Anda di halaman 1dari 36

81

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan pada hakikatnya adalah upaya untuk menjadikan manusia

berbudaya. Budaya sendiri dalam pengertian yang sangat luas mencakup segala aspek

kehidupan manusia, yang dimulai dari cara berpikir, bertingkah laku sampai produk-

produk berpikir manusia dalam bentuk benda maupun dalam bentuk sistem nilai.

Pergaulan antarumat di dunia yang semakin intensif akan melahirkan budaya-budaya

baru, baik berupa percampuran budaya, penerimaan budaya oleh salah satu pihak atau

keduanya, dominasi budaya, atau munculnya budaya baru. Keseluruhan proses ini

tentu saja dipengaruhi oleh proses pendidikan di masyarakat (Hatimah & Sadri,

2007).

Pendidikan mencakup seluruh proses yang membantu pembentukan pola

pikir dan karakter manusia sepanjang hidup. Dapatlah dikatakan bahwa generasi

muda, secara kultur, tidak matang dengan sendirinya, akan tetapi mereka perlu

ditunjuki jalan untuk mencapai kematangan. Teknik untuk mencapai dewasa perlu

diajarkan oleh generasi tua. Tiap masyarakat beranggapan bahwa pemindahan budaya

tidak dapat berlangsung dengan sendirinya tanpa upaya. Para budayawan berpendapat

bahwa pendidikan merupakan proses enkulturasi yang diprakarsai oleh seseorang

untuk membentuk cara hidup yang lainnya. Sekiranya seorang pendidik ingin
82

membudayakan kualitas anak, misalnya agar anak berpikir jernih atau memiliki

kebebasan untuk mengambil keputusan, maka masing-masing lembaga akan berbeda

mengolah dan melayaninya.

Makalah ini merupakan kelanjutan dari makalah penulis sebelumnya yang

berjudul “Landasan Ilmu Pendidikan: Landasan Antropologi”. Dari kajian mengenai

landasan antropologi dalam pendidikan sebelumnya, kemudian melahirkan konsep

pendidikan multibudaya atau pendidikan multikultur.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang diangkat kemudian dibahas dalam makalah ini

berupa pertanyaan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah Indonesia sebagai negara multibudaya?

2. Apakah pendidikan multibudaya itu?

3. Apakah tujuan pendidikan multibudaya di Indonesia?

4. Bagaimanakah perkembangan pendidikan multibudaya di Indonesia?

5. Bagaimanakah kurikulum pendidikan multibudaya?

6. Bagaimanakah pembelajaran multibudaya di sekolah?

7. Bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran multibudaya?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai dari penyusunan dan diskusi makalah ini adalah

agar mahasiswa mampu:

1. Mengetahui Indonesia sebagai negara multibudaya.


83

2. Mengetahui pendidikan multibudaya itu.

3. Mengetahui tujuan pendidikan multibudaya di Indonesia.

4. Mengetahui perkembangan pendidikan multibudaya di Indonesia.

5. Mengetahui kurikulum pendidikan multibudaya.

6. Mengetahui pembelajaran multibudaya di sekolah.

7. Mengetahui pelaksanaan pembelajaran multibudaya.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan makalah ini adalah mahasiswa atau pembaca dapat

mengetahui hakikat dari pendidikan multibudaya dan mengetahui pelaksanaannya

dalam proses pembelajaran. Sehingga melalui pengetahuan tersebut, mahasiswa atau

pembaca yang berprofesi sebagai pendidik (guru atau dosen) dapat menerapkan

prinsip-prinsip dan mengembangkannya.


84

BAB II

PENDIDIKAN MULTIBUDAYA

A. Indonesia sebagai Negara Multibudaya

Negara dan bangsa multibudaya merupakan sebutan yang sangat cocok

untuk Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki keragaman agama dan

kepercayaan, suku, adat istiadat, golongan masyarakat, jumlah dan persebaran pulau,

bahasa, dan sejumlah keragaman lainnya (Wihardit, 2010; Wicaksono, 2016).

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau kecil dan

sejumlah pulau besar, memiliki penduduk yang berjumlah kurang lebih 240 juta jiwa,

serta memiliki karakter alam yang berbeda-beda. Karakter alam yang berbeda akan

membentuk karakter dan budaya masyarakat yang berbeda pula. Komunitas

masyarakat yang hidup di pedesaan akan berbeda dengan karakter masyarakat yang

hidup di kota, masyarakat yang hidup di daerah pantai akan memiliki karakter dan

budaya berbeda dengan masyarakat yang hidup di daerah pegunungan (Suniti, 2014).

Keragaman itu merupakan potensi dan keunikan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia

sebagai bangsa yang besar.

Karakter budaya yang khas pada masyarakat tersebut dapat diamati pada

masyarakat Indonesia yang terdiri dari banyak suku bangsa, yang dalam Antropologi

dikenal sebagai kelompok etnis. Sebagai masyarakat yang multietnis, di Indonesia

terdapat ratusan kelompok etnis beserta substansinya masing-masing. Said Agil


85

mengemukakan bahwa walaupun Indonesia merupakan negara berpenduduk sangat

majemuk, tetapi secara moril dipersatukan dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda namun

satu juga). Kemajemukan tersebut tidak hanya karena jumlah etnis yang banyak,

tetapi juga karena terdiri dari berbagai perbedaan khas budaya yang melekat pada

setiap etnis, baik yang bersifat horizontal (perbedaan bahasa daerah, pakaian adat,

rumah adat, dan simbol lainnya) maupun vertikal (perbedaan bidang sosial, ekonomi,

politik, dan pendidikan) (Suniti, 2014).

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika, menurut Wiriaatmadja mestinya

mengakomodasi atas keragaman dalam masyarakat bangsa Indonesia dalam suku, ras,

bahasa, adat istiadat, dan agama. Ironisnya keragaman dalam kesatuan budaya bangsa

dalam perjalanan kemerdekaan negara/bangsa lebih ditekankan pada aspek kesamaan

untuk membentuk solidaritas bangsa. Implikasinya, budaya lokal yang kaya dengan

perbedaan banyak mengalami erosi atau pengikisan baik secara kuantitas maupun

kualitas terutama penggunaan bahasa daerah mengalami kemunduran maupun

kehilangan daya gunanya secara pragmatik (Supardan, Tt).

Persoalan-persoalan sebagaimana tersebut di atas tidak sedikit sering muncul

di dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga turut menyuburkan konflik dan

mengganggu keharmonisan kehidupan sosial. Dalam dunia pendidikan misalnya,

tidak luput dari persoalan-persoalan yang kini menjadi tantangan besar, seperti

konflik dan kekerasan antar pelajar, kekerasan antara guru dengan peserta didiknya

yang kadang berdampak pula pada konflik masyarakat. Untuk mengatasi persoalan-
86

persoalan yang semakin hari semakin kompleks atau paling tidak meminimalisir

fenomena-fenomena kekerasan dalam berbagai level membutuhkan kontribusi dunia

pendidikan. Kekerasan tidak bisa diselesaikan secara tuntas dengan pendekatan

keamanan semata. Pendekatan pendidikan memiliki kontribusi yang lebih luas dalam

memberikan solusi penyelesaian atau meminimalisir konflik karena mampu

membangun kesadaran secara sistematis terhadap pentingnya kehidupan berdamai

(Suniti, 2014).

