Penyusun
Kelompok 1A :
1. Siti Nurhasanah (1813033003)
2. Christine Amellia Putri (1813033025)
3. Novita Trisnawati (1813033027)
4. Salsabila Az Zahra (1813033037)
5. Ida Ayu Komang Fitri Yani (1813033045)
6. Abiel Fauzan Alvarous (1813033057)
i
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
penyayang, kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Geger Pacinan: Tragedi Pembantaian Warga
Tionghoa di Batavia” sebagai salah satu tugas mata kuliah Sejarah Imperialisme
dan Kolonialisme. Atas dukungan moral dan material yang diberikan dalam
penyusunan makalah ini, maka penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
orang tua, saudara, dan seluruh keluarga yang telah mencurahkan doa dan
semangat kepada kami. Tidak lupa pula kami mengucapkan terima kasih Bapak
Drs. Syaiful M., M.Si. dan bapak Rinaldo Adi Pratama, S.Pd., M.Pd. selaku
Dosen yang membimbing sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Serta teman-
teman yang telah banyak membantu dan memberi dukungan khususnya teman-
teman dari Program Studi Pendidikan Sejarah 2018.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dari
semua pihak. Dan apabila kesalahan kata atau penulisan, penulis mohon maaf
yang sebesar besarnya.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL...................................................................................i
KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
3.1 Simpulan.............................................................................................20
3.2 Saran...................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................22
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
imigran Cina yang datang ke Indonesia. Orang Cina yang datang terkenal dengan
orang yang tidak cakap bekerja dan kasar serta sering mencuri. Semakin
banyaknya imigran Cina ini, maka peluang dagang semakin kecil serta wilayah
penduduk yang semakin sempit karena harus memberikan tempat tinggal bagi
warga Tionghoa. Pada saat itu, VOC membuat aturan mengenai lisensi agar warga
Tionghoa membayar dua ringgit atas tempat yang diberikan dan sebagai akses
agar bisa masuk ke Batavia. Semakin lama semakin banyak pelanggaran yang
dilakukan warga Tionghoa yang tidak memiliki lisensi, sehingga banyak
penangkapan yang dilakukan terhadap warga Tionghoa. Dalam (Husin, 2016:
145) VOC yang terkenal pragmatis dalam menghadapi perekonomian di Batavia
menimbulkan sebuah tragedi yang besar di daerah tersebut, untuk mengetahui
secara lebih jauh mengenai peristiwa antara VOC dan warga Tionghoa tersebut,
maka makalah ini kami susun dengan judul “Geger Pacinan: Pembantaian Warga
Tionghoa di Batavia”.
2
BAB 2
PEMBAHASAN
Pada tahun 1611, ketika Pieter Both menjadi Gubernur Jenderal VOC
yang masih berkedudukan di Maluku, ia mengutus bawahannya Jan Pieterszoon
Coen untuk membeli hasil bumi terutama lada ke Banten. Di Banten, Coen
berkenalan dengan Souw Beng Kong atau yang lebih sering dipanggil Bencon
oleh orang-orang Belanda, seorang pedagang Tionghoa yang sangat berpengaruh
dan mempunyai perkebunan lada yang luas sekali. Setiap pedagang asing seperti
Portugis, Inggris, dan Belanda yang ingin membeli hasil bumi dari petani Banten
harus melakukan negosiasi harga dengan Souw Beng Kong (Lisminingsih, 2012).
3
Kesultanan Banten. Oleh karena itu Jan Pieterszoon Coen mencoba
mempengaruhi Souw Beng Kong yang terkenal sebagai pedagang yang piawai,
tapi Coen tidak berhasil. Sebaliknya Sultan Banten merasa puas dengan
keberadaan Souw Beng Kong dan orang-orang Tionghoa lainnya, karena orang-
orang Tionghoa inilah yang banyak mengajarkan teknologi baru terutama di
bidang pertanian. Orang-orang Tionghoa mengajarkan cara menanam padi di
sawah yang berpetak-petak dengan menggunakan pematang dan mengairinya.
