Anda di halaman 1dari 13

Makalah Hukum HAM

“Kasus Kerusuhan Mei 1998”

Dosen Pengampu:

Wiwik Afifah., S.Psi., S.H., M.H

Disusun Oleh

Mohammad Bony Marzuky

1312100244

No Urut. 37

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahi Rabbil „Aalamiina. Segala puji dan syukur hanya pantas kami tujukan
kepada Allah subhaanallaahu wa ta‟aalaa. Karena atas rahmat, karunia, kemudahan,
pertolongan, dan bimbingan hanya dari-Nya, makalah yang kami beri judul “Kasus
Kerusuhan Mei 1998” ini dapat kami selesaikan dengan baik. Makalah ini ditulis untuk
memenuhi salah satu nilai dari tugas mata kuliah.
Dalam upaya penyelesaian makalah, kami sebagai tim penulis tentu saja menemukan
berbagai halangan serta hambatan dalam penyempurnaannya. Namun halangan yang dihadapi
tersebut, tentu kami upayakan agar tidak menjadikan makalah ini memiliki suatu kekurangan
pun. Akan tetapi pada penyelesaiannya, makalah ini tentu belum bisa dikatakan sangat baik.
Sehingga tim penulis sangat membutuhkan kontinuitas dalam bentuk penyampaian saran
konstruktif dari sisi pembaca.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah.
Berdasarkan bimbingan dan arahannya, kami mampu untuk menerima berbagai wawasan
keilmuan melalui perkuliahan. Tentu kami berharap semoga makalah ini mampu menjadi
sebuah awalan bagi pihak lain guna mendapatkan sisi manfaat dalam membacanya. Sehingga
secara bersama-sama, kami dapat memberikan sebuah sumbangsih yang baik bagi kelanjutan
penulisan dengan tema kajian yang sama di waktu yang akan datang, Aamiin, Yaa Allaahu,
Yaa Rabbal „Aalamiin.

Surabaya, 20 Maret 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 2

1.3 Tujuan Penelitian.............................................................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 4

2.1 Latar Belakang Terjadinya Kerusuhan Mei 1998 ............................................................ 4

2.2 Kronologi Kerusuhan Mei 1998 ....................................................................................... 6

2.3 Dampak Kerusuhan Mei 1998.......................................................................................... 7

2.4 Prospek Penyelesaian Kasus Kerusuhan Mei 1998 Dalam Pandangan Hukum dan Hak
Asasi Manusia ........................................................................................................................ 7

BAB III PENUTUP .................................................................................................................. 9

3.1 Kesimpulan....................................................................................................................... 9

3.2 Saran ................................................................................................................................. 9

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 10

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada dasarnya, Hak asasi manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Indonesia sebagai anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab
moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak
Asasi Manusia yang ditetapkan oleh PBB serta berbagai instrumen internasional lainnya
mengenai Hak Asasi Manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia1.
Terlepas dari konsep HAM yang bersifat universal, namun pada penerapannya harus
memperhitungkan budaya dan tradisi negara setempat, faktor ekonomi atau tingkat
kesejahteraan masyarakat dapat diangkat sebagai pemegang peran penting yang pada akhirnya
ikut menentukan kualitas penegakan HAM di suatu negara. Sehingga dapat diartikan bahwa
semakin bagus kualitas kesejahteraan di suatu negara, maka semakin tinggi kemampuannya
untuk memajukan perlindungan terhadap HAM. Terlepas dari konsep HAM yang bersifat
universal, namun pada penerapannya harus memperhitungkan budaya dan tradisi negara
setempat, faktor ekonomi atau tingkat kesejahteraan masyarakat dapat diangkat sebagai
pemegang peran penting yang pada akhirnya ikut menentukan kualitas penegakkan HAM di
suatu negara2.
Dalam perkembangannya, hak asasi manusia terbagi menjadi tiga generasi hak asasi
manusia yaitu generasi pertama hak sipil dan politik, generasi kedua mencakup hak ekonomi,
sosial dan budaya, dan generasi ketiga mencakup hak dalam pembangunan. Diantara ketiga
generasi tersebut tidak dapat saling dipisahkan, walaupun ketiga generasi tersebut mencakup
hak yang berbeda tetapi tetap dalam kesatuan hak asasi manusia yang tidak dapat dipisahkan
dan mempunyai keterkaitan antar generasi tersebut. Ada pandangan bahwa dalam pemenuhan
hak sipil dan politik tidak dapat berjalan dengan baik tanpa terpenuhinya hak ekonomi, sosial
dan budaya, begitu pula dengan hak atas pembangunan3. Indonesia merupakan negara yang
penuh dengan keanekaragaman budaya dan etnis. Keberagaman ini menimbulkan beberapa hal
mulai dari terbentuknya akulturasi hingga asimilasi dari masa ke masa.
Letak Geografis Indonesia yang terdiri dari beratusratus pulau menegaskan kultural
Indonesia yang beranekaragam. Maka dari itu terbentuklah sebuah semboyan “Bhinneka
Tunggal Ika”, semboyan ini dijadikan sebagai alat pemersatu bangsa Indonesia atas segala
keberagaman yang ada di tanah Indonesia. Keberagaman Indonesia terbentuk dengan berbagai
rangkaian proses yang panjang. Keberagaman budaya dan etnis di Indonesia menjadi fondasi
kekuatan dan kekayaan dalam negeri. Adanya perbedaan ciri khas maupun karakteristik di
setiap masing-masing daerah tentunya memberikan nilai penting untuk bisa saling menghargai,
menghormati hingga memahami satu sama lain. Namun fakta yang terjadi keberagaman

