Anda di halaman 1dari 10

BAB III

PEMBAHASAN

Keberagaman Menjadi Jati Diri Bangsa


Hidup bertoleransi, tenggang rasa, saling membantu, menghormati, menghargai perbedaan, tidak
dibedabedakan atas status social di dalam pergaulan masyarakat, adanya keadilan, keadaban dan
perikemanusiaan merupakan Langkahlangkah nyata yang dilakukan tadi adalah cara agar
masyarakat multicultural dapat hidup bersama-sama dan berdampingan (Mahfud, 2013).
Masyarakat multikultur harus dapat berdampingan satu sama lain dalam lingkungan yang sama,
dimana berdampingan atas perbedaan yang ada baik budaya, suku, dan lain-lainya. Nilai-nilai
pluralistik yang ditransmisikan dari Pendidikan multikultur termasuk juga nilai humanisme dan
konsep demokrasi, dengan demikian multikultur tidak bisa berdiri sendiri namun didukung atau
disertai oleh nilainilai yang ada di sekitarnya (baik etnisitas, budaya, kebiasaan, norma yang
digunakan dan lain-lain) (Yaqin, 2005).
Di dalam Pendidikan multikultur di Philipina, kurikulum multikultur menggunakan empat teori
inti multikulturalisme dari Bennet yaitu 1) menghormati hak-hak azasi manusia dan martabat
manusia; 2) menerima dan menghargai perbedaan yang ada; 3) memiliki rasa tanggung jawab
bagi masyarakat dunia; 4) bertanggung jawab dan melindungi bumi (Bennett, 2003; Derico,
Guimba, & Alico, 2019). Pendidikan multikultur merupakan suatu pendidikan yang saling
menghormati antara satun dengan yang lainya. Kesadaran untuk menghargai keberadaan orang
lain baik dalam keberagamannya, latar belakang budayanya, dan mencintai sesama tanpa
memandang perbedaan adalah perwujudan dari inklusif-multikultural yang harus dijaga
eksistensi dan aktualisasinya di tengahtengah kehidupan masyarakat (Yusuf & Ruslan, 2014).
Nilai-nilai multikultural lainnya yang harus selalu dipertahankan adalah mencintai bangsa dan
tanah air, saling menghargai dalam perbedaan dan pluralitas, mencintai sesama manusia, mampu
mengemban amanah dengan baik, dan memiliki sikap demokratis. Kegiatan mempertemukan
siswa dari latar belakang budaya dan agama yang berbeda, mempertemukan siswa dari berbagai
sekolah yang berbeda merupakan salah satu cara di dalam pendidikan untuk memberikan
pemahaman, pengertian, dan memperkuat sikap mereka bahwa nilai pluralis dan masyarakat
pluralistik sangat jelas ada di hadapan mereka (Adha, 2019).
Mengusung berbagai jenis kegiatan yang melibatkan siswa di dalam praktik belajar dalam
kaitannya dengan kehidupan pluralistik menjadi penting diselenggarakan secara rutin dan
menyentuh pengalaman siswa itu sendiri. Pengalaman dari hasil interaksi (praktik). Pendidikan
menjadi salah satu komponen penting di dalam memberikan pengalaman dan keterampilan
bersikap bagi siswa melihat keragaman dan memposisikan diri menjadi bagian dari pluralistik
sehingga mampu melihat dari berbagai perspektif. Nilai dan perilaku seperti ini diapresiasi agar
menyemangati generasi penerus masa depan bangsa untuk mempertahankan nilai tradisi maupun
budaya yang menjadi bagian dari multikulturalisme sehingga identitas nasional bangsa menjadi
lebih kuat.
Outdoor civic education program yang diselenggarakan oleh Yayasan Bener Indonesia
memfasilitasi kegiatan di luar ruangan yang memperkuat hubungan, pemahaman, dan solidaritas
siswa dari latar belakang agama dan sekolah yang berbeda (Santoso & Adha, 2019) Program ini
adalah untuk menumbuh kembangkan pemahaman, sikap, dan perilaku siswa untuk memiliki
pandangan bahwa semua adalah bersaudara dan saling mengasihi walaupun berbeda-beda baik
dalam agama, budaya, dan adat istiadat. Penguatan identitas nasional di dalam pendidikan juga
dapat dilakukan dan dijumpai pada penggunaan model-model pembelajaran yang dikembangkan
dengan melibatkan partisipasi siswa baik di dalam kelas dan di luar kelas (Tampubolon, 1980).
