anggota masyarakat untuk menempati suatu
wilayah terjadi karena wilayah itu tidak memiliki potensi pengembangan yang dapat bermanfaat
bagi kelangsungan hidup mereka. Kelemahan-kelemahan seperti ini mengakibatkan Kecamatan
Lembean Timur dianggap kurang memiliki daya tarik bagi penduduk di sekitar Minahasa. Selain itu,
wilayah ini agak terisolasi dan ter- 43 masuk dalam kecamatan yang baru mengalami pengembangan
sehingga belum tampak aktivitas yang lebih sempurna seperti aktivitas di kecamatan lainnya di
Kabupaten Minahasa.
C. Asal Mula Suku Bangsa Minahasa
Pada catatan-catatan sejarah diterangkan tentang asal-usul suku bangsa di Minahasa, Sulawesi
Utara; tetapi terdapat cukup banyak perbedaan pendapat. Menurut Grafland (1987) banyak
pendapat mengenai asal-usul orang Minahasa, tetapi sulit mengatakan dimana tempat asal mereka
yang sebenarnya. Hal ini disebabkan kekurangan data yang akurat mengenai asal-usul suku bangsa
tersebut.Menurut Sendoh (dalam Turang 1997), asal-usul suku bangsa Minahasa tidak lepas dari
asal-usul kedatangan nenek moyang bangsa Indonesia yang berasal dari Asia Tenggara antara 3000 –
2000 SM.

Perpindahan penduduk dari Asia Tenggara ke arah selatan berlangsung secara bergelombang karena
terdesak oleh peperangan, terjadinya bencana alam, serangan binatang buas, dan ingin mencari
kehidupan yang lebih baik. Secara khusus, asal-usul suku bangsa Minahasa menunjukkan beberapa
pandangan para ahli yang berbeda. Mereka menerangkan bahwa warna kulit suku bangsa Minahasa
lebih terang daripada suku bangsa Indonesia lainnya. Sampai sekarang para ahli belum sependapat
dengan kepastian asal-usul suku bangsa Minahasa asli, tetapi diduga berasal dari luar, misalnya dari
Mongolia atau dari Jepang.

Beberapa ciri suku bangsa Minahasa seperti dikemukakan oleh Beakman (dalam Turang 1997) ialah
warna kulit kuning langsat atau lebih terang daripada bangsa Melayu dan yang lain. Mereka
mempunyai mata hitam dan cokelat serta rambut hitam tebal. Pada sudut matanya, kebanyakan dari
mereka mempunyai apa yang disebut lipit mongolit atau mongolscheplooi, yang menjadikan mereka
serupa dengan bangsa Jepang.

Menurut Van Der Jact (dalam Turang, 1997) warna kulit yang putih terang dan mata yang sipit
menimbulkan pikiran bahwa mereka berasal dari keturunan bangsa Jepang. Selain itu, menurut Paul
Sarasin dan Frits Sarasin dari Jerman, yang mengadakan kunjungan dua kali ke Minahasa pada tahun
1893-1896 dan 1902-1903, bahwa seseorang tidak dapat menyangkal adanya hubungan bangsa
dengan penduduk Pulau Sulawesi yang lain-lain, hampir tidak kelihatan, demikian juga terhadap
bangsa Melayu Polonesia. Akan tetapi suku bangsa Minahasa adalah salah satu bangsa yang datang
dari utara. Hal ini benar dan dapat dibuktikan, dan boleh jadi suku bangsa ini serumpun dengan
bangsa Jepang Sendoh (dalam Turang, 1997). Dari data yang terdapat pada Kantor Wilayah
Depdiknas Kabupaten Minahasa diketahui bahwa ciri-ciri fisik dari suku-bangsa yang berasal dari
daerah Minahasa ialah, memiliki tinggi badan rata-rata 160 cm. Warna kulit agak kuning, rambut
lurus, dan warnanya agak cokelat atau pirang, mata agak sipit, dan roman muka bulat (Depdikbud,
1980). Walaupun suku bangsa pendatang lainnya sudah cukup banyak berdatangan ke daerah ini,
dan di antara mereka telah terjadi perkawinan campur, identitas fisik dari penduduk asli Minahasa
masih tampak jelas menurut ciri-ciri tersebut di atas.

Di samping itu, orang Minahasa sangat memahami asal-usul mereka dari satu nenek moyang yaitu
Toar dan Lumimuut. Berdasarkan cerita rakyat yang berkembang secara turun-temurun diketahui
bahwa mereka pertama kali mendiami daerah Pegunungan Wulur Mahatus yang bernama Niutakan
(Profil Sulawesi Utara, 1992). Nenek moyang orang Minahasa pernah mengalami perpindahan
tempat tinggal dari Niutakan ke bagian utara yaitu Awuan, yang dekat dengan Watu Pinawetengan.
Kawasan bermukim yang pertama 45 ini terletak dekat dengan Kecamatan Tompaso Baru sekarang,
sedangkan Watu Pinawetengan berada di sekitar Kecamatan Tompaso.

Terjadinya pembagian wilayah yang kemudian menurunkan subsuku dari keturunan Toar dan
Lumimuut karena di antara mereka seringkali terjadi pertentangan. Akhir dari pertentangan ini
kemudian terjadi pembagian wilayah menjadi empat bagian, yaitu
(a) kelompok keturunan yang mendapat daerah bagian utara Minahasa, disebut Tonsea (tou in sea)
artinya orang yang berkediaman di daerah belukar pohon sea;

(b) kelompok keturunan yang mendapat daerah timur-tengah Minahasa, disebut Tombulu (tou in
wulu), artinya orang yang berdiam di daerah pegunungan hutan belukar pohon bambu;

(c) kelompok keturunan yang mendapat daerah sekitar Danau Tondano sampai bagian timur
Minahasa, disebut Tondano (tou in rano), artinya orang berdiam disekeliling air. Atau disebut juga
Toulour, artinya orang yang berdiam di sekitar danau;

(d) kelompok keturunan yang mendapat daerah barat dan selatan Minahasa, disebut Tontemboan
(tou in temboan), artinya orang yang berdiam di daerah pegunungan atau tanah yang tinggi (Profil
Sulawesi Utara, 1992). Penyebaran empat kelompok dari keturunan Toar dan Lumimuut inilah yang
membentuk empat subsuku bangsa Minahasa. Walaupun hidup dalam wilayah yang terpisah-pisah
mereka tetap bersatu sebagai satu saudara yang menurunkan Minahasa.

Nama Minahasa berasal dari mina dan esa. Kata mina berarti menjadi dan kata esa berarti satu.
Minahasa seringkali disebut juga Minaesa yang artinya menjadi satu. Dalam perkembangan
berikutnya, empat subsuku ini kemudian menjadi delapan kelompok. Hal ini dapat diketahui dari
bahasa mereka gunakan yaitu

(1) Tounsea;

(2) Toumbulu;

(3) Tountemboan;

(4) Toulour;

(5) Tounsawang;

(6) Pasan;

(7) Ponosakan; dan

(8) Bantik.

Setiap kelompok subsuku ini memiliki bahasa sendiri yang 46 disebut sama dengan nama subsuku itu
(Kalangie, 1997). Namun, pada saat ini suku bangsa Minahasa yang terdiri dari delapan subsuku
tersebut mereka namakan dirinya orang Manado, yang telah tersebar dalam wilayah Kabupaten
Minahasa, Kotamadya Manado dan Kotamadya Bitung.

D. Bahasa
Pemahaman tentang bahasa yang digunakan oleh berbagai suku bangsa yang mendiami wilayah
Minahasa merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pengembangan nilai-nilai budaya.
Menurut Kalangi (1997) bahwa bahasa yang ada di Minahasa, yang berjumlah delapan, sesuai
dengan jumlah suku bangsa Minahasa yaitu: Tounsea, Toumbulu, Toulour, Tountemboan dan
Tounsawang. Meraka sering menyebut dirinya sebagai orang Manado. Tiga bahasa lainnya yang
berasal dari suku bangsa Bantik, Ratahan, dan Ponosakan, dari dahulu sangat berbeda dengan suku
bangsa aslinya, baik bahasanya maupun adat-istiadatnya. Sneddon (dalam Turang 1978)
menyebutkan bahwa lima bahasa yang disebutkan pertama mempunyai ikatan kekerabatan yang
erat karena lima bahasa itu dianggap mempunyai bahasa induk yang sama yaitu (Proto-Minahasa),
sebagai bahasa Minahasa, sedangkan bahasa Bantik dan bahasa Ratahan mempunyai pertalian
dengan bahasa Sangir. Bahasa Ponosakan mempunyai pertalian dengan bahasa Mongondow.

