Karta Jayadi
Fakultas Seni dan Desain
Universitas Negeri Makassar
Jl. Daeng Tata Raya, Kampus FSD-UNM Parangtambung Makassar
ABSTRAK
Artikel ini membahas tentang keberadaan kebudayaan lokal (Sulawesi Selatan) sebagai sumber inspirasi
pelukis di Kota Makassar dari sudut pandang antropologi visual. Kebudayaan lokal yang terdiri dari kebudayaan
material dan non material yang menjadi sumber inspirasi adalah: perahu pinisi; Baju Bodo; Aksara, Mitos dan
Legenda, serta Pesona alam. Kebudayaan ini oleh pelukis di Kota Makassar, mampu diekspresikan dalam
bentuk karya seni lukis yang representasional maupun dengan non-representasional. Kajian Antropologi visual
digunakan untuk membantu memahami fenomena “visual baru” yang disajikan oleh para pelukis sebagai
upaya menghadirkan elemen dan bentuk baru dari kebudayaan lokal yang dicitrakan. Bentuk karya
representasional ditunjukkan pada tema budaya Perahu pinisi, Baju Bodo, dan Pesona alam. Pada karya ini
dihadirkan elemen-elemen visual secara lengkap dan proporsional, sehingga objek budaya terimajinasikan
secara fotografis, meski dengan suasana yang berbeda. Karena itu kedekatan hubungan visual antara
kebudayaan lokal yang diinspirasikan dengan karya lukis yang terinspirasikan, secara simbolik memiliki nilai
yang setara. Sedangkan karya yang non-representasional, dilukiskan secara imajinatif oleh pelukisnya. Nilai-
nilai visual digambarkan berdasarkan pada rekaan estetik, pengalaman dan kedalaman informasi yang diperoleh
tentang aksara, mitos, dan legenda. Pada lukisan ini, pelukis memiliki tafsir yang berbeda satu sama lain
dalam memvisualisasikan informasi yang diperolehnya, baik pada bentuk, warna maupun komposisinya.
Dengan demikian, imajinasi dan realitas kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari komunitas pemiliknya sehingga
akan selalu muncul sebagai identitas baru sebagai jati diri personal melalui produksi visualisasi baru.
ABSTRACT
The article talks about local culture in South Sulawesi as the inspiration source for the painters in Makassar
in visual anthropology point of view. The local culture consists of material as well as non material culture
including Perahu Pinisi (Pinisi Boat), Baju Bodo,Aksara (Bodo Aksara Dress), Mythos and legend, and also
Pesona Alam (the beauty of nature). The culture is expressed in the work of representational as well as non-
representational painting. The visual anthropology analysis is used to help understanding the phenomena of
“new visual” presented by the painters as an effort to present the new element and form of the imaged local
culture. The form of representational work can be seen in the cultural themes such as Perahu Pinisi, Baju
Bodo, and Pesona Alam. The work also presents the complete and proportional visual elements so that
cultural objects can be photographically imagined even in different situation. For the reason, the close
relationship between the inspiring local culture and the inspired painting symbolically has an equal value,
while non-representational work is imaginatively described by the painter. The visual values are illustrated
based on aesthetic fiction, experience, and the deep information from alphabet, mythos, and legend. In this
painting, the painter has different interpretation in visualize the information in case of form, color, and
composition. Thus, the imagination and reality of culture cannot be separated from the owner’s community so
that it will always appear as the new identity and personality through the new visualization product.
Pertumbuhan populasi manusia yang kebudayaan Babilonia, dan kebudayaan Romawi telah
mendiami berbagai penjuru bumi membuat perilaku, mengalami suatu proses yang amat panjang sampai
kebiasaan dan adat istiadat, pada setiap komunitas kini sehingga yang tertinggal hanyalah dokumentasi,
manusia dalam suatu wilayah tertentu berbeda satu sejarah dan berbagai peninggalan artefaknya.
sama lain. Seiring dengan terus berjalannya waktu, Daya tahan suatu kebudayaan termasuk
perbedaan-perbedaan tersebut bahkan makin kuat kebudayaan lokal, sangat tergantung pada perubahan
sebagai anutan norma sosial, religi, ilmu pengetahuan, yang terjadi dalam masyarakatnya. Hal ini mencakup
dengan segala pola dan struktur sosial yang terbentuk, pada tata nilai dan adat istiadat; pandangan hidup
yang kemudian mengkristal sebagai sebuah atau sistem kehidupan yang masih adaptif dalam
kebudayaan pada masing-masing komunitas. Ralph masyarakatnya. Perubahan-perubahan yang terjadi
Linton (dalam Paul Buhannan, Mark Glazer, 1988:199) dalam masyarakat merupakan hasil dari pertemuan
mengemukakan bahwa: Each society has its own nilai-nilai lama dan yang baru yang terus mengalami
culture, which can be defined briefly as its “way of asimilasi. Perubahan merupakan salah satu
life”. Itulah sebabnya keberadaan kebudayaan ini konsekuensi dari hasil interaksi antara nilai yang satu
sangat kuat memengaruhi pola dan tingkat dan nilai yang lainnya; perubahan merupakan hasil
pengetahuan serta sistem ide atau gagasan yang dialog antara pandangan hidup yang satu dan
terdapat dalam pikiran maupun tindakan manusia. Hal pandangan hidup yang lain. Hal ini berlangsung secara
tersebut terjadi baik pada kebudayaan non material- terus-menerus dengan penyesuaian-penyesuaian
abstrak, maupun pada kebudayaan yang bersifat sehingga ada yang tetap dapat diterima, namun pada
material-konkret yang dapat dinikmati dengan panca sisi lain ada pula elemen kebudayaan yang tidak lagi
indra kita. Dengan demikian kebudayaan suatu mampu bertahan dan diabaikan oleh masyarakatnya.
komunitas akan diwarisi dari generasi ke generasi Gagasan pelestarian kebudayaan tidak
bila pola-pola yang terbentuk menjadi bagian dari pernah surut bahkan telah menjadi ungkapan klasik.
kebutuhan untuk melanjutkan aktivitas kehidupan. Namun upaya pelestarian kebudayaan tersebut
Aktivitas tersebut merupakan wujud kebudayaan tampaknya belum menemukan upaya yang dapat
sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam memulihkan kembali ingatan kolektif, agar dapat tetap
masyarakat itu. Wujud tersebut sering pula disebut menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya.