Pendekatan komplementer yang diaplikasikan melalui program atau kegiatan secara signifikan
menumbuhkan rasa persaudaraan (prioritas pada perspektif) di tengah perbedaan tanpa
meninggalkan ciri khas maupun identitas masing-masing. Persoalan yang ada di identitas
nasional menjadi sebuah catatan untuk menguatkan dan mengukuhkan kembali identitas
nasional. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang bekerjasama dan berinteraksi dengan bangsa-
bangsa lain baik dalam konteks interaksi sosial dan budaya, maka dari itu identitas bangsa tidak
hanya bersifat statis melainkan dinamis di tengah kehidupan warga global (Kaelan, 2013).
Identitas nasional yang berjalan selaras dengan etnisitas, maka identitas lokal atau identitas
tradisional yang ada pada masyarakat dikembangkan dalam payung struktur pluralisme, karena
identitas lokal sebagai karakteristik/penciri kelompok masyarakat di berbagai wilayah,
khususnya di Indonesia. Defini etnis lebih melekat dalam konteks komunitas masyarakat yang
secara sosial dipahami dan dikenal dari sudut pandang keturunan yang memunculkan sebuah
kelompok sosial (Fearon & Laitin, 2003). Nilai, kebiasaan, budaya, dan tradisi lokal secara
mendasar merupakan komponen utama yang sangat penting untuk membangun identitas
nasional. Peristiwa atau fenomena munculnya sikap primordialisme atau munculnya suatu
identitas “kerajaan” seperti Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire merupakan indikasi yang
dapat memengaruhi identitas nasional, terlebih setiap anggota harus patuh pada perintah, namun
pada sisi lain memunculkan polemik di dalam masyarakat (keresahan) (Cakranegara, 2020;
Hidayah & Michael, 2020).
Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire tidak memiliki dasar hukum pembentukan organisasi
kemasyarakatan dan tidak tercantum sebagai organisasi legal dan dapat dikatakan bahwa
organisasi ini merupakan organisasi yang bersifat fiktif, serta tidak ada fakta sejarah pada
kesejarahannya dengan kerajaan terdahulu (Hidayah & Michael, 2020; Palinggi &
Prayogyandarini, 2020). Mengantisipasi hal serupa, maka pendidikan khususnya Pendidikan
multikultural (Rohman & Ningsih, 2018) dalam mengembangkan daya nalar kritis setiap siswa
dan masyarakat pada umumnya serta peran serta negara di dalam aktivitas kehidupan masyarakat
sehari-hari sangat dibutuhkan (Cakranegara, 2020).
Peran agama di dalam membangun dan memperkuat identitas nasional sangat penting karena
agama mendukung kohesi sosial melalui simbol, ritual, norma, Kerjasama, ritus yang
mengembangkan solidaritas di dalam masyarakat. Agama berperan di dalam memberikan
pemahaman dan implementasi nilai-nilai multikultural dengan mengedepankan sikap toleransi,
saling menghargai, menyayangi, menghormati yang diaplikasikan di rumah ibadah dan kegiatan
keagamaan (Istiqomah, 2017) di dalam pembangunan identitas nasional. Agama memegang
peranan penting di dalam kehidupan masyarakat dan menciptakan hegemonisasi solidaritas yang
tinggi. Peran dan nilainilai agama memberikan pemahaman maupun kesadaran kepada setiap
individu bahwa sebuah perbedaan yang ada pada masyarakat/umat manusia bukan menjadi
problematika atau penghambat. Sikap yang dimiliki oleh warga negara untuk menciptakan
kebersamaan di dalam masyarakat adalah sikap arif dan bijaksana dalam bingkai kerukunan antar
umat beragama.