Seperti dikemukakan oleh J.A.Danie dan Kembuan bahwa pada umumnya bahasa-bahasa daerah itu
terdesak pemakaiannya oleh bahasa Melayu Manado dan bahasa Indonesia (Lalamentik dalam
Masinambow, 1991). Akhir-akhir ini terlihat bahwa ada sebagian orang yang mempunyai minat
untuk mempelajari kembali atau menggunakannya kembali bahasa daerah. Minat ini lebih banyak
terdapat pada orang dewasa atau generasi tua daripada generasi muda. Kurang berminat- 47 nya
generasi muda untuk mempelajari bahasa daerah karena bermacam-macam alasan, terutama kaum
muda beralasan karena belajar bahasa daerah akan dicap kampungan. Di samping itu, ada
kekuatiran yang melanda para orang tua bahwa bahasa daerah akan menghambat kemajuan anak-
anak di sekolah.

Sementara itu pula, bahasa Melayu Manado telah menduduki tempat sebagai sarana komunikasi
utama dan secara informal digunakan untuk berinteraksi sosial secara lebih luas. Oleh karena itu,
bahasa Melayu Manado lebih mendominasi pergaulan antarsuku bangsa di Minahasa. Walaupun ada
anggapan bahwa bahasa Melayu Manado mewarnai pergaulan hidup kalangan orang Minahasa,
anggapan itu tidak tepat karena bahasa Melayu Manado tidak saja digunakan oleh orang Minahasa,
tetapi secara umum digunakan oleh masyarakat lain di Sulawesi Utara.

Bahasa Melayu Manado merupakan alat komunikasi nonformal, seperti dalam pergaulan bagi semua
suku bangsa yang mendiami wilayah Sulawesi Utara, sedangkan bahasa yang digunakan dalam
acara-acara resmi adalah bahasa Indonesia. Dalam realitasnya, bahasa daerah Minahasa yang
beraneka ragam itu digunakan oleh penduduk desa yang jauh dari pengaruh kehidupan kota secara
langsung. Kondisi seperti ini kurang diharapkan. Bahasa lokal tidak dapat berkembang secara baik
untuk memperkuat kebudayaan nasional karena telah terjadi pengaruh perkembangan sosial,
budaya, dan ekonomi yang begitu pesat dewasa ini.

Semua itu menuntut sarana komunikasi dan alat komunikasi yang lebih formal sehingga
berkemungkinan bahwa posisi bahasa lokal akan tergeser oleh dinamika aneka perubahan tersebut.
Hilangnya pengetahuan dan pemahaman terhadap bahasa daerah berarti akan terjadi pula hilangnya
nilai-nilai budaya yang bermanfaat dalam kehidupan dewasa ini. Hal ini disebabkan orang Minahasa
tidak dapat melestarikan budayanya sehingga sedikit demi sedikit nilai keaslian budaya mulai
merosot dari kehidupan masyarakat. Apabila bahasa daerah yang digunakan oleh suku bangsa
Minahasa dilihat sebagai lambang kebanggaan daerah, tetapi tidak dapat dipertahankan lagi, dapat
dipastikan bahwa lama kelamaan bahasa itu akan kehilangan para pendukungnya.

E. Sistem Bermukim Suku Bangsa Minahasa


1. Pola Permukiman Awal
Berdasarkan cerita rakyat Minahasa yang hidup turun-temurun, diketahui bahwa ketika menjalani
kehidupan awal nenek moyang suku bangsa Minahasa hidup berkelompok dan berpindah-pindah
(nomaden). Kehidupan berpindah dari setiap kelompok suku bangsa selalu terkait dengan sistem
pembagian wilayah yang terjadi di Watu Pinawetengan yaitu sebuah batu yang merupakan tanda
pembagian wilayah. Orang Minahasa sejak awalnya adalah penghuni wilayah pegunungan,
kemudian kehidupan di wilayah pegunungan ini mulai mengalami perubahan ketika mereka
berpindah-pindah sampai ke wilayah pesisir pantai. Dalam penulisan tentang peradaban manusia
purba Minahasa, Sendoh (dalam Turang 1997) menjelaskan bahwa mulamula siklus tempat tinggal
manusia Minahasa purba adalah masalasala, mapodo-podos, marura-rurag, mawale-wale, dan
tumani.
Pengertian masala-sala berasal dari kata 'sala' (sarang), artinya berumah di atas pohon-pohon.
Mapodo-podos berasal dari kata 'podos' atau rotan, artinya berumah di tengah-tengah rotan atau
naik turun rumah dengan rotan. Marura-rurag berasal dari kata 'rurag' atau gua, artinya tinggal di
gua-gua. Mawale-wale berasal dari kata 'wale', artinya rumah atau sudah menempati rumah-rumah
dan sudah menetap, tetapi masih terserak-serak. Tumani berasal dari kata 'tan', artinya membuat
rumah bersama-sama secara berkelompok atau berkehidu-pan menetap. Bukti-bukti tentang
kehidupan mereka di atas-atas pohon dan di tengah-tengah rotan sudah punah ditelan zaman, tetapi
bukti-bukti tempat tinggal di gua-gua, antara lain, terdapat di gua-gua pada lereng Gunung
Masarang di sekitar daerah perkebunan Kelurahan Koya, Kecamatan Tondano. Gua-gua tempat
manusia purba dapat ditemukan di Pegunungan Kokopit (kuntung pasiowan artinya sembilan bukit)
yang terletak di antara Perkebunan Paso di Desa Panasen, Kecamatan Kakas.

Pola kehidupan manusia Minahasa mula-mula ialah pasrah pada pemberian alam (foodgadering),
mencari makanan di hutanhutan, membuat api dengan cara menggesek-gesek batu api atau dua
batu api saling diketuk, lalu disertai bahan waruk atau sejenis kapas yang diambil dari pohon enau.
Di samping itu, mereka mencari ikan di sungai-sungai. Oleh sebab itu, bila diteliti tentang berdirinya
'wanua-wanua' atau kampung Minahasa, semuanya terletak dekat sungai-sungai atau dekat mata air
karena air bagi mereka merupakan salah satu kebutuhan yang esensial. Kehidupan mereka
berkembang dari mata pencaharian berburu sehingga permukiman awalnya dimulai dari kawasan
hutan pedalaman, bukit-bukit sekitar pegunungan, kemudian mereka berpindah ke tepi pantai. Pola
kehidupan mereka seperti ini disebut oleh orang luar sebagai orang yang hidup dan tinggal di 'boven
landen atau orang gunung' Sendoh (dalam Turang 1997).

Kehidupan berpindah yang seringkali dilakukan oleh penduduk asli Minahasa pada waktu-waktu
silam disebabkan terjadi peperangan dan menghindari serangan binatang buas. Selain itu, mereka
bermukim di dekat hutan-hutan belantara dengan pola kehidupan sebagai masyarakat foodgadering
dan bergeser ke arah masyarakat berburu. Bagi masyarakat seperti ini, hutan adalah tempat yang
paling kaya sebagai lapangan perburuan sehingga mereka suka bermukim dekat hutan belantara
agar mudah bagi mereka mencari makanan. Setelah melalui kehidupan berburu, kehidupan mereka
berkembang menjadi masyarakat petani karena mereka telah mengenal sistem bercocok tanam.
Sebagai masyarakat petani, identitas dari hidup menetap ialah tidak lagi menjalani hidup berpindah-
pindah. Melalui kehidupan seperti ini, mereka kemudian membuka kebunkebun atau disebut 'rombe
atau bongkar', artinya membongkar atau membuka hutan. Hutan kemudian dikerjakan, dibersihkan,
dan ditanami padi, sayur-sayuran, ubi-ubian, dan buah-buahan.

Pola kehidupan menetap ini kemudian berkembang lebih luas sehingga terjadi pembagian tanah di
Minahasa pada suatu keluarga yang disebut 'rekat' atau pemilikan secara pribadi. Sistem pembagian
tanah yang berlaku secara tradisional ini kemudian melahirkan warisan yang disebut 'budel' atau hak
milik pribadi sesuai dengan tradisi, adatistiadat, budaya, dan pola kehidupan sosial yang berlaku di
kalangan suku bangsa Minahasa.

