Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KENAKALAH REMAJA DALAM BINGKAI SOSIOLOGIS-PSIKOLOGIS (Upaya Penanganan Kenakalan Remaja Usia Sekolah)

Disusun guna memenuhi tugas semester Mata Kuliah : Metodologi Studi Islam Dosen Pengampu : Dr. H. Abu Hapsin, M.A., Ph.D.

Oleh : H. KHOZIN, S.Ag. NIM : A.11.1.0577

PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ( PAI ) UNIVERSITAS WAHID HASYIM (UNWAHAS) SEMARANG 2011

KENAKALAH REMAJA DALAM BINGKAI SOSIOLOGIS-PSIKOLOGIS (Upaya Penanganan Kenakalan Remaja Usia Sekolah)

A.

Pendahuluan Masa remaja seringkali dihubungkan dengan mitos dan stereotip mengenai penyimpangan dan ketidakwajaran. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya teori-teori perkembangan yang membahas ketidakselarasan, gangguan emosi dan gangguan perilaku sebagai akibat dari tekanan-tekanan yang dialami remaja karena perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya maupun akibat perubahan lingkungan. Sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri remaja, mereka juga dihadapkan pada tugas-tugas yang berbeda dari tugas pada masa kanak-kanak. Sebagaimana diketahui, dalam setiap fase perkembangan, termasuk pada masa remaja, individu memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi. Apabila tugas-tugas tersebut berhasil diselesaikan dengan baik, maka akan tercapai kepuasan, kebahagian dan penerimaan dari lingkungan. Keberhasilan individu memenuhi tugas-tugas itu juga akan menentukan keberhasilan individu memenuhi tugas-tugas perkembangan pada fase berikutnya. Hurlock memberi batasan masa remaja berdasarkan usia kronologis, yaitu antara 13 hingga 18 tahun. Menurut Thornburgh, batasan usia tersebut adalah batasan tradisional, sedangkan aliran kontemporer membatasi usia remaja antara 11 hingga 22 tahun.1 Perubahan sosial seperti adanya kecenderungan anak-anak pra-remaja untuk berperilaku sebagaimana yang ditunjukan remaja membuat penganut aliran kontemporer memasukan mereka dalam kategori remaja. Adanya

peningkatan kecenderungan para remaja untuk melanjutkan sekolah atau mengikuti pelatihan kerja (magang) setamat SLTA, membuat individu yang berusia 19 hingga 22 tahun juga dimasukan dalam golongan remaja, dengan
1 Elizabett B. Hurlock (1980), Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Jakarta: Erlangga. Hal. 5

pertimbangan bahwa pembentukan identitas diri remaja masih terus berlangsung sepanjang rentang usia tersebut. Akhir-akhir ini fenomena kenakalan remaja terutama pada usia sekolah makin meluas. Para pakar psikolog selalu mengupas masalah yang tak pernah habis-habisnya ini. Kenakalan Remaja, seperti sebuah lingkaran hitam yang tak pernah putus. Sambung menyambung dari waktu ke waktu, dari masa ke masa, dari tahun ke tahun dan bahkan dari hari ke hari semakin rumit. Masalah kenalan remaja merupakan masalah yang kompleks terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Sejalan dengan arus modernisasi dan teknologi yang semakin berkembang, maka arus hubungan antar kota-kota besar dan daerah semkain lancar, cepat dan mudah. Dunia teknologi yang semakin canggih, disamping memudahkan dalam mengetahui berbagai informasi di berbagai media, disisi lain juga membawa suatu dampak negatif yang cukup meluas diberbagai lapisan masyarakat. Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam menjalani proses-proses perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun pada masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan masa remaja berlangsung begitu singkat, dengan perkembangan fisik, psikis, dan emosi yang begitu cepat. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanakkanak maupun remaja para pelakunya. Seringkali didapati bahwa ada trauma dalam masa lalunya, perlakuan kasar dan tidak menyenangkan dari lingkungannya, maupun trauma terhadap kondisi lingkungannya, seperti kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah diri. Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang.2 Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma social yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku
2 Soerjono Soekanto, 1988, Sosiologi Penyimpangan, Rajawali, Jakarta. hal 26

menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti telah menyimpang. Untuk mengetahui latar belakang perilaku menyimpang perlu membedakan adanya perilaku menyimpang yang tidak disengaja dan yang disengaja, diantaranya karena si pelaku kurang memahami aturan-aturan yang ada. Sedangkan perilaku yang menyimpang yang disengaja, bukan karena si pelaku tidak mengetahui aturan. Hal yang relevan untuk memahami bentuk perilaku tersebut, adalah mengapa seseorang melakukan

penyimpangan, sedangkan ia tahu apa yang dilakukan melanggar aturan. Becker mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk mengasumsikan hanya mereka yang menyimpang mempunyai dorongan untuk berbuat demikian.3 Menurut penulis hal ini disebabkan karena pada dasarnya setiap manusia pasti mengalami dorongan untuk melanggar pada situasi tertentu. Berdasarkan pandangan sosialisasi, perilaku akan diidentifikasi sebagai masalah sosial apabila ia tidak berhasil dalam melewati belajar sosial (sosialisasi). Kauffman mengemukakan bahwa perilaku menyimpang juga dapat dilihat sebagai perwujudan dari konteks sosial.4 Proses sosialisasi terjadi dalam kehidupan sehari-hari melalui interaksi sosial dengan menggunakan media atau lingkungan sosial tertentu. Oleh sebab itu, kondisi kehidupan lingkungan tersebut akan sangat mewarnai dan mempengaruhi input dan pengetahuan yang diserap. Salah satu variasi dari teori yang menjelaskan kriminalitas di daerah perkotaan, bahwa beberapa tempat di kota mempunyai sifat yang kondusif bagi tindakan kriminal oleh karena lokasi tersebut mempunyai karakteristik tertentu. Mengatasi kenakalan remaja, berarti menata kembali emosi remaja yang tercabik-cabik itu. Emosi dan perasaan mereka rusak karena merasa ditolak oleh keluarga, orang tua, teman-teman, maupun lingkungannya sejak kecil, dan gagalnya proses perkembangan jiwa remaja tersebut.

3 Soerjono Soekanto, 1988, Sosiologi Penyimpangan, Rajawali, Jakarta. hal 26 4 Kaufman, James, M, 1989, Characteristics of Behaviour Disorders of Children and Youth, Merril Publishing Company, Columbus, London, Toronto Hal. 6

Trauma-trauma

dalam

hidupnya

harus

diselesaikan,

konflik-konflik

psikologis yang menggantung harus diselesaikan, dan mereka harus diberi lingkungan yang berbeda dari lingkungan sebelumnya. Sebenarnya kita melupakan sesuatu ketika berbicara masalah kenakalan remaja, yaitu hukum kausalitas. Sebab, dari kenakalan seorang remaja selalu dikristalkan menuju faktor eksternal lingkungan yang jarang memerhatikan faktor terdekat dari lingkungan remaja tersebut dalam hal ini orangtua. Kita selalu menilai bahwa banyak kasus kenakalan remaja terjadi karena lingkungan pergaulan yang kurang baik, seperti pengaruh teman yang tidak benar, pengaruh media massa, sampai pada lemahnya iman seseorang. Dalam hal ini ada beberapa teori yang membahas mengenai sebabsebab terjadinya perilaku kenakalan remaja usia sekolah yang pada dasarnya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: teori yang mendasarkan pada pandangan bahwa manusia lahir bagaikan kertas putih (tabula rasa) yang dipelopori oleh John Locke dan teori yang mendasarkan pada pandangan bahwa manusia lahir telah membawa potensi-potensi psikis yang biasa disebut dengan aliran nativisme.

B.

