Anda di halaman 1dari 14

Aplikasi teori belajar humanisme ini berusaha memahami prilaku belajar dari sudut pandang

pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Selain itu aliran humanisme lebih melihat
pada sisi perkembangan kepribadian manusia. Pendekatan ini melihat kejadian yaitu bagaimana
manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak
positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanisme
biasanya memfokuskan pembelajarannya pada pembangunan kemampuan positif ini.
Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat
dalam domain afektif. Emosi adalah karakteristik yang sangat kuat yang tampak dari para
pendidik beraliran humanisme. Mennurut teori ini tujuan belajar adalah untuk memanusiakan
manusia, proses belajar di anggap berhasil jika anak memahami lingkungannya dan dirinya
sendiri. Penekanan dalam teori ini adalah penyelidikan efek emosi dan hubungan interpersonal
terhadap terbentuknya prilaku belajar, yang melibatkan intelektual dan emosi sehingga tujuan
akhir belajarnya adalah mengembangkan kepribadian peserta didik, nilai-nilai yang di anut,
kemampuan sosial, dan konsep diri yang berkaitan dengan pencapaian prestasi akademik.
Dengan demikian dapat dirumuskan, tujuan utama para pendidik dilihat dari teori belajar
humanisme adalah membantu anak untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-
masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu
dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Bertitik tolak dari latar
belakang itu, maka focus pembahasan pada artikel ini adalah membahas bagaimana aplikasi teori
humanism itu di terapkan dalam proses pembelajaran.

B. PEMBAHASAN
Aplikasi teori humanisme lebih menonjolkan kebebasansetiap individu siswa/i memahami materi
pembelajaran untuk memperoleh informasi/pengetahuan baru dengan caranya sendiri, selama
proses pembelajaran.dalam teori ini peserta didik berperan sebagai subjek didik, peran guru
dalam pembelajaran humanisme adalah fasilitator. Peserta Didik Dalam pembelajaran yang
humanis ditempatkan sebagai pusat (central) dalam aktifitas belajar. Peserta didik menjadi
pelaku dalam memaknai pengalaman belajarnya sendiri. Dengan demikian , peserta didik
diharapkan mampu menemukan potensinya dan mengembangkan potensi tersebut secara
memaksimal. Peserta didik bebas berekspresi cara-cara belajarnya sendiri. Peserta didik menjadi
aktif dan tidak sekedar menerima informasi yang disampaikan oleh guru. Peran guru dalam
pembelajaran humanisme adalah menjadi fasilitator bagi para peserta didiknya dengan cara
memberikan motivasi dan memfasilitasi pengalaman belajar, dengan , menerapkan strategi
pembelajaran yang membuat peserta didik aktif, serta menyampaikan materinya pembelajaran
yang sistematis (Sadulloh; 2008). Peran guru sebagai fasilitator adalah. 1) Member perhatian
pada penciptaan suasana awal pembelajaran, 2) Menciptakan suasana kelas yang menyenangkan
sehingga meningkatkan peserta didik untuk mengikuti pembelajaran dengan cara menerapakan
metode pembalajaran yang bervariasi, 3) Mengatur peserta didik agar bisa berkomunikasi secara
langsung secara aktif dengan antar teman selama proses pembelajaran, 4) Mencoba mengatur
dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang palin luas dan mudah dimanfaatkan para
peserta didik untuk membantu mencapai tujuan mereka, 5) Menempatkan diri sebagai suatu
sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan peserta didik baik secara individu maupun
kelompok (guru dijadikan tempat untuk bertanya peserta didik tanpa peserta didik merasa takut),
6) Menanggapi dengan baik ungkapan-ungkapan didalam kelompok kelas dan menerima baik isi
yang bersifat intelektual (tidak penuh dengan kritikan sehingga memotifasi peserta didik untuk
mengekspresikan diri), 7) Bersikap hangat dan berusaha memahami perasaan peserta didik (
berempati) dan meluruskan dianggap kurang relevan dengan cara yang santun, 8) Dalam
pembelajaran secara kelompok , dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok dan
mencoba mengungkapkan perasaan serta pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak
memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak
oleh peserta didik, 9) Sebagai seorang manusia yang tidak selalu sempurna , guru mau
mengenali, mengakui dan menerima keterbatasan-keterbatasan diri dengan cara mau dan senang
hati menerima pandangan yang lebih baik dari peserta didik. Aktifitas Selama Proses
Pembelajaran Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses
pengalaman belajarnya sendiri (Salahudin; 2011). Diharapkan siswa memahami potensi diri ,
mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat
negatif. Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Menurut
Sadulloh adapun proses yang umumnya dilalui dalam teori Humanisme adalah. a. Merumuskan
tujuan belajar yang jelas b. Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang
bersifat jelas , jujur dan positif. c. Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa
untuk belajar atas inisiatif sendiri d. Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai
proses pembelajaran secara mandiri e. Siswa di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat,
memilih pilihannya sendiri, melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko
dariperilaku yang ditunjukkan. f. Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan
pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggungjawab
atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya. g. Guru menerima siswa apa adanya,
berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa
untuk bertanggungjawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya. h. Memberikan
kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya i. Evaluasi diberikan secara
individual berdasarkan perolehan prestasi siswa. Bentuk aplikasi humanisme dalam
pembelajaran berisi bagai mana cara berupaya menggabungkan keterampilan dan informasi
kognitif, dengan segi-segi efektif, nilai-nilai dan prilaku antar pribadi. Sehubungan dengan itu
dibawah ini akan diterangkan beberapa program dalam aplikasi humanisme dalam pembelajaran.
1.Confluent Education Cooperative Learning Confluent Education Cooperative Learning adalah
pendidikan yang memadukan atau mempertemukan pengalaman-pengalaman afektif dengan
belajar kognitif di dalam kelas. Hal ini merupakan cara yang bagus sekali untuk melibatkan para
siswa secara pribadi di dalam bahan pelajaran. Sebagai contoh misalnya, guru bahasa Indonesia
memberikan tugas kepada para siswa untuk membaca sebuah novel, katakanlah misalnya tentang
“keberanian”, sebuah novel perang. Melalui tugas itu, siswa-siswa tidak hanya diharapkan
memahami isi bacaan tersebut dengan baik tetapi juga memperoleh kesadaran antar pribadi yang
lebih baik dengan jalan membahas pengertian-pengertian mereka sendiri mengenai keberanian
dan rasa takut. Untuk keperluan itu tugas tersebut dilengkapi dengan tugas-tugas yang berkait,
antara lain: 1) Mewawancarai orang-orang yang tahu tentang perang. 2) Mendengar musik
perang, menulis pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang timbul secara bebas, dan kemudian
menghayatinya dalam kelompok-kelompok yang kecil. 3) Memperdebatkan apakah perang itu
dapat dihindari ataukah tidak. 4) Membandingkan perang saudara dengan sajak-sajak perang.
Melalui partisipasi dalam kegiatan seperti itu dan membicarakan bagaimana tokoh atau pahlawan
tertentu dalam novel tersebut bergabung dan meniggalkan berbagai kelompok, mereka sendiri
hidup bersama orang lain, kadang diterima kadang ditolak. Novel tersebut memiliki makna
pribadi manakala siswa mulai berfikir tentang bagaimana mereka bereaksi dalam situasi yang
serupa. 2.Open Education Open Education atau proses pendidikan terbuka adalah proses
pendidikan yang memberikan kesempatan kepada murid untuk bergerak secara bebas disekitar
kelas dan memilih aktivitas belajar mereka sendiri. Menurut Walberg dan Tomas (1972), Open
Education itu memiliki delapan kriteria, yaitu: 1) Kemudahan belajar tersedia, artinya berbagai
macam bahan yang diperlukan untuk belajar tersedia, para siswa bergerak bebas di sekitar
ruangan, tidak dilarang berbicara, tidak ada pengelompokkan atas dasar tingkat kecerdasan. 2)
Penuh kasih sayang, hormat, terbuka dan hangat, artinya menggunakan bahan buatan siswa, guru
menangani masalah-masalah tingkah laku dengan jalan berkomunikasi secara pribadi dengan
siswa yang bersangkutan, tanpa melibatkan kelompok. 3) Mendiagnosa pristiwa-pristiwa belajar,
artinya siswa-siswa memerikasa pekerjaan mereka sendiri, guru mengamati dan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan 4) Pengajaran, yaitu pengajaran individual, tidak ada tes ataupun buku
kerja. 5) Penilaian, ujudnya: guru membuat catatan, penilaian secara individual, hanya sedikit
sekali diadakan tes formal. 6) Mencari kesempatan untuk pertumbuhan profesional, artinya guru
menggunakan bantuan orang lain, guru bekarja dengan teman sekerjanya. 7) Persepsi guru
sendiri, artinya guru mengamati semua siswa untuk memantau kegiatan mereka. 8) Asumsi
tentang para siswa dan proses belajar, artinya suasana kelas hangat dan ramah, para siswa asyik
melakukan sesuatu. Meskipun pendidikan terbuka memberikan kesempatan kepada para siswa
untuk bergerak secara bebas de sekitar ruangan dan memilih aktifitas belajar mereka sendiri,
namun bimbingan guru tetap diperlukan. 3.Cooperative Learning Cooperative Learning atau
belajar kooperatif merupakan fondasi yang baik untuk menigkatkan dorongan berprestasi siswa.
Menurut Slavin dalam Sumanto (1998) Cooperative Learning mempunyai tiga karakteristik: 1)
Siswa bekerja dalam tim-tim belajar yang kecil (4-6 orang anggota), komposisi ini tetap selama
berminggu-minggu. 2) Siswa didorong untuk saling membantu dalam mempelajari bahan yang
bersifat akademik atau dalam melakukan tugas kelompok. 3) Siswa diberi imbalan atau hadiah
atas dasar prestasi kelompok. 4.Independent Learning Independent Learning atau pembelajaran
mandiri adalah proses belajar yang menuntut murid menjadi subyek yang dapat merancang,
mengatur, menontrol kegiatan mereka sendiri secara bertanggung jawab. Proses ini tidak
bergantung pada subyek maupun metode instruksional, melainkan kepada siapa yang belajar
yaitu murid, mencakup siapa yang memutuskan tentang apa yang akan dipelajari siapa yang
harus mempelajari suatu hal

KESIMPULAN
Dari uraian diata dapat menyimpulkan bahwa dalam dunia pendidikan seorang guru harus bisa
membantu muridnya dalam proses belajar, karena siswa yang satu memiliki pribadi yang
berbeda. Jika hal ini tidak dapat di atasi maka siswa akan sulit dalam melakukan atau terlibat
dalam proses belajar. Pengaplikasian teori ini dalam dunia pendidikan sangatlah membantu.
Dengan teori ini guru dapat mengetahui teknik yang dapat mengembangkan jiwa anak didik
dalam belajar. Seperti yang kita ketahui siswa terkadang sangat sulit terlibat dalam pembelajarn
di kelas dengan berbagai alasan misalnya, karena belum sarapan, kepanasan, maslah keluarga
dan sebagainya. Hal inilah yang perlu diketahui oleh seorang guru. Dan juga dalam aplikasinya
teori humanisme ini lebih mengutamakan siswa dalam belajar mandiri atau menentukan belajar
mandiri serta adanya kebebasan bergerak atau siswa aktfi, sedangkan guru hanya sebagai
fasilitator, dan memberimotivasi serta arahan dalam belajar, berfungsi juga sebagai pengawas
dalam kegiatan belajar mengajar. Semoga penjelasan yang penulis sampaikan dalam makalah ini
dapat berguna bagi pengembangan dunia pendidikan di Indonesia.

Dalam dunia pendidikan terdapat dua komponen pokok yang harus jelas tentang
keberadaanya, yaitu siswa dan guru. Suatu proses pembelajaran tidak akan berkembang jika
hanya ada guru saja tanpa adanya murid, dan begitupula jika kebradaan murid dalam proses
pembelajaran tanpa didampingi oleh gurunya maka tidak akan berkembang proses pendidikan
tersebut. Kemudian tingkat kepribadian siswa yang bermacam-macam, ada yang baik, kasar,
malas, pintar, manja, bodoh, nakal dan lain sebagainya merupakan isyarat bagi guru untuk dapat
mendekati siswanya. Oleh karena itu untuk mengetahui bagaimana keadaan psikologi siswa
dalam proses pembelajaran harus dilakukan beberapa pendekatan. Sehingga setelah kita
mengetahui kondisi psikologi peserta didik, kita selaku calon guru dapat mempersiapkan dan
memilih metode yang tepat dalam menyampaikan suatu mata pelajaran ketika diberi kesempatan
untuk terlibat dalam proses belajar mengajar.

Dalam dunia pendidikan banyak dikenal beberapa teori pendidikan. Salah satunya yaitu
teori humanistik yang fokus pembahasanya menitikberatkan kepada perilaku seseorang manusia.
Pada hakikatnya teori ini berkembang dari aliran psikologi yang kemudian berpengaruh terhadap
arah pengembangan teori, praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran
humanistik. Oleh karena itu prespektif disiplin ilmu yang digunakan penulis dalam menyusun
makalah ini ada dua macam, yaitu disiplin ilmu pendidikan dan psikologi.
Tulisan ini berjudul teori humanisme dan implementasinya dalam pembelajaran yang
sengaja disusun oleh penulis agar dapat memberikan kontribusi khazanah keilmuan khususnya
dalam dunia pendidikan. Selain itu penulis juga mengharapkan dengan adanya Tulisan ini dapat
memberikan gambaran awal bagi para calon guru untuk mempersiapkan pembelajaran dengan
sebaik mungkin sehingga kualitas pendidikan di tanah air ini dapat berkembang dan maju.

A. Pengertian Teori Humanisme


Teori humanisme merupakan salah satu teori yang terdapat dalam teori-teori pendidikan
dalam disiplin ilmu pendidikan. Sebelum membahas lebih jauh mengenai teori humanisme, perlu
dipahami terlebih dahulu mengenai teori pendidikan itu sendiri.
Teori pendidikan merupakan adalah suatu pandangan atau serangkaian pendapat ihwal
pendidikan yang diidealkan yang disajikan dalam bentuk sebuah sistem konsep dan dalil
(hukum)1[1]. Menurut salah satu tokoh pendidikan, mudyaharjo (2002 : 26) menjelaskan bahwa
teori pendidikan adalah sebuah pandangan atau serangkaian pendapat ihwal pendidikan yang
disajikan dalam sebuah sistem konsep. Pendidikan sebagai sistem mengandung arti suatu
kelompok tertentu yang setidaknya memiliki hubungan khusus secara timbal balik dan memiliki
informasi. Selain itu teori pendidikan juga dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang makna
dan bagaimana seyogyanya pendidikan itu dilaksanakan,sedangkan praktek adalah tentang
pelaksanaan pendidikan secara konkretnya (nyatanya)2[2]. Dari beberapa pendapat diatas dapat
ditarik sebuah kesimpulan bahwa teori pendidikan adalah serangkaian konstruk (konsep),
definisi, asumsi dan proposisi tentang cara merubah sikap dan tingkah laku seseorang dalam
rangka mewujudkan manusia yang adil dan beradab, selain itu didalam teori pendidikan memberi
pedoman pada praktik pendidikan dan memiliki fungsi untuk mendeskripsikan, menjelaskan dan
memprediksi segala hal yang ada didalam pendidikan.
Adapun teori humanisme itu sendiri merupakan konsep belajar yang lebih melihat pada
sisi perkembangan kepribadian manusia. Berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan
menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut3[3].
Kemudian teori humanisme banyak mengadopsi prinsip-prinsip progresif dan mendapat stimulan
dari eksistensialisme, yang mencakup keberpusatan pada anak, peran guru yang tidak otoritatif,
pemfokusan pada subjek didik yang terlibat aktif, dan sisi-sisi pendidikan yang kooperatif dan
demokratis4[4]. Pada intinya fokus teori humanisme adalah perilaku seseorang. Selain itu teori
belajar humanistik sifatnya sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses
pembelajaran itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep
pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan dan bertujuan untuk memanusiakan
manusia itu sendiri serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dalam artian
memanusiakan manusia adalah perilaku tiap orang ditentukan oleh orang itu sendiri dan
memahami manusia terhadap lingkungan dan dirinya sendiri.
Menurut para tokoh aliran ini penyusunan dan pemilihan materi pelajaran harus sesuai
dengan perasaan dan perhatian siswa. Tujuan utama pendidik adalah membantu siswa
mengembangkan dirinya yaitu membantu individu untuk mengenal dirinya sendiri sebagai
manusia secara utuh dan membantu mengembangkan potensi dan keterampilan mereka. Para ahli
humanistikk melihat adanya dua bagian pada proses belajar yaitu proses pemerolehan informasi
baru dan internalisasi informasi ini pada individu.

B. Sejarah timbulnya teori humanisme


Seperti yang telah dipaparka diatas bahwa teori humanisme dalam disiplin ilmu
pendidikan merupakan akar pengembangan dari ilmu psikologi. Oleh karena itu sejarah singkat
timbulnya teori humanisme akan dipaparkan dari awal kemunculanya dala ilmu psikologi.
Pada akhir tahun 1940-an muncul suatu perspektif psikologi baru yang dipelopori oleh
beberapa orang yang mengembangkan ilmu psikologi, diantaranya yaitu ahli-ahli psikologi
klinik, pekerja-pekerja sosial dan konseler. Gerakan ini berkembang dan kemudian dikenal
sebagai psikologi humanistik. Psikologi ini berusaha untuk memahami prilaku seseorang dari
sudut si pelaku (behavior), bukan dari pengamat (observer).
Dalam dunia pendidikan, aliran humanistik muncul pada tahun 1960 sampai dengan
1970-an dan kemudian perubahan-perubahan dan inivasi yang terjadi selama dua dekade yang
terakhir pada abad 20 ini pun juga akan menuju pada arah ini5[5].
Berikut ini pemaparan tokoh-tokoh yang sangat berperan beserta teori-teorinya sebagai
kontribusi atas lahirnya teori humanisme.
1. Arthur Combs (1912-1999)
Combs dan kawan-kawan menyatakan bahwa apabila kita ingin memahami perlaku orang
lain maka kita harus mencoba memahami dunia persepsi orang itu. Selanjutnya Combs dan
kawn-kawanya mengatakan juga bahwa perilaku buruk itu sesungguhnya tak lain halnya dari
ketidakmauan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan
baginya. Apabila seorang guru mengeluh bahwa siswanya tidak mempunyai motivasi unuk
melakukan sesuatu, ini sesungguhnya berarti bahwa siswa itu tidak mempunyai motivasi untuk
melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh guru itu. Apabila guru itu membeikan aktivitas yang
lain , ada kemungkinan siswa akan memberikan reaksi yang positif.
2. Abraham Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal :
(1) Suatu usaha yang positif untuk berkembang.
(2) Kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi
kebutuhan yang bersifat hirarkis. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai
implikasi yang penting yang harus diperharikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia
mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan
dasar si siswa belum terpenuhi.
3. Carl Ransom Rogers
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
 Kognitif (kebermaknaan)
 Experiential ( pengalaman atau signifikansi)
Guru menghubungkan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai seperti
memperlajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiential Learning menunjuk
pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiential learning
mencakup : keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan
adanya efek yang membekas pada siswa.
Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar
mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan
penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu6[6].
4. Kolb, dengan konsepnya tentang empat tahap belajar, yaitu pengalaman konkret, pengalaman
aktif dan reflektif, konseptualisasi, dan eksperimentasi aktif.
5. Honey dan Mumford, menggolongkan siswa menjadi 4, yaitu aktifis, reflektor, teoris, dan
pragmatis.
6. Hubermas, membedakan 3 macam atau tipe belajar, yaitu belajar teknis, belajar praktis, dan
belajar emansipatoris.
7. Bloom dan Krathwohl, dengan 3 kawasan tujuan belajar, yaitu kognitif, psikomotor, dan efektf.
8. Ausubel, walaupun termasuk juga kedalam aliran kognitifisme, ia terkenal dengan konsepnya
belajar bermakna (meaningful learning)7[7].

C. Orientasi teori humanisme


Berangkat dari disiplin ilmu psikologi, psikologi humanistik memberikan sumbangannya
bagi pendidikan alternatif yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik (humanistic
keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan
keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan humanistik.
Perhatian Psikologi Humanistik yang utama tertuju pada masalah bagaimana tiap-tiap
individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan
kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Menurut para pendidik aliran humanistik,
penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa.
Teori kepribadian humanistik direpresentasikan oleh teori kepribadian salah satu tokoh
pelopor teori humanisme yaitu Maslow8[8]. Ajaran-ajaran yang berkaitan dengan teori
kepribadian humanistik adalah:
1. Individu sebagai keseluruhan yang integral
Salah satu aspek yang fundamental dari psikologi humanistik adalah ajarannya bahwa
manusia atau individu harus dipelajari sebagai keseluruhan yang integral, khas, dan terorganisasi.
Maslow merasa bahwa para ahli psikologi di masa lalu maupun sekarang terlalu banyak
membuang waktu untuk menganalisa kejadian-kejadian (tingkah laku) secara terpisah dan
mengabaikan aspek-aspek dasar dari pribadi yang menyeluruh. Dalam perumpamaan umum,
pernyataan Maslow ini bisa dinyatakan melalui ungkapan bahwa para ahli psikologi itu hanya
mempelajari pohon-pohon, bukan hutan. Dalam teori maslow dengan prinsip holistiknya itu,
motivasi mempengaruhi individu secara keseluruhan, dan bukan secara sebagian.
2. Ketidak relevanan penyelidikan dengan hewan
Maslow dan para teoris kepribadian humanistik umumnya memandang manusia sebagai
makhluk yang berbeda dengan hewan apa pun. Ia menganggap bahwa behaviorisme dengan
filsafat yang menyertainya telah mendehumanisasikan manusia dengan memandangnya tak lebih
dari mesin pengolah reflek-reflek berkondisi dan tak berkondisi. Maslow menegaskan bahwa
peyelidikan dengan hewan tidak relevan bagi upaya memahami tingkah laku manusia karena hal
itu mengabaikan cirri-ciri yang khas manusia seperti adanya gagasan-gagasan, nilai-nilai, rasa
malu, cinta, semangat, humor, rasa seni, kecemburuan, dan sebagainya, dan dengan kesemua ciri
yang dimilikinya itu manusia bisa menciptakan pengetahuan, puisi, musik, dan pekerjaan-
pekerjaan khas manusia lainnya.
3. Pembawa baik manusia
Psikologi humanistik memiliki anggapan, bahwa manusia itu pada dasarnya adalah baik,
atau tepatnya netral. Menurut persepektif humanistik, kekuatan jahat atau merusak yang ada pada
manusia itu adalah hasil dari lingkungan yang buruk, dan bukan merupakan bawaan.
4. Potensi kreatif manusia
Potensi kreatif manusia merupakan potensi yang umum pada manusia, jika setiap orang
memiliki kesempatan atau menghuni lingkungan yang menunjang, setiap orang dengan
kreatifitasnya itu akan mampu mengungkapkan segenap potensi yang dimilikinya. Maslow
mengingatkan bahwa, untuk menjadi kreatif seorang itu tidak perlu memiliki bakat atau
kemampuan khusus. Kreativitas itu tidak lain adalah kekuatan yang mengarahkan manusia
kepada pengekspresian dirinya.
5. Penekanan pada kesehatan psikologis
Psikologi humanistik memandang self-fulfillment sebagai tema yang utama dalam hidup
manusia, suatu tema yang tidak akan ditemukan pada teori-teori lain yang berlandaskan studi
atas individu-individu yang mengalami gangguan.
Dari pemaparan di atas dapat diambil benang merah bahwa orientasi teori humanistik
adalah pengaktualisasian diri sesuai dengan peunjuk-petunjuk yang baik serta mampu
mengembangkan potensi secara utuh, sehingga dapat bermakna dan berfungsi bagi kehidupan
dirinya dan lingkungannya.
D. Kekurangan dan kelebihan teori humanisme
Ada pepatah mengatakan bahwa “segala sesuatu itu memiliki kekurangan dan kelebihan”.
Hal tersebut mengisyaratkan bahwa tidak ada makhluk ciptaan tuhan yang sempurna. Begitu
pula dengan teori pendidikan, ada beberapa kekurangan dan kelebihan yang saling melengkapi
satu sama lainya. Menurut hemat penulis ada beberapa kelebihan dalam teori humanisme yaitu :
1) Teori humanisme lebih cocok untuk diterapkan dalam materi pelajaran yang bersifat
pembentukan karakter.
2) Teori ini dinyatakan berhasil apabila siswa bersemangat dalam mengikuti proses pembelajaran.
Contoh kongkritnya siswa bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir,
perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
3) Teori ini mengharapkan siswa untuk menjadi manusia yang bebas, tidak terikat oleh pendapat
orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak
orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin atau etika yang berlaku.
4) Teori ini mendorong guru untuk dapat lebih mengenali peserta didiknya
5) Teori ini memberikan dampak yang signifikan terhadap proses perkembangan anak dilihat dari
sisi kepribadianya
6) Teori ini lebih mengedepankan aspek memanusiakan manusia dan pembentukan karakter.
Adapun kekurangan teori humanisme adalah sebagai berikut:
1) Siswa yang tidak menyadari dan memahami potensi dirinya akan ketinggalan dalam proses
belajar.
2) Siswa yang tidak aktif dan malas belajar akan merugikan diri sendiri dalam proses belajar.
3) Proses pembelajaran lebih difokuskan kepada pengembangan potensi yang dimiliki siswa,
sehingga pengembangan intelektual siswa tidak terasah.

E. Implementasi teori humanisme dalam pembelajaran


Aplikasi teori humanisme dalam pembelajaran cenderung mengarahkan siswa untuk
berfikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif
dalam proses pembelajaran. Oleh sebab itu guru harus dapat menentukan langkah-langkah
pembelajaran yang mengacu pada aspek tersebut. Adapun contoh langkah kongkrit yang bisa
dijadikan bahan pertimbangan oleh guru adalah :
1. Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran.
2. Menentukan materi pelajaran.
3. Mengidentifikasi kemampuan awal siswa.
4. Mengidentifikasi topik-topik pelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif melibatkan diri
dalam proses pembelajaran.
Kemudian implementasi dari teori humanisme dalam pembelajaran itu dapat kita lihat
dengan beberapa model pembelajaran yang telah digunakan pada beberapa lembaga pendidikan.
Dalam makalah ini penulis hanya memaparkan tiga model pembelajaran yang berkaitan dengan
implementasi teori humanisme, yaitu Confluent Education, Open Education dan Cooperative
Learning.
1) Confluent Education
Confluent Education adalah pendidikan yang memadukan atau mempertemukan
pengalaman-pengalaman afektif dengan belajar kognitif di dalam kelas. Hal ini merupakan cara
yang bagus sekali untuk melibatkan para siswa secara pribadi di dalam bahan pelajaran.
Sebagai contoh misalnya, guru bahasa Arab memberikan tugas kepada para siswa untuk
membaca sebuah Qishoh yang berjudul “Abu Nawas”. Melalui tugas itu, siswa-siswa tidak
hanya diharapkan memahami isi bacaan tersebut dengan baik tetapi juga memperoleh kesadaran
antar pribadi yang lebih baik dengan jalan guru membahas nilai-nilai yang terkandung dalam
qishoh tersebut. Sehingga siswa tahu bagaimana seharusnya bersikap dalam kehidupan sehari-
hari.
2) Open Education
Open Education adalah proses pendidikan terbuka. Menurut Walberg dan Tomas(1972),
Open Education itu memiliki delapan kriteria, yaitu:
a) Kemudahan belajar tersedia, artinya berbagai macam bahan yang diperlukan untuk belajar
tersedia, para siswa bergerak bebas di sekitar ruangan, tidak dilarang berbicara, tidak ada
pengelompokkan atas dasar tingkat kecerdasan.
b) Penuh kasih sayang, hormat, terbuka dan hangat, artinya menggunakan bahan buatan siswa,
guru menangani masalah-masalah tingkah laku dengan jalan berkomunikasi secara pribadi
dengan siswa yang bersangkutan, tanpa melibatkan kelompok.
a) Mendiagnosa pristiwa-pristiwa belajar, artinya siswa-siswa memerikasa pekerjaan mereka
sendiri, guru mengamati dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
b) Pengajaran, yaitu pengajaran individual, tidak ada tes ataupun buku kerja.
c) Penilaian, ujudnya: guru membuat catatan, penilaian secara individual, hanya sedikit sekali
diadakan tes formal.
d) Mencari kesempatan untuk pertumbuhan profesional, artinya guru menggunakan bantuan orang
lain, guru bekarja dengan teman sekerjanya.
e) Persepsi guru sendiri, artinya guru mengamati semua siswa untuk memantau kegiatan mereka.
f) Asumsi tentang para siswa dan proses belajar, artinya suasana kelas hangat dan ramah, para
siswa asyik melakukan sesuatu.
g) Meskipun pendidikan terbuka memberikan kesempatan kepada para siswa untuk bergerak secara
bebas de sekitar ruangan dan memilih aktifitas belajar mereka sendiri, namun bimbingan guru
tetap diperlukan.
3) Cooperative Learning
Cooperative Learning atau belajar kooperatif merupakan fondasi yang baik untuk
menigkatkan dorongan berprestasi siswa. Menurut Slavin (1980) Cooperative Learning
mempunyai tiga karakteristik:
1. Siswa bekerja dalam tim-tim belajar yang kecil (4-6 orang anggota), komposisi ini tetap
selama berminggu-minggu.
2. Siswa didorong untuk saling membantu dalam mempelajari bahan yang bersifat
akademik atau dalam melakukan tugas kelompok.
3. Siswa diberi imbalan atau hadiah atas dasar prestasi kelompok.

Adapun teknik Cooperative Learning itu ada empat macam, yaitu:


1. Team-Games-Tournament.
Dalam teknik ini siswa yang kemampuan dan jenis kelaminnya berbeda-beda disatukan
dalam tim yang terdiri dari empat sampai lima orang anggota. Setelah guru menyajikan bahan,
tim lalu mengerjakan lembaran-lembaran kerja, saling mengajukan pertanyaan, dan belajar
bersama untuk persiapan menghadapi turnamen atau pertandingan, yang biasanya diselenggaran
sekali seminggu. Dalam turnamen itu ditentukan beranggotakan tiga orang siswa untuk
bertanding melawan siswa-siswa yang kemampuannya serupa (atas dasar hasil minggu
sebelumnya). Hasilnya siswa-siswa yang prestasi paling rendah pada setiap kelompok memiliki
kesempatan yang sama untuk memperoleh poin bagi timnya sebagai siswa yang berprestasi
paling tinggi.
2. Student Teams-achievement Divisions.
Teknik ini juga menggunakan tim yang terdiri dari empat sampai lima anggota tetapi
kegiatan turnamen diganti dengan saling bertanya selama lima belas menit, pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan terlebih dahulu disusun oleh tim, skor-skor yang tertinggi memperoleh
poin lebih dari pada skor-skor yang lebih rendah, kecuali itu juga digunakan “skor perbaikan”.
3. Jigsaw.
Dalam teknik ini siswa dimasukkan ke dalam tim-tim kecil yang bersifat heterogen. Bahan
pelajaran dibagikan kepada anggota-anggota tim, kemudian siswa-siswa tersebut mempelajari
bagian mereka masing-masing bersama-sama dengan anggota-anggota dari tim lain yang
memiliki bahan yang sama. Setelah itu mereka kembali ke kelompoknya masing-masing dan
mengajarkan bagian-bagian yang telah dipelajari bersama-sama dengan anggota tim lain itu
kepada anggota-anggota timnya sendiri. Akhirnya, semua anggota tim dites mengenai seluruh
bahan pelajaran.
Sebagai contoh misalnya guru menetapkan tujuan yang menuntut para siswa mempelajari
qira’ah. Guru kemudian membagikan bahan tersebut menjadi empat atau lima bagian terganting
pada banyaknya anggota tim. Kemudian para siswa belajar bersama-sama dengan anggota tim
lain yang menerima bahan yang sama. Setelah itu mereka kembali dan mengajarkannya pada
anggota timnya sendiri. Tujuannya adalah agar setiap tim mempelajarai seluruh bahan qirah’ah.
4. Group Investigation.
Group Investigation adalah teknik dimana siswa bekerja di dalam kelompok-kelompok
kecil untuk menangani berbagai macam proyek kelas. Setiap kelompok membagi-bagi tugas
tersebut menjadi sub topik-sub topik, kemudian setiap anggota kelompok melakukan kegiatan-
kegiatan meneliti yang diperlukan untuk mecapai tujuan kelompok. Setelah itu setiap kelompok
mengajukan hasil penelitiannya kepada kelas. Dalam metode ini, hadiah atau poin tidak
diberikan.
Demikianlah sekilas tentang keempat teknik Cooperative Learning itu. Menurut hemat
penulis, ternyata Cooperative Learning itu pada umumnya mempunyai efek positif terhadap
prestasi akademik. Keberhasilan Cooperative Learning bergantung pada kemampuan siswa
berinteraksi di dalam kelompok.

Anda mungkin juga menyukai