2. Pola Permukiman Menetap Kehidupan


Menetap di kalangan suku bangsa Minahasa dimulai dari budel, kemudian berkembang menjadi
wanua-wanua atau kampung-kampung sebagai permukiman awal ketika mereka membangun pola
hidup berkampung. Dulu sistem desa tradisional Minahasa disebut wanua. Wanua terdiri atas
beberapa buah kampung yang disebut 'ro'ong', yang dipimpin oleh seorang 'hukum tua' atau
'paedon tua'. Kesatuan daerah seasal ini disebut 'walak', dan ketuanya disebut 'tua um walak'
(Hidayah, 1996). Permukiman asli khas Minahasa di wilayah perkampungan ini terdiri dari rumah-
rumah penduduk yang dibangun pada tiang-tiang kayu atau merupakan rumah panggung. Rumah
panggung pada umumnya memiliki ketinggian kurang lebih 1,5 sampai 2,5 m. Tiangtiang penyangga
rumah dibuat dari balok kayu atau dari batu kapur (tros). Pada posisi depan umumnya diberi dua
buah tangga di sebelah kanan dan kiri rumah. Di bawah rumah bertiang seperti ini terdapat godong
atau gudang yang digunakan sebagai tempat menyimpan alatalat pertanian, peralatan rumah
tangga, hasil pertanian seperti padi, jagung, pisang, dan lain-lain (Adam, 1976). Rumah asli orang
Minahasa berbentuk segi empat dan terletak memanjang.

Dalam perkembangannya, bentuk ini telah mengalami banyak perubahan. Hal ini disebabkan telah
terjadi perubahan sosialbudaya dalam kehidupan masyarakat Minahasa. Dalam realitasnya, hal ini
diketahui dari proses pembauran nilai-nilai budaya yang baru yaitu ketika masuk pengaruh budaya
Barat yang bersifat material dan dibawa oleh bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda. Pada saat ini
rumah bertiang tinggi sudah jarang ditemukan karena orang Minahasa sudah berkecenderungan
membangun rumah yang rendah, kecuali di desa-desa yang jauh dari pengaruh kota.

Selain itu, bentuk rumah asli orang Minahasa telah mengalami banyak perubahan, baik dari bentuk
maupun luas dan bahan bangunan yang digunakan. Letak rumah yang dibangun oleh penduduk
Minahasa berjejer sepanjang jalan utama. Akan tetapi, ada rumah penduduk yang dibangun
berdekatan dengan aliran sungai, atau yang berada di sekitar daerah pesisir pantai. Rumah
penduduk yang lain terdapat juga di lereng-lereng yang agak berbukit. Konsep dasar kehidupan
orang Minahasa seringkali terungkap melalui percakapan penduduk tentang 'pulang gunung' atau
'kembali ke kampung yang berkedudukan di gunung'. Konsep ini menegaskan tentang pembatasan
antardesa yang berada di kota dengan desa yang berada di luar kota.

F. Sistem Kekerabatan
Kesatuan hidup di kalangan suku bangsa Minahasa berkembang dari lingkungan terkecil yaitu
keluarga inti, keluarga luas, kemudian berkembang menjadi kampung atau desa. Ikatan-ikatan 52
sosial yang dibangun berdasarkan hubungan seperti ini lebih bersifat geanologis. Relasi sosial yang
berkembang dalam lingkungan suku bangsa Minahasa mengikuti ikatan kekerabatan. Dalam
pergaulan hidup sehari-hari, hubungan sosial yang dibangun berdasarkan ikatan kekerabatan
menurut garis keturunan patrilinial ini disebut 'matuari'. Sebutan matuari identik dengan famili, yang
meliputi saudara-saudara sekandung, baik dari pihak ayah, ibu maupun orang tua dari ayah dan ibu.
Ikatan famili yang lebih luas dalam kehidupan orang Minahasa cukup erat.

Sampai saat ini ikatan itu belum luntur dalam lingkungan pergaulan hidup mereka sebagai saudara-
bersaudara atau disebut 'torang samua basudara' menurut konsep masyarakat Sulawesi Utara.
Ikatan keluarga seperti ini besar pengaruhnya ketika berlangsung upacara-upacara adat, pemilihan
Hukum Tua, aktivitas tolong-menolong antarwarga atau mapalus, dan lain-lain karena hubungan
mereka berada dalam ikatan kekerabatan yang luas. Identitas hubungan kekerabatan seseorang
dalam kelompok famili dapat diketahui dari nama marga atau famili yang disebut fam.

Nama famili biasanya mengikuti nama marga atau fam suami atau ayah. Hal ini diperkuat pula
dengan adanya kenyataan penulisan fam suami dan fam istri bersama-sama pada papan nama yang
ditempelkan di depan rumah, tanpa mencantumkan nama kecil suami. Akan timbul suatu masalah
identitas famili yang disebut hilang fam bila suami istri tidak memiliki anak laki-laki yang akan
mendukung fam ayah mereka (Kalangi, 1997).

G. Sistem Matapencaharian Hidup Masyarakat

Minahasa mempunyai mata pencaharian hidup yang cukup bervariasi. Untuk mengetahui pekerjaan
yang ditekuni mereka,dapat dikemukakan bahwa penduduk yang bekerja sebagai petani di sektor
pertanian mempunyai persentase lebih tinggi daripada penduduk yang bekerja di sektor lain. Mata
pencaharian penduduk lainnya mempunyai persentase lebih rendah.

Kondisi ini menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Minahasa mempunyai pekerjaan pokok sebagai
petani, termasuk di dalamnya ialah mereka yang bekerja sebagai petani tradisional, petani
perkebunan, peternak, dan nelayan. Aktivitas bertani menetap yang dilakukan oleh orang Minahasa
berupa pembuatan kebun untuk menanam berbagai jenis tanaman umur panjang ataupun umur
pendek, pengolahan sawah, dan peternakan hewan seperti sapi, kambing, dan unggas.

Selain itu, ada sebagian orang Minahasa bekerja sebagai pegawai, pedagang, buruh, dan jasa. Selain
bertani menetap, ada juga yang mencari nafkah sebagai nelayan. Secara umum aktivitas sebagai
nelayan di kalangan orang Minahasa belum profesional karena mereka juga sering bekerja di bidang
pertanian. Sebagai nelayan, mereka hanya menggunakan caracara tradisional, sedangkan nelayan
yang menggunakan peralatan penangkapan ikan modern adalah mereka yang berasal dari luar
wilayah Minahasa. Mereka adalah migran seperti suku bangsa Sangihe Talaud, Ternate, Makassar,
Gorontalo, dan Buton, tetapi sudah menjadi penduduk Minahasa. Mencari nafkah sebagai nelayan
dilakukan oleh penduduk yang hidup di sekitar daerah pesisir pantai.

Dalam bernelayan mereka menangkap ikan di laut ataupun di Danau Tondano. Berlaku juga sistem
gotong-royong bernelayan. Satu kelompok nelayan biasanya terdiri dari lima sampai sepuluh orang.
Mereka bekerja dengan menggunakan perahu tradisional dan alat tangkap seperti pancing, pukat
atau soma. Hasil tangkapan ikan umumnya dibagi secara merata sesuai dengan sistem bagi hasil
yang berlaku di daerah ini, yang disebut 'tumoyo' atau 'toyo'. Pada umumnya hasil tangkapan ketika
melaut digunakan untuk memenuhi konsumsi rumah tangga, kebutuhan lokal, ataupun dijual di
tempat pelelangan ikan.

Berdasarkan realitas tersebut di atas, terlihat bahwa aktivitas pertanian lebih menonjol di daerah
Minahasa. Pada umumnya aktivitas pertanian seperti pengolahan sawah, pembuatan kebun, dan
yang lain dikerjakan secara bersama dan bergiliran dengan sistem gotongroyong tolong-menolong
yang disebut 'mapalus'. Mereka meminta bantuan kerabat ataupun tetangga yang disebut
masawangan atau masawa. Sawangan berasal dari kata sumawang, berarti menolong atau
memberikan bantuan.

Masawangan berarti saling memberikan bantuan dalam segala pekerjaan. Pada umumnya tanah-
tanah pertanian adalah milik perorangan (tanah pasini). Mereka yang mempunyai tanah pertanian
luas biasa mengerjakannya dengan bantuan orang lain, dengan sistem tumoyo (bagi hasil), artinya
mereka yang menggarap tanah mendapat setengah dan sipemilik mendapat setengah dari hasil yang
diperoleh. Dalam aktivitas masawangan, bibit tanaman seperti padi atau jagung yang akan ditanam
harus ditanggung oleh pemilik tanah, termasuk pupuk digunakan. Lazimnya, pemilik tanah yang
membeli pupuk dan mereka yang menggarap tanah berkewajiban untuk memupuk tanaman.
Aktivitas pertanian ini dilakukan pada status tanah pribadi milik keluarga inti ataupun pemilik tanah
kelakeran, yaitu sebidang tanah yang menjadi milik bersama dari keluarga luas.