PERMASALAHAN Guna menghindari terjadinya pelebaran pemabahasan maka kami dari penulis membuat rumusan masalah agar dalam pembahasan ini dapat terarah sesuai dengan yang menjadi harapan. Adapun rumusan masalah adalah sebagai berikut : a. Apa yang di maksud dengan makna remaja dan bagaimana problematika pada masa remaja b. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kenakalan remaja c. Bagaimana pandangan teori yang membahas mengenai kenakalan remaja d. Bagaimana upaya penanganan kenakalan remaja usia sekolah

C.

PEMBAHASAN 1. Makna Remaja dan Problema Remaja Fase Remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat penting, yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu bereproduksi. Menurut Konopka (Pikunas, 1976) masa remaja ini meliputi remaja awal. remaja madya, dan remaja akhir. Sementara Salzman mengemukakan, bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (Dependence) terhadap orang tua ke arah kemandirian (Indepedence), minat-minat seksual. perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.5 Remaja sebagai individu sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (Becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, remaja memerlukan bimbingan karena mereka kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Di samping terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan individu tidak selalu berlangsung secara mulus atau steril dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur yang linear, lurus atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut, karena banyak faktor yang menghambatnya. Faktor penghambat ini bisa bersifat internal dan eksternal. Faktor penghambat yang bersifat eksternal adalah yang berasal dari lingkungan. Iklim lingkungan yang tidak kondusif itu, seperti ketidakstabilan dalam kehidupan social politik, krisis ekonomi, perceraian orangtua, sikap dan perlakuan orang tua yang otoriter atau kurang memberikan kasih sayang dan pelecehan nilai-nilai moral atau agama dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat.

5 Syamsu Yusuf (2009), Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: Remaja Rosda Karya. hal 184

Iklim

lingkungan

yang

tidak

sehat

tersebut,

cenderung

memberikan damapak yang kurang baik bagi perkembangan remaja dan sangat mungkin mereka akan mengalami kehidupan yang tidak nyaman, setres atau depresi. Dalam kondisi seperti inilah, banyak remaja yang meresponnya dengan sikap dan perilaku yang kurang wajar bahkan amoral, seperti kriminalitas, meminum minuman keras, penyalahgunaan obat terlarang, tawuran, dan pergaulan bebas ( Kenakalan remaja).6 2. Faktor-faktor penyebab terjadinya kenakalan remaja a. Faktor internal: Krisis identitas : Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran. Kenakalan ramaja terjadi karena remaja gagal mencapai masa integrasi kedua. Kontrol diri yang lemah : Remaja yang tidak bisa

mempelajari dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan terseret pada perilaku nakal. Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku sesuai dengan pengetahuannya. b. Faktor eksternal: 1) Kutub Keluarga ( Rumah Tangga) Dalam berbagai penelitian yang yang telah dilakukan,

dikemukakan bahwa

anak/remaja

dibesarkan dalam

lingkungan sosial keluarga yang tidak baik/disharmoni keluarga, maka resiko anak untuk mengalami gangguan kepribadian menjadi berkepribadian antisosial dan berperilaku menyimpang lebih besar dibandingkan dengan anak/remaja yang dibesarkan dalam keluarga sehat/harmonis (sakinah).

6 Syamsu yusuf (2009), Hal 209-210.

Kriteria keluarga yang tidak sehat tersebut menurut para ahli, antara lain: a) Keluarga tidak utuh (broken home by death, separation, divorce) b) Kesibukan orangtua, ketidakberadaan dan ketidakbersamaan orang tua dan anak di rumah c) Hubungan interpersonal antar anggota keluarga (ayah-ibuanak) yang tidak baik (buruk) d) Substitusi ungkapan kasih sayang orangtua kepada anak, dalam bentuk materi daripada kejiwaan (psikologis). Keluarga dan Perceraian orangtua, tidak adanya

