Anda di halaman 1dari 25

GEGER PACINAN: TRAGEDI PEMBANTAIAN

WARGA TIONGHOA DI BATAVIA

Penyusun
Kelompok 1A :
1. Siti Nurhasanah (1813033003)
2. Christine Amellia Putri (1813033025)
3. Novita Trisnawati (1813033027)
4. Salsabila Az Zahra (1813033037)
5. Ida Ayu Komang Fitri Yani (1813033045)
6. Abiel Fauzan Alvarous (1813033057)

Mata Kuliah : Sejarah Imperialisme dan Kolonialisme


Dosen Pengampu : Drs. Syaiful M., M. Si./Rinaldo Adi Pratama, S.Pd., M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2020

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
penyayang, kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Geger Pacinan: Tragedi Pembantaian Warga
Tionghoa di Batavia” sebagai salah satu tugas mata kuliah Sejarah Imperialisme
dan Kolonialisme. Atas dukungan moral dan material yang diberikan dalam
penyusunan makalah ini, maka penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
orang tua, saudara, dan seluruh keluarga yang telah mencurahkan doa dan
semangat kepada kami. Tidak lupa pula kami mengucapkan terima kasih Bapak
Drs. Syaiful M., M.Si. dan bapak Rinaldo Adi Pratama, S.Pd., M.Pd. selaku
Dosen yang membimbing sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Serta teman-
teman yang telah banyak membantu dan memberi dukungan khususnya teman-
teman dari Program Studi Pendidikan Sejarah 2018.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dari
semua pihak. Dan apabila kesalahan kata atau penulisan, penulis mohon maaf
yang sebesar besarnya.

Bandar Lampung, Oktober 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL...................................................................................i

KATA PENGANTAR....................................................................................ii

DAFTAR ISI...................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah............................................................................2

1.3 Tujuan Penulisan..............................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Kehidupan Warga Tionghoa di Batavia.........................................3

2.2 Latar Belakang Pembantaian Warga Tionghoa di Batavia.........7

2.3 Peristiwa Pembantaian Warga Tionghoa di Batavia


............................................................................................................
12

2.4 Dampak Pembantaian Warga Tionghoa di Batavia


............................................................................................................
17

BAB III PENUTUP

3.1 Simpulan.............................................................................................20

3.2 Saran...................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................22

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan sebuah Negara majemuk yang memiliki


keanekaragaman ras, agama, jenis kelamin, golongan, dan suku. Sebagai Negara
yang memiliki keberagaman tersebut, Indonesia memiliki semboyan Bhineka
Tunggal Ika sebagai alat pemersatu bangsa yang didasari atas keberadaannya.
Keberagaman tersebut terbentuk melalui sebuah proses seperti, kedatangan
imigran asing yang datang ke Indonesia dan kemudian menetap. Para pendatang
tersebut diantaranya berasal dari Cina, India, Eropa, dan Arab dan lainnya. Dari
situlah terbentuk suatu keanekaragaman suku bangsa serta budaya. Orang-orang
imigran yang paling banyak datang ke Indonesia merupakan orang cina atau
dikenal sebagai etnis Tionghoa (Wigarani, 2019: 114).

Etnis Tionghoa sudah ada di Indonesia sejak sebelum Indonesia merdeka.


Kehadiran etnis ini turut memberikan warna dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Populasi Tionghoa di Indonesia berdasarkan sesnsus penduduk pada tahun 2010
sebanyak 1,205 dari jumlah penduduk Indonesia. Persebaran warga Tionghoa
yang besar terbagi menjadi lima wilayah yaitu, Batavia, Kalimantan Barat,
Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa Timur. Pembagian kelas yang dilakukan
pada masa penguasaan Belanda dan dipilihnya beberapa kaki tangan Belanda dari
orang Tionghoa, serta label eksklusif berupa kemudahan yang diberikan pada
masa Orde Baru menyebabkan kecemburuan dan kebencian masyarakat Indonesia
dengan warga Tionghoa (Suryaningtyas, 2018: 336).

Tionghoa menjalin hubungan baik dengan VOC jauh sebelum VOC


menguasai Batavia, terutama dalam perdagangan. Dalam tujuang ingin
memperoleh keuntungan yang besar, maka VOC memberikan tawaran kepada
warga Tionghoa agar melakukan aktivitas perdagangan di Batavia ketika VOC
sedang mengalami hubungan politik yang panas dengan Banten. Semakin lama
seiring dengan permintaan pasar gula semakin meningkat, semakin deras pula

1
imigran Cina yang datang ke Indonesia. Orang Cina yang datang terkenal dengan
orang yang tidak cakap bekerja dan kasar serta sering mencuri. Semakin
banyaknya imigran Cina ini, maka peluang dagang semakin kecil serta wilayah
penduduk yang semakin sempit karena harus memberikan tempat tinggal bagi
warga Tionghoa. Pada saat itu, VOC membuat aturan mengenai lisensi agar warga
Tionghoa membayar dua ringgit atas tempat yang diberikan dan sebagai akses
agar bisa masuk ke Batavia. Semakin lama semakin banyak pelanggaran yang
dilakukan warga Tionghoa yang tidak memiliki lisensi, sehingga banyak
penangkapan yang dilakukan terhadap warga Tionghoa. Dalam (Husin, 2016:
145) VOC yang terkenal pragmatis dalam menghadapi perekonomian di Batavia
menimbulkan sebuah tragedi yang besar di daerah tersebut, untuk mengetahui
secara lebih jauh mengenai peristiwa antara VOC dan warga Tionghoa tersebut,
maka makalah ini kami susun dengan judul “Geger Pacinan: Pembantaian Warga
Tionghoa di Batavia”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang dapat di ambil
adalah :
1.2.1 Bagaimana kehidupan warga Tionghoa di Batavia ?
1.2.2 Apa yang melatarbelakangi pembantaian warga Tionghoa di Batavia ?
1.2.3 Bagaimana peristiwa pembantaian warga Tionghoa di Batavia?
1.2.4 Bagaimana dampak pembantaian warga Tionghoa di Batavia?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memahami :
1.3.1 Kehidupan warga Tionghoa di Batavia
1.3.2 Latar belakang pembantaian warga Tionghoa di Batavia
1.3.3 Peristiwa pembantaian warga Tionghoa di Batavia
1.3.4 Dampak pembantaian warga Tionghoa di Batavia

2
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Kehidupa Warga Tionghoa


2.1.1 Sejarah Kedatangan dan Kehidupan Warga Tionghoa di Batavia

Pada tahun 1611, ketika Pieter Both menjadi Gubernur Jenderal VOC
yang masih berkedudukan di Maluku, ia mengutus bawahannya Jan Pieterszoon
Coen untuk membeli hasil bumi terutama lada ke Banten. Di Banten, Coen
berkenalan dengan Souw Beng Kong atau yang lebih sering dipanggil Bencon
oleh orang-orang Belanda, seorang pedagang Tionghoa yang sangat berpengaruh
dan mempunyai perkebunan lada yang luas sekali. Setiap pedagang asing seperti
Portugis, Inggris, dan Belanda yang ingin membeli hasil bumi dari petani Banten
harus melakukan negosiasi harga dengan Souw Beng Kong (Lisminingsih, 2012).

