Anda di halaman 1dari 18

Naditira Widya Vol.14 No.

1 April 2020-BalaiArkeologi Kalimantan Selatan


p-ISSN: 1410-0932; e-ISSN: 2548-4125

BUDAYA SINTUVU MASYARAKAT KAILI DI SULAWESI TENGAH

THE SINTUVU CULTURE OF THE KAILI PEOPLE IN CENTRAL SULAWESI

Dwi Septiwiharti

Universitas Tadulako, Mahasiswa Program Doktor Filsafat, Universitas Gadjah Mada, posel: dwiseptiwiharti@gmail.com

Diterima 18 Maret 2020 Direvisi 13 Juli 2020 Disetujui 13 Juli 2020

Abstrak. Penelitian ini merupakan refleksi kritis tentang budaya sintuvu masyarakat Kaili di Sulawesi Tengah. Kajian budaya
sintuvu dilatarbelakangi oleh kondisi masyarakat dewasa ini yang rentan dengan konflik akibat terpinggirkannya nilai-nilai
kearifan lokal. Tujuan penelitian adalah menemukan hakikat budaya sintuvu berdasarkan histori dan kehidupan keseharian
masyarakat Kaili. Penelitian ini merupakan kajian filosofis dengan menggunakan data kepustakaan yang didukung oleh
wawancara lapangan. Hasil penelitian menunjukkan budaya sintuvu adalah milik masyarakat Kaili dan dipahami mendukung
prinsip kebersamaan yang dikenal sejak masa Tomalanggai, dan berkembang sejak masa kerajaan Kaili di Sulawesi Tengah
pada abad ke-15 Masehi. Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa budaya sintuvu merupakan simbol persatuan dan
gotong-royong yang masih relevan hingga sekarang. Nilai-nilai yang mendasari konsep budaya sintuvu dibangun
berdasarkan pengalaman hidup sehari-hari masyarakat Kaili, yang mencakup nilai harmoni, kekeluargaan, semangat
berbagi, solidaritas, musyawarah mufakat, tanggung jawab, dan keterbukaan.

Kata kunci: masyarakat Kaili, nilai-nilai kearifan lokal, kebersamaan, Tomalanggai, persatuan, gotong-royong

Abstract. This study is a critical reflection of the Kaili community's sintuvu culture in Central Sulawesi. The study is
motivated by the condition of the community today which is vulnerable to conflict due to the marginalization of the values of
local wisdom. The purpose of this research is to discover the nature of sintuvu culture based on history and daily life of the
Kaili people. This research is a philosophical study using library data supported by field interviews. The results show that the
sintuvu culture belongs to the Kaili people and is understood to support the principle of togetherness known since the
Tomalanggai period and has developed since the sovereignty of Kaili kingdom in Central Sulawesi in the 15th century.
Research conclusion indicates that the culture of sintuvu is a symbol of unity and cooperation which is still relevant today.
The underlying values of sintuvu concept are built based on the daily life experiences of the Kaili community, which includes
values of harmony, kinship, the spirit of sharing, solidarity, deliberation for consensus, responsibility, and openness.

Keywords: Kaili people, values of local wisdom, togetherness, Tomalanggai, unity, mutual cooperation.

PENDAHULUAN Arkanudin menyebutkan bahwa konflik etnik


umumnya lebih banyak didasari pada perbedaan
Indonesia adalah bangsa yang multikultur sosial budaya, sedangkan masalah ekonomi,
dengan keberagaman suku, agama, ras, dan adat politik, dan lainnya sekedar sebagai faktor
istiadat. Persatuan Indonesia merupakan suatu pembenarnya. Konflik berlatar belakang sosial
konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan budaya pun terjadi tidak hanya antaretnik tetapi
persatuan dalam keberagaman, dan keberagaman juga terjadi dalam satu etnik yang sama
dalam persatuan (unity in diversity, diversity in (Arkanudin 2006). Konflik antarwarga yang sering
unity) yang dalam slogan negara dinyatakan dalam terjadi di Kota Palu dan Kabupaten Sigi Sulawesi
ungkapan Bhinneka Tunggal Ika (Latif 2013). Tengah justru berasal dari kelompok etnik dan
Semangat kebersamaan dalam slogan Bhinneka kultur yang sama serta memiliki ikatan
Tunggal Ika sebagai pengikat keberagaman kekerabatan yang sangat dekat (Marhum 2013).
bangsa Indonesia mulai luntur dengan maraknya Konflik antaretnik pada umumnya disebabkan
berbagai konflik. Jati diri bangsa Indonesia yang persoalan “perjuangan mempertahankan harga
cinta damai dan memiliki budaya kebersamaan diri” (Hali 2006).
atau solidaritas perlahan terkoyak dengan Konflik berlatar belakang sosial budaya
maraknya berbagai konflik berlatar belakang sosial seringkali muncul disebabkan makin
budaya. terpinggirkannya nilai-nilai kearifan lokal.
Kebersamaan dan harmoni makin jauh dari
47
Budaya Sintuvu Masyarakat Kaili Sulawesi Tengah- Dwi Septiwiharti, Septiana Dwiputri Maharani, dan Rizal Mustansyir (47-64)
Doi:10.2483/nw.v14.i1.419

jangkauan masyarakat disebabkan oleh nilai-nilai Beberapa penelitian tentang budaya sintuvu
kearifan lokal yang belum terbaca dan masyarakat Kaili yang pernah dilakukan
terefleksikan secara baik. Akibatnya, sebagian diantaranya penelitian Ahmad Yunus tahun 1986
besar masyarakat memandang kelompok atau berjudul Sistem Gotong Royong dalam Masyarakat
etnik secara primordial semata, sehingga konflik Pedesaan Daerah Sulawesi Tengah. Hasil
pun tidak terhindarkan. Sejalan dengan penelitian mendeskripsikan tentang bentuk
pandangan di atas, antropolog Sulaiman Mamar tolong-menolong atau gotong royong disebut
(2012) berpendapat bahwa tidak berfungsinya nilai sintuvu dalam masyarakat Kaili, sintuwu dalam
budaya lokal dapat menjadi salah satu akar masyarakat Pamona, dan montulungi dalam
persoalan timbulnya konflik dalam masyarakat. masyarakat Saluan Sulawesi Tengah. Penelitian
Hamengkubuwono X (2008) menyebutkan bahwa berikutnya oleh Jolylis Rawis tahun 2012 berjudul
kekerasan massa yang sering terjadi dalam Sintuwu Kerjasama Tradisional di Poso Sulawesi
masyarakat merupakan cerminan bahwa selama Tengah. Penelitian ini sebagai bahan sosialisasi
ini masyarakat telah mengabaikan kebudayaannya dalam upaya membangun jati diri dan karakter
sendiri. Oleh karena itu, pelestarian nilai-nilai bangsa. Berdasarkan penelusuran peneliti belum
budaya daerah dengan upaya mencari, menggali, ada penelitian tentang budaya sintuvu masyarakat
mengkaji, serta mengaktualisasikan nilai-nilai Kaili dalam tinjauan filsafat yang menganalisis
budaya lokal merupakan modal dasar yang dapat budaya sintuvu berdasarkan historisitas dan
digunakan untuk memperkokoh rasa persatuan kehidupan konkret masyarakatnya, sehingga
dan kesatuan bangsa. penelitian ini dapat dijamin validitas dan
Persoalan lain yang menjadi penyebab orisinalitasnya.
memudarnya nilai-nilai budaya lokal adalah
globalisasi. Generasi muda menghadapi tantangan METODE
modernitas seiring kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Perkembangan teknologi Penelitian ini merupakan jenis penelitian
komunikasi dan informasi membawa dampak kualitatif tentang pandangan filosofis di lapangan.
positif sekaligus negatif pada pola perilaku Objek material penelitian adalah budaya sintuvu
masyarakat khususnya generasi muda. Salah satu dan objek formal penelitian adalah filsafat
dampak negatif dari perkembangan teknologi kebudayaan. Sumber primer tulisan ini berupa
tersebut adalah kecenderungan orientasi pustaka yaitu buku-buku dan hasil penelitian yang
kehidupan dan perilaku masyarakat pada relevan. Penelitian ini juga didukung dengan
materialisme dan individualisme. Teknologi metode wawancara dengan menggunakan teknik
komunikasi dan informasi yang berkembang pesat sampling snowball, yaitu suatu metode untuk
saat ini jika tidak diimbangi dengan nilai-nilai mengidentifikasi, memilih, dan mengambil sampel
kearifan budaya lokal, maka akan makin dalam suatu jaringan atau rantai hubungan yang
memperteguh gaya hidup dan pola berpikir terus menerus. Narasumber-narasumber dalam
masyarakat ke arah materialisme dan penelitian yaitu budayawan, sejarawan, dan tokoh
individualisme. Perubahan pola pikir dan perilaku adat Kaili di Sulawesi Tengah. Berdasarkan
tersebut dapat berakibat pada memudarnya sumber tersebut dilakukan interpretasi, kemudian
kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai budaya dituliskan dalam bentuk artikel hasil penelitian.
bangsa sehingga berdampak pada keterasingan Analisis hasil penelitian menggunakan teori
terhadap budaya sendiri. filsafat kebudayaan menurut pandangan tokoh
Bertolak dari persoalan-persoalan tersebut Cornelis Anthonie van Peursen. Peursen
di atas, kajian tentang budaya sintuvu mendefinisikan filsafat sebagai ilmu kritis yang
masyarakat Kaili ini bertujuan untuk menemukan mencari akar-akar pengalaman (Peursen 1980).
dan menganalisis historisitas sintuvu berdasarkan Filsafat berpangkal pada pertanyaan-pertanyaan
realitas kehidupan konkret masyarakat Kaili agar yang menunjukkan dua arah yaitu: pada peristiwa
masyarakat dapat mengenal dan memahami sehari-hari dan kepada si penanya itu sendiri.
eksistensi budaya sintuvu sebagai budaya Pengetahuan filsafat timbul dari pengalaman
kebersamaan yang masih relevan hingga sehari-hari, yaitu pergaulan manusia dengan
sekarang. orang-orang dan benda-benda (Peursen 1980).

