Pengantar :
Prof. Dr. Sunjoto. Dip. H.E., DEA
Puji Qomariyah
LocuS
Budaya Masuk Kampus
Membaca dunia anak, anak membaca dunia, dunia anak membaca
Hak Cipta © Puji Qomariyah
UWMY 15112011
ISBN : : 978-602-19430-0-7
Pengantar - i -
1 Guru Besar Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
Kata Pengantar:
Pendidikan, Jalansutra Membangun Budaya dan Karakter Bangsa....... i
Oleh : Prof. Dr. Sunjoto. Dip. H.E., D.E.A
Prolog
Bab V. Pelaksanaan
A. Pelaksanaan Pendidikan Karakter ................................................... 89
B. Pendidikan Karakter di Mata Mahasiswa .......................................... 94
Diskusi, jalan menuju budaya akademik ........................................... 99
C. Pencapaian Mahasiswa UWMY ....................................................... 101
Himpunan Mahasiswa Jurusan Teknik Arsitektur ............................. 102
Mapawima ........................................................................................ 102
D. Pelaksanaan Budaya Masuk Kampus ............................................. 103
1. Anak-anak
Suka ing Dina Minggu ................................................................ 104
Cublak-cublak suweng ................................................................ 107
Karawitan Anak Marsudi Ngesti Budaya, Gamping Sleman ....... 110
3. Remaja
Tarian Penyambutan Tamu Abim Bima ...................................... 120
Tari Golek Menak. ....................................................................... 122
Tari Klasik Penutupan Sulung Dhayung. ..................................... 123
Tari Beriuk Tinjal. ........................................................................ 125
Presean. ...................................................................................... 126
Tari Tebe-tebe Ho Dahur. ........................................................... 128
Daftar Isi - ix -
4. Nyanyian
Nusantara Voices ........................................................................ 130
5. Teater
Teater Dokumen UWMY ............................................................. 131
Yuliono Perform........................................................................... 132
6. Gamelan tradisional
AsokaSwara Dhagsinarga .......................................................... 133
Surya Laras SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta........................ 136
Gamelan kontemporer Lumbung Artema Yogyakarta ................. 137
7. Dewasa/umum
• Wayang wong
Retno Aji Mataram Yogyakarta. .................................................. 143
Yayasan Siswa Among Beksa Yogyakarta. ............................... 144
Sanggar Seni Irama Tjitra Yogyakarta. ...................................... 146
YPBSM Pujokusuman Yogyakarta. ............................................. 148
Guntur Mataram Jakarta. ............................................................ 150
Suryo Kencono Yogyakarta......................................................... 150
• Chadroh
Komplek Q Ponpes al-Mounawwir Krapyak Yogyakarta ............. 153
8. Seminar
Seminar Budaya .......................................................................... 155
Daftar Pustaka
Lampiran
Daftar Gambar - xi -
Daftar Gambar
Uraian Halaman
Gambar 10. Tari Golek Menak untuk menyambut tamu agung dalam
pembukaan Pekan Budaya Masuk Kampus 2011 di
Kampus UWMY, 23 Juni 2011. ........................................... 123
Gambar 11. Enam pasang penari membawakan Tarian Beriuk Tinjal... 126
Gambar 12. Dua pepadu Presean sedang beraksi di Pendopo Agung
nDalem Mangkubumen UWMY. ......................................... 127
Gambar 13. Penari Tebe-tebe Ho Dahur sesaat setelah beraksi di
Pendopo Agung nDalem Mangkubumen UWMY. ............... 129
Gambar 14. Penampilan musikalisasi puisi dengan judul Ibu Pertiwi
oleh Teater Dokumen UWMY.. ........................................... 131
Gambar 15. Penampilan Yuliono dengan monolog-nya ......................... 133
Gambar 16. Penampilan AsokaSwara Dhagsinarga. ............................. 135
Gambar 17. Penampilan Surya Laras dari SMA Muhammadiyah 1
Yogyakarta dengan seluruh pengrawitnya siswi puteri. ...... 137
Gambar 18. Penampilan Lumbung Artema dalam Pentas Seni Lintas
Agama dan Keyakinan, Pekan Budaya Masuk Kampus
2011, 30 Juni 2011. ............................................................ 139
Gambar 19. Cantrik dalam lakon Ciptoning Mintorogo oleh Paguyuban
Tari Retno Aji Mataram yang diperankan anak-anak usia
10-12 tahun. ........................................................................ 144
Gambar 20. Sanggar Tari Yayasan Siswa Among Beksa tampil dalam
lakon Sri Tumurun di nDalem Mangkubumen-UWMY. ....... 145
Gambar 21. Lakon Aji Tjandra Bhirawa yang dimainkan oleh Sanggar
Seni Irama Tjitra Yogyakarta dalam Pekan Budaya Masuk
kampus 2011.. .................................................................... 147
Gambar 22. Lakon Gatokaca Lahir dimainkan oleh YPBSM
Pujokusuman Yogyakarta dalam Pekan Budaya Masuk
kampus 2011 ...................................................................... 149
Daftar Gambar - xiii -
Daftar Lampiran
Daftar Istilah/Glosarium
Akulturasi, yaitu proses yang timbul bila suatu kebudayaan bertemu dengan
unsur kebudayaan asing, dan kebudayaan asing tersebut berbaur
dengan kebudayaaan asli tanpa menghilangkan kebudayaan asli
tersebut. Misalnya berbaurnya masyarakat suku Jawa di perantauan
tidak saling menghilangkan kebudayaan dari masing-masing suku.
Asimilasi, yaitu proses penggabungan antara dua kebudayaan sehingga
melahirkan kebudayaan baru. Asimiulasi dapat timbul jika : (i). Adanya
golongan-golongan dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda,
(ii). Saling bergaul langsung secara intensif dala waktu yang relatif lama
(iii). Sifat khas kebudayaan-kebudayaan golongan yang saling
berinteraksi mengalami perubahan begitupun wujud kebudayaan
sehingga terbentuk kebudayaan campuran
Budaya akademik: merupakan cara hidup dari masyarakat ilmiah yang
beranekaragam, majemuk, multikultural yang bernaung dalam sebuah
institusi yang mendasarkan diri pada nilai-nilai kebenaran ilmiah dan
objektivitas
Budaya: keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan
(belief) manusia yang dihasilkan masyarakat
Disiplin; perilaku yang bertujuan untuk memaksa anggota masyarakat untuk
patuh.
Difusi, yaitu proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dan sejarah ke
seluruh dunia bersamaan dengan terjadinya proses penyebaran dan
migrasi kelompok-kelompok manusia di muka bumi.
Enkulturasi (pembudayaan), yaitu proses seorang individu mempelajari dan
menyesuaikan pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem norma,
dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Proses
enkulturasi dimulai sejak kecil dalam alam pikiran setiap individu. Dengan
berkali-kali menghadapi proses dalam kesehariannya, seorang individu
dapat menangkap suatu pola yang mantap dan norma yang mengatur
tindakannya dibudayakan.
Gangsa, bahasa halus dari gamelan yang diambil dari istilah kata tembaga
dan rejasa disingkat ga da sa, kemudian berubah menjadi gangsa. Bahan
- xviii – Daftar Istilah
Puji Qomariyah
Pendahuluan- 1 -
Bab I.
A. Latar Belakang
Dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
disebutkan “...Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta
- 2 - Pendidikan Karakter
B. Tujuan
Membangun karakter dari pintu pendidikan harus dilakukan secara
komprehensif-integral, tidak hanya melalui pendidikan formal, namun juga
melalui pendidikan informal dan non formal. Selama ini, ada kecenderungan
pendidikan formal, informal dan non formal, berjalan terpisah satu dengan
yang lainnya. Akibatnya, pendidikan karakter seolah menjadi tanggung jawab
secara parsial.
Pendidikan merupakan salah satu strategi dasar dari pembangunan
karakter bangsa yang dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara
koheren dengan beberapa strategi lain. Strategi tersebut mencakup, yaitu
sosialisasi/penyadaran, pemberdayaan, pembudayaan dan kerjasama
seluruh komponen bangsa. Pembangunan karakter dilakukan dengan
pendekatan sistematik dan integratif dengan melibatkan keluarga, satuan
pendidikan, pemerintah, masyarakat sipil, politik, media massa, dunia usaha,
dan dunia industri (Desain Induk Pembangunan Karakter, 2010). Sehingga
satuan pendidikan adalah komponen penting dalam pembangunan karakter
yang berjalan secara sistemik dan integratif bersama dengan komponen
lainnya.
Atas pijakan tersebut disusun buku dengan judul: Budaya Masuk
Kampus. Wujud kebudayaan yang beragam dan dinamis coba direfleksi
kembali untuk : i). masuk ke kampus serta ii). budaya untuk membiasakan
diri masuk kampus agar terjadi transformasi sosial-intelektual dunia
pendidikan dengan lingkungan sekitarnya sehingga kampus tidak hanya
berdiri di atas menara gading atas nama keunggulan komparatif yang
dimilikinya. Kegiatan tersebut untuk melengkapi pendidikan karakter yang
dilakukan di dalam perkuliahan di civitas akademika UWMY.
Diharapkan dari kampus dapat kembali memuncul-tumbuhkan
budaya-budaya konstruktif bagi masyarakat. Mampu membaca fenomena-
fenomena sosial serta me-reinterpretasi dan rekonstruksi dalam kehidupan
masyarakat yang mewujud dalam sistem sosial dan sistem budayanya.
Pendahuluan- 5 -
Upaya ini jika dilakukan secara intensif dan berkesinambungan selain
dapat melestarikan potensi seni-budaya juga dapat mendorong tumbuh-
kembangnya budaya konstruktif di masa datang. Tujuan pendidikan budaya
dan karakter bangsa adalah (Anonimous, 2010):
1. Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai
manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan
karakter bangsa;
2. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji
dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa
yang religius;
3. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik
sebagai generasi penerus bangsa;
4. Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang
mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan
5. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan
belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta
dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).
Dengan demikian pendidikan karakter bertujuan mendorong lahirnya
pribadi-pribadi yang baik. Begitu tumbuh dalam karakter yang baik, anak-
anak akan tumbuh dengan kapasitas dan komitmennya untuk melakukan
berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar, dan
cenderung memiliki tujuan hidup. Pendidikan karakter yang efektif,
ditemukan dalam lingkungan institusi pendidikan yang memungkinkan semua
peserta didik menunjukkan potensi mereka untuk mencapai tujuan yang
sangat penting (Battistich, 2008)
Karakter, menurut Fromm berkembang berdasarkan kebutuhan
mengganti insting kebinatangan yang hilang ketika manusia berkembang
tahap demi tahap. Karakter membuat seseorang mampu berfungsi di dunia
tanpa harus memikirkan apa yang harus dikerjakan. Karakter manusia
berkembang dan dibentuk oleh pengaturan sosial (social arrangements).
- 6 - Pendidikan Karakter
dengan Indologi yang menjadi mata kuliah dasar umum (MKDU) bagi seluruh
mahasiswa UWMY.
Indologi adalah kajian tentang segala sesuatu yang menyangkut
masyarakat yang ada di bumi nusantara (Indonesia) dengan segala potensi
yang dimilikinya sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dengan
dinamika sosio-kultur, sosio-politik, sosio-ekonomi, yang ada di dalamnya.
Kajian tersebut menyangkut realitas keberagaman suku bangsa,
keberagamaan, beserta permasalahan yang melingkupinya dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan sosial bagi setiap insan Indonesia. Pemahaman
yang benar akan memunculkan sebuah integrasi sosial masyarakat
Indonesia di dalam sebuah kerangka kebangsaan. Sebagai bangsa yang
besar (kaya sumberdaya alam, banyak suku bangsa, serta tersebar di
berbagai wilayah daratan maupun kepulauan), Indonesia menyimpan potensi
konflik yang cukup besar berupa disintegrasi bangsa; namun di sisi lain
kondisi tersebut merupakan modal yang sangat besar bagi terwujudnya
kemandirian sebuah bangsa dengan masyarakatnya yang multi-etnis,
multikultur, serta multi-dimensi dalam pentas hubungan antar bangsa di
dunia.
Keberhasilan Belanda dalam masa penjajahan di Indonesia selama
kurang lebih 350 tahun adalah kemampuan mereka menguasai seluk-beluk
tentang bangsa Indonesia, adat-istiadat, bahasa, budaya, masyarakat
sehingga mereka mampu mengelola konflik di masyarakat. Kemampuan
itulah yang digunakan Belanda untuk menguasai bangsa Indonesia. Bahkan
dalam perkembangannya, bangsa Belanda memerlukan membuat kajian
tentang Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada masa silan di Universitas Leiden
dibuka jurusan Indologi yang mempelajari segala hal berkaitang dengan
Indonesia mulai dari sejarah, potensi SDM, potensi SDA hingga dinamika-
struktur masyarakatnya. Kajian tersebut mengantarkan Belanda mampu
menguasai sosio-kultur bangsa Indonesia sekaligus memperetahankan
hegemoni penjajahan di Indonesia.
Hingga ditutupnya jurusan Indologi di Fakultas Hukum Univ. Leiden
Belanda, hanya 2 (dua) orang Indonesia yang belajar di Indologi salah
Evaluasi Diri - 25 -
satunya adalah mendiang Sri Sultan Hamengkubuwana IX meskipun beliau
tidak sampai menyelesaikan pendidikannya karena keburu dipanggil pihak
Keraton Ngayogyakarta mengingat Sultan HB VIII sedang sakit dan semakin
kritis, hingga meninggal tahun 1939 dan HB IX terpaksa naik tahta
menggantikan HB VIII sehingga tidak sempat menyelesaikan pendidikan
Indologi-nya di Univ. Leiden-Belanda. Pada garis besarnya, Indologi
mempelajari tentang Indonesia (ketika itu masih Hindia-Belanda) dengan
berbagai potensi dan permasalahannya: sosial, politik, ekonomi, budaya,
serta kepercayaan. Dengan sejarah panjang kerajaan yang ada di bumi
nusantara serta ragam suku bangsa dan tersebar di berbagai wilayah
daratan dan kepulauan, Indonesia merupakan sebuah bangsa yang besar.
Inilah tantangan bangsa saat ini. Potensi sumberdaya alam yang besar serta
kondisi sosio-kultur masyarakatnya merupakan potensi untuk dikembangkan
sekaligus merupakan potensi terjadinya konflik kepentingan. Dengan potensi
yang dimilikinya, integrasi dan distegrasi merupakan dua sisi mata uang.
Kunci utamanya adalah mengenal dan memahami karakter bangsa
Indonesia yang beragam suku bangsa, adat-istiadat, agama-kepercayaan,
dan tentunya perkembangan pemikiran setiap anggota masyarakatnya yang
semakin cerdas.
Pemahaman tentang Indologi saat ini bukanlah untuk mengenang
kejayaan kerajaan-kerajaan di bumi Nusantara pada masa lampau, namun
untuk mewujudkan mimpi masa keemasan di masa-masa datang dengan
berbekal modal sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya serta modal
sosio-kultural dan geo-politik yang dimiliki setiap insan Indonesia. Dengan
mengenal diri sendiri, kita akan menyadari bagaimana kita memiliki syarat
dan modal untukl terwujudnya sebuah bangsa yang besar dalam kancah
hubungan internasional.
Di Indonesia, sosiologi sebagai sebuah kajian telah berkembang
sejak lama meskipun sebenarnya belum dipelajari secara formal sebagai
ilmu pengetahuan. Ajaran “wulang reh” yang diperkenalkan oleh
Mangkunegara IV dari Surakarta antara lain mengajarkan tata hubungan
antara para anggota masyarakat Jawa yang berasal dari berbagai golongan
- 26 - Pendidikan Karakter
A. Kerangka Konseptual
Karakter (character) mengacu pada serangkaian sikap (attitudes),
perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills).
Karakter meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik,
kapasitas intelektual seperti berpikir kritis dan alasan moral, perilaku seperti
jujur dan bertanggung jawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam
situasi penuh ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional yang
memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai
keadaan, dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan
- 28 - Model Pendidikan Karakter
akan tetapi juga dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam
kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan
keyakinan yang telah dihasilkannya. Ketika kehidupan manusia terus
berkembang, maka yang berkembang sesungguhnya adalah sistem sosial,
sistem ekonomi, sistem kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni. Pendidikan
merupakan upaya terencana dalam mengembangkan potensi peserta didik,
sehingga mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang
diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke arah
yang sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang
yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang
diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir,
bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan
norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada
orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter
masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter
bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu
seseorang.
Akan tetapi, karena manusia hidup dalam ligkungan sosial dan
budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya
dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang berangkutan.
Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan
dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari
lingkungan sosial,budaya masyarakat, dan budaya bangsa.
Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila; jadi
pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai
Pancasila. Dengan kata lain, mendidik budaya dan karakter bangsa adalah
mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri peserta didik melalui
pendidikan hati, otak, dan fisik.
Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam
mengembangkan potensi peserta didik. Pendidikan adalah juga suatu usaha
Budaya, Kebudayaan, dan Karakter Bangsa - 33 -
masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi
keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa
depan. Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter
yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan
adalah proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda
dan juga proses pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk
peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa
mendatang. Dalam proses pendidikan budaya dan karakter bangsa, secara
aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses
internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam
bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih
sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat.
Budaya, yang menyebabkan peserta didik tumbuh dan berkembang,
dimulai dari budaya di lingkungan terdekat (kampung, RT, RW, desa)
berkembang ke lingkungan yang lebih luas yaitu budaya nasional bangsa
dan budaya universal yang dianut oleh ummat manusia. Apabila peserta
didik menjadi asing dari budaya terdekat maka dia tidak mengenal dengan
baik budaya bangsa dan dia tidak mengenal dirinya sebagai anggota budaya
bangsa. Dalam situasi demikian, dia sangat rentan terhadap pengaruh
budaya luar dan bahkan cenderung untuk menerima budaya luar tanpa
proses pertimbangan (valueing). Kecenderungan itu terjadi karena dia tidak
memiliki norma dan nilai budaya nasionalnya yang dapat digunakan sebagai
dasar untuk melakukan pertimbangan (valueing).
Semakin kuat seseorang memiliki dasar pertimbangan, semakin kuat
pula kecenderungan untuk tumbuh dan berkembang menjadi warga negara
yang baik. Pada titik kulminasinya, norma dan nilai budaya secara kolektif
pada tingkat makro akan menjadi norma dan nilai budaya bangsa. Dengan
demikian, peserta didik akan menjadi warga negara Indonesia yang memiliki
wawasan, cara berpikir, cara bertindak, dan cara menyelesaikan masalah
sesuai dengan norma dan nilai ciri ke-indonesiaannya.
- 34 - Model Pendidikan Karakter
pada sifat biologis yang merupakan salah satu hal yang diwariskan dari
orang tua kepada anaknya.
b. Lingkungan Pre-natal
Lingkungan prenatal merupakan lingkungan dalam kandungan ibu. Pada
periode ini individu mendapatkan pengaruh tidak langsung dari ibu. Maka
dari itu, kondisi ibu sangat menentukan kondisi bayi yang ada dalam
kandungannya tersebut, baik secara fisik maupun secara psikis. Banyak
peristiwa yang sudah ada membuktikan bahwa seorang ibu yang pada waktu
mengandung mengalami tekanan psikis yang begitu hebatnya, biasanya
pada saat proses kelahiran bayi ada gangguan atau dapat dikatakan tidak
lancar.
c. Perbedaan Individual
Perbedaan individu merupakan salah satu faktor yang memengaruhi proses
sosialisasi sejak lahir. Anak tumbuh dan berkembang sebagai individu yang
unik, berbeda dengan individu lainnya, dan bersikap selektif terhadap
pengaruh dari lingkungan.
d. Lingkungan
Lingkungan meliputi segala kondisi yang ada di sekeliling individu yang
memengaruhi proses sosialisasinya. Proses sosialisasi individu tersebut
akan berpengaruh pada kepribadiannya.
e. Motivasi
Motivasi adalah dorongan-dorongan, baik yang datang dari dalam maupun
luar individu sehingga menggerakkan individu untuk berbuat atau melakukan
sesuatu. Dorongandorongan inilah yang akan membentuk kepribadian
individu sebagai warna dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Teori-Teori Perkembangan Kepribadian
Ada beberapa teori yang membahas mengenai perkembangan
kepribadian dalam proses sosialisasi. Teori-teori tersebut antara lain Teori
Tabula Rasa, Teori Cermin Diri, Teori Diri Antisosial, Teori Ralph Conton,
dan Teori Subkultural Soerjono Soekanto.
Budaya, Kebudayaan, dan Karakter Bangsa - 43 -
a. Teori Tabula Rasa.
Pada tahun 1690, John Locke mengemukakan Teori Tabula Rasa dalam
bukunya yang berjudul " An Essay Concerning Human Understanding."
Menurut teori ini, manusia yang baru lahir seperti batu tulis yang bersih dan
akan menjadi seperti apa kepribadian seseorang ditentukan oleh
pengalaman yang didapatkannya. Teori ini mengandaikan bahwa semua
individu pada waktu lahir mempunyai potensi kepribadian yang sama.
Kepribadian seseorang setelah itu semata-mata hasil pengalaman-
pengalaman sesudah lahir (Haviland, 1989). Perbedaan pengalaman yang
dialami seseorang itulah yang menyebabkan adanya bermacam-macam
kepribadian dan adanya perbedaan kepribadian antara individu yang satu
dengan individu yang lain. Teori tersebut tidak dapat diterima seluruhnya.
Kita tahu bahwa setiap orang memiliki kecenderungan khas sebagai warisan
yang dibawanya sejak lahir yang akan memengaruhi kepribadiannya pada
waktu dewasa. Akan tetapi juga harus diingat bahwa warisan genetik hanya
menentukan potensi kepribadian setiap orang. Tumbuh dan berkembangnya
potensi itu tidak seperti garis lurus, namun ada kemungkinan terjadi
penyimpangan. Kepribadian seseorang tidak selalu berkembang sesuai
dengan potensi yang diwarisinya. Warisan genetik itu memang memengaruhi
kepribadian, tetapi tidak mutlak menentukan sifat kepribadian seseorang.
Pengalaman hidup, khususnya pengalaman-pengalaman yang diperoleh
pada usia dini, sangat menentukan kepribadian individu.
b. Teori Cermin Diri.
Teori Cermin Diri (The Looking Glass Self) ini dikemukakan oleh Charles H.
Cooley. Teori ini merupakan gambaran bahwa seseorang hanya bisa
berkembang dengan bantuan orang lain. Setiap orang menggambarkan diri
mereka sendiri dengan cara bagaimana orang-orang lain memandang
mereka. Misalnya ada orang tua dan keluarga yang mengatakan bahwa anak
gadisnya cantik. Jika hal itu sering diulang secara konsisten oleh orang-
orang yang berbedabeda, akhirnya gadis tersebut akan merasa dan
bertindak seperti seorang yang cantik. Teori ini didasarkan pada analogi
dengan cara bercermin dan mengumpamakan gambar yang tampak pada
- 44 - Model Pendidikan Karakter
cermin tersebut sebagai gambaran diri kita yang terlihat orang lain.
Gambaran diri seseorang tidak selalu berkaitan dengan faktafakta objektif.
Misalnya, seorang gadis yang sebenarnya cantik, tetapi tidak pernah merasa
yakin bahwa dia cantik, karena mulai dari awal hidupnya selalu diperlakukan
orang tuanya sebagai anak yang tidak menarik. Jadi, melalui tanggapan
orang lain, seseorang menentukan apakah dia cantik atau jelek, hebat atau
bodoh, dermawan atau pelit, dan yang lainnya. Ada tiga langkah dalam
proses pembentukan cermin diri.
1) Imajinasi tentang pandangan orang lain terhadap diri seseorang, seperti
bagaimana pakaian atau tingkah lakunya di mata orang lain.
2) Imajinasi terhadap penilaian orang lain tentang apa yang terdapat pada
diri masing-masing orang. Misalnya, pakaian yang dipakai.
3) Perasaan seseorang tentang penilaian-penilaian itu, seperti bangga,
kecewa, gembira, atau rendah diri.
Meskipun demikian, teori ini memiliki dua kelemahan yang menjadi sorotan
banyak pihak. Pertama, pandangan Cooley dinilai lebih cocok untuk
memahami kelompok tertentu saja di dalam masyarakat yang memang
berbeda dengan kelompok-kelompok lainnya. Misalnya anak-anak belasan
tahun, memang peka menerima pendapat orang lain tentang dirinya.
Sedangkan orang dewasa tidak mengacuhkan atau menghiraukan
pandangan orang lain, apabila memang tidak cocok dengan dirinya. Kedua,
teori ini dianggap terlalu sederhana. Cooley tidak menjelaskan tentang suatu
kepribadian dewasa yang bisa menilai tingkah laku orang lain dan juga
dirinya.
c. Teori Diri Antisosial.
Teori ini dikemukakan oleh Sigmund Freud. Dia berpendapat bahwa diri
manusia mempunyai tiga bagian, yaitu id, superego, dan ego.
1) Id adalah pusat nafsu serta dorongan yang bersifat naluriah, tidak sosial,
rakus, dan antisosial.
Budaya, Kebudayaan, dan Karakter Bangsa - 45 -
2) Ego adalah bagian yang bersifat sadar dan rasional yang mengatur
pengendalian superego terhadap id. Ego secara kasar dapat disebut
sebagai akal pikiran.
3) Superego adalah kompleks dari cita-cita dan nilai-nilai sosial yang
dihayati seseorang serta membentuk hati nurani atau disebut sebagai
kesadaran sosial.
Gagasan pokok teori ini adalah bahwa masyarakat atau lingkungan sosial
selamanya akan mengalami konflik dengan kedirian dan selamanya
menghalangi seseorang untuk mencapai kesenangannya. Masyarakat selalu
menghambat pengungkapan agresi, nafsu seksual, dan dorongan-dorongan
lainnya atau dengan kata lain, id selalu berperang dengan superego . Id
biasanya ditekan tetapi sewaktu-waktu ia akan lepas menantang superego,
sehingga menyebabkan beban rasa bersalah yang sulit dipikul oleh diri.
Kecemasan yang mencekam diri seseorang itu dapat diukur dengan bertitik
tolak pada jauhnya superego berkuasa terhadap id dan ego . Dengan cara
demikian, Freud menekankan aspek-aspek tekanan jiwa dan frustasi sebagai
akibat hidup berkelompok.
d. Teori Ralph dan Conton.
Teori ini mengatakan bahwa setiap kebudayaan menekankan serangkaian
pengaruh umum terhadap individu yang tumbuh di bawah kebudayaan itu.
Pengaruh-pengaruh ini berbeda antara kebudayaan yang satu dengan
kebudayaan yang lain, tetapi semuanya merupakan bagian dari pengalaman
bagi setiap orang yang termasuk dalam masyarakat tertentu (Horton,
1993:97). Setiap masyarakat akan memberikan pengalaman tertentu yang
tidak diberikan oleh masyarakat lain kepada anggotanya. Dari pengalaman
sosial itu timbul pembentukan kepribadian yang khas dari masyarakat
tersebut. Selanjutnya dari pembentukan kepribadian yang khas ini kita
mengenal ciri umum masyarakat tertentu sebagai wujud kepribadian
masyarakat tersebut.
- 46 - Model Pendidikan Karakter
MASYARAKAT KEBUIDAYAAN
INDIVIDU
dan
PERILAKUNYA
KEPRIBADIAN
Keterangan: memengaruhi secara langsung
memengaruhi secara tidak langsung
Kepribadian umum suatu masyarakat berbeda dengan masyarakat
lainnya karena tiap masyarakat mengembangkan kebudayaannya sendiri
atau tipe kepribadian yang sesuai dengan kebudayaannya. Setiap
masyarakat juga memiliki kepribadian dasar, itu ada karena individu anggota
masyarakat itu mendapat pengaruh lingkungan kebudayaan setempat yang
sama selama masa pertumbuhannya.
Suatu kebudayaan sering memancarkan suatu watak khas tertentu
yang tampak dari luar. Watak inilah yang terlihat oleh orang asing. Watak
khas itu sering tampak pada gaya tingkah laku masyarakatnya, kegemaran-
kegemaran, dan berbagai benda budaya hasil karya mereka.
Koentjaraningrat memberikan contoh seorang Batak yang
mengamati kebudayaan Jawa yang tampak dari lua. Ia akan mengatakan
bahwa watak khas kebudayaan jawa memancarkan keselarasan,
kesuraman, ketenangan yang berlebihan sehingga sering terlihat lamban,
gemar akan tingkah laku yang mendetail ke dalam atau njlimet, gemar akan
- 52 - Model Pendidikan Karakter
atau jati diri bangsa. Media massa, baik elektronik maupun cetak memiliki
fungsi edukatif atau pun nonedukatif bergantung dari muatan pesan
informasi yang disampaikannya.”
Sistematika alur pendidikan karakter bangsa digambarkan dalam
bagan berikut:
E. Indikator Keberhasilan
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter
di UWMY diidentifikasi dari sumber-sumber (anonimous, 2010) :
Pertama, Religius. masyarakat Indonesia adalah masyarakat
beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa
selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis,
kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama.
Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter
bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari
agama.
Kedua, Budaya. Tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang
tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai
budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep
dan arti dalam komunikasi antaranggota masyarakat itu. Posisi budaya yang
demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya
menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Ketiga, Pancasila. nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi,
kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa
bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih
baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan
menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga
negara.
Keempat, Tujuan Pendidikan Nasional. Tujuan pendidikan nasional
memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara
Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang
Prosedur dan Rancangan - 79 -
paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter
bangsa.
Berdasar keempat sumber pendidikan karakter tersebut di atas,
civitas akademika UWMY sampai saat ini terus mengembangkan pendidikan
karakter dengan nilai-nilai pengembangan melalui seluruh tahapan dan
proses belajar-mengajar dengan indikator keberhasilnanya sebagai berikut :.
• menghargai seni
• hidupnya dinamis
• tidak mudah kecewa
• menyukai keindahan
• bersikap optimis
Mandiri Sikap dan prilaku • kreatif
yang tidak mudah • anti plagiasi
tergantung pada • menghargai hasil karya orang
orang lain dalam lain
menyelesaikan • tidak korup
tugas-tugas. • tidak mudah menyerah
• pekerja keras
• pemberani
• lincah
Demokratis Cara berpikir, • menghargai hak orang lain
bersikap, dan • menghormati perbedaan
bertindak yang • menghargai pendapat orang lain
menilai sama hak • terbuka/ open minded
dan kewajiban • tidak memaksakan kehendak
dirinya dan orang • siap menerima saran dan kritik
lain. • siap minta maaf jika salah
• siap menang dan siap kalah
• tidak otoriter
• bersikap adil dan diperlakukan
adil
• mengutamakan musyawarah
Rasa Ingin Sikap dan • kritis
Tahu tindakan yang • berjiwa problem solver
selalu • selalu bertanya
berupaya untuk • tidak cepat puas dengan hasil
mengetahui lebih yang dicapai
mendalam dan • sering melakukan penelitian
meluas dari • tidak takut trial and error
sesuatu yang • tidak apatis
dipelajari, dilihat, • tidak skeptis
dan didengar.
Prosedur dan Rancangan - 83 -
Semangat Cara berpikir, • pancasilais: menjunjung tinggi
Kebangsaa bertindak, dan nilai-nilai persatuan, kemanusian
n berwawasan yang dan keadilan sosial
menempatkan • berjiwa right or wrong is my
kepentingan country
bangsa dan • mengikatkan diri pada norma-
negara di atas norma dan ukuran-ukuran yang
kepentingan diri dibuat oleh negara: sadar dan
dan kelompoknya. rela menjadi wajib pajak.
Cinta Cara berpikir, • bangga berbahasa Indonesia
Tanah Air bersikap, dan • mencintai hasil karya anak
berbuat yang bangsa, bangga menggunakan
menunjukkan produksi dalam negeri
kesetiaan, • menjaga lingkungan
kepedulian, dan • merawat benda-benda
penghargaan bersejarah
yang tinggi • menghargai keberagaman
terhadap bahasa, • menghormati perjuangan para
lingkungan fisik, pahlawan
sosial, budaya, • tidak menjual aset bangsa pada
ekonomi, dan investor asing
politik bangsa. • lebih mencintai rupiah daripada
dolar
• mengenal lingkungan bangsa
sendiri
• selalu menggali budaya luhur
bangsa
• bangga menjadi bangsa
Indonesia
• mengabdikan diri pada negara,
rela berkorban: memberikan
secara ikhlas harta, benda,
waktu, tenaga, pikiran bahkan
nyawa demi negara
Mengharga Sikap dan • kreatif, inovatif,suka tantangan
i Prestasi tindakan yang • selalu belajar
- 84 - Model Pendidikan Karakter
Bab V.
Widya Mataram sangatlah besar dan bermacam seperti : potensi seni musik,
tari, suara, lukis, olah raga sepak bola dan futsal, potensi berwira usaha, dan
sebagainya. Dengan beragam potensi tersebut maka diharapkan universitas
dapat menyediakan sarana maupun prasarana untuk menghimpun dan
mengembangkan potensi yang ada.