Ketika Jan Pieterszoon Coen berhasil mendirikan Batavia pada tahun 1619,
penduduk setempat tidak mau berhubungan dengan Belanda. Demikian juga
dengan orang-orang Tionghoa, karena sebelum tahun 1614 pihak Belanda telah
membuat suatu perjanjian dengan pangeran Jayakarta yang melarang orang-orang
Tionghoa membangun rumah di sekitar loji yang didirikannya. Padahal ketika itu
sudah banyak orang Tionghoa yang mendirikan rumah dan tinggal di tepi laut di
dekat tempat loji itu didirikan sehingga banyak rumah orang Tionghoa yang harus
dibongkar dan pindah ke tempat lain.
4
turut membangun fondasi untuk mengembangkan kota Batavia yang dimulai oleh
Jan Pieterszoon Coen (Lisminingsih, 2012: 21).
Orang-orang dari berbagai etnis ini dibagi menjadi dua kategori: kategori
elit yang tinggal di dalam benteng dan kategori biasa, miskin dan budak yang
tinggal di luar benteng. Orang Eropa umumnya tinggal di dalam benteng kota
sedangkan di luar benteng adalah para budak dari berbagai wilayah Nusantara.
Berlainan dengan pemukiman warga lokal, awalnya orang Tionghoa bertempat
tinggal bebas di manapun di wilayah Batavia. Tidak hanya di benteng kota tapi
juga termasuk di wilayah-wilayah pedalaman. Mereka mendirikan beberapa
institusi orang Eropa seperti: rumah sakit, panti asuhan dan panti jompo. Pada
tahun 1640 orang-orang Tionghoa di Batavia telah meminta izin membuka rumah
sakit Tionghoa yang disebut Yangji yuan atau “rumah sakit untuk orang miskin”.
Pembangunannya selesai empat tahun kemudian, dengan bangunan sederhana
terdiri dari struktur bambu dan tembok batu. Domisili warga Tionghoa di dalam
kota berada di sekitar Kali Besar, tepatnya di sisi timur Kali Besar. Orang-orang
Tionghoa telah banyak membantu pembangunan di dalam kota. Pekerjaan-
pekerjaan bangunan penting, seperti penggalian saluran dan pembangunan tembok
kota dan gedung-gedung, semua dilaksanakan oleh kontraktor-kontraktor
Tionghoa terkenal, seperti Jan Con dan Bingham. Di luar benteng, Orang
Tionghoa sejak tahun 1620 telah membuka lahan di wilayah pedalaman mengikuti
aliran Ciliwung ke arah selatan. Di sekitar wilayah ini kemudian dibuka lahan-
lahan untuk usaha pertanian.
5
Pada abad ke-17 orang Tionghoa di Batavia telah berkecimpung di
petanian. Pada abad ke-17 orang Tionghoa di Batavia telah berkecimpung di
petanian. Tahun 1662, dalam surat yang dituliskan pengganti van Riebeeck,
dituliskan bahwa ada sekitar 25-30 orang Tionghoa yang mempunyai pengetahuan
dalam bertani. Van Imhoff mengakui bahwa pemerintah Belanda bergantung
kepada orang Tionghoa dalam hal pertanian. Dia mengatakan “Orang
Tionghoalah yang mulai mengolah tanah, kini tiba saatnya bagi kita untuk
menyempurnakan dan meluaskan pertanian”. Bidang pertanian yang
dibudidayakan orang Tionghoa di Batavia mencakup padi, nila, kacang tanah dan
tebu. Budidaya paling penting dari semua komoditas pertanian Tionghoa adalah
budidaya tebu. Perkebunan tebu menjadi tulang punggung ekonomi Batavia ketika
pembukaan wilayah baru semakin diperluas sampai daerah di luar benteng.