48
Naditira Widya Vol.14 No. 1 April 2020-BalaiArkeologi Kalimantan Selatan
p-ISSN: 1410-0932; e-ISSN: 2548-4125

Berfilsafat merupakan suatu aktivitas kehidupan pemahaman terhadap sejarah yang mengiringi
manusia sehari-hari. Manusia dalam berfilsafat kelompok masyarakat dalam kebudayaannya.
menemukan pertautan antara dirinya dengan Sejarah adalah kisah perjalanan hidup manusia
kehidupan sehari-hari, dan berhubungan langsung yang bernilai dan penuh makna. Kisah merupakan
dengan sesama manusia (Peursen 2003). warisan tertua umat manusia (Peursen 1990).
Filsafat kebudayaan (philosophy of culture) Makna hidup manusia dalam historisitasnya
adalah kajian filsafat yang mempelajari tentang berangkat dari peristiwa konkret dalam kehidupan
hakikat kebudayaan. C.A. van Peursen sehari-hari, yaitu peristiwa-peristiwa bermakna
memandang filsafat kebudayaan sebagai sepanjang perjalanan eksistensi manusia. Dunia
perenungan filosofis dalam mendalami manusia sepanjang sejarah tidak pernah tanpa
kebudayaan sehingga manusia menemukan persoalan dan perubahan melainkan terus
‘dirinya’ kembali’ (Peursen 2003). Pada prinsipnya menerus diperbaharui sehingga terbuka untuk
filsafat kebudayaan mempelajari hakikat penafsiran itulah dunia kebudayaan.
kebudayaan baik secara teoritis maupun praktis. Penelitian ini berupaya mengkaji budaya
Filsafat kebudayaan dalam dimensi teoritis sintuvu berdasarkan teori C.A. van Peursen
memberikan jawaban atas pertanyaan: apakah dengan menempatkan latar belakang sejarah,
kebudayaan itu? Sedangkan filsafat kebudayaan karakteristik masyarakat Kaili, serta
dalam dimensi praktis memberikan jawaban atas kearifan-kearifan lokal Kaili tentang kebersamaan
pertanyaan: apa yang dapat dilakukan manusia sebagai titik tolak penelitian. Kearifan-kearifan
dengan kebudayaannya? yang dimaksud adalah budaya-budaya yang
Filsafat kebudayaan Peursen pada awalnya berkorelasi dengan muatan nilai-nilai kebersamaan
merupakan kritik atas dua persoalan sebagai yang dikenal dalam masyarakat Kaili sehingga
berikut: Pertama, kebudayaan dulu dipahami melahirkan budaya sintuvu. Kearifan-kearifan
sebagai manifestasi kehidupan manusia yang tersebut menjadi salah satu tema kajian dalam
berbudi luhur dan bersifat rohani berkaitan dengan penelitian ini karena dipandang memiliki korelasi
agama, kesenian, filsafat, ilmu pengetahuan, tata dengan sintuvu sehingga menemukan nilai
negara, dan sebagainya. Kebudayaan sekarang sebenarnya yang terkandung dalam budaya
dipahami sebagai manifestasi kehidupan setiap sintuvu sebagai prinsip persatuan masyarakat
orang. Kebudayaan meliputi segala perbuatan Kaili.
manusia. Dikotomi antara bangsa-bangsa
berbudaya (beradab tinggi) dan bangsa-bangsa HASIL DAN PEMBAHASAN
alam (primitif) sudah lama disingkirkan (Peursen
1988). Kedua, berkaitan dengan pemahaman isi Sintuvu dalam Historisitas Masyarakat Kaili
konsep kebudayaan itu sendiri. Konsep
kebudayaan dalam kacamata Peursen dipahami Historisitas dalam konteks kebudayaan
sebagai sesuatu yang dinamis. Pengertian menggambarkan serangkaian peristiwa bermakna
kebudayaan tidak hanya sebatas benda-benda yang dialami seseorang atau sekelompok orang
karya manusia, tetapi lebih pada kegiatan-kegiatan sepanjang sejarah kehidupan bersama sehingga
manusia yang menciptakan alat-alat atau membentuk karakter atau wajah kebudayaannya
benda-benda tersebut. Kebudayaan lebih seperti sekarang. Budaya sintuvu dalam penelitian
dipahami sebagai kata kerja, yaitu segala aktivitas ini, akan ditelusuri berdasarkan sejarah kehidupan
manusia termasuk kesenian, ilmu pengetahuan, masyarakat Kaili yang melahirkan konsep sintuvu
dan sebagainya (Peursen 1988). Orientasi filsafat tersebut.
kebudayaan Peursen adalah terciptanya Masyarakat Kaili merupakan kelompok etnik
kesadaran setiap orang dalam kebudayaannya terbesar di Sulawesi Tengah, yang saat ini
agar secara aktif ikut terlibat dalam memikirkan mendiami beberapa wilayah di Kota Palu,
dan merencanakan arah yang akan ditempuh oleh Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, Kabupaten
kebudayaannya. Parigi Moutong, dan sebagian di wilayah pesisir
Kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari Poso. Etnik Kaili di Sulawesi Tengah
sejarah perkembangan umat manusia. Memahami menggunakan bahasa daerah, yaitu bahasa Kaili
suatu kebudayaan harus berangkat dari dengan beragam dialeknya (Gambar 1).
49
Budaya Sintuvu Masyarakat Kaili Sulawesi Tengah- Dwi Septiwiharti, Septiana Dwiputri Maharani, dan Rizal Mustansyir (47-64)
Doi:10.2483/nw.v14.i1.419

Masyarakat Kaili dengan keberagaman dialek bersama-sama. Budaya kebersamaan dalam


bahasanya menyatukan diri sebagai kelompok masyarakat Kaili diantaranya sintuvu. Budaya
masyarakat yang memiliki prinsip-prinsip sintuvu merupakan representasi dari cara pandang
kebersamaan yang kuat. Masyarakat Kaili dikenal masyarakat Kaili (way of life) yang menghendaki
sebagai masyarakat yang mementingkan kehidupan harmonis.
persatuan dalam mengerjakan aspek publik secara

Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2020


(https://petabahasa.kemdikbud.go.id/mapEnlarge2.php?idp-29)
Gambar 1 Peta Bahasa Etnik Kaili Sulawesi Tengah

Kebudayaan Kaili berdasarkan sejarah kediaman Raja-Raja Kaili tersebut masih


perkembangannya merupakan kebudayaan yang terpelihara sampai dengan sekarang (Gambar 2).
khas, disebabkan oleh faktor akulturasi dan
asimilasi dengan etnik lainnya. Sejak masa
kerajaan beberapa etnik yang mendiami wilayah
Sulawesi Tengah diantaranya Bugis, Makassar,
Mandar, Banjar, Minangkabau, Jawa, Minahasa,
Arab, India, Cina, dan 12 (dua belas) etnik
penduduk asal, yaitu Kaili, Kulawi, Pamona, Mori, a b
Tomini, Bungku, Tolitoli, Buol, Banggai, Balantak, Sumber: Dok. Pribadi
Lore, dan Saluan. Kebudayaan yang paling Gambar 2 Banua Oge (Rumah Raja Kaili)
banyak membawa pengaruh terhadap kebudayaan a. di Kota Palu, b. di Kab. Parigi
Kaili adalah Bugis, Makassar, dan Mandar (Mamar
1984). Proses akulturasi dan asimilasi dalam Kajian tentang masyarakat dan kebudayaan
kebudayaan Kaili dilatarbelakangi oleh Kaili di Sulawesi Tengah sudah banyak dilakukan
karakterisitik orang Kaili yang bersifat terbuka para ahli sejak masa kolonial di Sulawesi Tengah
terhadap etnik lainnya yang masuk ke wilayah diantaranya peneliti Belanda Nicolaus Adriani dan
Sulawesi Tengah. Salah satu kebudayaan khas Albertus C. Kruijt, Walter Alexander Kaudern
masyarakat Kaili di Sulawesi Tengah adalah etnografer asal Swedia, serta para peneliti
sintuvu yang disinyalir sudah ada sejak masa Indonesia seperti Mattulada, Jaruddin Abdullah,
Tomalanggai dan berkembang sejak masa Masyhuddin Masyhuda, Ahmad Basir Toana,
kerajaan (kemagauan) Kaili di Sulawesi Tengah Syamsuddin H.Chalid, Sulaiman Mamar, dan
pada abad ke-15. Rumah kediaman Raja Kaili masih banyak lagi.
disebut Banua Oge. Beberapa bangunan Penyebutan bagi "orang Kaili" dalam
bahasa Kaili dengan menggunakan prefix "To"
50
Naditira Widya Vol.14 No. 1 April 2020-BalaiArkeologi Kalimantan Selatan
p-ISSN: 1410-0932; e-ISSN: 2548-4125

yaitu To Kaili. Antropolog Mattulada dalam kebudayaan tembikar dari tanah liat. Benda-benda
bukunya berjudul Sejarah Kebudayaan To Kaili peninggalan sejarah yang berasal dari penduduk
memaparkan mengenai latar belakang penyebutan pada migrasi kedua tersebut berupa
orang Kaili sebagai berikut (Mattulada 1983): tempayan-tempayan besar untuk penyimpanan
mayat serta peralatan masak seperti periuk dan
“Orang-orang yang menyebut diri To Kaili lain-lain.
secara sosiokultural tergolong dalam kelompok Penduduk pertama yang datang dari utara
etnik dengan ciri-ciri: (1) Adanya alat membawa kebudayaan megalitik tiba di daerah
komunikasi antara sesama orang Kaili, yaitu Sulawesi Tengah bagian barat, menuju ke Danau
bahasa/ dialek yang memelihara keakraban
Lindu dan terus masuk ke daerah Lore, sedangkan
dan kebersamaan di antara mereka; (2)
Adanya pola-pola sosiokultural yang
sebagian lagi kemungkinan besar melanjutkan
menumbuhkan perilaku yang dinilai sebagai perjalanannya menuju daerah Sulawesi Selatan.
bagian dari kehidupan adat istiadat, termasuk Penduduk migrasi pertama menyebar ke daerah
cita-cita dan ideologi, yang dihormati bersama Koro sampai dengan Palolo dan Bora. Dataran
di antara mereka; (3) Adanya perasaan Bora pada saat itu merupakan pantai Teluk Palu
keterikatan antara satu sama lainnya, sebagai sebelum air teluk surut. Penduduk yang
satu kelompok yang menjadi perekat ke dalam menyebar di wilayah Koro, Palolo, dan Bora
kebersamaan di antara mereka; (4) Adanya kemudian menyatukan diri dalam suatu kelompok
kecenderungan menggolongkan diri ke dalam yang dikenal dengan nama masyarakat To Sigi,
kelompok asli terhadap orang dari kelompok sebagai hasil perkembangan penduduk pendatang
lain, dalam berbagai kejadian sosiokultural, yang pertama. Penduduk yang datang pada tahap
berupa sikap sekaum dalam menghadapi orang
luar; dan (5) Adanya perasaan keterikatan ke
kedua adalah dari Teluk Bone masuk ke Lembah
dalam kelompok karena hubungan kekerabatan Poso, diduga bertemu dengan penduduk pertama
geneologis, dan atau adanya ikatan kesadaran yang sudah berkembang sampai ke Lembah Poso
teritorial di antara mereka.” sebelum kedatangan penduduk kedua dari Teluk
Bone tersebut. Dalam pertemuan itu terjadi
Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Basri akulturasi-asimilasi melalui perkawinan. Keturunan
Toana dalam Jurnal Gagasan Universitas dari asimilasi tersebut diduga membentuk generasi
Tadulako (Toana 1997) berjudul Persekutuan baru yang kemudian menyatukan diri dalam suatu
Hidup dan Sistem Pemukiman Masyarakat To komunitas atau kelompok masyarakat To Pamona.
Kaili, menguraikan tentang asal-usul kelompok Selanjutnya, migrasi kedua berasal dari
etnik Kaili di Sulawesi Tengah berdasarkan Sulawesi Selatan melalui Selat Makassar.
sejarah persebaran penduduk yang masuk ke Penduduk migrasi kedua ini diduga kuat adalah
Sulawesi Tengah sebagai berikut: Ada dua tahap pelaut-pelaut ulung dari Bugis Makassar dan
kedatangan atau migrasi sebagai berikut: migrasi Mandar yang datang, tinggal, dan menyebar di dan
pertama, dimulai sejak kedatangan penduduk yang sekitar Selat Makassar termasuk di Teluk Palu.
membawa kebudayaan megalitik. Penduduk Setelah melalui akulturasi, difusi, dan asimilasi,
migrasi pertama diperkirakan datang dari Utara, kemudian kedua suku bangsa itu (To Sigi dan
diduga berasal dari sebuah kepulauan di Jepang. Bugis Makassar) melahirkan keturunan-keturunan
Penduduk yang datang pertama masuk ke generasi baru dan membentuk kelompok
Sulawesi Tengah melalui Minahasa; menyusuri masyarakat di Lembah Palu. Generasi baru
dataran daerah Gorontalo hingga masuk ke tersebut menyatukan diri dalam suatu kelompok
Sulawesi Tengah dan terus ke Selatan. masyarakat yang dikenal dengan nama To Kaili.
Berdasarkan persebarannya dapat dilacak Kerajaan Sigi pun makin berkembang dengan
peninggalan-peninggalan dari migrasi pertama pesat. Kemudian mulai berdatangan para pelaut
berupa kebudayaan megalitikantara lain dari Mandar dan Bugis Makassar di pantai Teluk
kuburan-kuburan batu (Kalamba), lesung-lesung Palu dan sekitarnya, yang terletak di sepanjang
batu, patung-patung dalam ukuran besar, dan selat Makassar. Hal itu terjadi setelah Teluk Palu
lain-lain. Migrasi kedua, adalah tahap kedatangan menjadi daratan dan air Teluk Palu surut,
penduduk dari Sulawesi Selatan menuju ke bersamaan datangnya kontak sosial pertama
Sulawesi Tengah yang disebut sebagai pembawa dengan kerajaan-kerajaan dari Sulawesi Selatan
51
Budaya Sintuvu Masyarakat Kaili Sulawesi Tengah- Dwi Septiwiharti, Septiana Dwiputri Maharani, dan Rizal Mustansyir (47-64)
Doi:10.2483/nw.v14.i1.419