sebagai sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari Berbagai strategi pelestarian dapat dilakukan melalui
aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, upaya revitalisasi maupun diversifikasi karya budaya
mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia tanpa harus menghilangkan nilai-nilai luhur dari
lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan kebudayaan bersangkutan.
pada adat dan tata perilaku yang dianutnya. Selain Upaya rev ital isasi dan div ersif ikasi
itu, penggunaan benda buatan manusia sebagai kebudayaan lokal membutuhkan peran serta seluruh
sarana dan prasarana dalam pergaulan sehari-hari lapisan masyarakat, sesuai dengan latar belakang
menghasilkan kebudayaan fisik yang konkret. Secara dan prof esi masing-masing. Kontribusi yang
lengkap dan rinci, Koentjaraningrat (1990: 203-204) akomodatif akan sangat berpengaruh dalam proses
menyatakan bahwa kebudayaan meliputi: bahasa; revitalisasi dan diversifikasi produk budaya. Status
sistem ilmu pengetahuan; organisasi sosial; sistem dan tingkat sosial-ekonomi masyarakat mempunyai
peralatan hidup dan teknologi; sistem mata peran penting dalam mendukung dan memfasilitasi
pencaharian hidup; sistem religi; dan kesenian. keberadaan kebudayaan lokal. Dengan demikian,
Dengan demikian keseluruhan sistem gagasan, dibutuhkan sikap kearifan lokal dalam menanggapi
tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka upaya proses revitalisasi dan diversifikasi budaya lokal
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri agar perkembangan yang ada dapat disesuaikan
manusia dengan belajar dan mewarisinya dari dengan kebutuhan masyarakat.
generasi ke generasi. Revitalisasi kebudayaan lokal antara lain
dapat dilakukan dengan mengukuhkan kembali nilai-
1. Pelestarian kebudayaan lokal nilai luhur yang menjadi nilai intrinsik pada kebuda-
Fakta telah memberikan pelajaran bahwa yaan tertentu, meskipun dengan bentuk yang agak
kebudayaan mana pun senantiasa mengalami proses berbeda karena adanya penyesuaian-penyesuaian
perubahan yang pada akhirnya hilang. Bahkan pada kebutuhan masyarakat. Sedangkan, diversifikasi
kebudayaan besar seperti kebudayaan Sumerian, dapat dilakukan dengan membuat berbagai ragam dan
kebudayaan Mesopotamia, kebudayaan Mesir Kuno, alternatif bentuk dan penampilan dari suatu
kebudayaan lama menjadi sesuatu yang baru namun 2. Keb udayaan lo kal sebagai sumber
dapat diterima oleh masyarakat. Bagaimana pun juga, inspirasi
upaya pelestarian kebudayaan lokal harus mampu Kini, keberadaan kebudayaan pada suatu
ditunjukkan oleh komunitas pemilik kebudayaan, komunitas, telah ada terlebih dahulu yang dianut oleh
karena keberadaannya merupakan bagian dari generasi sebelumnya. Kebudayaan dibutuhkan oleh
identitas dan jati diri yang sarat dengan nilai-nilai. Nilai- manusia dan diwujudkan dalam berbagai pola perilaku
nilai tersebut dapat berupa norma-norma, adat dan produksi dalam pergaulan sehari-hari.
istiadat, petuah-petuah, pola perilaku, dan juga bentuk- Kebudayaan sebagai akar peradaban bangsa dapat
bentuk interaksi dan komunikasi melalui berbagai memberikan kontribusi signifikan bagi perkembangan
upacara dan pertunjukan. kehidupan berbangsa di tengah kehidupan global.
Pada era modern saat ini, di mana kemajuan Kekayaan kebudayaan bangsa terbukti mampu
ilmu dan teknologi begitu pesat, memaksa diri untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa yang beradab
mampu menyesuaikan agar tetap berada pada koridor dan dikenal dalam pergaulan bangsa-bangsa dunia
arus standardisasi kehidupan. Dengan demikian, lainnya dengan berbagai kekhasannya.
terjadi perubahan yang amat signifikan dalam hampir Potensi kebudayaan lokal hendaknya dapat
sem ua bi dang kehi dupan, termasuk bidang menjadi pertimbangan yang bijak dalam menata
kebudayaan itu sendiri. Karena itu dibutuhkan suatu perkembangan dan pembangunan sosial kebudayaan.
bentuk, pola, dan strategi pelestariannya yang Kearifan kebudayaan lokal selain tanpa biaya juga
disesuaikan dengan arus kehidupan yang terus memberikan pengaruh pada keuntungan sosial
bergulir. Pada titik ini, melestarikan sebuah kebudaya- ekonomi dan industri sosial, serta merupakan esensi
an tidak harus berupaya mempertahankan secara utuh dari pembangunan itu sendiri. Jika tidak menjadi
dari tampilan dan ritusnya, ataupun tabu dalam hal bagian integral dalam perencanaan pembangunan,
penyesuaian-penyesuaian pada elemen tertentu. dikhawatirkan akan menimbulkan kehilangan keaneka-
Tetapi bahkan upaya penemuan-penemuan bentuk ragaman (loss diversity) dalam tatanan kehidupan
baru dari kebudayaan tertentu, dengan nilai-nilai yang global. Kay dan Alder (1999:121-122) berkeyakinan
setara dan berdampak pada keberadaannya yang bahwa nilai-nilai kebudayaan setempat/lokal
masih dapat diterima oleh masyarakat, dapat merupakan sumber inspirasi utama bagi terbentuknya
digolongkan sebagai upaya pelestarian. Dalam hal semangat dalam pengetahuan lokal (indigenous
kesejarahan misalnya, dapat disaksikan betapa knowledge), sehingga masyarakat lokal akan memiliki
perwujudan dari sebuah diorama (senirupa), mampu kemampuan untuk memperkuat daya adaptasinya
memberikan informasi yang signifikan mengenai alur (adaptive capacity) terhadap berbagai perubahan, baik
cerita dari sebuah peristiwa tanpa teks. Demikian pula internal, maupun eksternal. Dengan demikian, segala
legenda dan cerita rakyat yang kemudian diangkat potensi dan unsur yang ada di dalam masyarakat
menjadi sebuah cerita film yang menghadirkan pelaku- dapat menjadi media, bahan, dan sekaligus motor
pelaku nyata yang seolah-olah kisah tersebut hadir penggerak yang menstimulasi daya cipta, rasa, dan
di depan mata, dengan menarik masa lampau ke karsa dan melahirkan dinamika “kebudayaan baru”.