Daerah ini merupakan wilayah Ommelanden. Awalnya, pada tahun 1620an,
orang-orang Belanda dan Tionghoa membersihkan lahan di daerah luar tembok
kota kemudian menanam kebun kelapa. Akhirnya, orang-orang Tionghoa Batavia
kebanyakan mendirikan pemukiman di daerah ini. Jumlahnya pada tahun 1739
mencapai 10.574.
6
Batavia kepada Tan Benko agar ia mengolahnya menjadi tambak ikan.
Masyarakat Tionghoa telah tertarik untuk membudidayakan tambak. Tambak
sendiri sering disebut empang yang berasal dari bahasa Hokkian, pang, yang
artinya “petak, kotak”.
7
dalam Kota Batavia, masyarakat Cina diluar kota Batavia sulit dikontrol, berada di
luar jangkauan pemerintah VOC, karena tidak terdapat organisasi masyarakat
Cina seperti di Batavia (Fuad, 2013: 32).
Warga Cina pada saat itu dikepalai oleh seorang Kapitan Cina yang
bertugas memungut pajak bagi VOC. Masyarakat Cina adalah masyarakat yang
cinta damai, dan pada umumnya masyarakat Cina yang tinggal diluar tembok
Batavia hidup sebagai petani atau menjadi kuli perkebunan gula. Hoetink dalam
Fuad (2013: 32) menggambarkan dalam tulisannya:
“Di oedik-oedik Betawi itoe waktu boleh jadi betoel ada mengoembara
orang-orang Tionghoa jang tida baek. Aken tetapi bagian jang paling
besar dari orang-orang Tionghoa jang tinggal disana sebagi orang tani
atawa sebagi koeli koeli dalem penggilingan teboe tentoelah tida harep
laen daripada bisa lakoeken pekerdjaannja dengan aman dan sentosa”
1. Sistem Opsir
Pemerintah melalui Raad van Indie· atau Dewan Hindia melakukan sistem
opsir atau Kapitan Cina (Kapitein) untuk memudahkan pengawasan orang
Cina yang jumlahnya semakin besar di Batavia. Pada tahun 1619 J.P. Coen
menunjuk Souw Beng Kong sebagai kapitan atas 400 orang Cina di Batavia.
3. Sistem Status
Penduduk kota Batavia ditempatkan sesuai dengan agama mereka, yaitu Islam,
Kristen, dan non-Kristen. Pembagian ini sejalan dengan pembagian ras.
8
Sistem pemukiman, pas jalan (pasbriefje), dan status memaksa orang-orang
Cina tinggal di dalam kota (Suratminto, 2004: 16-17).
9
membayar sejumlah tertentu. Di samping itu, banyak barang mereka dirampok,
tubuh mereka disiksa oleh para pejabat kompeni, yang semuanya terjadi atas
perintah komisaris. Sikap sewenang-wenang para pejabat kompeni itu membuat
sakit hati orang Cina, baik yang tinggal di daerah ommelanden maupun yang
tinggal di dalam kota Batavia. Hubungan antara orang Cina di ommelnnden dan di
dalam kota dengan pemerintah VOC di Batavia semakin buruk dan penuh dengan
kecurigaan (Suratminto, 2004: 21).
10
dibuang ke Srilangka. Tindakan keras ini diberlakukan sebagai akibat dari
munculnya kekhawatiran atas terulangnya peristiwa konspirasi dan
pemberontakan yang dilakukan oleh Pieter Eberveld terhadap kekuasaan VOC
(Fuad, 2013: 33-34).
Keadaan sosial yang semakin tidak tertib dan cenderung mengarah kepada
distabilitas ini semakin bertambah kacau pada saat harga gula di pasar
internasional menurun (tahun 1722). Merosotnya harga komoditi gula di pasar
internasional, memberikan efek kejut yang cukup besar bagi keuangan VOC. Pada
akhir tahun tiga puluhan (Abad XVIII) VOC mengalami kemunduruan, beban
keuangan untuk menyelenggarakan pemerintahan di Batavia jauh melampaui
penerimaan, ada defisit terus-menerus. Hal ini direspon dengan kebijakan VOC
yang memberlakukan para penduduk etnis Tionghoa untuk memiliki surat lisensi
dengan membayar dua ringgit (Husin, 2016: 144-145).