Bangsa yang plural dengan adanya perbedaan agama, etnik, dan budaya

merupakan kekayaan yang patut dipelihara dan dikembangkan oleh bangsa. Akan

tetapi dibalik khazanah tersebut, membenam bom waktu yang suatu waktu akan

meledak jika bersinggungan dengan kepentingan politik, agama, ras, etnis, dan

budaya yang memanas. Tidak sedikit konflik yang terjadi sekarang ini dan tidak

banyak hal yang dilakukan oleh pemerintah serta masyarakat sebagai bagian integral

dari bangsa untuk membangun perdamaian. Hal tersebut disebabkan karena

kelemahan pemerintah dan masyarakat dalam menjawab tantangan-tantangan yang

rumit, seperti tantangan globalisasi yang menarik keluar kebudayaan lokal. Oleh

sebab itu, konflik membudaya tanpa strategi manajemen dan penyelesaian konflik

tersebut.

Dari berbagai realitas di atas, maka perlu tindakan sadar yakni kesadaran

multibudaya sebagai upaya pemecahan masalah, dalam hal ini adalah kalangan

pendidikan. Kesadaran multibudaya merupakan esensi multibudaya yang menerapkan

dan menjunjung sikap saling menghargai dan menghormati budaya yang lain tanpa
87

meninggalkan tetapi loyal dengan budaya sendiri. Pendidikan multibudaya sebagai

tindakan sadar kesadaran multibudaya adalah salah satu alat atau strategi untuk

mencegah dan menyelesaikan konflik vertikal dan horizontal yang dilakukan sejak

dini.

Pendidikan multibudaya juga merupakan suatu pendekatan progresif untuk

melakukan transformasi pendidikan yang secara holistik memberikan kritik dan

menunjukkan kelemahan-kelemahan, kegagalan-kegagalan dan diskrimainasi di dunia

pendidikan. Pendidikan multibudaya sebagai instrumen rekayasa sosial mendorong

sekolah supaya dapat berperan dalam menanamkan kesadaran dalam masyarakat

multikultur dan mengembangkan sikap tenggang rasa dan toleran utuk mewujudkan

kebutuhan serta kemampuan bekerjasama dengan segala perbedaan yang ada

(Wicaksono, 2016).

Untuk mewujudkan hal sebagaimana tersebut di atas memang membutuhkan

waktu yang cukup panjang dan biaya yang tidak ringan, karena untuk

implementasinya dapat diperlukan reformasi yang mencakup seluruh dimensi

pendidikan seperti kurikulum, evaluasi, guru, dan semua komponen pendidikan

lainnya. Karena pendidikan memiliki tugas untuk mengembangkan kesadaran atas

setiap warga negara terhadap kelanjutan hidupnya, bukan saja terhadap lingkungan

masyarakat dan negara, tetapi juga terhadap umat manusia secara keseluruhan (Suniti,

2014).
88

B. Pendidikan Multibudaya

Multikulturalisme adalah konsep pembudayaan, dan oleh karena proses

pendidikan adalah proses pembudayaan, maka masyarakat multibudaya dapat

diciptakan melalui proses pendidikan. Pendidikan dan pembudayaan merupakan suatu

proses pembentukan karakter bangsa dan warga negara. Pendidikan multibudaya

sendiri adalah pendidikan yang berbasis multibudaya isme (Wihardit, 2010).

Pendidikan multibudaya berasal dari dua kata; pendidikan dan multibudaya.

Pendidikan merupakan proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau

sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran,

pelatihan, proses, perbuatan dan cara-cara yang mendidik. Di sisi lain, pendidikan

adalah transfer of knowledge atau memindah ilmu pengetahuan. Sedangkan

multibudaya secara etimologis; multi berarti banyak, beragam, dan aneka sedangkan

budaya (kultural) berasal dari kata culture yang mempunyai makna budaya, tradisi,

kesopanan, atau pemeliharaan. Rangkaian kata pendidikan dan multibudaya

memberikan arti secara terminologis adalah proses pengembangan seluruh potensi

manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi

keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama) (Ibrahim, 2013).

Secara terminologi, menurut pendapat Andersen & Cusher, bahwa

pendidikan multibudaya dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman

kebudayaan. Sejalan dengan itu, Muhaimin el Ma’hady berpendapat, bahwa secara

sederhana pendidikan multibudaya adalah pendidikan tentang keragaman kebudayaan

dalam merespons perubahan demografis dan kultur lingkungan masyarakat tertentu


89

atau bahkan dunia secara keseluruhan (global). Pendidikan multibudaya dapat juga

diartikan proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas

dan heteregonitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran

(agama). Pengertian seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam

pendidikan, karena pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses

sepanjang hayat dan juga dipahami sebagai proses memanusiakan manusia. Dengan

demikian, pendidikan multibudaya menghendaki penghormatan dan penghargaan

setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia (Suniti, 2014).

James A. Banks dikenal sebagai perintis pendidikan multibudaya. Penekanan

dan perhatian Banks difokuskan pada pendidikannya. Banks yakin bahwa sebagian

dari pendidikan lebih mengarah pada mengajari bagaimana berpikir daripada apa

yang dipikirkan. Ia menjelaskan bahwa peserta didik harus diajari memahami semua

jenis pengetahuan, aktif mendiskusikan konstruksi pengetahuan (knowledge

construction) dan interpretasi yang berbeda-beda.

Peserta didik yang baik adalah peserta didik yang selalu mempelajari semua

pengetahuan dan turut serta secara aktif dalam membicarakan konstruksi

pengetahuan. Peserta didik juga perlu disadarkan bahwa di dalam pengetahuan yang

diterima itu terdapat beraneka ragam interpretasi yang sangat ditentukan oleh

kepentingan masing-masing, mungkin saja interpretasi itu nampak bertentangan

sesuai dengan sudut pandang pandangnya. Peserta didik harus dibiasakan menerima

perbedaan. Selanjutnya, Banks berpendapat bahwa pendidikan multibudaya

merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan penjelasan yang


90

mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam bentuk gaya

hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari individu,

kelompok maupun negara. Ia mendefnisikan pendidikan multibudaya adalah ide,

gerakan, pembaharuan pendidikan dan proses pendidikan yang tujuan utamanya

adalah untuk mengubah struktur lembaga pendidikan supaya peserta didik baik pria

maupun wanita, peserta didik berkebutuhan khusus, dan peserta didik yang

merupakan anggota dari kelompok ras, etnis, dan kultur yang bermacam-macam itu

akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis di sekolah.

Pandangan Howard bahwa pendidikan multibudaya memberi kompetensi

multibudaya. Pada masa awal kehidupan peserta didik, waktu banyak dilalui

bersamaan dengan etnis dan kulturnya masing-masing. Kesalahan dalam

mentransformasi nilai, aspirasi, etiket dari budaya tertentu, memungkinkan

berdampak pada primordialisme kesukuan, agama, dan golongan yang tidak sesuai

porsinya. Sehingga menyebabkan timbulnya permusuhan antar etnis dan golongan.

Melalui pemahaman pendidikan multibudaya sedini mungkin diharapkan anak

mampu menerima dan memahami perbedaan budaya yang berimplikasi pada

perbedaan usage (cara individu bertingkah laku); folkways (kebiasaan-kebiasaan yang

ada di masyarakat), mores (tata kelakuan di masyarakat), dan customs (adat istiadat

suatu komunitas).