masa kini. Betapa besar kekuatan lukisan yang Dalam era global seperti pada masa sekarang
mampu menghadirkan rekaan sosok-sosok tertentu, ini, tidak ada jaminan bahwa keberadaan kebudayaan
ataupun menerjemahkan suatu dongeng menjadi lokal tetap akan bertahan sebagaimana apresiasi
gambar berseri yang kemudian dapat diterima dengan yang diberikan oleh masyarakat dahulu dan saat
baik dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa sekarang ini. Sebagai bentuk penyesuaian dengan
kekuatan kreativitas dengan pemikiran-pemikiran dan kondisi dan situasi yang berkembang, maka sejumlah
keterampilan yang bersifat kontekstual dan holistik, alternatif dapat dilakukan oleh berbagai kalangan
dalam memaknai pelestarian kebudayaan dengan pemerhati kebudayaan agar kebudayaan lokal tidak
berbagai adaptasi perubahannya merupakan suatu ditinggalkan dan akhirnya punah.
keniscayaan yang harus dilakukan. Senada dengan Kebudayaan lokal dapat bertahan jika
upaya pelestarian kebudayaan serta perubahan yang keberadaannya dapat menyesuaikan (adaptif) dengan
ditimbulkannya, van Peursen (1976:11) menyatakan kondisi kehidupan masyarakatnya, sebaliknya jika
bahwa “kebudayaan merupakan suatu cerita tentang keberadaannya tidak lagi berfungsi bagi masyarakat
perubahan-perubahan: riwayat manusia yang selalu maka kebudayaan tersebut akan terlupakan. Merton
memberi wujud baru kepada pola-pola kebudayaan dalam (Kaplan 1999: 82) menyatakan bahwa suatu
yang sudah ada. institusi atau kegiatan budaya dikatakan fungsional
manakala memberikan andil bagi adaptasi atau membicarakan keempat dari kebudayaan etnis
penyesuaian sistem tertentu, dan disfungsional sebagaimana disebutkan di atas. Keberadaan 4
apabila melemahkan adaptasi. Meskipun secara (empat) etnis yang ada di Sulawesi Selatan memang
fungsional pada beberapa kebudayaan lokal nampak menunjukkan perbedaan bentuk dan ritual yang
masih adaptif dan berterima dalam masyarakatnya, signifikan satu dengan lainnya. Mulai dari bahasa,
namun sesungguhnya sejak awal keberadaannya adat istiadat, berbagai upacara dan perlengkapan-nya,
terus mengalami transformasi baik bentuk maupun tata busana, seni musik, seni tari, dan seni sastra.
ritualnya dari waktu ke waktu. Hal ini merupakan suatu Ragam kebudayaan tersebut bagi pelukis merupakan
keniscayaan karena perkembangan dan kemajuan di objek yang tidak habis dijadikan sebagai sumber
semua bidang kehidupan yang tidak mungkin inspirasi. Hal ini terlihat dari karya-karya lukis yang
terelakkan. Untuk itu diperlukan gagasan atau produk- dihasilkan oleh pelukis di kota Makassar yang
produk kebudayaan “baru” dengan nafas kebudayaan meskipun memotret tema kebudayaan yang sama
lama sebagai sumber inspirasi. Inspirasi dapat namun dengan tetap saja memiliki perbedaan melalui
dimaknai sebagai lahirnya suatu “gagasan baru” yang sentuhan individual-artistik dengan teknik stilasi
dipengaruhi oleh pengalaman hidup, dan bisikan hati maupun distorsi yang menjadi ciri dari masing-masing
atau pikiran yang timbul sehingga menggerakkan hati pelukis. Bahkan pada beberapa pelukis, tema-tema
unt uk m enciptakan karya/berkarya; atau kebudayaan lokal telah identik dan menjadi ciri khas
menghasilkan karya baru, ataupun melakukan suatu baginya dalam setiap menampilkan karyanya. Namun
hal yang baru. pada beberapa pelukis lainnya, selain mengangkat
Kebudayaan lokal bertebaran di semua tema-tema kebudayaan lokal juga seringkali
komunitas manusia atau pada daerah adat istiadat mengangkat tema-tema nusantara bahkan garapan
tertentu, memiliki keunikan tersendiri, dan dirasakan yang sifatnya imajinaf semata.
sebagai bagian dari kehidupan setiap manusia.
Pelukis sebagai individu yang juga tidak lepas dari B. Ruang Lingkup dan Kajian Antropologi Visual
pergaulan dalam kehidupan sosial masyarakat, sudah
barang tentu juga menganut suatu sistem budaya Visual Anthropology atau antropologi visual
tertentu dimana bergaul dan berdiam. Karena itu adalah bagian dari Antropologi Budaya yang secara
sebagai individu yang bergelut pada ranah kreativitas, khusus mengkaji mengenai cara pandang (ways of
keberadaan kebudayaan lokal dapat menambah seeing) budaya visibel; penggunaan bahan dan sistem
alternatif menciptakan karya sebagai sumber inspirasi. visual; produk seni dan budaya materi (material
Apalagi jenis kebudayaan sangat beragam bentuk dan culture) dalam suatu komunitas. Menurut Jay Ruby
tampilannya sehingga sebagai sumber inspirasi dapat (1996) menyatakan bahwa antropologi visual memiliki
dikatakan sebagai suatu lahan yang amat luas dan keyakinan bahwa budaya dimanifestasikan melalui
terbuka untuk menghasilkan karya seni yang baru, simbol-simbol baik yang terlihat; tertanam dalam
khas, kreatif dan inovatif. gerakan; upacara; ritual; dan artifak terletak di
Potensi kebudayaan lokal Sulawesi Selatan lingkungan sekitar dan dibangun secara alami. Budaya
tergolong besar karena meliputi 4 (empat) daerah dipahami sebagai perwujudan dirinya dalam skenario
kebudayaan yaitu: Kebudayaan Bugis, Makassar, dengan plot yang melibatkan “agen” dengan garis-
Toraja, serta Mandar. Mandar adalah daerah garis, kostum, alat peraga, dan pengaturan.