Orang-orang Tionghoa yang melakukan migrasi ke Asia Tenggara


biasanya berasal dari provinsi Kwangtung dan Fukien (Vandenbosch, 1947: 90).
Orang yang berasal dari Fukien berlogat Hokkien. Sedangkan yang dari
Kwangtung, disebut Hakka, biasanya berasal dari Kanton, Hoklo dari Swatow,
Haifoeng dari Pulau Hainan. Umur rata-rata orang Tionghoa saat bermigrasi
antara umur 20-45 (Utama, 2012: 20).

Pada masa itu masyarakat Tionghoa berdiam di sebuah kampung yang


dikelilingi pohon bambu yang kelak terkenal dengan sebutan “bambu Cina”.
Kebanyakan dari mereka datang dari pesisir Tiongkok Selatan, yang pada
mulanya datang untuk berdagang dan memuat barang-barang dagangannya ke
jung-jung untuk kembali ke negerinya. Akan tetapi kemudian, banyak di antara
mereka yang memutuskan untuk tinggal dan mencari penghidupan di sini. Orang-
orang Tionghoa ini menjual barang-barang dagangannya di Pelabuhan Banten.
Pelabuhan Banten merupakan sebuah pelabuhan yang ramai dikunjungi para
pedagang mancanegara. Pada bulan Februari hingga April para pedagang
Tionghoa berdatangan untuk membeli hasil bumi, terutama lada dan kopra. Peran
orang-orang Tionghoa ini sangat penting dalam memajukan perdagangan di

3
Kesultanan Banten. Oleh karena itu Jan Pieterszoon Coen mencoba
mempengaruhi Souw Beng Kong yang terkenal sebagai pedagang yang piawai,
tapi Coen tidak berhasil. Sebaliknya Sultan Banten merasa puas dengan
keberadaan Souw Beng Kong dan orang-orang Tionghoa lainnya, karena orang-
orang Tionghoa inilah yang banyak mengajarkan teknologi baru terutama di
bidang pertanian. Orang-orang Tionghoa mengajarkan cara menanam padi di
sawah yang berpetak-petak dengan menggunakan pematang dan mengairinya.
Ketika Jan Pieterszoon Coen berhasil mendirikan Batavia pada tahun 1619,
penduduk setempat tidak mau berhubungan dengan Belanda. Demikian juga
dengan orang-orang Tionghoa, karena sebelum tahun 1614 pihak Belanda telah
membuat suatu perjanjian dengan pangeran Jayakarta yang melarang orang-orang
Tionghoa membangun rumah di sekitar loji yang didirikannya. Padahal ketika itu
sudah banyak orang Tionghoa yang mendirikan rumah dan tinggal di tepi laut di
dekat tempat loji itu didirikan sehingga banyak rumah orang Tionghoa yang harus
dibongkar dan pindah ke tempat lain.

Orang-orang Tionghoa tidak bisa menerima dengan perlakuan Coen


terhadap mereka. Mereka pun memboikot Belanda, pemboikotan ini semakin lama
semakin hebat. Para pedagang Tionghoa tidak mau lagi menjual barang
dagangannya kepada Belanda. Tidak ada lagi orang Tionghoa yang bersedia
memperbaiki sepatu-sepatu tentara Belanda. Pada situasi seperti ini, Coen mulai
sadar bahwa ia harus mempergunakan tangan Souw Beng Kong untuk
mempengaruhi dan mengurus orang-orang Tionghoa ini. Di bawah pimpinan
Souw Beng Kong, jumlah penduduk Tionghoa di Batavia meningkat pesat. Kalau
pada tahun 1619 hanya ada 400 orang, pada tahun 1622 bertambah menjadi 1.000
orang. Mereka pada umumnya hidup dari berdagang dan bertani. Pemboikotan
kepada Belanda yang semula dilakukan oleh orang-orang Tionghoa berangsur-
angsur dihentikan, karena pemerintah Belanda kini memberi kebebasan kepada
orang Tionghoa untuk membangun rumahnya di mana saja mereka suka. Setiap
hari, ada saja orang Tionghoa yang masuk ke Batavia. Daerah perumahan
berkembang dengan cepat, baik di dalam kota maupun di luarnya. Demikian juga
sektor perdagangan berkembang dengan pesat. Boleh dikatakan Souw Beng Kong

4
turut membangun fondasi untuk mengembangkan kota Batavia yang dimulai oleh
Jan Pieterszoon Coen (Lisminingsih, 2012: 21).

Pada tahun 1619 sekitar 300-400 orang Tionghoa tinggal di Batavia.


Tahun 1620 jumlahnya bertambah menjadi 800 orang. Tahun 1621 jumlahnya
bertambah lagi menjadi 2.100 orang dan tahun 1627 menjadi 3.500 orang.
Populasi orang Tionghoa pada abad ke-17 lebih banyak daripada orang-orang
Eropa. Populasi orang mestizo dan mardijker hanya sekitar seribu orang. Begitu
pula dengan orang pribumi dari berbagai latar belakang etnis yang tidak menjadi
budak. Menariknya, populasi mayoritas justru ditempati oleh para budak-budak.
Populasi mereka pada tahun 1679 sekitar 16.695, dimana 5.654 hidup di daerah
timur dan 5709 di daerah barat serta 5.332 berada di pinggiran kota. Pada akhir
abad ke-17, Batavia telah menyulap dirinya menjadi kota multi etnis.

Orang-orang dari berbagai etnis ini dibagi menjadi dua kategori: kategori
elit yang tinggal di dalam benteng dan kategori biasa, miskin dan budak yang
tinggal di luar benteng. Orang Eropa umumnya tinggal di dalam benteng kota
sedangkan di luar benteng adalah para budak dari berbagai wilayah Nusantara.
Berlainan dengan pemukiman warga lokal, awalnya orang Tionghoa bertempat
tinggal bebas di manapun di wilayah Batavia. Tidak hanya di benteng kota tapi
juga termasuk di wilayah-wilayah pedalaman. Mereka mendirikan beberapa
institusi orang Eropa seperti: rumah sakit, panti asuhan dan panti jompo. Pada
tahun 1640 orang-orang Tionghoa di Batavia telah meminta izin membuka rumah
sakit Tionghoa yang disebut Yangji yuan atau “rumah sakit untuk orang miskin”.
Pembangunannya selesai empat tahun kemudian, dengan bangunan sederhana
terdiri dari struktur bambu dan tembok batu. Domisili warga Tionghoa di dalam
kota berada di sekitar Kali Besar, tepatnya di sisi timur Kali Besar. Orang-orang
Tionghoa telah banyak membantu pembangunan di dalam kota. Pekerjaan-
pekerjaan bangunan penting, seperti penggalian saluran dan pembangunan tembok
kota dan gedung-gedung, semua dilaksanakan oleh kontraktor-kontraktor
Tionghoa terkenal, seperti Jan Con dan Bingham. Di luar benteng, Orang
Tionghoa sejak tahun 1620 telah membuka lahan di wilayah pedalaman mengikuti
aliran Ciliwung ke arah selatan. Di sekitar wilayah ini kemudian dibuka lahan-
lahan untuk usaha pertanian.