Untuk pengembangan pendidikan di civitas akademika Widya
Mataram seluruh unsur yang ada di universitas yang mencakup
kepemimpinan kampus, administrasi, pengajar, karyawan dan sebagainya
lebih ditingkatkan dalam melayani mahasiswa, dan lebih digiatkan lagi agar
atmosfer kampus kita ini semakin jelas dan tidak terkesan sepi seolah di
kampus ini bukan sebuah universitas tempat para penimba ilmu berada.
Kemudian harapan saya pribadi tentang pendidikan di kampus Widya
Mataram adalah kampus ini kelak benar-benar bisa mendidik saya sehingga
saya keluar dari kampus ini insya Allah menjadi insan berkualitas untuk
kemudian dapat saya manfaatkan dimanapun saya berada dan dapat
membawa perubahan progresif dimulai dari diri pribadi, keluarga, sahabat,
dan masyarakat hingga akhirnya untuk bangsa dan Negara.
Senada dengan pernyataan di atas, Yusuf Randi (mahasiswa Fak.
Hukum/2011) mengatakan bahwa pendidikan karakter bermanfaat untuk
pencarian dan pembentukan jatidiri sehingga pada akhirnya berdampak pada
tumbuhnya rasa nasionalisme setiap individu. Dalam proses pencarian jatidiri
itulah pendidikan karakter berperan dalam memunculkan sikap serta pola
pikir yang kritis, rasional. Pendapat ini juga diamini Azky A Hafiz (mahasiswa
Fak. Teknik/2008) yang mengatakan bahwa selain untuk pembentukan
karakter, penemuan jatidiri akan membantu mahasiswa dalam
mempersiapkan masa depan yang lebih terarah. Azky menambahkan tentang
perlunya pengembangan budaya anti pencontekan/penjiplakan/plagiasi,
budaya anti korupsi, maupun budaya diskusi, di lingkungan civitas akademika
adalah sebuah keharusan untuk menciptakan pribadi-pribadi unggul yang
jujur, serta menghargai adanya perbedaan dalam banyak hal.
- 96 - Model Pendidikan Karakter
Beragama DIY, 2). Prof. Dr. Dahlan Thaib, pakar hukum tata negara, serta
Agung Djojosoekarto, chief cluster Kemitraan Partnership membahas tentang
Tahta untuk Kesejahteraan Rakyat : Peluang dan Tantangan Yogyakarta di
masa datang.
Diskusi II (kedua) dilakukan di Kantor Kemitraan Partnership DIY pada
tanggal 9 Mei 2007 dengan tiga pembicara: 1). Dr. Purwo Santoso, pakar
politik lingkungan UGM, 2). Sutaryono, M.Si, peneliti pertanahan STPN
Yogyakarta serta 3. Idham Ibty. MAP, regional manager Kemitraan
Partnership dengan tema Keistimewaan Yogyakarta untuk Pembaharuan
Kesejahteraan Publik.
Serie III (ketiga) dilaksanakan pada tanggal 25 Mei 2007 di kantor
Kompas Biro Yogyakarta dengan tema: Yogyakarta, masalalu masakini masa
nanti, sebuah perspektif sosio-kultural dengan menghadirkan pembicara anak
muda yang peduli terhadap perkembangan Yogyakarta. Ketiga pembicara
tersebut adalah 1). Antariksa dari Sanggar Anak Wayang, 2). Ari Sujito,
sosiolog UGM, dan Puji Qomariyah, sosiolog UWMY.
Budaya diskusi terus berlanjut dengan dilaksanakannya diskusi-diskusi
di lingkungan civitas akademika UWMY pada tahun-tahun berikutnya. Tahun
2008 dengan mengangkat tema Ketika Pelajar Bicara tentang Pendidikan
dengan menghadirkan pembicara: 1). Eko Prasetyo, peneliti dan penulis
masalah pendidikan, 2). Haryadi Suyuti, wakil Walikota Yogyakarta serta 3).
Drs. Mustofa. M.Si dari Dinas Dikpora Prop DIY yang secara bersama-sama
membahas permasalahan pendidikan di Yogyakarta serta solusi yang
ditawarkan. Selain dihadiri praktisi maupunpemerhati pendidikan, diskusi
mengundang para siswa SMA serta guru yang ada di wilayah Yogyakarta
untuk memberikan gambaran realitas kehidupan serta permasalahan
pendidikan yang dihadapinya.
Bulan Oktober tahun yang sama dilakukan diskusi tentang Indologi
yang menghadirkan 3 (tiga) pembicara yaitu: Dr. Widya Nayati Kepala Pusat
Studi Kebudayaan Yogyakarta, 2). Rahmat Arifin, ketua KPID DI Yogyakarta,
serta Tirun Marwito. S.H., dari Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta.
Budaya Masuk Kampus - 101 -
Dikisahkan, pada hari Minggu anak putra-putri mengisi hari liburnya dengan
bermain bersama, bergembira setelah beberapa hari sibuk belajar di kelas
dengan berbagai permainan/dolanan anak. Dalam pementasan tersebut, TK
Tejokusuman memainkan dolanan anak Jaranan, Jamuran, Tuku Kluwih
serta Menonton Wayang.
Gambar 1. Nonton Wayang sebagai bagian dari pementasan Suka ing Dina
Minggu yang ditampilkan TK Tejokusuman Yogyakarta . (foto :
kiem)
Jamuran; biasanya dimainkan anak perempuan, umur anak-anak yang
bermain dolanan ini setingkat usia TK sampai SD, sekitar 6-13 tahun. Jika
ada anak di bawah usia 6 tahun ikut, biasanya dianggap pupuk bawang atau
bawang kothong alias dianggap cuma ikut-ikutan, karena dianggap belum
paham tentang cara bermain yang sesungguhnya. Dolanan jamuran ini, dulu
sering dimainkan di saat waktu senggang di hari libur di saat pagi, sore, atau
malam hari ketika bulan purnama.
Dolanan jamuran tidak membutuhkan peralatan bantu kecuali hanya tanah
lapang atau halaman yang cukup luas. Biasanya memakai halaman rumah,
- 106 - Model Pendidikan Karakter
¾ Karawitan Anak-anak
Paguyuban Karawitan Jawa Marsudi Ngesthi Budaya didirikan pada
tanggal 1 Januari 1992 oleh Bapak Mardi Suyoto (alm). Anggota terdiri atas
remaja, bapak-bapak, dan ibu-ibu warga Dusun Bodeh, Kelurahan
Ambarketawang, Kecamatan Gamping serta anggota masyarakat di luar
Dusun Bodeh. Sifat organisasi terbuka, tidak membeda-bedakan suku,
bangsa, agama, profesi dan lain-lain. Jumlah anggota saat ini sekitar 50 (lima
puluh) orang. Paguyuban yang beralamat di Bodeh, RT02/RW 23,
Ambarketawang, Gamping, Sleman, DIY Telp. (0274) 6499582, 08122766051
dengan kontak person Drs. Sudaryanta rutin melakukan latihan seminggu 1
kali setiap Malam Kamis. Sebagai Pelatih saat ini adalah Bapak Drs. Sutarto
guru SMK N 3 Kasihan Bantul (SMKI).
Paguyuban Karawitan Jawa Marsudi Ngesthi Budaya didirikan dengan tujuan
untuk berpartisipasi dalam upaya pelestarian budaya bangsa sekaligus
menanamkan nilai-nilai karakter bangsa kepada para generasi muda
(ramaja). Dalam pengembangannya, saat ini Marsudi Ngesthi Budaya
dipimpin bersama oleh Ibu Suhartini dan Bapak Hartjojo. Dalam
perkembangannya mengalami pasang surut mengenai jumlah anggota,
sumber dana yang sangat terbatas dan waktu latihan yang sering berganti
karena adanya banyak kesibukan anggota maupun pengurus. Namun berkat
rahmat dan ridho Allah S.W.T. sampai saat ini latihan tetap berjalan dengan
baik. Paguyuban selain mengadakan pentas pada hari-hari besar nasional
tertentu, juga menerima panggilan atau undangan pentas dari berbagai pihak.
Dalam pementasan selama 60 menit, Marsudi Ngesti Budaya memainkan
gendhing campursari. Yang menarik dari penampilan Marsudi Ngesti Budaya
adalah keseluruhan pemain (pengrawit dan waranggana) yang tampil
sebanyak 15 (lima belas) adalah anak-anak SD dan SMP/MTs. Bahkan
waranggana memiliki kualitas suara dan penguasaan cengkok yang sangat
terlatih. Selama 60 menit mereka mempertontonkan bakat dan kemampuan
memainkan karawitan dengan kompak. Bibit-bibit muda berbakat telah
mereka tampilkan, tinggal bagaimana masyarakat menangkap bakat mereka
agar lebih berkembang dikemudian hari dengan memberikan apresiasi, ruang
Budaya Masuk Kampus - 111 -
Meski begitu Joko Bodho tetap mau ikut kakanya belajar ke kota,
sehingga sampai hati Joko Wasis menganiaya adiknya agar tidak
mengikutinya dan meninggalkan adiknya yang menangis sendirian di
tengah hutan.
pun bersumpah, bahwa tak ada seorang pun yang sanggup mengangkat
lidi ini, kecuali dirinya.
Satu persatu mulai berusaha mencabut lidi yang di tancapkan Jaka
Budhug, namun anak-anak tidak ada yang bisa mencabutnya. Sampai
akhirnya orang-orang dewasa yang berusaha mencabut lidi tersebut.
Namun hasilnya tetap tidak bisa. Akhirnya Jaka Budhug sendiri yang
menarik lidi tersebut, karena hanya dia yang bisa mencabutnya . Saat
itupun keluarlah air dari tanah bekas lidi itu menancap, airnya sangat
deras keluar dari tanah, dan terjadilah banjir bandang di Desa Rawa
Pening dan menewaskan seluruh masyarakat di desa itu, kecuali Nyai.
Setelah lidi tersebut lepas, Jaka Budhug langsung membunyikan
kentongan untuk memperingati Nyai Banarawa. Akhirnya Nyai yang
sedang menumbuk padi segera masuk ke lisung, dan selamatlah dia.
Pesan Moral. Dalam pementasan lakon tersebut, anak-anak
serta penonton diberikan pesan untuk tidak melihat seseorang
dari fisiknya. Apapun yang ada pada setiap orang adalah
karunia Tuhan yang maha esa yang harus disyukuri. Serta
diberikan penjelasan bahwa menuntut ilmu itu hak sekaligus
kewajiban bagi anak-anak agar mempunyai bekal di kemudian
hari..
Budaya Masuk Kampus - 119 -
hingga penataan panggung, Dewan juri yang diketuai oleh Ign. Wahono
(pemerhati kethoprak) dibantu anggota Drs. Pardiman Joyonegoro
(acapela Mataraman) serta seorang dosen dari UWMY. Keluar sebagai
juara dalam lomba tersebut :
• Penyutradaraan terbaik : SD Totogan Samigaluh (Siwi Budaya)
• Kostum terbaik : SD Totogan Samigaluh (Siwi Budaya)
• Pemain terbaik putra : Fuad Nur Ikhsan (SD Totogan Samigaluh)
• Pemain terbaik putri : Nadia Safira Anggraeni (SD N Cebongan
Sleman)
• Penampil terbaik I : SD Totogan Samigaluh (Siwi Budaya)
Penampil terbaik II : SD N Cebongan Sleman (Tlaga Budaya)
Penampil terbaik III : SD N Wonosari Baru Gunungkidul (Siswa
Manunggal)
Penampil terbaik harapan I : Cempaka Krida Budaya
Penampil terbaik harapan II : SD N 3 Suryadiningratan Yogyakarta
(Surya Tri Budaya)
• Juara Umum : SD Totogan Samigaluh (Siwi Budaya)
3. Remaja
¾ Tarian Penyambutan Tamu Abim Bima.
Tarian ini diperagakan oleh Kelompok Tari yang beranggotakan mahasiswa/i
asal Papua Barat yang sedang belajar di Yogyakarta. Kelompok Tari Acemo
dibentuk sebagai upaya pelestarian budaya Papua sekaligus untuk
memperkenalkan taritarian daerah khas bumi Cenderawasih di berbagai
tempat. Acemo sendiri diambil dari salah satu bahasa suku Arfak yang
mendiami daerah selatan dan utara Kota Manokwari. Acemo memiliki arti
selamat.
Tarian penyambutan tamu yang dilakukan Kelompok Tari Acemo berlangsung
kurang lebih 20 menit, dimulai dari Gerbang masuk kampus UWMY. Di
gerbang kampus, tamu kehormatan yang akan membuka acara Pekan
Budaya Masuk Kampus di sambut 10 (sepuluh) penari yang mengenakan
pakaian adat Papua Barat yang didominasi warna merah menyala serta
Budaya Masuk Kampus - 121 -
Gambar 10. Tari Golek Menak untuk menyambut tamu agung dalam pembukaan
Pekan Budaya Masuk Kampus 2011 di Kampus UWMY, 23 Juni 2011.
(foto : kiem)
Jengkeng/Sila (ragam duduk). Jengkeng/Sila dalam sebuah
tarian dilakukan oleh penari pada saat akan mengawali dan
mengakhiri sebuah tarian. Proses ini biasanya juga di barengi
dengan nyembah. Ketika seorang perempuan duduk ataupun
jengkeng dengan semestinya sebagai perempuan pasti akan
membawa dampak positif bagi dirinya ataupun yang melihat.
Ngaca. Ngaca (bercermin) biasa ada dalam ragam tari Golek,
ngaca (bercermin) biasa dilakukan agar tetap memiliki
kesadaran diri : siapa dan darimana berasal. Sikap lembah
manah, andap ashor dapat diperoleh dari ragam ini.
¾ Tarian Penyambutan Tari Golek Sulung Dhayung.
Tari Jawa klasik ini dimainkan oleh Ajeng Anggin pada saat penutupan Pekan
Budaya Masuk kampus, berasal dari kota Yogyakarta. Tarian itu
menggambarkan perempuan muda yang mempunyai keinginan untuk selalu
melihat dirinya terbaik. Tarian ini Tujuannya adalah untuk melestarikan dan
- 124 - Model Pendidikan Karakter
Pesan Moral. Baik tari Golek Menak maupun Golek Sulung Dayung,
keduanya memberikan pesan kepada kita untuk memberikan yang
terbaik dari seluruh kemampuan kita bagi kehidupan dengan
memberikan semaksimal dan sesempurna mungkin pada batas
kemampuan manusia yang sesungguhnya jauh dari sempurna.
Gambar 11. Enam pasang penari membawakan Tarian Beriuk Tinjal (foto : Rio)
¾ Tarian Presean.
Budaya Presean atau bertarung dengan rotan memang sudah dikenal
masyarakat Lombok sejak lama. Namun budaya yang penuh dengan
kekerasan itu berubah menjadi unik ketika dipadukan gaya bela diri yang unik
dan lucu dari pemainnya.
Dengan bertelanjang badan dan sebuah rotan di tangan kanan serta sebuah
perisai yang terbuat dari kulit binatang di tangan kiri, dua orang pemuda yang
dikenal dengan nama pepadu ini bersiap saling mengadu kejantanan didepan
ratusan penonton yang mengelilingi mereka diluar arena. Sambil menari-nari
kedua orang pemuda ini saling menghalau lawan dengan rotan di tangannya
tanpa rasa cemas atau takut badannya dijadikan sasaran empuk rotan lawan.
Presean adalah salah satu kekayaan budaya bumi gogo rancah (lombok).
Acara ini berupa pertarungan dua lelaki Sasak bersenjatakan tongkat rotan
Budaya Masuk Kampus - 127 -
(penjalin) serta berperisai kulit kerbau tebal dan keras (ende). Petarung biasa
disebut pepadu. Presean bermula dari luapan emosi para prajurit jaman
kerajaan taun jebot sehabis mengalahkan lawan di medan perang. Acara
tarung presean ini juga diadakan untuk menguji keberanian/nyali lelaki sasak
yang wajib jantan dan heroik saat itu.
Hingga akhirnya lestari sampai sekarang ini menjadi hiburan perayaan yang
diadakan setiap memperingati 17 agustus-an. Konon Presean juga salah satu
bentuk upacara memohon hujan bagi suku Sasak di musim kemarau.
