Anda di halaman 1dari 4

Wujud Kearifan Lokal

Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa akhir dari sedimentasi kearifan lokal ini akan
mewujud menjadi tradisi atau agama. Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui
dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku
sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah
berlangsung lama.

Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok
masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan
menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari.

Proses sedimentasi ini membutuhkan waktu yang sangat panjang, dari satu generasi ke generasi berikut.
Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa kemunculan kearifan lokal dalam masyarakat
merupakan hasil dari proses trial and error dari berbagai macam pengetahuan empiris maupun non-
empiris atau yang estetik maupun intuitif.

Kearifan lokal lebih menggambarkan satu fenomena spesifik yang biasanya akan menjadi ciri khas
komunitas kelompok tersebut, misalnya alon-alon asal klakon (masyarakat Jawa Tengah), rawe-rawe
rantas malang-malang putung (masyarakat Jawa Timur), ikhlas kiai-ne manfaat ilmu-ne, patuh guru-ne
barokah urip-e (masyarakat pesantren), dan sebagainya.

Kearifan lokal merupakan pengetahuan eksplisit yang muncul dari periode yang panjang dan berevolusi
bersama dengan masyarakat dan lingkungan di daerahnya berdasarkan apa yang sudah dialami. Jadi
dapat dikatakan kearifan lokan disetiap daerah berbeda-beda tergantung lingkungan dan kebutuhan
hidup.

Ma'Baca-baca, Kolaborasi Adat dan Agama Suku Bugis

Bone - Ma' Baca-baca berarti membacakan doa dihadapan hidangan makanan yang menjadi sebuah
tradisi suku Bugis-Makassar, masih dilestarikan hingga kini. Salah satunya di Kabupaten Bone, Sulawesi
Selatan.
Ma'baca-baca umumnya dilakukan masyarakat saat Lebaran maupun dalam rangkaian acara ritual adat
Bugis-Makassar, baik itu pernikahan, akikah, sunatan, hingga ketika ingin memasuki rumah baru.

Ritual Ma'Baca-baca ini biasanya dilakukan oleh orang yang dianggap sesepuh atau tokoh masyarakat
dalam sebuah kampung atau orang yang dituakan dalam sebuah keluarga.

Dimana, dihadapan sesepuh akan dihidangkan makanan yang telah ditata dalam sebuah nampan yang
orang Bugis menyebutnya 'Bakik', dilengkapi dengan tungku kecil yang disebut dupa-dupa yang
berisikan bara api.

Konsep kearifan lokal atau kearifan tradisional atau sistem pengetahuan lokal (indigenous knowledge
system) adalah pengetahuan yang khas milik suatu masyarakat atau budaya tertentu yang telah
berkembang lama sebagai hasil dari proses hubungan timbal balik antara manusia dengan
lingkungannya (Marzali dalam Yuwana, 2013).

Berdasarkan uraian tersebut, pengetahuan lokal, local genius, maupun kearifan lokal, pada hakekatnya
memiliki pengertian yang sama. Ketiga istilah tersebut mendasari pemahaman bahwa kebudayaan itu
telah dimiliki dan diturunkan secara berkelanjutan dari generasi ke generasi bahkan ribuan tahun oleh
masyarakat setempat atau lokal. Kebudayaan yang telah kuat berakar itu tidak mudah goyah dan
terkontaminasi dengan pengaruh dari kebudayaan lain.

Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai: suatu kekayaan budaya lokal yang mengandung kebijakan
hidup; pandangan hidup (way of life) yang mengakomodasi kebijakan (wisdom) dan kearifan hidup.
Kearifan lokal itu tidak hanya berlaku secara lokal pada budaya atau etnik tertentu, tetapi dapat
dikatakan bersifat lintas budaya atau lintas etnik sehingga membentuk nilai budaya yang bersifat
nasional. Contoh: hampir di setiap budaya lokal di Nusantara dikenal kearifan lokal yang mengajarkan
gotong royong, toleransi, etos kerja, dan seterusnya.

Pada umumnya etika dan nilai moral yang terkandung dalam kearifan lokal diajarkan turun-temurun,
diwariskan dari generasi ke generasi melalui sastra lisan (antara lain dalam bentuk pepatah, semboyan,
dan peribahasa, folklore), dan manuskrip. Kelangsungan kearifan lokal tercermin pada nilai-nilai yang
berlaku pada sekelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai tersebut akan menyatu dengan kelompok
masyarakat dan dapat diamati melalui sikap dan tingkah laku mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Kearifan lokal dapat dipandang sebagai identitas bangsa, terlebih dalam konteks Indonesia yang
memungkinkan kearifan lokal bertransformasi secara lintas budaya yang pada akhirnya melahirkan nilai
budaya nasional.

Di Indonesia, kearifan lokal adalah filosofi dan pandangan hidup yang mewujud dalam berbagai bidang
kehidupan (tata nilai sosial dan ekonomi, arsitektur, kesehatan, tata lingkungan, dan sebagainya).
Contoh: kearifan lokal yang bertumpu pada keselarasan alam telah menghasilkan pendopo dalam
arsitektur Jawa. Pendopo dengan konsep ruang terbuka menjamin ventilasi dan sirkulasi udara yang
lancar tanpa perlu penyejuk udara.

masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri atas banyak struktur kebudayaan.
Disebabkan banyaknya suku bangsa yang mempunyai struktur budaya sendiri, yang berbeda dengan
budaya suku bangsa lain.

Pada hakikatnya, konsep masyarakat multikultural adalah masyarakat yang mempunyai banyak suku
bangsa dan budaya dengan beragam adat istiadat.

Dalam kerangka hidup bersama berdampingan satu sama lain yang sederajat dan saling berinterseksi
dalam suatu tatanan kesatuan sosial politik.

Multikulturalisme berasal dari dua kata, yaitu multi (banyak/beragam) dan kultural (budaya atau
kebudayaan), yang secara etimologi dapat berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami,
adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua bagian manusia
terhadap kehidupannya yang kemudian melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya
verbal, bahasa dan lain-lain.

Multikulturalisme adalah sebuah filosofi yang juga ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki
adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama
dalam masyarakat modern.Bangsa Indonesia melalui para founding fathers, dengan amat briliant dan
dengan kearifantelah lama mencermati dan mengantisipasi adanya berbagai perbedaan tersebut.
Mereka telah merumuskan konsep multikulturalsime dalam bingkai nan amat elok melalui semboyan
“Bhineka Tunggal Ika”. Sebuah konsep yangme-ngandung makna yang luar biasa, baik makna secara
eksplisit maupun implisit.
Secara eksplisit, semboyan tersebut merujuk pada keanekaragaman yang dimiliki oleh bangsa ini,
sebagai sebuah bangsa yang multikultural akan tetapi bersatu dalam satu kesatuan yang kokoh.

Secara implisit “Bhineka Tunggal Ika” mampu memberikan dorongan moral dan spiritual kepada bangsa
Indonesia untuk senantiasa bersatu padu melawan segala bentukketidakadilan dan rongrongan dari
pihak luar yang mencoba mengobok-obok bangsa ini.

Anda mungkin juga menyukai