5
Pada abad ke-17 orang Tionghoa di Batavia telah berkecimpung di
petanian. Pada abad ke-17 orang Tionghoa di Batavia telah berkecimpung di
petanian. Tahun 1662, dalam surat yang dituliskan pengganti van Riebeeck,
dituliskan bahwa ada sekitar 25-30 orang Tionghoa yang mempunyai pengetahuan
dalam bertani. Van Imhoff mengakui bahwa pemerintah Belanda bergantung
kepada orang Tionghoa dalam hal pertanian. Dia mengatakan “Orang
Tionghoalah yang mulai mengolah tanah, kini tiba saatnya bagi kita untuk
menyempurnakan dan meluaskan pertanian”. Bidang pertanian yang
dibudidayakan orang Tionghoa di Batavia mencakup padi, nila, kacang tanah dan
tebu. Budidaya paling penting dari semua komoditas pertanian Tionghoa adalah
budidaya tebu. Perkebunan tebu menjadi tulang punggung ekonomi Batavia ketika
pembukaan wilayah baru semakin diperluas sampai daerah di luar benteng.
Daerah ini merupakan wilayah Ommelanden. Awalnya, pada tahun 1620an,
orang-orang Belanda dan Tionghoa membersihkan lahan di daerah luar tembok
kota kemudian menanam kebun kelapa. Akhirnya, orang-orang Tionghoa Batavia
kebanyakan mendirikan pemukiman di daerah ini. Jumlahnya pada tahun 1739
mencapai 10.574.

Pada tahun 1710 terdapat 130 pabrik gula milik 84 pengusaha di


Ommelanden, proporsinya 79 milik orang Tionghoa, 4 orang Belanda dan 1 orang
Jawa. Menjelang tahun 1710 tercatat 131 penggilingan tebu di Batavia: 49 buah di
barat Sungai Ciliwung dan 82 di sebelah timur. Olahan dari tebu menghasilkan
berbagai macam produk, salah satunya arak. Arak yang berasal dari Batavia
merupakan arak kualitas satu yang diakui kualitasnya oleh dunia. Arak Batavia
dibuat dari bahan utama: beras yang difermentasi, tetes tebu dan tuak yang terbuat
dari nira. Berbeda dengan di wilayah pedalaman, masyarakat Tionghoa di wilayah
pesisiran menyibukkan diri dengan budidaya tiram, ikan dan pembuatan garam.
“Sejak tanggal 28 Desember 1655” tulis Valentijn, orang Tionghoa di Batavia
telah diberi hak istimewa selama tiga tahun dalam pengembangan budidaya tiram.
Boomgaard mencatat “dari data tahun 1623, 1632 dan 1633, pemancingan di
Batavia dipegang oleh etnis Tionghoa dan freeburgher”. Di sepanjang pesisir
Batavia sejak abad ke-17 telah ditemukan tambak-tambak yang dipegang oleh
orang Tionghoa. Tahun 1687 terjadi penyerahan rawa yang terletak di timur

6
Batavia kepada Tan Benko agar ia mengolahnya menjadi tambak ikan.
Masyarakat Tionghoa telah tertarik untuk membudidayakan tambak. Tambak
sendiri sering disebut empang yang berasal dari bahasa Hokkian, pang, yang
artinya “petak, kotak”.

Tidak semua masyarakat Tionghoa berprofesi sebagai pedagang. Hal ini


dikuatkan dengan sensus penduduk yang dilakukan setelah peristiwa 1740. Dalam
suatu sensus penduduk atas 3.431 kepala keluarga Tionghoa, Terdapat 1.442
orang Tionghoa yang berdagang, 935 yang bertani, 728 bekerja dalam produksi
gula dan penebangan kayu dan 362 orang menekuni seni kriya. Dalam hal profesi
memang tidak ada suatu perubahan besar yang terjadi setelah peristiwa 1740
(Utama, 2012: 20-22).

2.2 Latar Belakang Pembantaian Warga Tionghoa di Batavia


Hubungan dagang antara VOC dengan etnis Tionghoa sudah terjalin
cukup lama dan jauh sebelum VOC masuk dan berkuasa di wilayah Batavia.
Pertemuan dengan etnis Tionghoa secara menetap mulai berlangsung ketika
pimpinan VOC di Batavia saat itu J.P. Coen memberikan tawaran bagi para
pedagang Cina untuk melakukan aktivitas perdagangan di kota Batavia, hal
tersebut dilandasi oleh motif keuntungan perdagangan yang bisa di dapatkan oleh
VOC. Sartono menjelaskannya sebagai politik “pintu terbuka”, dan kebijakan
tersebut dilakukan pada saat hubungan politik antara VOC dan Banten sedang
memanas (Husin, 2016: 144).

Pembantaian penduduk Cina di Batavia pada tahun 1740 merupakan


akibat dari buruknya sistem pengelolaan VOC. Penduduk Cina ditempatkan diluar
kawasan tembok Kota Batavia yang disebut Ommelanden. Keuntungan yang
diperoleh dari kebijakan ini, yaitu lokasi pemukiman di luar tembok kota
dijadikan wilayah penyangga keamanan di sekeliling tembok kota, dan juga
penduduk tersebut diizinkan untuk mengusahakan pertanian-perkebunan
diwilayah pemukiman mereka agar kelompok ini swasembada. Maka VOC tidak
perlu mengeluarkan biaya untuk penjagaan keamanan di sekitar Batavia,
sementara keamanan dalam tembok kota yang didiami oleh warga kulit putih
ditangani oleh pasukan schutterij. Berbeda dengan masyarakat yang tinggal di

7
dalam Kota Batavia, masyarakat Cina diluar kota Batavia sulit dikontrol, berada di
luar jangkauan pemerintah VOC, karena tidak terdapat organisasi masyarakat
Cina seperti di Batavia (Fuad, 2013: 32).

Warga Cina pada saat itu dikepalai oleh seorang Kapitan Cina yang
bertugas memungut pajak bagi VOC. Masyarakat Cina adalah masyarakat yang
cinta damai, dan pada umumnya masyarakat Cina yang tinggal diluar tembok
Batavia hidup sebagai petani atau menjadi kuli perkebunan gula. Hoetink dalam
Fuad (2013: 32) menggambarkan dalam tulisannya:

“Di oedik-oedik Betawi itoe waktu boleh jadi betoel ada mengoembara
orang-orang Tionghoa jang tida baek. Aken tetapi bagian jang paling
besar dari orang-orang Tionghoa jang tinggal disana sebagi orang tani
atawa sebagi koeli koeli dalem penggilingan teboe tentoelah tida harep
laen daripada bisa lakoeken pekerdjaannja dengan aman dan sentosa”

Penduduk Cina di Batavia mengalami pengaturan dalam berbagai sistem,


sebagai berikut.