Gambar 12. Dua pepadu Presean sedang beraksi di Pendopo Agung nDalem
Mangkubumen UWMY. (foto : kiem)
Gambar 13. Penari Tebe-tebe Ho Dahur sesaat setelah beraksi di Pendopo Agung
nDalem Mangkubumen UWMY. (foto : kiem)
4. Nyanyian
Nusantara Voices yang terdiri dari beberapa mahasiwa UWMY yang berasal
dari berbagai wilayah di Indonesia menampilkan lagu daerah di Indonesia
pada acara penutupan (closing ceremony) PBMK. Penampilan dimulai
dengan lagu Indonesia Raya dikiuti berturut-turut Bengawan Solo, Gundul-
Gundul Pacul, Rek Ayo Rek, Gambang Suling, Ampar-Ampar Pisang,
Bungong Jeumpa, Kicir-Kicir, Apusse, Ramko Rambe Yamko. Meskipun
hanya beberapa lagu daerah yang ditampilkan karena keterbatasan waktu,
semangat untuk mengangkat budaya dari berbagai daerah merupakan upaya
untuk menggali kembali khasanah budaya yang tumbuh di bumi nusantara
dalam bentuk lagu. Yang menarik dari penampilan Nusantara Voices
diantaranya lagu Bungong Jeumpa dinyanyikan oleh mahasiswa asli
Yogyakarta yang mengenakan kebaya lengkap. Dengan aksen khas Jawa,
lagu Bungong Jeumpa menjadi berbeda dari penutur aslinya, sementara lagu
Gundul-gundul Pacul dan Gambang Suling dinyanyikan oleh mahasiswa yang
berasal dari Medan dengan logat melayunya.
Pesan Moral. Dengan 300 suku bangsa dengan kurang lebih 250 bahasa
daerah, Indonesia adalah bangsa besar yang memiliki khasanah budaya
yang sangat beragam. Keberagaman tersebut ditunjukkan dengan seni
budaya tradisi yang memiliki makna, filosofi, maupun ajaran moral yang
masih relevan hingga saat ini. Melalui lagu, kita diingatkan untuk
mengembangkan rasa persamaan, persaudaraan, toleransi antar sesama.
Kita bisa menjadi besar manakala kita bisa merentangkan tangan
bersama, berdiri sama tinggi, duduk sama rendah di dalam hubungan
antar individu, antar budaya, antar suku bangsa sebagai sebuah keluarga
besar. Dengan saling mengenal adat-istiadat suku lain akan semakin
menumbuhkan kecintaan kita pada tanah air Indonesia seperti pepatah
Budaya Masuk Kampus - 131 -
tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta. Dengan
mengenalkan (kembali) lagu daerah, harapannya kita mulai mencintai
(kembali) keindonesiaan kita. Dalam lagu maupun dalam kehidupan
sehari-hari kita.
5. Teater
¾ Teater Dokumen UWMY
Teater Dokumen UWMY menampilkan musikalisasi puisi dan pembacaan
sebuah puisi yang mengangkat tema tentang keadaan ibu pertiwi (Indonesia).
Perjalanan panjang dan kesedihan yang belakangan ini menimpa Indonesia
baik itu kegelisahan bangsa maupun bencana yang menimpa Indonesia yang
tiada henti-hentinya. Keseluruhan pementasan dikemas dalam sebuah karya
seni puisi musik etnik, diantaranya di aransemen menjadi musikalisasi puisi.
selain itu kita juga memakai beberapa alat musik tradisional, seperti: mini
gamelan, rainstik, maracas.
Gambar 14. Penampilan musikalisasi puisi dengan judul Ibu Pertiwi oleh Teater
Dokumen UWMY. (foto : kiem)
- 132 - Model Pendidikan Karakter
Hadjar Dewantara yang kami gunakan sebagai slogan / pedoman kami dalam
proses berkarya. Dalam ajaran Ki Hadjar Dewantara tersebut ( Niteni , Niroke
, Nambahi ) mengandung makna atau pesan bahwa “ kebudayaan mengikuti
perkembangan zaman “.
Neng ( meneng / diam ) , Ning ( wening / jernih ) , Nung ( hanung / kokoh ) ,
Nang ( menang / sejahtera ) metode yang kami pakai dalam menyelesaikan
masalah proses berkarya kami. Lumbung Artema mempunyai fokus kegiatan
di bidang teater , sastra ( puisi , geguritan ) , musik ( musikalisasi puisi ,
gamelan pengiring , gamelan concert ) dan art organizer.
• Gamelan kontemporer dalam acara “ Bhiennale Anak “ di Taman Budaya
Yogyakarta tanggal 22 Januari 2010.
• Penata – Pengiring Musik ( gamelan ) kethoprak “ Opera Sutawijaya “
teater Jubah Macan SMA N 3 Yogyakarta di Concert Hall Taman Budaya
Yogyakarta tanggal 9 dan 10 April 2010.
• Gamelan kontemporer tanggal di Pendopo Tamansiswa, penyambutan
tamu siswa-siswi SMA DIY-JATENG tanggal 19 April 2010.
• Gamelan kontemporer + puisi dalam acara “ Malam Penganugrahan
Festival Teater Remaja 2010 “ di Fakultas Seni Pertunjukkan Jurusan
Teater Kampus ISI Yogyakarta tanggal 1 Mei 2010.
• Gamelan kontemporer + puisi dalam acara “ Pentas Seni HUT 88 tahun
Tamansiswa “ di Pendopo Agung Tamansiswa tanggal 18 Juli 2010.
• Gamelan kontemporer dalam acara “ Hari Anak Nasional “ Dinas
Pendidikan Kota Yogyakarta di Taman Pintar tanggal 28 Juli 2010.
• Penata – Pengiring Musik ( gamelan ) pargelaran Wayang Kartun “ Tiba-
tiba Banjir “ di Taman Pintar Yogyakarta , tanggal 12 November 2010.
• Penata – Pengiring Musik ( gamelan ) pargelaran Wayang Republik “Jogja
Istimewa “ dalam acara Pengukuhan Yogyakarta sebagai Kota Republik di
Pagelaran Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat tanggal 4 Januari 2011.
• Penata – Pengiring Musik ( gamelan ) pargelaran Wayang Republik “Jogja
Istimewa“ dalam acara Diskusi tentang Keistimewaan DIY di Pendopo
Bangsal Kepatihan Daerah Istimewa Yogyakarta tanggal 11 Januari 2011.
Budaya Masuk Kampus - 139 -
Gambar 18. Penampilan Lumbung Artema dalam Pentas Seni Lintas Agama dan
Keyakinan, Pekan Budaya Masuk Kampus 2011, 30 Juni 2011.. (foto :
kiem)
Dalam Pekan Budaya Masuk Kampus 2011 di Universitas Widya Mataram
Yogyakarta, Lumbung Artema menampilkan pertunjukkan Gamelan
Kontemporer yang menggabungkan alat tradisional ( gamelan ) dan alat
modern ( drum, gitar, bass ). Meskipun gamelan merupakan warisan nenek
- 140 - Model Pendidikan Karakter
moyang bangsa ini tapi gamelan tidak familiar di kalangan anak muda jaman
sekarang karena gamelan mungkin dianggap sesuatu yang kuno/tidak
menarik. Di kalangan anak muda jaman sekarang gamelan dianggap hanya
milik orang tua yang menampilkan alunan musik pelan yang bikin ngantuk.
Oleh karena itu Lumbung Artema membentuk kelompok musik gamelan
kontemporer yang memadukan gamelan dan alat modern dalam setiap
petunjukkan dengan harapkan gamelan nantinya bisa disukai anak – anak
muda jaman sekarang. Lumbung artema mencoba untuk menunjukkan ke
kalangan anak muda kalau gamelan iramanya tidak selalu pelan, gamelan
bisa kita garap dengan nada cepat seperti rock, reagge, SKA, hip hop, disco.
7. Dewasa/umum
¾ Wayang wong
Penyelenggaraan Pagelaran Wayang Wong Gagrak Ngayogyakarta
merupakan kerjasama antara Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota
Yogyakarta dengan Panitia Pekan Budaya Masuk Kampus UWMY.
Penyelenggaraan yang berlangsung selama 3 (tiga) malam di Pendopo
Agung nDalem Mangkubumen Universitas Widya Mataram Yogyakarta pada
tanggal 27-29 Juni 2011 dengan mementaskan 6 (enam) kelompok/sanggar
wayang wong di Kota Yogyakarta merupakan salah satu upaya konservasi
seni tradisi wayang wong gaya Yogyakarta yang akhir-akhir ini sudah jarang
dipentaskan untuk umum. Salah seorang pengunjung/penonton Kaneko
Poetro yang selalu menyaksikan setiap gelaran budaya di Pendopo Agung
nDalem Mangkubumen menyebutkan bahwa pagelaran ini adalah yang
pertama kali diselenggarakan sejak tahun pertengahan tahun 1960-an.
DI sanggar tari menyelenggarakan program pendidikan keterampilan menari
sekaligus mengandung pendidikan nilai-nilai budaya Jawa. Setelah mengikuti
program pendidikan berupa kegiatan pelatihan (kursus) tari, siswa diharapkan
mampu terampil dan luwes dalam menari sesuai dengan iringan dan karakter
tari yang dibawakan. Lebih dari itu siswa diharapkan mampu
mengembangkannya, baik sebagai penari maupun pengajar tari. Program
pendidikan dibagi menjadi beberapa kelas yang dibedakan menjadi tari putra
dan putri. Pembelajaran tari yang ditempuh selama tiga tahun melalui
pentahapan yaitu, tahap dasar, tahap terampil, dan tahap mahir.
Pendidikan kesenian sangat penting sebagai pembentuk watak dan mental
anak. Pendidikan dan pengalaman tari memberikan manfaat secara pribadi,
sosial, kebudayaan, maupun kreativitas. Seni tari seperti cabang seni lainnya,
memberikan kesenangan dan kegembiraan pada pelakunya. Gerakan tari
dilakukan oleh seluruh tubuh secara intelektual, emosional, dan fisikal, tari
merupakan sarana yang ideal untuk menumbuhkan kesadaran diri,
perkembangan diri, dan rasa percaya diri pada anak-anak. (Sal Murgiyanto,
2004).
- 142 - Model Pendidikan Karakter
Gambar 19. Cantrik dalam lakon Ciptoning Mintaraga oleh Paguyuban Tari Retno Aji
Mataram yang diperankan anak-anak usia 10-12 tahun. (foto : kiem)
Pesan Moral. Pemimpin tidak boleh segan mendengarkan
nasihat atau aspirasi masyarakat jika memang memiliki
kebenaran. Namun sebaliknya, jika pemimpin menghilangkan
peran masyarakat hingga tak mau lagi untuk sekedar
mendengar uneg-unegnya, tinggal menunggu masa
kehancuran itu tiba. Sebab sesungguhya pemimpin merupakan
pengejawantahan amanat rakyat.
2. Yayasan Siswa Among Beksa Yogyakarta.
Sanggar tari dan karawitan yang berdiri sejak tahun 1952 saat ini dipimpin
oleh KRT Pujaningrat (Romo Dinusatomo). Pada pagelaran tersebut,
Yayasan Siswa Among Beksa mementaskan lakon Sri Tumurun yang
merupakan naskah karya KRT. Wiraningrat.
Dikisahkan, sang Hyang Btara Guru memerintahkan pada Btara Narada
menemui Btara Wisnu untuk menyampaikan pesan bahwa Btara Wisnu harus
dipenjara karena telah berbuat Sedeng Nyidra Asmara dengan Dewi Sri
Budaya Masuk Kampus - 145 -
Gambar 20. Sanggar Tari Yayasan Siswa Among Beksa tampil dalam lakon Sri
Tumurun di nDalem Mangkubumen-UWMY. (foto : Rio)
Pesan Moral. Kebenaran harus ditegakkan apapun resiko dan
pengorbanannya. Pesan moral ini sejalan dengan prinsip
- 146 - Model Pendidikan Karakter
Gambar 21. Lakon Aji Tjandra Bhirawa yang dimainkan oleh Sanggar Seni Irama
Tjitra Yogyakarta dalam Pekan Budaya Masuk kampus 2011. (foto :
Rio)
Dewi Setyawati bersedih, gara-gara orang tuanya yang berwajah raksasa,
pujaan hatinya tidak mau meminang dirinya. Bagaspati mengetahui
kesedihan putrinya. Oleh karenanya ia rela mengorbankan dirinya demi
kebahagiaan putrinya terkasih. Maka diberikannya hidupnya dan sekaligus
mantra sakti aji Candrabirawa kepada Narasoma asalkan Narasoma mau
menyunting putrinya.
- 148 - Model Pendidikan Karakter
Indra tidak ubahnya lemparan daun-daun kering dari anak-anak, kobaran api
Bthara Brahma hanya menjadi menjadi mainan saja.
Bthara Narada memberikan pendapat bahwa di Ngarcapada terdapat bayi
yang mempunyai kelebihan dan tidak dapat dipotong ariari pusarnya. Bayi
tersebut diharapkan bisa dijadikan andalan/jago para Dewa. Bthara Guru
merapal mantra dan melihat Kaca Trenggana, diperoleh keterangan bahwa
yang bisa mengalahkan Naga Pracona hanyalah Jabang Tutuka anak Bima
yang baru lahir. Selanjutnya Bthara Guru memerintahkan Bthara Narada
untuk memberikan senjata darinya yang bernama panah Konta Wijayadanu
kepada Arjuna untuk memotong ari-ari Jabang Tutuka dengan imbalan bayi
tersebut harus menjadi panglima perang mengahadapi Naga Pracona.
Raden Gatotkaca diangkat menjadi putra Bthara Guru dengan julukan Guru
Putra.
Pesan Moral. Manusia yang lahir ke dunia hendaknya bisa berguna
bagi orang lain, idealnya dari mulai menghirup nafas di bumi ini
hingga akhir hayatnya bisa berguna bagi orang lain. Kelahiran anak
sudah pasti menjadi kebanggaan dari orangtua, apalagi jika sang
anak benar-benar bisa berguna dan berjasa bagi sesama. Untuk
mencapai keberhasilan jangan segan-segan menempa kemampuan
anak sesuai dengan batas kemampuan anak tersebut, sehingga
bisa memaksimalkan seluruh bakat dan kemampuannya yang
terpendam, disamping itu tempaan yang diterima oleh anak akan
menjadikannya kuat, tabah dan dewasa dalam berfikir dan
bertindak. Selain itu jika memegang amanat handaklah bisa
dipercaya dan tepat memberikannya kepada tujuan yang benar,
jangan sampai salah menyampaikan amanat dikarenakan akan
menimbulkan malapetaka diakhir kemudian. Seluruh perjuangan
pasti membutuhkan pengorbanan.
5. Guntur Mataram Jakarta.
Sanggar Tari Guntur Mataram adalah sanggar tari yang dibentuk di Jakarta
oleh para alumnus sangar seni tari-karawitan yang saat ini mencari nafkah di
Jakarta. Untuk nguri-uri kabudayan serta sebagai penyaluran hobi, minat,
serta bakat mereka membentuk kelompok seni tari-karawitan yang rutin
berlatih. Pada pagelaran Wayang Wong gagrak Yogyakarta mereka
menampilkan beksan dengan lakon Anggodo-Antareja. Beksan ini
merupakan cuplikan dari sekuel Anggodo Duta.
6. Paguyuban Kesenian Suryo Kencono Yogyakarta.
Sebagai salah satu sanggar tari-karawitan yang masih eksis di Yogyakarta,
Paguyuban Suryo Kencono menampilkan lakon Palguna-Palgunadi yang
merupakan naskah karya RM. Sagitama. S.Sn dengan pimpinan produksi R.
Ay. Nurul Maliki.
Budaya Masuk Kampus - 151 -
Lakon ini termasuk lakon pakem yang popular, menceritakan tentang usaha
Prabu Palgunadi alias Bambang Ekalaya untuk dapat berguru pada Begawan
Durna.
Suatu hari ketika Bambang Ekalaya sedang berlatih memanah, seekor anjing
berburu menggonggonginya. Karena dianggap mengganggu, diambilnya
tujuh buah anak panah, dipasangnya pada busurnya, dan dengan sekali
bidik, ketujuh anak panah itu melesat lalu menancap tepat ke moncong anjing
itu. Tidak lama kemudian, datanglah pemilik anjing itu. la ternyata Arjuna.
Waktu itu Arjuna memang sedang berburu ditemani anjingnya. Ketika melihat
anjingnya mati dengan tujuh buah anak panah menancap sekaligus di
moncongnya, ia sangat marah.
Gambar 23. Perang tanding Bambang Ekalaya melawan Arjuna dalam lakon
Palguna-Palgunadi yang dimainkan oleh Paguyuban Kesenian Suryo
Kencono, 29 Juni 2011. (foto : kiem)
Namun, selain marah Arjuna juga merasa keahliannya memanah kini tersaing
oleh seseorang. Sebagai orang yang selama ini dikenal paling ahli memanah.
Arjuna tidak sanggup membidik sasaran dengan sekaligus tujuh buah anak
panah seperti yang dilakukan oleh pembunuh anjingnya. Karena itu dengan
- 152 - Model Pendidikan Karakter
hati amat penasaran Arjuna mencari orang itu. Setelah berjumpa dengan
orang, yang ternyata tampan nggak kalah darinya, Arjuna mendapat
keterangan bahwa si Pemanah bernama Ekalaya dari negeri Nisada.
Palgunadi memiliki istri yang cantik jelita bernama Dewi Anggraini.
Cinta berjuta rasa selaksa warna, karena cinta orang yang semula jahat bisa
menjadi baik, begitupun karena cinta seorang ksatria utama tega bisa
menghalakan segala cara untuk mendapatkan cintanya. Secara kebetulan
suatu saat Arjuna berjumpa dengan Dewi Anggraini, istri Prabu Palgunadi.
Melihat kecantikannya, Arjuna jatuh cinta, tetapi wanita cantik itu ternyata
tidak melayani rayuan Arjuna. Ketika Arjuna mengejar-ngejar Dewi Anggraini,
perbuatannya dipergoki oleh Aswatama, putra Begawan Durna. Aswatama
menegur Arjuna, tetapi ksatrja tampan itu tidak peduli, dan mereka pun
berkelahi.
Kesempatan itu digunakan Anggraini untuk lari pulang ke Kerajaan
Paranggelung dan mengadukan perbuatan Arjuna terhadap dirinya. Namun,
Palgunadi tidak percaya. Sepengetahuannya Arjuna adalah ksatria utama,
tidak mungkin melakukan perbuatan nista seperti yang dilaporkan istrinya.
Palgunadi bahkan menuduh Anggraini sengaja mengadu-adu dirinya agar
bermusuhan dengan Arjuna, dan bilamana ia mati - akan ada alasan bagi
Anggraini untuk bisa diperistri Arjuna. Prasangka buruk Palgunadi kepada
Anggraini ini akhirnya lenyap setelah Aswatama datang dan membenarkan
pengaduan istri Palgunadi itu.
Karena sudah jelas persoalannya, Palgunadi lalu mendatangi Arjuna dan
menantangnya. Tantangan ini dilayani, walaupun sebenarnya hati kecil
Arjuna merasa bersalah. Palgunadi alias Ekalaya akhirnya gugur dalam
perang tanding itu. Kekalahan Pagunadi tidak terlepas dari peran Begawan
Durna untuk memotong jempolnya sebagai bentuk bakti seorang murid
kepada gurunya, meskipun Bambang Ekalaya tidak pernah berguru pada
Begawan Durna. Dengan hilangnya satu jari tersebut, kemahiran memanah
Palgunadi menjadi berkurang sehingga dapat dikalahkan oleh Arjuna.
Budaya Masuk Kampus - 153 -
Pada pentas seni ini, hanya Lumbung Artema dan Komplek Q Ponpes al-
Mounawwir yang bisa hadir, sementara dua grup lainnya dengan alasan yang
tidak bisa ditinggalkan mundur menjelang acara pementasan dimulai.
Hadroh Komplek Q al-Mounawwir dengan nama Tsamrotul Muna lahir dari
pemikiran para santri- santri sejak adanya program dari bidang Bakat dan
Minat yang sekarang bernama PSDM (pengembangan Sumberdaya Manusia
) yang bertugas menggali, menampung dan memvasilitasi bakat dan minat
yang di miliki para santri, salah satunya di bidang seni sholawat dan Hadroh.
Awalnya group ini mengusung lagu kosidah, seiring berjalannya waktu
menjadi sholawat qudsiyah dan sekarang mulai mencoba membuat inovasi-
inovasi baru.
personil sampai pada format sekarang yaitu 3 (tiga) pada vokal dan 6 (enam)
orang pada alat.
Berawal dari sebatas perkumpulan anak- anak yang gemar terhadap musik
hadroh sampai akhirnya membentuk sebuah grup yang diberi nama
Tsamrotul Muna dengan bimbingan seorang pelatih. Step by step
berkembang mulai berani mengisi tiap acara intern pondok, sampai akhirnya
berani keluar mencoba mengikuti berbagai event lomba dan menerima
berbagai undangan manggung. Beberapa prestasi yang telah diraih
Tsamrotul Muna diantaranya Juara I se- DIY thn 2009, Juara III se- DIY
tahun 2010, Juara I se- DIY tahun 2011 Lomba Hadroh tingkat Prop. DI
Yogyakarta.
Selain bertujuan melestarikan seni musik pesantren, ada juga hal lain yang
ingin disampaikan pada para sntri generasi muda tentunya bahwa kita
memiliki seni bermusik tradisi islami sebagai sarana kita bersholawat serta
media dakwah. Sukur-sukur jika khazanah musik rebana atau hadroh ini
mampu merambah ke dunia luar tidak hanya ramai di kalangan pesantren
saja.
8. Seminar Budaya
Seminar Kebudayaan dengan tema Reinterpretasi-rekonstruksi Budaya
Konstruktif yang menghadirkan penulis novel Cerita Wayang Pitoyo Amrih
dengan memaparkan makalah dengan judul Wayang Membangun Budaya
Konstruktif Bangsa. Rencananya dalam seminar menghadirkan Octo Lampito
(pimred KR) dan Kingkin Teja Angkasa (antropolog Kolese de-Britto), namun
adanya urusan mendadak yang tidak bisa ditinggalkan, kedua pemakalah
tersebut berhalangan hadir. Acara seminar budaya yang dipandu oleh
moderator AB Widyanta (sosiolog muda lulusan UGM) berlangsung pada
tanggal 28 Juni 2011 di Gedung Nehru.
Pitoyo Amrih dilahirkan di Semarang pada tanggal 13 Mei 1970.
Menyelesaikan pendidikan sarjana Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung
pada tahun 1993, kemudian sempat hidup di Jakarta, Pekanbaru, dan saat ini
- 156 - Model Pendidikan Karakter
Gambar 25. Diskusi Budaya dengan tema: Reinterpretasi dan Rekonstruksi Budaya
Konstruktif, di Gedung Nehru UWMY 28 Juni 2011. (foto : kiem)
Pitoyo Amrih memulai pemaparan tentang definisi wayang kemudian
melompat mencoba memahami arti terminologi “Budaya Konstruktif Bangsa”.
Dalam hal ini Pitoyo Amrih mencoba menyamakan persepsi akan arti sebuah
nilai. Nilai yang dalam ranah individu selalu dikonotasikan pada paradigma
atau persepsi seseorang yang sebuah kebenaran. Sebuah kondisi “yang
seharusnya” bagi setiap orang adalah “Nilai” yang dimiliki orang tersebut.
Sehingga kemudian nilai dapat coba kita tarik definisinya berupa :
• Nilai Pribadi, yaitu konsensus akan sebuah benar dan salah dari masing-
masing pribadi manusia.
• Nilai Etika, Hukum, atau Norma masyarakat, dimana konsensus tersebut
bisa terdefinisi secara kolektif sehigga membentuk benar-salah bagi
sebuah kelompok, baik skala beberapa individu, maupun kelompok
masyarakat yang kemudian membentuk bangsa.
• Nilai Agama. Peserta diskusi di ajak untuk sedikit membuat garis pemisah
antara agama yang memiliki sifat mutlak karena merupakan wahyu Ilahi,
- 158 - Model Pendidikan Karakter
runtut melalui proses berpikir yang kritis, analitis, obyektif, dan berdayaguna
di dalam menyikapi setiap dinamika perubahan di masyarakat.
Begitupun, pelaksanaan pendidikan karakter di civitas akademika
UWMY hingga saat ini masih terus dijalankan dengan memperhatikan aspek
sosio-kultural-intelektual yang ada di dalamnya. Upaya ini memerlukan
kerjasama antara mahasiswa dengan seluruh civitas akademika yang ada
dan juga rentangan tangan bersama dari masyarakat.
Mengenai pelaksanaan pendidikan karakter selama ini di UWMY,
Retno Kusumawiranti (dosen jur. Administrasi Negara Fisip UWMY)
memberikan gambaran adanya beberapa mata kuliah yang mengajarkan
etika yang diharapkan bisa mengembangkan soft skill mahasiswa, seperti
Etika Adminitrasi Publik, praktikum dan seminar, filsafat budaya mataram.
Dengan kurikulum praktikum dan seminar akan memperkecil terjadinya
praktik plagiasi atau penyontekan, karena ada proses pembimbingan,
presentasi penguasaan materi dan masukan untuk revisi dari dosen atau
audien yang lain. Ini merupakan upaya penanaman budaya akademik yang
jujur dan sportif melalui kurikulum. Diharapkan upaya ini sebagai pencegahan
terjadinya plagiasi.
Kurikulum disusun tidak semata memenuhi kebutuhan pasar kerja,
tetapi juga bisa menggali potensi mahasiswa, ketika potensi itu diberikan
ruang untuk diekspresikan, maka mereka akan leluasa menyalurkan bakat
dan minatnya. Jadi kurikulum harus bisa mewadahi potensi mahasiswa
sekaligus membentuk karakter yang baik bagi mahasiswa.
Mengukurnya memang sulit apakah kurikulum tersebut sudah bisa
menghasilkan karakter mahsiswa yang baik atau belum, namun setidaknya
proses pembentukan kejujuran bisa terlihat pada hasil akhir pembelajaran,
yaitu skripsi. Skripsi adalah cermin diri dan cermin intelektualitas mahasiswa.
Di UWMY, dengan rasion dosen:mahasiswa setiap dosen bisa mengenal
betul masing-masing mahasiswa, karena jumlahnya tidak terlalu banyak,
rasio mahasiswa dan dosen rata-rata adalah sebagai berikut :
- 160 - Model Pendidikan Karakter
(Wolff, 2009), ii). Budaya dan seni tradisi merupakan bagian integral dari
kehidupan sosio-kultural-religius masyarakat. (Pilliang, 2005), iii). Tradisi
merupakan akar perkembangan kebudayaan yang memberi ciri khas identitas
atau keperibadian suatu bangsa seni tradisi menyediakan bahan baku yang
melimpah. (Mugiyanto, 2004).
Jika kebudayaan dirumuskan sebagai gejala apa yang dipikirkan,
maka seni merupakan unsur yang amat penting yang memberikan wajah
manusiawi, unsur-unsur keindahan, keselarasan, keseimbangan, perspektif,
irama, harmoni, proporsi dan sublimasi pengalaman manusia, pada
kebudayaan. Tanpa nilai-nilai maka manusia akan jatuh menjadi binatang
ekonomi atau kekuasaan belaka. (Lubis, 1992)
Religius, kejujuran, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif , mandiri,
demokratis, rasa keingintahuan, komunikasi, menghargai prestasi, cinta
damai, rasa keadilan, tanggungjawab, peduli lingkungan, peduli sosial,
semangat kebangsaan dan cinta tanah air adalah karakter postif sebuah
bangsa. Agama dan budaya merupakan dua pondasi karakter bangsa.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu,
kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran
agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun
didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan
itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan
pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama. Selain dari agama,
bahwasannya tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak
didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya
itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti
dalam komunikasi antaranggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian
penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber
nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Jejak peradaban suatu bangsa berkembang selaras dengan
perkembangan kebudayaannya. Di dalamnya terdapat perkembangan seni
tradisi, sains, dan teknologi. Inilah semangatnya, mempertahankan budaya
luhur bangsa sendiri sebagai sumber nilai-nilai yang mengatur kehidupan
Epilog - 165 -
berbangsa dan bernegara di tengah-tengah terjangan arus informasi dan
globalisasi yang hampir-hampir tanpa sekat kehidupan dalam tatanan
kehidupan dunia internasional.
Universitas Widya Mataram Yogyakarta (UWMY) masih harus banyak
berbenah dalam penyelenggaraan Pekan Budaya Masuk Kampus yang
merupakan salah satu puncak penyelenggaraan pendidikan karakter di civitas
akademika UWMY didalam memperkenalkan, melestarikan, serta
mengembangkan budaya di masyarakat, seni tradisi salah satunya.
Sebagai sebuah kegiatan multi-event yang baru pertama kali
diselenggarakan, tentulah PBMK 2011 masih banyak kekurangan. Konsep
penyelenggaraan PBMK adalah menyediakan ruang publik berkreasi dan
berkesenian bagi masyarakat luas dari berbagai jenjang usia, latar belakang
budaya, adat istiadat, pendidikan, sehingga masyarakat diberikan
kesempatan yang leluasa untuk menampilkan kreativitasnya di Pendopo
Agung nDalem Mangkubumen.
Secara khusus dalam kata sambutannya Sri Sultan Hamengkubuwana
X selaku Gubernur Propinsi DI Yogyakarta memberikan penekanan dari
pelaksanaan Pekan Budaya Masuk Kampus kaitannya dengan pendidikan
dan pembentukan karakter sebagai berikut:
“...Apabila kita simak bersama, dampak paling menonjol yang terjadi
di era globalisasi sekarang ini adalah terjadinya akselerasi teknologi
dan informasi yang secara luar biasa telah berhasil menembus
batas-batas fisik yang sebelumnya sulit untuk kita bayangkan akan
terjadi. Adanya perubahan ini secara langsung maupun tidak
langsung akan melahirkan terjadinya pergeseran peran dan fungsi
dari masyarakat, yang membuahkan tantangan baru bagi kita.
Arus komunikasi kapitalis yang diperkuat dengan mekanisme pasar
yang serba cepat telah memasuki celah kehidupan kita, sehingga
perlu diimbangi dengan komunikasi budaya yang lebih
mengedepankan pada nilai-nilai luhur budaya bangsa dan
kemanusiaan kita sendiri. Itu jualah yang kemudian menjadi
- 166 - – Model Pendidikan Karakter
Gay, L.R. 1982. Educational Reseach: Competencies for Analysis & Application.
A Bell & Howell Company. Colombus.
Giddens, Anthony. 1989. Sociology. Polity Press. Cambridge.
Giddens, Anthony. et.al. 2008. La sociologie. Historie et idees. (Terjemahan)
Kreasi Wacana. Yogyakarta.
Horton, Paul B dan Chester L. Hunt. 1996. Sosiologi. I & II. Erlangga. Jakarta.
Hurlock, Elizabeth B. 1999. Developmental Psychology atau Psikologi
Perkembangan. (terjemahan). Erlangga. Jakarta.
Ihromi, T.O. 1990. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Gramedia. Jakarta.
Kartono, St. 2002. Menembus Pendidikan yang Tergadai. Galang Press.
Yogyakarta.
Khairuddin. 2002. Sosiologi Keluarga. Liberty. Yogyakarta
Kilpatrick,W. 1992. “Why Johny Can’t Tell Right From Wrong.” Simon &
Schuster, Inc. New York.
Koentjaraningrat. 1991. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
___________. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi (cetakan kedelapan). Rineka
Cipta. Jakarta.
___________. 2002. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
___________. 2003. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Jakarta.
___________. 2004. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan.
Jakarta.
Koesoema, Doni. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman
Global. Grasindo. Jakarta.
______________. 2009. Pendidikan Karakter Di Zaman Keblinger,
Mengembangkan Visi Guru Sebagai Pelaku Perubahan Dan Pendidik
Karakter Jakarta: PT.Grasindo.
______________. 2007. Tiga Matra Pendidikan, BASIS, Edisi Juli-Agustus 2007.
Kusumohamodjojo, Budiono. 2000, Kebhinekaan Masyarakat Indonesia,
Grasindo. Jakarta
Daftar Pustaka - 171 -
Lickona, T. 1992. Educating for Character, How Our Schools Can Teach
Respect and Responsibility. Bantam Books. New York.
Lickona, T., Schaps, E., & Lewis, C. 2003. CEP’s Eleven Principles of Effective
Character Education. Character Education Partnership. Washington, DC.
Linton, R. 1945. The Cultural Background of Personality. Appleton. New York.
Mochtar Lubis, 1992. Budaya, Masyarakat dan Manusia Indonesia. Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta
___________.1997. Manusia Indonesia: Sebuah Pertangungjawaban. Idayu
Press. Jakarta
Masinambow, E.K.M., (Ed). 2003. Hukum dan Kemajemukan Budaya. Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta.
Muhammad Ar. 2003., Pendidikan di Alaf Baru: Rekonstruksi atas Moralitas
Pendidikan. Prismasophie. Yogyakarta.
Murgiyanto, Sal. 2004. Tradisi dan Inovasi: Beberapa Masalah Tari di Indonesia.
Wedatama Widya Sastra. Jakarta.
Nasikun, J. 2004. Sistem Sosial di Indonesia. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Parsons, Talcot, and Shils, Edward A. (Eds). 1951. Towards a General Theory of
Action. Harvard University Press. Cambridge, Mass.