1
Gomar, N. (2022). Gambaran forgiveness pada masyarakat beretnis Tionghoa yang menjadi korban peristiwa kerusuhan Mei 1998 (Doctoral
dissertation, Universitas Pelita Harapan).
2
Ginting, S. O. B. (2019). Etnis Tionghoa pada Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta.
3
Permana, B. (2018). Etnis Tionghoa Pada Masa Orde Baru: Studi Atas Tragedi Kemanusiaan Etnis Tionghoa Di Jakarta (1998) (Bachelor's
thesis, Fakultas Adab & Humaniora).

1
budaya dan etnis di Indonesia masih sering mengalami perseteruan, perbedaan ciri khas yang
ada di wilayah daerah lokal masing-masing terkadang dijadikan sebagai ladang sumber
perselisihan dan pertentangan.
Hal ini tentu menimbulkan kerusuhan dan konflik yang akan berdampak pada keutuhan
dan keamanan Indonesia. Indonesia sendiri memiliki beragam kelompok etnis yang sudah lama
mendiami tanah air, salah satunya etnis Tionghoa. Imigrasi yang dilakukan bangsa Tionghoa
sudah dimulai sejak ribuan tahun yang lalu. Kendati demikian, interaksi antara masyarakat
pribumi dengan bangsa Tionghoa sudah terjalin sangat lama melalui jalur perniagaan. Selain
perniagaan, bangsa Tionghoa juga melakukan mata pencaharian sebagai seorang petani hingga
tukang4. Pada akhirnya bangsa Tionghoa menetap di Indonesia, hingga proses perkawinan
silang budaya pun tidak terelakkan. Dari sinilah orang Tionghoa tumbuh dan berkembang pesat
di Indonesia hingga membentuk sebuah kampung pecinan di berbagai wilayah Indonesia
hingga memunculkan istilah penyebutan orang Tionghoa Totok dan Tionghoa Peranakan
Hubungan masyarakat etnis Tionghoa dengan Indonesia di awal kemerdekaan hingga
masa orde lama sempat membaik, hingga pada masa awal sistem pemerintahan orde baru sikap
diskriminatif terhadap masyarakat Tionghoa mulai timbul kembali, pemicu awal
dikeluarkannya instruksi presiden nomor 14 Tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat
istiadat Tionghoa. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 menjadi momok yang sangat menakutkan
bagi masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia. Salah satunya juga berdampak bagi masyarakat
etnis Tionghoa yang berada di Surakarta. Posisi perekonomian masyarakat etnis Tionghoa di
Surakarta pada masa orde baru sangat kuat, tercatat tahun 1996/1997, 38 (58,5%) perusahaan
tekstil merupakan milik masyarakat etnis Tionghoa dan 1.125 (62,7%) tempat usaha
masyarakat etnis Tionghoa di Surakarta juga didominasi. Lantas kondisi perekonomian
masyarakat etnis Tionghoa di Surakarta saat itu dijadikan sebagai incaran orang-orang
Pribumi5.
Akibat kerusuhan tersebut, wilayah di daerah Surakarta mengalami kerugian yang
sangat besar. Khususnya bagi masyarakat etnis Tionghoa di Surakarta yang dianggap sebagai
korban. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk membahas lebih lanjut
mengenai “Kerusuhan Mei 1998” dengan menggunakan metode penelitian sejarah.