1. Sistem Opsir
Pemerintah melalui Raad van Indie· atau Dewan Hindia melakukan sistem
opsir atau Kapitan Cina (Kapitein) untuk memudahkan pengawasan orang
Cina yang jumlahnya semakin besar di Batavia. Pada tahun 1619 J.P. Coen
menunjuk Souw Beng Kong sebagai kapitan atas 400 orang Cina di Batavia.

2. Sistem Pemukiman (Wijkenstelsel)


Sistem ini digunakan untuk mengawasi penduduk Cina. Dengan sistem
tersebut, orang Cina diharuskan tinggal pada tempat tertentu di bawah
pengawasan kapitan mereka. Sistem pemukiman ini melarang orang Cina
hidup di antara orang pribumi sehingga membatasi komunikasi antara orang
Cina dan ras lain. Untuk keperluan mobilitas, mereka diharuskan memiliki
surat/ pas jalan (pasbriefje) dan surat keterangan izin tinggal (lecentiebriefje)

3. Sistem Status
Penduduk kota Batavia ditempatkan sesuai dengan agama mereka, yaitu Islam,
Kristen, dan non-Kristen. Pembagian ini sejalan dengan pembagian ras.

8
Sistem pemukiman, pas jalan (pasbriefje), dan status memaksa orang-orang
Cina tinggal di dalam kota (Suratminto, 2004: 16-17).

Masyarakat Cina yang masuk ke Batavia sebagian besar bekerja pada


pabrik-pabrik gula yang umumnya dimiliki oleh pengusaha-pengusaha Cina kaya.
Pada tahun 1710 terdapat 130 pabrik gula milik 84 pengusaha dimana 79
diantaranya adalah pengusaha Cina. Masyarakat Cina yang datang ke Nusantara
khususnya Batavia semakin banyak, sehingga dianggap akan menimbulkan
bahaya kuning (istilah menandai banyaknya orang Cina). Hal ini menimbulkan
niat VOC untuk memberlakukan surat izin tinggal yang kemudian menjadi ajang
pemerasan oleh pejabat-pejabat VOC. Surat izin tersebut merupakan respon atas
banyaknya pendatang Cina tak berizin yang menjadi tenaga kerja ilegal di
Batavia. Surat izin ini sangat beragam, seperti permissie briefie (surat izin tinggal)
bagi mereka yang telah bertempat tinggal di Batavia lebih dari 10 tahun, licentie
briefie bagi masyarakat Cina yang bertempat tinggal 3 bulan untuk urusan niaga
dengan membayar 2 riksdalder, dan bagi yang akan pulang ke Tiongkok dan
berniat kembali ke Batavia juga wajib mendapat izin (Fuad, 2013: 32-33).

Masyarakat Cina di luar tembok kota Batavia sering mengalami


penangkapan, pemerasan, dan intimidasi dari pejabat-pejabat VOC Hoetink dalam
Fuad (2013: 33) menuliskan:

“Penangkepan itoe tida patoet adanja dan itoe orang-orang djadi


keilangan dalem satoe saat miliknja jang marika telah tjari dalem tempo
banjak taon, milik mana diperes dari marika oleh orang-orangnja
Commisaris oeroesan orang Boemipoetra jang tambahan lagi tida segan
aken bikin roesak kehormatannja marika poenja anak istri. Djoega
pemerasan dan siksaan-siksaan oleh itoe Commisaris dan penggawe-
penggawenja boleh jadi marika telah terima sadja, tjoba tida.”

Keadaan di Kota Batavia makin tidak menentu menjelang tahun 1740.


Sejak tahun 1639 dan awal 1740 orang Cina dari daerah sekitar Batavia
(ommelanden) yang memasuki Kota Batavia harus memiliki kartu tanda masuk
(permissie briefte atau pasbriefje). Tidak jarang orang Cina tertangkap dan
ditahan karena tidak memiliki surat tersebut, namun dilepas kembali setelah

9
membayar sejumlah tertentu. Di samping itu, banyak barang mereka dirampok,
tubuh mereka disiksa oleh para pejabat kompeni, yang semuanya terjadi atas
perintah komisaris. Sikap sewenang-wenang para pejabat kompeni itu membuat
sakit hati orang Cina, baik yang tinggal di daerah ommelanden maupun yang
tinggal di dalam kota Batavia. Hubungan antara orang Cina di ommelnnden dan di
dalam kota dengan pemerintah VOC di Batavia semakin buruk dan penuh dengan
kecurigaan (Suratminto, 2004: 21).

Beban masyarakat Cina ini menjadi sangat berat ketika banyak


pengangguran akibat bangkrutnya pabrik-pabrik gula. Pabrik gula banyak yang
mengalami kebangkrutan karena menurunnya permintaan pasar Eropa terhadap
gula. Pengangguran masyarakat Cina meningkat dan banyak dari mereka yang
terbelit hutang yang bertumpuk. Akhirnya banyak diantara mereka menjadi
perampok. Penderitaan masyarakat Cina tersebut semakin bertambah ketika
mereka tidak dapat mengadukan penderitaan tersebut kepada pejabat yang
pemerintah yang berwenang. Surat izin yang diberlakukan oleh VOC terhadap
masyarakat Cina di Batavia ternyata diperjualbelikan oleh pejabat pemerintahan
VOC, sedangkan bagi orang Cina yang tidak memiliki surat izin tinggal di
Batavia akan dideportasi ke Ceylon (Srilanka), sehingga pada akhirnya
menimbulkan pemberontakan dari penduduk Cina di Batavia. Beberapa orang
Cina kemudian menghasut kawan-kawannya untuk mengadakan perlawanan
terhadap kesewenang-wenangan VOC. Selain itu muncul isu yang menyatakan
bahwa orang-orang yang hendak dideportasi ke Ceylon tersebut tidak akan pernah
sampai Ceylon (Srilanka) karena ditenggelamkan di tengah laut. Masyarakat Cina
yang telah terhasut oleh adanya isu tersebut kemudian mempersenjatai diri dan
bersiap melawan VOC. Melihat aksi berani dari warga etnis Tionghoa, VOC
semakin menaruh rasa tidak suka terhadap warga Tionghoa sehingga peraturan
terhadap merekapun semakin diperketat. Gubernur Jenderal Valckenier kemudian
menyerahkan masalah ini kepada Parlemen untuk dibahas. Berdasarkan hasil rapat
Parlemen pada tanggal 25 Juli 1740 diberlakukan resolusi berupa penangkapan
kepada warga etnis Tionghoa yang dianggap mencurigakan, baik kepada mereka
yang telah memiliki izin tinggal maupun yang belum memiliki izin tinggal. Bagi
mereka yang tidak bisa membuktikan dirinya memiliki pekerjaan yang tetap akan

10
dibuang ke Srilangka. Tindakan keras ini diberlakukan sebagai akibat dari
munculnya kekhawatiran atas terulangnya peristiwa konspirasi dan
pemberontakan yang dilakukan oleh Pieter Eberveld terhadap kekuasaan VOC
(Fuad, 2013: 33-34).