Resolusi dikeluarkan tanggal 25 Juli 1740 yang berlaku bagi semua orang
Cina di Batavia. Dalam resolusi itu dicantumkan pula-atas usulan Van Imhoff
yang sejak bulan April 1740 kembali dari tugasnya di Ceylon dan ikut duduk
sebagai Ketua Rnnd vnn In die- bahwa semua yang dicurigai sebagai Cina
gelandangan, baik yang mempunyai atau tidak mempunyai permissiebriefje, harus
ditangkap, dikapalkan, dan selanjutnya atas putusan pemerintah dikirim paksa ke
Ceylon untuk dipekerjakan di perkebunan di sana. Dalam kebijakan itu ada dua
pertanyaan yang patut diajukan, yaitu bagaimana dapat diputuskan resolusi
semacam itu dan akibat dari putusan itu, dan siapa yang akan bertanggung jawab
terhadap akibat putusan itu. Tampaknya resolusi itu sendiri tidak buruk karena
untuk mengakhiri suatu usaha perlawanan orang Cina, harus dilakukan usaha
pencegahan yang tepat. Namun, reaksi dari orang-orang Cina atas penerapan
resolusi itu justru sangat negatif. Di antara orang Cina bahkan timbul desas-desus
bahwa para tahanan sesampainya di tengah lautan akan dibuang ke laut dan
berbagai isu yang menakutkan lainnya. Fungsi kapitan mulai kabur dengan
semakin banyaknya orang Cina pendatang, baik dari Banten, Mataram, maupun
mereka yang diselundupkan dari Cina karena adanya kuota masuknya orang Cina
sebagai akibat terlalu banyaknya jumlah orang Cina di Batavia saat itu
(Suratminto, 2004: 21).
11
Kejatuhan komoditi gula di pasar internasional, peningkatan jumlah
penduduk dalam kehidupan sosial di Batavia, serta prilaku (budaya) politik
pemerintah VOC yang cenderung pragmatis menghadapi persoalaan sosial-
ekonomi menjadi semacam pemantik bagi terciptanya satu momentum peristiwa
di Batavia (Husin, 2016: 145).
12
lokasi pemukiman di luar tembok dijadikan wilayah kota penyangga keamanan di
sekeliling tembok kota; Kedua, penduduk tersebut diijinkan untuk mengusahakan
pertanian-perkebunan di wilayah pemukiman mereka, agar warga kelompok ini
swasembada. Dengan cara ini pemerintah VOC tidak perlu mengeluarkan biaya
untuk penjagaan keamanan di sekitar Batavia, sementara keamanan dalam tembok
kota yang didiami oleh warga kulit putih ditangani oleh pasukan schutterij
(Lohanda, 2007: 11).
13
tinggal 3 (tiga) bulan untuk urusan niaga, dengan membayar 2 riksdalders
(diterapkan pada tanggal 12 Juni 1727). Bagi yang akan pulang ke Tiongkok dan
berniat kembali ke Batavia juga wajib mendapatkan izin (diterapkan pada tanggal
10 Juni 1727) (Lohanda 2007:11).
Masyarakat Cina yang telah terhasut adanya isu tersebut kemudian oleh
mempersenjatai diri dan bersiap melawan VOC. Melihat aksi berani dari warga
etnis Tionghoa, VOC semakin menaruh rasa tidak suka terhadap warga Tionghoa
sehingga peraturan terhadap merekapun semakin diperketat. Gubernur Jenderal
menyerahkan kemudian Valckenier masalah ini kepada Parlemen untuk dibahas.