1.2 Rumusan Masalah


Sejalan dengan uraian latar belakang di atas, adapun rumusan masalah yang akan peneliti
ambil, diantaranya:

1.2.1 Bagaimana latar belakang terjadinya kerusuhan Mei 1998?


1.2.2 Bagaimana kronologi kerusuhan Mei 1998?
1.2.3 Bagaimana dampak dari terjadinya kerusuhan Mei 1998 terhadap masyarakat
Indonesia?
1.2.4 Bagaimana prospek penyelesaian kasus kerusuhan Mei 1998 dalam pandangan hukum
dan hak asasi manusia?

4
Sinuhaji, D. K. (2017). Perubahan Nilai Budaya Etnis Tionghoa di Kota Medan: Studi kasus kerusuhan mei Tahun 1998 (Doctoral
dissertation, Universitas Sumatera Utara).
5
Gomar, N. (2022). Gambaran forgiveness pada masyarakat beretnis Tionghoa yang menjadi korban peristiwa kerusuhan Mei 1998 (Doctoral
dissertation, Universitas Pelita Harapan).

2
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan dari penelitian ini diantaranya:
1.3.1 Untuk mengetahui latar belakang terjadinya kerusuhan Mei 1998
1.3.2 Untuk mengetahui kronologi terjadinya kerusuhan Mei 1998
1.3.3 Untuk memahami dampak dari terjadinya kerusuhan Mei 1998 terhadap masyarakat
Indonesia
1.3.4 Untuk memahami prospek penyelesaian kasus kerusuhan Mei 1998 dalam pandangan
hukum dan hak asasi manusia

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang Terjadinya Kerusuhan Mei 1998


Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di
Indonesia pada 13 Mei–15 Mei 1998, khususnya di Ibu Kota Jakarta namun juga terjadi di
beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial, hal ini pun mengakibatkan
penurunan jabatan Presiden Soeharto, serta pelantikan B. J. Habibie. Pada kerusuhan ini
banyak toko dan perusahaan dihancurkan oleh amuk massa terutama milik warga Indonesia
keturunan Tionghoa6. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Medan dan Surakarta.
Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang meninggalkan
Indonesia. Tak hanya itu, seorang aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Romo
Sandyawan, bernama Ita Martadinata Haryono, yang masih seorang siswi SMU berusia 18
tahun, juga diperkosa, disiksa, dan dibunuh karena aktivitasnya. Ini menjadi suatu indikasi
bahwa kasus pemerkosaan dalam Kerusuhan ini digerakkan secara sistematis, tak hanya
sporadis. Sampai bertahun-tahun berikutnya
Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama yang
dianggap kunci dari peristiwa kerusuhan Mei 1998. Pemerintah mengeluarkan pernyataan yang
menyebutkan bahwa bukti-bukti konkret tidak dapat ditemukan atas kasus-kasus pemerkosaan
tersebut, tetapi pernyataan ini dibantah oleh banyak pihak. Sebab dan alasan kerusuhan ini
masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun umumnya
masyarakat Indonesia secara keseluruhan setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah
lembaran hitam sejarah Indonesia, walaupun masih menjadi kontroversi apakah kejadian ini
merupakan sebuah peristiwa yang disusun secara sistematis oleh pemerintah atau
perkembangan provokasi di kalangan tertentu hingga menyebar ke masyarakat. Dari sekitar
Desember 1997 hingga pertengahan Februari 1998, protes mahasiswa terjadi, terutama di luar
ibu kota Jakarta, seperti di Yogyakarta, Surabaya, dan Bandung. Namun, sejak akhir Februari,
protes semakin meningkat di Jakarta dan sekitarnya7.
Penyebab kerusuhan Mei 1998 yang terjadi merupakan hasil dari kumpulan peristiwa
politik, sosial dan ekonomi yang terjadi di masa orde baru. Rezim Suharto “Orde Baru”, yang
telah bertahan selama 30 tahun, rusak parah oleh korupsi yang merajalela dan
ketidakmampuannya untuk menjaga stabilitas ekonomi. Kerusuhan Mei 1998 yang terutama
tertuju pada pembakaran dan kekerasan terhadap etnis Tionghoa tak lain adalah ujung dari
hubungan masyarakat etnis Indonesia dan Indonesia di awal pemerintahan orde baru. Namun
sebenarnya, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia sudah ada sejak berabad-abad
yang lalu pada era kolonial Belanda, ketika ribuan orang dibunuh atau dipaksa masuk ke dalam
ghetto. Etnis Tionghoa juga diserang dalam pembersihan anti-komunis pemerintah Indonesia
pada pertengahan 1960-an. Pada 1980-an, muncul seruan agar Suharto mengendalikan banyak
konglomerat bisnis besar China yang menurut banyak pihak mengendalikan ekonomi8. Tetapi

