Anda di halaman 1dari 8

Teori Interaksionisme Simbolik

March 17, 2008 tags: georger herbert mead, herbert blummer, interaksionisme simbolik by yearry

Herbert Blummer Herbert Blumer dan George Herbert Mead adalah yang pertama-tama mendefinisikan teori symbolic interactionism. Blumer mengutarakan tentang tiga prinsip utama interaksionisme simbolik, yaitu tentang pemaknaan (meaning), bahasa (language), dan pikiran (thought). Premis ini nantinya mengantarkan kepada konsep diri seseorang dan sosialisasinya kepada komunitas yang lebih besar, masyarakat. Blumer mengajukan premis pertama, bahwa human act toward people or things on the basis of the meanings they assign to those people or things. Maksudnya, manusia bertindak atau bersikap terhadap manusia yang lainnya pada dasarnya dilandasi atas pemaknaan yang mereka kenakan kepada pihak lain tersebut. Sebagai contoh, dalam film Kabayan, tokoh Kabayan sebenarnya akan memiliki makna yang berbeda-beda berpulang kepada siapa atau bagaimana memandang tokoh tersebut. Ketika Kabayan pergi ke kota besar, maka masyakat kota besar tersebut mungkin akan memaknai Kabayan sebagai orang kampung, yang kesannya adalah norak, kampungan. Nah, interaksi antara orang kota dengan Kabayan dilandasi pikiran seperti ini. Padahal jika di desa tempat dia tinggal, masyakarat di sana memperlakukan Kabayan dengan cara yang berbeda, dengan perlakuan lebih yang ramah. Interaksi ini dilandasi pemikiran bahwa Kabayan bukanlah sosok orang kampung yang norak. Once people define a situation as real, its very real in its consequences. Pemaknaan tentang apa yang nyata bagi kita pada hakikatnya berasal dari apa yang kita yakini sebagai kenyataan itu sendiri. Karena kita yakin bahwa hal tersebut nyata, maka kita mempercayainya sebagai kenyataan. Dalam contoh yang sama, ketika kita memaknai Kabayan sebagai orang yang kampungan, maka kita menganggap pada kenyataannya Kabayan memang adalah orang yang kampungan. Begitu pula sebaliknya.

Premis kedua Blumer adalah meaning arises out of the social interaction that people have with each other. Pemaknaan muncul dari interaksi sosial yang dipertukarkan di antara mereka. Makna bukan muncul atau melekat pada sesuatu atau suatu objek secara alamiah. Makna tidak bisa muncul dari sananya. Makna berasal dari hasil proses negosiasi melalui penggunaan bahasa (language)dalam perspektif interaksionisme simbolik. Di sini, Blumer menegaskan tentang pentingnya penamaan dalam proses pemaknaan. Sementara itu Mead juga meyakini bahwa penamaan simbolik ini adalah dasar bagi masyarakat manusiawi (human society). Ketika kita menyebut Kabayan tadi dengan bahasa kampungan, konsekuensinya adalah kita menarik pemaknaan dari penggunaan bahasa kampungan tadi. Kita memperoleh pemaknaan dari proses negosiasi bahasa tentang kata kampungan. Makna dari kata kampungan tidaklah memiliki arti sebelum dia mengalami negosiasi di dalam masyarakat sosial di mana simbolisasi bahasa tersebut hidup. Makna kata kampungan tidak muncul secara sendiri, tidak muncul secara alamiah. Pemaknaan dari suatu bahasa pada hakikatnya terkonstruksi secara sosial. Premis ketiga Blumer adalah an individuals interpretation of symbols is modified by his or her own thought process. Interaksionisme simbolik menggambarkan proses berpikir sebagai perbincangan dengan diri sendiri. Proses berpikir ini sendiri bersifat refleksif. Nah, masalahnya menurut Mead adalah sebelum manusia bisa berpikir, kita butuh bahasa. Kita perlu untuk dapat berkomunikasi secara simbolik. Bahasa pada dasarnya ibarat software yang dapat menggerakkan pikiran kita. Cara bagaimana manusia berpikir banyak ditentukan oleh praktek bahasa. Bahasa sebenarnya bukan sekedar dilihat sebagai alat pertukaran pesan semata, tapi interaksionisme simbolik melihat posisi bahasa lebih sebagai seperangkat ide yang dipertukarkan kepada pihak lain secara simbolik. Komunikasi secara simbolik.

George Herbert Mead

Perbedaan penggunaan bahasa pada akhirnya juga menentukan perbedaan cara berpikir manusia tersebut. Contoh sederhana adalah cara pikir orang yang berbahasa indonesia tentunya berbeda dengan cara pikir orang yang berbahasa jawa. Begitu pula orang yang berbahasa sunda akan berbeda cara berpikirnya dengan orang yang berbahasa inggris, jerman, atau arab. Akan tetapi walaupun pemaknaan suatu bahasa banyak ditentukan oleh konteks atau konstruksi sosial, seringkali interpretasi individu sangat berperan di dalam modifikasi simbol yang kita tangkap dalam proses berpikir. Simbolisasi dalam proses interaksi tersebut tidak secara mentahmentah kita terima dari dunia sosial, karena kita pada dasarnya mencernanya kembali dalam proses berpikir sesuai dengan preferensi diri kita masing-masing. Walaupun secara sosial kita berbagi simbol dan bahasa yang sama dalam kontek Kabayan dan kata kampungan tadi, belum tentu dalam proses berpikir kita sama-sama menafsirkan kata Kabayan dan kampungan dengan cara atau maksud yang sama dengan orang yang lainnya. Semuanya sedikit banyak dipengaruhi oleh interpretasi individu dalam penafsiran simbolisasi itu sendiri. Pemaknaan merujuk kepada bahasa. Proses berpikir merujuk kepada bahasa. Bahasa menentukan bagaimana proses pemaknaan dan proses berpikir. Jadi, ketiganya saling terkait secara erat. Interaksi ketiganya adalah yang menjadi kajian utama dalam perspektif interaksionisme simbolik. Dalam tataran konsep komunikasi, maka secara sederhana dapat dilihat bahwa komunikasi hakikatnya adalah suatu proses interaksi simbolik antara pelaku komunikasi. Terjadi pertukaran pesan (yang pada dasarnya terdiri dari simbolisasi-simbolisasi tertentu) kepada pihak lain yang diajak berkomunikasi tersebut. Pertukaran pesan ini tidak hanya dilihat dalam rangka transmisi pesan, tapi juga dilihat pertukaran cara pikir, dan lebih dari itu demi tercapainya suatu proses pemaknaan. Komunikasi adalah proses interaksi simbolik dalam bahasa tertentu dengan cara berpikir tertentu untuk pencapaian pemaknaan tertentu pula, di mana kesemuanya terkonstruksikan secara sosial. Mungkin kontribusi terbesar Mead terhadap bagaimana kita memahami cara kita berpikir adalah konsepsi Mead tentang seni berperan (take the role of the other). Setelah kita paham tentang konsep meaning, language, dan thought saling terkait, maka kita dapat memahami konsep Mead tentang diri (self). Konsep diri menurut Mead sebenarnya kita melihat diri kita lebih kepada bagaimana orang lain melihat diri kita (imagining how we look to another person). Kaum interaksionisme simbolik melihat gambaran mental ini sebagai the looking-glass self dan bahwa hal tersebut dikonstruksikan secara sosial. Dalam konsepsi interaksionisme simbolik dikatakan bahwa kita cenderung menafsirkan diri kita lebih kepada bagaimana orang-orang melihat atau menafsirkan diri kita. Kita cenderung untuk menunggu, untuk melihat bagaimana orang lain akan memaknai diri kita, bagaimana ekspektasi orang terhadap diri kita. Oleh karenanya konsep diri kita terutama kita bentuk sebagai upaya pemenuhan terhadap harapan atau tafsiran orang lain tersebut kepada diri kita.

Kita acap kali mencoba memposisikan diri ke dalam orang lain, dan mencoba melihat bagaimanakah perspektif orang tersebut ketika memandang diri kita. Kita semacam meminjam kaca mata orang lain tersebut untuk dan dalam melihat diri kita. Konsep diri adalah fungsi secara bahasa. Tanpa pembicaraan maka tidak akan ada konsep diri. Nah, konsep diri ini sendiri pada nantinya terbentuk atau dikonstruksikan melalui konsep pembicaraan itu sendiri, melalui bahasa (language). Sebagai contoh adalah bagaimana proses komunikasi dan permainan bahasa yang terjadi dalam hubungan antara dua orang, terutama pria dengan wanita. Ketika mereka berkomunikasi dengan menggunakan simbolisasi bahasa SAYA dan ANDA, maka konsep diri yang terbentuk adalah dia ingin diri saya dalam status yang formal. Atu misalkan simbolisasi bahasa yang dipakai adalah ELO dan GUE maka konsep diri yang terbentuk adalah dia ingin menganggap saya sebagai teman atau kawan semata. Dan tentunya akan sangat berbeda jika simbolisasi yang digunakan adalah kata AKU dan KAMU, maka konsep diri yang lebih mungkin adalah dia ingin saya dalam status yang lebih personal, yang lebih akrab atau lebih merujuk kepada konsep diri bahwa kita sudah jadian atau pacaran. Misalkan. Jadi, dalam suatu proses komunikasi, simbolisasi bahasa yang digunakan akan sangat berpengaruh kepada bagaimana konsepdiri yang nantinya akan terbentuk. Lebih luas lagi pada dasarnya pola komunikasi ataupun pola interaksi manusia memang bersifat demikian. Artinya, lebih kepada proses negosiasi dan transaksional baik itu antar dua individu yang terlibat dalam proses komunikasi maupun lebih luas lagi bagaimana konstruksi sosial mempengaruhi proses komunikasi itu sendiri. Teori interaksionisme simbolik mendeskripsikan hal ini secara gamblang. Daftar Pustaka: Griffin, Emory A., A First Look at Communication Theory, 5th edition, New York: McGrawHill, 2003