Keadaan sosial yang semakin tidak tertib dan cenderung mengarah kepada
distabilitas ini semakin bertambah kacau pada saat harga gula di pasar
internasional menurun (tahun 1722). Merosotnya harga komoditi gula di pasar
internasional, memberikan efek kejut yang cukup besar bagi keuangan VOC. Pada
akhir tahun tiga puluhan (Abad XVIII) VOC mengalami kemunduruan, beban
keuangan untuk menyelenggarakan pemerintahan di Batavia jauh melampaui
penerimaan, ada defisit terus-menerus. Hal ini direspon dengan kebijakan VOC
yang memberlakukan para penduduk etnis Tionghoa untuk memiliki surat lisensi
dengan membayar dua ringgit (Husin, 2016: 144-145).

Resolusi dikeluarkan tanggal 25 Juli 1740 yang berlaku bagi semua orang
Cina di Batavia. Dalam resolusi itu dicantumkan pula-atas usulan Van Imhoff
yang sejak bulan April 1740 kembali dari tugasnya di Ceylon dan ikut duduk
sebagai Ketua Rnnd vnn In die- bahwa semua yang dicurigai sebagai Cina
gelandangan, baik yang mempunyai atau tidak mempunyai permissiebriefje, harus
ditangkap, dikapalkan, dan selanjutnya atas putusan pemerintah dikirim paksa ke
Ceylon untuk dipekerjakan di perkebunan di sana. Dalam kebijakan itu ada dua
pertanyaan yang patut diajukan, yaitu bagaimana dapat diputuskan resolusi
semacam itu dan akibat dari putusan itu, dan siapa yang akan bertanggung jawab
terhadap akibat putusan itu. Tampaknya resolusi itu sendiri tidak buruk karena
untuk mengakhiri suatu usaha perlawanan orang Cina, harus dilakukan usaha
pencegahan yang tepat. Namun, reaksi dari orang-orang Cina atas penerapan
resolusi itu justru sangat negatif. Di antara orang Cina bahkan timbul desas-desus
bahwa para tahanan sesampainya di tengah lautan akan dibuang ke laut dan
berbagai isu yang menakutkan lainnya. Fungsi kapitan mulai kabur dengan
semakin banyaknya orang Cina pendatang, baik dari Banten, Mataram, maupun
mereka yang diselundupkan dari Cina karena adanya kuota masuknya orang Cina
sebagai akibat terlalu banyaknya jumlah orang Cina di Batavia saat itu
(Suratminto, 2004: 21).

11
Kejatuhan komoditi gula di pasar internasional, peningkatan jumlah
penduduk dalam kehidupan sosial di Batavia, serta prilaku (budaya) politik
pemerintah VOC yang cenderung pragmatis menghadapi persoalaan sosial-
ekonomi menjadi semacam pemantik bagi terciptanya satu momentum peristiwa
di Batavia (Husin, 2016: 145).

Kebencian warga Cina terhadap pemerintah memuncak dan pecahlah huru-


hara pada tanggal 9 Oktober 1740. Huru-hara yang meluluhlantakkan Batavia,
terutama rumah-rumah orang Cina, itu disertai dengan pembantaian terhadap
warga Cina di Batavia secara besar-besaran di luar peri-kemanusiaan. Harta orang
Cina kaya dijarah, sementara rumahnya dibakar. Pembantaian ini dilakukan juga
oleh orang Belanda burgher. Pembantaian secara massal ini juga dipicu oleh
iming-iming dari Raad van Indie atas perintah Valckenier bahwa siapa saja yang
dapat membunuh orang Cina di luar kota akan memperoleh hadiah 2 dukat untuk
setiap kepala. Pembantaian ini sangat membabi buta karena ditujukan kepada
setiap orang Cina, baik anak-anak maupun dewasa. Bahkan, orang-orang Cina
yang sedang sakit, dirawat di rumah sakit, dan yang sakit jiwapun dibunuh dengan
sangat keji (Suratminto, 2004: 21-22).

2.3 Peristiwa Pembantaian Warga Tionghoa di Batavia

2.3.1 Peristiwa Pendahuluan

Masyarakat Cina di Indonesia terbagi atas dua kelompok besar. Cina


Sengkeh, yaitu masyarakat Cina yang baru saja mendarat di Indonesia yang pada
umumnya mereka sangat miskin. Kelompok kedua yaitu Laukeh yaitu masyarakat
Cina yang telah bertempat tinggal selama sepuluh sampai dua puluh tahun dan
disebut dengan Peranakan, yaitu masyarakat Cina yang telah lahir di Indonesia
dengan ayah atau ibu dari golongan Melayu (Clockener, 2007: 86).

Peristiwa pembantaian penduduk Cina di Batavia terjadi pada tahun 1740


sebagai akibat dari buruknya sistem pengelolaan pemerintahan VOC pada saat itu.
VOC menempatkan penduduk Cina di luarkawasan tembok Kota Batavia yang
disebut ommelanden setelah tembok kota tersebut dibangun pada tahun 1650
(Lohanda, 2007: 10). Keuntungan dilakukannya kebijakan ini adalah: Pertama,

12
lokasi pemukiman di luar tembok dijadikan wilayah kota penyangga keamanan di
sekeliling tembok kota; Kedua, penduduk tersebut diijinkan untuk mengusahakan
pertanian-perkebunan di wilayah pemukiman mereka, agar warga kelompok ini
swasembada. Dengan cara ini pemerintah VOC tidak perlu mengeluarkan biaya
untuk penjagaan keamanan di sekitar Batavia, sementara keamanan dalam tembok
kota yang didiami oleh warga kulit putih ditangani oleh pasukan schutterij
(Lohanda, 2007: 11).

Masyarakat Cina yang tinggal di luar Benteng Kota Batavia berbeda


dengan masyarakat yang tinggal di dalam kota Batavia. Masyarakat Cina yang di
luar tembok kota sulit dikontrol, berada di luar jangkauan pemerintahan VOC,
karena tidak terdapat organisasi masyarakat Cina seperti di Batavia (Benny G.
Setiono, t.t:108). Warga Cina pada masa itu dikepalai oleh seorang Kapitan Cina
dimana ia bertugas untuk memungut pajak bagi VOC. Masyarakat Cina adalah
masyarakat yang pada damai, dan cinta umummya masyarakat Cina yang tinggal
di luar tembok Kota Batavia hidup sebagai petani atau menjadi kuli perkebunan
gula. Masyarakat Cina yang masuk ke Batavia sebagian besar bekerja pada
pabrik-pabrik gula yang umumnya dimiliki oleh pengusaha-pengusaha Cina kaya.
Pada tahun 1710 terdapat 130 (seratus tiga puluh) pabrik gula milik 84 (delapan
puluh empat) pengusaha dimana 79 (tujuh puluh sembilan) diantaranya adalah
pengusaha Cina (Lohanda, 2007:11).