6
Permana, B. (2018). Etnis Tionghoa Pada Masa Orde Baru: Studi Atas Tragedi Kemanusiaan Etnis Tionghoa Di Jakarta (1998) (Bachelor's
thesis, Fakultas Adab & Humaniora).
7
ISKANDAR, J. (2014). Pemuda Etnis Tionghoa & Konstruksi Atas Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta (Doctoral dissertation, Universitas
Gadjah Mada).
8
Soemantri, F. U. J. P. D. Etnis Tionghoa pada Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta

4
sementara sebagian besar etnis Tionghoa dianggap sebagai anggota kelas pedagang kaya,
banyak yang sebenarnya adalah pengusaha kecil, pemilik toko, atau pedagang.
Selain itu, penyebab kerusuhan Mei 1998 juga karena keadaan ekonomi global yang
memburuk ditambah dengan banyaknya korupsi yang merajalela di Indonesia, membuat
masyarakat semakin frustasi. Pada 4 hingga 8 Mei 1998, pemerintah membuat kebijakan
menaikkan harga minyak 70% dan 300% untuk biaya listrik. Nilai rupiah yang berada di
kisaran Rp2.600 pada periode kala itu mencapai Rp14.9009. Krisis tersebut menyebabkan
kesulitan ekonomi yang sangat parah, dan stagflas yang membuat aktivitas ekonomi merosot
tajam. Berbagai persoalan mulai menampakkan diri dengan harga kebutuhan pokok menjadi
tinggi dan barang yang sulit di dapat, pengangguran bertambah banyak serta angka putus
sekolah mulai meningkat, masyarakat mulai gelisah dan menggugat.
Pada tanggal 12 Mei 1998, sekitar pukul 11.00-13.00, ribuan mahasiswa Universitas
Trisakti melakukan aksi damai di dalam kampus. Setelah itu, mahasiswa mulai turun ke Jalan
S Parman dan hendak berangkat ke gedung MPR atau DPR. Pukul 13.15, para mahasiswa
sampai di depan kantor Walikota Jakarta Barat. Melihat segerombolan mahasiswa di depan
kantor tersebut membuat aparat polisi menghadang laju mereka. Setelah itu, terjadi
perundingan antara pihak polisi dengan para mahasiswa. Kesepakatan yang dicapai ialah para
mahasiswa tidak melanjutkan aksi unjuk rasa mereka ke MPR atau DPR. 15 menit setelahnya,
pukul 13.30, para mahasiswa melakukan aksi damai di depan kantor Walikota Jakarta Barat.
Kondisi dan situasi saat itu dapat dibilang masih sangat tentang. Tidak ada ketegangan sama
sekali antara pihak aparat dan mahasiswa. Pukul 16.30, polisi mulai memasang garis polisi dan
meminta para mahasiswa untuk memberi jarak 15 meter dari garis tersebut10.
Tidak berselang lama, pihak polisi pun meminta agar mahasiswa kembali ke dalam
kampus. Tanpa ada ketegangan apapun, mahasiswa membubarkan diri dengan tenang dan
tertib. Namun, tiba-tiba terjadi tembakan dari arah belakang barisan mahasiswa. Mendengar
suara tembakan tersebut, para mahasiswa lantas berlarian dan berusaha menyelamatkan diri.
Para mahasiswa berusaha berlindung dengan masuk ke dalam gedung-gedung kampus,
sementara aparat masih terus menembakkan senapannya. Puluhan gas air mata juga
dilemparkan ke dalam kampus. Sekitar pukul 17.15, situasi di kampus sangatlah mencekam.
Beberapa korban jiwa juga berjatuhan, salah satunya adalah empat mahasiswa Trisakti
yang tewas karena tertembak. Keempat mahasiswa Trisakti tersebut adalah Elang Mulia
Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendiawan Sie. Pada tanggal 13 Mei 1998 Pukul
01.30, dilakukan jumpa pers yang dihadiri oleh Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie
Sjamsoeddin di Mapolda Metro Jaya. Selain itu, hadir juga Kapolda Mayjen Hamami Nata,
Rektor Universitas Trisakti Prof Dr Moedanton Moertedjo, dan dua anggota Komnas HAM
AA Baramuli dan Bambang W Soeharto. Beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 10.00,
mahasiswa dari berbagai kota, yaitu Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi berdatangan ke
Universitas Trisakti untuk menyatakan belasungkawa. Dua jam setelahnya, pukul 12.00,
kerusuhan massa mulai11.