Budaya Sebagai Jati Diri Bangsa


Budaya adalah panutan atau cara hidup dalam suatu kumpulan atau golongan masyarakat yang
dijadikan sebagai patokan atau standar dalam berperilaku atau bertindak, sehingga budaya
seringkali membawa warna, corak, pembeda, atau tradisi yang diwariskan pada suatu kelompok
zaman atau generasi. Menurut Koentjaranganingrat (1990: 49), kebudayaan terdiri dari tujuh
unsur, meliputi bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan,
religi, dan kesenian. Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa menjaga dan
melestarikan kebudayaan-kebudayaan asli Indonesia sama saja dengan mempertahankan jati diri
atau identitas bangsa. Sebagai generasi bangsa Indonesia, kita wajib untuk menjaga, merawat,
dan melindungi kebudayaan tersebut.
Kata budaya atau kebudayaan sebenarnya adalah kata yang bersumber pada bahasa Sanskerta,
yaitu buddhayah. Kata ini berasal dari kata Buddhi yang sebenanya adalah wujud jamak yang
dapat digambarkan sebagai sikap-sikap yang berhubungan dengan akal dan jiwa manusia. Selain
pengertian itu, kata kebudayaan dapat pula diartikan sebagai pola-pola hidup yang berkembang
dan dianut dalam suatu kelompok yang nantinya akan diturunkan dari suatu generasi atau zaman
ke sebuah generasi atau zaman berikutnya. Kebudayaan yang terbentuk bisa beranekaragam,
mulai dari adat istiadat, pakaian, agama dan politik, serta karya seni.
Dengan globalisasi yang semakain bebas dan lapang, tidak mengherankan lagi bahwa akan ada
banyak kebudayaan-kebudayaan berasal dari luar Indonesia yang akan masuk ke Indonesia
dengan mudahnya. Arus globalisasi ini memang tidak bisa dihindari karena teknologi dan
pertukaran informasi antar negara menjadi sangat cepat. Sebenarnya kebudayaankebudayaan
asing yang masuk ke Indonesia ini tidaklah menjadi masalah. Namun kebudayaankebudayaan
asing ini harus disaring dan dipilah dahulu. Jangan semua kebudayaan kita terima begitu saja.
Tidak banyak pula warga negara Indonesia yang malah lebih bangga akan kebudayaan asing
dibandingkan kebudayaannya sendiri.
Sikap seperti inilah yang secara tidak sadar dapat menyebabkan jati diri bangsa Indonesia luntur
sedikit demi sedikit. Menurut Kurniawan (2019: 35) adanya perubahan dalam suatu masyarakat
dapat terbentuk karena terdapat variabel-variabel baru yang dinlai oleh masayarakat lebih baik
atau memuaskan seseorang dibandingkan variabel-variabel yang lama. Bukan tidak mungkin
akan ada perubahan-perubahan yang terjadi akibat maraknya kebudayaan-kebudayaan dari luar
yang masuk ke Indonesia. Baik itu perubahan positif, maupun negatif. Apabila perubahan
perubahan negatif yang masuk, maka hal ini dapat menyebabkan menggerogoti atau mengurangi
jati diri bangsa.