kebudayaan khas yang kemudian secara teritorial- Ruang lingkup antropologi v isual juga
administratif berpisah dari wilayah Sulawesi Selatan, mencakup studi antropologi dari representasi visual,
menjadi Sulawesi Barat. Meskipun sudah berpisah, termasuk bidang-bidang seperti kinerja kreatif,
namun kebudayaan Mandar masih menjadi bagian museum, produk seni, dan media massa. Bahkan
dari kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan. representasi visual dari semua kebudayaan, seperti
Kebudayaan Mandar masih dipagelarkan pada lukisan pasir (sandpaintings), tato, patung dan relief,
berbagai upacara ritual di daerah Sulawesi Selatan. lukisan gua, perhiasan, hieroglif, lukisan dan foto-foto
Hal ini dimungkinkan karena adaptasi dan keberadaan yang termasuk dalam fokus antropologi visual. Karena
kebudayaan Mandar di Sulawesi Selatan telah itu, kedudukan kajian antropologi visual bersifat
berlangsung sangat lama sehingga sulit untuk holistik, di mana kebudayaan dan representasi
mereduksinya dari pergaulan dengan masyarakat visualnya sifatnya saling terkait dan terhubung ke
Sulawesi Selatan. Karena itu, membahas masalah seluruh kebudayaan dan masyarakat sebagai isu dan
kebudayaan lokal Sulawesi selatan berarti juga topik yang menjadi titik sentralnya.
dimaksud adalah suatu upaya yang dilakukan untuk Pendidikan dan Olahraga; Gedung Kesenian dan
menunjukkan keberadaan kebudayaan lokal melalui Galeri; dan lain-lain. Tersedianya sarana dan
kesetaraan pertunjukan/perwujudan dari kebudayaan prasarana yang memadai untuk melakukan berbagai
yang dimaksud. Atau pengemasan kembali, aktivitas warganya, hal ini menunjukkan bahwa
pengayaan wujud atau diversifikasi seluruhnya, penduduk kota Makassar berupaya mengakomodasi
namun dengan makna dan nilai-nilai yang setara. kebutuhan warganya yang berasal dari berbagai suku
Sedangkan rasionalisasi citraan kebudayaan lokal bangsa dan prof esi. Salah satu profesi yang
adalah pertimbangan-pertimbangan logis yang diambil keberadaannya turut menandai simbol kekota-besaran
untuk menentukan bentuk dan kebudayaan mana yang Makassar adalah adanya profesi Pelukis yang
akan dikukuhkan kembali dalam wujud atau melengkapi atmosfir kehidupan perkotaan di kota
pertunjukan yang dapat menghasilkan penguatan Makassar. Dari sekian banyak pelukis di kota
identitas (citraan). Pelukis sebagai makhluk yang Makassar, namun dalam tulisan ini hanya akan
diberikan anugerah kreatif dari Tuhan, tidaklah serta- mengamati karya lukis dari beberapa pelukis yang
merta m enent ukan suat u obyek at au t ema secara intensif berkarya dengan mengangkat tema-
kebudayaan sebagai inspirasinya, tetapi pastilah tema kebudayaan lokal, serta telah mengikuti kegiatan
melalui suatu tahapan kesadaran yang sangat pameran seni lukis, baik pada tingkat lokal, regional,
mendalam dengan berbagai pertimbangan sehingga nasional, bahkan internasional.
muncul lah ide yang “orsinal”. Hasil karya seni Kehadiran profesi pelukis di Kota Makassar
(orisinalisasi) dari objek kebudayaan inilah yang tidak terlepas dari perkembangan kehidupan sosial
dianggap sebagai upaya untuk pencapaian tahap budaya yang menuntut adanya sarana dan fasilitas
citraan (tercitra, pencitraan). yang semakin lengkap dalam rangka pemenuhan
Dengan demikian, kebudayaan lokal kebutuhan masyarakat. Pelukis di kota Makassar
sesungguhnya memiliki potensi besar untuk dijadikan berasal dari berbagai latar belakang kehidupan sosial
objek “baru” untuk merepresentasikannya kembali budaya, ekonomi, dan pendidikan. Dari sisi asal-usul
dalam bentuk karya seni yang mengedepankan nilai kemampuan melukis, ada yang memperolehnya
estetika. Dan hal ini akan lebih kuat lagi bilamana dengan cara belajar sendiri (otodidak) dan atau atas
representasi tersebut dilahirkan melalui berbagai kesadaran sendiri belajar pada orang lain atau pada
“dialog” dan pertimbangan rasional dalam rangka sanggar seni; ada juga kemampuan melukisnya
mencapai bentuk pencitraannya yang dapat diterima diperoleh melalui jalur pendidikan formal (akademis).
sebagai bentuk lain dari imajinasi kebudayaan lokal. Dari sisi orientasi kehidupan, ada yang menjadikan
melukis sebagai profesi dan sumber pencaharian
2. Atmosfer Seni Lukis di Kota Makassar hidup; namun ada juga yang menjadikan kegiatan
Pelukis adalah orang yang menciptakan melukis sebagai kegiatan tambahan yang sifatnya
karya seni dua dimensi berupa lukisan. Selain pelukis, ekonomis-produktif; serta ada pelukis yang sekedar
istilah yang pernah populer sebagai padanan kata ini sebagai hobi sekaligus untuk mempertahankan ikatan
adalah ahli gambar. Hal tersebut dibuktikan dengan emosional dan sosial dalam komunitas pelukis. Profil
pernah berdirinya sebuah komunitas para pelukis pelukis di kota Makassar juga mencakup pelukis
Indonesia dengan nama Persatuan Ahli Gambar muda hingga pelukis senior; yang berkarya di
Indonesia (Persagi) pada tahun 1938. Menurut Pane emperan Mal menunggu pesanan, hingga berkarya
dalam (Mukhlis PaEni, 2009:92) Persagi sebagai di rumah atau di sanggar lukis, meliputi pelukis laki-
organisasi pelukis atau ahli gambar, selain merupakan laki maupun perempuan.
perkumpulan pelukis pribumi yang pertama di Hindia Dalam hal kegiatan sosialisai berkesenian
Belanda, juga berusaha mencari estetika baru dengan seperti gelar karya maupun temu seniman baik pada
semangat nasionalisme. Sema-ngat nasionalisme tingkat lokal, nasional maupun internasional, pelukis
inilah yang antara lain memicu munculnya gagasan Makassar memiliki antusiasme yang sangat tinggi.