9
Gomar, N. (2022). Gambaran forgiveness pada masyarakat beretnis Tionghoa yang menjadi korban peristiwa kerusuhan Mei 1998 (Doctoral
dissertation, Universitas Pelita Harapan).
10
Sinuhaji, D. K. (2017). Perubahan Nilai Budaya Etnis Tionghoa di Kota Medan: Studi kasus kerusuhan mei Tahun 1998 (Doctoral
dissertation, Universitas Sumatera Utara).
11
Hutahaean, J. (2014). Dampak Kerusuhan Mei 1998 Terhadap Pengu-Saha Etnis Tionghoa Di Petukangan Jakarta Tahun 1998-2003. Journal
of Indonesian History, 3(1)

5
2.2 Kronologi Kerusuhan Mei 1998
Pada tanggal 14 Mei 1998, tingkat kerusuhan di DKI Jakarta meluas dan bersekala
besar dengan runtutan waktu hampir bersamaan sehingga nampak terorganisir. Meskipun isu
“anit Tionghoa” masih menjadi pemicu kerusuhan, namun massa cenderung memanfaatkan
keadaan dengan melakukan pengrusakan, penjarahan, dan pembakaran disejumlah pertokoan.
Seperti yang terjadi di Glodok tanggal 14 Mei 1998, massa mulai mendatangi Pasar Glodok
dan Orian Plaza serempak melakukan pengrusakan, penjarahan, dan pembakaran. Sebelum
terjadi kerusuhan di pasar Glodok, pihak PD. Pasar Jaya tidak mengkhawatirkan kawasan pasar
Glodok dan Orion Plaza akan di serbu massa karena tempat tersebut jauh dari pusat kerusuhan
(seputaran kampus Trisakti), sehingga tempat tersebut tetap melakukan kegiatan
perekonomiannya seperti biasa meskipun di wilayah sekitar Trisakti terjadi kerusuhan. Sekitar
pukul 10.00 WIB, dari Jalan Beos (sekitar Stasiun Kota) massa berkerumun dari berbagai
arah12.
Kemudian massa merusak fasilitas umum seperti pot-pot, pagar di sepanjang jalan, dan
lampu merah, kemudian mereka melakukan pelemparan batu ke arah pertokoan disepanjang
jalan raya. Pengelola pasar elektronik (pasar Glodok dan Orion Plasa Glodok) merasa khawatir
melihat keadaan tersebut sehingga memerintahkan penjaga keamanan (satpam) agar para
pedagang segera menutup semua toko dan pergi menyelamatkan diri melewati parkiran mobil
yang letaknya berada di lantai tujuh dekat dengan kantor pasar Glodok, sedangkan di luar
Glodok toko-toko lain bergegas menutup tempat dagangannya dan pedagang kaki lima
mengemasi barang dagangan kemudian segera pergi meninggalkan lapak yang ditempatinya,
ada juga yang melihat-lihat suasana keramaian.
Serempak massa menyerang pasar Glodok dan Orian Plaza dengan lemparan batu dan
mencoba masuk ke dalam toko. Mereka menjarah sejumlah alat-alat elektronik yang ada di
dalam toko. Tiba-tiba Orion Plaza terbakar dan menghanguskan gedung yang terbagi menjadi
dua (pasar Glodok dan Orion Plaza Glodok). Melihat hal tersebut, aparat keamanan (polisi)
mulai membubarkan kerumunan perusuh dengan mengeluarkan beberapa tembakan dan
mengejar para penjarah, akan tetapi dengan banyaknya jumlah penjarah polisi merasa kualahan
untuk menghentikannya.
Kerusuhan di Glodok seperti perang, dimana penembakan selalu terdengar. Bukan
hanya pasar Glodok dan Orion Plaza yang menjadi sasaran kerusuhan massa, akan tetapi toko-
toko yang berada di pinggir jalan raya juga menjadi sasaran penjarahan. Seperti toko “Maju”
di Jalan Pancoran Glodok milik Ibu Yanti Ningsih (Yien Tie) yang melayani penjualan air isi
ulang dan peralatan dapur menjadi sasaran aksi penjarahan massa. Hanya Petak Sembilan
(pemukiman warga dan pasar tradisional) yang selamat dari kerusuhan13. Menjelang sore hari,
tersiar isu teror bahwa massa akan menyerbu pemukiman Petak Sembilan yang kebanyakan
dihuni oleh etnis Tionghoa dan masyarakat pribumi. Mendengar hal tersebut, masyarakat
Glodok panik menyewa aparat polisi dengan membayar sejumlah uang sebesar Rp
2.000.000,00 untuk satu orang guna mengamankan pemukiman atau ruko mereka, sedangkan