Menurut Baharuddin (2017: 187-189), terdapat beberapa faktor yang dapat menjadi pendorong
serta penghambat perubahan kebudayaan dalam masyarakat. Faktor-faktor yang mendorong
tersebut meliputi:
(1) Adanya keragaman dan munculnya budaya baru. Dengan keanekaragaman dan munculnya
kebudayaan baru dapat menyebabkan semakin banyak kebudayan yang akan diserap oleh
seseorang, sehingga kemungkinan untuk terjadi perubahan kebudayaan sangat besar;
(2) Adanya perubahan jumlah penduduk dalam suatu masyarakat. Adanya pertambahan atau
pengurangan jumlah penduduk dapat menyebabkan perubahan dalam struktur sosial masyarakat,
sehingga perubahan-perubahan terhadap kebudayaan dapat terjadi;
3) Adanya konflik. Adanya konflik ini dapat terjadi karena keberagaman individu dalam suatu
masyarakat, sehingga memunculkan beranekaragaman pikiran yang dapat menyebabkan
bentrokan atau konflik antar sesama masyarakat;
(4) Keterbukaan dalam masyarakat. Masyarakat yang terbuka lebih condong untuk mudah dalam
menerima informasi atau kebudayaan yang ada. Hal ini dapat mendatangkan adanya transformasi
atau perubahan pada suatu golongan masyarakat;
(5) Sistem pendidikan yang maju. Pendidikan yang semkain maju menandakan kualitas SDM
yang semakin tinggi pula. Hal ini dapat membuat pola pikir suatu masyarakat menjadi semakin
maju dan berorientasi ke masa depan, sehingga dapat menyebabkan perubahan kebudayaan
dalam masyarakat;
(6) Adanya proses akulturasi. Akulturasi adalah percampuran dua buah kebudayaan yang berbeda
dari dua bangsa yang berbeda yang dapat saling mempengaruhi. Proses ini biasanya terjadi
dalam skala waktu yang lama dan terjadi secara terus menurus dari waktu ke waktu;
(7) Adanya proses asimilasi. Asimilasi adalah suatu proses peleburan dua buah kebudayaan yang
berbeda dari dua bangsa yang berbeda yang menciptakan kebudayaan-kebudayaan baru.
Bertambahnya kebudayaan akan mengakibatkan perubahan-perubahan dalam suatu masyarakat.
Selain faktor-faktor yang mendorong, ada juga faktor-faktor yang menghambat yang
mengakibatkan kebudayaan tidak bisa masuk dalam suatu masyarakat. Faktor-faktor yang
menghambat tersebut meliputi:
(1) Kurangnya perkembangan ilmu pengetahuan;
(2) Masyarakat yang masih berpedoman pada hal-hal tradisional;
(3) Kurangnya interaksi antar sesama anggota masyarakat;
(4) Sikap idiologis yang kuat pada masing-masing anggota;
(5) Adanya adat, jati diri, atau kelaziman yang sudah terukir kuat;
(6) Adanya sikap atau pendirian yang kuat.
Menurut Suryana dan Dewi (2021: 600-601) mengemukakan bahwa pada era globalisasi yang
semakin maju seperti saat ini, menyebabkan adanya perubahan-perubahan atau transformasi-
transformasi yang sangat cepat. Arus infromasi globalisasi yang sangat deras ini dapat perlahan-
lahan menggerogoti jati diri bangsa Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan suatu sikap atau
pandangan yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk memperkuat dan memperteguh jati diri
bangsa Indonesia. Salah satunya dengan Wawasan Nusantara.

Bahasa Indonesia Sebagai Jati Diri Bangsa


Menurut Sedyawati (1998) jati diri bangsa adalah suatu pengertian yang abstrak dan dapat
mengalami perubahan-perubahan substansi mengikuti kejadian-kejadian sejarah berkenaan
dengan bangsa yang bersangkutan. Jati diri bangsa ada yang bersifat kasat mata dan ada pula
yang tidak kasat mata. Jati diri yang kasat mata misalnya pakaian, makanan, tarian, dan lain. Jati
diri yang tidak kasat mata misalnya rantau, siri, eling, dan lain-lain. Di tengah kehidupan
masyarakat Indonesia yang multikultural ini, tentu bukan pekerjaan mudah untuk menyepakati
jati diri bangsa yang diakhiri dengan kata Indonesia. Misalnya, ketika diajukan pertanyaan mana
pakaian Indonesia, jawabannya tentu akan lebih dari satu. Ada yang akan menjawab rendang,
bakso, sate, pempek, gudeg, dan lain-lain. Semua jawaban yang dikemukakan itu memang benar.
Contoh lain lagi ketika ditanya nama kesenian Indonesia, sekali lagi, jawabannya tentu lebih dari
satu. Ada yang akan menjawab wayang, randai, jaipong, reog, dan lain-lain. Lain halnya jika
diajukan pertanyaan apa bahasa nasional di Indonesia, pasti jawabannya hanya satu, yaitu bahasa
Indonesia. Jawaban yang dikemukakan ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia yang
multikultural sepakat menyatakan bahwa jati diri bangsa Indonesia berkaitan dengan bahasa
adalah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa Indonesia sebenarnya sudah
berlangsung sejak lama. Paling tidak, dapat dicatat sejak diikrarkan Sumpah Pemuda 28 Oktober
1928. Para tokoh pemuda di kala itu berkeyakinan bahwa alat yang paling memungkinkan
menjadi perekat pelbagai suku bangsa waktu itu adalah bahasa, yaitu bahasa Indonesia.
Menariknya, ketika itu negara Indonesia belum ada, tetapi para pemuda sudah memberikan nama
bahasa Indonesia. Perkembangan lebih lanjut adalah dilaksanakan Kongres Bahasa I tahun 1938
dan puncaknya tanggal 18 Agustus 1945 disahkan UUD 1945. Dalam UUD 1945 pasal 36
dinyatakan bahwa bahasa negara adalah bahasa Indonesia. Berkaitan dengan sejarah
perkembangan bahasa Indonesia sebagai jati diri, Sedyawati (1993) membagi tiga tahapan
perkembangan bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa. Tahap pertama, perkembangan fungsi
bahasa Indonesia terjadi pada masa pra-kemerdekaan bangsa Indonesia. Pada tahap ini bahasa
Indonesia berfungsi sebagai sarana pembentuk kesadaran akan kesatuan bangsa, kesadaran akan
kebutuhan bersatu mengatasi keanekaragaman budaya dan juga kesadaran akan perbedaan
bangsa Indonesia dari bangsa-bangsa asing di luarnya. Tahap kedua, perkembangan fungsi
bahasa Indonesia terjadi pada masa kemerdekaan awal. Pada tahap ini negara Republik Indonesia
teleh terbetuk, tetapi masih mengalami masa pancaroba dalam bidang politik dan kemiliteran.
Rongrongan terhadap persatuan bangsa dilakukan oleh pelbagai pihak musuh. Dalam situasi itu,
pelaksanaan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara merupakan peningkatan
fungsi bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia bukan saja merupakan lambang persatuan bangsa,
melainkan telah menjadi bagian dari kehidupan bernegara yang memerlukan pengelolaan
tersendiri. Tahap ketiga, perkembangan fungsi bahasa Indonesia terjadi ketika kekuatan negara
Republik Indonesia semakin mantap. Organisasi pengelolaan bahasa pun semakin mantap, dana
untuk pelaksanaan berbagai usaha pun tersedia, pakar-pakar Indonesia yang ahli dalam bidang
bahasa dan sastra semakin bamyak, dan karya-karya ilmiah yang bermutu telah banyak ditulis
dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa Indonesia secara jelas dan
tegas dirumuskan dalam hasil Seminar Politik Bahasa Nasional. Menurut Halim (1975) bahasa
Indonesia di negara Indonesia memiliki dua macam kedudukan, yaitu bahasa Indonesia dalam
kedudukannya sebagai bahasa nasional dan bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai
bahasa negara. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi
sebagai (1) lambang kebanggaan kebangsaan, (2) lambang identitas nasional, (3) alat yang
memungkinkan penyatuan berbagai-bagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan
bahasanya masing-masing ke dalam kesatuan kebangsaan Indonesia, dan (4) alat perhubungan
antardaerah dan antarbudaya. Di sisi lain, dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa
Indonesia berfungsi sebagai (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa pengantar di dalam dunia
pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan nasional serta kepentingan pemerintah, dan (4) alat pengembangan
kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa
Indonesia secara tegas dirumuskan dalam produk hukum. Secara berturut-turut dapat
dikemukakan produk hukum yang dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan bahasa Indonesia
sebagai berikut. Pertama, pasal 36 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara adalah bahasa
Indonesia. Kedua, putusan dari Seminar Politik Bahasa Nasional yang melahirkan konsep
tentang kedudukan bahasa Indonesia seabagai bahasa nasional dan bahasa Indonesia sebagai
bahasa daerah. Ketiga, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 dan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan penggunaan bahasa Indonesia
yang diwajibkan dalam penyelenggaraan pendidikan nasional di Indonesia. Keempat, Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Bendera Negara, Bahasa Negara, Lambang Negara, dan
Lagu Kebangsaan.