untuk menjadikan atmosfir dan kebudayaan Indonesia Hal ini ditandai dengan hadirnya pelukis Makassar
sebagai objek lukisan. pada banyak aktifitas kesenian baik di dalam maupun
Kota Makassar sebagai salah satu kota besar di luar negeri. Hal ini menunjukkan betapa intesitas
di Indonesia memiliki infra struktur perkotaan yang berkesenian (khususnya seni lukis) di kota Makassar
terbilang memadai dan terstandar. Katakanlah semisal memiliki kontribusi yang signifikan dalam memperkuat
Bandar Udara dan Transportasi; Hotel dan Pusat kota Makassar sebagai kota Metropolitan. Pelukis-
Perbelanjaan; Tempat Hiburan dan Rekreasi; Sarana pelukis di Kota Makassar ini dalam berbagai ajang
gelar karya (pameran), objek lukisan yang ditampilkan 4. Kajian Antropologi Visual pada Lukisan
pada umumnya tema budaya lokal. Mereka percaya Pelukis di Kota Makassar
bahwa kekuatan estetika dan makna pada “budaya Sebagai mana telah dij elaskan pada
lokal” sebagai tema dan sumber inspirasi memiliki pembahasan terdahulu bahwa antropologi visual
nilai plus tersendiri dalam kancah seni lukis global. mengkaji mengenai cara pandang (ways of seeing)
budaya visibel; penggunaan bahan dan sistem visual;
3. Tema-tema Budaya Lokal yang diangkat produk seni dan budaya materi (material culture)
Pelukis di Kota Makassar dalam suatu komunitas. Maka yang menjadi landasan
Kebudayaan Sulawesi Selatan merupakan dasar untuk diamati adalah keberadaan kebudayaan
bagian dari kebudayaan nusanta-ra yang harus lokal, untuk kemudian diklasifikasi beragam sistem
dipelihara agar keberadaannya tetap lestari. Tidak visual, simbolik, materi serta aplikasinya. Sedangkan
dapat dipungkiri bahwa kebudayaan senantiasa refresentasinya dalam bentuk lukisan, akan dicermati
beradaptasi untuk menyesuaikan diri dengan produk-produk visual yang membentuknya dengan
perubahan yang t erjadi. Perubahan dan segala komposisi, stilasi dan imajinasi pelukisnya.
kesinambungan (change and continuity) adalah Karena hanya sebagai sumber inspirasi, maka
merupakan sesuatu yang alamiah dalam setiap kedudukan kebudayaan sebagai inspirator tidaklah
kebudayaan. dapat tergantikan oleh yang merepresentasikannya,
Klasifikasi Kebudayaan Sulawesi Selatan, meskipun bentuk dan imitasi yang secara cermat
sama halnya dengan klasifikasi kebudayaan universal mendekati wujudnya.
yang meliputi: Mitos dan Legenda; Religi dan sistem
upacara; sistem pengetahuan/teknologi dan a. Obyek Perahu Pinisi
organisasi sosial; Rumah adat dan kostum; Bahasa Pinisi adalah perahu layar tradisional orang
dan Kesenian. Keseluruhan cakupan dari kebudayaan Bugis-Makassar Sulawesi Selatan. Memiliki 2 (dua)
tersebut, merupakan potensi yang sangat besar untuk tiang layar utama dengan 7 (tujuh) buah layar, yaitu 3
dijadikan sebagai tema atau objek lukisan. Untuk itu, (tiga) di ujung depan, 2 (dua) di tiang depan, dan 2
seorang pelukis haruslah memahami dengan baik (dua) di tiang belakang. Sejak dahulu, digunakan
keberadaan kebudayaan tert entu sebelum sebagai alat transportasi antar pulau baik untuk
mengorganisasi dan mereflesi-kan elemen-elemen pengangkutan orang maupun barang. Itulah sebabnya
visual yang akan di ekspresikannya dalam bentuk orang-orang Bugis-Makassar hingga kini dikenal
lukisan. Obyek dan bentuk budaya lokal sebagai tema sebagai pelaut ulung, karena mendiami hampir
garapan lukisan yang banyak dijadikan sumber seluruh pesisir pantai di berbagai kawasan Nusantara,
inspirasi oleh pelukis di Kota Makassar diantaranya : bahkan konon hingga Madagaskar.
Alat Transportasi Tradisional; Kostum dan Busana
Tradisional; Mitos dan Legenda; Arsitektur Tradisional
dan Lingkungan Alam; serta Ritual dan Upacara Adat.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sulawesi
Selatan, objek dan bentuk budaya ini memang masih
banyak dijumpai. Selain itu, kepopuleran dari obyek
dan bentuk budaya lokal tersebut memberikan
sem angat tersendi ri bagi peluki s untuk
mengekspresikannya sesuai dengan pengalaman Gambar 1. Perahu Pinisi
visual dan tata nilai estetika yang di fahami dan (sumber: http://isearch.avg.com/
dikuasainya. Karena itu meskipun objek dan bentuk images?q=perahu+pinisi.....)
budaya yang sama dipilih sebagai tema lukisan,
namun setiap pelukis tetap mengekspresikannya Kepopuleran perahu Pinisi, membuat Hampir
dengan memberikan sentuhan visual individu yang seluruh pelukis di Makassar, pernah melukis perahu
sangat berbeda. Itulah sebabnya kekayaan ragam Pinisi. Hal ini disebabkan karena penggambaran
visualisai lukisan yang dihasilkan oleh pelukis sangat Perahu Pinisi memiliki peluang kreatif yang sangat
variatif. Variasi terutama pada garapan dan organisasi luas untuk memperoleh bentuk Perahu Pinisi dalam
visual; pewarnaan dan ekspresi goresan. berbagai posisi dan sudut pandang. Namun
sesungguhnya tradisi berlayar, telah dikenal oleh
nenek moyang bangsa Indonesia sejak masa
prasejarah. Hal ini ditandai dengan munculnya layar yang dikembangkan. Hal ini pun di gambarkan
berbagai ekspresi ritual pada dinding gua yang Mike Turusy yang secara cerm at mampu
menggambarkan secara jelas bentuk perahu, semisal menghadirkan perahu Pinisi dalam suasana
pada dinding gua di pulau Muna, Sulawesi Tenggara. “kegentingan” dalam mengarungi lautan. Garapan dan
pengorganisasian elemen-elemen visual yang
mendukung suasana “kegentingan” tersebut
divisualisasikan melalui kesibukan para nahkoda
kapal yang mengambil posisi berbeda; ombak yang
tinggi; air laut yang masuk melewati dan mengucur
dari lambung perahu; kemiringan posisi perahu; serta
langit yang mendung. Pesan-pesan simbolik yang
diketengahkan pada organisasi elemen-elemen visual
(a) (b)
dimana satu sama lainnya memberikan suatu
interaksi hukum sebab-akibat. Hasil organisasi visual
inilah yang kemudian dimaknai sebagai “kegentingan”.
