Anda di halaman 1dari 5

Meningkatkan Rasa Cinta Budaya Indonesia Upaya Mempertahnkan Kecintaan Terhadap Budaya

Lokal

Budaya adalah suatu hal yang sangat erat dalam terwujudnya suatu peradaban. Budaya sebagai
suatu adat dan kebiasaan suatu kelompok masyarakat adalah ruh dari keberlangsungan peradaban
suatu bangsa dan negara. Menurut Koenjtaraningrat (1996), kebudayaan atau budaya  adalah 
keseluruhan  sistem  gagasan,  tindakan  dan  hasil  karya manusia  dalam rangka  kehidupan 
masyarakat  yang  dijadikan  milik  diri  manusia  dengan  belajar. Pengertian  tersebut  merujuk 
pada  gagasan  J.  J  Honigmann  (1973)  tentang  wujud kebudayaan  atau  disebut  juga  ‟gejala 
kebudayaan‟.  Honigmann  membagi  kebudayan kedalam tiga wujud,  yakni kebudayaan dalam
wujud ide, pola tindakan dan artefak atau benda-benda. Sebagai suatu elemen yang tidak
terpisahkan dari kehidupan masyarakat suatu bangsa, maka upaya penjagaan dan pelestarian
kebudayaan adalah suatu keharusan.

Indonesia adalah bangsa besar, baik dari segi SDM, SDA, maupun wilayahnya. Ditinjau dari segi SDM,
Indonesia memiliki lebih 200 juta jiwa yang berasal dari ribuan suku maupun etnis yang masing-
masing memiliki karakter dan ciri khas yang berbeda-beda. Beragam suku bangsa hidup
berdampingan dengan latar belakang kehidupan yang berbeda, ditambah kondisi geografis tempat
tinggal yang berbeda menjadikan masyarakat di Indonesia memiliki kehidupan beraneka ragam yang
dipengaruhi oleh budaya masing-masing sebagai warisan dari tiap generasi sebelumnya. Selain itu
faktor kebudayaan dari luar yang masuk ke Indonesia dan penyebaran agama-agama di pelosok
wilayah Indonesia membuat terjadinya proses besar akulturasi dan asimilasi serta menambah
keragaman budaya yang ada. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan keseharian seperti agama,
kebiasaan, tradisi, adat istiadat, mata pencaharian, kesenian yang sesuai dengan ciri khas suku-suku
tersebut. Tarian, bahasa, rumah adat, pakaian adat hingga upacara-upacara adat adalah ragam
kebudayaan yang menunjukkan karakter setiap suku yang ada di bumi pertiwi dan membentuk suatu
ensiklopedi kebudayaan yang sangat besar.

Kebudayaan sudah menjadi darah daging bagi identitas bangsa, dimana kebudayaan tidak hanya
dilihat dari sisi fisiknya sebagai suatu bentuk keindahan saja tetapi lebih dari itu adalah nilai-nilai
filosofis yang terkandung di dalamnya. Seiring berjalannya waktu ditambah dinamika peradaban
yang bergerak begitu cepat, maka mau tidak mau, siap tidak siap kita akan dihadapkan pada keadaan
dimana eksistensi kebudayaan di tengah-tengah peri kehidupan masyarakat mengalami proses
pengikisan, entah dari segi fisiknya maupun nilai-nilai filosofis yang mengakar di dalam kebudayaan
yang ada. Terlebih pada masa kini dengan kemajuan komunikasi global dan meningkatnya hubungan
antar budaya, menimbulkan pemikiran dan kesadaran bahwa di balik keragaman tersebut timbul
berbagai kekuatan dan kekayaan budaya hingga timbulnya berbagai permasalahan sosial. Hal ini
berdasarkan adanya perbedaan pendapat yang memandang keragaman budaya sebagai sesuatu
yang positif, sementara ada pula yang menganggap perbedaan budaya tersebut akan mengakibatkan
hilangnya rasa kemanusiaan dan menjadi akar berbagai konflik.

Munculnya proses globalisasi dan modernisasi zaman lambat laun juga mengakibatkan nilai-nilai
kebudayaan yang ada terkikis bahkan tersisihkan, sehingga kemudian berakibat banyak kebudayaan
yang tidak lagi “dikenali” oleh pemuda-pemudi zaman sekarang dikarenakan kurangnya perhatian
dan upaya pelestariannya. Budaya-budaya Barat dan Korea yang berkembang sudah banyak
menghiasi dan memberikan pengaruh yang cukup besar bagi kehidupan remaja dan pemuda
Indonesia sekarang ini. Budaya di sini bukan hanya terbatas pada budaya dalam bentuk kesenian
(secara fisik) saja, tetapi lebih dari itu adalah karakter, perilaku dan kearifan lokal yang dimiliki oleh
bangsa ini. Tergesernya kebudayaan lokal oleh banyaknya kebudayaan asing yang masuk ke
masyarakat secara masif tanpa adanya seleksi yang ketat tentunya akan sangat mengkhawatirkan
bagi eksistensi kebudayaan yang ada. Ditambah lagi pola pikir masyarakat sekarang yang sebagian
menganggap kebudayaan Indonesia yang sudah kuno dan tidak mengikuti perkembangan zaman,
yang pada akhirnya menimbulkan lunturnya rasa cinta dan bangga terhadap kebudayaan lokal.