untuk memperkokoh persahabatan antara kedua catatan atau lontara orang Bugis Makassar
suku bangsa: yakni To Sigi dan Bugis Makassar. menyebutkan bahwa sebelum masa kolonialisme
Para pendatang baru tersebut telah memiliki Belanda, yaitu pada masa kerajaan, terjadi
kebudayaan yang dianggap lebih unggul, yakni hubungan antara kerajaan-kerjaaan lokal di
pembuat tembikar, sedangkan To Sigi masih Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah.
berkebudayaan megalitik. Penduduk baru mulai Kerajaan-kerajaan lokal tersebut saling
membentuk kelompok masyarakat yang lebih maju berhubungan dan saling mempengaruhi dalam
dan bermukim di wilayah sekitar Teluk Palu. cara hidup serta kebudayaannya, sebagai
Kebudayaan Kaili dengan demikian merupakan kerajaan-kerajaan sekeluarga. Sawerigading
kebudayaan yang terbentuk dari akulturasi dan adalah tokoh legendaris yang dihubungkan
asimilasi kebudayaan To Sigi dengan kebudayaan dengan kedudukan Kerajaan Bone sebagai
Bugis Makassar. To Kaili kemudian berkembang kerajaan Bugis di Sulawesi Selatan yang
dan menyebar membentuk kelompok masyarakat mempunyai hubungan persaudaraan dengan
tersendiri. Hal itu bukan berarti meniadakan sama kerajaan-kerajaan di Tanah Kaili Sulawesi Tengah
sekali nilai sosial, tradisi, dan adat istiadat sekitar abad ke-17. Sementara kisah Sawerigading
induknya. Pembauran secara damai antara To Sigi dalam epos La-Galigo diperkirakan berlangsung
dan Bugis Makassar menjadi generasi baru yakni pada abad ke-9 dan abad ke-10. Sawerigading
To Kaili, meliputi seluruh aspek kehidupan antara dipandang sebagai peletak dasar dan cikal bakal
lain di bidang pertanian, pemerintahan, raja-raja Bugis di Sulawesi Selatan khususnya
perdagangan, dan sosial budaya. Sejak Kerajaan Luwu yang terletak di bagian utara Selat
terbentuknya masyarakat To Kaili dengan Bone (Mattulada 1983). Hubungan antara
kebudayaannya yang makin berkembang, mereka kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah dan
kemudian menyebar menempati Sulawesi Selatan tersebut disinyalir menjadi jalan
pemukiman-pemukiman di Lembah Palu terpisah yang turut mempercepat terjadinya proses
dari kelompok asalnya (Toana 1997). akulturasi dan asimilasi kebudayaan di Tanah
Sejarah asal-usul To Kaili juga dikisahkan Kaili.
melalui tradisi lisan yang diiringi dengan Proses akulturasi dan asimilasi kebudayaan
mitos-mitos, diantaranya legenda Sawerigading Kaili selanjutnya diilustrasikan dalam cerita rakyat
dan cerita rakyat Tomalanggai, dan To Manuru. yang mengisahkan pertemuan antara Tomalanggai
Mitos dalam bahasa Yunani mythos mempunyai (Pemimpin To Sigi) dengan To Manuru (asal kata
arti kisah, hikayat dari zaman purbakala (Bagus dari To Manurung dalam bahasa Bugis). To
2000). Mitos biasanya mengisahkan cerita yang Manuru digambarkan sebagai seorang putri cantik
aneh atau janggal, dan umumnya sulit dimengerti jelita laksana bidadari yang turun dari kayangan.
maknanya sehingga tidak mudah diterima Putri jelita bak bidadari ini sebenarnya adalah putri
kebenaran isinya. Meskipun demikian, karena Bangsawan Bugis Makassar (pendatang). To
sifatnya tersebut mitos dipandang sebagai sesuatu Manuru yang diartikan oleh To Kaili sebagai
yang suci atau bertuah. Mitos juga dapat manusia suci, sebenarnya dapat diartikan sebagai
digunakan sebagai alat pembenaran atau sumber orang yang lebih unggul kebudayaannya.
kebenaran dari suatu peristiwa atau kejadian Keunggulan kebudayaan yang dibawa oleh To
tertentu dan menjadi alat legitimasi kekuasaan Manuru antara lain dalam pengelolaan pertanian
pihak-pihak tertentu. Mitos mengungkapkan cara dengan sistem pengairan dan memperkenalkan
beradanya manusia di dunia, sebagai dasar tanaman baru yaitu padi. Kecantikan To Manuru
kehidupan sosial dan kebudayaannya (Susanto dengan keunggulan kebudayaannya tersebut
1987). kemudian memikat hati Tomalanggai dan berlanjut
Mitos tentang Sawerigading, Tomalanggai, dalam perkawinan antara keduanya. Terjadinya
dan To Manuru menyebar di seluruh wilayah yang perkawinan antara Tomalanggai dan To Manuru
dulu merupakan daerah kekuasaan masa adalah sebagai lanjutan kisah cinta antara
kemagauan atau masa kerajaan di Sulawesi Sawerigading dengan Ratu Ngginayo yang tidak
Tengah. Legenda Sawerigading merupakan mitos terwujud karena bencana alam. Sawerigading
Bugis yang menyebar dan memiliki pengaruh di secara formal dianggap sebagai tokoh pertama
beberapa kerajaan di Sulawesi Tengah. Beberapa yang mengadakan kontak sosial dengan To Sigi,

52
Naditira Widya Vol.14 No. 1 April 2020-BalaiArkeologi Kalimantan Selatan
p-ISSN: 1410-0932; e-ISSN: 2548-4125

dan sebagai perintis kontak-kontak sosial ‘orang Kaili yang berbahasa Kaili’ adalah
berikutnya. Mulusnya perkawinan antara masyarakat yang mendiami wilayah Balaesang,
Tomalanggai dari Sigi dengan To Manuru putri Sindue, Sirenja, Tawaeli, Palu, Biromaru, Dolo,
Bugis Makassar adalah sebagai salah satu Marawola, Banawa, dan Ampibabo (Masyhuda
realisasi kontak sosial yang pernah dirintis oleh 1991).
Sawerigading (Kerajaan Bugis) dengan Ratu Berdasarkan hasil kajian ilmiah tentang
Ngginayo (Kerajaan Sigi) jauh sebelumnya. asal-usul masyarakat Kaili dan kebudayaannya,
Perkawinan antara putri To Manuru dengan serta melalui tradisi lisan dalam legenda dan cerita
Tomalanggai di tingkat atas diikuti pula oleh rakyat tentang Sawerigading, Tomalanggai, dan
masyarakat ramai. Perkawinan antara To Manuru To Manuru; menggambarkan bahwa salah satu
dan Tomalanggai melahirkan keturunan-keturunan karakteristik masyarakat Kaili, yaitu sifat
yang kemudian hari makin berkembang keterbukaan dalam menjalin relasi dengan orang
membentuk generasi baru. Generasi-generasi lain. Tjatjo Thaha dalam Jamrin Abubakar
baru tersebut makin lama mulai melepaskan menyebutkan bahwa orang Kaili memiliki sifat
kebiasaan-kebiasaan kelompok induknya baik To gotong royong, kepribadian, dan keterbukaan
Sigi maupun kehidupan pendatang (Bugis sehingga dapat menerima siapa saja dari luar dan
Makassar). Genarasi baru yang mulai melepaskan lebur bersama. Masyarakat Kaili kemudian
diri dari ikatan-ikatan kebiasaan induknya itu mengkonstruksi ‘peristiwa-peristiwa bermakna
kemudian membentuk suatu masyarakat baru. dalam kehidupan bersama’ tersebut menjadi
Selanjutnya generasi baru itu tidak lagi sebagai To konsep sintuvu. Sintuvu adalah istilah yang
Sigi atau To Manuru (Bugis Makassar) tetapi lebih digunakan oleh masyarakat Kaili menunjuk pada
dikenal dengan suatu masyarakat baru dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara
nama masyarakat To Kaili. Awal terbentuknya bersama-sama (Abubakar 2011).
masyarakat To Kaili dengan demikian merupakan
hasil akulturasi dan asimilasi antara penduduk asli Sintuvu sebagai Pemersatu Perbedaan
To Sigi dengan suku Bugis Makassar sebagai
pendatang yang dalam cerita rakyat To Kaili Orang Kaili menyebut wilayah tempat
disebut sebagai Tomanuru (Mattulada 1983). tinggal mereka dengan istilah Tanah Kaili, yaitu
Kisah-kisah legendaris dan mitos-mitos di Tanah wilayah yang didiami oleh etnik Kaili di Sulawesi
Kaili ikut mengiringi perjalanan terbentuknya Tengah, letaknya di garis khatulistiwa, yaitu di
kebudayaan Kaili seperti sekarang ini. sebelah utara berbatasan dengan Sulawesi Utara,
Etnik Kaili pada perkembangan selanjutnya sebelah timur dengan Kabupaten Poso, sebelah
menjadi kelompok masyarakat terbesar di selatan dengan Kabupaten Luwu dan Mandar, dan
Sulawesi Tengah. Identifikasi etnologis yang sebelah barat dengan Selat Makassar (Hendrarto
digunakan dalam pengelompokkan etnik tersebut 1956). Tanah Kaili merupakan sebutan bagi
adalah menyangkut bahasa, dialek, ciri wilayah kerajaan-kerajaan di Lembah Palu, yang
kebudayaan, nama tempat, serta keadaan alam pernah mengalami masa kejayaan, yaitu Kerajaan
tertentu (Mattulada 1983). Orang Kaili atau disebut Palu, Tawaeli, Bora, dan Sigi. Kerajaan Sigi
To Kaili merupakan kelompok masyarakat di merupakan kerajaan paling besar dan disegani
Sulawesi Tengah yang memiliki ikatan karena kerajaan Sigi yang pertama kali
kebersamaan berdasarkan bahasa, adat istiadat, mengadakan hubungan dengan kerajaan Bone di
rasa persaudaraan, kekeluargaan, dan hubungan Sulawesi Selatan (Mamar 1984). Kata Kaili oleh
kekerabatan. Kelompok etnik Kaili di Sulawesi sebagian masyarakat dipercaya berasal dari nama
Tengah berdasarkan wilayah persebarannya terdiri pohon. Menurut tradisi lisan yang berkembang
dari 14 (empat belas) wilayah yaitu To: Palu, dalam masyarakat, To Kaili berasal dari
Biromaru, Dolo, Sigi, Pakuli-Banggai-Baluase- pegunungan sebelah timur yaitu berasal dari
Sibalaya-Sidondo, Lindu, Banggakoro, sebuah tempat bernama Buluwatumpalu. Tempat
Tamungkolowi-Baku, Kulawi, Tawaeli, Sausu- ini berada di sekitar bukit Paneki di Kecamatan
Balinggi-Dolago, Petimbe, Rarang, dan Parigi Sigi Biromaru dan sering disebut Raranggonau,
(Mattulada 1983). Sementara Masyhuddin yaitu wilayah pemukiman penduduk di mana
Masyhuda mengelompokkan etnik Kaili sebagai banyak ditumbuhi pohon bambu kecil yang subur.
53
Budaya Sintuvu Masyarakat Kaili Sulawesi Tengah- Dwi Septiwiharti, Septiana Dwiputri Maharani, dan Rizal Mustansyir (47-64)
Doi:10.2483/nw.v14.i1.419