Kegentingan adalah suatu keadaan darurat yang
dialami secara tak terduga, sehingga mengharuskan
pengambilan suatu keputusan dengan tindakan nyata
yang dilakukan secara secara terorganisir (terkadang
juga tidak terorganisir) berdasarkan pengalaman
(c)
individu. Perilaku-perilaku yang ditunjukkan pada
Gambar 2. Perahu (Pinisi) dalam berbagai aplikasi orang-orang di atas perahu Pinisi karya pelukis Mike
(a) lukisan Perahu layar di dinding goa di pulau Muna Turusy yang masing-masing berupaya mengendalikan
Sulawesi Tenggara, (b) Miniatur Perahu Pinisi di kestabilan perahu Pinisi sebagai bentuk ilustrasi
Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, (c) Gambar penguatan suasana.
Perahu Pinisi pada uang kertas pecahan
Berdeda dengan lukisan perahu Pinisi karya
seratus rupiah
(sumber: Buku Sejarah (sumber: http:// Zai nal Beta, yang justru berimaji nasi dan
isearch.avg.com/images?q=perahu+pinisi) mengekspresikan perahu Pinisi dalam suasana yang
Kebudayaan Indonesia,2009) tenang dan damai. Elemen-elemen perahu Pinisi juga
divisualisasikan secara lengkap dan proporsional,
Dalam ekspresi lukisan, pada umumnya yang terdiri dari 2 (dua) tiang dan 7 (tujuh) layar dan
bentuk dan proporsi perahu Pinisi karya pelukis di pondok pada bagian belakang perahu. Suasana
kota Makassar, sangat memperhatikan elemen- tenang dan damai yang ditunjukkan dengan visualisasi
elemen kelengkapan perahu Pinisi secara sempurna, digulungnya semua layar; ombak kecil-datar; nahkoda
dengan menggambarkannya secara proporsional dan orang-orangnya tidak dinampakkan; posisi perahu
antara satu elemen dengan yang lainnya. Hal ini stabil; cuaca yang tenang. Pengorganisasian elemen-
terlihat dengan divisualisasikannya dengan cermat elemen visual ditunjukkan dengan kuatnya keterkaitan
bentuk dasar dari lambung, pondok, tiang dan layar antara satu objek dengan obyek lainnya (perahu, laut,
sesuai bentuk dan proporsi yang ideal. langit), dimana seluruhnya digambarkan normal.
Pada lukisan Mike Turusy, penggambaran Penggambaran ketenangan dan suasana perahu
perahu Pinisi ditampilkan dengan menggulung salah Pinisi yang utuh tampak samping mengarah ke kanan,
satu layar pada tiang belakang, serta pada layar merupakan imajinasi yang diekspresikan oleh Zainal
lainnya dibiarkan terbuka, hal ini secara visual Beta, menunjukkan bahwa dia faham antropologi
memberikan perimbangan proporsi bidang/objek visual budaya (perahu Pinisi) dan mengerti antropologi visual
antara layar-layar yang terkembang di bagian tengah (pilihan ekspresi elemen visual) sehingga apa yang
ke depan, dan bidang tengah belakang sesuai arah dia pikirkan untuk menghadirkan sosok perahu Pinisi
perahu, yang bidang obyeknya berupa pondok/ruang dalam suasana tenang mampu terilustrasikan dengan
tertutup dan tempat mengarahkan kemudi (guling). baik. Kekuatan penggambaran suasana ketenangan
Untuk mengarahkan dan menguasai lajunya perahu perahu Pinisi karya Zainal Beta, juga didukung oleh
Pinisi di tengah-tengah gulungan ombak yang besar olahan teknik melukisnya yang menggunakan jari
dengan angin yang bertiup kencang, maka strategi dengan media tanah liat. Aplikasi sentuhan jari
yang dilakukan adalah dengan mengurangi jumlah langsung pada kanvas di satu sisi mampu memberikan
kekuatan pada spontanitas ekspresi bentuk yang berbagai adaptasinya, sudah dikenakan untuk
dihasilkan, namun pada sisi lain sulit menghadirkan berbagai keperluan baik untuk acara formal maupun
objek secara detail. Dengan demikian, esensi dari non-formal.
penggambaran obyek dengan teknik jari adalah
bagaimana pesan visual dapat difahami oleh
masyarakat. Hal ini pun sudah dilakukan oleh nenek
moyang kita pada masa prasejarah dimana lukisan-
lukisan jari pada dinding goa ditemukan di berbagai
negara.
Media tanah liat sebagai satu-satunya unsur
pembentuk objek menghasilkan rupa monokrom. Hal
ini berarti tampakan obyek sangat ditentukan oleh
gradasi warna yang cakupan rentangannya banyak.
Pada titik ini pula terletak kekuatan dan kekhasan
lukisan Zainal Beta selain tema dan kemampuan
organisasi visual yang diekspresikannya.
Mike Turusy dan Zainal Beta merupakan dua
orang pelukis otodidak yang ada di kota Makassar.
