T.A 2019
1
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji dan Syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa,
karena begitu besar penyertanNya yang telah menghantarkan penulis dalam
penulisan Laporan Penelitian ini yang berjudul akulturasi budaya Tionghoa –
Medan” guna untuk menambah ilmu pengetahuan pada Universitas Negeri
Medan Jurusan Pendidikan Geografi.
Dalam penulisan laporan ini, penulis menghadapi banyak rintangan dan
tantangan, namun atas bantuan dari berbagai pihak akhirnya semua dapat
terselesaikan. Bantuan terutama Dosen mata Kuliah Studi Masyarakat Indonesia
,serta teman-teman lain yang telah meluangkan waktunya untuk membrikan
saran, dan dorongan sejak awal penyusunan penelitian sampai saat ini. Oleh
karenanya pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati, penulis
menyampaikan terima kasih.
Akhirnya, harapan penulis, semoga segala bentuk bantuan yang diberikan
oleh berbagai pihak bernilai amal ibadah dan mendapat imbalan yang berlipat
ganda dari Than Yang Maha Esa.
Kelompok 2.
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................1
C. Tujuan Pembahasan ...................................................................................1
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..............................................................................................11
B. Saran ........................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................12
LAMPIRAN DOKUMENTASI ........................................................................13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akulturasi merupakan sebuah proses sosial yang timbul ketika suatu
kelompok masyarakat dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing
sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima, diolah,
dan diaplikasikan ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya
budaya asli (Koentjaraningrat, 1990: 253-254 Merujuk pada pengertian tersebut,
dapat disimpulkan bahwa akulturasi dapat diartikan sebagai kontak budaya atau
pertemuan antara dua budaya berbeda yang membentuk suatu kebudayaan baru
namun tidak menghilangkan budaya lamanya.
Akulturasi budaya Tionghoa – Medan salah satunya dapat dilihat dari bangunan-
bangunan yang saat ini berdiri, salah satunya adalah rumah ibadah orang-orang
Tionghoa seperti Kelenteng dan Masjid.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana awal mula akulturasi budaya Tionghoa – Medan?
2. Apa sajakah wujud akulturasi budaya Tionghoa – Medan?
3. Bagaimanakah akulturasi Tionghoa – Medan dalam bentuk rumah ibadah?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui bagaimana awal mula akulturasi budaya Tionghoa –
Medan.
2. Untuk mengetahui apa sajakah wujud akulturasi budaya Tionghoa –
Medan.
3. Untuk mengetahui akulturasi yang terjadi pada rumah ibadah antara
Tionghoa – Medan.
1
BAB II
LANDASAN TEORI
Dalam buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (Setiono, 2002: 18) Tiongkok
telah mengenal Nusantara (dengan nama Huang-Tse) sejak pemerintahan Kaisar
Wang Ming atau Wang Mang yaitu sejak abad 1 – 6 SM. Perjalanan pulang
pergi Tiongkok ke Nusantara memerlukan waktu tempuh satu tahun lamanya.
Hal itu disebabkan karena pengaruh musim, mereka menggunakan angin muson
yang berubah setiap enam bulan sekali untuk berlayar. Akibatnya banyak orang
2
Tiongkok yang menetap dan kemudian menikahi penduduk Nusantara hingga
memiliki keturunan yang disebut sebagai Tionghoa Peranakan.
3
2) Pengobatan
Salah satu pengobatan Tionghoa yang sangat terkenal di Medan adalah
pengobatan akupuntur. Dalam bahasa Tiongkok, Akupuntur dikenal sebagai Cen
Ciew. Cen berarti jarum sedangkan Ciew berarti Pemanasan. Jarum yang
ditusukkan sebelumnya telah mendapat proses pemanasan dengan moksa, yaitu
pemanasan yang terbuat dari daun atenia atau Rokotmala. Teknik ini merupakan
hasil murni penemuan orang Tiongkok, bahkan teknik ini menjadi upaya dasar
dalam menemukan teknik pengobatan lainnya. Dari sumber yang tidak jelas,
teknik akupuntur ini ditemukan pada tahun 5000 tahun SM (Idris, 1997: 29).
4) Kuliner
Kuliner Medan ternyata banyak dipengaruhi oleh kuliner bangsa-bangsa
asing, seperti Arab, India, Cina dan lain-lain, dan salah satunya adalah Soto. Hal
ini tertulis dengan jelas dalam buku karya Dennys Lombard yang berjudul Nusa
Jawa Silang Budaya. Dalam buku itu tertulis bahwa Soto merupakan makanan
yang diadopsi dari Cina, yang bernama Caudo. Caudo pertama kali populer di
wilayah Semarang, dan kemudian lambat laun caudo bermetamorfosa menjadi
Soto. Penyebaran caudo ini sangat mungkin terjadi, mengingat sejak berabad-
abad lalu Nusantara merupakan tempat transit bagi para pedagang-pedagang di
seluruh dunia.
4
Tionghoa yang ada terutama di Asia Tenggara (sebelum tahun 1900) adalah
sebagai berikut:
1. Courtyard
Courtyard merupakan ruang terbuka pada rumah Tionghoa. Ruang terbuka
ini sifatnya lebih privat. Biasanya digabung dengan kebun/taman. Rumah warga
Tionghoa Medan di daerah Pecinan jarang mempunyai courtyard. Courtyard
pada arsitektur Tionghoa di Medan biasanya diganti dengan teras-teras yang
cukup lebar.