Pemukiman tersebut kemudian diberi nama Palu belakang orang Kaili yang bersifat terbuka
yang merupakan cikal bakal Kota Palu (Abubakar menyebabkan masyarakat Kaili mudah
2010). berinteraksi dan bekerja sama dengan orang lain.
Orang Kaili memiliki kecenderungan Keterbukaan orang Kaili antara lain
memberikan nama tempat tinggal atau kampung ditunjukkan dalam dua hal sebagai berikut:
yang ditempati berdasarkan nama pohon atau 1) sikap menerima semua etnik yang datang di
tumbuh-tumbuhan. Kaili merupakan nama pohon Tanah Kaili, 2) cara berkomunikasi, semua orang
yang sekarang ini sudah sangat langka, di wilayah Kaili bisa berbahasa Indonesia sampai di
Pantai Barat Kabupaten Donggala Sulawesi pedalaman dan di gunung-gunung. Keterbukaan
Tengah masih ada beberapa pohon Kaili dapat masyarakat Kaili yang ditunjukkan dengan
ditemukan. Pohon Kaili atau disebut juga pohon kemampuan berkomunikasi dalam bahasa
Tiro Ntasi, yaitu pohon yang menjulang tinggi di Indonesia tersebut sudah berlangsung lama.
pegunungan Pakuli sebagai pedoman bagi Masyarakat To Kaili, meskipun memiliki bahasa
penduduk dalam melakukan perjalanan ke daerah bahkan sangat kaya dengan beragam
mana-mana (Hendrarto 1956). Itu sebabnya orang dialeknya sebagai bentuk ikatan sosial dan
Kaili keberadaannya terserak seperti kebudayaan masyarakatnya, namun kelebihan dari
tumbuh-tumbuhan, sebagimana terseraknya putra masyarakat Kaili adalah penguasaan mereka
raja yang berkuasa pada masa kerajaan terhadap bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia.
disebabkan masyarakat Kaili hidup dalam Semua orang Kaili baik yang tinggal di perkotaan,
kelompok-kelompok yang menyebar di Sulawesi pedalaman, maupun pegunungan menguasai
Tengah. Hal itu juga yang menyebabkan lahirnya bahasa Indonesia sejak masa kemerdekaan. Hal
bermacam-macam dialek dan subdialek bahasa ini menyebabkan masyarakat Kaili sangat terbuka
Kaili (bukan subetnik) setelah beratus-ratus tahun terhadap kehadiran etnik lainnya, dan faktanya
perkembangannya. Lebih dari 70% perkampungan semua etnik yang mendiami wilayah Sulawesi
Kaili berasal dari nama tumbuh-tumbuhan. Contoh Tengah hidup berdampingan secara damai sampai
nama kampung Kaili antara lain Tawaili, dari kata dengan sekarang. Meskipun demikian, ada
Tavaa Kaili artinya pohon Kaili yang ditandai untuk kekhawatiran tersendiri akibat melemahnya
perkampungan tempat turunnya raja yang penggunaan bahasa daerah dalam kehidupan
kemudian menjadi pusat kerajaan Kaili. Contoh masyarakat Kaili (Sumber: Tjatjo Tuan Sjaichu,
lain nama kampung Marawola berasal dari kata hasil wawancara tanggal 13 Agustus 2018).
maravola, Tibo dari kata Tivo yaitu kulit kayu. Keterbukaan masyarakat Kaili selain
Bahasa Kaili terdiri atas bermacam-macam dialek ditunjukkan dalam bentuk kemudahan
kurang lebih berjumlah 24 dialek. Sebutan orang berkomunikasi, juga ditunjukkan dalam hubungan
yang berdialek Kaili contohnya Topo Daa artinya kerja sama dengan berbagai suku yang datang
orang yang berdialek Daa,Topo Rai artinya orang sehingga tinggal menetap dan hidup secara damai
yang berdialek Rai, dan seterusnya (Sumber: di Tanah Kaili. Masyarakat Kaili yang awalnya
Tjatjo Tuan Sjaichu, hasil wawancara tanggal 13 hidup apa adanya, lambat laun memiliki kesadaran
Agustus 2018). untuk membuka diri dalam menjalin kerja sama
Masyarakat Kaili adalah masyarakat yang dengan suku lainnya. Kedatangan budaya lain ke
sangat menghormati dan menghargai leluhurnya. Tanah Kaili mengubah pola pikir masyarakat Kaili.
Orang Kaili sangat berhati-hati ketika menyebut Wujud penyatuan dan saling menghargai
nama orang tua atau leluhurnya. Namun, etnik masyarakat Kaili dengan suku-suku lainnya yaitu
Kaili juga sangat menghargai orang lain di luar dalam bentuk keterlibatan langsung atau
etniknya baik yang datang maupun tinggal bersentuhan langsung dalam kegiatan-kegiatan
menetap di Tanah Kaili. Penghormatan terhadap kemasyarakatan diantaranya dalam kegiatan
orang lain dalam masyarakat Kaili ditunjukkan upacara adat, upacara daur hidup, dan kegiatan
dalam perilaku. Perilaku yang paling menonjol lainnya yang membutuhkan kerja sama gotong
dalam budaya Kaili adalah kebersamaan dan royong. Keterbukaan masyarakat Kaili juga terlihat
keterbukaan masyarakatnya, sebagaimana dalam bentuk kegiatan kawin mawin masyarakat
dikisahkan dalam cerita rakyat, legenda maupun Kaili dengan suku-suku lain dalam rangka
berdasarkan hasil penelitian para ahli di atas. Latar

54
Naditira Widya Vol.14 No. 1 April 2020-BalaiArkeologi Kalimantan Selatan
p-ISSN: 1410-0932; e-ISSN: 2548-4125

mempererat persaudaraan (Sumber: Hambali, masyarakat pendatang pun harus menghargai


hasil wawancara tanggal 26 Februari 2019). kebudayaan Kaili (Sumber: Andi Tjimbu Tagunu,
Masyarakat Kaili merupakan masyarakat hasil wawancara tanggal 27 September 2018).
yang sangat toleran sehingga kerukunan sangat Hukum adat (Atura Nu Ada) bagi masyarakat Kaili
mudah tercipta disebabkan etnik Kaili tidak merupakan sumber norma dalam mewujudkan
membedakan suku, agama, ras, adat istiadat. tatanan kehidupan bersama yang harmonis di
Persatuan sangat dijunjung tinggi dalam Tanah Kaili.
masyarakat Kaili (Sumber: Dg. Manota, hasil Masyarakat Kaili memiliki hukum adat (Atura
wawancara tanggal 18 September 2018). Namun, Nu Ada) yang sangat teratur. Pembagian sistem
keterbukaan masyarakat Kaili dipahami sebagai keadatan sangat terorganisir, masing-masing
keterbukaan yang didasarkan oleh norma-norma memiliki tugas sehingga tidak bisa saling
etis (keadatan). Bahwa siapa pun dan dari etnik mencampuri. Masyarakat Kaili pada awalnya
mana pun yang datang dan tinggal di tanah Kaili memiliki sistem kekerabatan matrilineal sebelum
akan diterima dengan baik, namun harus masuknya Islam. Oleh karena itu, orang Kaili
mengikuti semua peraturan keadatan Kaili. memiliki adat yang disebut bulonggo, yaitu
Masyarakat Kaili adalah masyarakat yang masih perempuan sebagai pemegang adat. Orang Kaili
menjunjung tinggi norma-norma keadatan. malu besar jika perempuan melakukan kesalahan.
Hubungan antara sesama anggota masyarakat Penghargaan orang Kaili terhadap perempuan
diatur dalam norma-norma keadatan yang harus demikian besar. Sebagai contoh, dalam
dipatuhi. Sebagai contoh, hubungan antara masyarakat Kaili dikenal adanya polisa nuada
golongan muda dan golongan tua dalam (bendahara adat) yang dipegang oleh perempuan.
masyarakat Kaili didasarkan atas nilai-nilai Contoh lain penghargaan orang Kaili terhadap
penghormatan. Golongan muda masih menjunjung perempuan dapat dilihat dari bentuk rumah adat
tinggi nasihat atau petuah dari golongan tua. Oleh Kaili yang memiliki dua tangga, yaitu di sebelah kiri
karena itu, keteladanan dari golongan tua sangat dan kanan. Maknanya adalah bahwa orang Kaili
berpengaruh dalam masyarakat Kaili. Jika ada sangat menyayangi perempuan sehingga laki-laki
persoalan dalam masyarakat yang terkait dengan dan perempuan mempunyai tangganya
perilaku, contohnya perselisihan dan konflik-konflik masing-masing untuk dinaiki dan dilewati pada
dalam masyarakat; maka wilayah keadatan yang saat turun. Jika tangga yang dinaiki adalah
menangani masalah tersebut, yaitu melalui sebelah kiri, maka tangga yang dilewati untuk
aturan-aturan yang telah disepakati dalam turun juga di sebelah kiri, dan sebaliknya. Jika
norma-norma keadatan (Atura Nu Ada). tangga yang dinaiki dari sebelah kanan, maka
Sementara persoalan kriminal dan persoalan tangga yang dilewati untuk turun juga dari sebelah
hukum lainnya penyelesaiannya merupakan kanan (Sumber: Tjatjo Tuan Sjaichu, hasil
wilayah hukum positif (Sumber: Arsyid Musaera, wawancara tanggal 13 Agustus 2018). Inilah salah
hasil wawancara tanggal 12 September 2018). satu wujud budaya sintuvu dalam bentuk benda
Keterbukaan dalam masyarakat Kaili yang bermakna simbolik.
didasari oleh aturan-aturan atau norma-norma Bertolak dari kenyataan tersebut, maka
sebagaimana ketentuan dalam hukum adat. mengenal budaya sintuvu dalam masyarakat
Kebebasan dalam masyarakat Kaili merupakan Kaili tentu tidak dapat dilepaskan dari pengenalan
kebebasan yang dapat dipertanggungjawabkan. atas karakteristik To Kaili. Makna keterbukaan
Hukum adat To Kaili (Atura Nu Ada) berlaku untuk dalam masyarakat Kaili perlu dikaji dan dipahami
semua warga masyarakat yang tinggal di Tanah sehingga menemukan pola-pola dasar hidup
Kaili. Hal ini mengandung pengertian bahwa bersama yang dibangun oleh masyarakat Kaili,
masyarakat yang datang atau masuk ke wilayah khususnya dalam budaya sintuvu.
yang dihuni oleh etnik Kaili seharusnya juga Budayawan Kaili Sulawesi Tengah, Tjatjo
bersikap loyal terhadap kebudayaan Kaili agar Tuan Sjaichu Al Idrus dalam wawancara tanggal
terjadi kehidupan yang harmonis. Masyarakat Kaili 13 Agustus 2018 menguraikan tentang
mampu beradaptasi dengan masyarakat karakteristik To Kaili sebagai berikut:
pendatang jika masyarakat pendatang bersikap
menghargai masyarakat asal. Oleh karena itu, “Orang Kaili menerima siapa saja orang yang
datang ke Tanah Kaili, tetapi jangan berbuat
55
Budaya Sintuvu Masyarakat Kaili Sulawesi Tengah- Dwi Septiwiharti, Septiana Dwiputri Maharani, dan Rizal Mustansyir (47-64)
Doi:10.2483/nw.v14.i1.419