Agar eksistensi budaya tetap kukuh, maka kepada generasi penerus dan pelurus perjuangan bangsa
perlu ditanamkan rasa cinta akankebudayaanlokal khususnya di daerah. Salah satu cara yang dapat
ditempuhdi sekolah adalah dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai kearifan budaya lokal dalam
proses pembelajaran, ekstra kurikuler, atau kegiatan kesiswaan di sekolah. Misalnya dengan
mengaplikasikan secara optimal Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Budaya Lokal.

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang
meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-
nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun
kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua
komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri,
yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau
pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler,
pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.

Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa,
diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap,
perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya
dan adat istiadat.

Karakter merupakan representasi identitas seseorang yang menunjukkan ketundukannya pada


aturan atau standar moral yang berlaku dan  merefleksikan pikiran, perasaan dan sikap batinnya
yang termanifestasi dalam kebiasaan berbicara, bersikap dan bertindak.

Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai upaya mendorong para pelajar tumbuh dan


berkembang dengan kompetensi berfikir dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip moral dalam
hidupnya serta mempunyai keberanian melakukan yang benar, meskipun dihadapkan pada berbagai
tantangan.Pendidikan karakter tidak terbatas pada transfer pengetahuan mengenai nilai-nilai yang
baik, tetapi menjangkau bagaimana memastikan nilai-nilai tersebut tetap tertanam dan menyatu
dalam pikiran serta tindakan.

Kenyataaan tersebut mengakibatkan generasi penerus bangsa cenderung kesulitan


untuk menyerap nilai-nilai budaya menjadi kearifan lokal sebagai sumber daya
untuk memelihara dan meningkatkan martabat dan kesejahtaraan bangsa. Generasi
sekarang semakin kehilangan kemampuan dan kreativitas dalam memahami prinsip
kearifan lokal. Khusus kearifan lokal Lampung adalah prinsip hidup “Piil
Pesenggiri”. Hal ini disebabkan oleh adanya penyimpangan kepentingan para elit
masyarakat dan pemerintah yang cenderung lebih memihak kepada kepentingan
pribadi dan golongan dari pada kepentingan umum. Kepentingan subyektivitas
kearifan lokal ini selalu dimanfaatkan untuk mendapatkan status kekuasaan dan
menimbun harta dunia. Para elit ini biasanya melakukan pencitraan ideal kearifan
lokal di hadapan publik seolah membawa misi kebaikan bersama. Akan tetapi
sebagaimana diketahui bahwa pada realisasinya justeru nilai-nilai luhur yang
terkandung di dalamnya tidak lebih hanya sekedar alat untuk memperoleh dan
mempertahan kekuasaan. Pada gilirannya, masyarakat luas yang struktur dan
hubungan sosial budayanya masih bersifat obyektif sederhana makin tersesat
meneladani sikap dan perilaku elit mereka, juga makin lelah menanti janji masa
depan, sehingga akhirnya mereka pesimis, putus asa dan kehilangan kepercayaan.

Namun demikian, meski masyarakat cemas bahkan ragu terhadap kemungkinan


nilai-nilai luhur budaya itu dapat menjadi model kearifan lokal, akan tetapi upaya
menggali kearifan lokal tetap niscaya dilakukan. Masyarakat adat daerah memiliki
kewajiban untuk kembali kepada jati diri mereka melalui penggalian dan pemaknaan
nilai-nilai luhur budaya yang ada sebagai sumber daya kearifan lokal. Upaya ini
perlu dilakukan untuk menguak makna substantif kearifan lokal, di mana
masyarakat harus membuka kesadaran, kejujuran dan sejumlah nilai budaya luhur
untuk sosialisasikan dan dikembangkan menjadi prinsip hidup yang bermartabat.
Misalnya nilai budaya “Nemui-Nyimah” sebagai kehalusan budi diformulasi sebagai
keramahtamahan yang tulus dalam pergaulan hidup. Piil Pesenggiri sebagai prinsip
hidup niscaya terhormat dan memiliki harga diri diletakkan dalam upaya
pengembangan prestasi, kreativitas dan peranan yang bermanfaat bagi masyarakat,
demikian juga dengan makna-makna kearifan lokal nilai-nilai budaya lainnya.
Kemudian pada gilirannya, nilai-nilai budaya ini harus disebarluaskan dan
dibumikan ke dalam seluruh kehidupan masyarakat agar dapat menjadi jati diri
masyarakat daerah. Keberadaan Piil Pesenggiri merupakan aset (modal, kekayaan)
budaya bangsa yang perlu dilindungi dan dilestarikan untuk meningkatkan
kesadaran jatidiri bangsa untuk diteruskan kepada generasi berikutnya dalam
keadaan baik.