Dengan pendidikan multibudaya peserta didik mampu menerima perbedaan,

kritik, dan memiliki rasa empati, toleransi pada sesama tanpa memandang golongan,

status sosial, agama, dan kemampuan akademik. Dapat diasumsikan bahwa


91

pendidikan multibudaya bermakna sebagai proses pendidikan cara hidup

menghormati, tulus, toleransi terhadap keragaman budaya yang hidup di tengah-

tengah masyarakat plural, sehingga peserta didik kelak memiliki kekenyalan dan

kelenturan mental bangsa dalam menyikapi konflik sosial di masyarakat. Bahwa inti

pendidikan multibudaya ada dua hal yaitu: 1) Adanya dialog secara aktif dan

partisipatoris. Artinya selama proses pendidikan harus dibiasakan dialog secara

intensif dan partisipator sehingga peserta didik mampu mengembangkan

pengetahuannya secara bebas dan independen. 2) Adanya toleransi di antara peserta

maupun antara peserta didik dan guru serta antara sesama guru. Toleransi ini

dimaksudkan membudayakan sikap saling menghormati, menghargai adanya

perbedaan baik perbedaan pendapat maupun ideologi yang dilakukan oleh guru

maupun peserta didik.

C. Tujuan dan Perkembangan Pendidikan Multibudaya di Indonesia

Lingkungan pendidikan adalah sebuah sistem yang terdiri dari banyak faktor

dan variabel utama, seperti kultur sekolah, kebijakan sekolah, politik, serta

formalisasi kurikulum dan bidang studi. Bila dalam hal tersebut terjadi perubahan

maka hendaklah perubahan itu fokusnya untuk menciptakan dan memelihara

lingkungan sekolah dalam kondisi multibudaya yang efektif. Setiap anak seyogianya

harus beradaptasi diri dengan lingkungan sekolah yang multibudaya . Tujuan utama

dari pendidikan multibudaya adalah mengubah pendekatan pelajaran dan

pembelajaran ke arah memberi peluang yang sama pada setiap anak. Jadi tidak ada
92

yang dikorbankan demi persatuan. Untuk itu, kelompok-kelompok harus damai,

saling memahami, mengakhiri perbedaan tetapi tetap menekankan pada tujuan umum

untuk mencapai persatuan. Peserta didik ditanamkan pemikiran lateral,

keanekaragaman, dan keunikan itu dihargai. Ini berarti harus ada perubahan sikap,

perilaku, dan nilai-nilai khususnya civitas akademika sekolah. Ketika peserta didik

berada di antara sesamanya yang berlatar belakang berbeda mereka harus belajar satu

sama lain, berinteraksi dan berkomunikasi, sehingga dapat menerima perbedaan di

antara mereka sebagai sesuatu yang memperkaya mereka.

Perbedaan-perbedaan pada diri peserta didik yang harus diakui dalam

pendidikan multibudaya, antara lain mencakup penduduk minoritas etnis dan ras,

kelompok pemeluk agama, perbedaan agama, perbedaan jenis kelamin, kondisi

ekonomi, daerah/asal-usul, ketidakmampuan fisik dan mental, kelompok umur, dan

lain-lain. Melalui pendidikan multibudaya ini peserta didik diberi kesempatan dan

pilihan untuk mendukung dan memperhatikan satu atau beberapa budaya, misalnya

sistem nilai, gaya hidup, atau bahasa.

Pendidikan multibudaya paling tidak menyangkut tiga hal, yaitu: 1) ide dan

kesadaran akan nilai penting keragaman budaya, 2) gerakan pembaharuan

pendidikan, dan 3) proses.

Dalam pelaksanaanya, Banks menjelaskan lima dimensi yang harus ada

yaitu pertama, adanya integrasi pendidikan dalam kurikulum (content integration)

yang di dalamnya melibatkan keragaman dalam satu kultur pendidikan yang tujuan

utamanya adalah menghapus prasangka. Kedua, konstruksi ilmu pengetahuan


93

(knowledge construction) yang mewujudkan dengan mengetahui dan memahami

secara komprehensif keragaman yang ada. Ketiga, pengurangan prasangka (prejudice

reducation) yang lahir dari interaksi antar keragaman dalam kultur pendidikan.

Keempat, pedagodik kesetaraan manusia (equity pedagogy) yang memberikan ruang

dan kesempatan yang sama kepada setiap elemen yang sama. Kelima, pemberdayaan

kebudayaan sekolah (empowering school culture). Hal yang lima ini adalah tujuan

dari pendidikan multibudaya , yaitu agar sekolah menjadi elemen pengentas sosial

(transformasi sosial) dari struktur masyarakat yang timpang kepada struktur yang

berkeadilan (Suniti, 2014).

Pendidikan multibudaya di Indonesia diharapkan dapat menyelesaikan

persoalan konflik yang terjadi di masyarakat, atau paling tidak mampu memberikan

penyadaran kepada masyrakat bahwa konflik bukan suatau hal yang baik untuk

dibudayakan. Selanjutnya pendidikan juga harus mampu memberikan tawaran-

tawaran yang mencerdaskan, antara lain dengan cara mendesaian materi, metode,

hingga kurikulum yang mampu menyadarkan masyarakat akan pentingnya sikap

saling toleran, menghormati perbedaan suku, agama, ras, etnis, dan budaya

masyarakat Indonesia yang multibudaya (Suniti, 2014).

Pendidikan multibudaya lahir sesudah Perang Dunia II, dengan lahirnya

banyak negara dan perkembangannya prinsip-psinsip demokrasi. Pandangan

multibudaya dalam masyarakat Indonesia dalam praktik kenegaraan belum dijalani

sebagaimana mestinya. Masyarakat Indonesia sangat beragam dan tinggal di wilayah

pulau-pulau yang tersebar berjauhan. Dalam Deklarasi Djoeanda laut Indonesia


94

seluas 5,8 km2, di dalamnya terdapat lebih dari 17.500 pulau besar dan kecil dan

dikelilingi garis pantai sepanjang lebih dari 80.000 km, yang merupakan garis pantai

terpanjang di dunia setelah Kanada. Hal ini menyebabkan interaksi dan integrasi tidak

selamanya dapat berjalan lancar. Demikian pula kemajuan ekonomi sulit merata,

sehingga terdapat ketimpangan kesejahteraan masyarakat, ini sangat rentan sebagai

awal rasa ketidakpuasan yang berpotensi menjadi konflik.

Lambang Bhinneka Tunggal Ika, yang memiliki makna keragamaan dalam

kesatuan ternyata yang ditekankan hanyalah kesatuannya dan mengabaikan

keragaman budaya dan masyarakat Indonesia. Pada masa Orde Baru menunjukan

relasi masyarakat terhadap praktek hidup kenegaraan tersebut. Ternyata masyarakat

kita ingin menunjukkan identitasnya sebagai masyarakat bhinneka yang selama Orde

Baru telah ditindas dengan berbagai cara demi untuk mencapai kesatuan bangsa.

Demikian pula praksis pendidikan sejak kemerdekaan sampai era Orde Baru telah

mengabaikan kekayaan kebhinnekaan kebudayaan Indonesia yang sebenarnya

merupakan kekuatan dalam suatu kehidupan demokrasi.