hal-hal yang tidak baik. Dalam hal akulturasi dan bahasa daerah di wilayah Sulawesi Tengah yang
asimilasi budaya, orang Kaili sangat memegang mengandung makna kata ‘tidak’ atau ingkar dapat
teguh kebudayaannya. Sebagai contoh, orang dipastikan merupakan satu rumpun keluarga besar
Kaili jika melaksanakan kawin mawin dengan bahasa Kaili. Mengapa semua dialek bahasa Kaili
suku lain akan tetap memegang adatnya. Hal ini
mengandung makna tidak atau ingkar?
ditunjukkan melalui kesepakatan bahwa adat
perkawinan Kaili selalu dilaksanakan di rumah
Berdasarkan keterangan Budayawan Kaili Tjatjo
pihak perempuan dengan menggunakan adat Tuan Sjaichu Al Idrus, disebutkan maksud atau arti
Kaili. Apabila akan dilaksanakan dengan adat dari kata tidak (ingkar) dalam bahasa Kaili sebagai
lain, maka dibolehkan setelah dilaksanakan lebih berikut:
dahulu dengan adat Kaili. Karakteristik orang kaili “Watak orang Kaili tidak bisa dipaksakan
juga ditunjukkan dalam prinsip-prinsip yang kuat, jika sudah mengatakan tidak, namun jika sudah
bahwa orang Kaili dalam membela bersahabat mereka akan sangat baik. Bahasa Kaili
kehormatannya maka ‘darah taruhannya’. semua ingkar (tidak), hal ini menyangkut masalah
Tentang hal-hal yang prinsip, jika ada dua orang prinsip hidup masyarakat Kaili. Jika ada sesuatu
bersikukuh dengan prinsipnya maka orang Kaili yang dipertahankan, maka akan mengatakan
pada zaman dahulu biasanya saling berhadapan
tidak. Dalam sejarah Indonesia, suku bangsa Kaili
beradu fisik masuk ke dalam sebuah sarung.
Tetapi jika tidak ada yang kalah, maka mereka
hanya 40 tahun dijajah. Sifat orang Kaili
akan berdamai. Artinya, masalah harga diri bagi menantang sesuatu apa yang tidak diinginkan atau
orang Kaili tidak ada tawar menawar, namun tidak disetujui. Namun, sikap orang Kaili tidak
orang Kaili juga bersifat mudah berdamai dengan kontroversi. Orang Kali berkata tidak untuk hal-hal
orang lain. Prinsip-prinsip tersebut sekarang yang tidak diinginkan, tetapi jika ada hal-hal yang
sudah lemah karena berbagai pengaruh dari diinginkan maka orang Kaili bersatu atau
luar.” ber-sintuvu.”
Mengapa dialek bahasa Kaili demikian
Bahasa Kaili memiliki dialek dan subdialek beragam? Ketua Majelis Adat Kecamatan Banawa
yang demikian beragam. Berdasarkan hasil Kabupaten Donggala menjelaskan bahwa sejarah
penelitian Haliadi (2009) berjudul Keragaman Suku Kaili ada yang tersirat dan ada yang tersurat.
Kaili di Sulawesi Tengah, disebutkan bahwa dialek Sejarah Kaili yang tersirat bersifat mitis,
bahasa Kaili berjumlah 24 (dua puluh empat) sedangkan sejarah Kaili yang tersurat dapat diteliti
dialek yaitu: Kaili Ledo, Tara, Rai, Doi, Ija, Taa, secara ilmiah. Sejarah Kaili dapat ditinjau dari
Unde, Ende, Inde, Daa, Edo, Ado, Tado, Moma, dimensi adat, dimensi bahasa, dan asal-usul To
Pendau, Njedu, Kori, Ndepuu, Taje, Tajio, Sedoa, Kaili. Secara mitis sejarah tentang Kaili adalah
Tavaelia, Bare’e, dan Tiara. Hambali menyangkut asal-usul To Kaili dan bahasa Kaili.
menambahkan bahwa dialek-dialek dalam bahasa Sejarah tentang asal-usul suku Kaili dikenal dalam
Kaili tersebut juga memiliki subdialek dibawahnya istilah “ulu jadi tana sanggamu” yaitu asal mula
lagi, diantaranya: Bahasa Kaili Unde misalnya kejadian tanah segenggam. Dimensi mitis tentang
terdiri dari Unde Giya, Unde Puhiya, Unde Boa, asal-usul bahasa Kaili dikenal melalui cerita
Undepu. Bahasa Kaili Daa terdiri dari Daa Vou, orang-orang tua mengenai “bulupembagi bahasa”
Daa Ria, Daa Mana. Bahasa Kaili Ado terdiri dari yaitu kejadian saat bahasa Kaili diturunkan. Bulu
Ado Mbui, Ado Mbe, Ado Ria. Bahasa Kaili Rai artinya gunung yang keberadaannya di wilayah
terdiri dari Rai Ria, Rai Moje, Rai Maka. Bahasa Sindue Kabupaten Donggala (Sumber: Hambali,
Kaili Doi terdiri dari Doi Giya, Doi Ria, dan lain hasil wawancara tanggal 26 Februari 2019).
sebagainya. Bahasa Kaili Lea merupakan salah Terjadinya bermacam-macam dialek bahasa
satu bahasa Kaili yang sudah punah (Sumber: Kaili disebabkan adanya pombare bahasa atau
Hambali, hasil wawancara tanggal 26 Februari pembagian bahasa. Raja yang berkuasa membagi
2019). bahasa-bahasa tersebut sesuai dengan
Semua dialek dalam bahasa Kaili tersebut kelompoknya masing-masing. Pada saat terjadi
mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu mengandung perang saudara antarsuku sekitar 1000 tahun yang
makna kata ‘tidak’ atau ingkar. Contohnya Ledo lalu, orang-orang yang berperang pada saat
artinya tidak, Tara artinya tidak, Rai artinya tidak, disebut Kaili mereka akhirnya bersatu kembali.
Doi artinya tidak, dan seterusnya. Semua Terjadilah kebersamaan dalam perbedaan, itulah
mengandung arti tidak. Oleh karenanya, semua
56
Naditira Widya Vol.14 No. 1 April 2020-BalaiArkeologi Kalimantan Selatan
p-ISSN: 1410-0932; e-ISSN: 2548-4125

yang disebut dengan sintuvu. Konsep sintuvu lahir kekeluargaan dan biasanya diatur sesuai perintah
dari kebersamaan dalam perbedaan, salah atau komando dari kepala suku yaitu Tomalanggai.
satunya perbedaan dialek bahasa Kaili yang Sutan Takdir Alisjahbana dalam buku yang
bermacam-macam tersebut (Sumber: Tjatjo Tuan berjudul ”Sejarah Kebudayaan Indonesia Masuk
Sjaichu, hasil wawancara tanggal 13 Agustus Globalisasi Umat Manusia” menyebut gotong
2018). Sintuvu sebagai prinsip hidup bersama royong sebagai kebudayaan Indonesia yang
dalam masyarakat Kaili sekaligus menggambarkan pertama (Alisjahbana 1991). Budaya gotong
karakteristik orang Kaili yang mengutamakan royong atau kerja sama dalam masyarakat
kekeluargaan dan kemufakatan dalam realitas Indonesia pada awalnya terlihat pada waktu orang
konkret hidup bermasyarakat. Sintuvu dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan penting seperti
demikian menjadi pemersatu perbedaan dalam mengerjakan sawah, merambah hutan,
masyarakat Kaili yang memiliki banyak dialek pelaksanaan upaca kelahiran, perkawinan,
bahasa dan karakteristik tersebut. penguburan, dan kejadian-kejadian penting lainnya
dalam masyarakat. Prinsip kesamaan dalam
Sintuvu sebagai Budaya Gotong Royong masyarakat gotong royong mencerminkan
demokrasi, tidak menunjukkan adanya
Istilah sintuvu dalam masyarakat Kaili tingkat-tingkat selain dari segi usia. Biasanya yang
Tara di Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi menjadi ketua atau pemimpin kelompok adalah
Tengah memiliki sinonim atau padanan dengan yang terbaik di antara sesamanya (primus inter
kata pakasongu. Pengertian pakasongu dipahami pares). Kehidupan bersama diatur oleh adat
dalam tiga istilah, yaitu pakasongu, istiadat, oleh karenanya masyarakat Indonesia
nompakasongu, dan mompakasongu. Pakasongu dikenal sebagai masyarakat yang tenang,
merupakan kata kerja, nompakasongu merupakan tenteram, dan penuh tanggung jawab.
kata sifat, dan mompakasongu merupakan sebuah Budaya sintuvu lahir dari masyarakat Kaili
prinsip atau simbol. Kata pakasongu yang berasal ketika menghadapi persoalan-persoalan yang
dari kata dasar songu mengandung makna dirasa berat sehingga memerlukan kerja sama
kegotongroyongan, persatuan dalam satu ikatan. atau gotong royong. Prinsip gotong royong dalam
Pakasongu artinya persatuan yang sudah masyarakat Kaili dipahami sebagai aktivitas
mengikat sehingga memiliki konsekuensi normatif. masyarakat yang didasarkan pada nilai-nilai
Sintuvu atau pakasongu yang bermakna mengikat kekeluargaan dan musyawarah (libu) untuk
memiliki kedudukan sebagai dasar perilaku bagi menyelesaikan masalah publik secara
masyarakat Kaili yang dituangkan dalam hukum bersama-sama demi kepentingan bersama
adat (Sumber: Andi Tjimbu Tagunu, hasil (Gambar 3). Proses sintuvu dalam masyarakat
wawancara tanggal 27 September 2018). Kaili didahului dengan musyawarah (libu) untuk
Masyarakat Kaili sejak dahulu merupakan mendapatkan kemufakatan, dari hasil kemufakatan
kelompok masyarakat yang identik dengan tersebut kemudian dikerjakan dan
kebiasaan hidup berkelompok dan mengutamakan dipertanggungjawabkan secara bersama-sama.
persatuan dan kerja sama dalam kehidupan Oleh karenanya, sintuvu identik dengan
sehari-hari. Kehidupan To Kaili pada mulanya konsep gotong royong sebagai kebudayaan khas
adalah sebagai petani yang berkelompok dan Indonesia. Soekarno dalam Safroedin Bahar
berpindah-pindah. Setiap kelompok terdiri atas menegaskan bahwa gotong royong adalah paham
beberapa keluarga yang bekerjasama menggarap yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan
sawah atau kebun. Kerja sama dilakukan untuk (Bahar 1995). Gotong royong melibatkan semua
menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang orang dalam menyelesaikan persoalan secara
membutuhkan keterlibatan orang banyak, bersama-sama untuk kepentingan bersama,
sehingga pekerjaan terasa ringan dan cepat sehingga lahir prinsip ‘semua untuk semua’.
terselesaikan. Namun, pada masa Tomalanggai Prinsip kerja sama gotong royong mempunyai
bentuk kerja sama dalam kelompok masyarakat dimensi praktis. Gotong royong adalah usaha
Kaili belum dapat dikatakan sebagai kegiatan dalam menyelesaikan pekerjaan secara
gotong royong (sintuvu). Sebab, bentuk kerja bersama-sama. Merphin Panjaitan menyebut
sama yang dilakukan pada saat itu masih bersifat bahwa manusia gotong royong adalah pekerja
57
Budaya Sintuvu Masyarakat Kaili Sulawesi Tengah- Dwi Septiwiharti, Septiana Dwiputri Maharani, dan Rizal Mustansyir (47-64)
Doi:10.2483/nw.v14.i1.419