Upaya Mempertahankan Bahasa Indonesia Sebagai Jati Diri Bangsa


Membicarakan tentang mempertahankan bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa tidak
dapat dilepaskan dari persoalan perencanaan bahasa. Menurut Moeliono (1985) perencanaan
bahasa adalah segala usaha dan tindakan yang dilakukan orang agar komunikasi di dalam
suatu negara dapat berlangsung secara lancar dengan bahasa sebagai alat utama. Sejalan
dengan itu Suhendar, dkk (1997) menyatakan pada hakikatnya setiap negara
menghendaki adanya satu bahasa yang dapat dipakai sebagai alat komunikasi bagi seluruh
warganya, baik dalam rangka pembinaan kebangsaannya, dalam administrasi pemerintahannya
maupun dalam bidang pendidikannya. Dengan adanya satu bahasa untuk seluruh negara
hubungan antara pemerintah dan yang diperintah, antara instansi-instansi yang ada dalam
negara itu, serta antara anak didiknya akan berlangsung dengan lancar dan tidak
mengalami kesulitan.Salah satu upaya yang dilakukan dalam rangka mempertahankan
bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa ialah melalui jalur lembaga pendidikan. Ini
terbukti dalam sistem pendidikan Indonesia, di setiap jenjang pendidikan siswa mempelajari
bahasa Indonesia. Bahkan jumlah jam pelajaran bahasa Indonesia setiap minggu di setiap
jenjang pendidikan jumlahnya paling banyak. Kalau dihitung jumlah waktu yang
digunakan seorang siswa belajar bahasa Indonesia sejak SD sampai dengan SMA paling
tidak ada sekitar 12 tahun. Ditambah lagi, sejak diberlakukan ujian nasional (UN)
bahasa Indonesia adalah mata pelajaran yang sejak awal di-UN-kan.Menurut Suparno
(1998) dalam pendidikan dan pembangunan bangsa, mata pelajaran bahasa Indonesia
memiliki fungsi yang strategis. Ada lima fungsi penting mata pelajaran bahasa Indonesia,
yaitu (1) sarana pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa, (2) sarana peningkatan
pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia dalam rangka pelestarian dan
pengembangan budaya nasional, (3) sarana peningatan pengetahuan dan keterampilan
berbahasa Indonesia untuk meraih dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni, dan (5) sarana pengembangan penalaran.Berdasarkan fungsi mata pelajaran bahasa
Indonesia, pengajaran bahasa Indonesia memiliki fungsi yang strategis berkait dengan
kedudukanbahasa Indonesia itu sebagaai bahasa nasional dan bahasa negara. Pengajaran
bahasa Indonesia di sekolah adalah jalur formal dan juga salah satu upaya
pembinaan bahasa Indonesia. Melalui jalur ini pembinaan bahasa Indonesia dapat
dilakukan secara programatis. Penggunaan jalur ini sangat tepat karena sasaran pembinaan
ini adalah siswa yang masih dalam proses belajar, termasuk masih dalam proses
belajar bahasa Indonesia.Strategisnya pengajaran bahasa Indonesia dapat dilihat pula
dalam konteks upaya peningkatan sumber daya manusia Indonesia. Bahasa Indonesia bukan
sekedar alat komunikasi masyarakat Indonesia, tetapi juga sebagai alat berpikir dan
bernalar. Kualitas penguasaan bahasa Indonesia merupakan salah satu faktor penentu
kualitas insan Indonesia. Pada gilirannya, kualitas penguasaan bahasa Indonesia itu
berdampak luas pada pembangunan bangsa karena bahasa Indonesia juga berfungsi
sebagai alat komunikasi pembangunan

Hambatan dalam Upaya Mempertahankan Bahasa Indonesia Sebagai Jati Diri Bangsa
Pengajaran bahasa Indonesia yang dilakukan di sekolah diberbagai jenjang pendidikan
memiliki sejumlah masalah. Mulai dari masalah kurikulum, fasilitas, buku teks, guru, dan
sebagainya. Menurut hemat penulis, dari sekian persoalan yang ada tentang pengajaran
bahasa Indonesia, masalah yang paling krusial adalah masalah sikap bahasa. Menurut
Halim (1978) salah satu faktor yang mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan pelaksanaan
kebijaksanaan bahasa nasional adalah sikap bahasa yang dimiliki oleh warga masyarakat
yang bersangkutan.Sikap bahasa adalah salah satu di antara berbagai sikap yang mungkin ada.