komunikasi antar anggota keluarga, atau perselisihan antar anggota keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja. Pendidikan yang salah di keluarga pun, seperti terlalu memanjakan anak, tidak memberikan pendidikan agama, atau penolakan terhadap eksistensi anak, bisa menjadi penyebab terjadinya kenakalan remaja. 2) Kutub Sekolah Kondisi sekolah yang tidak baik dapat menganggu proses belajar mengajar anak didik, yang pada gilirannya dapat memberikan peluang pada anak didik untuk berperilaku menyimpang. Kondisi sekolah yang tidak baik tersebut, antara lain; a) Sarana dan prasarana sekolah yang tidak memadai b) Kuantitas dan kualitas tenaga guru yang tidak memadai c) Kualitas dan kuantitas tenaga non guru yang tidak memadai d) Kesejahteraan guru yang tidak memadai e) Kurikilum sekolah yang sering berganti-ganti, muatan agama/budi pekerti yang kurang f) Lokasi sekolah di daerah rawan, dan lain sebagainya.

3) Kutub Masyarakat / Kondisi Lingkungan Sosial Faktor kondisi lingkungan sosial yang tidak sehat atau rawan, dapat merupakan faktor yang kondusif bagi anak/remaja untuk berperilaku menyimpang. Faktor kutub masyarakat ini dapat dibagi dalam 2 bagian, yaitu pertama, faktor kerawanan masyarakat dan kedua, faktor daerah rawan (gangguan

kamtibmas). Kriteria dari kedua faktor tersebut, antara lain: a) Faktor Kerawanan Masyarakat (Lingkungan) Peredaran alkohol, narkotika, obat-obatan terlarang Mudahnya akses informasi / gambar / video yang sifatnya pornografis dan kekerasan, baik melalui handphone, internet, poster, tontonan, TV, Majalah, dan lain-lain Tingginya angka pengangguran usia remaja Anak-anak putus sekolah/anak jalanan Tempat-tempat hiburan yang buka hingga larut

malambahkan sampai dini hari Perumahan kumuh dan padat Tindak kekerasan dan kriminalitas Kesenjangan sosial b) Daerah Rawan (Gangguan Kamtibmas) Penyalahgunaan alkohol, narkotika dan zat aditif lainnya Perkelahian perorangan atau berkelompok/massal Kebut-kebutan dalam berkendara Pencurian, perampokan, perampasan, perkosaan, penodongan, pembunuhan, pengompasan, dan tindak

kekerasan lainnya Pengrusakan sarana / infrastruktur Coret-coret dan lain sebagainya Kondisi psikososial dan ketiga kutub diatas, merupakan faktor yang kondusif bagi terjadinya kenakalan remaja.

Istilah kenakalan remaja (jeveneli delinquency) mengacu kepada suatu rentang prilaku yang luas, mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara social (Seperti bertindak berlebihan disekolah),

pelanggaran (Seperti melarikan diri dari rumah) hingga tindakantindakan kriminalitas (Seperti mencuri).7 Kenakalan remaja yang dimaksud adalah perilaku yang

menyimpang dari atau melanggar hukum. Jensen (1985:417) membagi kenakalan remaja ini menjadi empat jenis : 1) Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: Perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain 2) Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain. 3) Kenakalan remaja yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat. Di Indonesia mungkin dapat juga dimasukan hubungan seks sebelum menikah. 4) Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka dan sebagainya. Pada usia mereka, perilaku-perilaku mereka memang belum melanggar hukum dalam arti yang sesungguhnya karena yang dilanggar adalah status-status dalam lingkungan primer (keluarga) dan sekunder (sekolah) yang memang tidak diatur oleh hukum secara terinci. Akan tetapi, kalau kelak remaja ini dewasa, pelanggaran status ini dapat dilakukannya terhadap atasannya dikantor atau petugas hukum di dalam masyarakat. Karena itulah pelanggaran status ini oleh Jensen digolongkan juga sebagai kenakalan dan bukan sekedar perilaku menyimpang.8

7 John. W. Santrock (1995), Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga. Hal 22. 8 Sarlito Wirawan Sarwono (2007), Psikologi Remaja, Jakarta: Grafindo Persada. hal. 209-210.