Piliang, Yasraf Amir. 2005. Penguatan Seni Pertunjukan Tradisi dalam Era
Merkantilisme Budaya (dalam Seni Pertunjukan Indonesia: Menimbang
Pedekatan Emik). STSI Surakarta, Surakarta
Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan; dalam Perspektif
Antropologi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Reading, Hugo. F. 1986. Kamus Ilmu-ilmu Sosial. Rajawali Pers. Jakarta.
Ritzer, George. 1992. Sociology Theory. McGraw-Hill. New York.
___________. 2002. Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda. Raja Grafindo.
Jakarta.
___________. 2004. Teori Sosiologi Modern. (Terjemahan). Pernada Media.
Jakarta.
Setya Yuwana Sudikan, 2001, Metode Penelitian Kebudayaan. Citra Wacana.
Surabaya
Sarwono, S. W. 2001. Psikologi Sosial – Psikologi Kelompok dan Psikologi
Terapan. Balai Pustaka. Jakarta.
- 172 - – Daftar Pustaka
Websites:
• http://tembi.org/wayang/20110311-Salya.htm
• http://www.tembi.org/ensiklopedi/20090616/index.htm
• http://www.civsoc.com/nature/nature1.html: Civic Culture
• http://www.big.com/character education
• http://pendikar.dikti.go.id/gdp/
• http://duniawayang.pitoyo.com
Daftar Pustaka - 173 -
lain-lain :
(peraturan perundang-undangan, makalah, jurnal, publikasi media)
Judul : Ajisaka.
Dumadining Aksara Jawa
Penulis : Bambang Tembong
Oleh : Kelompok Kethoprak Anak Siwi Budaya
SD N Totogan Samigaluh Kulonprogo
Para Pemain
• Ajisaka : Fuad Nur Ikhsan
• Dora : Yordan Hermawan Widodo
• Sembada : Adi Prastyo
• Prabu Dewata Cengkar : Agung Mahastri Pranoto
• Patih Jugul Mudha : Lutfi Mustofa
• Wadya Butha : Eko Setyobudi
Ridho Pangestu
Yongki Kurniawan
Bagas Seto Ardhanu
Agus Fajar Setiono
Monika Anggi Septiani
• Pak Rono : Sinto Nuswantoro
• Mbok Rono : Sri Suhartati
• Kemuning : Efri Wulandari
/Sembada
Mbok Rono : Uwis ta pak, aja dipikir jero-jero. Aku saguh dadi srah-srahan, ben
aku sing dimangsa Dewata Cengkar. Sampean nerusake urip
bebarengan karo anak wedok, aku ikhlas dadi korban ngrungkebi
kulawarga.
Pak Rono : Mbokne. Aja seru-seru nggonmu omong. Mundhak keprungu
baguse Ajisaka kang saiki lagi mertamu lang ngaso ana omahe
dhewe kene. Mbokne, aku jejering wong lanang kudu tanggung
jawab marang kulawarga, mula iklasna aku dadi mangsane
Dewata Cengkar. Dudu kowe. (Ajisaka ngrungoke rembugane
kulawargane pak Rono kanthi sesingidan neng buri kori...)
Mbok Rono : Aku wae pak
Pak Rono : Aku wae mbokne
Mbok Rono : Aku
Pak Rono : Aku
Kemuning : Aku wae, minangka anakipun Bapak lan Simbok, manah kula
kagigah. Panjenengan ingkang ngukir jiwa raga, kinarya
lantaraning Pengeran nyipta badan kula, milo boten nama lepat
menawi kula bela pati dhateng bapak lan simbok, awit sapengker
kula badhe nilar ganda arum, mugi kula kalebet bocah ingkang
saged mikul dhuwur mendhem jero. Mila simbok lan bapak kula
suwun iklasing penggalih, Simbok, bapak, sedaya lepat nyuwun
pangapunten. Kepareng nyuwun pamit.
Pak Rono : Aja ndhuk ! (swasana kaget, nyaketi Kemuning)
/Mbok Rono
Ajisaka : Aja kowe kemuning. Pak Rono, Mbok Rono, lan kowe Kemuning,
kula sampun midhanget sedaya pengandikanipun panjenengan.
Ing batos tuwuh raos eklas, dhateng para kawula ing kukuban
Medhang Kamolan, ingakng kedah tansah caos srah-srahan
dhateng Prabu Dewata Cengkar kanthi gilir-gumanti. Menawi
kalantur-lantur mekaten badhe telas Kewula Medhang Kamolan.
Pramila kepareng kula ingkang badhe nrenggalani kridhanipun
Lampiran - 179 -
Dewata Cengkar. Murid ical panandhanging kawula Medhang
Kamolan, sepira kadigdayane Dewata Cengkar, tandingana
Ajisaka
Kocapa... Prabu Dewata Cengkar amiwiti gelar serbanira Dyan Ajisaka. Lon-
lonan serban kagelar lampahira mundur. Eloking kahanan serban kagelar
saya wiar, saya wiar, Prabu Dewata Cengkar saya mundur, saya mundur,
wiyaring serban datan saged ingukur bebasan tanpa wates. Cinarita, rikala
semanten Prabu Dewata Cengkar nngenira gelar serban datan rinaos
sampun dumugi pinggiring segara Kidul, noya-nayu baskara titimangsa.
Tanggap dyan Ajisaka, sanalika pucuking serban kang cinepeng Dyan
Ajisaka sigra lepasaken sarbi kaseblakaken, sanalika Prabu Dewata
Cengkar jrebabah ing Samodra Alun segunung-gunung. Kaelokaning jagat,
Prabu Dewata Cengkar salah kedaden dadya Bajul Seta.
- 180 - Lampiran
Iringan seseg... suwuk. keris ingkang tumancep ing padharane Dora, kalolos
katamakaken ing padharanipun Sembada. Kekalihira sirna sesarengan praptane
Ajisaka.
Ajisaka :
Wadhuh... jebul kaya ngene dadine. Mula sapungkure Paman Dora atiku melang-
melang, kaya ninggal bayi, sapinggiring waton, banjur kemudu-kudu aku nusul
mrene. Paman Dora lan Paman Sembada, kowe sakloron ora luput. Ingkang luput
aku, awit jenengsira amung nuhoni dhawuhku. Jejering utusan sira setya tuhu
marang ingkang ngutus. Mula minangka pepeling sedamu, aku bakal ngripta aksara
Jawa ing tembe isa meinangka tuladha
Sepisan HA NA CA RA KA tegese ana utusan
Kaping loro DA TA SA WA LA tegese datan swala
Kaping telu PA DHA JA YA NYA tegese tetandhingan pada sektine
Kaping papat MA GA BA THA NGA tegese nya punarpane, kanyata
kekalihira samyuh
TANCEP KAYON
Lampiran - 183 -
Lampiran 2. Tata Lampah | Pethilan Ringgit Tiyang
Pusat Olah Seni Retno Aji Mataram Yogyakarta
========================================
I
PRATAPAN NGINDRAKILA
> Lagon Wetah Slendro sanga
Lumaksita anaraga, Risang winyanging beksa, trapsilastaweng byantara, Ae ana,
Tajem tumaneming driya, mananti wedharing kandha, o.
-- Kandha --
Sebetbyar wauta, hanenggih ingkang rinengging gupita, lelangen pethilan ringgit
tiyang karipto dening pakempalan Pusat Olah Seni Retno Aji Mataram, pethikan
saking carios Mahabarata, lampahan Ciptoning Mintaraga. Wauta, cinekak lajering
carita, kocap ing madyaning pratapan Ngidrakila, Sang Begawan Suciptohening
Mintaraga, inggih sang Resi Mintaraga ingkan gentur kasutapanira, samana lagya
mudhar semadinira, kaadhep para cantrik menguyu jejanggan. Kang para cantrik
caluthangan solahira.
> Gendhing : Ladrang Cluthang, Laras Slendro pathet sanga
> Gendhing Suwuk.
- 184 - Lampiran
Pocapan :
Mamangmurka
Togog
Togog
Kawula nuwun mas Tumenggung
BegawanSuciptahening, parandene
gedhe perbawane, yen kaya
mangkono Gog, aku ndak ngaturake
apa kang dadi kersane Ratu Gustiku
Inggih, ingkang ngatos-atos
> Gangsa Gesang
(Mamangmurka pendhapan, jengkeng, sila)
> Suwuk, Ada-ada
Gurura krura mangsah panggah, sigra ditya Mamangmurka, cingak kang sumewo
Pocapan :
Mamangmurka
Kornon, Sang Adi Panembahan.
Sowan kula punika kautus Gusti kula
Prabu Winatakawaca saking negari
- 186 - Lampiran
Pocapan :
Wraha
Mintaraga, ana ngendi kowe, yen
nyata prawira, papagna aku
Mamangmurka. E... Hae!
| Togog, Sarawita mlebet saking tengen, badhe nyaketi Mamangmurka naging ajrih
kepara mlajar |
> Gangsa Suwuk
Pocapan :
Wraha
Kepriye Gog, dene kowe sajak wedi
karo aku, kepara girap-girap lumayu,
aku kena apa Gog
Togog
Lha napa sampeyan mboten krasa,
warni sampeyan santun sipat wraha,
mila kula lan Sarawita sami ajrih
Ah.. apa hiya Gog?
Elho... enggih, sayektos.
Adhuh mati aku
> Tlutur Jugag
Linang tresna prawidyeng lara wiyaga, mari asih karantan kawelas arsa. o.
Pocapan :
Wraha
E... hae, ora talah Mintaraga, banget
gawe wirang marang aku. Saiki kowe
Togog lan Saraita becik padha baliya,
matura Kangjeng Dewaji, yen aku mati
ana kenen
Togog
Nggih langkung prayogi. Yen kados
mekaten, kula bidhal sapunika.
Hiya padha budala
> Gendhing Plajaran
(Kilatawarna, Kelatarupa mabur mengiwa – ical)
> Lajengan :
| Mintaraga saking tengen kontal ngiwa dipun tampani prepat Punakawan – tancep|
> Gangsa Rep, Rambangan Pangkur :
Tiba kantep Resi Tama, Riwe mijil den usap wanti-wanti. Netepaken jejamangipun.
Sigra musthi jemparing pambengkas satru. Den Embat winawas sipat. Sara lumepas
lir thathit.
Lampiran - 189 -
|Salebeting rambangan, Mintaraga muryani busana – abiyantu punakawan – lajeng
ngasta jemparing – Wraha mlebet saking tengen – Kelatawarna, Kelatarupa mabur
ngatutken, ngawat-awati saking pinggir|
> Gendhing nDrawah Plajaran
|Perang tubrukan – Minataraga njemparing – Kilatawarna nyarengi njemparing –
Wraha ambruk – Minatarag lan Kilatawarna, Kelatarupa, cengkah – kotal sareng –
tancep. Semar nubruk Kelatawarna, Kelatarupa. Kelatawarna, Kelatarupa mlajar
nengen – Semar ngoyak, Mintaraga nututi|
> Lajengan :
| Badhar dados Bthara Guru lan Narada dipun oyak Semar, tiga sareng saking kiwa
– Mintaraga nututi saking kiwa kasarengan Hapsari saking tengen sedaya – tancep |
> Gangsa suwuk
> Lagon jugag
Alon tata kang sumewa, ingkang medhar sabdanira, Sang Hyang Jagad Giri Nata. O
Pocapan :
Guru
Hong yang-yang panihanya kita
kakang Ismaya, Tekap kita ing ngarsa
ulun
Semar
Iya dak trima Guru, kowe mbagekake
menyang aku
Narada
O hok, hong yang-yang panihanya kita
kakang Ismaya, tekap kita ing ngarsa
ulun
Iya dak trima Narada, kowe
mabgekake menyang aku. Lha kowe
Guru, teka ana pertapan Ngendrakila,
nganggo salinrupa ngrencana
momonganku Mintaraga, ana karepmu
apa, yen ijih kowe bacutke, olehmu
ngaru biru momonganku, tandhingmu
aku, aja bocah kowe layani.
Dadya kawruhan kita kakang Isamaya,
ulun arsa neter kasudibyane kaki
Mintaraga, semangkin ulun arsa minta
- 190 - Lampiran
II
NGIMANTAKA
-- Kandha --
Wauta sigeg ingkang samya andon lampah, gatya ingkang winursita, kocapa Prabu
Winatakwaca, narendra nagara Ngimantaka, ing mangka wonten pakuwon
Pringgabaya, hakarsa lenggah ing tarub agung wewangunan. Sri Narendra hamiji
para manggalaning praja, yen sinawang Prabu Winatakwaca, ana teka katon
ngumambang galihira.
> Gendhing Ladrang Kumambang, Pelog Barang
| Sembahan gentosan – Winatakwaca majeng gendhing – ndawah ladrang – seseg –
suwuk – Nglana – wangsul Kumambang – tancep |
> Gangsa Rep
Pocapan :
Winatakwaca
Nimas, nimas Supraba, besuk apa
tumeka ing negara Ngimantaka, ndak
gawe tetimbangan mukti Nimas.
nimas, sumawi sun pondhong, sumawi
sun emban, ngger ngger, adhine pun
kakang (gumujeng – nubruk –
- 192 - Lampiran
Pocapan :
Winatakwaca
Patih Bomakendra
Bomakendra
Non Kangjeng Dewaji
Kancanira ing Ngimantaka, apa ora
ana owah tatane
Non Kangjeng Dewaji, kanca-kanca
kula ing Ngimantaka, mboten wonten
ewah tatanipun.
Hiya lega atiku, yen kaya mengkono,
Yayi ratu Halimasa’idah, Kaka Prabu
Hendrakumara, Paman Prabu
Lampiran - 193 -
Gurdhahangkara. Salebeting wonten
pesanggrahan, punapa mboten
wonten kekiranganipun
Raja Telukan (tiga sareng)
Kawulanuwun Kaka, yayi, anak Prabu,
inggih mboten wonten kekiranganipun.
Inggih sokur bage sewu
-- Kandha --
Wauta dereng dangu dennya sami wawan pangandika, katungka sowanira Ki Lurah
Togog, Saraita, drumojog tanpa larapan
Anglir bawaningkang, sinung wadi gawe gelar, nararya mbek sru su dira, pamuk
sang mangrempak, surangga kara, gita umangsah. Ha
| Dumrojog praptanira, Lurah Togog Saraita, cingak sagung kang tumingal. oo |
Pocapan :
Winatakwaca
Iki Togog Sraita, tekamu dumrojog
tanpa larapan, ana wigati apa?
Togog,
Kulanuwun kangjeng Dewaji, kula
enggal nyaosi priksa yeng
Tumenggung Mamangmurka kengaing
walatipun Begawan Mintaraga, salah
kedaden. Dados wraha ageng.
Mara tutugna
Inggih sendika. Awit saking punkia
wau, Mas Tumenggung prasapa,
mboten nedya gesang, yen mboten
saged mocok murdanipun Begawan
Mintaraga. Kula lajeng kapurih
wangsul, matur Kangjeng Dewaji
Punika.
E... hae.., pong corot bangkong
pincang celeng Beles, ora talah
Mintaraga, ora gelem mangestonei
marang aku. Bomakendra, kaka
- 194 - Lampiran
Pocapan :
Jenengsira nimas Supraba, tanpa
kanthi
Inggih Kaka Prabu, marak ulun punika
sumedya pasrah jiwa raga ing
ngarsane kaka Prabu
(Gumujeng). Iya nimas dadi jeneng
sira gelem dadi garwane pun kakang,
mukti ana Ngimantaka
Kaka Prabu, enggih. Lha punika kula
sumedya matur, nanging tan prayogi
Lampiran - 195 -
ywan ngantos kepireng para prepat.
Iya prayoga nimas. Togog lan Saraita,
kowe sumingkira dhisik, aku sumedya
pepanggihan kalawan nimas Supraba
Togog, Saraita
Inggih dhateng sendika
Pocapan :
Winatakwaca
Nimas Dewi Supraba, mara sira
enggal matura
Supraba
Kaka Prabu, reh ulun wus dadya
garwa, keparenga Kaka Prabu
andhawuhke, punapi wewadosane
kaka Prabu ingakng kedah ulun
singkiri
Iya, nimas. Dadiya sumurupmu, jeneng
sira aja leladi dhaharan kang atos-atis
Lha punapi darurane
Mulane mengkono nimas, sebab
kadibyane pun kakang peparingane
Ywang Kalalodra, mapan ana
madyaning telak. Iya iku nimas, pati
uripe pun kakang
Kaka Prabu enggih
> Gangsa Slendro Manyuro
-- Kandha --
Wauta! Sang Resi Mintaraga, hingkang mateg aji panglemunan, wus trewaca
pamirenganira, pundi dununing pejah gesangira Prabu Winatakwaca, nulya hanjebol
ponang gapura, sanalika gapura jugrug, gumebrug swaranira!