Status tanah kelakeran biasanya tidak dapat dibagi-bagi lagi kepada anggota kerabat karena selain
sudah sempit, lebih dari itu adalah milik bersama. Lazimnya, dalam pengolahan tanah tersebut,
semua anggota kerabat boleh menggarapnya secara bergantian. Jenis pemilikan tanah seperti itu
disebut pemilikan tanah peteunen, mirip dengan tanah ulayat yang dikuasai oleh suatu kelompok
suku bangsa tertentu. Dalam pengertian seperti ini, kedudukan tanah peteunen yang merupakan
tanah milik ikatan keluarga luas, yang berada dalam wilayah kekuasaan kelompok suku tertentu,
merupakan warisan turun-temurun yang tidak dapat dikuasai oleh seorang saja, tetapi dimiliki
secara bersama. Aktivitas mencari nafkah lainnya ialah membuat kerajinan yang dilakukan secara
gotong-royong seperti pembuatan periuk belanga, batu bata, dan pot bunga dari tanah liat.
Pekerjaan ini biasanya melibatkan tiga sampai lima orang secara bersama-sama dan hasilnya dibagi
sama rata. Hasil kerajinan ini terutama dibeli oleh tengkulak. Para tengkulak menjualnya kembali
dengan cara berkeliling ke sekitar daerah Minahasa, seperti halnya pedagang asongan. Pada
umumnya aktivitas ini hanya dilakukan sebagai pekerjaan sampingan. Ada juga perajin yang
menggunakan bahan dasar kayu dan rotan. Ada perajin yang bekerja secara tradisional, ada juga
menggunakan peralatan modern. Pemasarannya sampai ke tingkat regional, nasional, bahkan
Internasional.

H. Sistem Teknologi
Yang masih dikerjakan secara gotong-royong tolong-menolong, dalam sistem teknologi di antaranya,
ialah membangun rumah, membuat alat penangkap ikan, dan membuat periuk belanga dari tanah
liat. Aktivitas yang lebih menonjol dalam sistem kerja sama ini ialah aktivitas pertukangan membuat
rumah dengan menggunakan peralatan kerja yang sangat sederhana dan pembuatan alat penangkap
ikan atau soma (semacam pukat besar) yang panjangnya mencapai 500m.

Dalam pembuatan alat soma, setiap anggota pembuat mengumpulkan uang yang sama banyak.
Pengumpulan uang secara bersama dan merata ini mereka gunakan untuk membeli benang, tali
nilon, timah, dan pelampung soma. Mereka menganyamnya secara bersamasama. Melalui cara
seperti ini berarti bahwa soma tersebut dimiliki secara bersama-sama pula. Penangkapan ikan juga
dilakukan secara besama dan hasilnya dibagi merata.

I. Sistem Perkawinan Dalam hal penentuan jodoh


Adam (1976) mengemukakan bahwa pada umumnya orang Minahasa memberikan kebebasan bagi
setiap orang untuk menentukan jodohnya sendiri, walaupun pada masa lampau dikenal juga
penentuan jodoh atas kemauan orang tua, sekalipun yang bersangkutan belum saling mengenal.
Pembatasan jodoh dalam perkawinan adat eksogami mewajibkan orang kawin di luar famili, yaitu
kelompok kekerabatan yang mencakup semua anggota keluarga batih dari saudara-saudara
sekandung ibu dan ayah, baik laki-laki maupun perempuan, beserta semua keluarga batih dari anak-
anak mereka (Kalangie, 1997). Bentuk rumah tangga orang Minahasa berupa satu keluarga batih,
tetapi dapat juga lebih dari satu keluarga batih yang mendiami satu rumah.

Dahulu ada kecenderungan di kalangan masyarakat Minahasa untuk memperluas jumlah anggota
keluarga batih dengan cara adopsi karena hal ini dapat menambah tenaga kerja dalam pekerjaan
pertanian. Dasar perwujudan keluarga batih di kalangan suku bangsa Minahasa ialah adat
perkawinan monogami.

J. Sistem Gotong-Royong Tolong-Menolong


Penduduk Minahasa yang tinggal di desa masih sering beraktivitas gotong-royong tolong-menolong,
baik dalam mengolah pertanian, membangun rumah, maupun berkegiatan sosial lain. Dalam
bekerja, mereka secara bersama-sama mengolah lahan pertanian bersama-sama membangun
rumah, yang dimulai dari menebang pohon, mengumpulkan bahan ramuan, dan membangunnya.
Gotong-royong tolong-menolong yang disebut mapalus ini biasanya dilakukan secara bergiliran.
Pada umumnya, peranan kerabat masih sangat besar dalam kegiatan mapalus. Hal ini dapat dilihat
juga dalam kegiatan mapalus untuk kepentingan perkawinan, kematian, atau arisan. Biasanya
mereka yang masih berkerabat (matuari), baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan,
membentuk sebuah perkumpulan yang disebut mapalus. Sering dijumpai mapalus keluarga yang
bergerak dalam perkawinan, kematian, atau arisan (Kalangi, 1997).

Aktivitas mapalus ini diorganisasi oleh keluarga luas (gabungan keluarga batih yang masih berikatan
darah). Pengurus mapalus terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota-anggota. Mereka
mempunyai uang kas perkumpulan dan peralatan, seperti seng, kursi, piring, gelas, sendok.
Peralatan ini dipinjamkan kepada anggota- anggota yang mempunyai kepentingan seperti kedukaan,
perkawinan, dan lain-lain. Peralatan milik kelompok mapalus dapat juga disewakan kepada orang
lain atau kelompok lain yang membutuhkannya, walaupun mereka bukan anggota. Uang sewa
disimpan dalam kas perkumpulan mapalus (Depdikbud, 1980).

K. Sistem Kepercayaan
Sebelum menganut agama Kristen, Islam, Katolik, Hindu, dan Budha, orang Minahasa pernah
menganut kepercayaan terhadap kekuatan gaib (sakti) dalam wujud kedukunan (sistem medis
makatana). Menurut Malonda (dalam Kalangi, 1997) dunia gaib sekitar manusia dianggap didiami
oleh makhluk-makhluk halus seperti roh-roh leluhur yang baik dan jahat, hantu-hantu, dan
kekuatan-kekuatan gaib lainnya. Usaha manusia untuk mengadakan hubungan dengan
makhlukmakhluk tersebut bertujuan supaya hidup mereka tidak diganggu, sebaliknya dapat dibantu
dan dilindunginya dengan mengembangkan suatu sistem upacara pemujaan yang dahulu dikenal
sebagai ne'empungan atau ma'ambo atau masambo. Dalam mitologi orang Minahasa, sistem
kepercayaan mereka mengenal banyak dewa. Salah satu adalah dewa tertinggi. Dewa oleh
penduduk disebut empung atau opo. Dewa tertinggi disebut Opo Wailan Wangko. Rupa-rupanya
dewa yang penting sesudah dewa tertinggi tersebut ialah Kare'ma. Opo Wailan Wangko dianggap
pencipta seluruh alam semesta dan segala isinya sehingga manusia memujanya. Roh leluhur juga
disebut opo atau sering disebut dotu, yaitu seseorang yang pada masa hidupnya dianggap sakti dan
merupakan pahlawan, seperti pemimpin-pemimpin komunitas besar (kepala walak, tona'as).
Konsepsi makhluk halus lainnya, seperti yang mereka sebut hantu, ialah panunggu, lulu, puntianak,
pok-pok, dan sebagainya. Makhluk ini dianggap berada di tempat tertentu dan pada saat atau
keadaan tertentu dapat mengganggu manusia. Roh (mu’ukur) orang tua sendiri atau roh-roh kerabat
yang sudah meninggal dunia dianggap selalu berada di sekitar keluarganya yang masih hidup, yang
sewaktu-waktu datang menunjukkan dirinya dalam bentuk bayangan ataupun dalam mimpi, atau
dapat pula melalui seseorang sebagai medium yang dimasuki oleh mu’ukur sehingga dapat langsung
bercakap-cakap dengan kaum kerabatnya. Mu’ukur yang demikian itu dianggap tidak
membahayakan, sebaliknya dapat menolong kaum kerabatnya (Kalangi, 1997).

Pada masa lampau, para leluhur orang Minahasa percaya bahwa hutan mempunyai penghuni, yaitu
para dewa yang tugasnya menjaga, melindungi dan memelihara hutan. Apabila hendak membuka
hutan untuk pertanian, maka mereka cenderung minta bantuan pada tonaas-wailan (pemimpin
adat) untuk mengadakan upacara yang bersifat religius. Upacara tersebut bertujuan untuk meminta
izin serta restu dari para dewa atas rencana pekerjaan mereka, serta memohon kesuburan atas
usaha pertanian. Dari sudut pandang tradisional ini, penyebar agama Kristen waktu itu telah
menjadikan kepercayaan mereka sebagai salah satu unsur yang membawa orang Minahasa kepada
keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa dan percaya kepada satu Tuhan saja. Upaya ini mampu
melepaskan penduduk dari kepercayaan lama yang bersifat animisme dan dinamisme (Kalempouw,
1968).

Setelah penduduk Minahasa menganut agama Kristen, setiap memulai kegiatan mapalus pertanian
senantiasa dilakukan doa bersama. Setelah mengambil hasil panen pertanian dilakukan juga doa
syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Pelaksanaan ucapan syukur ketika berhasil panen biasanya
diadakan pada hari Minggu secara bersama-sama. Tempat pelaksanaan berada di rumah penduduk.
Bagi yang beragama Kristen doa dipanjatkan di gereja, baru kemudian dilanjutkan di rumah masing-
masing. Berkaitan dengan itu, aktivitas mapalus sekarang ini selalu diawali dengan berdoa menurut
agama dan kepercayaan masing-masing. Begitu juga ketika masyarakat mengakhiri suatu kegiatan
mapalus, dipanjatkan doa secara bersama menurut agama dan kepercayaan masing-masing.

Aktivitas gotong-royong jenis tolong-menolong pada umumnya terjadi di kalangan penganut agama
tertentu dalam melakukan upacara-upacara agama, seperti pengucapan syukur, ibadah bersama,
upacara hari besar keagamaan dan lain- lain. Mereka secara gotongroyong menyediakan makanan,
kunjung-mengunjungi, bergotongroyong (masawangan) menyediakan alat-alat upacara, dan
menyediakan kendaraan umum untuk mengikuti upacara atau ibadah bersama di suatu tempat yang
letaknya jauh dari desa. Setiap golongan agama seperti Kristen Protestan (GMIM, Pantekosta,
Advent, Sidang Jemaat Allah dan golongan lainnya) dan Katolik mempunyai upacara keagamaan
tersendiri. Mereka juga mempunyai organisasi tersendiri. Akibatnya kegiatan gotong-royong
dilakukan oleh tiap-tiap agama secara tersendiri pula.

L. Stratifikasi Sosial
Pada dasarnya masyarakat Minahasa tidak mengenal konsep stratifikasi sosial yang tajam menurut
sistem kasta. Stratifikasi sosial yang terdapat dalam masyarakat Minahasa bersifat lebih terbuka.
Maksudnya, sistem pelapisan sosial tersebut bersifat tidak resmi karena setiap orang dapat
berpindah dari suatu lapisan ke lapisan yang lain selama ia mencapai prestasi dalam masyarakat.
Kedudukan strata sosial yang tidak resmi seperti itu menurut Koentjaraningrat (1985) hanya
merupakan istilah-istilah atau sebutan-sebutan yang kabur dalam alam pikiran warga masyarakat,
yang mengasosiasikan tinggirendahnya seseorang. Batasan-batasan dan ukuran-ukuran ini, seperti di
Minahasa, dilihat menurut besar kecilnya hasil atau warisan, dan terutama menyangkut tinggi
rendahnya pangkat atau pendidikan. Lapisan paling atas masyarakat desa di Minahasa diduduki oleh
para pegawai yang berpendidikan tinggi, para pendeta, dan pemuka-pemuka agama, sedangkan
lapisan bawah diduduki oleh petani, tukang, nelayan, buruh, dan lain-lain yang biasa disebut orang
biasa.

Maka dari itu, dalam upacara sehari-hari orang pintarlah yang tergolong lapisan atas, yang dalam
bahasa Minahasa, orang pintar, orang penting, orang tinggi, dan orang berkuasa disebut tou sia.
Orang biasa atau orang tidak pintar dianggap rendah, yang dalam bahasa Minahasa disebut tou
lengei atau orang bodoh yang tidak mengetahui apa-apa (Kalangie, 1997). Selanjutnya menurut
Adam (1979) kalau di Jawa lapisanlapisan tidak resmi mengenal autokrasi yang berlebihan, tentu
akan heran dengan adanya jarak yang kecil antara pemerintah dan yang diperintah di Minahasa.
Suatu pemerintahan yang autokrasi tidak dikenal di sini. Setiap orang yang memiliki kecakapan diberi
kesempatan untuk mencapai jenjang kepegawaian. Malahan hukum-hukum besar (kepala distrik
atau kepala kecamatan) itu ada yang memulai kehidupan kepegawaiannya dari bawah atau sebagai
kepala kampung.

Demikian pula, dengan pendapat Komisi Adat dalam Adatrechbundel III, dikemukakan bahwa orang
Minahasa tidak ada yang berdarah bangsawan. Orang yang diangkat menjadi kumarua, hukum
besar, dan mayor mula-mula menjadi hukum tua atau kepala desa, dan karena kecakapan atau
kerajinannya, ia dapat diangkat ke pangkat yang lebih tinggi (Taulu, 1952). Seperti juga diungkapkan
oleh Kalangi (1997) hak seseorang dijamin untuk mengembangkan diri, seperti dalam pendidikan
setinggi mungkin, sekalipun ia tidak berasal dari keluarga terpandang. Untuk upaya ini orang tua
adalah pihak yang paling berkewajiban mengusahakan dana dan kesempatan sedapat mungkin
supaya anak mereka memperoleh pendidikan sebaik mungkin sehingga berhasil menduduki jabatan
terpandang di kemudian hari. Seseorang (pria atau wanita) yang berhasil memperoleh kedudukan
yang lebih tinggi dari pada orang lain merupakan cermin hasil usahanya, prestasinya, dan bukan
karena keturunannya. Ada gejala umum di Minahasa bahwa sejak masa penjajahan, para pejabat
terpandang justru tergolong berasal dari rakyat biasa.

M. Proses Akulturasi
Dengan masuknya bangsa Barat ke daerah Minahasa, seperti bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda
pada abad ke-16 kemudian mereka menyebarkan agama Kristen dan melakukan perdagangan, pada
saat itu pengaruh akulturasi mulai berlangsung. Menurut Adam (1976) proses akulturasi di Minahasa
berlangsung antara suku Minahasa yang primitif dan orang Barat. Proses ini berjalan sekitar 150
tahun dan telah menyebabkan perubahan-perubahan dalam pandangan hidup orang Minahasa.
Perubahan itu dipandang oleh Adam sebagai suatu loncatan, sebagai perubahan yang terlalu cepat.
Di wilayah Sulawesi Utara, Minahasa termasuk daerah yang pertama kali menerima pengaruh
kebudayaan Barat ketika berkembang agama Kristen secara pesat. Selain pengaruh budaya Barat
yang dibawa oleh bangsa Portugis dan Spanyol sejak awalnya, uang kemudian disusul bangsa
Belanda, yang tergolong sangat lama menguasai daerah ini, kebudayaan Minahasa mengalami
berbagai perubahan akibat pengaruh itu. Wilayah Minahasa pada saat itu direncanakan untuk
menjadi propinsi ke-12 dari Kerajaan Belanda. Kondisi inilah yang menyebabkan proses akulturasi
berkembang sangat pesat dan kemudian berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Minahasa
karena berkembangnya pusat kegiatan baru, seperti pusat penyebaran agama Kristen, dan pusat
pendidikan dan kebudayaan Barat. Akibatnya, sudah banyak unsur nilai kebudayaan asli yang
merosot dibandingkan dengan daerah lain di Sulawesi Utara, terutama yang terkait dengan tradisi,
adat-istidat, budaya, dan kehidupan sosial.

IV. PENUTUP
A.KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu, dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut.
Mapalus merupakan sistem gotong-royong tolong-menolong yang berlaku pada masyarakat
Minahasa. Semangat gotong-royong tolong-menolong ini juga dijadikannya sebagai alat persatuan
dan kesatuan dalam mereka meringankan beban kerja para anggotanya. Pelaksanaannya
berlangsung secara bergilir merata ke segenap anggota. Bentuknya dapat berupa mapalus besar
(mahtoroan mawaratan) dan mapalus kecil (maendoan pateper).

Kedua jenis mapalus ini, besar kecilnya bergantung pada berat ringannya pekerjaan dan bergantung
pula pada banyak sedikitnya anggota. Jenisnya ada bermacam-macam, yaitu mapalus bidang
pertanian, mapalus bidang perikanan, mapalus pembangunan rumah, mapalus peristiwa kedukaan,
mapalus upacara pesta, dan mapalus penggunaan uang. Jenis-jenis mapalus ini merupakan jenis
mapalus yang populer dan masih sering dilaksanakan oleh masyarakat Minahasa. Jenis mapalus lain
tidak sepopuler mapalus ini karena keefektifannya kurang. Dalam mapalus ada prinsip dasar yang
melandasinya. Disebut sebagai prinsip karena prinsip itu merupakan asas atau kebenaran yang
menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya. Jadi, sebutan atas asas atau prinsip itu
sinonim. Manakala disebut sebagai asas artinya bahwa sesuatu itu disebut sebagai dasar yang
menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat; atau dasar yang menjadi cita- cita. Dengan melihat arti
leksikal kedua kata ini, maka kata prinsip tidak dibedakan dengan kata asas, keduanya, sekali lagi,
bersinonim. Prinsip yang berlaku dalam mapalus itu adalah si tou timou tumou tou. Artinya adalah
bahwa manusia itu lahir untuk menghidupkan manusia lain.

Realisasi dari prinsip ini adalah kekeluargaan, musyawarah mufakat, bekerja sama, sikap religius,
serta rasa persatuan dan kesatuan. Pengembangan dari prinsip atau asas ini adalah berupa tolong-
menolong, keterbukaan, disiplin kelompok, kebersamaan, serta daya guna dan hasil guna. Dengan
melihat prinsip atau asas mapalus itu, diupayakan agar mapalus lestari. Lestari berarti tetap seperti
keadaan semula, halnya semula tidak berubah, dan kekal. Pelestarian mapalus artinya upaya
perlindungan mapalus dari kemusnahan atau kerusakannya yang dalam kata lain mapalus itu
diupayakan untuk diawetkan atau dikonservasikan.

Berdasarkan analisis data penelitian terlihat bahwa ada empat hal yang dapat disimpulkan dalam
laporan penelitian ini. Pertama, sistem budaya mapalus hidup baik dalam masyarakat Minahasa
sejak zaman nenek moyang hingga dewasa ini. Kehidupannya itu berlangsung turun-temurun
sebagai konvensi masyarakat. Konvensi masyarakat artinya kesepakatan bersama masyarakat
tempat mapalus itu dimilikinya. Dalam kehidupannya yang turun-temurun itu, berlangsunglah
mapalus di berbagai bidang. Bidang-bidang itu adalah bidang pertanian, perikanan, pembangunan
rumah, peristiwa kedukaan, upacara pesta, dan penggunaan uang. Dengan bentuk, jenis, ketentuan,
tujuan, anggota, dan pelaksanaan yang spesifik sesuai dengan bidangnya, mapalus terus-menerus
hidup di kalangan masyarakat Minahasa. Akibat berbagai pengaruh, baik faktor ekstern maupun
intern, pelaksanaan mapalus itu merosot. Merosot artinya tergelincir turun atau sangat menurun,
atau mundur sekali dari keadaan semula. Kemerosotan mapalus berarti telah terjadi keadaan
mapalus yang mundur sekali dari keadaan semula akibat pengaruh ekstern dan intern. Pengaruh
ekstern dan intern itu saling berkait.

Dengan menyadari bahwa prinsip atau asas mapalus itu sangat berguna bagi kehidupan masyarakat
Minahasa, maka ada upaya melestarikannya. Upaya melestarikan itu dapat ditempuh jika diketahui
faktor-faktor penyebabnya. Kedua, faktor-faktor penyebab merosotnya mapalus ada dua segi utama,
yaitu faktor ekstern dan intern. Faktor ekstern sebagai penyebabnya adalah faktor yang terkategori
secara fisik yaitu perubahan dan pergeseran waktu, lokasi, perkembangan iptek, arus informasi,
ekonomi, sosial, dan budaya, dan yang terkategori secara psikis adalah, antara lain, pengaruh sikap
hidup, nilai-nilai kehidupan dan norma-norma kemasyarakatan, dan cara berpikir manusia.

Faktor intern penyebab merosotnya mapalus terkategori secara fisik dan psikis. Faktor intern
penyebab merosotnya mapalus secara fisik adalah berubahnya sistem organisasi mapalus, jumlah
anggota, tingkat sosial ekonomi anggota yang bergeser, dan lingkungan tempat mapalus itu hidup.
Faktor intern yang terkategpori secara psikis, antara lain, adalah pola pikir anggota mapalus. Kedua
faktor itu saling berkait. Kaitan antarfaktor penyebab merosotnya mapalus ini terjadi karena adanya
proses akulturasi. Ketiga, dengan terjadinya proses akulturasi yang mengenai pelaksanaan mapalus
di Minahasa, terjadilah praktek mapalus dewasa ini. Praktek mapalus akhir-akhir ini merosot dalam
hal bentuk, tujuan kualitas dan kuantitas ketentuan, keanggotaan, pelaksanaan, dan hasil.

(1) Dalam hal bentuk, mapalus berbentuk mapalus besar, tetapi tidak sebesar mapalus sebelumnya.
Berkurangnya ukuran ini terjadi karena berkurangnya pula jumlah anggota. Berkurangnya jumlah
anggota terjadi pula karena beberapa penyebab.

(2) Tujuan mapalus pun pada dewasa ini merosot. Semula tujuan mapalus itu berprinsip
kekeluargaan, musyawarah mufakat, bekerja sama, sikap religius, serta rasa persatuan dan
kesatuan. Pengembangan dari prinsip itu berupa gotong-royong tolong-menolong, keterbukaan,
disiplin kelompok, kebersamaan, serta daya guna dan hasil guna. Prinsip semula ini sudah merosot
menjadi berkurangnya rasa disiplin kelompok. Contohnya, sudah mulau banyak anggota yang
meninggalkan kelompok dengan cara membeli mapalus, yaitu menggantikan tenaganya dengan
uang. Dengan demikian, merosot pula prinsip kebersamaan, prinsip kekeluargaan, dan prinsip daya
guna serta hasil guna. Prinsip keterbukaan pun merosot. Semula penerimaan anggota baru,
misalnya, sama sekali tidak membeda-bedakan status sosial ekonomi seseorang, bahkan juga tidk
membedakan agama. Akan tetapi, sikap keterbukaan dalam penerimaan anggota baru mapalus ini
merosot dalam hal mengelompoknya status sosial ekonomi pada salah satu mapalus. Misalnya, ada
mapalus pembangunan rumah yang dianggotai oleh hanya kelompok ekonomi mampu. Dengan
merosotnya tujuan mapalus, seperti terlihat dalam contoh-contoh ini, merosot pula kualitas dan
kuantitas mapalus.

(3) Kualitas dan kuantitas ketentuan mapalus merosot, artinya kualitas ketentuan mapalus tidak
sekuat prinsip semula dan kuantitasnya pun menurun dalam jumlah yang mengecil. Semakin hari
semakin pudar jumlah ketentuan mapalus. Persentasenya mengecil seirama dengan menyusutnya
prinsip-prinsip mapalus.

(4) Dalam hal keanggotaan pun, keanggotaan mapalus merosot. Artinya, jumlah anggota yang
tergabung dalam mapalus tidak sebanyak anggota mapalus pada masa sebelum dewasa ini.
Berkurangnya jumlah anggota ini terjadi karena berbagai sebab, misalnya karena meningkatnya
tingkat pendidikan mereka, beraneka rupanya profesi mereka, dan keterbatasan waktu dan tenaga
mereka untuk bergabung dalam mapalus. Dengan demikian, hal ini berakibat pula pada merosotnya
pelaksanaan mapalus.

(5) Pelaksanaan mapalus merosot dalam berbagai contoh. Misalnya, di bidang mapalus pertanian,
semangat pelaksanaannya tidak sesemangat mapalus sebelumnya. Jumlah anggota yang menurun
itu menjadikan pelaksanaan mapalus merosot, yaitu dengan efektivitas tenaga yang tersedia, yang
semakin berkurang. Dalam hal mapalus pembangunan rumah, misalnya, pelaksanaannya pun
merosot. Misalnya, semakin berkurang anggota yang mempunyai skil atau keahlian membangun
rumah. Akibatnya, dibutuhkan tenaga bayaran yaitu tukang sebagai pengganti tenaga anggota
mapalus. Beberapa contoh merosotnya pelaksanaan mapalus ini berakibat pada hasil yang dicapai.

(6) Hasil mapalus yang dicapai oleh mapalus-mapalus Minahasa pada dewasa ini tidak seefektif dan
tidak seefisien sebelumnya. Karena berbagai faktor di atas, mereka beranggapan bahwa hasil
mapalus tidak seefektif terdahulu. Lamakelamaan timbul rasa keengganan mereka untuk
bermapalus. Akan tetapi, di balik rasa keengganan itu muncul kesadaran akan perlunya prinsip-
prinsip mapalus yang perlu dilestarikan. Di satu pihak mereka merasakan merosotnya mapalus
sampai menjadikan hasil mapalus pun merosot. Di pihak lain mereka menyadari bahwa mapalus itu
penting dalam kehidupan mereka dan perlu dilestarikan. Maka dari itu, ditempuh upaya-upaya
untuk melestarikannya. Keempat, dengan melihat realitas pelaksanaan atau praktek mapalus di
Minahasa dewasa ini, dapat ditentukan langkah atau upaya yang tepat dalam pelestariannya.
Mapalus perlu dilestarikan karena sistem gotong-royong tolong- menolong ini merupakan satu titik
mosaik budaya nasional dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kekayaan budaya
nasional. Langkah-langkah yang diupayakan untuk melestarikannya adalah sebagai berikut.

(1) Generasi tua yang meaih tetap melangsungkan mapalus itu berusaha untuk tetap
melangsungkannya semampu mungkin. Dengan tetap berlangsungnya mapalus di banya bidang,
generasi penerus akan terbuka matanya untuk melihat kenyataan itu. Dengan melihat kenyataan
dan menyadari akan keuntungan yang didapat dari berlangsungnya mapalus, lama-kelamaan mereka
akan bereaksi. Aksi mereka dapat positif dan dapat pula negati. Dengan terus melalui pembinaan
yang dilakukan oleh berbagai pihak, baik oleh anggota yang lebih senior dan yang lebih tua maupun
oleh aparat pemerintah, generasi muda yang mulai meninggalkan mapalus ini mulai sadar kembali.
Kesadaran akan pentingnya mapalus itu lambat-laun akan juga menggerakknya niatnya untuk
bermapalus lagi. Artinya, mapalus ini diupayakan untuk terus disosialisasi.

(2) Sosialisasi mapalus ke generasi-generasi penerus ini dilakukan melalui berbagai cara, antara lain,
adalah pembinaan yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya, oleh aparat pemerintah kepada
warganya, oleh pemuka masyarakat kepada pengikutnya, dan oleh para ahli di bidang masing-
masing kepada kelompoknya, atau oleh pihak yang merasa berkewajiban kepada pihak lain yang
layak menerimanya.

B.SARAN
Dengan demikian, masalah-masalah yang timbul dalam penelitian ini dapat terjawab. Hanya saja,
penelitian ini masih membuka kemungkinan untuk dilakukannya penelitian lain serupa yang lebih
tajam. Diperlukannya penelitian lanjut atas penelitian ini dapat disarankan sebagai berikut. Pertama,
penelitian ini merupakan penelitian mikro, artinya penelitian yang kecil, bahkan kecil sekali, datanya
terfokus hanya dalam skala kecil, terbatas, spesifik, atau hanya satu topik kecil permasalahan.
Dengan posisi penelitian ini sebagai penelitian mikro, masih dimungkinkan dilaksanakan penelitian
mapalus dalam lingkup yang lebih luas. Misalnya, bagaimana peran mapalus dalam memperkokoh
kesatuan adat-istiadat masyarakat yang lebih luas, yang tidak hanya terbatas pada masyarakat
Minahasa. Pengembangannya dapat berupa, misalnya, perbandingan sistem mapalus di Minahasa
dengan sistem sambatan di Jawa. Dapat pula penelitian ini dikembangkan dengan melihat kesamaan
dan perbedaan sistem serupa di seluruh suku bangsa Indonesia yang memilikinya.

Dengan dapat membandingkannya prinsip mapalus dengan prinsip gotong-royong dalam aneka suku
bangsa, akan terlihat benang merahnya bahwa prinsipprinsip mapalus itu, ternyata kemudian nanti,
merupakan juga prinsip gotong-royong secara nasional. Kedua, penelitian ini pun belum merupakan
penelitian mikro yang detil, terutama dalam kapasitasnya sebagai penelitian kuantitatif karena
terbatasnya penelitian ini sebagai penelitian kualitatif. Dengan dilakukannya penelitian kuantitatif,
akan dapat, misalnya, terlihat persentase banyak sedikitnya kelompok mapalus se-Minahasa. Melalui
penelitian kuantitatif juga akan terjaring data kuantitatif yang lebih menarik dalam banyak segi
pelaksanaan mapalus. Ketiga, diperlukan kejelian peneliti lain untuk melengkapi kesempurnaan
penelitian ini. Misalnya, kejelian itu terlihat dari lengkapnya data fisik pelaksanaan mapalus yang
berupa gambar, foto, ilustrasi, dan aneka data penunjang lain. Hal ini belum tercakup dalam
penelitian ini karena berbagai alasan, misalnya terbatasnya waktu dan dana penelitian, serta
dibatasinya pula topik penelitian. Keempat, proses akulturasi yang mempengaruhi pelaksanaan
mapalus itu tidak dapat dihindari. Yang penting untuk menyikapinya adalah melestarikan mapalus.
Dengan dilestarikannya mapalus maka masyarakat Minahasa tidak kehilangan sistem kehidupan
yang dimilikinya. Yang dapat disarankan dalam hal ini adalah agar generasi penerus dibina untuk
memahami perlunya pelestarian mapalus. Kesadaran itu semakin dikembangkan ke arah kesadaran
pelestarian budaya daerah sebagai titik mosaik budaya nasional. Usaha ini dapat dilakukan oleh
berbagai pihak secara simultan dengan beraneka macam cara pula. Akhirnya, dapat disarankan
bahwa hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan bagi para pengambil kebijakan yang berkait
dengan proses pengokohan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Daftar Pustaka
Adam, L., 1976. Adat Istiadat Suku Bangsa Minahasa, Bhratara, Jakarta.
----------------, 1979. Pemerintahan di Minahasa, Bhratara, Jakarta. Ahimsa-Putra, H.S. 1984.
‚Penutup, Suatu Refleksi Antropologis‛ dalam JWM Bakker, Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar,
Kanisius, Yogyakarta

---------------, 1988. Minawang, Hubungan Patron-Klien di Sulawesi Selatan, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta

----------------, 1999. ‚Kemajemukan Budaya Demokrasi, Komunikasi dan Integrasi Nasional,‛ dalam
Jurnal Ketahanan Nasional, No. IV (1) UGM, Yogyakarta dan Lemhanas, Jakarta.

Ahmadi, Abu, 1997. Ilmu Sosial Dasar, Rineka Cipta, Jakarta.

Alfian, 1985. Persepsi masyarakat Tentang Kebudayaan, Gramedia. Jakarta.

Amal, Ichlasul & Armaidy Armawi, 1996. Sumbangan Ilmu Sosial Terhadap Konsepsi Ketahanan
Nasional, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Bachtiar, Harsya W, dkk, 1985. Budaya dan Manusia Indonesia, YP2LPM, Hanindita, Yogyakarta.
Bakker, JWM., 1984. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar, Kanisius, Yogyakarta.

Bintarto R, 1980. Gotong Royong Suatu Karakteristik Bangsa Indonesia. Bina Ilmu, Surabaya.
Budhisantoso S, 1993. ‚Pengembangan Kebudayaan nasional Menjelang Tinggal Landas‛, dalam
Sudhartha, Kebudayaan dan Kepribadian bangsa, Upada Sastra, Denpasar.

-----------------, 1994. ‚Kebudayaan dan Integrasi Nasional dalam masyarakat majemuk‛, dalam Chaidir
Basrie, Pemantapan Pembangunan Melalui Pendekatan Ketahanan nasional, PMPKN PPNI Kerjasama
dengan Dephankam, Jakarta.

Devis, Keith, 1979. Human Behavior at Work, Mr. Graw Hill Publishing Company Ltd. Depdikbud,
1978. Adat Istiadat Daerah Sulawesi Utara, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, PPPKD, Manado.

-----------------, 1980. Sistem Gotong Royong dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Sulawesi Utara,
Proyek IDKD, Manado

-----------------, 1982, Sistem Gotong Royong dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Istimewa
Yogyakarta, PIDKD, Jakarta.

----------------,1996. Wujud, Arti dan Fungsi Puncak-Puncak Kebudayaan Lama dan Asli Bagi
Masyarakat Daerah Sulawesi Utara, Proyek PPNB, Manado.

---------------,1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta

Furnivall, JS, 1939. Netherlands India, A Study of Plural Economy, Cambridge At The University Press.
Garna, Judistira, K, 1991. Teori-Teori Perubahan Sosial, Pascasarjana Universitas Padjadjaran,
Bandung.

Geertz, Hildred, 1981. Aneka Budaya Dan Komunitas di Indonesia, Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial dan FIS,
UI, Jakarta.

Gerungan, W.A., 1978. Psychology Sosial, PT. Erasco Bandung.

Goni, Jourdan, 1984. ‚Hubungan Antara Peranan Pemerintah dan Partisipasi Masyarakat Desa dalam
Pembangunan di Minahasa‛, Hasil Penelitian, tidak dipulikasikan.

Graafland, N., 1991. Minahasa, Negeri, Rakyat dan Budaya, Yayasan Parahita, Jakarta.
Harton, Paul B dan Hunt Chester L, 1996. Sosiologi,

Erlangga, Jakarta. Hidayah, Zulyani, 1996. Ensiklopedia Suku-Bangsa di Indonesia, LP3ES, Jakarta.
Jacob, T., 1999. ‚Ketahanan Nasional Dan Milenium Ketiga‛, dalam Jurnal Ketahanan Nasional, No. IV
(1) UGM, Yogyakarta dan Lemhanas, Jakarta.