10

3. Teori-teori Kenakalan Remaja Dalam ilmu psikologi, perkembangan masa remaja menjadi salah satu pembahasan yang penting karena masa remaja adalah salah satu puzzle rangkaian dari masa-masa hidup manusia yang tidak dapat terpisahkan. Ada beberapa teori yang membahas mengenahi sebab-sebab terjadinya perilaku kenakalan remaja yang pada dasarnya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: teori yang mendasarkan pada pandangan bahwa manusia lahir bagaikan kertas putih (tabula rasa) yang dipelopori oleh John Locke dan teori yang mendasarkan pada pandangan bahwa manusia lahir telah membawa potensi-potensi psikis yang biasa disebut dengan aliran nativisme. a. Teori Biologis Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku sosiopatik atau delinkuen pada anak-anak dan remaja dapat muncul karena faktorfaktor fisiologis dan struktur jasmaniah seseorang, juga dapat oleh cacat jasmaniah seseorang, dan juga dapat oleh cacat jasmaniah yang dibawa sejak lahir. Kejadian ini berlangsung (Kartono, 2001) : 1) Melalui gen atau plasma pembawa sifat dalam keturunan, atau melalui kombinasi gen; dapat juga disebabkan oleh tidak adanya gen-gen tertentu, yang semuanya bisa memunculkan

penyimpangan perilaku, dan anak-anak menjadi delinkuen secara potensial. 2) Melalui pewarisan tipe-tipe kecenderungan yang luar biasa (abnormal), sehingga membuahkan tingkah laku delinkuen. 3) Melalui pewarisan kelemahan konstitusional jasmaniah tertentu yang menimbulkan perilaku delinkuen atau sosiopatik. Misalnya cacat jasmaniah bawaan bracydactylisme (berjari-jari pendek) dan diabetes mellitus (sejenis penyakit gula) itu erat berkorelasi dengan sifat-sifat kriminal serta penyakit mental.

11

Lebih jelas Jensen (1985) yang dikutip oleh Sarlito Wirawan Sarwono, menurutnya teori psikogenik menyatakan bahwa kelainan perilaku disebabkan oleh kelainan fisik atau genetic (Sarwono, 2001). Searah dengan Jensen, Sheldon dalam teori konstitusinya

beranggapan bahwa faktor-faktor genetik dan faktor-faktor biologis lainnya memainkan peranan yang menentukan dalam perkembangan individu. Sheldon menjelaskan bahwa ada sejenis struktur biologis hipotesis (morfogenotipe) yang mendasari jasmani luar yang bisa diamati (fenotipe) dan yang memainkan peranan penting tidak hanya dalam menentukan perkembangan jasmani, tetapi juga dalam membentuk tingkah laku (Hall, 1993). b. Teori Psikogenis Teori ini menekankan sebab-sebab perilaku delinkuen dari aspek psikologis. Antara lain faktor inteligensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi, internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang kontroversial,

kecenderungan psikopatologis dan lain-lain. Menurut Sigmund Freud, sebab-sebab kejahatan dan keabnormalan adalah karena pertempuran batin yang serius antara ketiga proses jiwa (Id, Ego, Superego) sehingga menimbulkan hilangnya keseimbangan dalam pribadi tersebut. Ketidak seimbangan itu menjurus pada perbuatan kriminal sebab fungsi Ego untuk mengatur dan memcahkan persoalan secara logis menjadi lemah (Mulyono, 1995). Argumen sentral dari teori ini adalah sebagai berikut: delinkuen merupakan bentuk penyelesaian atau kompensasi dari masalah psikologis dan konflik batin dalam menanggapi stimuli eksternal atau sosial dan pola-pola hidup keluarga yang patologis (Kartono, 1998). c. Teori Sosiogenis Teori sosiogenis yaitu teori-teori yang mencoba mencari sumber-sumber penyebab kenakalan remaja pada faktor lingkungan keluarga dan masyarakat. Termasuk dalam teori sosiogenis ini adalah