Menurut Anderson (1974) sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif
berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan
kecenderungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang
disenanginya. Selanjutnya Lambert (1967) menyatakan bahwa sikap terdiri atas tiga
komponen yaitu kognitif, afektif, dan konatif. Komponen kognitif berkaitan dengan
penalaran, intuisi, dan persepsi. Komponen afektif berhubungan dengan reaksi emosipnal,
sedangkan komponen konatif bertalian dengan kecenderungan untuk berperilaku
tertentu.Hambatan yang berkaitan dengan sikap bahasa dalam rangka mempertahankan bahasa
Indonesia sebagai jati diri bangsa, dapat ditelusuri dari pendapat beberapa para ahli dan
hasil penelitian berikut. Kridalaksana (1980) menyebutkan bahwa orang Indonesia
cenderung bersikap tidak menghargai bahasanya karena lebih bangga menggunakan
bahasa asing; Gunarwan (1983) membuktikan adanya sikap positif dari kalangan
mahasiswa terhadap bahasa Indonesia baku.Moeliono (1988) melalui pengamatannya, sekurang-
kurangnya mencatat ada enam sikap negatif yang tidak menguntungkan bagi usaha
pembakuan bahasa Indonesia, yaitu (1) sikap yang meremehkan mutu bahasa, (2) sikap
yang suka menerobos, (3) sikap tuna harga diri, (4) sikap mejauhi disiplin, (5) sikap enggan
memikul tanggung jawab, dan sikap suka melatah mengambil alih diksi dan gaya bahasa
lain. Mustakim (1997) yang mengkaji “Sikap Bahasa Kalangan Perguruan Tinggi di
Jakarta Terhadap Kata-kata Baru Bahasa Indonesia” menyimpulkan bahwa sikap
perguruan tinggi terhadap kata-kata baru tersebut bersifat positif.Sejalan dengan itu,
Habiebie (1998) menyatakan bahwa yang perlu direformasi sehubungan dengan bahasa
Indonesia ialah perilaku pengguna bahasa itu sendiri. Ada kecenderungan dalam masyarakat—
terutama dalam dunia birokrasi—untuk mengikuti pengguna bahasa dari para pejabat yang
lebih tinggi kedudukannya, neskipun mereka menyadari bahwa cara berbahasa pejabat itu
tiak tepat, bahkan menyimpang dari kaidah tatabahasa bahasa Indonesia. Di
samping itu, terdapat pula kecenderungan untuk memfeodalkan bahasa Indonesia.

Menanamkan Wawasan Nusantara


Menurut etimologi, kata wawasan berasal dari kata mawas (bahasa jawa) yang mempunyai
makna cara tinjau, cara pandang, atau cara melihat. Sedangkan kata nusantara artinya kesatuan
kepulauan yang terletak antara dua benua yakni Asia dan Australia serta dua samudera yakni
Hindia dan Pasifik. Menurur Profesor Mochtar Kusumaatmaja, Wawasan Nusantara adalah suatu
cara pandang kesatuan politik dari bangsa dan negara yang mencakup kenyataan geografi
wilayah negara sebagai suatu negara kepulauan.
Lahirnya konsep Wawasan Nusantara bermula pada deklarasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Indonesia pada 13 Desember 1957, yang biasa kita sebut Deklarasi Djuanda, mengenai perairan
wilayah Indonesia. Lahirnya konsep Wawasan Nusantara ini tidak terlepas pula dari isu konflik-
konflik yang sedang melanda Indonesia pada saat itu. Konflik yang terjadi mencakup konflik
dari dalam berupa gerakan pemberontakan atau separatis di berbagai wilayah, sedangkan konflik
dari luar beruapa sengketa antara Indonesia dan Belanda mengenai Irian Jaya (Papua).
