Anda di halaman 1dari 5

PEMBERDAYAAN GURU MELALUI VITALISASI BEBAN KERJA

Abstraksi

Upaya peningkatan kualitas layanan pendidikan dipengaruhi oleh


produktivitas dan profesionalisme guru dalam memberikan layanan
pendidikan. Oleh karena itu, beban kerja guru sejatinya diorientasikan
sebagai bagian dalam upaya memberdayakan baik bagi guru, lembaga
pendidikan, maupun siswa. Pada konteks inilah telaah mengenai beban
guru perlu dilakukan.

Pendahuluan

Salah satu problem dalam dunia pendidikan adalah menghitung dan


menerapkan kewajiban kerja tenaga pendidik pada satuan pendidikan
atau dalam undang-undang disebut dengan istilah beban kerja. Jumlah
dan jenis beban kerja sesungguhnya sudah dikenal dan sudah dimaklumi
oleh setiap tenaga pendidik atau para penyelenggara pendidikan.
Kendatipun pada umum mereka kurang paham dan kurang
memperhatikan aspek legal, kepatutan atau kondisi empiric yang ada di
lingkungan pendidikan. Hal ini dicontohkan dengan adanya persepsi
bahwa tugas piket bagi seorang guru merupakan bagian dan atau
beban tambahan untuk menggenapkan beban kerja guru yang tidak
mencapai target beban kerja sebagaimana yang ditentukan dalam
peraturan perundangan. Persepsi dan kebijakan pimpinan sekolah
tersebut, bukan hanya salah tetapi sesungguhnya tidak memecahkan
masalah menegnai kebuntuan dalam meningkatkan produktivitas kerja
guru dan kualitas layanan guru pada setiap satuan pendidikan.

Seiring hal ini, maka upaya untuk menjelaskan beban kerja guru
menjadi satu hal penting, baik dilihat dari sisi filosofis, yuridis maupun
praktis profesi keguruan. Dengan kata lain, bila khilaf dalam
membincangkan masalah beban kerja guru atau salah menafsirkan
mengenai beban kerja guru sangat dimungkinkan tujuan pencapaian
pendidikan nasional tidak dapat dengan mudah diwujudkan. Oleh karena
itu, menafsirkan beban kerja guru merupakan langkah awal dalam
meningkatkan produktivitas guru dan peningkatan pelayanan pendidikan
bagi peserta didik.
Guru memiliki peran yang amat penting bagi proses pendidikan.
Demikian penting sampai John Goodlad, Ketua Asosiasi Kepala Sekolah di
Amerika Serikat berujar, "manakala guru sudah masuk ke ruang kelas dan
menutup pintu kelas itu, dialah yang akan menentukan apakah proses
belajar hari itu berjalan dengan baik atau tidak, dapat mencapai tujuan
atau tidak." Lebih-lebih di sekolah dasar, guru memiliki peran yang amat
penting dalam proses pendidikan bagi para siswa di usia yang amat
menentukan bagi pendewasaan mereka (dalam Suyanto, 2004). Meski
banyak pihak mengakui peran penting guru dalam proses pendidikan,
hingga saat ini guru belum sepenuhnya mendapatkan perhatian yang
layak baik dilihat dari sisi kesejahteraan maupun peningkatan
profesionalisme. Salah satu masalah yang melilit profesi guru itu adalah
mengenai beban kerja guru. Dan problema ini ternyata, terkait pula
dengan adanya problem pada tingkat peraturan, serta hambatan dalam
konteks sosiologis. Kedua persoalan ini, secara terkait potensial menjadi
penghambat berlakunya undangundangan sisdiknas secara sempurna.
Pada UUGD Pasal 35 ayat 1, dinyatakan bahwa beban keja guru
mencakup kegiatan pokok merencanakan pembelajaran, melaksanakan
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih
peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan. Kemudian pada ayat
2, dinyatakan beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan
sebanyakbanyak 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 minggu.
Sementara pada ayat 3 dikemukakan bahwa penjelasan dan pengaturan
terhadap jam ini akan diatur dalam peraturan pemerintah. Seiring dengan
hal ini, wacana yang akan dikembangkan saat ini, adalah berusaha
memahami apa yang dimaksud dengan beban kerja guru, dan bagaimana
mengimplementasikannya.
Dalam menggenapkan analisa ini, penulis mencoba memberikan
arahan teoritis mengenai konsep konsep pemberdayaan, yang kemudian
dikaitkan dengan makna kerja dari sisi psikologis dan sosiologis. Dengan
pendekatan seperti ini, diharapkan makna beban kerja tersebut menjadi
dapat disikapi dengan bijak sesuai dengan kebutuhan
kontekstualnya.