> Gangsa Plajaran, Seseg.
- 196 - Lampiran
Perangan :
1. Sambu x Prajurit, prajurit kawon – katutuh Raja Alus – ugi kawon
2. Gareng x Denawa Jim kalih – jim oncat – kasarengan Petruk ngoyak Togog,
Saraita – Gareng nimbung – Togog, Saraita mlajar – Gareng, Petruk ngoyak –
ical.
3. Brama x Raja Gagag – Raja Gagah kawon – katutuh Bomakendra – ugi kawon
4. Keparak mengasah punakawan, ayak-ayak/slepeg
5. Mintaraga x Winatakwaca – Mintarag api-api pejah – Supraba medal _
Winatakwaca ngungrum (nubruk-nubruk) Supraba – Mintaraga namakaken
Pasopati – Winatakwaca pejah.
> Gendhing Gangsaran, Rep
> Galong – Rep
| Prepegan |
Pocapan :
Bthara Guru
Yoga kekasih Permadi, ulun
waspadakke kita bisa ungguling yuda
Permadi
Sang Hywang Pukulun inggih
Ywan kadya mangkana, reh wus
sampating karya, swawi samya kerit
laksitaulun, samya hangasokake
sarisa
Sedaya sareng
Enggih sumawi/inggi dhateng
sumangga
Gendhing Ayak-ayak Slendro Manyura
== TAMAT ==
Lampiran - 197 -
Lampiran 3. Gendhing Penampilan AsokaSwara Dhagsinarga
Gunungkidul
Jaranan
Jaranan jaranan jarane jaran Teji
Sing numpak Mas Ngabehi, sing ngiring para abdi
Jrek jrek nong, jrek jrek gung jrek ejrek turut lurung
Gedebuk krincing gedebuk krincing thok thok gedebuk jedher
Gedebuk krincing gedebuk krincing thok thok gedebuk jedher
Sluku-sluku bathok
Bathoke ela-elo
Si Rama menyang Solo
Oleh-olehe payung mutho
Pak jenthit lolo lo bah
Yen mati ora obah
Yen obah medeni bocah
Yen urip golekko dhuwit
sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat yang telah diterima. Manusia
sendirilah yang akan memperoleh manfaat ibadah yang dilakukannya.
Oleh-oleh payung motha ~ Lailaha Illalah hayyun mauta : dzikir pada
Allah mumpung masih hidup, bertaubat sebelum datangnya maut.
Manusia hidup di alam dunia tidak sekedar memburu kepentingan
duniawi saja, tetapi harus seimbang dengan urusan-urusan ukhrowi.
Kesadaran akan hidup yang kekal di akhirat, menumbuhkan semangat
untuk mencari bekal yang diperlukan.
Mak jentit lolo lobah wong mati ora obah, nek obah medeni bocah, nek
urip golekka dhuwit : Kalau sudah sampai saatnya, mati itu sak jenthitan
selesai, habis itu tidak bergerak. Walau ketika hidup sebagai raja diraja,
sugih banda-bandhu, mukti wibawa, ketika mati tidak ada yang dibawa.
Ketika masih hidup supaya berkarya, giat berusaha.
Demikian, kilas balik rekaman masa kanak-kanak ketika ngaji di surau.
Jethungan, gebak sodor, jamuran dan model-model permainan lainya,
penuh simbol menuju kesadaran beragama. Dengan sarana-prasarana
serta serta fasilitas yang murah-meriah, pesan-pesan moral dapat
terserap di hati masyarakat.
Dakwah keagamaan dalam perkembangannya telah mengalami berbagai
perubahan bentuk cara dan penekanan. Dahulu pemaparan ajaran
agama dititikberatkan pada usaha mengaitkan ajaran-ajarannya dengan
alam metafisika, sehingga surga, neraka, nilai pahala dan beratnya
siksaan mewarnai hampir setiap ajakan keagamaan.
Dalam zaman perkembangan IPTEK sekarang ini aktivitas keagamaan
pada umumnya dimaknai oleh usaha menghubungkan antara ajaran
agama dan pembangunan masyarakat. Ajaran agama diharapkan dapat
mendorong masyarakat untuk lebih berpartisipasi dalam pembangunan
dalam arti luas sambil membentengi penganut-penganutnya dari segala
macam dampak negatif yang mungkin terjadi akibat kemajuan IPTEK,
akibat pembangunan.
Tembang sluku-sluku bathok sekedar contoh bagaimana para mubaligh
tempo dulu menyampaikan pesan-pesan ajaran agama yang dikemas
sedemikian rupa sehingga terkesan di hati. Rupanya, kita masih harus
banyak belajar memilih dan memilah materi dakwah. Kalau tidak,
mungkin diam lebih bermanfaat daripada bicara. (sumber :
http://setyawara.webnode.com)
Lampiran - 199 -
Gugur Gunung
Gubahan : Ki Narto Sabdho
Oh …ibu pertiwi
Oh…indonesiaku
Kini kau menangis berguling-guling
Kini kau menangis menyusuri hutan Merapi
Dan kau pun menangis di Papua Barat Wasior
Kini kau menangis di tepi Pantai Mentawai
Oh..ibu pertiwi
Kini kedua kakimu patah
Kini kedua tanganmu pun patah
Anak-anak mu tak lagi mampu berjalan
Anak-anakmu tak lagi kuat menerjang
Jenis : Gamelan/Karawitan
Pembina : Drs. Dudi Sambojo
Oleh : Surya Laras angkatan IV (2011)
SMA Muhammadiyah I Yogyakarta
Alamat : Jl. Gotongroyong II, Petingen, Karangwaru,
Tegalrejo, Yogyakarta, DI. Yogyakarta 55241
Telpon : 0274-563739, 519533
Para Pemain :
• Rifka dan Intan bonang
• Eliza dan Nisa gong/kempul
• Agil dan Desita kethuk/kenong
• Fitri dan Saren waranggana
• Fatma dan Lintang gendher/slenthem
• Riana dan Sunarmi demung
• Luthfi dan Muthia saron
• Lafi dan Laela saron
• May Puji kendhang
Dalam pementasan selama 60 menit pada tanggal Juni 2011, Surya Laras
mementaskan gendhing : 1). Manyar Sewu, 2). Tamba Ati, 3). Gugur
Gunung, 4). Sluku-sluku Bathok, 5). Sholawat Badar, 6). Mbok ya Mesem, 7).
Yogyakarta Berhati Nyaman, Runtung, 9). Mikat Manuk, 10). Suwe Ora
Jamu.
Mbok Ya Mesem
gubahan : Ki Narto Sabdho
Jenis : Tarian
Tema/Lakon : 1. Golek Menak : Beksan Dewi Kelasworo - Dewi Aninggar
2. Tari Golek Sulung Dhayung
Oleh : Ajeng Anggin/Vidyana Arsanti
Alamat : Jl.Kadipaten Kidul 44 Rt 10/ Rw 03,
Kel.Kadipaten, Kec.Kraton 55132 Yogyakarta, Indonesia
Telpon : 0274-563739, 519533
Ajeng Anggin PH. Lahir di Yogyakarta 14 Maret 1991. Selain menuntut ilmu di
Univ.Widya Mataram Yogyakarta tingkat 3, juga mempunyai hobi menari terutama
menari tarian klasik gaya Yogyakarta. Memulai latihan menarinya di sanggar tari
YSAB ( Yayasan Siswa Among Bekso) pada tahun 2003. Namun, sebelumnya ia
sudah lebih dulu mengenal tari melalui lingkungan sekitar dan pada saat ia duduk di
bangku taman kanak-kanak. Beberapa pengalaman pentas tari telah di lakoni sejak
duduk di bangku taman kanak-kanak. Lingkungan yang berlatar belakang kesenian
dan bakat yang dimiliki itulah yang mendorong ia untuk mengembangkan tari
tersebut. Saat ini tercatat sebagai mahasiwa jurusan Sosiologi Univ. Widya
Mataram Yogyakarta (UWMY).
Pementasan tari yang pernah diikuti, yaitu :
• Pementasan Ramayana ballet di beberapa tempat dri tahun 2008 hingga
sekarang : i). di Candi Prambanan Yogyakarta, ii). di Ndalem Kaneman
Yogyakarta, iii). Di Ndalem Njoyokusuman (Gadri Resto) Yogyakarta
• Pementasan Wayang Wong
1. Fragmen Wisnu Kromo pada tahun 2008 di Ndalem Yudaningratan
Yogyakarta
2. Fragmen Kumbakarna Gugur pada tahun 2010 di Ndalem Yudaningratan
Yogyakarta
3. Fragmen Kumbakarna Gugur dalam misi kebudayaan di TMII Jakarta pada
tahun 2010
4. Fragmen Sri Tumurun pada tahun 2011 di Ndalem Mangkubumen
Yogyakarta
• Pementasan Tari di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dari tahun 2008 hingga
Sekarang :
1. Tari Golek Sulungdhayung
2. Tari Golek Pamularsih
- 204 - Lampiran
Vidyana Arsanti. Lahir di Yogyakarta 02 Mei 1986. Selain menjadi ast.Dosen UGM
jurusan Geografi, ia juga mempunyai hobi menari terutama menari tarian klasik gaya
Yogyakarta. Memulai latihan menarinya di sanggar tari PLT ( Bagong Kusudiharjo
sanggar) tahun 2000 dan YSAB ( Yayasan Siswa Among Bekso) pada tahun 2005.
Beberapa pengalaman pentas tari telah di lakoni sejak belajar tari tersebut. Dengan
latar belakang dukungan keluarga dan bakat yang dimiliki itulah yang mendorong ia
untuk mengembangkan tari tersebut. Tari yang sudah ia bisa antara lain : Tari Sari
Sumekar, Tari Matoyo Retna, Tari Golek Sulungdhayung, Tari Golek Pamularsih.
Tari Srimpi, Tari Bedhaya, Tari Golek Menak, Tari Persembahan, Tari Fragmen
Ramayana, Beberapa Tari Kreasi Baru, Hingga menari Wayang Wong yang berlatar
Mahabarata.
Lampiran - 205 -
Jenis : Paduan Suara
Tema : Dari Sabang Sampai Merauke
Oleh : Nusantara Voices paduan suara mahasiswa UWMY ~
Alamat : Kampus UWMY
nDalem Mangkubumen KT III/237 Yogyakarta
Gundul Pacul
Asal : Jawa Tengah
Bungong Jeumpa
Asal : Nanggro Aceh Darussalam
Ampar-ampar Pisang
Asal : Kalimantan Selatan/Pencipta: Hamiedan AC
Apuse
Asal : Papua
Apuse kokon dao
Yarabe soren doreri
Wuf lenso bani nema baki pase
Apuse kokon dao
Lampiran - 207 -
Yarabe soren doreri
Wuf lenso bani nema baki pase
Arafabye aswarakwar
Arafabye aswarakwar
Gambang Suling
Asal : Jawa Tengah
Kicir kicir
Asal : Betawi
Saya beranggapan bahwa sebagian besar dari kita pasti pernah mendengar istilah
‘Wayang’ dalam kehidupannya. Tapi apakah wayang itu? Apakah wayang sekedar
murni sebuah karya seni pentas? Ataukah lebih dari itu? Bila kita melihat di literatur,
secara akademis memang banyak sekali para budayawan berusaha membuat
definisi tentang wayang ini. Dalam hal ini, saya mencoba untuk membuat cakupan
definisi yang lebih luas. Tentunya sekedar merangkum dari semua definisi yang
pernah ada. Seperti yang pernah saya sampaikan pada seminar dalam rangka
Bandung Wayang Festival 2011 yang baru lalu, bahwa wayang adalah :
Media kreatif pertunjukkan dengan peraga menceritakan simbol-simbol sebuah kisah
dalam rangka mengkomunikasikan nilai-nilai kehidupan.
Wayang pada perspektif Pertunjukan Dengan Peraga
Dalam sejarah kita mengenal wayang beber, wayang kulit purwa, kemudian di
wilayah Sunda kita mengenal wayang golek, kemudian ada wayang tengul, wayang
orang, sampai kemudian yang modern saat ini muncul kreasi wayang suket, wayang
climen, wayang kampung sebelah, dan entah kreasi pertunjukan wayang apa lagi
yang mungkin muncul di masa datang.
Ini semua adalah hasil kreasi budi daya, yang juga banyak memiliki nilai kehidupan
yang bisa memberikan kepada kita banyak pembelajaran. Misalnya konsep kata
‘Wayang’ itu sendiri. Atau falsafah ‘kelir’ dalam pertunjukan wayang. Yang
seharusnya kita gali, kita tafsirkan, kita maknai, diskusikan sehingga menjadi bagian
dari pembangunan karakter kita sendiri.
Wayang dengan pendekatan Simbol-simbol Sebuah Kisah
Sebuah pertunjukan dengan peraga butuh sebuah kisah yang juga merupakan
analogi dan personifikasi dari kehidupan yang diharapkan menjadi inspirasi nilai bagi
setiap penikmatnya. Kisah yang kebetulan popular adalah kisah Ramayana dan
Mahabarata. Tapi kemudian banyak orang yang menganggap bahwa kisah itu sama
dengan kisah yang ada di India. Kisah Ramayana dan Mahabarata yang dipakai
dalam pertunjukan wayang adalah kisah yang sudah digubah dan melalui proses
Lampiran - 209 -
akulturasi budaya yang begitu panjang di tanah Jawa. Jadi ketika kita membaca
kisah terjemahan asli dari India, akan terasa benar beda nuansa dan roh-nya bila
kita bandingkan dengan kisah yang dipertunjukkan dalam wayang, walaupun
menggunakan nama-nama tokoh yang sama.
Uraian Ket.
Nilai etika pemberdayaan Contoh simbolisasi kisah yang tetap relevan
modern
Nilai kepemimpinan Lakon Wahyu Makutarama, Semar Maneges,
Petruk Dadi Ratu
Nilai kejujuran dan Lakon Sumantri Ngenger, Bima Suci, Kresna
integritas Gugah
Nilai perjuangan, Lakon Rama Tambak, Babat Alas Wanamarta,
produktivitas Wirata Parwa
Nilai nasionalisme Lakon KumbakarnoGugur, KikisTunggarana
Kisah inilah yang kemudian coba saya tulis kembali ketika kita merasakan bahwa
sedikit sekali naskah yang menceritakan kisah tersebut dalam akulturasi budaya
Jawa. Karena kisah inilah yang sebenarnya memuat nilai-nilai budaya lokal yang
bisa menjadi pondasi bagi pembangunan karakter bangsa.
Wayang sebagai Pengkomunikasi Nilai-nilai
Dalam hal ini saya mencoba untuk memberi penekanan bahwa bila kita melihat
secara keseluruhan, maka wayang sebenarnya tidak berhenti hanya menjadi sebuah
komoditi budaya, baik dalam bentuk pertunjukkan, maupun dalam perspektif kisah
yang dipakai. Ada hal yang juga penting ketika kita melihat bahwa wayang pada
hakekatnya adalah sebuah media untuk mengkomunikasikan nilai-nilai budaya kita
sendiri yang sudah ada begitu lama.
Nilai-nilai yang tertuang dalam ungkapan, tembang, perlambang, nasehat kearifan,
kata-kata, dialog dalam kisah Dunia Wayang, yang menjadi tugas kita semua untuk
terus mencari, menggali, mengumpulkan, membuat tafsir terhadapnya, merenungi,
memaknainya, dan setiap kebaikan yang ada padanya, coba kita jadikan menjadi
bagian dari kehidupan kita.
- 210 - Lampiran
Uraian Keterangan
Bangga sebagai bangsa • Lakon Sesaji Rajasuya
• Karakter Kumbakarno, Bisma
Berpikir positif • Karakter Sukrasana, Yudhistira, Sadewa.
Lakon Sumantri Ngenger
Gotong royong • Lakon Rama Tambak
• Karakter para Pandawa
Menghargai perbedaan • Masuknya karakter Punakawan dalam
wayang
• adanya konsep kelir
Menghindari kekerasan • Karakter Kresna, Yudhistira
Tidak menyerah • Karakter Bima, Gatotkaca
• Lakon BimaBungkus,
Sadar hak orang lain • Falsafah karakterPunakawan, karakter
Kamadjaya
• Lakon Makutarama, falsafah Wanda
Sampai di sini, kita bisa melihat bahwa Wayang membawa sebuah nilai. Dan Nilai,
yang saya pahami adalah pengertian sederhana dari pemikiran kita ketika melihat
sebuah kejadian, apa yang ada dikepala kita dalam rangka mengkonfirmasi benar
salahnya sesuai pemahaman kita akan benar salah, sehingga kita bisa melakukan
telaahan ‘bagaimana seharusnya’. Konstruksi ‘Bagaimana seharusnya’ inilah yang
disebut sebagai Nilai. Sehingga, sesuai tema dalam diskusi kali ini, bahwa sebuah
nilai, apapun itu, apakah itu nilai agama, nilai estetika, nilai budaya, ataupun nilai
pribadi, pastilah sebuah produk dari budaya konstruktif.