12
Ginting, S. O. B. (2019). Etnis Tionghoa pada Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta.
13
Hikmawati, C. L. (2022). Opresi berlapis perempuan etnis Tionghoa: Pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam
tragedi Mei 1998 di Jakarta. Jurnal Politik, 2(2), 4.

6
dari pihak Kelurahan Glodok mengantisipasi melakukan pengamanan dengan ronda bersama
untuk mengusir massa yang ingin berbuat rusuh.

2.3 Dampak Kerusuhan Mei 1998


Kerusuhan Mei 1998, tidak hanya menyebabkan 4 mahasiswa tewas. Sebagian orang
juga dinyatakan hilang, dan banyak warga mengalami luka, trauma dan kerugian material lain.
Beberapa orang yang dilaporkan hilang ke YLBHI/Kontras dan belum ditemukan sampai
Laporan Akhir TGPF dibuat yakni Yadin Muhidin (23 tahun) hilang di daerah Senen, Abdun
Nasir (33 tahun) hilang di daerah Lippo Karawaci, Hendra Hambali (19 tahun) hilang di daerah
Glodok Plaza, dan Ucok Siahaan (22 tahun) tidak diketahui lokasi hilangnya14.
Berdasarkan data yang dihimpun TGPF, tim relawan menyebutkan korban meninggal
dunia dan luka-luka 1.190 orang akibat ter/dibakar, 27 akibat senjata, dan 91 luka-luka. Data
Polda Metro, 451 orang meninggal, korban luka-luka tidak tercatat. Data Kodam Jaya, 463
meninggal termasuk aparat keamanan, 69 luka-luka. Data Pemda DKI, jumlah korban
meninggal 288 orang, dan luka-luka 101 orang. Untuk kota-kota lain di luar Jakarta, variasi
angkanya sebagai berikut15:
 Data Polri 30 orang meninggal dunia, luka-luka 131 orang, dan 27 orang luka bakar.
 Data Tim Relawan 33 meninggal dunia, dan 74 luka-luka.

Untuk mengungkap fakta, pelaku, dan latar belakang Tragedi Mei, pemerintah
membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang terdiri dari unsur-unsur pemerintah,
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), LSM, dan organisasi kemasyarakatan
lain. Tim ini dibentuk pada 23 Juli 1998, dan bekerja hingga 23 Oktober 1998. TGPF dipimpin
Marzuki Darusman.

2.4 Prospek Penyelesaian Kasus Kerusuhan Mei 1998 Dalam Pandangan Hak Asasi
Manusia
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (UU RI N0, 39 Tahun 1999
Bab I pasal 1:3). Berdasarkan pengertian di atas pada kasus Tragedi Trisakti 12 Mei 1999, jelas
telah terjadi pelanggaran HAM berat bila kita melihat dari kacamata kejujuran dan hati nurani.
Para penganut HAM banyak yang secara pesimistis menganggap HAM sebuah kebenaran yang
terbukti tidak pernah dapat diwujudkan16. Namun kita mempunyai sikap optimis untuk dapat
mewujudkan eksistensi HAM di Indonesia walaupun banyak tantangan dan hambatan.
Sudah 20 tahun lebih pengadilan HAM di Indonesia berdiri berdasarkan Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000, tetapi belum dapat mengusut tuntas pelanggaran-pelanggaran
HAM berat yang terjadi di era Orde baru maupun pada era Reformasi sekarang ini. Padahal
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tersebut telah menerangkan dengan jelas setiap porsi