12

teori Broken Home dari Mc. Cord, dkk (1959) dan teori penyalah gunaan anak dari Shanok (1981) (dalam Sarwono, 2001). Sutherland menyatakan bahwa anak dan para remaja menjadi delinkuen disebabkan oleh partisipasinya ditengah-tengah suatu lingkungan sosial, yang ide dan teknik delinkuen tertentu dijadikan sarana yang efesien untuk mengatasi kesulitan hidupnya (Dalam Kartono, 1998). Healy dan Bronner sarjana Ilmu sosial dari Universitas Chicago yang banyak mendalami sebab-sebab sosiogenis kenakalan remaja sangat terkesan oleh kekuatan kultural dan disorganisasi sosial dikota-kota yang berkembang pesat, dan banyak membuahkan perilaku delinkuen pada anak, remaja serta pola kriminal pada orang dewasa (Dalam Sarwono 2001). Argumen sentral dari teori ini menyatakan bahwa perilaku delinkuen pada dasarnya disebabkan oleh stimulus-stimulus yang ada diluar individu 4. Upaya penanganan kenakalan remaja usia sekolah Dalam pendekatan psikologi, upaya penanganan kenakalan remaja (Juvenile Delinquency) usia sekolah memiliki banyak cara yang bervariasi namun dalam pembahasan makalah ini, penulis memfokuskan menggunakan 2 metode, yaitu: (1) Behavioural methods, dan (2) Cognitive-behavioral (CBT) methods.9 1) Behavioural Methods Penanganan kenakalan remaja geng motor dengan

menggunakan metode ini adalah dengan mencoba untuk mengubah perilaku remaja tersebut. Behavioural methods akan lebih terlihat hasilnya ketika diiringi dengan multimodal interventions (Henggeler dalam Herbert, 2005). Penanganannya termasuk : Training komunikasi Feedback Positive interruption
9 Beyth-Marom, R., Austin, L., Fischhoff, B., Palmgren, C., & Jacobs-Quadrel, M. (1993), Perceived Consequences of Risky Behaviors : Adults and Adolescents. Journal of Developmental Psychology, 29(3), 549-563

13

Problem-solving Membentuk pemikiran rasional Happy talk Positive request Non-blaming communication Training keahlian negosiasi Meningkatkan dialog Permainan-permainan dalam keluarga.10 2) Cognitive-behavioural (CBT) Methods Pendekatan CBT sebagai intervensi untuk kenakalan remaja biasanya terdiri dari beberapa teknik yang mana merupakan akar dari terapi kognitif (persuasion, challenging, debate, hypothesizing, cognitive restructuring, and internal debate) yang digabungkan dengan terapi prilaku (operant procedure, desentization, social skills training, role play, behaviour rehearsal, modelling, relaxation exercise, self monitoring). Program penganan didesain seperti urutan dibawah ini : Training relaksasi, yaitu remaja anggota geng motor tersebut perlu mengikuti training relaksasi ataupun menggunakan teknikteknik atau cara-cara yang dapat membuat mereka tenang dan nyaman. Hal ini disebabkan dengan hati yang panik dan penuh gejolak akan menyebabkan seseorang salah dan tidak awas untuk mengambil suatu tindakan. Selain itu, dalam keadaan tenang dan nyaman Modelling akan mempermudah seseorang untuk menerima

perlakuan-perlakuan lainnya. dan reinforcement tingkahlaku, yaitu dengan

memberikan mereka model dan penguatan yang dapat mereka tiru. Hal ini penting karena biasanya remaja yang terjebak oleh kenakalannya tidak dapat membedakan apakah tindakan mereka
10 Martin Herbert, (2005). Developmental Problems of Childhood and Adolescents: Prevention, Treatment and Training. USA: BPS Blackwell.