Mengenal Profesi Guru

Guru adalah salah satu pekerjaan profesi yang diakui di masyarakat.


Profesi ini setara dengan profesi-profesi lainnya di Indonesia. Sebagai
lembaga profesi, pendidikan, pembinaan dan jenjang karier guru
sebenarnya telah tersusun secara sistematis. Dalam hal ini, Pemerintah
telah membuat beberapa peraturan pemerintah tentang pola pembinaan
karier profesi guru.
Dalam konteks pendidikan, guru merupakan kunci dalam
peningkatan mutu pendidikan dan mereka berada pada titik sentral dari
setiap usaha reformasi pendidikan yang diarahkan pada perubahan-
perubahan kualitatif. Bahkan, secara tegas Brandt sebagaimana dikutip
Supriadi dan Jalal (2001:262) menyatakan bahwa

pembaharuan kurikulum, pengembangan metode-metode mengajar,


penyediaan
sarana dan prasarana hanya akan berarti apabila melibatkan guru.

Urgensinya peran dan posisi guru ini, senada dengan Babari dan
Prijono (1996 : 79) yang menyatakan bahwa

guru dan dosen adalah faktor kunci dalam proses pemberdayaan dalam
dunia
pendidikan. Dengan kata lain, kualitas pendidikan Indonesia sangat
ditentukan oleh faktor guru sebagai unsur dinamis dalam proses
pendidikan. Oleh karena itu, perhatian terhadap guru sebagai profesi atau
pribadi, menjadi satu bagian penting dalam proses peningkatan mutu
layanan dan kualitas lulusan pendidikan.

Pendidikan sebagai strategi pemberdayaan dapat ditelusuri dari


pemikirannya Paulo Freire (Freire,1984). Dalam pandangan Freire,
pendidikan itu merupakan sarana penyadaran terhadap eksistensi diri
sebagai manusia yang bebas dari segala keterbatasan, baik terbatas
karena adanya kebijakan politik yang menindas atau pun keterbatasan
karena salah didik terhadap mentalnya sendiri. Pemikiran kritis seperti ini,
memberikan sebuah arahan bahwa semangat pemberdayaan atau
semangat pembebasan dari keterbatasan menjadi fungsi praktis guru
dalam memberikan pendidikan.

Berbalikan dengan harapan dan pemikiran Freire, di tataran empiris masih


terlihat sejumlah guru yang ruanggerak hidupnya serba terbatas. Untuk
bekerja di luar profesi pendidikan (selain jadi guru) tidak mampu,
sementara keinginan untuk meningkatkan profesi keguruannya kurang
modal. Akhirnya mereka mengambil sikap menunggu
atau menanti tibanya giliran untuk mendapatkan jatah pembinaan atau
pelatihan dalam jabatan (in job training) yang diselenggarakan
Pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.

Sikap fatalisme ini merupakan salah satu penyebab ketidakberdayaan


guru di Indonesia. Oleh karena itu rasional, bila menjelaskan fungsi
pendidikannya Freire berobsesi untuk mengembangkan pendidikan
sebagai sebuah proses yang membebaskan atau pendidikan yang
memanusiakan (dalam Naomi, 2001: 4334-462). Dengan pengertian
bahwa semestinya pendidikan itu adalah sebuah sarana untuk
memanusiakan manusia baik untuk individu guru itu sendiri maupun bagi
para peserta didik. Dengan kata lain, pendidikan sebagai sarana
pemberdayaan yang holistik perlu memperhatikan aspek pihak tenaga
pendidik yang perlu memberdayakan tenaga peserta didik, juga tenaga
pendidik itu sendiri.