Pertanyaan berikutnya adalah, di tengah budaya global dan budaya modern saat ini,
apakah wayang masih relevan bisa dipakai sebagai bagian dari budaya konstruktif.
Hal ini tentunya berawal dari kebutuhan orang masa kini akan sebuah nilai. Kita
melihat banyak teori pengembangan diri modern yang cukup laku, baik itu di
lingkungan pribadi, instansi pemerintah, maupun perusahaan. Ini adalah bukti bahwa
manusia haus akan nilai. Sehingga menjadi kewajiban kita untuk juga membawa ke
permukaan hal-hal yang seharusnya merupakan pengembangan diri dari karakter
budaya lokal ataupun bangsa kita sendiri.
Di sinilah kita kemudian menjadi wajib untuk tidak sekedar belajar atas nilai budaya
konstruktif yang dimiliki bangsa lain, tapi juga mau belajar, menggali,
menginterpretasikan kembali membuat tafsir-tafsir apa yang sudah diupayakan
pendahulu kita dalam menyusun nilai dari suatu peradaban kita sendiri. Nilai yang
Lampiran - 211 -
bisa jadi tersimpan dalam karya sastra, bangunan, upacara adat, seni pertunjukan,
termasuk wayang di antaranya.
Saya bisa sebutkan di sini contoh-contoh budaya konstruktif yang berangkat dari
karifan budaya lokal sebagai bagian dari karakter bangsa kita sendiri yang masih
relevan dan termuat dalam wayang. Baik itu dilihat dari falsafah seni pentasnya, atau
pun nilai cerita yang terkandung di dalamnya. Misalnya mengenai nilai-nilai
kepemimpinan, nilai kejujuran dan integritas, nilai perjuangan, produktifitas,
nasionalisme, termasuk hal-hal yang bisa tumbuh sebagai budaya kostruktif bagi
bangsa, seperti sikap bangga sebagai bangsa, berpikir positif, gotong-royong,
mnghargai perbedaan, menghindari kekerasan, tidak menyerah, sadar hak orang
lain, dan sebagainya.
Pitoyo Amrih
- penulis novel wayang -
- 212 - Lampiran
Notulensi Diskusi
Salam sejahtera bagi kita semua atas berkat rahmat Tuhan YME, saat ini
kita bisa diberi kesempatan untuk berkumpul dalam suasana yang menggembirakan.
Pertama-tama, perkenankan saya mengucapkan beribu terima kasih atas
kehadirannya di dalam acara Seminar Kebudayaan dengan tema Reinterpretasi-
Rekonstruksi Budaya Konstruktif. Seminar ini merupakan rangkaian dari Pekan
Budaya Masuk Kampus 2011 hasil kerjasama antara Universitas Widya Mataram
Yogyakarta dengan Dinas Pariwisata Prop. DIY, Dinas Kebudayaan Prop. DIY,
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, serta Humanisma-Yogyakarta.
Bahwa budaya mengandung makna dan pemahaman yang universal dan
beragam, karenanya tidak ada tafsir tunggal atas budaya itu sendiri. Budaya; baik
yang konstruktif maupun destruktif; sifatnya dinamis sejalan dengan peradaban dan
perjalanan kehidupan manusia, karenanya perubahan atas budaya adalah sebuah
keniscayaan. Namun begitu, dalam koridor hidup manusia yang tidak bisa terlepas
dengan lingkungan sekitarnya, sehingga untuk melanjutkan kehidupan manusia
itulah diperlukan interpretasi sekaligus rekonstruksi atas budaya-budaya konstruktif
sehingga kehidupan manusia berjalan dengan seimbang.
Hadirin sekalian yang saya muliakan, saya tidak akan berpanjang lebar
dalam memberikan kata sambutan, karena para pemakalah nantinya yang akan
mengupas lebih jauh tentang reinterpretasi-rekonstruksi budaya konstruktif dalam
sudut pandang serta latar belakang yang dimilikinya. Semoga paparan para
pemakalah dapat memberikan pencerahan sekaligus terbuka untuk diperdebatkan
dalam frame diskusi yang mulia ini sehingga semakin menambah wawasan serta
sudut pandang kepada kita semua bahwa kebudayaan pada akhirnya akan
membentuk peradaban manusia.
Sumbangsih pemikiran dalam diskusi ini akan sangat berarti bagi kita semua.
Dalam kesempatan ini kami panitia menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah berkenan membantu
menyukseskan acara seminar kebudayaan ini. Terima kasih kami sampaikan kepada
Dinas Pariwisata Prop. DIY, Dinas Kebudayaan Prop. DIY, Dinas Pariwisata dan
Lampiran - 213 -
Kebudayaan Kota Yogyakarta, Real Good, Media partner kami : Radio Anak Jogja,
Radio Retjo Buntung, Harian Jogja, Kompas Gramedia.
Kurang lebihnya, dengan keterbatasan yang ada dalam menyambut para
hadirin, kami mohon maaf sebesar-besarnya.
Dengan budaya dan kebudayaan yang konstruktif, semoga kita dapat
meningkatkan kualitas kehidupan manusia dengan lebih baik di masa-masa datang.
Selamat berdiskusi.
Terima kasih.
pembusukan ini telah mencapai tahap ketika suasana kehidupan bersama kita
luluh lantak menjadi jaringan benalu kolosal. Pendek kata, korupsi bukan semata
masalah hukum atau ekonomi, tetapi yang jauh lebih besar tingkatan
kerusakannya adalah perkara budaya bangsa ini. Yang kita hadapi adalah
kebangkrutan budaya.Lantas bagaimana kita mesti menyikapi situasi
kebangkrutan kolosal semacam itu? Kita tak tahu lagi dari mana mengurainya.
Naga-naganya kita saat ini berkencenderungan untuk jatuh pada gejala yang
semakin kuat betapa kita kehabisan akal untuk melahirkan kembali Indonesia.
Melahirkan kembali Indonesia. Nampaknya menjadi kata/kalimat yang sejalan
dengan spirit diskusi kita hari ini. Tema “Reinterpretasi dan Rekonstruksi Budaya
Konstruktif” memiliki agenda yang sama tentang bagaimana melahirkan kembali
Indonesia kita. Dalam hal ini kata Re- yang menempel pada kata Re-interpretasi,
Re-konstruksi, merujuk pada makna revitalisasi atas segala sesuatu yang bisa
menjadi fundamen kuat bagi tegaknya kembali kehormatan dan kemartabatan
Bangsa yang kita cintai ini.
Kata “Budaya Konstruktif” nampaknya memang dikedepankan sebagai tema
yang merujuk pada sesuatu “penanda besar” yang diharapkan akan mampu
menandingi budaya yang telah membusuk (pembusukan kolosal) sebagai
realitas pahit bangsa kita hari-hari ini. Apa yang ingin saya tegaskan pada
pengantar diskusi ini adalah bahwa kita semua yang hadir pada hari ini adalah
insan-insan peduli sekaligus gelisah yang berupaya untuk membincang dan
mencari solusi atas kebangkrutan total itu dengan mencari serpihan nilai-nilai
budaya yang bisa memperkuat konstruksi bangunan banga ini. Saya kira ini
adalah bagian dari ikhtiar kita untuk melahirkan kembali Indonesia.
Untuk mempersingkat waktu, saya segera ingin membacakan curiculum vitae
narasumber tunggal kita, Mas Pitoyo Amrih, yang akan memaparkan penggalian
nilai-nilai budaya konstruktif yang terkandung dalam dunia wayang. Mas Pitoyo
Amrihini lahir di Semarang pada tanggal 13 Mei 1970. Menempuh pendidikan
dasar dan menengah di Kota Semarang. Menyelesaikan pendidikan sarjana
Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung pada tahun 1993, kemudian sempat
hidup di Jakarta, Pekanbaru, dan saat ini menekuni profesi utama di bidang
engineering di sebuah perusahaan farmasi di Solo. Ia menikah dengan Hestrini
R. Wulandaridan dikaruniai putra Danendra Amrih. Saat ini ia tinggal di wilayah
Solo, Jawa Tengah.
Dalam dunia tulis menulis, Mas Pityo Amrih telah melahirkan banyak karya.
Sebagaimana Bapak Ibu hadirin juga bisa membacanya dalam paper, beberapa
karya beliau diantaranya: Antareja-Antasena, Jalan Kematian Para Ksatria
(Pinus, 2007); Narasoma, Ksatria Pembela Kurawa (Pinus, 2008); The Darkness
of Gatotkaca (DivaPress, 2009); Pertempuran 2 Pemanah Arjuna-Karna
Lampiran - 215 -
(DivaPress, 2009); Perjalanan Sunyi Bisma Dewabrata (DivaPress, 2010); Resi
Durna, Sang Guru Sejati (DivaPress, 2010); Memburu Kurawa (DivaPress,
2011). Itulah tadi curiculum vitae dari Mas Pitoyo Amrih.
Tanpa berpanjang kata, kini giliran Mas Pitoyo Amrih untuk memaparkan
presentasinya. Saya serahkan waktu secukupnya kepada Mas Pitoyo Amrih.
Silakan Mas Amrih. Terimakasih.
Sessi Diskusi
Pengantar Diskusi dari Moderator: AB.Widyanta
Terimakasih Mas Pitoyo Amrih atas paparan yang sangat menarik seputar dunia
wayang. Saya kira terlalu panjang untuk mengulas paparan Mas Amrih. Namun
perkenankan saya untuk memberikan beberapa catatan penting dari paparan
Mas Amrih di awal. Setelah menguarai panjang lebar sejarah pewayangan di
Nusantara, kita diberikan pemahaman oleh Mas Amrih bahwa wayang adalah
media kreatif pertunjukkan dengan peraga menceritakan simbol-simbol sebuah
kisah dalam rangka mengkomunikasikan nilai-nilai kehidupan.
Dalam hemat saya, definisi ini memberikan pemaknaan yang mendalam bahwa
wayang adalah dunia simbol konstruksi manusia, hasil daya cipta dan karsa,
untuk memaknai berbagai peristiwa ataupun realitas dunia yang melingkupi
berdasarkan konteks semasa. Tentu saja wayang sebagai hasil cipta rasa dan
karsa manusia melalui perubahan berdasarkan gerak jaman yang
melingkupinya.
Simbol-simbol dalam bentuk visual wayang dan juga penuturan dalang berupaya
menghadirkan pola komunikasi antara manusia dan jaman yang bergerak itu.
Kandungan petatah-petitih dari sang dalang adalah upaya mereproduksi nilai-
nilai budaya luhur/kontruktif. Dan disitulah bagaimana reinterpretasi/penggalian
akar nilai pondasi sebuah tatanan masyarakat senantiasa dihadirkan. Dalam
konteks kekinian, itulah yang coba tetap dijadikan sebagai ruang interpretasi
atas laku dan tindak tanduk perangai manusia. Dalam jangkauan terluasnya,
kehidupan berbangsa dan bernegarapun bisa dilacak dari penggalian nilai luhur
dari akar dan nilai budaya yang telah diwariskan nenek moyang kepada kita.
Kira-kira itu tadi beberapa catatan saya atas materi dan paparan dari Mas Amrih.
Selanjutnya kita akan memasuki sesi tanya jawab. Saya mencoba akan
membuka dua termin tanya jawab. Setiap termin saya membuka kesempatan
tiga penanya untuk memberikan pertanyaan ataupun komentarnya. Saya buka
saja termin tanya jawab yang pertama untuk tiga orang penanya. Saya
persilahkan.
- 216 - Lampiran
Termijn Pertama
1. As Martadani :
Terimakasih atas kesempatannya. Ada beberapa komentar terkait seminar pagi
ini dan juga paparan dari narasumber Pak Pitoyo Amrih. Komentar saya yang
pertama, nampaknya dengan tema diskusi yang berjudul “Reinterpretasi dan
Rekonstruksi Budaya Konstruktif” ini, panitia sangat kental bau
postmodernismenya. Kata reinterpretasi dan rekonstruksi ini banyak dipakai
kalangan postmodernis untuk melihat realitas masyarakat hari ini. Sepertinya
panitia hendak menunjukkan perspektif postmodernis dalam memandang
budaya ini.
2. Suwarjo
Terimakasih atas kesempatan dan waktu untuk saya. Saya termasuk orang yang
sebenarnya tidak tahu mendalam tentang wayang. Orang tua saya jauh lebih
mendalam pengetahuannya tentang dunia pewayangan. Saya tahu dari orang
tua saya itu. Ketika kecil saya diajak dan sering diperdengarkan siaran wayang
di radio.
Dalam beberapa diskusi pewayangan yang pernah saya ikuti. Selalu saja bahwa
untuk menyebarluaskan dan mengenalkan dunia pewayangan ini, kita selalu
terkendala dengan minimnya sekolah pedalangan. Terlebih kuatnya pengaruh
budaya modern ini, anak-anak muda kita tidak banyak lagi yang tertarik pada
wayang. Bagaimana kita mesti menyikapi semakin langkanya sekolah-sekolah
pedalangan ini?
Pertanyaan saya yang kedua, pertunjukan wayang ini memang potensial untuk
dijadikan sarana mengkomunikasikan nilai-nilai budaya luhur. Memang televisi
saat ini pun sudah menyiarkan siaran wayang kulit. Tapi itu hanya hari-hari
tertentu saja, dan itu sangat terbatas. Pagelaran wayang ini sangat penting untuk
sarana penyebarluaskan nilai-nilai budaya itu, namun masyarakat seringkali juga
terbentur pada biaya “nanggap”. Hitungan ongkos/biaya untuk nanggap
sangatlah mahal. Tentu ini butuh pemikiran untuk memasyarakatkan wayang
tanpa harus terbentur dana. Mohon tanggapan.
3. Mahasiswa:
Terimakasih atas kesempatan untuk saya. Saya orang Papua yang tidak tahu
banyak tentang dunia wayang. Saya sendiri tidak mengerti atau belum bisa
menggunakan bahasa Jawa. Tapi saya sangat setuju dengan pemaparan dari
narasumber tadi bahwa wayang ini merupakan sarana untuk
mengkomunikasikan berbagai nilai budaya yang konstruktif.
Persoalannya adalah apakah memang masih relevan pertunjukan wayang ini
bagi kaum muda kita. Kita bisa pastikan bahwa yang disukai anak muda kita
Lampiran - 217 -
adalah dunia pertunjukan yang modern, dan bukannya pertunjukan wayang. Bisa
dihitung dengan jari berapa kaum muda kita yang masih menyukai wayang.
Pertanyaan saya dengan cara seperti apa agar anak-anak muda kita bisa
menyukai wayang? Apakah perlu kemasan baru untuk pertunjukan wayang ini
agar disukai oleh kawula muda kita? Mungkin pemerintah perlu memikirkan dan
memberikan atensi juga bagi penyebarluasan pertunjukan wayang ini bagi kaum
muda sehingga mereka bisa belajar nilai-nilai budaya dan tidak terlalu berkiblat
pada nilai-nilai modern yang tertentangan dengan nilai-nilai luhur itu.
Termijn Kedua
Jaya
Dari paparan narasumber tadi, terkesan bahwa wayang itu menyajikan berbagai
nilai budaya luhur. Padahal di dalam lakon-lakon wayang itu sendiri terceritakan
kisah angkara murka, kejahatan, perselingkuhan, dan berbagai sifat buruk juga.
Bagaimana kita mesti memaknai sifat-sifat buruk/jahat dalam simbo-simbol
pewayangan itu. Dan itu yang juga terjadi dalam realitas kita. Mohon juga diulas
mengenai sisi buruk itu agar tidak timpang. Karena terkesan dalam seluruh
paparan tadi yang dibahas hanyalah hal-hal / sifat yang baik-baik saja.
Terimakasih.
Tanggapan Narasumber
Pitoyo Amrih:
Menanggapi pada penanya pertama (termin II). Saya sepaham dengan itu. Saya
sendiri sejak awal mengatakan bahwa definisi wayang adalah media kreatif
pertunjukkan dengan peraga menceritakan simbol-simbol sebuah kisah dalam
rangka mengkomunikasikan nilai-nilai kehidupan.Dengan definisi itu, kita menjadi
akan paham tentang berbagai simbol-simbol dan kisah yang tidak tunggal (hal-
hal baik saja). Dalam berbagai lakon wayang selalu saja ada tokoh jahat maupun
tokoh baik. Ada keangkaramurkaan ada kebaikan.
LocuS