HINDHU-BUDHA
( tugas sebagai syarat mata kuliah sejarah abad XV)
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang maha esa karena berkat rahmat
dan karunia-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu.Selain untuk memenuhi tugas dari mata kuliah, tujuan kami membuat
makalah ini adalah untuk memaparkan akulturai budaya asli indonesia dengan
hindhu-budha.
Penulisan makalah ini dapat selesai tidak terlepas dari bantuan, dorongan dan
dukungan yang begitu besar dari berbagai pihak yang telah membimbing dan
membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................
1.3 Tujuan.............................................................................................................. 2
A. Kesimpulan..................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
ii
3. Periode Akhir (Abad XVI-sekarang)
Pada periode ini, unsur Indonesia lebih kuat dibandingkan dengan
periode sebelumnya, sedangkan unsur Hindu-Budha semakin surut
karena perkembangan politik ekonomi di India. Di Bali kita dapat
melihat bahwa Candi yang menjadi pura tidak hanya untuk memuja
dewa. Roh nenek moyang dalam bentuk Meru Sang Hyang Widhi
Wasa dalam agama Hindu sebagai manifestasi Ketuhanan Yang
Maha Esa. Upacara Ngaben sebagai objek pariwisata dan sastra lebih
banyak yang berasal dari Bali bukan lagi dari India.
ii
1.2 Tujuan makalah
ii
BAB II
PEMBAHASAN
ii
3. Pengertian Akulturasi Menurut Hasyim
ii
7. Pengertian Akulturasi Menurut Sumandiyo Hadi (2006:35)
ii
2.2 Contoh dan hasil dari Akulturasi Budaya Hindu Buddha di
Indonesia
Pengaruh kebudayaan Hindu hanya bersifat melengkapi
kebudayaan yang telah ada di Indonesia. Perpaduan budaya
Hindu-Budha melahirkan akulturasi yang masih terpelihara
sampai sekarang. Akulturasi tersebut merupakan hasil dari proses
pengolahan kebudayaan asing sesuai dengan kebudayaan
Indonesia. Hasil akulturasi tersebut tampak pada.
ii
kebudayaan asing dan mengolahnya sesuai dengan kepribadian
bangsa Indonesia.
2) Sistem Pemerintahan
Sebelum masuknya Hindu-Budha di Indonesia dikenal sistem
pemerintahan oleh kepala suku yang dipilih karena memiliki
kelebihan tertentu jika dibandingkan anggota kelompok lainnya.
Ketika pengaruh Hindu-Budha masuk maka berdiri Kerajaan yang
dipimpin oleh seorang raja yang berkuasa secara turun-temurun.
Raja dianggap sebagai keturuanan dari dewa yang memiliki
kekuatan, dihormati, dan dipuja. Sehingga memperkuat
kedudukannya untuk memerintah wilayah kerajaan secara turun
temurun. Serta meninggalkan sistem pemerintahan kepala suku.
Pada masa sebelum masuknya Hindu-Budha masyarakat
Nusantara mengenal sistem pemerintahan yang dipimpin oleh
kepala suku dan juga keturunannya. Kepala suku dipilih
masyarakat atas kemampuannya dalam berbagai hal misalnya
kemampuan untuk mengalahkan musuh ataupun juga dalam
berburu hewan.Namun setelah masuknya pengaruh Hindu-Budha
kemudian sistem pemerintahan berubah namun masih juga
ii
memiliki unsur budaya lokal, perubahan ini menjadi seorang raja
yang memimpin sebuah wilayah atau negara. Perkembangan itu
menyesuaikan dengan yang ada di India karena India merupakan
daerah awal dimana Hindu-Budha tumbuh.Contohnya ialah nama
Raja Kutai yang pertama pada saat itu adalah Kudungga yang
merupakan nama orang asli penduduk pribumi pada masa itu,
Kudungga merupakan seorang kepala suku. Namun setelah itu
nama anak dari Kudungga yaitu Aswawarman merupakan nama
yang sudah mendapat pengaruh India. Selain pemerintahan juga
mendapat pengaruh dari India yang dari kesukuan menjadi sebuah
kerajaan.
Dengan demikian :
- Pemilihan raja tidak selalu turun temurun tetapi ada yang
menggunakan prindip musyawarah.
- Dikenal sisem pemerintahan kerajaan yang dipimpin oleh seorang
raja yang dikultuskan menjadi seorang dewa.
- Dikenalnya sitem kasta yang memilki pernanan dan fungsi.
ii
3) Kesenian
Bentuk akulturasi dari kebudayaan ini dapat dilihat dari relief yang
menggambarkan tentang keadaan alam dan geografis dari wilayah
Nusantara sendiri di masa lalu seperti adanya hiasan burung merpati
ataupun juga hiasan tentang gambar dari perahu bercadik yang tidak
kita temukan di India.
4) Seni sastra
Dalam seni sastra akulturasi nampak jelas seperti pada Sastra Jawa
yang mengalami proses akulturasi dengan kebudayaan India. Proses
ini terjadi dengan penyerapan unsur-unsur kebudayaan India terlihat
dari prasasti yang menggunakan huruf Pallawa dan Bahasa
Sansekerta.
ii
Namun seiring dengan bentuk akulturasinya dengan budaya lokal
kemudian dari huruf Pallawa dan Bahasa Sansekerta ini
dikembangkan ke dalam Bahasa Jawa Kuna ataupun bahasa yang
lainnya yang masih dalam satu konteks bahasa. Seni sastra di Jawa
bermula ketika kebudyaan Jawa mengalami proses akulturasi dengan
kebudayaan India. Unsur kebudayaan India diserap dlam
kebudayaan Jawa tidak secara mentah –mentah , melainkan melalui
proses pengubahan dan perombakan sehingga kebudayaan Jawa
tidak sampai tercabut dari akarnya. Kreativitas para sastrawan Jawa
menonjol sehingga menghasilkan puluhan karya yang merupakan
gubahan asli Jawa dan bukan terjemahan dari karya berbahasa
sanseskerta yang berasal dari India (Zoetmulder,1985:10 -19).
Dalam bidang sastra wujud akulturasi dapat dibuktikan dengan
adanya suatu cerita atau kisah yang berkembang di Indonesia yang
bersumber dari kitab Ramayana dan Mahabarata, misalnya tokoh –
tokoh dalam cerita tersebut ditambah dengan hadirnya tokoh
punakawan seperti semar,gareng,pertuk,dan bagong. Dalam kisah
Baratayuda, yang disadur dari kitab Mahabarata tidak menceritakan
perang antara pandawa dan kurawa melainkan peperangan Jawa
jayabaya dari kadiri melawan kerajaan jenggala. Karya sastra Jawa
Kuno dalam masa diciptakan dalam masa yang cukup lama. Bukti –
bukti tertua menunjukkan telah ada karya sastra Jawa kuno yang
diperkirakan diubah pada sekitar abad ke – 10. Pada era kerajaan
Kediri (abad ke – 12) dihasilkan karya sastra yang relatif berupa dan
bermutu sehingga masa kadiri dianggap sebagai masa keemasan
dalam perkembangan seni sastra masa hindu buddha. Persentuhan
dengan hindu budha telah menghasilkan kesustraan sunda,jawa,dan
bali.Bentuk karya sastra yang menonjol antara lain berupa prosa
(ganjaran),puisi (takawin),dan sastra kidung. Bentuk puisi dikenal
dengan istilah Kawya yang memiliki aturan mantra tertentu : Jumlah
baris setiap baitnya , jumlah sukunya tiap baris, serta ritme yang
ii
diwujudkan dengan memperhitungkan panjang pendeknya suatu
kata.
a. Sastra Jawa Kuno
1. Kakawin Ramayana
2. Kakawin Arjuna Wiwaha
3. Kakawin Sumana Santaka
4. Kakawin Semaradahana
5. Kakawin Buwakkaweya
6. Kakawin Baratayudha
7. Kakawin Ariwangsa
8. Kakawin Gatot Kaca Seraya
9. Kakawin Negarakertagama
10. Kakawin Arjuna wijaya
11. Kakawin Sutasoma Uru Sadasanta
12. Ureta Sancaya / Cakrawaka duta
13. Lubdakh
5) Sistem Penanggalan
ii
sebagai penanda misalnya para petani dulu untuk melihat perubahan
musim dalam setahun biasanya menggunakan gugusan bintang
Weluku yang biasanya sekarang ini nampak pada Bulan September
sampai Maret. Namun setelah masuknya Hindu-Budha, sistem
penanggalan kemudian mendapat pengaruh yang signifikan yakni
dengan menggunakan tahun Saka sebagai sistem penanggalan yang
digunakan oleh masyarakat setempat. Menurut tahun perhitungan satu
tahun saka sama dengan 365 hari dan perbedaan tahun sak dengan
tahun masehi adalah 78 tahun sebagai contoh misalnya tahun saka
654,maka tahun masehinya 654 + 78 = 732 M.
Di samping adanya penegtahuan tentang kalender saka ,juga
ditemukan perhitungan tahun saka dengan menggunakan
candrasangkala.
ii
Candrasangkala banyak ditemukan dalam prasati yang ditemukan di pulau
jawa,dan menggunakan kalimat bahasa jawa.
ii
Dengan demikian funsi candi hindhu di indonesia adalah untuk
pemujaan tehadapa roh nenek moyang yang dihubungkan dengan
raja yang sudah mninggal.
ii
7) Ekonomi
8) Bidang Pendidikan
ii
o Empu Tantular dengan karyanya Sutasoma.
ii
9) Kepercayaan
ii
Patung ini menjadi arca induk dalam candi. Biasanya dalam sebuah
candi memuat berbagai patung dewa – dewa nya.
ii
a. Wayang
ii
Dalam kurun waktu yang cukup lama dan evolusi pertunjukan ini
berubah menjadi pertunjukan wayang kulit yang masih sangat
sederhana. Setelah berkembangnnya agama Hindu dan Budha di
indonesia wayang kulit yang belum mencapai bentuknya
terpengaruh dan digunakan Oleh agama Budha sebagai pertunjukan
yang bersifat ritul, magis, religus dan pendidikan moral. Selanjutnya
cerita-cerita yang ditampilkan dalam pertunjukan ini meliputi epos-
epos seperti ramayana dan mahabarata.
Dalam prasasti abad ke-10 disebutkan “mawayang bwat hyang”
yang artinya adalah mempergelarkan wayang untuk dewata.
Pergelaran itu dilakukan dalam rangkaian upacara sima. Prasasti
dalam masa yang sama juga dalam penetapan suatu sima. Prasati
dalam masa yang sama juga menyebutkan bahwa dalam rangka
penetapan suatu sima “para warga desa menari bersama
berkeliling( mengelilingi pusat upacara)”. Fungsi mereka pada masa
prasasti-prasasti dan diseru untuk menjadi “saksi” seperti para dewa,
unsur-unsur alam semesta , serta berbagai jenis makhluk yang
disebutkan pada prasasti-prasasti dan diseru untuk menjadi saksi
bagi peristiwa perubahan status kawasan tersebut( Edy
Sedyawati,2009:11).
ii
b. Seni Tari
Seni tari pada masa kejayaan Hindu-Budha terdapat dijawa dan Bali.
Dikedua wilayah ini seni tarinya memiliki kemiripan diakibatkan
adanya migrasi itu seni tarinya memiliki kemirapan diakibatkan
adanya migrasi penduduk dari jawa ke Bali karena jatuhnya
Majapahit. Adapun kesamannya antara lain sistem laras komposisi
lagu dan gamelan , pemakaian cerita dan perbendaharaan gerak dalam
tari, serta pakaian yang dikenakan. Dari daun lontar( lontar Candra
Sengkala) dinyatakan bahwa tari Gambuh yang dianggap sebagai
induk dari semua drama tari di Bali merupakan pengaruh dari drama
tari yang berasal dari Jawa Timur.
Sama halnya dengan wayang , tarian pun pada mulanya digunakan
untuk aktivitas keagamaan yaitu pemujaan bagi para dewa. Materi
yang dipentaskan dalam tari-tarian diadaptasi dari kisah-kisah dalam
kitab agama Hindu. Tari klasik yang ditarikan yang ditarikan oleh
para dewa dasi adalah bagian dari acara peribadatan dikuil. Dasar-
dasar tarinya, seperti diungkapkan dalam kitab Natysastra dianggap
ciptaan dewa siwa sendiri. Dijawa tengah terdapat tari-tarian yang
berdasar sama tergambar pada candi untuk dewa siwa diPrambanan.
Namun lambat laun, tarian berkembang menjadi salah satu jenis seni
pertujukan yang tidak lagi diselanggarakan untuk kepentingan agama
saja. Dalam adegan bercerita baik di Prambanan maupun candi-candi
lin dijawa tengah, tari-tarian yang sedasar dengan tari klasik itu
semata-mata diperuntukan bagi peribadatan, bahkan pada umumnya
tarian tersebut digambarkan untuk kesemarakan suatu lingkungan
tanpa berhubungan dengan peritiwa ibadat apapun. Kemungkinan
tarian india klasik itu dipelajari ketika berfungsi sebagai pelengkap
agama dan kemudian dikembangkan sebagai kesenian semata.
Kesenian yang berkembang dikalangan rakyat dapat diketahui nama-
namanya dari prasasti, tetapi mengenai bentuk dan pelaksanaannya
hanya dapat diduga. Pada umunya dinyatakan bahwa pelaku kesenian
ii
adalah mereka yang tergolong anak wanua atau warga desa. Warga
wanua adalah golongan masyarakat yang diperbedakan dengan
mereka yang hidup dilingkungan rajya(ibu kota tempat raja), sebagai
golongan yang disebut watek i jro (golongan orang dalam). Pada
masa-masa kemudian unsur baku dan unsur kerakyatan tidak sekedar
menggabung, melainkan, melebur dan menyatu dan menghasilkan
gaya tari yang tidak dapat lagi disamakan dengan gaya tari india
klasik.
ii
2.3 Proses masuknya pengaruh budaya hindhu-budha di indonesia
ii
3. Periode Akhir (Abad XVI-sekarang)
Pada periode ini, unsur Indonesia lebih kuat dibandingkan dengan
periode sebelumnya, sedangkan unsur Hindu-Budha semakin surut
karena perkembangan politik ekonomi di India. Di Bali kita dapat
melihat bahwa Candi yang menjadi pura tidak hanya untuk memuja
dewa. Roh nenek moyang dalam bentuk Meru Sang Hyang Widhi
Wasa dalam agama Hindu sebagai manifestasi Ketuhanan Yang
Maha Esa. Upacara Ngaben sebagai objek pariwisata dan sastra lebih
banyak yang berasal dari Bali bukan lagi dari India
ii
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dia as da[pat disimpulkan bahwa seluruh
budaya di indonesia terpengaruh daro budaya hindhu-budha.
Kita ketahui akulturasi merupakan suatu perpaduan dua kebudayaan
yang berbeda yang langsung bertemu secara damai dan serasi. Unsur
kebudayaan yang bertemu tersebut hidup berdampingan dan saling
mengisi satu sama lain tetapi tidak sedikitpun menghilangkan unsur-
unsur kebudayaan asli yang telah lebih dahulu ada.
Sebelum masuknya kebidayaan Hindu Budha di Indonesia,
kebudayaan asli Indonesia telah tumbuh dan berkembang dengan
pesat. Masuknya pengaruh Hindu Budha tersebut kemudian
memberikan dampak dan pengaruh tersendiri terhadap
perkembangan budaya yang ada. Unsur-unsur kebudayaan Hindu
Buhda tersebut kemudian diserap dan disesuaikan dengan
kebudayaan asli yang sebelumnya sudah ada sehingga terciptalah
kebudayaan akulturasi.
ii
DAFTAR PUSTAKA
ii