14
Soemantri, F. U. J. P. D. Etnis Tionghoa pada Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta
15
Hikmawati, C. L. (2022). Opresi berlapis perempuan etnis Tionghoa: Pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam
tragedi Mei 1998 di Jakarta. Jurnal Politik, 2(2), 4.
16
Hutahaean, J. (2014). Dampak Kerusuhan Mei 1998 Terhadap Pengu-Saha Etnis Tionghoa Di Petukangan Jakarta Tahun 1998-2003. Journal
of Indonesian History, 3(1)

7
tugas dan kewenangan aparatur negara yang melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
serta pengadilannya17. Landasan hukum tentang HAM di Indonesia sangat kuat, tercantum
dalam UUD 1945, Deklarasi Universal dari fraksi-fraksi di DPR, yaitu Fraksi PKS, Fraksi PDI
P dan Fraksi PDS.
Telah ada upaya nyata dalam penyelesaian kasus kerusuhan Mei 1998 ini dalam
perspektif hukum maupun HAM. Namun nampaknya belum ada kesungguhan dan komitmen
yang kuat dalam menuntaskan kasus ini. Penuntasan kasus tidak hanya di permukaan saja tetapi
harus sampai ke akar-akarnya. Sebuah prospek yang baik ketika HAM menjadi perhatian dunia
Internasional dan komitmen pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa
lalu. Kalangan optimis terus mendorong Presiden Jokowi untuk melakukan tiga hal: Pertama,
Konsolidasi Internal, Presiden perlu memastikan jajarannya bekerja sesuai undang-undang.
Pejabat pemerintah boleh mengutamakan rekonsiliasi, namun rekonsiliasi bukan
substitusi kewajiban hukum negara. Undang-undang Pengadilan HAM memerintahkan Jaksa
Agung bertindak selaku penyidik untuk melanjutkan penyelidikan Komnas HAM
mendapatkan alat bukti hukum, menemukan tersangka dan menuntut pelaku. Temuan Komnas
HAM tak terbantahkan yaitu ada saudara sebangsa kita telah mengalami pelanggaran HAM.
Presiden harus mendisiplinkan pejabat untuk menginterpretasi sendiri dan mereduksi perintah
undang-undang. Kedua, konsolidasi eksternal diperlukan karena adanya indikasi kaum
konservatif menekan Presiden Jokowi dengan mendramatisir “isu”sehingga tercipta opini
antagonistik dan benturan sosial berbasis aliran politik. Ketiga, Konsolidasi lembaga tinggi
negara. Presiden Jokowi sekarang ini memang menguasai 2/3 suara di DPR setelah Golkar
membawa 15 persen kursi tambahan. Hambatan dan sandungan dapat dihadapi pemerintah baik
internal maupun eksternal, terutama dari partai yang baru bergabung maupun dari kalangan
militer atau golongan anti HAM18. Presiden perlu memperhatikan pula kualitas partai koalisi
yang mempunyai komitmen yang sama untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM.
Walaupun untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Indonesia bukanlah
sesuatu yang mudah karena melibatkan tokoh-tokoh “besar” dan adanya berbagai
“kepentingan”, namun harus terus diupayakan penyelesainnya hingga tuntas. Komitmen yang
kuat dan tindakan kolektif seluruh institusi yang terkait baik institusi sosial maupun politik
sangat dibutuhkan. Hukum dan HAM di Indonesia harus benar-benar ditegakkan tanpa harus
“tebang pilih”. Siapapun pelanggar hukum dan HAM harus mendapatkan hukuman sesuai
dengan hukum di Indonesia. Penegakkan hukum dan HAM bukan hanya kepentingan aktivis
HAM atau korban-korban akibat ketidakadilan hukum dan pelanggaran HAM, tetapi
kepentingan seluruh masyarakat Indonesia. Kasus-kasus yang hingga saat ini masih menjadi
beban masyarakat hendaknya segera diselesaikan dengan seadil-adilnya. Jika pemerintah tidak
juga menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, maka masyarakat Indonesia dapat mengajukan
masalah ini sampai ke PBB untuk menuntaskan beberapa kasus pelanggaran HAM termasuk
kasus kerusuhan Mei 1998.