Berdasarkan hasil rapat Parlemen pada tanggal 25 Juli 1740 diberlakukan resolusi
berupa penangkapan kepada warga etnis Tionghoa yang dianggap mencurigakan,
baik kepada mereka yang telah memiliki izin tinggal maupun yang belum
14
memiliki izin tinggal. Bagi mereka yang tidak bisa membuktikan dirinya memiliki
pekerjaan yang tetap akan dibuang ke Srilangka (Lohanda 2007:12). Tindakan
keras ini diberlakukan sebagai akibat dari munculnya kekhawatiran atas
terulangnya peristiwa konspirasi dan pemberontakan yang dilakukan oleh Pieter
Eberveld terhadap kekuasaan VOC (Benny, t.t:109-110).
15
Adriaan Valckenier menyatakan bahwa semua orang Cina termasuk yang tinggal
dalam kota Batavia harus dianggap sebagai pemerintahan VOC. Pemikiran
Jenderal Gubernur Valckenier ini tentu saja sejalan dengan pemikiran orang Eropa
yang mediami kota ketakutan Batavia. Saat itu muncul terhadap keberadaan
masyarakat Cina dalam kota yang dianggap bersekongkol dengan pemberontak di
luar tembok kota Batavia. Ketakutan itu menimbulkan permusuhan dan kebencian
pada penduduk Tionghoa yang bertempat tinggal di dalam kota Batavia (Fuad,
2013: 36).
Pada saat yang bersamaan muncul isu yang menyatakan bahwa orang-
orang Cina akan merencanakan membunuh semua orang non-Cina, memperkosa
perempuan- perempuan serta menjadikan mereka dan anak-anaknya budak-budak
orang Cina. Banyak orang-orang nonCina yang berkerumun membicarakan isu
tersebut dan pada akhirnya menimbulkan kebencian bersama orang-orang
nonCina terhadap orang-orang Cina. Para bekas tukang, bahkan budak sekalipun
berkerumun menyatukan tekad untuk membunuh musuh mereka bersama yaitu
masyarakat Cina Batavia yang dianggap eksklusif. Kebencian yang memuncak
terhadap penduduk Cina yang berdiam di dalam kota atas tuduhan bersekongkol
melakukan pemberontakan tersebut mengakihatkan pecahnya kerusuhan massal
berupa pembantaian terhadap penduduk Cina dalam kota Batavia pada tanggal 8
Oktober 1740 (Benny, t.t: 112).
16
Pada pukul lima sore pasukan dan tentara laut VOC mengepung dan
menembaki perkampungan orang-orang Cina di Daerah Roa Malaka dengan
meriam-meriam. Beberapa orang Cina yang terjebak di dalam rumah berusaha lari
keluar menyelamatkan diri akan tetapi terpaksa kembali ke reruntuhan puing-
puing rumah mereka karena dsambut tembakan oleh para serdadu VOC. Mereka
yang mencoba berenang menyelamatkan diri melalui sungai dan kanal kota
dibunuh oleh serdadu-serdadu VOC yang telah menantinya dalam perahu-perahu
kecil. Sebagian dari masyarakat Cina melakukan bunuh diri dengan melompat ke
dalam kobaran api yang membakar rumah Masyarakat Cina dibantai dimanapun
mereka ditemui, mereka yang berada di dalam rumah sakit, dalam penjara, diseret
untuk dibantai oleh orang-orang Eropa, orang pribumi, dan kulit hitam (budak-
budak).
Pembantaian etnis tionghoa di batavia adalah sejarah kelam pada era abad
18 di zaman penjajahan belanda di nusantara. Kedatangan etnis tionghoa
sebenarnya membuat ekonomi di nusantara semakin membaik tetapi ada
kecemburuan sosial dengan penduduk pribumi yang menganggap etnis tionghoa
menjajah ekonomi mereka. Keresahan dalam masyarakat Tionghoa dipicu oleh
represi pemerintah dan berkurangnya pendapatan akibat jatuhnya harga gula yang
terjadi menjelang pembantaian ini. Untuk menanggapi keresahan tersebut, pada
sebuah pertemuan Dewan Hindia (Raad van Indie), badan pemimpin Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC), Guberner-Jenderal Adriaan Valckenier
17
menyatakan bahwa kerusuhan apapun dapat ditanggapi dengan kekerasan
mematikan.