Dalam proses kompromi budaya, kearifan lokal bukan hanya berfungsi menjadi filter
ketika terjadi benturan antara budaya lokal dengan tuntutan perubahan. Lebih jauh,
nilai-nilai budaya lokal berbicara pada tataran penawaran terhadap sumberdaya
nilai-nilai kearifan lokal sebagai pedoman moral dalam penyelesaian masalah ketika
sebuah kebudayaan berhadapan dengan pertumbuhan antagonis berbagai
kepentingan hidup.

Sebagaimana contoh pada kehidupan masyarakat lokal, proses kompromi budaya


selalu memperhatikan elemen-elemen budaya lokal ketika berhadapan dengan
budaya-budaya yang baru. Elemen-elemen itu dipertimbangkan, dipilah dan dipilih
mana yang relevan dan mana pula yang bertentangan. Hasilnya selalu menunjukkan
wajah sebuah kompromi yang elegan, setiap elemen mendapatkan tempat dan
muncul dalam bentuknya yang baru sebagai sebuah kesatuan yang harmonis.
Tentu saja terbentuknya kesatuan yang harmonis itu tidak lepas dari hasil kompromi
keadilan yang menyentuh kepentingan berbagai pihak. Kepentingan-kepentingan
yang dimaksud sangat luas cakupannya, tetapi secara garis besar meliputi berbagai
permasalahan yang berhubungan dengan kelangsungan hidup manusia, terutama
yang bersifat primer dan praktis. Bagi pembuat kebijakan harus mampu memilah
dan memilih proses kompromi yang menguntungkan semua pihak, kemudian
menyikapi, menata, menindak¬lanjuti arah perubahan kepetingan-kepentingan itu
agar tetap dalam prinsip kebersarnaan. Kebudayaan sebagai lumbung nilai-nilai
budaya lokal bisa menjadi sebuah pedoman dalam upaya rnerangkai berbagai
kepentingan yang ada secara harmonis, tanpa ada pihak yang dikorbankan.

Oleh karena itu, dalam makalah ini perlu dikaji tentang pengertian kearifan lokal piil
pesenggiri dan implementasinya yang berkaitan dengan regulasi penataan
harmonisasi kehidupan masyarakat, dapat diakomodasikan dengan baik dalam
perencanaan, pelaksanaan pembangunan kesejehtaraan dan keadilan sosial.

Para pelajar khususnya di Sumatera Selata lebih bangga dengan budaya asing daripada budaya
daerahnya sendiri. Hal ini dibuktikan dengan adanya rasa bangga yang lebih pada diri mereka
manakala menggunakan produk luar negeri, dibandingkan jika menggunakan produk bangsanya
sendiri. Mereka cenderung lebih bangga dengan karya-karya asing, dan gaya hidup yang
kebarat-baratan dibandingkan dengan kebudayaan lokal di daerah mereka sendiri. Slogan “aku
cinta produk lokal. aku cinta buatan Indonesia” sepertinya hanya menjadi ucapan belaka, tanpa
ada langkah nyata yang mengikuti pernyataan tersebut. Penggunaan bahasa asing di media
massa dan media elektronik bukan tidak mungkin menyebabkan kecintaan pada nilai budaya
lokal mulai pudar. Padahal, bahasa sebagai alat dalam menyampaikan pembelajaran sangat
besar pengaruhnya terhadap pembentukan karakter pelajar.  Tidak ada lagi tradisi yang
seharusnya terwariskan dari generasi sebelumnya. Modernisme mengikis budaya lokal menjadi
kebarat-baratan, sedangkan puritanisme sering menganggap budaya sebagai praktik sinkretis
yang harus dihindari. Menurut penulis, sepanjang tidak bertentangan dengan agama, budaya
lokal harus selalu dibangun untuk membangkitkan karakter anak bangsa. Padahal, jika kita
pahami dan pelajari mengenai kebudayaan lokal di daerah tidak kalah saing dengan budaya-
budaya asing yang tidak kita kenal. Negara asing saja mau berselisih untuk mengakui budaya
kita. Bukankah seharusnya kita bangga dengan budaya lokal yang telah diwariskan kepada kita
generasi pelurus perjuangan bangsa? Dengan keadaan yang seperti ini perlu ditanamkan nilai-
nilai nasionalisme kepada para pelajar untuk meningkatkan kecintaan pelajar terhadap
kebudayaan lokal. Maka, sangat diperlukan langkah strategis untuk meningkatkan rasa cinta dan
peduli terhadap kearifan budaya lokal kepada para pelajar di kepulauan Bangka Belitung.