Sejak turunnya Presiden Soeharto dari jabatannya, yang kemudian diikuti

dengan masa yang disebut era Reformasi, Indonesia mengalami disintegrasi, krisis

moneter, ekonomi, politik, dan agama yang mengakibatkan terjadinya krisis kultural

di dalam kehidupan bangsa dan negara. Pada era Reformasi pendidikan dijadikan

sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan yang memonopoli sistem

pendidikan untuk kelompok tertentu. Dengan kata lain pendidikan multibudaya

belum dianggap penting walaupun realitas kultur dan agama sangat beranekaragam.
95

Era reformasi, membawa angin demokrasi sehingga menghidupkan kembali

wacana pendidikan multibudaya sebagai kekuatan dari bangsa Indonesia. Dalam era

Reformasi ini, tentunya banyak hal yang perlu ditinjau kembali. Salah satunya

mengenai kurikulum di sekolah kita dari semua tingkat dan jenis, apakah telah

merupakan sarana untuk mengembangkan multibudaya. Selain masalah kurikulum

juga mengenai otonomisasi pendidikan yang diberikan kepada daerah agar

pendidikan merupakan tempat bagi perkembangan kebhinnekaan kebudayaan

Indonesia.

Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

Pasal 4 mulai butir (1) sampai dengan butir (6) menunjukkan bahwa multibudaya

isme menjadi landasan bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Oleh karena

itu, menyelenggarakan Pendidikan Multibudaya menjadi kewajiban sekolah sesuai

dengan bunyi Pasal 4 butir (1) bahwa: “Pendidikan diselenggarakan secara

demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak

asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.

Pendidikan multibudaya untuk Indonesia memang sesuatu hal yang baru

dimulai, Indonesia belum mempunyai pengalaman mengenai hal ini. Apalagi otonomi

daerah juga baru disampaikan. Oleh sebab itu, diperlukan waktu dan persiapan yang

cukup lama untuk memperoleh suatu bentuk yang pas dan pendekatan yang cocok

untuk pendidikan multibudaya di Indonesia. Bentuk dan sistem yang cocok bagi

Indonesia bukan hanya memerlukan pemikiran akademik dan analisis budaya atas
96

masyarakat Indonesia yang pluralis, tetapi juga meminta kerja keras untuk

melaksanakannya.

Gagasan multibudaya bukanlah suatu konsep yang abstrak tetapi

pengembangan suatu pola tingkah laku yang hanya dapat diwujudkan melalui

pendidikan. Selain itu, multibudaya tidak berhenti pada pengakuan akan identitas

yang suatu kelompok masyarakat atau suatu suku tetapi juga ditunjukkan kepada

terwujudnya integrasi nasional melalui budaya yang beragam.

Dalam konteks perkembangan sistem politik Indonesia saat ini, pilihan

perspektif pendidikan yang demikian memiliki peluang dan pendidikan multibudaya

justru sangat diperlukan sebagai landasan pengembangan sistem politik yang kuat.

Pendidikan multibudaya sangat menekankan pentingnya akomodasi hak setiap

kebudayaan dan masyarakat untuk memelihara dan mempertahankan identitas

kebudayaan dan masyarakat nasional (Wicaksono, 2016).

Pendekatan pendidikan multibudaya pada mulanya merupakan gerakan

reformasi pendidikan di AS, karenanya untuk menerapkannya di Indonesia haruslah

berhati-hati, tepat, bijaksana, karena belum tentu sama dengan AS. Jika pendekatan

pendidikan multibudaya akan diimplementasikan di Indonesia, haruslah berdasarkan

realita Indonesia dan kearifan lokal (local wisdom atau indigenous knowledge) dalam

makna luas, tegasnya dengan memperhatikan karakteristik bangsa dan budaya

Indonesia sendiri (Amirin, 2012).


97

D. Kurikulum Multibudaya

H.A.R. Tilaar (2002) menggarisbawahi bahwa model pendidikan yang

dibutuhkan di Indonesia harus memperhatikan enam hal, seperti yang dikutip dalam

Suniti (2014) sebagai berikut.

1. Pendidikan multibudaya haruslah berdimensi “right to culture” dan identitas

lokal.

2. Kebudayaan Indonesia yang menjadi, artinya kebudayaan Indonesia merupakan

Weltanschoung yang terus berproses dan merupakan bagian dari proses

kebudayaan mikro. Oleh karena itu, perlu sekali untuk mengoptimalisasikan

budaya lokal yang beriringan dengan apresiasi terhadap budaya nasional.

3. Pendidikan multibudaya normatif, yaitu model pendidikan yang memperkuat

identitas nasional yang terus menjadi acuan tanpa harus menghilangkan identitas

budaya lokal yang ada.

4. Pendidikan multibudaya merupakan suatu rekonstruksi sosial, artinya pendidikan

ini tidak boleh terjebak pada xenophobia, fanatisme, dan fundamentalisme, baik

etnik, suku, ataupun agama.

5. Pendidikan multibudaya merupakan pedagogik pemberdayaan (pedagogy of

empowerment) dan pedagogik kesetaraan dalam kebudayaan yang beragam

(pedagogy of equity). Pedagogik pemberdayaan pertama-tama berarti, seseorang

diajak mengenal budayanya sendiri dan selanjutnya digunakan untuk

mengembangkan budaya Indonesia di dalam bingkai Negara bangsa Indonesia.


98

Dalam upaya tersebut diperlukan suatu pedagogik kesetaraan antar individu, antar

suku, antar agama dan beragam perbedaan yang ada.

6. Pendidikan multibudaya bertujuan mewujudkan visi Indonesia masa depan serta

etika bangsa. Pendidikan ini perlu dilakukan untuk mengembangkan prinsip-

prinsip etis masyarakat Indonesia yang dipahami oleh seluruh komponen sosial

budaya yang plural.

Memperhatikan masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk, maka

kurikulum pendidikan multibudaya seharusnya berisi tentang materi-materi yang

dapat menghadirkan lebih dari satu perspektif tentang suatu fenomena kultural. Untuk

menghadirkan keragaman perspektif dalam kurikulum ini, menurut Banks dalam

Suniti (2014) dapat dilakukan dengan empat tahapan, yaitu; 1) tahap kontribusi

(contribution level), 2) tahap penambahan (additive level), 3) tahap perubahan

(transformative level), dan 4) tahap aksi sosial (social action level).

Widisuseno (Tt) mengemukakan bahwa memberlakukan pendidikan

berwawasan paham multibudaya membawa konsekuensi perubahan paradigma

manajemen dan kurikulum pendidikan. Masalah manajemen pendidikan adalah

bagaimana mengubah orientasi; 1) dari penyelenggaraan pendidikan dengan dominasi

kekuasaan birokrasi menjadi dominasi kekuasaan akademi; 2) dari pendekatan

seragam ke pendekatan beragam (multibudaya ), demokrasi terbuka; 3) dari serba

pusat ke distribusi daerah; 4) dari kecenderungan berorientasi global beralih ke

orientasi kepentingan nasional dan regional. Sedangkan masalah kurikulum adalah

bagaimana menyusun institusional curriculum di semua jenjang pendidikan dapat


99

mengadopsi nilai-nilai pluralitas kedaerahan, dengan prinsip menjunjung tinggi

khazanah budaya nasional dan kearifan lokal.

Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam pengembangan kurikulum

multibudaya menurut Jerry Aldridge dalam Suniti (2014) adalah sebagai berikut.

1. Mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam kepada filosofi yang

lebih sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit

pendidikan.

2. Teori kurikulum tentang konten (curriculum content) haruslah berubah dari teori

yang mengartikan konten sebagai aspek substantif yang berisikan fakta, teori, dan

generalisasi kepada pengertian yang mencakup pula nilai, moral, prosedur, proses,

dan keterampilan yang harus dimiliki peserta didik.

3. Teori belajar yang digunakan dalam kurikulum masa depan yang memperhatikan

keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik tidak lagi hanya mendasarkan diri

pada teori psikologi belajar yang bersifat individualistik dan menempatkan

peserta didik dalam suatu kondisi value free, tetapi harus pula didasarkan pada

teori belajar yang menempatkan peserta didik sebgai makhluk sosial, budaya,

politik, dan hidup sebagai anggota aktif masyarakat, bangsa, dan dunia.

4. Proses belajar yang mengandalkan peserta didik belajar secara individualistis dan

bersaing secara kompetitif-individualistis harus ditinggalkan dan diganti dengan

cara belajar berkelompok dan bersaing secara kompetitif-individualistis harus

ditinggalkan dan diganti dengan cara belajar kelompok dan bersaing secara

kelompok dalam suatu situasi positif.


100

5. Evaluasi yang digunakan haruslah meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan

kepribadian peserta didik, sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan.

Alat evaluasi yang digunakan haruslah beragam, sesuai dengan sifat tujuan dan

informasi yang ingin dikumpulkan, seperti portofolio, catatan, observasi,

wawancara, performance test, proyek, dan produk.

E. Pembelajaran Multibudaya di Sekolah

Mengimplementasikan pendidikan multibudaya di sekolah tidak harus

menjadi mata pelajaran khusus dan masuk pada kurikulum formal (mengubah

kurikulum yang ada). Yang paling penting dapat diimplementasikan langsung pada

tindakan nyata. Dalam pendidikan multibudaya, guru atau dosen harus memberi

contoh sikap dan keteladanan seperti yang ada pada nilai-nilai multibudaya, dengan

demikian peserta didik (peserta didik dan mahasiswa) akan mengikutinya. Guru dan

dosen harus bisa menjadi contoh yang menghargai perbedaan, bersikap toleran, cinta

damai, dan saling menghargai kepada anak didiknya (Hanum, 2008).

Pengembangan model pendidikan multibudaya di Indonesia menurut

Sutarno (2008) dapat berbentuk:

1. Penambahan materi multibudaya yang dalam aktualisasinya berupa pemberian

materi tentang berbagai budaya yang ada di tanah air dan budaya berbagai

belahan dunia. Pesan multibudaya bisa dititipkan pada semua bidang studi atau

mata pelajaran yang memungkinkan untuk itu. Namun disadari bahwa ada mata
101

pelajaran yang lebih mungkin dibandingkan yang lain untuk mengajarkan

pendidikan multibudaya.

2. Berbentuk bidang studi atau mata pelajaran yang berdiri sendiri. Hal ini

dimaksudkan agar pendidikan multibudaya sebagai ide, gerakan reformasi, dan

proses tidak dilakukan sambil lalu dan seingatnya namun benar-benar

direncanakan secara sistematis.

3. Berbentuk program dan praktik terencana dari lembaga pendidikan. Pendidikan

multibudaya berkaitan dengan tuntutan, kebutuhan, dan aspirasi dari kelompok

yang berbeda. Konsekuensinya, pendidikan multibudaya tidak dapat diidentifikasi

sebagai praktik aktual satu bidang studi atau program pendidikan saja.

4. Pada wilayah kerja sekolah, pendidikan multibudaya mungkin berarti (a) suatu

kurikulum yang berhubungan dengan pengalaman kelompok etnis; (b) suatu

program yang mencakup pengalaman multibudaya, dan (c) suatu total school

reform, upaya yang didesain untuk meningkatkan keadilan pendidikan bagi

kelompok budaya, etnis, dan ekonomis. Ini lebih luas dan lebih komprehensif dan

biasa disebut reformasi kurikulum.

5. Gerakan persamaan, ini lebih dilhat sebagai kegiatan nyata daripada sekedar

dibicarakan dalam forum-forum ilmiah. Salah satunya di Kabupaten Nabire,

Papua ada sebuah kampung yang mencerminkan gerakan kebhinekaan yang

bernama Kampung Bhineka Tunggal Ika, di mana penduduknya terdiri dari orang

Papua, Timor, Jawa, dan Bugis.


102

6. Sebagai proses, maka tujuan pendidikan multibudaya yang berasal keadilan

sosial, persamaan, demokrasi, toleransi, dan penghormatan hak asasi manusia

tidak mudah tercapai. Perlu proses panjang dan berkelanjutan serta adanya

pembudayaan di segenap sektor kehidupan.

Tujuan yang ingin di capai dalam penerapan model kurikulum multibudaya

adalah untuk menghadapkan para peserta didik kepada berbagai tantangan, ancaman,

hambatan, atau gangguan yang dihadapi dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh

karena itu, tujuan dari model kurikulum multukultural dalam penerapannya

memungkinkan mengalami perubahan dari tahun ke tahun sesuai kebutuhan (Suniti,

2014).

Lebih spesifik, Susongko (Tt) memaparkan tujuan pembelajaran

multibudaya, yaitu (1) peserta didik dapat melakukan kerjasama secara multietnik,

multiagama, multibahasa, dan multibudaya dalam kehidupan sehari-hari; (2) peserta

didik mampu menghormati hak-hak individu warga negara tanpa membedakan latar

belakang etnik, agama, bahasa, dan budaya dalam semua sektor sosial, pendidikan,

ekonomi, politik, dan lainya; dan (3) peserta didik dapat bersikap adil dan

mengembangkan rasa keadilan bagi semua warga negara tanpa membedakan latar

belakang etnik, agama, bahasa dan budaya dalam semua sektor sosial, pendidikan,

ekonomi, politik dan lainnya.

Ciri-ciri pembelajaran multibudaya sebagaimana yang telah diungkapkan

ciri-ciri pendidikan multibudaya ditinjau dari tiga aspek yaitu: pertama, aspek tujuan:

mewujudkan manusia dan masyarakat beradab, kedua, aspek metode: mampu


103

mewujudkan realitas yang demokratis, dan ketiga, aspek evaluasi: meliputi aspek

kognitif, afektif, dan psikomotorik, maksudnya evaluasi didasarkan pada tingkah laku

peserta didik yang terdiri dari persepsi. Apersepsi dan tindakan terhadap budaya. Jadi

berdasarkan teori di atas maka Model Pembelajaran Multibudaya dirancang gambaran

umum sebagai berikut:

1. Proses belajar memanusiakan manusia dan belajar tidak hanya konseptual akan

tetapi proses belajar itu dibangun melalui pengalaman di lapangan (kontekstual).

2. Cara kerja pembelajaran multibudaya adalah dilakukan dengan cara memberikan

kesempatan munculnya ide atau gagasan dari peserta didik.

3. Sumber materi tidak hanya dari guru, akan tetapi berasal dari semua realitas yang

ada di sekitarnya.

Dengan demikian, pendidikan multibudaya adalah sebuah proses

pembelajaran yang dapat membimbing, membentuk dan mengkondisikan peserta

didik agar memiliki mental atau karakteristik terbiasa hidup di tengah-tengah

perbedaan yang sangat kompleks, baik perbedaan ideologis, perbedaan sosial,

perbedaan ekonomi, dan perbedaan agama (Wicaksono, 2016).

Pembelajaran multibudaya, misalnya di sekolah dasar, dapat dilakukan

dengan memasukkan nilai-nilai multibudaya dalam pembelajaran. Hal pertama yang

dapat dilakukan oleh guru adalah mengenalkan peserta didik tentang pluralisme

budaya yang ada di luar dirinya. Setelah peserta didik mengenal budaya di luar

dirinya, kemudian guru harus mendorong untuk mengembangkan sikap peserta didik
104

agar mau dan mampu menghargai budaya yang ada di luar dirinya yang sudah barang

tentu banyak terdapat perbedaan (Wuryandari, Tt).

Pembelajaran multibudaya menurut Hatimah & Sadri (2007), dapat

difokuskan pada tiga macam pembelajaran, yaitu pembelajaran perdamaian,

pembelajaran hak asasi manusia (HAM), dan pembelajaran untuk demokrasi.

1. Pembelajaran perdamaian

Perdamaian harus dimulai dari diri kita masing-masing. Suatu kebudayaan

perdamaian diperlukan untuk kehidupan yang bermakna. Di dalam kehidupan yang

beragam dalam tata cara pribadi, sosial, dan budaya tentang keberadaan dan

kehidupan, maka pemilikan nilai-nilai manusia yang penting dapat mengatasi

perbedaan-perbedaan untuk menjamin perdamaian dan solidaritas. Strategi yang

dapat digunakan dalam pembelajaran perdamaian di dalam kelas adalah strategi

introspektif dan interaksi sosial yang positif.

Strategi introspektif yaitu cara untuk menumbuhkan kesadaran peserta didik

untuk berani mengoreksi dirinya sendiri tentang kegiatan/perbuatan yang sudah

dilakukan hingga dapat menumbuhkan perdamaian ataupun konflik di antara mereka.

Interaksi sosial positif yaitu cara untuk menumbuhkan hubungan harmonis di antara

peserta didik dan peserta didik dengan lingkungannya sehingga menumbuhkan saling

menghargai dan toleran di antara mereka, sekalipun di antara mereka terdapat

keanekaragaman budaya. Strategi pembelajaran perdamaian di luar kelas dapat

dilakukan melalui pengenalan lingkungan alam atau berkemah bersama.


105

2. Pembelajaran hak asasi manusia

Pendidikan adalah alat yang sangat efektif untuk pengembangan nilai-nilai

hak-hak asasi manusia. Kegiatan dalam pembelajaran harus difokuskan pada nilai-

nilai untuk melestarikan kehidupan dan memelihara martabat manusia. Setiap peserta

didik harus diberi kesempatan memadai untuk menilai perwujudan dari nilai-nilai

tersebut. Strategi untuk mempelajari nilai-nilai inti hak-hak asasi manusia dapat

dilakukan dengan, belajar tentang hak-hak asasi manusia, belajar bagaimana

memperjuangkan hak-hak asasi manusia, dan belajar dengan jalan mempraktekkan

hak-hak asasi manusia.

3. Pembelajaran untuk demokrasi

Pembelajaran untuk demokrasi pada hakikatnya adalah untuk

mengembangkan eksistensi manusia dengan jalan mengilhaminya dalam pengertian

martabat dan persamaan, saling mempercayai, toleransi, penghargaan pada

kepercayaan dan kebudayaan orang lain, penghormatan pada individu, peran serta

aktif dalam semua aspek kehidupan sosial, kebebasan berekspresi, kepercayaan dan

beribadah. Strategi yang dapat digunakan untuk menciptakan demokrasi, yaitu (a)

etos demokrasi harus berlaku di tempat pembelajaran baik di sekolah maupun luar

sekolah, (b) pembelajaran untuk demokrasi berlangsung secara berlanjut di semua

jenjang dan bentuk pendidikan melalui pendekatan terpadu, dan (c) penafsiran

demokrasi harus sesuai dengan berbagai konteks sosio budaya, ekonomis, dan

evolusinya.
106

F. Pelaksanaan Pembelajaran Multibudaya

Pendidikan multibudaya di sekolah menurut Banks harus dilakukan secara

komprehensif, tidak hanya penyikapan yang adil di antara peserta didik yang berbeda

agama, ras, etnik dan budayanya, tapi juga harus didukung dengan kurikulum baik

kurikulum tertulis maupun terselubung, evaluasi yang integratif dan guru yang

memiliki pemahaman, sikap, dan tindakan yang produktif dalam memberikan layanan

pendidikan multibudaya pada para peserta didiknya (Rosyada, 2014).

Guru harus mengintegrasikan nilai-nilai multibudaya dan selalu

menerapkannya dalam setiap kegiatan pembelajaran sebagai upaya pencapaian

pembelajaran yang menyenangkan. Rasa ketertarikan peserta didik kepada berbagai

hal yang berkaitan dengan budaya lokal dan budaya global harus dikembangkan

dengan pendekatan liberal arts. Yang terpenting adalah menumbuhkan ketertarikan

peserta didik untuk membaca, mengenal, dan bahkan melakukan sendiri bagaimana

budaya lokal dan budaya global itu yang sesungguhnya (Suryaman, 2014)

1. Teknik pembelajaran

Pembelajaran multibudaya, baik melalui pendidikan kewarganeragaraan,

pendidikan agama Islam, atau melalui mata pelajaran lainnya, merupakan proses

pembinaan dan pembentukan sikap hidup yang memerlukan landasan pengetahuan

serta penanaman nilai dalam diri setiap peserta didik, agar menjadi warga negara

yang religius namun inklusif dan bersikap pluralis tanpa mengorbankan basis

keagamaan yang dianutnya.


107

Pembelajaran yang bisa memenuhi rasa keadilan bagi para peserta didik,

menurut Banks adalah strategi-strategi pembelajaran yang dapat memfasilitasi para

peserta didik untuk belajar, bisa mengeksplorasi sumber-sumber informasi, bisa

melakukan interprteasi dan membuat kesimpulan-kesimpulan yang mereka perlukan

dalam mengembangkan sikap dan perilakunya yang sesuai dengan paradigma

masyarakat multikultur yang demokratis, berkeadilan dan menghargai HAM. Oleh

sebab itu, dalam membina dan mengembangkan sikap multikultur, guru harus

memperbesar pelibatan peserta didik dalam proses mencari informasi, membahas

berbagai persoalan yang terkait dengan informasi-informasi tersebut, serta merefleksi

nilai-nilai yang mereka peroleh dalam proses pembelajarannya itu.

Proses pembelajaran harus dikembangkan secara dinamis dan kombinatif

antara teknik yang berpusat pada guru dengan teknik-teknik yang melibatkan peserta

didik dalam proses belajar, sehingga sikap afeksinya tumbuh dan berkembang dalam

jiwa para peserta didik. Pengajaran yang berpusat pada guru dan merupakan salah

satu bentuk exposition teaching (mengajar dengan paparan, atau ceramah) layak

untuk digunakan menyampaikan berbagai informasi dalam waktu yang sangat

terbatas. Strategi ini paling banyak digunakan oleh guru pada semua jenjang dan jenis

pendidikan, dan akan efektif untuk menyampaikan informasi jika guru adalah seorang

orator, serta dibantu berbagai alat bantu, slide, video, film atau lainnya (Rosyada,

2014).

Pendekatan yang dapat digunakan dalam pembelajaran multibudaya adalah

pendekatan yang dapat menimbulkan partisipasi di antara peserta didik, seperti model
108

pembelajaran partisipatif, model pembelajaran kontekstual, dan model pembelajaran

mandiri. Metode yang akan digunakan adalah metode yang lebih banyak melibatkan

warga belajar, karena lebih menitikberatkan pada student centered (Hatimah & Sadri,

2007).

Hasil penelitian Sudrajat (2014) memperlihatkan bahwa implementasi

pendidikan multibudaya melalui pendekatan cooperatif learning berhasil

meningkatkan kualitas pembelajaran. Guru sebagai fasilitator dan mediator sangat

terbantu untuk mengimplementasikan pendidikan multibudaya dalam pembelajaran.

Melalui diskusi kelompok, banyak nilai yang dapat tertanam dalam diri peserta didik,

misalnya kerjasama, berkompetisi secara sehat, menghormati, menghargai, dan

tanggung jawab.

Pada akhirnya, kompetensi-kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotorik

bisa dicapai dengan berbagai strategi yang dapat melibatkan peserta didik dalam

belajar, baik melalui self discovery learning, group work, cooperative learning, atau

berbagai strategi lainnya yang dapat dikembangkan guru untuk membelajarkan

peserta didiknya (Rosyada, 2014).

2. Guru

Sebaik-baik konsep untuk pendidikan multibudaya, tidak akan terlalu

bermakna jika dikelola dan dikendalikan oleh guru yang tidak cukup kompeten untuk

menyampaikan nilai-nilai tersebut, baik dalam wilayah kognitif, afektif, maupun

psikomotoriknya. Oleh sebab itu, menurut Rosyada (2014) ada beberapa kualifikasi
109

guru yang diperlukan dalam konteks pengembangan pembelajaran multibudaya, yaitu

sebagai berikut.

a. Guru harus memiliki skill keguruan, pemahaman, pengalaman, dan nilai-nilai

kulturnya dengan baik, sehingga dapat memahami peserta didiknya yang secara

etnik, ras, dan kultur berbeda dengan mereka, serta dapat menerima para peserta

didiknya dalam kelas untuk bisa belajar bersama, mengembangkan aktivitas

belajar secara bersama-sama di dalam kelasnya.

b. Kemudian guru juga harus selalu merefleksikan dirinya sendiri, apakah mereka

sudah bisa memberikan sikap dan perlakuan yang adil terhadap seluruh peserta

didiknya yang berbeda latar belakang etnik, ras, dan budayanya, dan apakah

mereka juga telah memberikan perlakuan yang sama terhadap para peserta didik

yang berbeda jenis kelaminnya.

c. Pendidikan multibudaya harus dilakukan secara dinamis. Oleh sebab itu guru

diharapkan memperkaya pemahamannya tidak hanya soal keguruan dan

pembelajaran, tapi juga pengetahuan-pengetahuan konsepsional tentang

multibudaya, seperti budaya, imigrasi, ras, seks, asimilasi kultur, gap etnik,

stereotip, prejudaisme, dan rasisme.

d. Di samping itu, guru juga harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang

sejarah, karakteristik dan perbedaan-perbedaan internal dalam masing-masing

kelompok etnik dan ras-ras tertentu.

e. Terakhir guru juga harus mampu melakukan analisis-analisis perbandingan dan

mampu mengambil sebuah kesimpulan tentang teori-teori yang dapat digunakan


110

untuk mengelola keragaman sosial, sehingga menjadi potensi yang kuat untuk

bangsa.

Hanum (2010), mengemukakan beberapa petunjuk yang dapat membantu

guru dalam mengimplementasikan pendidikan multibudaya di kelas, antara lain.

a. Sensitiflah dengan sikap, perilaku rasial, stereotipe, prejudice, labelling Anda,

serta pernyataan-pernyataan tentang kelompok etnis lain. Hindari pernyataan

seperti orang Cina pelit, orang Jawa manutan, peserta didik kelas bawah memang

sulit maju dan sebagainya.

b. Perluas pengetahuan tentang kehidupan masyarakat lain yang berbeda latar

belakang etnis, agama, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi.

c. Yakinkan bahwa kelas Anda membawa citra positif tentang berbagai ragam

perbedaan. Kegiatan nyata seperti majalah dinding, poster, kalender yang

memperlihatkan perbedaan ras, gender, agama, status sosial ekonomi, sehingga

peserta didik terbiasa melihatnya.

d. Sensitiflah pada perilaku, sikap peserta didik yang rasial, bimbing dan yakinkan

mereka agar dapat menerima perbedaan sebagai hal wajar dan anugerah yang

memperkaya budaya manusia.

e. Gunakan buku, film, video, CD, dan rekaman untuk melengkapi buku teks, agar

dapat memperkaya pengetahuan peserta didik tentang keragaman budaya yang

ada di masyarakat, tanah air, ataupun dunia.


111

f. Ciptakan iklim berbagi pada peserta didik dengan memberi kesempatan mereka

menceritakan pengalaman pribadi tentang budaya mereka maupun budaya lain

yang mereka ketahui.

g. Gunakan teknik belajar kooperatif dan kerja kelompok untuk meningkatkan

integrasi sosial di kelas dan di sekolah, waspada bila terjadi kelompok-kelompok

yang eksklusif.

3. Media pembelajaran

Media pembelajaran merupakan salah satu komponen yang dapat menunjang

berlangsungnya pembelajaran. Media pembelajaran yang tepat dalam penggunaannya

dapat membantu dan memperjelas bagi pendidik dan peserta didik, tentang materi

pembelajaran yang dibahas. Penggunaan media mampu memberikan kontribusi yang

sangat besar terhadap tercapainya kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta

didik.

Media yang digunakan dalam pembelajaran multibudaya harus dapat

memperjelas peserta didik. Terutama ketika pendidik menjelaskan budaya tertentu,

diupayakan harus menumbuhkan toleransi, bukan sebaliknya menimbulkan konflik di

antara peserta didik (Hatimah & Sadri, 2007).

4. Evaluasi

Kegiatan penutup pada pembelajaran multibudaya dapat dilakukan dengan

mengadakan penilaian, baik secara lisan maupun tulisan, atau ungkapan langsung dari

peserta didik tentang pengalamannya selama mengikuti pembelajaran (Hatimah &

Sadri, 2007). Evaluasi yang digunakan dalam kurikulum model multibudaya


112

haruslah meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik,

sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan. Alat evaluasi yang digunakan

haruslah beragam sesuai dengan sifat tujuan dan informasi yang dikumpulkan.

Pengumpulan informasi dapat digunakan portofolio, catatan, atau wawancara (Suniti,

2014).

Langkah awal dalam evaluasi adalah merumuskan standar kompetensi

pendidikan multibudaya yang selanjutnya dari standar kompetensi ini dijabarkan

lebih lanjut dalam kompetensi dasar. Kompetensi dasar kemudian diuraikan lebih

lanjut dalam indikator yang selanjutnya dari indikator dapat disusun item-item tes

sehingga tujuan pembelajaran dapat diketahui (Susongko, Tt).


113

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil pada penulisan makalah ini adalah sebagai

berikut.

1. Negara multibudaya merupakan sebutan yang sangat cocok untuk Indonesia. Hal

ini dikarenakan Indonesia memiliki keragaman agama dan kepercayaan, suku,

adat istiadat, golongan masyarakat, jumlah dan persebaran pulau, bahasa, dan

sejumlah keragaman lainnya.

2. Pendidikan multibudaya adalah proses pengembangan seluruh potensi manusia

yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman

budaya, etnis, suku dan aliran (agama).

3. Tujuan utama dari pendidikan multibudaya adalah mengubah pendekatan

pelajaran dan pembelajaran ke arah memberi peluang yang sama pada setiap

anak.

4. Pendidikan multibudaya untuk Indonesia adalah sesuatu hal yang baru dimulai,

Indonesia belum mempunyai pengalaman mengenai hal ini. Apalagi otonomi

daerah juga baru disampaikan. Oleh sebab itu, diperlukan waktu dan persiapan

yang cukup lama untuk memperoleh suatu bentuk yang pas dan pendekatan yang

cocok untuk pendidikan multibudaya di Indonesia.


114

5. Kurikulum pendidikan multibudaya seharusnya berisi tentang materi-materi yang

dapat menghadirkan lebih dari satu perspektif tentang suatu fenomena kultural.

Untuk menghadirkan keragaman perspektif dalam kurikulum ini, menurut Banks

dalam dapat dilakukan dengan empat tahapan, yaitu tahap kontribusi, tahap

penambahan, tahap perubahan, dan tahap aksi sosial.

6. Mengimplementasikan pendidikan multibudaya di sekolah tidak harus menjadi

mata pelajaran khusus dan masuk pada kurikulum formal (mengubah kurikulum

yang ada). Yang paling penting dapat diimplementasikan langsung pada tindakan

nyata.

7. Pendidikan multibudaya di sekolah harus dilakukan secara komprehensif, tidak

hanya penyikapan yang adil di antara peserta didik yang berbeda agama, ras, etnik

dan budayanya, tapi juga harus didukung dengan kurikulum baik kurikulum

tertulis maupun terselubung, evaluasi yang integratif dan guru yang memiliki

pemahaman, sikap, dan tindakan yang produktif dalam memberikan layanan

pendidikan multibudaya pada para peserta didiknya.

B. Saran

Penyusun memberikan saran supaya makalah ini dapat dilengkapi pada

penulisan selanjutnya terutama pada contoh-contoh pelaksanaan pendidikan

multibudaya di Indonesia, bagaimana pendekatan multibudaya apabila diterapkan

pada proses pembelajaran. Akhir kata, penyusun berharap makalah ini dapat

dimanfaatkan untuk kegiatan keilmuan.


115

DAFTAR PUSTAKA

Amirin, T. M. 2012. Implementasi Pendekatan Pendidikan Multikultural Kontekstual


Berbasis Kearifan Lokal di Indonesia. Jurnal Pembangunan Pendidikan:
Fondasi dan Aplikasi (Online), 1 (1), 1-16 (https://solider.or.id, Diakses 2
April 2017).

Hanum, F. 2008. Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Kurikulum Tingkat


Satuan Pendidikan (KTSP). Seminar Pendidikan Nasional HIMA PGSD
UPP I dan UPP II (Online) (http://staff.uny.ac.id, Diakses 2 April 2017).

-------------. 2009. Pendidikan Multikultural sebagai Sarana Membentuk Karakter


Bangsa (Dalam Perspektif Sosiologi Pendidikan). Seminar Regional DIY-
Jateng dan Sekitarnya Universitas Negeri Yogyakarta (Online)
(http://staff.uny.ac.id, Diakses 2 April 2017).

Hatimah, I. & Sadri. 2007. Pembelajaran Berwawasan Kemasyaratan. Jakarta:


Penerbit Universitas Terbuka.

Ibrahim, R. 2013. Pendidikan Multikultural: Pengertian, Prinsip, dan Relevansinya


dengan Pendidikan Islam. ADDIN (Online), 7 (1), 129-154
(https://www.researchgate.net, Diakses 2 April 2017).

Natawidjaja, R., Sukmadinata, N.S., Ibrahim, R., & Djohar, A. (Eds.), 2007. Rujukan
Filsafat, Teori, dan Praksis Ilmu Pendidikan. Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia Press.

Rosyada, D. 2014. Pendidikan Multikultural di Indonesia Sebuah Pandangan


Konsepsional. Sosio Didaktika (Online), 1 (1), 1-12
(http://journal.uinjkt.ac.id, Diakses 2 April 2017).

Sudjarat. 2014. Pendidikan Multikultural untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran


IPS di Sekolah Dasar. JIPSINDO (Online), 1 (1), 1-19
(http://download.portalgaruda.org, Diakses 2 April 2017).

Suniti. 2014. Kurikulum Pendidikan Berbasis Multikultural. Jurnal Edueksos


(Online), 3 (2), 23-44 (http://www.syekhnurjati.ac.id, Diakses 2 April 2017).

Supardan, D. Tanpa tahun. Pendidikan Multibudaya (http://file.upi.edu, Diakses 2


April 2017).
116

Suryaman. 2014. Pengembangan Konsep Pendidikan Multibudaya Melalui Gemar


Belajar, Kreatif, Mandiri, dan Berbudi Pekerti Luhur untuk Membentuk Jiwa
Wirausaha di Indonesia. SOSIOHUMANIKA: Jurnal Pendidikan Sains
Sosial dan Kemanusiaan (Online), 7 (1), 231-240 (http://oaji.net, Diakses 2
April 2017).

Susongko, P. Tanpa tahun. Pengembangan Standar Kompetensi pada Pendidikan


Multikultural di Sekolah (http://download.portalgaruda.org, Diakses 2 April
2017).

Sutarno. 2008. Pendidikan Multikultural. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan


Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional dan Wajib Belajar. 2009. Bandung:


Rhusty Publisher.

Wicaksono, J. A. 2016. Konsep Pendidikan Multikultural dalam Kebijakan Publik di


Indonesia. An-Nuha (Online), 3 (1), 39-59 (http://ejournal.staimadiun.ac.id,
Diakses 2 April 2017).

Widisuseno, I. Tanpa tahun. Pendidikan Berbasis Multikulturalisme Suatu Upaya


Penguatan Jatidiri Bangsa (http://ejournal.undip.ac.id, Diakses 2 April
2017).

Wihardit, K. 2010. Pendidikan Multikultural: Suatu Konsep, Pendekatan dan Solusi.


Jurnal Pendidikan (Online), 11 (2), 96-105 (http://jurnal.ut.ac.id, Diakses 2
April 2017).

Wuryandari, W. Tanpa tahun. Pembelajaran Berbasis Multikultural di Sekolah Dasar


untuk Mengembangkan Karakter Bangsa (http://staff.uny.ac.id, Diakses 2
April 2017).

Anda mungkin juga menyukai