Keduanya pun secara non formal senantiasa terus
belajar memahami keberadaan kebudayaan lokal
(antropologi budaya) dan terus bereksperimen
(antropologi visual) untuk menambah wawasan serta Gambar 4. Foto Perempuan Berbaju Bodo
memperkuat identitas kekaryaannya. (Sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Baju Bodo)
(a) (b)
Mitos adalah cerita prosa rakyat yang visual dan semangat cara pandang (ways of seeing)
menceritakan kisah-kisah pada masa lampau. posisi antara laki-laki dan perempuan. Cara pandang
Kisahnya, mengandung penafsiran tentang alam dan elemen visual yang saling mengait pada objek 2
semesta dan keberadaan makhluk di dalamnya, yang (dua) naga tersebut berkonotasi adanya satu kesatuan
dianggap benar-benar terjadi oleh komunitasnya dan yang tidak terpisahkan. Dengan penggambaran
penganutnya. Sedangkan legenda adalah cerita demikian, nampak dengan jelas bahwa kekuatan aura
rakyat yang telah lama beredar dalam masyarakat Naga Sikoi’ sebagai suatu benda supranatural
yang dianggap sebagai sesuatu yang pernah terjadi. memiliki magnet yang kuat untuk menggaet lawan
Legenda dapat bersifat sekuler atau suci dan tokoh- jenis sebagaimana kepercayaan pada fenomena
tokoh utamanya adalah manusia (Sutarto, 1996: 12- tersebut.
13). Lukisan Mike Turusy yang berjudul “Battu
Dalam menterjemahkan berbagai peristiwa Ratema ri Bulang” terimajinasi dari lagu daerah
sebagaimana diuraikan di atas, baik pada peninggalan Makassar yang menceritakan seseorang telah datang
budaya materil (artifak: aksara) maupun pada kebu- dari bulan serta bertanya dan berdialog dengan
dayaan non-material (mitos dan legenda) dalam bintang-bintang. Cerita ini tidaklah mudah untuk
bentuk ekspresi seni lukis, pemahaman antropologi direpresentasikan karena tidak jelas siapa sosok yang
v isual menjadi sangat penting dalam upaya pernah ke bulan. Namun, Mike Turusy mencoba
memahami secara mendalam mengenai bentuk, mengasosiasikan perahu Pinisi sebagai “sosok” yang
peristiwa dan cerita yang utuh, untuk kemudian mewakili “seseorang” yang telah datang dari bulan
direkonstruksikan baik secara imajinatif maupun dan berbincang dengan bintang. Pemilihan obyek
secara imitatif . Lukisan karya Moh. Thamrin perahu Pinisi sebagai ikon untuk merepresentasikan
Mappalahere yang berjudul Citra Primitif misalnya, orang dan atau sebagai asosiasi terhadap optimisme
mencoba berimajinasi imitatif terhadap aksara lontara dan semangat. Karena itu, peminjaman ikon perahu
dalam berbagai kemungkinan artistiknya tanpa Pinisi sebagai pelaku yang datang dari bulan suatu
meninggalkan bentuk visual dasar dari aksara lontara ide yang kreatif. Terlepas dari gaya lukisan surealis
tersebut. Elemen aksara lontara, komposisi serta yang menandai ragam kekuatan seni lukis modern.
komponen visual lainnya secara keseluruhan Dalam konteks lukisan karya Mike Turusy ini,
membentuk satu kesatuan garapan dalam satu tema nampaknya berupaya menghadirkan seluruh elemen
dengan citra Sulapa’ Eppa’/Sulapa’ Appa’. Meskipun visual yang menandai keutuhan cerita legenda.
sudah dalam bentuk lukisan, namun Moh. Thamrin Elemen-elemen itu adalah bumi, bulan, bintang dan
Mappalahere t etap konsisten dengan tetap planet lainnya dalam tata surya, serta sebuah perahu
mengangkat nilai-nilai luhur dari lontara’ sebagai media Pinisi dalam posisi stabil dan lengkap dalam berlayar
komunikasi untuk wejangan atau pesan-pesan leluhur. beserta nahkoda kapal yang sigap seolah-olah
Hal ini dibuktikan dengan memvisualisasikan aksara sedang menantang samudera luas di lautan. Secara
lontara dalam bentuk huruf, kata atau pun kalimat di antropologi visual hal ini membuat sebuah fenomena
antara olahan ekspresi estetik sebagai bagian dari berpindah dari suatu konteks realitas ke konteks
lukisan Citra Primitif. imajinatif-visualitatif yang bermakna konotatif.
Amrullah Syam mencoba mengangkat suatu
mitos yang telah lama diketahui dan berkembang
dal am masyarakat tentang kekuat an unsur
supranatural yang mengandung unsur irasional. Mitos
tersebut adalah Naga Sikoi’ (Naga yang saling
mengait). Hanya saja Amrullah Syam mengolah rupa
Naga sebagaimana persepsi visualnya tentang naga.
Naga yang selama ini dipersepsikan sebagai binatang
super-power yang mampu meluncurkan api dari
mulutnya, namun sangat bersahabat dengan manusia.
Untuk itu unsur api yang identik dengan naga tidak
divisualisasikan. Sukma Naga Sikoi diyakini mampu
memberikan suatu stimulus aura positif dalam upaya (a) (b)
menarik lawan jenis. Secara antropologi visual
Amrullah Syam mampu mendeskripsikan elemen
menangkap elemen-elemen visual dan suasana dalam dalam bentuk visual representasional dan atau non
sebuah prosesi acara pernikahan adat Bugis- representasional. Kebudayaan sebagai sumber
Makassar. Visualisasi ritual hantaran pengantin yang inspirasi dalam melukis, telah lama dilakukan oleh
diekspresikan memberikan gambaran yang sangat manusia ditandai dengan ditemukannya beberapa
lengkap, baik dari sisi peran orang-orang (gesture) lukisan pada dinding gua pada masa primitif. Dalam
sebagai pelaku utama, serta atmosfir lingkungan yang perkembangan peradaban manusia, tradisi melukis
sangat t radisional . Tampilan v isual yang terus beradaptasi dengan kemajuan ilmu pengetahuan
diorganisasikan oleh Budi Haryawan keseluruhannya dan teknologi. Dalam mengkaji dan memahami
bersifat fotografis. Aspek antropologi visual sangat keberadaan seni lukis, pendekatan antropologis,
dominan tergambarkan secara ilustratif, dimana cara sosiologis, filosofis merupakan alat bedah pisau yang
pandang budaya visibelnya sangat berkarakter dapat membuka misteri “simbol” dibalik visualisasi
dengan visualisasi ikon-ikon yang ditampilkan. yang ditampilkan. Bidang antropologi visual, me-
Demikian pula dengan olahan elemen objek, satu rupakan ilmu yang mengkaji keberadaan dan
persatu disentuh dengan kesempurnaan bentuk, fenomena visual mengenai cara pandang (ways of
warna dan proporsi. Dengan demikian, lukisan Menuju seeing) budaya visibel; penggunaan bahan dan sistem
Hidup Baru ini, mampu melahirkan deskripsi yang visual; produk seni dan budaya materi (material
standar bagi orang yang memiliki pemahaman budaya culture).