keras yang menjawab tantangan hidup secara Masyarakat Kaili memiliki kearifan
bersama-sama (Panjaitan 2013). budaya lokal tentang kebersamaan
diantaranya ajaran nosarara nosabatutu yang
mengandung nilai-nilai kekeluargaan dan
persatuan dalam kehidupan bermasyarakat.
Nosarara nosabatutu artinya persaudaraan
dalam wadah tali kasih (Sumber: Hambali,
hasil wawancara tanggal 26 Februari 2019).
Konsep tentang kebersamaan dalam
a b
masyarakat Kaili pada awalnya dimaknai
sebagai hubungan kekeluargaan berdasarkan
ikatan satu darah (nosarara), sebuah
pemahaman bahwa mereka bersaudara
karena memiliki ikatan secara geneologis.
Hubungan kekeluargaan tersebut disatukan
c d dalam satu wadah yang disebut batutu
Sumber: Dok. Hambali
sehingga melahirkan konsep nosabatutu.
Gambar 3 Kegiatan Gotong Royong Sintuvu Prinsip nosarara nosabatutu disinyalir
a. Kegiatan Sintuvu Upacara Balia Pompoura; b. lahir sejak lahirnya masyarakat Kaili yang
Kegiatan Sintuvu Upacara Daur Hidup; c. dikenal dengan sebutan To Kaili. Kelompok
Kegiatan Sintuvu Menanam Pohon Kelor; d
sosial dalam masyarakat Kaili pada masa
Kegiatan Sintuvu Penyelesaian Konflik
kepemimpinan tradisional diperintah oleh
Berdasarkan hasil penelusuran peneliti, ada seorang kepala suku disebut Tomalanggai.
beberapa budaya Kaili yang dapat dikategorikan Pada masa Tomalanggai orang Kaili sudah
sebagai budaya kebersamaan. Kearifan-kearifan mengenal prinip-prinsip kebersamaan dalam
lokal masyarakat Kaili yang memiliki korelasi ajaran nosarara nosabatutu. Ajaran nosarara
dengan budaya kebersamaan sintuvu diantaranya nosabatutu merupakan prinsip tentang
nosarara nosabatutu, ada nosibolai, libu ntodea, kekeluargaan atau persaudaran dan
dan tonda talusi. Kearifan-kearifan dalam budaya persatuan masyarakat Kaili yang didasarkan
Kaili tersebut mempunyai korelasi dengan konsep atas hubungan darah (Sumber: Haliadi, hasil
sintuvu sebagai budaya gotong royong dalam wawancara tanggal 13 Agustus 2018). Kata
masyarakat Kaili. Kearifan-kearifan dalam nosarara terdiri dari kata dasar ‘sarara’ artinya
nosarara nosabatutu, ada nosibolai, libu ntodea, keluarga. Berkeluarga memiliki tiga
dan tonda talusi mengekspresikan nilai-nilai pengertian yakni 1) berumah tangga;
tentang kebersamaan. Nilai-nilai tersebut relevan mempunyai keluarga, 2) bersanak saudara
untuk dikaji dalam rangka menemukan nilai yang (dengan); berkerabat (dengan), 3) menikah;
sebenarnya dari budaya sintuvu dalam masyarakat mempunyai istri/ suami. Dalam konteks ini
Kaili. berkeluarga identik dengan bersanak saudara
Nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai (dengan); berkerabat (dengan). Nosarara
kekeluargaan dan persatuan pada prinsip nosarara mengandung banyak makna antara lain 1)
nosabatutu; nilai keterbukaan dan kekeluargaan nosangurara (hati), 2) nosanguraa (darah),
dalam ada nosibolai,; nilai musyawarah mufakat dan nosampesuvu (bersaudara). Nosabatutu
dan tanggung jawab dalam libu ntodea; serta nilai artinya keluarga, komunitas, dari rahim ibu
kekeluargaan, musyawarah, kerja sama, dan yang sama (Ponulele 2007).
harmoni dalam tonda talusi. Identifikasi nilai-nilai Nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran
yang terkandung dalam budaya kebersamaan nosarara nosabatutu ditinjau berdasarkan
yang lahir dan berkembang dalam masyarakat teori objektivisme nilai Max Scheler tentang
Kaili tersebut, dideskripsikan sebagai berikut: hierarkis nilai merupakan nilai vital dan
1. Nosarara nosabatutu (prinsip kekeluargaan spiritual dalam kehidupan masyarakat Kaili.
dan persatuan) Objektivisme aksiologis Scheler merupakan
objekivisme absolut. Scheler menolak teori

58
Naditira Widya Vol.14 No. 1 April 2020-BalaiArkeologi Kalimantan Selatan
p-ISSN: 1410-0932; e-ISSN: 2548-4125

‘relatif’ dan ‘subjektif’ tentang nilai. Scheler makin tinggi keberadaannya. Nilai yang
beranggapan bahwa eksistensi nilai tidak tertinggi dari semua nilai adalah nilai mutlak.
bergantung sama sekali pada pemahaman Objek nilai yang abadi selalu lebih disukai dari
subjek. Scheler mengatakan bahwa terdapat yang sementara dan mudah berubah
sekian banyak nilai tak terbatas yang tak (Wahana 2004).
terjangkau oleh inderawi manusia. Scheler Prinsip nosarara nosabatutu
menolak dependensi nilai pada realitas mengajarkan tentang kekeluargaan
kehidupan. Kehidupan merupakan suatu (nosarara) dan persatuan (nosabatutu) untuk
fakta, yang tidak dengan sendirinya dikaitkan menciptakan kehidupan yang harmonis.
dengan nilai. Nilai merupakan suatu yang Nosarara nosabatutu sebagai prinsip
ditambahkan untuk diwujudkan dalam kekeluargaan dan persatuan masyarakat Kaili
kehidupan. Singkatnya, nilai merupakan objek mengandung nilai-nilai vital yang berorientasi
ideal, yang bersifat tetap tak terpengaruh oleh pada kesejahteraan sosial. Prinsip
apapun. kekeluargaan pada konsep nosarara
Nilai objektif tersebut secara hierarkis nosabatutu juga mengindikasikan adanya
saling terkait yang meliputi nilai kesenangan, persepsi sentimental spiritual dan preferensi
nilai vitalitas, nilai spiritual, dan nilai kesucian. spiritual. Salah satu contoh persepsi
Nilai vitalitas atau kehidupan terdiri dari sentimental dan preferensi spiritual dalam
nilai-nilai rasa kehidupan yang meliputi luhur, konsep nosarara yaitu prinsip mencintai orang
halus, atau lembut hingga yang kasar. Nilai lain seperti saudara sendiri yang tercermin
kehidupan juga mencakup nilai baik yang dalam ungkapan “sararata le atau sararata ia”
berlawanan dengan jelek. Nilai-nilai yang yang artinya saudara kita ‘dia'. Sedangkan
diturunkan dari tingkatan ini memuat nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam
kesejahteraan pada umumnya, baik dalam ajaran nosabatutu masyarakat Kaili,
skala komunitas atau pribadi. Scheler sebagaimana pendapat Haliadi yaitu rasa
menyebutkan bahwa seseorang menangkap senasib sepenanggungan, menghargai dan
nilai spiritual melalui persepsi sentimental menjaga kekayaan bersama untuk
spiritual dan dalam kegiatan preferensi kepentingan bersama, menjaga kerahasiaan,
spiritual yaitu cinta dan benci (Frondizi 2001). dan kehati-hatian atau kewaspadaan (Haliadi
Scheler dalam menentukan hierarkhi nilai 2006).
didasarkan atas kriteria sebagai berikut: 1) Nosarara nosabatutu merupakan prinsip
lamanya nilai itu bertahan atau sifat yang menggambarkan bahwa masyarakat
keabadian; 2) ketidakmungkinan untuk dibagi Kaili lebih mengutamakan kerukunan hidup
(divisibility), makin tinggi derajat sebuah nilai bersama atau harmoni yang di dasarkan pada
maka makin kecil sifatnya untuk dibagi-bagi; konsep kebersatuan yang mengarah pada
3) nilai dasar, jika satu nilai menjadi dasar prinsip-prinsip spiritualitas. Oleh karena itu,
bagi nilai yang lain, maka kedudukan nilai nosararanosabatutu mengakar kuat dalam
tersebut lebih tinggi dari nilai yang lain; 4) kehidupan masyarakat Kaili sebagai sebuah
kedalaman kepuasan sebuah nilai, bahwa kelompok etnik. Dari konsep nosarara
kepuasan itu berasal dari persepsi nosabatutu masyarakat Kaili mengenal
sentimental atas satu nilai yang lebih dalam konsep kekeluargaan dan persatuan yang
daripada nilai yang lain; yang eksistensinya berkembang menjadi konsep sintuvu yaitu
tidak tergantung pada persepsi sentimental persatuan yang didasari oleh musyawarah
atas nilai yang lain. Kepuasan jangan mufakat (libu ntodea).
dikacaukan dengan kenikmatan, meskipun
kenikmatan merupakan hasil dari kepuasan; 2. Ada nosibolai (prinsip keterbukaan)
5) relativitas, bahwa relativitas mengacu pada Masyarakat Kaili adalah masyarakat
esensi nilai itu sendiri. Nilai ditemukan dalam egaliter yang menerima secara terbuka
perasaan dan preferensi yang kehadirannya kehadiran kelompok-kelompok etnik lainnya di
dekat dengan nilai mutlak. Nilai mutlak itu Tanah Kaili. Orang Kaili (To Kaili) sangat
jelas (evident). Makin kurang kerelatifan nilai, terbuka terhadap etnik lainnya sejak zaman
59
Budaya Sintuvu Masyarakat Kaili Sulawesi Tengah- Dwi Septiwiharti, Septiana Dwiputri Maharani, dan Rizal Mustansyir (47-64)
Doi:10.2483/nw.v14.i1.419