2. Bentuk atap yang Khas
Diantara semua bentuk atap, hanya ada beberapa yang paling banyak di
pakai di Medan. Diantaranya jenis atap pelana dengan ujung yang melengkung
keatas yang disebut sebagai model Ngang Shan.
3. Ornamen dan Hiasan
Orang Tionghoa ahli terhadap kerajinan ragam hias dan konstruksi kayu.
Maka dari itu elemen-elemen struktural kebanyakan sengaja diekspos untuk
memperlihatkan hasil ukiran dan ornamen dekoratif khas tionghoa.
5
Pada 1704 Kelenteng Sam Po Kong runtuh akibat angin ribut. Pada 1724
masyarakat Tionghoa setempat memperbaiki Kelenteng tersebut. Upaya
pemugaran tersebut dimaksudkan untuk tetap melestarikan budaya Tionghoa
yang berada di Medan. Kelenteng Sam Po Kong. Sesuai dengan ciri-ciri
arsitektur bangunan Tionghoa, bagian tengah dari kelenteng ini sangat luas.
Terdapat banyak sentuhan seni yang sangat artistik pada kelenteng. Atap pada
kelenteng pun sangat khas.
Penulis saat berada di Kelenteng Sam Poo Kong. Terlihat banyak ornamen
khas Tionghoa dan juga warna Kelenteng yang khas. Selain pada Kelenteng,
pengaruh Tiongkok pada arsitektur bangunan dapat dijumpai pada ukiran padas
yang ada pada masjid-masjid di Medan. Misalnya arsitektur pada masjid lama
Mantingan (dekat Jepara, Jawa Tengah), yang dibangun kira-kira tahun 1550
oleh Ratu Kali Nyamat. Selain arsitektur pada masjid Mantingan, arsitektur
Tiongkok juga terlihat pada masjid Al-Imtizaj di Bandung.
6
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
B. Rancangan Penelitian
1) Mengunjungi tempat yang sesuai dengan judul laporan ini.
2) Mewawancarai petugas perumahan cemara asri dan masyakat di
sekitar tempat
3) Mendokumentasikan hasil wawancara dalam bentuk foto dan catatan
wawancara.
D. Instrumen Penelitian
Instrumen yang kami gunakan adalah alat tulis dan handphone.
Dengan alat ini, kami memperoleh data yang valid dari narasumber.
Selanjutnya kami membuat laporan ini dengan cara diketik.
E. Pengumpulan Data
Adapun metode yang kami di lakukan pada saat pengambilan
data yaitu dengan cara sebagi berikut :
7
a) Teknik observasi ( pengamatan) : teknik ini di lakukan untuk
mendapatkan hasil deskripsi secara umum mengenai keadaan
atau kondisi lokasi yang di amati.
b) Teknik interview ( wawancara) : teknik ini di lakukan untuk
mendapatkan data primer maka menggunakan teknik
wawancara. wawancara yang pelaksanaanya di lakukan secara
bebas dan menggunakan pertanyaan –pertanyaan.
8
BAB IV
HASIL PEMBAHASAN
Maha Vihara Adhi Maitreya ini terbagi menjadi 3 gedung utama, gedung
pertama terdapat Baktisala umum yang merupakan tempat pemujaan Buddha
Sakyamuni, Bodhisatva Avolokitesvara dan Bodhisatva Satyakalama. Gedung
ini mempunyai daya tampung sebanyak 1500 orang. Pada sebelah kanan gedung
satu ini terdapat Taman Avolokitesvara yang dilengkapi dengan beberapa
permainan untuk anak-anak. Bagian lain terdapat Auditorium dengan kapasitas
130 orang, restoran vegetarian serta toko souvenir.
9
dan berat 7 ton yang diukir dengan kalimat Dharma Hati Maitreya. Genta ini
disebut dengan Genta Kebahagiaan.
Selain itu pada sisi kiri vihara terdapat kolam ikan koi dengan warna-
warninya yang cantik berenang kesana kemari serta taman burung yang
merupakan kumpulan burung bangau. Konon keberadaan burung ini berasal dari
Eropa dan Australia, dimana tempat ini sebagai tempat singgah sementara saat
burung-burung tersebut migran dari satu tempat ke tempat lainnya.
10
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Akulturasi kebudayaan Tionghoa – Medan terjadi karena adanya interaksi
antara kedua kebudayaan tersebut. Dipandang dari sudut sejarah, jelas hal itu
sangat mungkin terjadi karena kontak budaya antara dua negara tersebut
diperkirakan telah berlangsung sejak abad ke 1 SM. Karena perjalanan laut
memerlukan waktu sekitar satu tahun untuk pulang pergi dari Tiongkok ke
Nusantara, maka orang-orang Tiongkok banyak yang bermukim hingga
melangsungkan perkawinan dengan pribumi. Lambat-laun, budaya dua negara
tersebut menyatu dan menghasilkan budaya baru tanpa menghilangkan budaya
aslinya. Hal tersebut dapat sangat terlihat pada unsur seni khususnya arsitektur
bangunan, seperti Kelenteng, Masjid dan Makam.
B. Saran
Alangkah baik dan bijaknya, bagi setiap masyarakat untuk melestarikan
budaya termasuk budaya yang berasal dari akulturasi. Selain hal tersebut
memperkaya budaya Nasional, hal tersebut juga dapat dijadikan sebagai upaya
mempererat hubungan Internasional antara dua negara tersebut.
11
DAFTAR PUSTAKA
12
LAMPIRAN DOKUMENTASI
13