Dalam menangani situasi tersebut, pemerintah merasa membutuhkan suatu konsepsi yang dapat
dijadikan simbol dari kesatuan dan persatuan. Oleh karena itu, digunakan konsep Wawasan
Nusantara sebagai pondasi utama dari perwujudan atau manifesti GBHN dalam ketetapatan MPR
Nomor IV/MPR/1973. Wawasan Nusantara memiliki tujuan untuk melahrikan atau
memanifestasikan nasionalisme dalam semua sudut pandang atau perspektif kehidupan dengan
berpatokan dan berpedoman pada kebutuhan-kebutuhan nasional di atas kebutuhan suatu
individu, kelompok, golongan, suku, atau bangsa. Wawasan Nusantara juga memiliki peran
untuk membimbing dan mengarahkan warga negara Indonesia dalam penyelenggaraan
kehidupan sehari-hari dalam penanda pentingnya membina persatuan dan kesatuan.
Ada beberapa cara untuk menanamkan sikap Wawasan Nusantara kepada masyarakat, yaitu
meliputi
(1) Pembangunan karakter, yaitu dengan memberi kesemapatan kepada generasi muda untuk
berperan aktif dalam membangun bangsa melalui keinginan yang kuat dan berlandaskan nilai-
nilai moral.
(2) Pemberdayaan karakter, yaitu dengan menjadikan generasi muda sebagai role model
pengembangan karakter bangsa yang posisitf dengan sikap inisiatif yang tinggi untuk
membangun kesadaran kolektif.
(3) Perekayasa karakter, yaitu memberikan kesempatan generasi muda untuk berperan aktif
untuk berprestasi dalam ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Dengan diterapkannya sikap-sikap tersebut, akan terjadi pemahaman yang kuat mengenai konsep
Wawasan Nusantara, sehingga jati diri bangsa Indonesia tidak akan luntur walaupun diterpa
berbagai kebudayaan-kebudayaan dari luar yang ada di Negara Indonesia.
Sedyawati, Edi. 1998.”Sastra dan Jati Diri Bangsa”. Makalah Kongres Bahasa Indonesia VII,
Jakarta.
Pusat Bahasa. 2003. Buku Panduan Kongres Bahasa Indonesia VIII. Jakarta: Pusat
Bahasa.
Suhendar, M.E., Pien Sutinah, dan Yoce Aliah. 1997. Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Indonesia.Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Suparno.1998. ”Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah: makalah Kongres Bahasa
Indonesia VII, Jakarta
Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiwaan Kementerian Riset Teknologi dan
Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. (2016). Pendidikan Kewarganegaraan untukPerguruan
Tinggi. RISTEKDIKTI
Irmania, E. (2021). Upaya mengatasi pengaruh negatif budaya asing terhadap generasi muda di
Indonesia. Jurnal Dinamika Sosial Budaya, 23(1), 148-160.
Sita, P. S. (2013). Pengaruh Kebudayaan Asing Terhadap Kebudayaan Indonesia Di Kalangan
Remaja. Surabaya: ITS.
Suryana, F. I. F., & Dewi, D. A. (2021). Lunturnya Rasa Nasionalisme pada Anak Milenial
Akibat Arus Modernisasi. EDUKATIF: Jurnal Ilmu Pendidikan, 3(2), 598-602.
Nurnazhiifa, K., & Dewi, D. A. (2021). PPKn Sebagai Tonggak Rasa Patriotisme dan
Nasionalisme Berkaitan dengan Identitas Nasional Bangsa Indonesia. IJoIS: Indonesian Journal
of Islamic Studies, 2(2), 67-79.
Anggraini, A. P., & Najicha, F. U. (2022). Pengembangan Wawasan Nusantara Sebagai Muatan
Pendidikan Kewarganegaraan Generasi Muda Melalui Pemanfaatan Internet. Jurnal Pendidikan
Ilmu Pengetahuan Sosial (JPIPS), 14(1), 174-180.

Anda mungkin juga menyukai