Kebudayaan lokal merupakan kebudayaan yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat adat,
terutama masyarakat di kepulauan Bangka Belitung. Namun yang terjadi pada pelajar di Bangka
Belitung sangat berbeda dengan apa yang kita pahami tentang kebudayaan lokal, bahkan
kebudayaan itu sudah terkikis dan tergantikan oleh budaya asing yang sama sekali tidak kita
pahami.

Agar eksistensi budaya Bangka Belitung tetap kukuh, maka kepada generasi penerus dan
pelurus perjuangan bangsa perlu ditanamkan rasa cinta terhadap kebudayaan lokal khususnya
di daerah. Salah satu cara yang dapat ditempuh di sekolah adalah dengan cara
mengintegrasikan nilai-nilai kearifan budaya lokal dalam proses pembelajaran, ekstra kurikuler,
atau kegiatan kesiswaan di sekolah. Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Budaya Lokal
haruslah diaplikasikan dengan optimal.

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah
yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri,
sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam
pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk
komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan
penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan
sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana,
pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.

Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran,
sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata
krama, budaya dan adat istiadat.

Karakter merupakan representasi identitas seseorang yang menunjukkan ketundukannya pada


aturan atau standar moral yang berlaku dan  merefleksikan pikiran, perasaan dan sikap batinnya
yang termanifestasi dalam kebiasaan berbicara, bersikap dan bertindak.

Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai upaya mendorong para pelajar tumbuh dan
berkembang dengan kompetensi berfikir dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip moral dalam
hidupnya serta mempunyai keberanian melakukan yang benar, meskipun dihadapkan pada
berbagai tantangan. Pendidikan karakter tidak terbatas pada transfer pengetahuan mengenai
nilai-nilai yang baik, tetapi menjangkau bagaimana memastikan nilai-nilai tersebut tetap tertanam
dan menyatu dalam totalitas pikiran serta tindakan.

Kearifan lokal merupakan akumulasi dari pengetahuan dan kebijakan yang tumbuh dan
berkembang dalam sebuah komunitas yang merepresentasikan perspektif teologis, kosmologis
dan sosiologisnya.

Upaya membangun karakter pelajar berbasis kearifan budaya lokal sejak dini melalui jalur
pendidikan dianggap sebagai langkah yang tepat. Sekolah merupakan lembaga formal yang
menjadi peletak dasar pendidikan. Pendidikan di Sekolah merupakan bagian dari sistem
pendidikan nasional yang memiliki peranan yang amat penting dalam meningkatkan sumber
daya manusia. Melalui pendidikan di Sekolah diharapkan akan menghasilkan manusia Indonesia
yang berkualitas. Jika menilik pada tujuan pendidikan nasional di atas, maka manusia yang
berkualitas tidak hanya terbatas pada tataran kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotor. Pada
praktiknya, mata pelajaran muatan lokal dipandang merupakan pelajaran kelas nomor dua dan
hanya dianggap sebagai pelengkap. Sekolah-sekolah menerapkannya sebatas formalitas untuk
memenuhi tuntutan kurikulum yang dituangkan dalam berbagai peraturan. Kondisi demikian
mengindikasikan aplikasi pengajaran muatan lokal di sekolah masih mengambang.
Persoalannya adalah bagaimana penerapan konsep pendidikan karakter yang sudah
dimasukkan ke dalam kurikulum tersebut.

Hal penting yang mendasari pendidikan karakter di sekolah adalah penanaman nilai karakter
bangsa tidak akan berhasil melalui pemberian informasi dan doktrin belaka. Karakter bangsa
yang berbudi luhur, sopan santun, ramah tamah, gotong royong, disiplin, taat aturan yang
berlaku dan sebagainya, perlu metode pembiasaan dan keteladanan dari semua unsur
pendidikan di sekolah. Semua stakeholder pendidikan diharapkan andilnya dalam memberikan
kontribusi nyata terhadap pelestarian kebudayaan lokal di daerah khusunya bagi kalangan
pelajar sebagai penerus budaya bangsa. Pemberian pengarahan dan penghargaan kepada para
guru juga dianggap perlu dalam upaya memotivasi dan meningkatkan pemahaman para guru
dalam mengaplikasikan serta memberikan teladan mengenai Pendidikan Karakter Berbasis
Kearifan Budaya Lokal.

Anda mungkin juga menyukai