Masyarakat Cina yang datang ke Indonesia khususnya Batavia semakin


lama semakin banyak, sehingga dianggap akan menimbulkan bahaya kuning,
sebuah istilah tentang banyaknya orang Cina. Banyaknya masyarakat Cina
tersebut menimbulkan VOC niat untuk memberlakukan surat izin tinggal. Syarat
pemilikan izin tersebut menjadi ajang pemerasan oleh pejabat-pejabat VOC. Hal
itu kemudian menjadi beban dan tekanan bagi masyarakat Cina (Brousson,
2007:86- 87). Surat izin yang diberlakukan tersebut banyaknya merupakan atas
respon pendatang Cina tak berizin yang menjadi tenaga kerja illegal di Batavia.
Surat izin yang diberlakukan kepada masyarakat Cina di Batavia oleh VOC sangat
beragam. Permissie briefje (suratizin tinggal) bagi mereka yang telah bertempat
tinggal di Batavia lebih dari 10 (sepuluh) tahun khususnya (diterapkan pada
tanggal 10 Juni 1727) licentie briefje bagi masyarakat Cina yang bertempat

13
tinggal 3 (tiga) bulan untuk urusan niaga, dengan membayar 2 riksdalders
(diterapkan pada tanggal 12 Juni 1727). Bagi yang akan pulang ke Tiongkok dan
berniat kembali ke Batavia juga wajib mendapatkan izin (diterapkan pada tanggal
10 Juni 1727) (Lohanda 2007:11).

Masyarakat Cina di luar tembok kota Batavia sering mengalami


penangkapan, pemerasan, dan intimidasi dari pejabat- pejabat VOC. Beban
masyarakat Cina ini menjadi sangat berat ketika banyak pengangguran akibat
bangkrutnya pabrik-pabrik gula. Pabrik gula banyak yang mengalami
kebangkrutan karena menurunnya permintaan pasar Eropa terhadap gula.
Pengangguran masyarakat Cina meningkat dan banyak dari mereka yang terbelit
hutang yang bertumpuk. Akhirnya banyak diantara mereka menjadi perampok
(Blusse, 2004: 170-171).

Penderitaan masyarakat Cina tersebut semakin bertambah ketika mereka


tidak dapat mengadukan penderitaan tersebut kepada pejabat yang pemerintah
yang Surat izin yang diberlakukan oleh VOC terhadap masyarakat Cina di Batavia
ternyata diperjualbelikan oleh pejabat pemerintahan VOC, sedangkan bagi orang
Cina yang tidak memiliki surat izin tinggal di Batavia akan dideportasi ke Ceylon
(Srilanka) sehingga akhirnya pada pemberontakan menimbulkan dari penduduk
Cina di Batavia. Beberapa orang Cina kemudian menghasut kawan-kawannya
untuk mengadakan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan VOC. Selain itu
muncul isu yang menyatakan bahwa orang- orang yang hendak dideportasi ke
Ceylon tersebut tidak akan pernah sampai Ceylon (Srilanka) karena
ditenggelamkan di tengah laut (Lohanda, 2007:12).

Masyarakat Cina yang telah terhasut adanya isu tersebut kemudian oleh
mempersenjatai diri dan bersiap melawan VOC. Melihat aksi berani dari warga
etnis Tionghoa, VOC semakin menaruh rasa tidak suka terhadap warga Tionghoa
sehingga peraturan terhadap merekapun semakin diperketat. Gubernur Jenderal
menyerahkan kemudian Valckenier masalah ini kepada Parlemen untuk dibahas.
Berdasarkan hasil rapat Parlemen pada tanggal 25 Juli 1740 diberlakukan resolusi
berupa penangkapan kepada warga etnis Tionghoa yang dianggap mencurigakan,
baik kepada mereka yang telah memiliki izin tinggal maupun yang belum

14
memiliki izin tinggal. Bagi mereka yang tidak bisa membuktikan dirinya memiliki
pekerjaan yang tetap akan dibuang ke Srilangka (Lohanda 2007:12). Tindakan
keras ini diberlakukan sebagai akibat dari munculnya kekhawatiran atas
terulangnya peristiwa konspirasi dan pemberontakan yang dilakukan oleh Pieter
Eberveld terhadap kekuasaan VOC (Benny, t.t:109-110).

2.3.2 Peristiwa Pembantaian

Masyarakat Cina kemudian mempersenjatai diri dan menyusun kekuatan


untuk melakukan perlawanan bersenjata.Hal tersebut tidak disadari pada awalnya
oleh pemerintah VOC, mengingat tidak adanya aparatur pemerintahan VOC yang
berada di perkampungan. Ketiadaan pemerintahan tersebut aparatur
mengakibatkan masyarakat Cina di perkampungan Batavia segera dapat
menguasai daerah di luar tembok Batavia. Persenjataan yang digunakan oleh
masyarakat Cina ini bukan merupakan persenjataan yang baik. Walaupun
persenjataan mereka kurang baik akan tetapi jumlah mereka sangat besar. Dengan
jumlah yang cukup besar penduduk Cina Batavia dengan leluasa mampu
menguasai kampung-kampung di Batavia serta menghancurkan pos dan tentara
yang dikirim untuk menghentikan pemberontakan. Serangan yang dilancarkan
oleh masyarakat Cina Batavia tersebut ternyata tidak sampai memasuki Kota
Batavia karena Pemerintah VOC bertindak cepat untuk mengatasi pemberontakan
tersebut. Tindakan cepat pemerintah berhasil menahan masuknya pemberontak
tersebut ke dalam tembok kota Batavia.

Pemberontak tersebut telah gagal memasuki Kota Batavia. Sebagai akibat


dari adanya pemberontakan tersebut banyak penduduk Eropa yang bertempat
tinggal di Kota Batavia meyakini bahwa pemberontakan Cina tersebut juga
mendapat dukungan dan juga persekutuan dari penduduk Cina yang berdiam di
dalam Kota Batavia. Persepsi ini muncul karena masyarakat Cina merupakan
masyarakat yang tidak mungkin berani melawan pemerintah, dan jika tidak ada
bantuan dari masyarakat Cina yang bertempat tinggal di dalam kota maka
pemberontakan itu tidak akan berhasil (Fuad, 2013: 35-36).

Kecurigaan terhadap penduduk Cina dalam kota Batavia atas keterlibatan


mereka dalam pemberontakan tersebut mengakibatkan Gubernur Jenderal VOC

15
Adriaan Valckenier menyatakan bahwa semua orang Cina termasuk yang tinggal
dalam kota Batavia harus dianggap sebagai pemerintahan VOC. Pemikiran
Jenderal Gubernur Valckenier ini tentu saja sejalan dengan pemikiran orang Eropa
yang mediami kota ketakutan Batavia. Saat itu muncul terhadap keberadaan
masyarakat Cina dalam kota yang dianggap bersekongkol dengan pemberontak di
luar tembok kota Batavia. Ketakutan itu menimbulkan permusuhan dan kebencian
pada penduduk Tionghoa yang bertempat tinggal di dalam kota Batavia (Fuad,
2013: 36).

Pada saat yang bersamaan muncul isu yang menyatakan bahwa orang-
orang Cina akan merencanakan membunuh semua orang non-Cina, memperkosa
perempuan- perempuan serta menjadikan mereka dan anak-anaknya budak-budak
orang Cina. Banyak orang-orang nonCina yang berkerumun membicarakan isu
tersebut dan pada akhirnya menimbulkan kebencian bersama orang-orang
nonCina terhadap orang-orang Cina. Para bekas tukang, bahkan budak sekalipun
berkerumun menyatukan tekad untuk membunuh musuh mereka bersama yaitu
masyarakat Cina Batavia yang dianggap eksklusif. Kebencian yang memuncak
terhadap penduduk Cina yang berdiam di dalam kota atas tuduhan bersekongkol
melakukan pemberontakan tersebut mengakihatkan pecahnya kerusuhan massal
berupa pembantaian terhadap penduduk Cina dalam kota Batavia pada tanggal 8
Oktober 1740 (Benny, t.t: 112).

Tentara Belanda, para kelasi, tukang, kuli, budak, menyerbu rumah-rumah


orang Cina setelah merampok harta bendanya. Mereka membunuh setiap orang
Cina yang ditemui, tidak peduli laki-laki, perempuan, tua-muda bahkan bayi
sekalipun dibantai tanpa ampun. Pembakaran terhadap rumah-rumah orang Cina
terjadi, banjir darah terjadi dimana-mana, Rawa Bangke (saat ini bernama Rawa
Bunga) di Jatinegara merupakan tempat bertumpuknya banyak bangkai orang
Cina. Kali Angke berarti kali atau sungai yang berwarna merah menggambarkan
bertumpuknya mayat di sungai yang saat ini bernama Kali Angke. Penamaan
Tanah Abang berarti tanah merah merupakan gambaran bertumpuknya mayat-
mayat orang Cina di kawasan tersebut (Benny, t.t:113).

16
Pada pukul lima sore pasukan dan tentara laut VOC mengepung dan
menembaki perkampungan orang-orang Cina di Daerah Roa Malaka dengan
meriam-meriam. Beberapa orang Cina yang terjebak di dalam rumah berusaha lari
keluar menyelamatkan diri akan tetapi terpaksa kembali ke reruntuhan puing-
puing rumah mereka karena dsambut tembakan oleh para serdadu VOC. Mereka
yang mencoba berenang menyelamatkan diri melalui sungai dan kanal kota
dibunuh oleh serdadu-serdadu VOC yang telah menantinya dalam perahu-perahu
kecil. Sebagian dari masyarakat Cina melakukan bunuh diri dengan melompat ke
dalam kobaran api yang membakar rumah Masyarakat Cina dibantai dimanapun
mereka ditemui, mereka yang berada di dalam rumah sakit, dalam penjara, diseret
untuk dibantai oleh orang-orang Eropa, orang pribumi, dan kulit hitam (budak-
budak).

Akibat dari pembantaian massal tersebut, setidaknya sepuluh ribu orang


Cina Batavia tewas dan sisanya Masyarakat Cina melarikan diri ke beberapa
tempat seperti Jawa Tengah dan Tangerang Barten. Orang-orang Cina yang masih
tersisa berjumlah 3.431 (tiga ribu empat ratus tiga puluh satu) orang di Batavia
diharuskan tinggal di sebuah tempat khusus di luar tembok kota dengan maksud
agar pemerintah VOC dapat mengawasi secara mudah. Tempat dimana
masyarakat Cina tersebut berkumpul saat ini menjadi pusat perdagangan Glodok
(Benny, t.t: 116-119).

2.3 Dampak Pembantaian Warga Tionghoa di Batavia

Pembantaian etnis tionghoa di batavia adalah sejarah kelam pada era abad
18 di zaman penjajahan belanda di nusantara. Kedatangan etnis tionghoa
sebenarnya membuat ekonomi di nusantara semakin membaik tetapi ada
kecemburuan sosial dengan penduduk pribumi yang menganggap etnis tionghoa
menjajah ekonomi mereka. Keresahan dalam masyarakat Tionghoa dipicu oleh
represi pemerintah dan berkurangnya pendapatan akibat jatuhnya harga gula yang
terjadi menjelang pembantaian ini. Untuk menanggapi keresahan tersebut, pada
sebuah pertemuan Dewan Hindia (Raad van Indie), badan pemimpin Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC), Guberner-Jenderal Adriaan Valckenier

17
menyatakan bahwa kerusuhan apapun dapat ditanggapi dengan kekerasan
mematikan.

Pernyataan Valckenier tersebut diberlakukan pada tanggal 7 Oktober 1740


setelah ratusan orang keturunan Tionghoa, banyak di antaranya buruh di pabrik
gula, membunuh 50 pasukan Belanda. Penguasa Belanda mengirim pasukan
tambahan, yang mengambil semua senjata dari warga Tionghoa dan
memberlakukan jam malam. Dua hari kemudian, setelah ditakutkan desas-desus
tentang kekejaman etnis Tionghoa, kelompok etnis lain di Batavia mulai
membakar rumah orang Tionghoa di sepanjang Kali Besar. Sementara itu,
pasukan Belanda menyerang rumah orang Tionghoa dengan meriam. Kekerasan
ini dengan cepat menyebar di seluruh kota Batavia sehingga lebih banyak orang
Tionghoa dibunuh. Meski Valckenier mengumumkan bahwa ada pengampunan
untuk orang Tionghoa pada tanggal 11 Oktober, kelompok pasukan tetap terus
memburu dan membunuh orang Tionghoa hingga tanggal 22 Oktober, saat
Valckenier dengan tegas menyatakan bahwa pembunuhan harus dihentikan. Di
luar batas kota, pasukan Belanda terus bertempur dengan buruh pabrik gula yang
berbuat rusuh. Setelah beberapa minggu penuh pertempuran kecil, pasukan
Belanda menyerang markas Tionghoa di berbagai pabrik gula. Orang Tionghoa
yang selamat mengungsi ke Bekasi (Utama, 2007: 14).

2.4.1 Dampak Terhadap Ekonomi di Nusantara

Paling terlihat adalah pada produksi gula di daerah Batavia turun secara
drastis setelah pembantaian, sebab banyak orang Tionghoa yang dulu mengurus
industri tersebut sudah terbunuh atau hilang. Industri tersebut mulai berkembang
lagi setelah Gubernur Jenderal van Imhoff "mengkolonisasi" Tangerang. Awalnya
dia bermaksud agar orang yang berasal dari Belanda untuk bertani di sana, dia
berpendapat bahwa orang Belanda yang sudah ada di Batavia adalah orang malas.
Namun, dia tidak bisa menarik orang baru karena pajak di Hindia Belanda sangat
tinggi, maka dia terpaksa menjual tanah kepada orang Belanda yang ada di
Batavia. Pemilik tanah baru ini tidak berkenan untuk mengerjakan tanah tersebut,
maka mereka menyewakan tanah itu kepada orang Tionghoa. Produksi meningkat
setelah itu, tetapi baru pada dekade 1760-an produksi ada pada tingkat yang sama

18
dengan tahun 1740; setelah itu, produksi mulai berkurang lagi. Jumlah pabrik gula
juga berkurang. Pada tahun 1710 terdapat 131 buah, tetapi pada tahun 1750
jumlahnya hanya 66 buah.

Pembantaian etnis Tionghoa secara tidak langsung membuat Kota Batavia


berkembang pesat, tetapi membuat dikotomi antara etnis Tionghoa dan pribumi
yang masih terasa hingga akhir abad ke-20. Pada abad yang sama, pembunuhan
massal ini dicatat juga dalam Bahasa Banjar oleh Abdur Rahman di syairnya,
Syair Hemop (Utama, 2007: 16).

2.4.2 Dampak Pembantaian Dari Segi Sosial Geografis

Dampak ini mungkin juga menjadi asal nama beberapa daerah di Jakarta. Salah
satu etimologi untuk nama Tanah Abang (yang berarti "tanah merah") ialah bahwa
daerah itu dinamakan untuk darah orang Tionghoa yang dibunuh di sana, van
Hoevell berpendapat bahwa nama itu diajukan agar orang Tionghoa yang selamat
dari pogrom lebih cepat menerima amnesti. Nama Rawa Bangke mungkin diambil
dari kata bangkai, karena jumlah orang Tionghoa yang dibunuh di sana, etimologi
serupa juga pernah diajukan untuk Angke di Tambora, Jakarta Barat (Utama,
2007: 17).

19
BAB 3

PENUTUP

3.1 Simpulan

Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.

1) Pembantaian warga Tionghoa di Batavia di latar belakangi dengan


semakin banyaknya warga Tionghoa ilegal yang masuk ke Batavia.
Pembantaian secara massal ini juga dipicu oleh iming-iming dari Raad van
Indie atas perintah Valckenier bahwa siapa saja yang dapat membunuh
orang Cina di luar kota akan memperoleh hadiah 2 dukat untuk setiap
kepala. Pembantaian ini sangat membabi buta karena ditujukan kepada
setiap orang Cina, baik anak-anak maupun dewasa. Bahkan, orang-orang
Cina yang sedang sakit, dirawat di rumah sakit, dan yang sakit jiwapun
dibunuh dengan sangat keji
2) Peristiwa pembantaian diawali dengan pemberontakan orang-orang Cina
yang gagal masuk ke Batavia. Masyarakat di Batavia mendengar desas-
desus bahwa orang Cina yang di dalam Batavia bersekongkol dengan
orang Cina yang diluar Batavia untuk melakukan pemberontakan segera
melakukan tindakan. Tindakan tersebut menyerbu perkampungan orang
Cina dengan menembaki meriam, membakar rumah dan memperkosa
wanita Tionghoa. Hal tersebut dilakukan oleh orang berkulit putih, warga
pribumi dan warga kulit hitam.
3) Dampak pembantaian warga Tionghoa di Batavia yaitu banyaknya warga
Tionghoa yang mengungsi ke Bekasi untuk menyelamatkan diri setelah
diberik pengampunan oleh pemerintahan Belanda.
4) Dampak dari segi geografis yaitu dinamainya beberapa daerah di Batavia
(Jakarta) untuk mengingat peristiwa tersebut. Salah satu etimologi untuk
nama Tanah Abang (yang berarti "tanah merah") ialah bahwa daerah itu
dinamakan untuk darah orang Tionghoa yang dibunuh di sana.

20
3.2 Saran
1. Makalah ini kami buat untuk memperluas wawasan pembaca, namun
alangkah baiknya pe mbaca mencari referensi lain untuk memperkaya
wawasan dan menambah ilmu pengetahuan.
2. Dalam makalah ini masi banyak kekurangan, hendaknya pembaca lebih teliti
membacanya agar maksud yang kami sampaikan dapat tersampaikan dengan
baik.
3. Sumber sumber yang kami dapatkan masih ditaraf universitas di Indonesia,
alangkah baiknya pembaca juga mengaitkan dengan materi dari luar negeri
supaya lebih mengerti dengan materi ini. Sebaiknya membaca dengan cermat
dan teliti supaya ilmunya dapat terserap dengan baik.

21
DAFTAR PUSTAKA

Benny G. Setiono. tt. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Penerbit Elkasa.

Blusse, Leonard. 2004. Persekituan Aneh, Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan
Belanda di Batavia VOC. Yogyakarta: Penerbit LkiS.

Brousson, Clockener. 2007. Batavia Abad 20. Depok: Penerbit Masup.

Fuad, Fokky. 2013. Peristiwa Chinesetroubelen di Batavia: Sebuah Tinjauan


Sejarah Hukum. Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi. Volume 12, Nomor 2.

Husin, Huddy. Ujung Senja Pabrik-Pabrik Gula di Batavia Awal Abad ke-18.
Jurnal Sosio-E-Kons. Volume 8, Nomor 2.

Lisminingsih, Sri. 2012. Analisis Kehidupan Masyarakat Tionghoa Suku Totok


Dan Tionghoa Peranakan Pada Abad 17 di Batavia. Jurnal Khasanah Ilmu.
Volume 3, Nomor 2.

Lohanda, Mona. 2007. Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia. Jakarta:


Komunitas Bambu.

Suratminto, Lilie. 2004. Pembantaian Etnis Cina di Batavia 1740 Dampak Konflik
Golongan “ Prinsgezinden” dan “Staatsgezinden” di Belanda?. Jurnal
Wacana. Volume 6, Nomor 1.

Suryaningtyas, Amelia & Retnaningdyah. 2018. Eksistensi dan Streotip Etnis


Tionghoa Dalam Kehidupan Sosial Masyarakat. Jurnal Media Informasi
Penelitian Kesejarahan Sosial. Volume 42, Nomor 3.

Utama, WS. 2007. Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat Tionghoa di


Batavia1900an-1930an. Jurnal Lembaran Sejarah. Volume 9, Nomor 1.

Wigarani, Lenisa, dkk. 2019. Kerusuhan Anti Tionghoa di Semarang Tahun 1980.
Journal of Indonesian History. Volume 8, Nomor 1.

22

Anda mungkin juga menyukai