dahulu, yaitu pada masa kerajaan. Salah satu atau nosinggava jarita (Kaili Ledo). Mufakat
bentuk keterbukaan masyarakat Kaili dibedakan dari pengertian kesepakatan
ditunjukkan dalam tradisi kawin mawin dalam arti sempit, kesepakatan dalam bahasa
antaretnik disebut adanosibolai. Tradisi kawin Kaili disebut dengan istilah jarita.
mawin antar etnik tersebut awalnya dilakukan Kesepakatan dalam kata jarita mengandung
oleh raja dan bangsawan di lingkungan makna persetujuan yang dibuat oleh dua
kerajaan kemudian diikuti oleh kalangan orang atau lebih dalam konteks pribadi bukan
masyarakat biasa. Tradisi ada nosibolai pada publik (Sumber: Hambali, hasil wawancara
awalnya merupakan usaha bangsawan di tanggal 26 Februari 2019). Sedangkan
masa lalu untuk menyebarkan keturunannya mufakat dalam istilah nosirata jarita atau
ke daerah lain dengan cara perkawinan nosinggava jarita maknanya adalah ‘ketemu
(Melalatoa 1995). Tradisi ini masih berlaku pembicaraan’ berdasarkan musyawarah yang
sampai dengan sekarang, baik di lingkungan dilakukan oleh orang banyak (ntodea)
masyarakat keturunan raja dan bangsawan berkaitan dengan kepentingan publik
(magau dan madika) maupun masyarakat (Sumber: Timuddin, hasil wawancara tanggal
biasa (ntodea). Sejak dahulu, tidak ada 26 Juli 2018). Musyawarah mufakat (libu
larangan bagi masyarakat Kaili dalam ntodea) sangat dibutuhkan dalam masyarakat
melangsungkan pernikahan dengan etnik untuk menjaga kerukunan hidup bersama.
mana pun. Melalui ada nosibolai masyarakat Musyawarah mufakat dalam masyarakat Kaili
Kaili ingin menunjukkan sifat keterbukaannya biasanya dilaksanakan di sebuah tempat
dalam menjalin hubungan kekeluargaan dan pertemuan disebut baruga/ bantaya (Gambar
persaudaraan. Keterbukaaan etnik Kaili 4)
melalui ada nosibolai tersebut merupakan
salah satu kearifan masyarakat Kaili dalam
membangun kebersamaan dengan etnik
lainya.

3. Libu ntodea (prinsip musyawarah mufakat)


Musyawarah merupakan salah satu
bentuk kearifan masyarakat Kaili dalam
menyelesaikan suatu permasalahan secara
kekeluargaan untuk mencapai kemufakatan.
Musyawarah mufakat lazimnya dilaksanakan
oleh orang banyak sehingga disebut libu
ntodea. Orang Kaili dikenal memiliki prinsip
yang sangat kuat dalam mempertahankan
kebenaran, tetapi sekaligus mempunyai sikap Sumber: Dok. Pribadi
mudah berdamai dengan orang lain. Sikap Gambar 4 Baruga/ Bantaya
mudah berdamai artinya bahwa orang Kaili
menempatkan musyawarah mufakat sebagai 4. Tonda talusi (prinsip harmoni)
cara dalam mengatasi persoalan. Sebab, jika Prinsip kebersamaan dalam konsep
sudah terjadi kemufakatan maka orang Kaili sintuvu masyarakat Kaili direalisaikan dalam
akan menerima dan bertanggung jawab atas sistem atau pola yang disebut tonda talusi.
hasil kemufakatan tersebut. Tonda artinya tungku, talusi artinya tiga
Istilah musyawarah mufakat sesuai penyangga (Sumber: Tjatjo Tuan Sjaichu,
penggunaannya dalam masyarakat Kaili hasil wawancara tanggal 13 Agustus 2018).
disebut dalam beberapa pengertian, yaitu libu Tonda talusi merupakan kearifan lokal
(musyawarah), molibu (mengundang orang masyarakat Kaili dalam mewujudkan
untuk bermusyawah), dan polibu (tempat harmonisasi sebagaisuatu upaya untuk
bermusyawarah). Istilah mufakat dalam meminimalisir terjadinya konflik (Sumber:
bahasa Kaili disebut nosirata jarita (Kaili Rai) Iksam, 26 September 2018). Tonda talusi
dalam konteks kebersamaan masyarakat Kaili
60
Naditira Widya Vol.14 No. 1 April 2020-BalaiArkeologi Kalimantan Selatan
p-ISSN: 1410-0932; e-ISSN: 2548-4125

merupakan sistem nilai yang dibangun atas masing-masing diharapkan dapat mencegah
dasar konsep sintuvu untuk mewujudkan terjadinya tindakan-tindakan yang dapat
keharmonisan dalam masyarakat. Nilai-nilai mengganggu ketenteraman warga
yang mendasari tonda talusi adalah masyarakat serta menghindari terjadinya
kekeluargaan, musyawarah, kerja sama, dan konflik yang berkepanjangan (Sumber:
harmoni. Timuddin, hasil wawancara tanggal 26 Juli
Tonda talusi adalah filosofi masyarakat 2018).
Kaili yang menggambarkan hubungan Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Kaili
harmonis antara manusia dengan alam dalam prinsip nosarara nosabatutu, ada
semesta, dengan sesama manusia, dan nosibolai, libu ntodea, dan tonda talusi
dengan Tuhan. Tonda talusi artinya tiga menggambarkan bahwa masyarakat Kaili
penyangga (tungku) kehidupan masyarakat adalah masyarakat yang memiliki karakter
Kaili. Prinsip-prinsip kebersamaan dalam kuat dalam menjalin hubungan kebersamaan
falsafah Tonda Talusi, meliputi 3 pilar dan kerja sama dengan orang lain. Nilai-nilai
kehidupan masyarakat Kaili yang dilandasi dasar yang dibangun dalam kebersamaan
nilai-nilai kebaikan, yaitu: 1) Matuvu Mosipeili masyarakat Kaili dalam perjalanan
artinya baku lihat, 2) Matuvu Mosiepe artinya sejarahnya, kemudian dipahami oleh
baku dengar, 3) Matuvu Mosimpotove artinya masyarakat Kaili sebagai komponen yang
baku sayang. Tonda Talusi menggambarkan membentuk budaya persatuan atau gotong
tiga tungku penyangga kehidupan dalam royong disebut sintuvu. Latar belakang
masyarakat Kaili (Sumber: Rum Parampasi, lahirnya sintuvu adalah semangat
hasil wawancara tanggal 24 Juli 2018). kebersamaan atau persatuan masyarakat
Konsep tonda talusi dalam Kaili yang dilandasi oleh nilai-nilai harmoni,
perkembangannya dimaknai sebagai kekeluargaan,semangat berbagi, solidaritas,
hubungan kerja sama dalam masyarakat musyawarah mufakat, tanggung jawab, dan
antara pemerintah, tokoh adat, dan tokoh keterbukaan. Nilai-nilai keutamaan tersebut
agama sebagai representasi dari harmonisasi menjadi nilai dasar dalam memahami budaya
hubungan manusia dengan alam semesta, sintuvu sebagai prinsip persatuan dalam
sesama manusia, dan Tuhan. Tonda Talusi masyarakat Kaili.
merupakan pendekatan untuk mencegah
terjadinya konflik dalam masyarakat Kaili PENUTUP
melalui tiga pilar tersebut agar masyarakat
senantiasa merasa tenteram dan nyaman Indonesia adalah bangsa yang multikultur
hidup di tanah Kaili. Tonda talusi merupakan dengan keberagaman suku, agama, ras, dan adat
warisan pranata sosial yang dibangun para istiadat. Semangat kebersamaan dalam slogan
leluhur sejak ratusan tahun silam sebagai Bhinneka Tunggal Ika sebagai pengikat
kearifan To Kaili. Tonda talusi sebagai tiga keberagaman bangsa Indonesia mulai luntur
pilar penyangga kehidupan dalam masyarakat dengan maraknya berbagai konflik. Jati diri bangsa
Kaili sekarang ini pendekatannya Indonesia yang cinta damai dan memiliki budaya
menggunakan beberapa unsur yaitu: 1) kebersamaan atau solidaritas perlahan terkoyak
Tonda (tungku) yang pertama melibatkan dengan maraknya berbagai konflik berlatar
Pemerintah Daerah, Polri, dan TNI; 2) Tonda belakang sosial budaya. Bertolak dari
(tungku) kedua melibatkan tokoh adat; 3) persoalan-persoalan tersebut di atas, kajian
Tonda (tungku) ketiga melibatkan tokoh tentang budaya sintuvu masyarakat Kaili bertujuan
agama. Pola tersebut sangat efektif untuk menemukan dan menganalisis hakikat
digunakan dalam menangkal atau melakukan budaya sintuvu berdasarkan historisitas dan
deteksi dini pada lingkungan terkecil dalam kehidupan konkret masyarakat Kaili.
masyarakat yaitu RT, RW, dan kelurahan Berdasarkan analisis hasil penelitian
sebagai tindakan preentif dan preventif dalam menggunakan teori filsafat kebudayaan Cornelis
mengenal orang-orang di lingkungan tersebut. Anthonie van Peursen, diperoleh hasil bahwa
Dengan mengenal nama dan domisili warga sintuvu adalah budaya masyarakat Kaili yang
61
Budaya Sintuvu Masyarakat Kaili Sulawesi Tengah- Dwi Septiwiharti, Septiana Dwiputri Maharani, dan Rizal Mustansyir (47-64)
Doi:10.2483/nw.v14.i1.419