Kalangi, N.S., 1997. ‚Kebudayaan Minahasa‛, dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia, Djambatan, Jakarta

Kartodirjo, Sartono, 1978. Kedudukan dan Peranan Sistem Gotong Royong dalam Perkembangan
Masyarakat Indonesia. Lembaga Studi Pedesaan dan Kawasan, UGM, Yogyakarta.

----------------, 1987. ‚Gotong Royong: Saling Menolong dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia‛,
dalam Nat J Colletta dan Umar Kayam, Kebudayaan dan Pembangunan, yayasan Obor Indonesia,
Jakarta.

Kayam, Umar, 1983. Perubahan Nilai-Nilai di Indonesia, Alumni, Bandung. Kirk, Jerome dan Mark,
Miller I, 1986. Realibility and Validity in Qualitative Research, Sega Publication, New York. Kodiran,
1994. ‚Kebudayaan dan Ketahanan Nasional‛, Hand Out kuliah Kebudayaan dan Tannas Program
studi Ketahanan Nasional Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.

Koentjaraningrat, 1962. Some Social Anthropological Observation On Gotong Royong Practices In


Two Villages Of Central Java, Modern Indonesia Project,Monograph Series, Ithaca NY Cornel
University Press.

-----------------, 1977. ‚Sistem Gotong Royong dan Jiwa Gotong Royong‛, Berita Antropologi Th IX No 30
Februari.

-----------------, 1981. Pengantar Ilmu Antropologi, Dian Rakyat, Jakarta.

-----------------, 1984. Masyarakat Desa di Indonesia, FE UI, Jakarta.

-----------------, 1985. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta.

-----------------, 1990. Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakyat, Jakarta.

-----------------, 1997. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta.

-----------------, 1989. Metode-metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta.

Lalamentik, WHCM, 1986. Geografi Dialek Bahasa Tombulu, Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Depdikbud Jakarta.

Lalompoh, CT, 1987. ‚Intensitas Kegiatan Pemimpin dan Tingkat Keterlibatan Anggota Kelompok
Mapalus Dihubungkan dengan Kreativitas Petani‛, Hasil Penelitian, tidak dipublikasikan.

Lambey, S., 1981. ‚Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Pudarnya Mapalus‛ (suatu studi pada desa-
desa di Dati II Minahasa), Hasil Penelitian tidak dipublikasikan.

Masinambow, EKM, et.al, 1991. ‚Si Tou Timou Tumou Tou‛ Peranan Manusia Minahasa Dalam
Pembangunan Nasional. Kerukunan Keluarga Kawanua, Jakarta.

Mardimin, Johanes, 1994. Jangan Tangisi Tradisi, Kanisius, Yogyakarta.

Miles, Mathew D dan Huberman AM, 1992. Analisis Data Kualitatif, (terj.) Cecep Rokendi Rokidi, UI
Press, Jakarta.
Moleong, Lexy J., 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.

Nasikun, 2000. Sistem Sosial Indonesia, P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Nurhadi, Muflich, 1987. ‚Gotong Royong dalam Kaitan dengan Dimensi Struktural Masyarakat‛, Hasil
Penelitian, tidak dipublikasikan Pakasi, P., 1986. ‚Pengaruh Modernisasi Terhadap Pranata Mapalus
dan Prospek Kelestariannya dalam Kerangka Pembangunan Nasional Berwawasan Nusantara‛,
Makalah Simposium Mapalus, Fakultas Pertanian Unsrat Manado.

Peursen, CA Van, 1976. Strategi Kebudayaan, Kanisius Yogyakarta dan BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Piaget, Jean, 1997. Strukturalisme, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Rahardjo, 1979. ‚Gotong Royong di Desa Kadilaju dan Desa Jambitan, Suatu Perbandingan‛, Hasil
Penelitian, Puslit dan Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, Yogyakarta.

Rares, Joice J., 1996. ‚Organisasi Lokal Tradisional mapalus dalam Pembangunan Daerah di
Minahasa‛, Hasil Penelitian tidak dipublikasikan. Rattu, ABG, 1997. ‚Bahasa Daerah di Minahasa‛,
dalam Turang dkk, Profil Kebudayaan Minahasa, (MKM) Tomohon.

Saidihardjo, 1982. ‚Gotong Royong dalam Berbagai Bentuknya di Indonesia serta Pengaruhnya
terhadap Nilai Anak‛, Informasi, No.1 Thn. XII 1982. Sangarimbun,

Masri dan Effendi Sofian. 1987, Metode Penelitian Survai, LP3ES, Yogyakarta.

Slamet, Ina, 1963. Pokok-pokok Pembangunan Masyarakat Desa, Bhratara, Jakarta.

Smith, HW., 1975. Strategies of Social Research, The Methodological Imaginatioan, Brentice Hall, Inc
Englewooed Cliffs New Yersey

Soputan, 1991. ‚Ajaran ‚Jangan Mau Ketinggalan‛ dalam Kehidupan Orang Minahasa‛, dalam
Konggres Kebudayaan, Depdikbud Jakarta.

Soebadio, Haryati, 1993. ‚Kesinambungan Nilai Budaya Indonesia dalam Era Kebangkitan Nasional II‛
dalam Sudhatha, et.al, Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa, Upada Sastra, Denpasar.

Soekanto, Soerjono, 2000. Sosiologi Suatu Pengantar, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Spradley, James P., 1997. Metode Etnografi, Tiara Wacana, Yogyakarta. Sudhartha, et.al, 1993.
Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa, Upada Sastra, Denpasar.

Supit, Bert, 1991. ‚Manusia Minahasa : Ditinjau dari Latar Belakang Adat Kebiasaan‛, dalam
Masinambow, et.al, Si Tou Timou Tumou Tou, Kerukunan Keluarga Kawanua, Jakarta.

Susanto-Sunario, Astrid S, 1995. Globalisasi dan Komunikasi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Tambayong, Friets, Karel, 1991. ‚Pengaruh Mapalus dalam Pelaksanaan Program Terpadu KB-
Kesehatan di Kabupaten Minahasa‛, Hasil Penelitian tidak dipublikasikan.

Taulu, H.M., 1952. Adat dan Hukum Adat Minahasa, Yayasan Membangun, Jakarta.

Taliziduhu, Ndraha, 1987. Pembangunan Masyarakat, PT. Bina Aksara, Jakarta.

Terok, Willy, 19989. ‚Filsafat Minahasa Kandungan Mitos dan Bahasa‛, Hasil Penelitian tidak
dipublikasikan.

Tilaar H. A. R., 1985. ‚Mapalus dan Pancasila‛. Makalah yang disampaikan pada Seminar mapalus bagi
Pengembangan Manajemen Indonesia, Jakarta. 174
-----------------, 1991. ‚Suatu Konsep Pengembangan Sumber daya Manusia Minahasa dalam rangka
Pembangunan Nasional menuju tinggal landas‛, dalam Masinambow, et.al, Si Tou Timou Tumou Tou,
Kerukunan Kawanua, Jakarta.

Tjokroamidjojo, Bintoro, 1985. Pengantar Administrasi Pembangunan, LP3ES, Yogyakarta.


Tjokrowinoto, Moelyarto, 1977. Peranan Kebudayaan Politik dan Kebudayaan Administrasi di dalam
Pembangunan Masyarakat Desa, Balai Pembinaan Adminsitrasi, UGM , Yogyakarta. Turang, J., 1983.
Mapalus di Minahasa, Posko Operasi Mandiri Kabupaten Dati II Minahasa.

----------------, 1989. Teori dan Praktek Mapalus, Yayasan Mapalus Minahasa, Tomohon.

----------------, 1991. ‚Manusia Minahasa, Prinsip Hidup Mapalus Masa Lampau, Sekarang,
Mendatang‛ dalam Masinambow, et.al, Si Tou Timou Tumou Tou, Kerukunan Keluarga Kawanua,
Jakarta.

Turang, J. dkk, 1997. Profil Kebudayaan Minahasa, Majelis kebudayaan Minahasa, Tomohon.

Turang, Joudy M. J, 1994. ‚Sistem Mapalus sebagai Upaya Pengentasan Kemiskinan di Kecamatan
Tomohon,‛ Hasil Penelitian tidak dipublikasikan.

Wahongan, K., 1986. Peranan Wanita dalam Pembangunan, Hasil Penelitian tidak dipublikasikan.
Waworuntu, R., 1988. ‚Pemuka Masyarakat Desa Sebagai Motivator Pelestarian Budaya Kerja
Mapalus di Kecamatan Langowan Minahasa‛, Laporan Penelitian, FISIP, Unsrat, Manado.

Zamroni, 1992. Pengantar Pengembangan Teori Sosial, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai