Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN MINI RISET (MR)

STUDI MASYARAKAT MEDAN

( AKULTURASI BUDAYA TIONGHOA-MEDAN)

Dosen Pengampu: Drs.Muhammad Arif,M.Pd

Disusun Oleh Kelompok 2:

1. AYU NOVIANA SIMATUPANG (3183331010)


2. DEBBY WULANDARI GINTING (3183131050)
3. INDRI OKTAVIANA (3181131008)
4. PAIDOL SIRINGO-RINGO (3183131044)
5. HAFIZAH CAHYANI (3181131021)

JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

T.A 2019

1
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji dan Syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa,
karena begitu besar penyertanNya yang telah menghantarkan penulis dalam
penulisan Laporan Penelitian ini yang berjudul akulturasi budaya Tionghoa –
Medan” guna untuk menambah ilmu pengetahuan pada Universitas Negeri
Medan Jurusan Pendidikan Geografi.
Dalam penulisan laporan ini, penulis menghadapi banyak rintangan dan
tantangan, namun atas bantuan dari berbagai pihak akhirnya semua dapat
terselesaikan. Bantuan terutama Dosen mata Kuliah Studi Masyarakat Indonesia
,serta teman-teman lain yang telah meluangkan waktunya untuk membrikan
saran, dan dorongan sejak awal penyusunan penelitian sampai saat ini. Oleh
karenanya pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati, penulis
menyampaikan terima kasih.
Akhirnya, harapan penulis, semoga segala bentuk bantuan yang diberikan
oleh berbagai pihak bernilai amal ibadah dan mendapat imbalan yang berlipat
ganda dari Than Yang Maha Esa.

Medan, 22 November 2019

Kelompok 2.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................1
C. Tujuan Pembahasan ...................................................................................1

BAB II LANDASAN TEORI


A. Awal Mula Akulturasi Tionghoa ...............................................................2
B. Wujud Akulturasi Budaya Tionghoa .........................................................3
C. Rumah Ibadah ............................................................................................4

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


A. Waktu dan Tempat .....................................................................................7
B. Rancangan Penelitian.................................................................................7
C. Populasi dan Sampel ..................................................................................7
D. Instrumen Penelitian ..................................................................................7
E. Pengumpulan Data .....................................................................................7

BAB IV HASIL PEMBAHASAN .......................................................................9

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..............................................................................................11
B. Saran ........................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................12
LAMPIRAN DOKUMENTASI ........................................................................13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Akulturasi merupakan sebuah proses sosial yang timbul ketika suatu
kelompok masyarakat dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing
sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima, diolah,
dan diaplikasikan ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya
budaya asli (Koentjaraningrat, 1990: 253-254 Merujuk pada pengertian tersebut,
dapat disimpulkan bahwa akulturasi dapat diartikan sebagai kontak budaya atau
pertemuan antara dua budaya berbeda yang membentuk suatu kebudayaan baru
namun tidak menghilangkan budaya lamanya.
Akulturasi budaya Tionghoa – Medan salah satunya dapat dilihat dari bangunan-
bangunan yang saat ini berdiri, salah satunya adalah rumah ibadah orang-orang
Tionghoa seperti Kelenteng dan Masjid.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana awal mula akulturasi budaya Tionghoa – Medan?
2. Apa sajakah wujud akulturasi budaya Tionghoa – Medan?
3. Bagaimanakah akulturasi Tionghoa – Medan dalam bentuk rumah ibadah?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui bagaimana awal mula akulturasi budaya Tionghoa –
Medan.
2. Untuk mengetahui apa sajakah wujud akulturasi budaya Tionghoa –
Medan.
3. Untuk mengetahui akulturasi yang terjadi pada rumah ibadah antara
Tionghoa – Medan.