17
Hikmawati, C. L. (2022). Opresi berlapis perempuan etnis Tionghoa: Pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam
tragedi Mei 1998 di Jakarta. Jurnal Politik, 2(2), 4.
18
Ginting, S. O. B. (2019). Etnis Tionghoa pada Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta.

8
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah bahwa sebagai anugerah dari Tuhan terhadap
makhluknya, hak asasi tidak boleh dijauhkan atau dipisahkan dari dipisahkan dari eksistensi
pribadi individu atau manusia tersebut. Hak asasi tidak bisa dilepas dengan kekuasaan atau
dengan hal-hal lainnya, Bila itu sampai terjadi akan memberikan dampak kepada manusia
yakni manusia akan kehilangan martabat yang sebenarnya menjadi inti nilai kemanusiaan.
Walaupun demikian, bukan berarti bahwa perwujudan hak asasi manusia dapat dilaksanakan
secara mutlak karena dapat melanggar hak asasi orang lain. Memperjuangkan hak sendiri
sembari mengabaikan hak orang lain merupakan tindakan yang tidak manusiawi. Kita wajib
menyadari bahwa hak-hak asasi kita selalu berbatasan dengan hak-hak asasi orang lain, karena
itulah ketaatan terhadap aturan menjadi penting.
Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di
Indonesia pada 13 Mei–15 Mei 1998, khususnya di Ibu Kota Jakarta namun juga terjadi di
beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial, hal ini pun mengakibatkan
penurunan jabatan Presiden Soeharto, serta pelantikan B. J. Habibie. Pada kerusuhan ini
banyak toko dan perusahaan dihancurkan oleh amuk massa terutama milik warga Indonesia
keturunan Tionghoa. Kerusuhan Mei 1998, tidak hanya menyebabkan 4 mahasiswa tewas.
Sebagian orang juga dinyatakan hilang, dan banyak warga mengalami luka, trauma dan
kerugian material lain. Berdasarkan data yang dihimpun TGPF, tim relawan menyebutkan
korban meninggal dunia dan luka-luka 1.190 orang akibat ter/dibakar, 27 akibat senjata, dan
91 luka-luka. Data Polda Metro, 451 orang meninggal, korban luka-luka tidak tercatat.

3.2 Saran
Nilai-nilai HAM selalu tercermin dan dijamin oleh hukum, dalam bentuk perjanjian-
perjanjian, hukum kebiasaan internasional, prinsip-prinsip umum dan normanorma lain dari
hukum internasional. Negara mempunyai kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan
memenuhi hak asasi manusia.

9
DAFTAR PUSTAKA

Ginting, S. O. B. (2019). Etnis Tionghoa pada Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta.
Gomar, N. (2022). Gambaran forgiveness pada masyarakat beretnis Tionghoa yang menjadi
korban peristiwa kerusuhan Mei 1998 (Doctoral dissertation, Universitas Pelita
Harapan).
Hikmawati, C. L. (2022). Opresi berlapis perempuan etnis Tionghoa: Pemerkosaan massal
terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam tragedi Mei 1998 di Jakarta. Jurnal
Politik, 2(2), 4.
Hutahaean, J. (2014). Dampak Kerusuhan Mei 1998 Terhadap Pengu-Saha Etnis Tionghoa Di
Petukangan Jakarta Tahun 1998-2003. Journal of Indonesian History, 3(1).
ISKANDAR, J. (2014). Pemuda Etnis Tionghoa & Konstruksi Atas Kerusuhan Mei 1998 di
Jakarta (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).
Permana, B. (2018). Etnis Tionghoa Pada Masa Orde Baru: Studi Atas Tragedi Kemanusiaan
Etnis Tionghoa Di Jakarta (1998) (Bachelor's thesis, Fakultas Adab & Humaniora).
Sinuhaji, D. K. (2017). Perubahan Nilai Budaya Etnis Tionghoa di Kota Medan: Studi kasus
kerusuhan mei Tahun 1998 (Doctoral dissertation, Universitas Sumatera Utara).
Soemantri, F. U. J. P. D. Etnis Tionghoa pada Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta.

10

Anda mungkin juga menyukai