14

itu baik atau buruk. Oleh karena itu, dengan adanya contoh dan penguatan baik itu reward atau punishment akan memberi arahan bagi remaja tersebut. Menumbuhkan lebih banyak pikiran-pikiran positif (kognisi) dan atribusi diri untuk alter maladaptive beliefs, yaitu dengan memberi sugesti-sugesti positif apa yang seharusnya dilakukan. Sehingga para komunitas geng motor tersebut dapat bepikir bahwa tindakan mereka itu tidak benar. Self-appraisal Pengalaman kegiatan yang menyenangkan, yaitu mengganti tindakan mereka yang tidak mematuhi norma-norma sosial dengan kegiatan lain yang menyenangkan namun itu tidak bertentangan dengan norma-norma yang ada. Menggunakan operant conditioning untuk mengembangkan perilaku prososial dan mengembangkan keahlian sosial, yaitu menggunakan reinforcement untuk menimbulkan perilaku yang dapat diterima sosial. Selain dua metode di atas Santrock memberikan strategi-strategi untuk mengembangkan kehidupan remaja,11 diantaranya: a. Lebih mengembangkan harapan-harapan positif untuk remaja Dengan mengembangkan harapan-harapan positif kepada remaja akan membuat remaja merasa dirinya tidak dipandang hanya sebagai sumber kenakalan dan perusak. Janganlah melihat remaja saat dia melakukan kerusakan dan krisis. Lihatlah sewaktu evaluasi dan membuat komitmen tentang dirinya. b. Buatlah sekolah yang lebih baik untuk remaja Sekolah untuk para remaja membutuhkan pengembangan sosioemosional sebaik pengembangan kognitif. c. Sukseskan program untuk remaja dalam menghadapi bahaya

11 John. W. Santrock (1995), Perkembangan Masa Hidup, Jakarta: Erlangga.

15

Dua komposisi terpenting untuk menyukseskan program untuk remaja dalam bahaya, yaitu: 1) Tumbuhkan atensi individu 2) Kembangkan koordinasi komunitas-jaringan luas

D.

Kesimpulan Dari penulisan di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor kenakalan remaja adalah adanya interaksi yang tidak seimbang antara lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Disamping itu tidak adanya tempat penyaluran emosi yang positif terhadap apa yang menjadi perasaan atau keinginan dari remaja itu sendiri. Upaya penanganan kenakalan remaja usia sekolah dapat

menggunakan pendekatan psikologi dapat menggunakan dua metode, yaitu: (1) Behavioural methods, dan (2) Cognitive-behavioral (CBT) methods.

Behavioural methods adalah metode dengan mengubah perilaku geng motor tersebut dan menggantinya dengan perilaku lain yang baik. CBT methods adalah metode yang digunakan dari kombinasi penguatan secara kognitif dan perilaku. Saran Demikianlah hasil makalah ini yang penuh dengan keterbatasan namun kami dari penulis tetap mengharap semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita pembaca semua khususnya untuk penulis sendiri. Mengiat pepatah nenek moyang kita, tidak ada gading yang tidak retak dan tidak ada final dalam menuntut ilmu kecuali maut sudah menjemput. Tidak ada yang sempurna di dunia ini kecuali Allah itu sendiri. Mengingat hal itu kami dari menulis tetap meminta atau kritik maupun saran yang ikhlas untuk

menyempurnakan

meningkatkan kualitas makalah kami. Atas

perhatiannya terimakasih.

16

DAFTAR PUSTAKA

Austin, L., Beyth-Marom, R., Fischhoff, B., Palmgren, C., & Jacobs-Quadrel, M., Perceived Consequences of Risky Behaviors : Adults and Adolescents. Journal of Developmental Psychology, 1993. Herbert, Martin. Developmental Problems of Childhood and Adolescents: Prevention, Treatment and Training. USA: BPS Blackwell, 2005. Hurlock, Elizabett B., Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Jakarta: Erlangga, 1980. James, M, Kaufman, Characteristics of Behaviour Disorders of Children and Youth, Merril Publishing Company, Columbus, London, Toronto, 1989. Santrock, John. W., Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga, 1995. Sarwono, Sarlito Wirawan, Psikologi Remaja, Jakarta: Grafindo Persada, 2007. Soekanto, Soerjono, Sosiologi Penyimpangan, Rajawali, Jakarta, 1988. Yusuf, Syamsu, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: Remaja RosdaKarya, 2009.

17

Anda mungkin juga menyukai