1
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Awal mula Akulturasi Budaya Tionghoa – Medan


Istilah akulturasi dalam Kamus Besar Bahasa Medan (KBBI) diartikan
sebagai penyerapan yang terjadi oleh seorang Individu atau kelompok
masyarakat, terhadap beberapa sifat tertentu dari kebudayaan kelompok lain
sebagai akibat dari kontak atau interaksi manusia berupa percampuran dari
beberapa macam kebudayaan secara perlahan menuju bentuk budaya baru.
Akulturasi juga merupakan sebuah proses sosial yang timbul ketika suatu
kelompok masyarakat dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing
sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima, diolah,
dan diaplikasikan ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya
budaya asli (Koentjaraningrat, 1990: 253-254). Merujuk pada pengertian
tersebut, dapat disimpulkan bahwa akulturasi juga diartikan sebagai kontak
budaya atau pertemuan antara dua budaya berbeda yang membentuk suatu
kebudayaan baru namun tidak menghilangkan budaya lamanya.

Akulturasi umum terjadi pada masyarakat karena adanya interaksi sosial


yang dimulai dari kontak dan komunikasi. Begitupun dengan Medan, bukan hal
yang asing apabila budaya Medan terbentuk atas pengaruh budaya asing, salah
satunya adalah pengaruh budaya Tiongkok. Menurut sejarah, sebelum bangsa
Tiongkok tiba Ya-va-di (Jawa) pada 414, salah seorang pendeta Buddha
bernama Faxian atau Fahien melakukan penelusuran melewati pesisir wilayah
Asia Tenggara (Groeneveldt, 2009: 9-11, Priyanto Wibowo, Tionghoa dalam
Keberagaman Medan: 641).

Dalam buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (Setiono, 2002: 18) Tiongkok
telah mengenal Nusantara (dengan nama Huang-Tse) sejak pemerintahan Kaisar
Wang Ming atau Wang Mang yaitu sejak abad 1 – 6 SM. Perjalanan pulang
pergi Tiongkok ke Nusantara memerlukan waktu tempuh satu tahun lamanya.
Hal itu disebabkan karena pengaruh musim, mereka menggunakan angin muson
yang berubah setiap enam bulan sekali untuk berlayar. Akibatnya banyak orang

2
Tiongkok yang menetap dan kemudian menikahi penduduk Nusantara hingga
memiliki keturunan yang disebut sebagai Tionghoa Peranakan.

Masyarakat Tionghoa peranakan paling tua yang berbentuk di bawah


pemerintahan Hindia Belanda adalah di Batavia. Pada masa pemerintahan
Hindia Belanda (Ongokham, 1991: 32 dalam Kartika, 1999: 1), etnis Tionghoa
menjadi kelompok pedagang perantara dan pemegang mayoritas hasil pajak
bumi pemerintah. Melalui kontak perdagangan juga lah budaya Tiongkok dan
budaya Medan terakulturasi. Bentuk akulturasi budaya Tiongkok pada budaya
Medan dapat terlihat dari arsiterktur, bahasa dan sastra, pengobatan dan kuliner.

B. Wujud Akulturasi Budaya Tionghoa – Medan


Dari penelitian yang dilakukan oleh para ahli Asia Tenggara, yaitu Higham,
Coedes, D. G. E. Hall dan juga Denys Lombard dapat disimpulkan bahwa
budaya Medan terbentuk dari dua peradaban besar, yaitu Sinic dan Indic. Sinic
mengacu kepada peradaban Cina atau Tiongkok sedangkan Indic mengacu
kepada peradaban India. Peradaban Tiongkok masuk secara teratur, dalam skala
kecil namun tetap berlangsung, bahkan hingga saat ini. Masuknya budaya
Tiongkok ke Medan menambah kekayaan budaya Medan karena terjadi
akulturasi diantara keduanya (Priyanto Wibowo, Tionghoa dalam Keberagaman
Medan: 641).
1) Bahasa dan Sastra
Kesusastraan Melayu Tionghoa telah ada sejak tahun 1870. Namun, Inpres
No. 14/ 1967 menyatakan bahwa peranakan Tionghoa tidak memiliki kebebasan
di Medan, khususnya acara keagamaan, kepercayaan dan adat-istiadat mereka
(Kwee Tek Hoay, 2001: X). Nio Joe Lan, pada 1930-an menyebutkan bahwa
Kesusastraan ini disebut dengan nama Indo-Tionghoa (de Indo-Chineesche
literatuur). Kesusastraan ini berkembang sendiri di luar lembaga resmi (Kwee
Tek Hoay, 2001: XI). Pramoedya Ananta Toer pada masa setelah merdeka
menyebutkan bahwa kesusastraan Melayu-Tionghoa berkembang sebagai masa
Asimilasi, masa transisi dari bentuk sastra lama ke sastra baru.

3
2) Pengobatan
Salah satu pengobatan Tionghoa yang sangat terkenal di Medan adalah
pengobatan akupuntur. Dalam bahasa Tiongkok, Akupuntur dikenal sebagai Cen
Ciew. Cen berarti jarum sedangkan Ciew berarti Pemanasan. Jarum yang
ditusukkan sebelumnya telah mendapat proses pemanasan dengan moksa, yaitu
pemanasan yang terbuat dari daun atenia atau Rokotmala. Teknik ini merupakan
hasil murni penemuan orang Tiongkok, bahkan teknik ini menjadi upaya dasar
dalam menemukan teknik pengobatan lainnya. Dari sumber yang tidak jelas,
teknik akupuntur ini ditemukan pada tahun 5000 tahun SM (Idris, 1997: 29).

3) Seni dan Arsitektur


Pengaruh seni dan arsitektur Tingkok dapat dilihat dari motif-motif yang
terdapat dalam beberapa hal,seperti motif batik dan juga ukiran-ukiran pada
bangunan-bangunan ibadah.

4) Kuliner
Kuliner Medan ternyata banyak dipengaruhi oleh kuliner bangsa-bangsa
asing, seperti Arab, India, Cina dan lain-lain, dan salah satunya adalah Soto. Hal
ini tertulis dengan jelas dalam buku karya Dennys Lombard yang berjudul Nusa
Jawa Silang Budaya. Dalam buku itu tertulis bahwa Soto merupakan makanan
yang diadopsi dari Cina, yang bernama Caudo. Caudo pertama kali populer di
wilayah Semarang, dan kemudian lambat laun caudo bermetamorfosa menjadi
Soto. Penyebaran caudo ini sangat mungkin terjadi, mengingat sejak berabad-
abad lalu Nusantara merupakan tempat transit bagi para pedagang-pedagang di
seluruh dunia.

C. Rumah Ibadah: Kelenteng dan Masjid sebagai wujud Akulturasi


Budaya Tionghoa – Medan
Rumah Ibadah merupakan bangunan yang sangat penting dalam ritual
keagamaan. Menurut David G. Khol), dalam bukunya “Chinese Architecture in
The Straits Settlements and Western Malaya”, ciri-ciri dari arsitektur orang

4
Tionghoa yang ada terutama di Asia Tenggara (sebelum tahun 1900) adalah
sebagai berikut:

1. Courtyard
Courtyard merupakan ruang terbuka pada rumah Tionghoa. Ruang terbuka
ini sifatnya lebih privat. Biasanya digabung dengan kebun/taman. Rumah warga
Tionghoa Medan di daerah Pecinan jarang mempunyai courtyard. Courtyard
pada arsitektur Tionghoa di Medan biasanya diganti dengan teras-teras yang
cukup lebar.
2. Bentuk atap yang Khas
Diantara semua bentuk atap, hanya ada beberapa yang paling banyak di
pakai di Medan. Diantaranya jenis atap pelana dengan ujung yang melengkung
keatas yang disebut sebagai model Ngang Shan.
3. Ornamen dan Hiasan
Orang Tionghoa ahli terhadap kerajinan ragam hias dan konstruksi kayu.
Maka dari itu elemen-elemen struktural kebanyakan sengaja diekspos untuk
memperlihatkan hasil ukiran dan ornamen dekoratif khas tionghoa.

4. Penggunaan warna yang khas


Warna pada arsitektur Tionghoa mempunyai makna simbolik. Warna
tertentu pada umumnya diberikan pada elemen yang spesifik pada bangunan.
Warna merah dan kuning keemasan paling banyak dipakai dalam arsitektur
Tionghoa di Medan terutama untuk kelenteng.

Di kalangan keturunan Tionghoa di Indonesia khususnya di Medan, tersiar


cerita mengenai kedatangan armada Cheng Ho atau Zeng He pada abad ke-15.
Zeng He berlayar ke Laut Selatan atas perintah dari Dinasti Ming Tiongkok.
Zeng He dibantu oleh Wang Jinghong. Ceng Ho dan Wang Jihong adalah
pemeluk agama Islam. Selama berada di Nusantara, mereka giat menyebarkan
Islam, khususnya di kalangan masyarakat Tionghoa. Untuk menganang jasa-jasa
Ceng Ho dan Wang Jihong, maka dibuatlah Kelenteng Sam Po Kong di
Semarang.

5
Pada 1704 Kelenteng Sam Po Kong runtuh akibat angin ribut. Pada 1724
masyarakat Tionghoa setempat memperbaiki Kelenteng tersebut. Upaya
pemugaran tersebut dimaksudkan untuk tetap melestarikan budaya Tionghoa
yang berada di Medan. Kelenteng Sam Po Kong. Sesuai dengan ciri-ciri
arsitektur bangunan Tionghoa, bagian tengah dari kelenteng ini sangat luas.
Terdapat banyak sentuhan seni yang sangat artistik pada kelenteng. Atap pada
kelenteng pun sangat khas.

Penulis saat berada di Kelenteng Sam Poo Kong. Terlihat banyak ornamen
khas Tionghoa dan juga warna Kelenteng yang khas. Selain pada Kelenteng,
pengaruh Tiongkok pada arsitektur bangunan dapat dijumpai pada ukiran padas
yang ada pada masjid-masjid di Medan. Misalnya arsitektur pada masjid lama
Mantingan (dekat Jepara, Jawa Tengah), yang dibangun kira-kira tahun 1550
oleh Ratu Kali Nyamat. Selain arsitektur pada masjid Mantingan, arsitektur
Tiongkok juga terlihat pada masjid Al-Imtizaj di Bandung.

Masjid Al-Imtizaj dikenal dengan nama Masjid Ronghe, didirikan oleh H.


R. Nuriyana. Masjid Ronghe merupakan masjid dengan arsitek budaya Tionghoa
yang dibuat menyerupai kelenteng. Sebagai pembeda masjid ini dengan
kelenteng, maka terdapat kubah pada bangunan ini, yang merupakan lambang
atau icon dari bangunan-bangunan masjid di Medan. Desain eksterior dan
interior masjid didominasi oleh warna merah dan kuning yang sering dipakai
dalam arsitektur kelenteng. Masjid Ronghe merupakan contoh wujud akulturasi
antara etnis Tionghoa Islam dengan umat Islam lainnya dan juga dapat
menyatukan etnis Tionghoa dan pribumi dalam satu agama

6
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian


Waktu : Jumat, 21 November 2019
Pukul 12.10 WIB s/d selesai.
Lokasi : Komplek Perumahan Cemara Asri No. 8, Jalan Cemara
Boulevard Utara, Medan Estate, Percut Sei Tuan, Kec.
Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara
20371.

B. Rancangan Penelitian
1) Mengunjungi tempat yang sesuai dengan judul laporan ini.
2) Mewawancarai petugas perumahan cemara asri dan masyakat di
sekitar tempat
3) Mendokumentasikan hasil wawancara dalam bentuk foto dan catatan
wawancara.

C. Populasi dan Sampel


Dalam penelitian ini kami mengambil data dari populasi
masyarakat yang berbudaya Tionghoa di Medan, Sumatera Utara.

D. Instrumen Penelitian
Instrumen yang kami gunakan adalah alat tulis dan handphone.
Dengan alat ini, kami memperoleh data yang valid dari narasumber.
Selanjutnya kami membuat laporan ini dengan cara diketik.

E. Pengumpulan Data
Adapun metode yang kami di lakukan pada saat pengambilan
data yaitu dengan cara sebagi berikut :

7
a) Teknik observasi ( pengamatan) : teknik ini di lakukan untuk
mendapatkan hasil deskripsi secara umum mengenai keadaan
atau kondisi lokasi yang di amati.
b) Teknik interview ( wawancara) : teknik ini di lakukan untuk
mendapatkan data primer maka menggunakan teknik
wawancara. wawancara yang pelaksanaanya di lakukan secara
bebas dan menggunakan pertanyaan –pertanyaan.