Paling terlihat adalah pada produksi gula di daerah Batavia turun secara
drastis setelah pembantaian, sebab banyak orang Tionghoa yang dulu mengurus
industri tersebut sudah terbunuh atau hilang. Industri tersebut mulai berkembang
lagi setelah Gubernur Jenderal van Imhoff "mengkolonisasi" Tangerang. Awalnya
dia bermaksud agar orang yang berasal dari Belanda untuk bertani di sana, dia
berpendapat bahwa orang Belanda yang sudah ada di Batavia adalah orang malas.
Namun, dia tidak bisa menarik orang baru karena pajak di Hindia Belanda sangat
tinggi, maka dia terpaksa menjual tanah kepada orang Belanda yang ada di
Batavia. Pemilik tanah baru ini tidak berkenan untuk mengerjakan tanah tersebut,
maka mereka menyewakan tanah itu kepada orang Tionghoa. Produksi meningkat
setelah itu, tetapi baru pada dekade 1760-an produksi ada pada tingkat yang sama
18
dengan tahun 1740; setelah itu, produksi mulai berkurang lagi. Jumlah pabrik gula
juga berkurang. Pada tahun 1710 terdapat 131 buah, tetapi pada tahun 1750
jumlahnya hanya 66 buah.
Dampak ini mungkin juga menjadi asal nama beberapa daerah di Jakarta. Salah
satu etimologi untuk nama Tanah Abang (yang berarti "tanah merah") ialah bahwa
daerah itu dinamakan untuk darah orang Tionghoa yang dibunuh di sana, van
Hoevell berpendapat bahwa nama itu diajukan agar orang Tionghoa yang selamat
dari pogrom lebih cepat menerima amnesti. Nama Rawa Bangke mungkin diambil
dari kata bangkai, karena jumlah orang Tionghoa yang dibunuh di sana, etimologi
serupa juga pernah diajukan untuk Angke di Tambora, Jakarta Barat (Utama,
2007: 17).
19
BAB 3
PENUTUP
3.1 Simpulan
20
3.2 Saran
1. Makalah ini kami buat untuk memperluas wawasan pembaca, namun
alangkah baiknya pe mbaca mencari referensi lain untuk memperkaya
wawasan dan menambah ilmu pengetahuan.
2. Dalam makalah ini masi banyak kekurangan, hendaknya pembaca lebih teliti
membacanya agar maksud yang kami sampaikan dapat tersampaikan dengan
baik.
3. Sumber sumber yang kami dapatkan masih ditaraf universitas di Indonesia,
alangkah baiknya pembaca juga mengaitkan dengan materi dari luar negeri
supaya lebih mengerti dengan materi ini. Sebaiknya membaca dengan cermat
dan teliti supaya ilmunya dapat terserap dengan baik.
21
DAFTAR PUSTAKA
Benny G. Setiono. tt. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Penerbit Elkasa.
Blusse, Leonard. 2004. Persekituan Aneh, Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan
Belanda di Batavia VOC. Yogyakarta: Penerbit LkiS.
Husin, Huddy. Ujung Senja Pabrik-Pabrik Gula di Batavia Awal Abad ke-18.
Jurnal Sosio-E-Kons. Volume 8, Nomor 2.
Suratminto, Lilie. 2004. Pembantaian Etnis Cina di Batavia 1740 Dampak Konflik
Golongan “ Prinsgezinden” dan “Staatsgezinden” di Belanda?. Jurnal
Wacana. Volume 6, Nomor 1.
Wigarani, Lenisa, dkk. 2019. Kerusuhan Anti Tionghoa di Semarang Tahun 1980.
Journal of Indonesian History. Volume 8, Nomor 1.
22