Mengenal Singkat Teori Interaksionisme Simbolik


Posted on 12. Dec, 2007 by ave in Riset Oleh Prof Dr. Riyadi Soeprapto, MS (Alm) Inti pandangan pendekatan ini adalah individu. Para ahli di belakang perspektif ini mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Mereka melihat

bahwa individu adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain. Dalam perspektif ini dikenal nama sosiolog George Herbert Mead (18631931), Charles Horton Cooley (18461929), yang memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Sosiolog interaksionisme simbolik kontemporer lainnya adalah Herbert Blumer (1962) dan Erving Goffman (1959). Seperti yang dikatakan Francis Abraham dalam Modern Sociological Theory (1982)[1], bahwa interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang bersifat sosialpsikologis yang terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis. Teori ini akan berurusan dengan struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan, interaksionisme simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi sendiri dianggap sebagai unit analisis: sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar belakang. Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih kompleks, lebih tak terduga, dan aktif jika dibandingkan dengan perspektif-perspektif sosiologis yang konvensional.Di sisi ini masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi yang tidak hanya bereaksi, namun juga menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan mencipta. Individu bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor yang dinamis dan berubah, yang selalu berada dalam proses menjadi dan tak pernah selesai terbentuk sepenuhnya. Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis di luar sana yang selalu mempengaruhi dan membentuk diri kita, namun pada hakekatnya merupakan sebuah proses interaksi. Individu bukan hanya memiliki pikiran (mind), namun juga diri (self) yang bukan sebuah entitas psikologis, namun sebuah aspek dari proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman dan aktivitas sosial. Selain itu, keseluruhan proses interaksi tersebut bersifat simbolik, di mana makna-makna dibentuk oleh akal budi manusia. Makna-makna itu kita bagi bersama yang lain, definisi kita mengenai dunia sosial dan persepsi kita mengenai, dan respon kita terhadap, realitas muncul dalam proses interaksi.[2] Herbert Blumer, sebagaimana dikutip oleh Abraham (1982)[3] salah satu arsitek utama dari interaksionisme simbolik menyatakan: Istilah interaksi simbolik tentu saja menunjuk pada sifat khusus dan khas dari interaksi yang berlangsung antar manusia. Kekhususan itu terutama dalam fakta bahwa manusia menginterpretasikan atau mendefinsikan tindakan satu sama lain dan tidak semata-mata bereaksi atas tindakan satu sama lain. Jadi, interaksi manusia dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol, oleh interpretasi, atau oleh penetapan makna dari tindakan orang lain. Mediasi ini ekuivalen dengan pelibatan proses interpretasi antara stimulus dan respon dalam kasus perilaku manusia.Pendekatan interaksionisme simbolik memberikan banyak penekanan pada individu yang aktif dan kreatif ketimbang pendekatan-pendekatan teoritis lainnya. Pendekatan interaksionisme simbolik berkembang dari sebuah perhatian ke arah dengan bahasa; namun Mead mengembangkan hal itu

dalam arah yang berbeda dan cukup unik. Pendekatan interaksionisme simbolik menganggap bahwa segala sesuatu tersebut adalah virtual. Semua interaksi antarindividu manusia melibatkan suatu pertukaran simbol. Ketika kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara konstan mencari petunjuk mengenai tipe perilaku apakah yang cocok dalam konteks itu dan mengenai bagaimana menginterpretasikan apa yang dimaksudkan oleh orang lain. Interaksionisme simbolik mengarahkan perhatian kita pada interaksi antarindividu, dan bagaimana hal ini bisa dipergunakan untuk mengerti apa yang orang lain katakan dan lakukan kepada kita sebagai individu.[4] Gagasan Teori Interaksionisme SimbolikIstilah paham interaksi menjadi sebuah label untuk sebuah pendekatan yang relatif khusus pada ilmu dari kehidupan kelompok manusia dan tingkah laku manusia. Banyak ilmuwan yang telah menggunakan pendekatan tersebut dan memberikan kontribusi intelektualnya, di antaranya George Herbert Mead, John Dewey, W.I Thomas, Robert E.Park, William James, Charles Horton Cooley, Florian Znaniceki, James Mark Baldwin, Robert Redfield dan Louis Wirth. Teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the self) dan dunia luarnya. Di sini Cooley menyebutnya sebagai looking glass self. Dengan mengetahui interaksionisme simbolik sebagai teori maka kita akan bisa memahami fenomena sosial lebih luas melalui pencermatan individu. Ada tiga premis utama dalam teori interaksionisme simbolis ini, yakni manusia bertindak berdasarkan makna-makna; makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang lain; makna tersebut berkembang dan disempurnakan saat interaksi tersebut berlangsung.Menurut KJ Veeger[5] yang mengutip pendapat Herbert Blumer, teori interaksionisme simbolik memiliki beberapa gagasan. Di antaranya adalah mengenai Konsep Diri. Di sini dikatakan bahwa manusia bukanlah satu-satunya yang bergerak di bawah pengaruh perangsang entah dari luar atau dalam melainkan dari organisme yang sadar akan dirinya (an organism having self). Kemudian gagasan Konsep Perbuatan di mana perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan dirinya sendiri. Dan perbuatan ini sama sekali berlainan dengan perbuatan-perbuatan lain yang bukan makhluk manusia. Kemudian Konsep Obyek di mana manusia diniscayakan hidup di tengah-tengah obyek yang ada, yakni manusia-manusia lainnya. Selanjutnya Konsep Interaksi Sosial di mana di sini proses pengambilan peran sangatlah penting. Yang terakhir adalah Konsep Joint Action di mana di sini aksi kolektif yang lahir atas perbuatanperbuatan masing-masing individu yang disesuaikan satu sama lain.Menurut Soeprapto (2001),[6] hanya sedikit ahli yang menilai bahwa ada yang salah dalam dasar pemikiran yang pertama. Arti (mean) dianggap sudah semestinya begitu, sehingga tersisih dan dianggap tidak penting. Arti dianggap sebagai sebuah interaksi netral antara faktor-faktor yang bertanggungjawab pada tingkah laku manusia, sedangkan tingkah laku adalah hasil dari beberapa faktor. Kita bisa melihatnya dalam ilmu psikologi sosial saat ini. Posisi teori interaksionisme simbolis adalah sebaliknya, bahwa arti yang dimiliki benda-benda untuk manusia adalah berpusat dalam kebenaran manusia itu sendiri.

Dari sini kita bisa membedakan teori interaksionisme simbolis dengan teori-teori lainnya, yakni secara jelas melihat arti dasar pemikiran kedua yang mengacu pada sumber dari arti tersebut.Teori interaksionisme simbolis memandang bahwa arti muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda untuk seseorang tumbuh dari cara-cara di mana orang lain bersikap terhadap orang tersebut. Sehingga interaksi simbolis memandang arti sebagai produk sosial; Sebagai kreasi-kreasi yang terbentuk melalui aktifitas yang terdefinisi dari individu saat mereka berinteraksi. Pandangan ini meletakkan teori interaksionisme simbolis pada posisi yang sangat jelas, dengan implikasi yang cukup dalam. Tokoh-tokoh Teori Interaksionisme Simbolik. Mengikuti penjelasan Abraham (1982)[7], Charles Horton Cooley adalah tokoh yang amat penting dalam teori ini. Pemikiran sosial Cooley terdiri atas dua asumsi yang mendalam dan abadi mengenai hakikat dari kehidupan sosial, yaitu bahwa kehidupan sosial secara fundamental merupakan sebuah evolusi organik, dan bahwa masyarakat itu secara ideal bersifat demokratis, moral, dan progresif. Konsep evolusi organik-nya Cooley berbeda secara hakiki dari konsepnya Spencer dan para ilmuwan sosial abad kesembilanbelas. Sementara para pemikir yang lebih awal memusatkan diri pada aspek-aspek kolektif yang berskala-besar dari pembangunan, dari perjuangan kelas, dari lembaga sosial dan sebagainya, di sini Cooley berusaha mendapatkan sebuah pemehaman yang lebih mendalam mengenai individu namun bukan sebagai entitas yang terpisah dari masyarakat, namun sebagai sebuah bagian psikososial dan historis dari bahan-bahan penyusun masyarakat. Kehidupan kita adalah satu satu kehidupan manusia secara keseluruhan, kata Cooley, dan jika kita ingin memiliki pengetahuan yang riil atas diri individu, maka kita harus memandang individu secara demikian. Jika kita melihatnya secara terpisah, maka proses pengetahuan kita atas diri individu akan gagal. Jadi, evolusi organik adalah interplay yang kreatif baik individu maupun masyarakat sebagai dua wujud dari satu fenomena yang sama, yang saling menegaskan dan beriringan meski tetap masih bisa dibedakan. Masyarakat adalah sebuah proses saling berjalinnya dan saling bekerjanya diridiri yang bersifat mental (mental selves). Saya membayangkan apa yang Anda pikirkan, terutama mengenai apa yang Anda pikirkan tentang apa yang saya pikirkan, terutama mengenai apa yang saya pikirkan tentang apa yang Anda pikirkan. Jadi, menurut Cooley, tugas fundamental dari sosiologi ialah untuk memahami sifat organis dari masyarakat sebagaimana dia berlangsung melalui persepsi-persepsi individual dari orang lain dan dari diri mereka sendiri. Jika sosiologi hendak memahami masyarakat, dia harus mengkonsentrasikan perhatiannya pada aktivitas-aktivitas mental dari individu-individu yang menyusun masyarakat tersebut. Imajinasi yang saling dimiliki oleh orang-orang merupakan fakta-fakta yang solid dari masyarakat Masyarakat adalah sebuah relasi di antara ide-ide yang bersifat personal.Dalam konsep The Looking-Glass Self (Diri Yang Seperti Cermin Pantul), menurut Cooley, institusi-institusi sosial yang utama ialah bahasa, keluarga, industri, pendidikan, agama, dan hukum. Sementara institusi-institusi tersebut membentuk fakta-fakta dari masyarakat yang bisa dipelajari oleh studi sosiologis, mereka juga merupakan produk-produk yang ditentukan dan dibangun oleh pikiran publik. Menurut Cooley, institusi-institusi tersebut merupakan hasil dari organisasi dan kristalisasi dari pikiran yang membentuk bentuk-bentuk

adat-adat kebiasaan, simbol-simbol, kepercayaan-kepercayaan, dan sentimen-sentimen perasaan yang tahan lama. Oleh karena itu, institusi-institusi tersebut merupakan kreasi-kreasi mental dari individu-individu dan dipelihara melalui kebiasaan-kebiasaan manusiawi dari pikiran yang hampir selalu dilakukan secara tidak sadar karena sifat kedekatannya dengan diri kita (familiarity). Seperti yang ditegaskan oleh Cooley, ketika institusi-institusi masyarakat dipahami terutama sebagai kreasikreasi mental, maka individu bukanlah semata-mata efek dari struktur sosial, namun juga merupakan seorang kreator dan pemelihara struktur sosial tersebut. Intinya, Cooley mengkonsentrasikan kemampuan-kemampuan analitiknya terhadap perkembangan dari diktum fundamentalnya, yaitu Imajinasi-imajinasi yang saling dimiliki oleh orang-orang merupakan fakta-fakta yang solid dari masyarakat. Dalam bukunya yang pertama, Human Nature and the Social Order, dia terfokus pada teori mengenai diri-yang-bersifat-sosial (social-self), yakni makna Aku sebagaimana yang teramati dalam pikiran dan perbincangan sehari-hari. Cuplikan dari buku karangan Riyadi Soeprapto. 2001. Interaksionisme Simbolik Perspektif Sosiologi Modern. Yogyakarta: Averroes Press dan Pustaka Pelajar. ____________________________ [1] M. Francis Abraham. 1982 Modern Sociological Theory (An Introduction). Oxford: Oxford University Press. Chapter 8. Simbolic Interacsionism. [2] Ibid. [3] Ibid [4] Horton, Paul B dan Chester L. Hunt. 1984. Sociology. Jakarta: Penerbit Erlangga. [5] KJ Veeger. 1985. Realitas Sosial, Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia. Hlm 224 226. [6] Ryadi Soeprapto,. 2000. Interaksionisme Simbolik, Perspektiof Sosiologi Modern. Malang: Averroes Press dan Pustaka Pelajar.

Dalam penulisan tinjauan pustaka

Anda mungkin juga menyukai