lokal yang baik. Meskipun itu tidak persisi sama pada Keberadaan pelukis di kota Makassar telah
tataran setiap orang, namun secara visual memiliki menjadikan kebudayaan lokal Sulawesi Selatan
tingkat pemahaman yang lebih baik. sebagai identitas dalam menghasilkan produk
visualisasi baru yang bertransformasi ke konteks 2
(dua) dimensi berupa lukisan. Nilai-nilai kebudayaan
lokal telah ditelusuri dengan pemahaman deskripsi
mendalam (thick description) sehingga mereka dapat
memproduksi visualisasi ikon, simbol dengan merepre-
sentasikan kebudayaan yang terinspirasikan. Tulisan
ini telah mengangkat beberapa kebudayaan materil
(a) (b) dan non-materil Sulawesi Selatan sebagai sumber
Gambar 9. Lukisan Suasana dan Pemandangan Alam inspirasi pelukis di kota Makassar. Kebudayaan
(a) Balla Lompoa, Ahmad Fauzy (dokumentasi Ahmad materil diantaranya: perahu Pinisi dan Baju Bodo.
Fauzy), (b) Menuju Hidup Baru (1998), Budi Haryawan Sedangkan kebudayaan non materil diantaranya:
(dokumentasi Budi Haryawan) aksara dan sastra lokal, mitos dan legenda. Sumber
inspirasi lainnya adalah pesona alam yang
C. Kesimpulan menggam-barkan keindahan alam Sulawesi selatan.
Perbedaan sudut pandang, gaya dan sensitivitas
Keberadaan pelukis sebagai bagian dari est etik dari masing-masing pelukis dalam
lingkungan masyarakat, sangat dipengaruhi oleh mengekspresikan karyanya membuat lukisan dari
kondisi sosi al kebudayaan dimana mereka satu sumber inspirasi (budaya) menghasilkan
berinteraksi dan berhubungan secara intens. Itulah visualisasi yang berbeda. Hal ini merupakan kodrat
sebabnya inspirasi dan ekspresi pelukis tidak dapat produk seni budaya yang memang lahir dan diterima
dipisahkan dari pengaruh li ngkungan dan dengan sentuhan individu yang berbeda. Apalagi dalam
pengalamannya. Ragam kebudayaan lokal telah lukisan telah terjadi transformasi material, tekstur,
memperkaya kapasitas memori estetik setiap bentuk, warna, dan makna yang disandangkan
individu. Hal itu merupakan energi potensial yang padanya. Dengan demikian, makna pada lukisan
dapat dimanifestasikan ke dalam berbagai media selalu dimaksudkan sebagai representasi dari sebuah
untuk memproduksi budaya non-materil (pengetahu- kebudayaan. Karena wujudnya yang berubah, maka
an, perilaku, dan lain-lain) dan memproduksi budaya lahirlah pemaknaan baru yang dapat terbangun,
materil (karya seni visual, benda-benda pakai lainnya). meskipun dengan segala tingkat transformasi
Salah satu karya seni visual adalah lukisan, pemaknaan yang ikut berubah. Menurut Madan Sarup
merupakan karya seni dua dimensi yang inspirasinya (2008:48), “makna tidak pernah identik dengan dirinya
dapat bersumber dari kebudayaan dan lingkungan sendiri karena muncul pada konteks yang berbeda-
alam dikemas secara imajinatif, intuitif, serta imitatif beda, tanda tidak pernah memiliki makna yang mutlak
sama. Makna tidak akan pernah sama dari satu Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi,
konteks ke konteks yang lain; petanda akan selalu Jakarta: Rineka Cipta, Cetakan ke 8.
diubah oleh pelbagai macam mata rantai penanda
PaEni, Mukhlis (editor umum). 2009. Sejarah
yang menjeratnya”.
Kebudayaan Indonesia, Sistem
Kebudayaan lokal Sulawesi Selatan, sebagai
Pengetahuan, Jakarta, PT RajaGrafindo
sumber inspirasi dalam berkarya seni lukis telah
Persada.
ditunjukkan oleh pelukis di kota Makassar dengan
berbagai sentuhan estetis individual dalam berbagai ———————————————. 2009. Sejarah
gaya. Lukisan-lukisan tersebut memiliki ciri khas Kebudayaan Indonesia, Bahasa, Sastra,
dengan keberadaan objek budaya lokal sebagai dan Aksara, Jakarta, PT RajaGrafindo
sumber inspirasi. Dalam kegiatan pameran seni lukis, Persada.
pelukis di kota Makassar aktif berpartisipasi baik pada ———————————————. 2009. Sejarah
tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional. Kebudayaan Indonesia, Bahasa, Seni Rupa
Karya yang dipamerkan pada umumnya tema dan Desain, Jakarta, PT RajaGrafindo
kebudayaan lokal Sulawesi Selatan. Dalam hal Persada.
pemasaran, pelukis di kota Makassar tidak memiliki
pasar seni secara khusus, namun bila kegiatan Ruby, Jay. 1996. Visual Anthropology. In Encyclopedia
pameran seni lukis di gelar, para kolektor lokal maupun of Cultural Anthropology, editors: David
dari luar kerap mengoleksi karya seni lukis, terutama Levinson and Melvin Ember, New York:
yang bertema kebudayaan lokal. Henry Holt. and Company, vol. 4.
Sarup, Madan. 2008. Postrukralisme &
KEPUSTAKAAN Posmodernisme, Yogyakarta, Jalasutra.
Sutarto. 1996. Legenda Kasada, dan Karo Orang
Buhannan, Paul., Glazer, Mark. 1998. High Point in
Tengger Lumajang, Depok, Fakultas Sastra
Anthropology Second Edition, New York:
Universitas Indonesia.
Alfred A. Knopf.
Kaplan, David. 1999. Teori Budaya (terjemahan), Van Peursen, Cornelis Anthonie., Dick Hartoko. 1976.
Strategi Kebudayaan, Yogyakarta, Penerbit
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kanisius.
Kay and Alder. 1999.Coastal Planning and
Management, vol. 8(2), John Wiley & Sons,
Ltd.