8
BAB IV
HASIL PEMBAHASAN

Tempat beribadah agama Buddha ini memang sangat menakjubkan,


bahkan merupakan yang terbesar di Medan. Kemegahannya membuat seolah-
olah kita berada di negeri Tirai Bambu. Maha Vihara Adhi Maitreya memiliki
lahan seluas 4.5 hektar dan dibangun pada tahun 1991. Lahan yang ditempati
berada di komplek perumahan Cemara Asri, Jl. Boulevard Utara No. 99-5,
Medan. Fungsi utama Vihara ini sebagai tempat beribadah umat Buddha.
Arsitektur bangunan mengambarkan kebudayaan serta karakteristik ajaran
Buddha Maitreya.

Maha Vihara Adhi Maitreya ini terbagi menjadi 3 gedung utama, gedung
pertama terdapat Baktisala umum yang merupakan tempat pemujaan Buddha
Sakyamuni, Bodhisatva Avolokitesvara dan Bodhisatva Satyakalama. Gedung
ini mempunyai daya tampung sebanyak 1500 orang. Pada sebelah kanan gedung
satu ini terdapat Taman Avolokitesvara yang dilengkapi dengan beberapa
permainan untuk anak-anak. Bagian lain terdapat Auditorium dengan kapasitas
130 orang, restoran vegetarian serta toko souvenir.

Pada bagian gedung 2 merupakan area Baktisala Maitreya dengan daya


tampung sebanyak 2500 orang. Di bagian ini juga terdapat baktisala Patriat Suci,
selain itu juga terdapat aula serbaguna sebagai tempat ruang makan khusus
resepsi. Sedangkan pada gedung ketiga merupakan balai pertemuan dengan
kapasitas 2000 orang. Semua gedung terdapat wisma hanya saja wisma pada
gedung 1 memiliki fasilitas yang paling lengkap yakni adanya ruang
perkantoran, ruang rapat, studio rekaman dan dapur umum.

Pada bagian dalam dihiasi dengan beberapa interior sederhana yang


menjadikan suasana terasa tenang sehingga menambah kekhusukan saat
beribadah. Terdapat tiga patung suci utama didalam Vihara ini dengan corak
warna keemasan yakni Patung Sang Buddha, Dewi Kwan Im dan Hakim
Bao.Pada bagian luar terdapat Genta dengan ukuran 3,3 meter untuk tingginya

9
dan berat 7 ton yang diukir dengan kalimat Dharma Hati Maitreya. Genta ini
disebut dengan Genta Kebahagiaan.

Selain itu pada sisi kiri vihara terdapat kolam ikan koi dengan warna-
warninya yang cantik berenang kesana kemari serta taman burung yang
merupakan kumpulan burung bangau. Konon keberadaan burung ini berasal dari
Eropa dan Australia, dimana tempat ini sebagai tempat singgah sementara saat
burung-burung tersebut migran dari satu tempat ke tempat lainnya.

10
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Akulturasi kebudayaan Tionghoa – Medan terjadi karena adanya interaksi
antara kedua kebudayaan tersebut. Dipandang dari sudut sejarah, jelas hal itu
sangat mungkin terjadi karena kontak budaya antara dua negara tersebut
diperkirakan telah berlangsung sejak abad ke 1 SM. Karena perjalanan laut
memerlukan waktu sekitar satu tahun untuk pulang pergi dari Tiongkok ke
Nusantara, maka orang-orang Tiongkok banyak yang bermukim hingga
melangsungkan perkawinan dengan pribumi. Lambat-laun, budaya dua negara
tersebut menyatu dan menghasilkan budaya baru tanpa menghilangkan budaya
aslinya. Hal tersebut dapat sangat terlihat pada unsur seni khususnya arsitektur
bangunan, seperti Kelenteng, Masjid dan Makam.

B. Saran
Alangkah baik dan bijaknya, bagi setiap masyarakat untuk melestarikan
budaya termasuk budaya yang berasal dari akulturasi. Selain hal tersebut
memperkaya budaya Nasional, hal tersebut juga dapat dijadikan sebagai upaya
mempererat hubungan Internasional antara dua negara tersebut.

11
DAFTAR PUSTAKA

Groendveldt, W. P. 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Jakarta:


Komunitas Bambu.
Hoay, Kwee Tek. 2001. Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan
Medan. Jakarta: KPG.

12
LAMPIRAN DOKUMENTASI

13

Anda mungkin juga menyukai