dipahami sebagai prinsip persatuan atau gotong beberapa cara dan sikap penerimaan yang baik
royong. Nilai-nilai sintuvu dibangun dari konsep terhadap etnik lainnya. Ada nosibolai adalah salah
kebersamaan masyarakat Kaili yang ditemukan satu bentuk keterbukaan masyarakat Kaili
sepanjang perjalanan sejarah dan kehidupan terhadap etnik lainnya melalui tradisi kawin mawin.
konkret masyarakat Kaili. Sintuvu dikenal sejak Konsep sintuvu dalam realitas konkret
masa Tomalanggai dan berkembang sejak masa diimplementasikan dalam sistem disebut tonda
kerajaan (kemagauan) di Tanah Kaili Sulawesi talusi, yaitu falsafah masyarakat Kaili tentang tiga
Tengah abad ke-15 sebagai budaya kebersamaan penyangga kehidupan antara individu dengan
masyarakat Kaili yang bersumber dari kehidupan alam semesta, sesama manusia, dan Tuhan.
sehari-hari. Selain sintuvu, masyarakat kaili Tonda talusi dalam era kekinian menjadi media
mengenal beberapa kearifan tentang penyelesaian konflik dalam masyarakat, melalui
kebersamaan diantaranya ajaran nosarara musyawarah antara pemerintah, tokoh agama, dan
nosabatutu, ada nosibola, libu ntodea, dan tonda tokoh adat. Korelasi sintuvu dengan
talusi. Kearifan-kearifan dalam budaya Kaili kearifan-kearifan budaya kebersamaan lainnya
tersebut mempunyai korelasi dengan konsep dalam masyarakat Kaili, menunjukkan bahwa
sintuvu sebagai budaya persatuan atau gotong sintuvu mempunyai landasan nilai yang memadai
royong, sehingga penting untuk dikaji dalam sehingga dapat disebut sebagai prinsip persatuan
rangka menemukan nilai yang sebenarnya dari masyarakat Kaili dan masih relevan hingga
konsep sintuvu. Nilai-nilai kearifan yang lahir dari sekarang. Kesimpulan penelitian menunjukkan
ajaran nosarara nosabutu adalah nilai-nilai bahwa nilai-nilai yang mendasari konsep sintuvu
kekeluargaan dan persatuan. Nilai-persatuan adalah harmoni, kekeluargaan, semangatberbagi,
dalam nosarara nosabatutu berkembang dalam solidaritas, musyawarah mufakat, tanggungjawab,
budaya sintuvu menjadi persatuan yang didasari dan keterbukaan.
oleh musyawarah mufakat (libu ntodea).
Keterbukaan masyarakat Kaili ditunjukkan dalam

DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, Jamrin. 2010. Orang Kaili Gelisah. Palu: Indonesia.


Yayasan Kebudayaan Sulawesi Tengah. Frondizi, Resieri. 2001. Pengantar Filsafat Nilai.
Abubakar, Jamrin. 2011. Menggugat Kebudayaan Diterjemah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tadulako dan Dero Poso. Palu: Yayasan Hali, Damianus J. 2006. “Konflik Identitas (Etnis)
Kebudayaan Sulawesi Tengah. dan Harga Diri.” Jurnal Hukum Pro Justitia
Alisjahbana, S. Takdir. 1991. “Sejarah 24(3): 238-247
Kebudayaan Indonesia Masuk Globalisasi Haliadi. 2006. Nosarara Nosabatutu (Bersaudara
Umat Manusia.” Majalah Kebudayaan. Vol. I. Dan Bersatu). Yogyakarta: P_Idea, Rizka
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Sari Perdana, dan PUSSEJ UNTAD.
Kebudayaan. Hamengku Buwono X, Sultan. 2008. Merajut
Arkanudin. 2006. “Menelusuri Akar Konflik Kembali Keindonesiaan Kita. Jakarta:
Antaretnik.” Mediator: Jurnal Komunikasi 7(2): Gramedia.
185-194. Hendrarto, W. Soeprapto, dkk. 1956. Tanah Kaili.
Bagus, Lorens. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: Donggala: Djawatan Penerangan R.I.
Gramedia Pustaka Utama. Kabupaten Donggala.
Bahar, Syafroedin, Nannie Hudawati Sinaga, Latif, Y. 2013. Negara Paripurna. Jakarta:
Ananda B. Kusuma (editor). 1995. Risalah Gramedia Pustaka Utama.
Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Mamar, Sulaiman. 2012. “Menunggu Damai di
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Tanah Poso.” Kompas, 30 Oktober.
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia Mamar, Sulaiman, Farid Mappalahere, dan P.
(PPKI). Jakarta: Sekretariat Negara Republik Wayong. 1984. Sejarah Sosial Daerah

62
Naditira Widya Vol.14 No. 1 April 2020-BalaiArkeologi Kalimantan Selatan
p-ISSN: 1410-0932; e-ISSN: 2548-4125

Sulawesi Tengah (Wajah Kota Donggala Dan Jakarta: Gramedia.


Palu). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Peursen, C. A. van. 1990. Fakta, Nilai, Peristiwa:
Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tentang Hubungan Antara Ilmu Dan Etika.
Tradisional Proyek Inventarisasi dan Diterjemah. Jakarta: Gramedia.
Dokumentasi Sejarah Nasional. Peursen, C. A. van. 2003. Menjadi Filsuf: Suatu
Marhum, Mochtar. 2013. “Konflik Sosial dii Pendorong Ke Arah Berfilsafat Sendiri.
Sulawesi Tengah dan Solusi Alternatif.” Diterjemah. Yogyakarta: Qalam.
Diunduh 8 Maret 2020, (http://sosial Ponulele, Nurhayati. 2007. Nosarara Nosabatutu
humaniora.blogspot.com/2013/01/konflik-sosi Tinjauan Makna Denotatif. Palu.
al-di-sulawesi-tengah-dan.html) Rawis, Jolylis. 2012. Sintuwu Kerjasama
Masyhuda, Masyhuddin. 1991. Etnik Dan Logat di Tradisional di Poso Sulawesi Tengah.
Sulawesi Tengah. Palu: Yayasan Jakarta: Direktorat Tradisi dan Seni Rupa
Kebudayaan Sulawesi Tengah Seksi Dirjen Nilai Budaya dan Film Kementerian
Penerbitan. Kebudayaan dan Pariwisata.
Mattulada, H. A. 1983. Sejarah Kebudayaan To Susanto, Hary. 1987. Mitos Menurut Pemikiran
Kaili. Palu: Tadulako University Press. Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius.
Melalatoa, Junus. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa Toana, Ahmad Basir. 1997. “Persekutuan Hidup
di Indonesia. Jakarta: C.V. Eka Putra. dan Sistem Pemukiman Masyarakat To Kaili.”
Panjaitan, Merphin. 2013. Dari Gotong Royong Ke Jurnal Gagasan Universitas Tadulako XII
Pancasila. Bekasi: Jala Permata Aksara. (28): 1-6.
Peursen, C. A. van. 1980. Orientasi Di Alam Wahana, Paulus. 2004. Nilai Etika Aksiologi Max
Filsafat. Diterjemahkan Oleh Dick Hartoko Scheler. Yogyakarta: Kanisius.
Dari Buku “Filosofische Orientatie.” Jakarta: Yunus, Ahmad. 1986. Sistem Gotong Royong
Gramedia. dalam Masyarakat Pedesaan Daerah
Peursen, C. A. van. 1988. Strategi Kebudayaan. Sulawesi Tengah. Jakarta: Depdikbud
Diterjemahkan Oleh Dick Hartoko Dari Buku Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Asli Berjudul Strategie van De Cultuur. Kebudayaan Daerah

63
Budaya Sintuvu Masyarakat Kaili Sulawesi Tengah- Dwi Septiwiharti, Septiana Dwiputri Maharani, dan Rizal Mustansyir (47-64)
Doi:10.2483/nw.v14.i1.419

LAMPIRAN:

NARASUMBER WAWANCARA Jenis Kelamin : Laki-laki


Jabatan : Ketua Lembaga Adat Palupi
1. Narasumber I Kota Palu
Nama : Drs. Moh. Rum Parampasi Hari/Tgl. Wawancara : Rabu, 12 September 2018
Tempat/Tanggal Lahir : Palu, 14 Juni 1952 6. Narasumber VI
Alamat : Jln. Pangeran Hidayat Nama : Dg. Manota
No.73 Kel. Lere.Kec. Palu Tempat/ Tanggal Lahir : Bora, 4 Juli 1948
Barat Kota Palu Alamat : Desa Bora RT 02/ RW 01
Jenis Kelamin : Laki-laki Kec. Sigi Biromaru Kab.
Jabatan : Ketua Dewan Adat Kota Sigi
Palu Jenis Kelamin : Laki-laki
Hari/Tgl.Wawancara : Selasa, 24 Juli 2018 Jabatan : Ketua Lembaga Adat
Pitunggota Sigi
Hari/Tgl. Wawancara : Selasa,18 September 2018
2. Narasumber II
Nama : Dr. Timuddin Dg. M. Bauwo, 7. Narasumber VII
M.Si. Nama : Drs. Iksam, M.Hum.
Tempat/Tanggal Lahir : Donggala, 28 Januari 1959 Tempat/ Tanggal Lahir : Donggala, 20 Oktober 1967
Alamat : Jln. Manggis Lorong III No. Alamat : Jln. Cemara I No. 2B Kota
29, Palu Palu
Jenis Kelamin : Laki-laki Jenis Kelamin : Laki-laki
Jabatan : Wakil Ketua I Dewan Adat Jabatan : KepalaSeksi
Kota Palu Pelestariandan
Hari/Tgl. Wawancara : Kamis, 26 Juli 2018 Pengembangan
BudayaMuseum Sulawesi
3. Narasumber III Tengah
Nama : Haliadi, S.S. M.Hum., Ph.D. Hari/Tgl. Wawancara : Rabu, 26 September 2018
Tempat/ Tanggal Lahir : Buranga, 11 Oktober 1971
Alamat : Perum Dosen Untad Blok 8. Narasumber VIII
A7 No. 13Kel. Tondo Nama : H. Andi Tjimbu Tagunu
Kec.Mantikulore Kota Palu Tempat/ Tanggal Lahir : Bambalemo, 15 April 1946
Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : Jln. Hasanudin Kel. Maesa
Jabatan : Sejarawan UNTAD Kec. Parigi Kab. Parigi
Hari/Tgl. Wawancara : Senin, 13Agustus 2018 Moutong
Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Narasumber IV Jabatan : Pemangku Adat
Nama : Tjatjo Tuan Sjaichu Al Idrus Patanggota Parigi
Tempat/ Tanggal Lahir : Tanjung padang, 27 Hari/ Tgl. Wawancara : Kamis, 27 September 2018
Desember 1949
Alamat : KPR Kelapa Mas Permai 9. Narasumber IX
Blok J III No. 14 Kaluku Nama : Hambali, S.Sos., M.AP.
Bula Kab.Sigi Tempat/ Tanggal Lahir : Loli Oge, 11 Nopember
Jenis Kelamin : Laki-laki 1978
Jabatan : Budayawan Kaili Alamat : Desa Loli Saluran Km. 17
Hari/Tgl. Wawancara : Senin 13 Agustus 2018 Kec. Banawa Kab.
Donggala
5. Narasumber V Jenis Kelamin : Laki-laki
Nama : Arsyid Musaera Jabatan : Ketua Majelis Adat Kec.
Tempat/ Tanggal Lahir : Palu, 16 Maret 1957 Banawa Kab. Donggala
Alamat : Jln. Pue Bongo No. 6 Kota Hari/ Tgl. Wawancara : Selasa, 26 Februari 2019
Palu

64

Anda mungkin juga menyukai