Strategi ini menjadi penting, khususnya terkait dengan kebutuhan


peningkatan produktivitas dan kualitas guru sebagai agen pengembang
kurikulum. Pengembangan dan pemberdayaan guru sebagai katalis
peningkatan kualitas pendidikan menjadi sangat penting, terlebih lagi
dengan adanya kebijakan peraturan perundangan baru yang
mempersyaratkan guru dan dosen untuk mendapatkan sertifikat profesi.
Dengan landasan pemikiran seperti ini, pemberdayaan dalam konteks
pemberdayaan guru, meminjam analisa Babari dan Prijono (1996:72)
dapat diartikan sebagai proses belajar
mengajar yang merupakan usaha terencana dan sistematis yang
dilaksanakan secara berkesinambungan baik bagi individu maupun
kolektif, guna mengembangkan daya (potensi) dan kemampuan yang
terdapat dalam diri individu dan kelompok masyarakat sehingga mampu
melakukan transformasi sosial.

Sebagaimana dikemukakan
Supriadi dan Jalal (2001:340-342) bahwa
paling sedikitnya ada empat kategori
ketidakberdayaan guru. Pertama,
ketidakberdayaan karir. Kedua,
ketidakberdayaan dalam kemampuan.
Ketiga, ketidakberdayaann psikologis.
Keempat, ketidakberdayaan dalam
kesejahteraan. Untuk kategori
ketidakberdayaan yang kedua dan
ketiga, bisa didekati dengan upayaupaya
peningkatan mutu guru dan
pemberian ruang gerak untuk aktualisasi
diri. Pada sisi inilah, educational
approach sebagai sarana pemberdayaan
menjadi penting untuk diaplikasikan di
lapangan.

Keempat kategori
ketidakberdayaan tersebut, tidak hanya
terjadi pada guru-guru yang berstatus
sukwan (tenaga wiyata bhakti), tetapi
juga terhadap mereka yang masih
berstatus PNS. Oleh karena itu,
kelompok ini dapat diberdayakan melalui
pendekatan pendidikan sesuai dengan
kondisinya. Sudah barang tentu,
sebagaimana visi dan misi pendidikan itu
sendiri, proses dan content pendidikan
berbeda antara guru Sukwan dan guruguru
PNS.

Meminjam penjelasan yang


dikemukakan Ginanjar Kartasasmita
(Kartasasmita, 1996) bahwa
pemberdayaan adalah sebuah upaya
proteksi terhadap individu atau kelompok
masyarakat dari perlakuan yang tidak
adil. Makna ini relevan untuk
dikembangkan menjadi satu pendekatan
bahwa pemberdayaan guru dapat
didekati dari sisi hukum atau
perlindungan terhadap hak-hak asasi
guru secara umum.

Ketiadaan hukum yang jelas dan


pasti akan mempengaruhi terhadap (a)
hak guru dalam menerima kompensasi
terkait kegiatan-kegiatan profesionalnya,
(b) hak guru dalam mendapatkan
perlakuan yang sama sebagai tenaga
profesi guru, dan (c) hak guru untuk
mendapatkan perlakuan yang layak dari
pengelola atau pemiliki satuan
pendidikan/Yayasan.

Sehubungan dengan hal ini, lahirnya


UU Sisdiknas dan UU Guru dan Dosen
Nomor 14 Tahun 2005 merupakan angin
segar yang dapat dirasakan oleh guru
dan dosen. Namun demikian, masih ada
sejumlah persoalan hukum dan
implementasi terkait dengan peraturan
perundangan tersebut. Salah satu
masalah tersebut, yaitu penafsiran dan
penerapan beban kerja guru di tingkat
satuan pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai