Anda di halaman 1dari 25

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kesehatan jasmani dan rohani sehingga saya dapat menyelesaikan
Makalah yang berjudul Nasionalisme ditangan Generasi Milenial dan Z.

Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Nasionalisme dan Jati Diri
Bangsa di program studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Negeri
Yogyakarta. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Ibu Dr. Taat Wulandari, S.Pd, M.Pd selaku dosen pengampu
mata kuliah Nasionalisme dan Jati Diri Bangsa dan kepada segenap pihak yang
telah memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam penulisan makalah


ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
para pembaca demi kesempurnaan paper ini.

Yogyakarta, 31 Mei 2020

Penulis

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...............................................................................................1

Daftar Isi.........................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................3

A. LATAR BELAKANG........................................................................3
B. RUMUSAN MASALAH...................................................................5
C. TUJUAN............................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN................................................................................6

A. Lubang Hitam Kebudayaan dan Tradisi Yogyakarta.........................6


B. Faktor – Faktor Penyebab Adanya Lubang Hitam pada
Kebudayaan dan Tradisi Yogyakarta.................................................11
C. Lubang Hitam dalam Kebudayaan dan Tradisi Yogyakarta
Menurut Sudut Pandang Ilmu Sejarah ...............................................26
D. Lubang Hitam dalam Kebudayaan dan Tradisi Yogyakarta
Menurut Sudut Pandang Ilmu Geografi.............................................28
Lubang Hitam dalam Kebudayaan dan Tradisi Yogyakarta
E. Menurut Sudut Pandang Ilmu Ekonomi.............................................32
F. Lubang Hitam dalam Kebudayaan dan Tradisi Yogyakarta
Menurut Sudut Pandang Ilmu Sosiologi............................................34
G. Lubang Hitam dalam Kebudayaan dan Tradisi Yogyakarta
Menurut Sudut Pandang Ilmu Pengetahuan Sosial............................37
H. Solusi Permasalahan Lubang Hitam dalam Kebudayaan dan
Tradisi Yogyakarta.............................................................................37

BAB III PENUTUP........................................................................................43

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................44

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Jiwa nasionalisme merupakan elemen yang penting dalam kehidupan
bernegara hal ini disebabkan karena nasionalisme adalah wujud kecintaan dan
kehormatan terhadap bangsa sendiri. Dengan hal itu, generasi muda memiliki
ide dan kemauan melakukan sesuatu yang terbaik bagi bangsanya, menjaga
kerukunan serta persatuan bangsa, dan berusaha meningkatkan harkat
martabat bangsa dihadapan dunia.
Nation berasal dari bahasa Latin natio, yang dikembangkan dari kata
nascor (saya dilahirkan), maka pada awalnya nation (bangsa) dimaknai
sebagai “sekelompok orang yang dilahirkan di suatu daerah yang sama”
(group of people born ini the same place) (Ritter, 1986: 286).
Kata ‘nasionalisme’ menurut Abbe Barruel untuk pertama kali dipakai
di Jerman pada abad ke-15, yang diperuntukan bagi para mahasiswa yang
datang dari daerah yang sama atau berbahasa sama, sehingga mereka itu (di
kampus yang baru dan daerah baru) tetap menunjukkan cinta mereka terhadap
bangsa/suku asal mereka (Ritter, 1986: 295).
Sementara menurut Sartono Kartodirjo (1999:60), bahwa
nasionalisme memuat tentang kesatuan/unity, kebebasan/ liberty, kesamaan/
equality, demokrasi, kepribadian nasional serta prestasi kolektif.
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa
nasionalisme merupakan paham dimana suatu bangsa bersatu dalam suatu
tujuan bersama dengan visi misi yang sama untuk kemajuan negaranya.
Jiwa nasionalisme dan patriotisme suatu bangsa tentunya harus
dilestarikan supaya bangsa tersebut tidak cepat punah. Hal satu-satunya yang
dapat dilestarikan adalah dengan menanamkan nilai-nilai semangat
kebangsaan tersebut kepada generasi penerus bangsa. Berbagai langkah harus
segera dilakukan sejak dini supaya penanaman nilai-nilai nasionalisme
tersebut dapat menjiwai generasi penerus bangsa dan generasi muda pun
terbiasa untuk mencintai bangsa dan negaranya.

3
Generasi muda merupakan front liner (garis terdepan) dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Generasi muda diharapkan dapat
menjadi sosok penerus yang memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme yang
tinggi sehingga dapat menjunjung tinggi nama besar bangsa Indonesia.
Generasi muda saat ini adalah generasi muda yang kental akan
globalisasi. Generasi muda saat ini dapat mengakses berbagai informasi dan
ilmu secara mudah dan cepat. Hal ini disebabkan karena kemajuan teknologi
yang begitu cepat membuat manusia berevolusi dan lahirlah generasi yang
sangat mumpuni dalam memanfaatkan teknologi.
Generasi muda saat ini didominasi oleh generasi yang disebut generasi
milenial dan Z. Lalu siapakah generasi milenial sebenarnya?. Menurut
Kementrian Perempuan dan Perlindungan Anak dalam buku Statistik Gender
Tematik: Profil Generai Milenial Indonesia, istilah milenial pertama kali
dicetuskan oleh William Strauss dan Neil dalam bukunya yang berjudul
Millennials Rising: The Next Great Generation (2000). Mereka menciptakan
istilah ini tahun 1987, yaitu pada saat anak-anak yang lahir pada tahun 1982
masuk pra-sekolah. Saat itu media mulai menyebut sebagai kelompok yang
terhubung ke milenium baru di saat lulus SMA di tahun 2000.
Pendapat lain menurut Elwood Carlson dalam bukunya yang berjudul
The Lucky Few: Between the Greatest Generation and the Baby Boom
(2008), generasi milenial adalah mereka yang lahir dalam rentang tahun 1983
sampai dengan 2001. Jika didasarkan pada Generation Theory yang
dicetuskan oleh Karl Mannheim pada tahun 1923, generasi milenial adalah
generasi yang lahir pada rasio tahun 1980 sampai dengan 2000. Generasi
milenial juga disebut sebagai generasi Y. Istilah ini mulai dikenal dan dipakai
pada editorial koran besar Amerika Serikat pada Agustus 1993.
Pendapat Taylor dan Keeter (2010) yang dikutip oleh Turner (2013)
mengatakan bahwa generasi milenial merupakan generasi pertama yang
memiliki kontak rutin dengan seluruh informasi yang diakses melalui
internet. Generasi ini menjadikan globalisasi sebagai referensi utama dalam
menjawab isu kekinian; mengetahui fakta kekinian; mengetahui

4
perkembangan video, lagu-lagu, film dan berita dalam waktu yang
bersamaan.
Generasi Z disebut juga dengan iGeneration, Generasi Net atau
Generasi Internet adalah mereka yang hidup pada masa digital. Seorang
Psikolog, Elizabeth T. Santosa (2015: xxiii) dalam bukunya yang berjudul
Raising Children in Digital Era menyebutkan bahwa: Generasi Net adalah
generasi yang lahir setelah tahun 1995, atau lebih tepatnya setelah tahun
2000.Generasi ini lahir saat internet mulai masuk dan berkembang pesat
dalam kehidupan manusia. Generasi ini tidak mengenal masa saat telepon
genggam belum diproduksi, saat mayoritas mainan sehari-hari masih
tradisional.
Hellen Chou P (2012: 35) memberikan pengertian terhadap istilah
generasi Z: Generasi Z atau yang kemudian banyak dikenal dengan generasi
digital merupakan generasi muda yang tumbuh dan berkembang dengan
sebuah ketergantungan yang besar pada teknologi digital.
Berdasarkan pendapat Hellen Chou P. tersebut maka umat manusia
tidak akan terkejut apabila pada usia muda, orang-orang yang notabene masih
berstatus sebagai siswa atau mahasiswa telah mahir dalam penguasaan
teknologi. Generasi Z memiliki karakteristik yang khas dimana internet mulai
berkembang dan tumbuh sejalan dengan perkembangan media digital.
Adanya Generasi Z tersebut lahir dari perpaduan dua generasi sebelumnya
yaitu Generasi X dan Generasi Y. Orang-orang pada masa Generasi ini adalah
mereka yang dilahirkan dan dibesarkan pada era digital, dimana
beranekamacam teknologi telah berkembang semakin banyak dan canggih.
Kedua generasi inilah yang nantinya akan mengemban tugas besar
sebagai para penerus bangsa, yang melanjutkan cita-cita para pahlawan untuk
membangun bangsa Indonesia. Namun, dimasa globalisasi saat ini sangat sulit
untuk menanamkan rasa nasionalisme yang kuat bagi generasi muda. Hal ini
terjadi karena mudahnya generasi muda dalam mengakses berbagai informasi
dari dalam maupun luar negeri. Banyak generasi muda yang menonton,
membaca dan menilai bahwa mereka lebih mengapresiasi budaya luar
disbanding budaya bangsanya sendiri, hal tersebut tentu saja memprihatinkan.

5
Generasi muda yang digadang-gadang menjadi putra mahkota penerus
tahta bangsa ini justru karena keingintahuannya dan teknologi yang mudah
diakses membuatnya penasaran untuk mempelajari budaya luar hingga lupa
akan jiwa naisonalisme yang sangat perlu dipelajari.
Tentu saja hal tersebut tidak dapat dibiarkan dan harus secepatnya
ditanggulangi. Maka, dalam makalah ini dibahaslah nasionalisme ditangan
generasi milenial dan Z supaya dapat menganalisis permasalahan penanaman
nasionalisme pada generasi muda dan menemukan pemecahan masalahnya.

B. RUMUSAN MASALAH
Untuk memudahkan pembahasannya maka akan dibahas sub masalah
sesuai dengan latar belakang diatas yakni sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan nasionalisme?
2. Apa yang dimaksud generasi milenial?
3. Apa yang dimaksud generasi Z?
4. Bagaimanakah nasionalisme di tangan generasi milenial dan
Z?
5. Bagaimanakah bentuk aksi nyata nasionalisme generasi
milenial dan Z?
6. Bagaimanakah permasalahan penanaman jiwa nasionalisme
generasi milenial dan Z?
7. Bagaimanakah solusi permaslahan penanaman jiwa
nasionalisme generasi milenial dan Z?
C. TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah tersebut dapat disimpulkan bahwa
tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui permasalahan
penanaman jiwa nasionalisme pada generasi milenial dan Z beserta solusinya.

6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Nasionalisme
1. Pengertian Nasionalisme

Banyak pakar yang berpendapat tentang nasionalisme. Druckman


(1994) mengemukakan bahwa nasionalisme berhubungan erat dengan
perasaan individu atau kelekatannya terhadap suatu kelompok, bagaimana
mereka mengembangkan kesetiaan terhadap kelompok.

Kosterman dan Feshbach (1989) (dalam Druckman, 1994)


beranggapan bahwa nasionalisme dikaitkan dengan perasaan memiliki
terhadap Indonesia, mengidentifikasi diri menjadi bagian dari Indonesia.
Dalam makna lebih sempit nasionalisme paham kebangsaan yang
berlebihan dengan memandang bangsa sendiri lebih tinggi (unggul) dari
bangsa lain.

Secara lebih luas, Druckman (1994) mengemukakan bahwa


nasionalisme mengarah pada kesetiaan tertinggi individu terhadap bangsa
dan tanah airnya dengan memandang bangsanya itu merupakan bagian dari
bangsa lain di dunia. Dalam istilah psikologi sosial, hal ini dinamakan
dengan group loyalty. Presiden Soekarno menggambarkan nasionalisme
harus didasarkan pada perspektif “kenasionalan” bukan di atas dasar
agama, suku, aliran, atau kelompok tertentu.

Miftahuddin (2009) memaparkan nasionalisme lebih mendalam


bahwa nasionalisme Indonesia melahirkan Pancasila sebagai ideologi
Negara yang diawali dengan perjuangan yang berat dan penuh
pengorbanan untuk mencapai kemerdekaan yang kini telah terwujud.

Prasodjo (2000) menilai pembelajaran atau pembangunan


nasionalisme di Indonesia mengalami pembajakan terutama pada masa
orde baru, karenanya solidaritas emosional berbangsa menjadi sulit
tumbuh dan kebanggaan terhadap identitas nasional pun menjadi sulit
terbentuk. Secara kritis, Hendardi (2000) mengungkapkan peran orde baru

7
untuk menyimpangkan arti nasionalisme demi memelihara kepentingannya
yaitu menguasai sumber-sumber ekonomi, politik dan birokratik. Praktek
tersebut dilakukan dengan menuding setiap upaya yang bertujuan
membela kepentingan rakyat sebagai hal yang menghambat jalannya
pembangunan. Tujuan para elit orde baru menyimpangkan arti
nasionalisme yang sebenarnya adalah karena dua hal, yaitu agar elit orde
baru kebal dari hukum (impunity) dan dapat menjalankan semua
kepentingannya walau harus menindas dan mengorbankan hak asasi
manusia bangsanya sendiri.

Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa


nasionalisme merupakan paham dimana suatu bangsa bersatu dalam suatu
tujuan bersama dengan visi misi yang sama untuk kemajuan negaranya.

2. Sejarah Nasionalisme di Indonesia


Dasar kebangsaan Indonesia yang telah disampaikan oleh
Soekarno dalam pidato lahirnya Pancasila juga membahas tentang nilai-
nilai nasionalisme.
Ketika membahas tentang sejarah nasionalisme kita dapat
melakukan penelusuran jauh ke belakang lagi dengan kajian yang
dilakukan oleh Dhont, (2005), tentang bagaimana benih-benih
nasionalisme di Indonesia mulai bergelora ketika era pergerakan nasional
(periode 1920-an) yang pada saat itu adalah sebagai wujud dari adanya
sebuah sistem politik yang diterapkan oleh pemerintah hindia belanda
yaitu sebuah sistem politik etis yang kemudian pada akhirnya menjadi
salah satu bukti bahwa nasionalisme telah ada di Indonesia.
Di sisi lain kita juga dapat melihat apa yang telah dipaparkan oleh
Niwandhono (2011) bahwa nasionalisme jauh telah ada sejak adanya
kebudayaan Indis. Namun, dari beberapa pemaparan tentang sejarah
nasionalisme yang telah dilakukan oleh para peneliti tersebut, ternyata
secara eksplisit ada sebuah kesepakatan bulat yang menyatakan
benihbenih nasionalisme ataupun faktor-faktor pembangun nasionalisme
adalah karena terjadi sebuah penjajahan sebelumnya pada suatu

8
komunitas bangsa. Perkembangan nasionalisme yang ada di Indonesia
kalau meminjam istilah yang telah disampaikan oleh Kahin (2013) yang
menyatakan pertumbuhan embrionya berjalan secara laten memang bisa
dirasionalkan.
Dari beberapa catatan sejarah yang ada dikatakan bahwa
nasionalisme sudah ada di Nusantara sejak kerajaan Majapahit berkuasa.
Semangat nasionalisme pada saat itu telah digelorakan oleh Maha Patih
Gajah mada dengan visi globalisasinya yaitu yang terkenal dengan istilah
“Sumpah Palapa” yang bertujuan untuk menyatukan wilayah Majapahit
dengan seluruh wilayah Nusantara. Melalui kajian yang telah dilakukan
oleh Niwandhono juga dapat merekam tentang jejak-jejak nasionalisme
yang ada di Nusantara, yaitu dimulai dari periode nasionalisme Indis
(Indisch Nationalisme).
Niwandhono (2011) memberikan sebuah definisi tentang
nasionalisme yaitu, Nasionalisme Indis adalah suatu kesadaran yang
dilatarbelakangi oleh persoalan yang muncul dalam wilayah orang-orang
Eropa atau Indis (sebutan untuk kelompok masyarakat Eropa di Indonesia
yang telah mengalami hibridasi baik secara biologis maupun sosio-
kultural).
Perlawanan Jurnal Civics Volume 13 Nomor 2, Desember 2016
yang dilakukan terhadap pemerintah Belanda ini didasari oleh persamaan
bahasa dan leluhur yang dialami oleh orang-orang Indis tersebut. Untuk
memahami seberapa besar pengaruh nasionalisme Indis yang berlangsung
di tahun 1800an terhadap nasionalisme Indonesia. Maka hal tersebut
perlu untuk dijelaskan secara gamblang, mengingat gerakan-gerakan ini
dilakukan oleh para keturunan Belanda dengan gundiknya. Namun yang
perlu diingat adalah unsur hibriditas mereka juga perlu dipertimbangkan,
walaupun mereka tersebut berdarah Eropa tapi secara status dan
sosiokultural mereka seperti orang pribumi, bahkan Niwandhono (2011)
menyebut Indis adalah embrio dari identitas kebangsaan yang kemudian
disebut Indonesia.

9
Dari nasionalisme Indis ini muncul tokoh-tokoh seperti Douwes
Dekker dan para pendiri Indische Partij (IP) serta melahirkan tokoh yang
disebut tiga serangkai pelopor nasionalisme (Eduard Douewes Dekker,
Tjipto Mangoenkusumo, dan Soewardi Soerjaningrat).
Gerakan ini merupakan gerakan yang bertujuan untuk menuntut
hak kewarganegaraan mereka di sisi lain gerakan ini juga menjadi sebuah
perintis gerakan oposisi terhadap pemerintah kolonial yang terorganisir.
Propaganda yang dilakukan ini pada akhirnya berdampak luar
biasa. Bagaimana tokoh-tokoh penggerak antara lain Douwes Dekker
alias Maltatuli dengan Max Havelarnya, sebuah tulisan yang mengkritik
ekploitasi pemerintah kolonial. Kemudian Soewardi Soerjaningrat dengan
tulisan berjudul Als ik eens Nederlander was (andai aku seorang Belanda)
yang mengkritik perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis.
Nasionalisme Indis yang seperti disampaikan di atas adalah sebuah
gerakan yang menjadi awal mula benih nasionalisme Indonesia memang
tepat. Namun, nasionalisme Indis bukanlah satu-satunya yang mejadi
tonggak awal lahirnya nasionalisme di Indonesia.
Modernisasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia
Belanda terhadap orang-orang jajahannya juga menjadi faktor pendorong
yang besar pula. Berdasarkan dengan adanya modernisasi tersebut maka
lahirlah politik etis yang membawa perubahan besar yang akhirnya
memberikan kesempatan kepada orang-orang pribumi untuk mengenyam
pendidikan baik didalam negeri maupun ke luar negeri.
Perhimpunan Indonesia (Indonesische Vereeniging) yang
merupakan wadah perhimpunan mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang
ada di Belanda berhasil menjadi sebuah kawah candradimuka yang pada
akhirnya membentuk nasionalisme bagi orang-orang Indonesia yang
dikemudian hari menjadi tokoh-tokoh pergerakan nasional, sebagai
contoh seperti Soewardi Soerjaningrat, Tjipto Mangoenkosumo,
Muhammad Hatta, Sutan Sahjrir, Sutomo, dan Sartono.
Melihat sebuah kajian yang dilakukan oleh Dont, seorang
berkebangsaan Belgia yang menempuh studi di Universitas Gadjah Mada,

10
menyatakan bahwa Perhimpunan Indonesia memiliki andil yang sangat
besar dalam pembentukan beberapa organisasi-organisasi di Indonesia,
seperti Algemeene Studie Club yang berada di Bandung dan Soekarno
ada di dalamnya, kemudian Indonesische Studieclub yang berada di
Surabaya.
Kemudian Perhimpunan Indonesia juga mempunyai sebuah peran
yang sangat besar terhadap terselenggaranya kongres pemuda ke II pada
tanggal 28Oktober 1928 yang kemudian lahir sebuah cerita Melihat
Sejarah Nasionalisme heroik tentang persatuan pemuda yang biasa
dikenal dengan sumpah pemuda.
Beberapa gambaran tentang sejarah nasionalisme yang telah
dipaparkan di atas diperkuat kembali dengan penelitian yang dilakukan
oleh Kahin, seorang yang berkebangsaan Amerika yang pernah juga
menjadi serdadu pada perang dunia II. Dia mengidentifikasi banyak hal
tentang perkembangan nasionalisme sejak Hindia Belanda.
Penelitian yang dilakukan sejak tahun 1948 ini semakin
menguatkan bahwa nasionalisme adalah antitesis dari sebuah penjajahan
(2013). Dari penelitian ini terungkap fakta bahwa bangsa Indonesia tidak
hanya dijajah oleh kongsi dagang VOC dan pemerintah kolonial saja,
namun secara bersamaan juga oleh Cina dan bangsa Indonesia lainnya
yang diwakili oleh kaum ningrat.
Dalam Fakta sejarah tersebut cukup jelas menyebutkan bahwa
VOC datang karena ketertarikan dengan rempah-rempah yang terdapat di
Maluku hingga terjadi berbagai monopoli di sektor ekonomi. Ketika
pemerintah Belanda turut campur tangan karena terjadi ketidakstabilan
ekonomi di internal VOC, eksploitasi sumber daya manusia maupun
alamnya semakin menjadijadi. Dengan siasat menguasai para kaum
ningrat inilah Belanda dapat mengusai para petani beserta tanahnya tanpa
menghadapi gejolaknya.
Di sisi lain Belanda membawa orang-orang Cina sebagai mitra
dagangnya. Kondisi menggambarkan bahwa rakyat Indonesia yang
disebut sebagai pribumi, meminjam istilah dari Kahin, benar-benar

11
mengalami isolasi ekonomi, sosial, dan psikologis. Wajar penggambaran
tersebut diutarakan, melihat sistem tanam paksa, pajak tanah, kewajiban
menyerahkan hasil panen, terisolasi dari pasar dan perlakuan
semenamena oleh penjajah begitu menjatuhkan nasib orang-orang
pribumi kedalam dasar kesengsaraan. Praktik-praktik feodalistik
semacam itu terus-menerus dilakukan sebagai upaya pemerasan sebesar-
besarnya untuk menunjang perekonomian Belanda yang di Eropa sedang
menghadapi era industrialisasi dan sangat membutuhkan daya kapital
yang luar biasa.
Di wilayah Hindia-Belanda sendiri praktik “penjilatan” yang
dilakukan oleh kaum ningrat yang menjadi antek-antek Belanda memang
dibuat sedemikian rupa, karena selain sebagai agen agitasi Belanda
kepada orang-orang pribumi, mereka juga dijanjikan akan kedudukan dan
kekuasaan. Isolasi ekonomi, sosial, dan psikologis sekali lagi jelas
terpampang dari uraian tersebut. Tidak harus kita melihat cara-cara
represif pemerintah kolonial Belanda sebagai bentuk kekejian yang
mutlak.
Benih nasionalisme inilah yang tersemai karena
pembatasanpembatasan politis yang dilakukan oleh pemerintah kolonial.
Memang serakah, namun di sinilah titik balik yang kemudian akan
membangun kesadaran nasional dan membentuk jiwa-jiwa patriotik yang
dimulai dari patriotik lokal hingga menjadi sebuah patriotik kesatuan.
Dibukanya interaksi antara orang-orang pribumi dengan pemerintah
kolonial Belanda membuat orang-orang pribumi ini, khususnya petani,
melek mata melihat sebuah ketimpangan dan kesenjangan ekonomi,
sosial maupun kultural dengan para kaum penjajah. Kesadaran ini
mengakibatkan orientasi individualistik yang mulai terjadi penerimaan-
penerimaan gagasan nasionalisme dikalangan petani.
Hal tersebut sangat besar dipengaruhi oleh pergantian sistem
eksploitasi ekonomi secara tidak langsung seperti sistem tanam paksa
menjadi sistem usaha bebas yang dikelola secara langsung, banyak sektor
dalam kehidupan agraris mulai berhubungan dengan orang Jurnal Civics

12
Volume 13 Nomor 2, Desember 2016 214 Belanda maupun kekuatan
ekonomi Belanda (Kahin, 2013, pp. 56–57).
Kesadaran akan kekuasaan politik dan ekonomi Belanda
membangun jiwa nasionalisme. Kesepakatan di awal bahwa nasionalisme
dibentuk atas kesamaan nasib, karakter, kultural maupun sejarah. Dalam
kesepakatan ini melalui penelusuran dari penelitian Kahin yang
mengambil objek kajian nasionalisme Indonesia telah dibuktikan. Kahin
(2013, p. 55) menyatakan awal mula nasionalisme Indonesia tidak dapat
diperkirakan. Awal nasionalisme Indonesia merupakan fase yang baru
mulai disuarakan dan diorganisir pada dasawarsa kedua abad ke-20.
Terdapat lima unsur yang membuat pertumbuhan nasionalisme
Indonesia diantaranya adalah
a. Tingginya homogenitas keagamaan di Indonesia. Dengan
komposisi hampir 90 persen penduduk Indonesia beragama
Islam, akan mudah membangun solidaritas. Selain untuk
menangkal kristenisasi, Islam yang berdiri tipis diatas
kebudayaan Hindu-Budha dan mistisme Jawa, semakin
mempermudah penerimaannya di tataran rakyat, khususnya
rakyat Jawa;
b. Sikap superioritas orangorang Belanda yang tidak mau
disamakan dengan orang pribumi dalam berbahasa menjadi
faktor integrasi penting lainnya. Perkembangan bahasa
persatuan (lingua franca) yang digunakan adalah bahasa
Melayu mampu menghancurkan solidaritassolidaritas
sempit dalam nasionalisme Indonesia;
c. Dibentuknya majelis perwakilan tertinggi bagi orang
Indonesia yang disebut Volksraad, mampu mengorganisir
gerakan-gerakan kebangkitan nasional meskipun banyak
yang berpendapat posisi Volksraad tidak begitu
berpengaruh di mata pemerintah kolonial Belanda;
d. Perkembangan radio dan surat kabar menjadi saluran untuk
penyebaran gagasan nasionalisme. Beberapa study club

13
yang berdiri, misal: Perhimpunan Indonesia membuat surat
kabar yang diberi nama Oetosan Hindia untuk
menyebarkan nasionalisme dan sebagai alat propaganda
politik;
e. Adanya rangsangan oleh mobilitas geografis gagasan
maupun penduduk. Dengan pertumbuhan penduduk yang
meningkat sebagai akibat dari pola organisasi ekonomi
maupun fasilitas transportasi abad ke-20 di Indonesia,
mobilitas ini begitu berpengaruh sebagai faktor penyebab
integrasi. Penyemaian benih-benih nasionalisme telah
dilakukan begitu hebat dan lama serta telah mengalami
berbagai kondisi yang memungkinkan nasionalisme itu
lenyap oleh kekuasaan kolonial, namun sejarah menjadi
saksi akan keteguhan bangsa Indonesia akan persamaan
nasib telah mampu menahan gempuran penjajah. Dimulai
dari berkembangnya nasionalisme Indis yang juga
menyokong tumbuhnya nasionalisme Indonesia dan
kemudian dengan dikeluarkannya politik etis, nasionalisme
yang digagas oleh intelektual muda yang kemudian menjadi
tokoh pergerakan menjadi sebuah dinamika sejarah
nasionalisme Indonesia.

Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah salah satu bukti sejarah


perkembangan nasionalisme yang telah berada pada level yang lebih
tinggi, lahirnya Pancasila turut menjadi saluran perkembangan dan
transformasi nasionalisme untuk bangsa Indonesia. Ide persatuan yang
disampaikan Soekarno dalam pidato lahirnya Pancasila, semakin
mempertegas bahwa nasionalisme adalah sebuah keniscayaan bagi bangsa
Indonesia dengan melihat bangsa ini merupakan serangkaian heterogenitas
yang berdiri atas persamaan, kesadaran dan kehendak untuk bersatu.

Lahirnya nasionalisme di Indonesia selain disebabkan penderitaan


panjang di bidang ekonomi, sosial, pendidikan, hukum dan politik, juga

14
dipengaruhi oleh meningkatnya semangat bangsa-bangsa terjajah lainnya
dalam meraih kemerdekaan, antara lain dari Filipina dan India. Sejarah
terbentuknya nasionalisme di Indonesia disebabkan adanya perasaan
senasib sepenanggungan yang merupakan suatu reaksi subyektif, dan
kemudian kondisi obyektif secara geografis menemukan koneksitasnya
(Rachmat, 1996).

Ditambahkannya, ada perbedaan kausal antara nasionalisme di


Indonesia dengan nasionalisme di Eropa, yaitu bila nasionalisme di
Indonesia muncul sebagai reaksi terhadap penjajahan kolonial, tetapi di
Eropa, nasionalisme lahir akibat adanya pergeseran dari masyarakat
agraris menuju masyarakat industri sebagai dampak dari revolusi industri.

Abdulgani (1964) mengemukakan tiga macam teori terbentuknya


sebuah bangsa, yakni:

1) Cultur-natie-theorie (teori kebudayaan) yang menyebutkan


bahwa bangsa adalah kelompok manusia yang memiliki
persamaan kebudayaan;
2) Staats-theorie (teori negara) yang menyebutkan bahwa
suatu bangsa timbul karena adanya negara, sehingga negara
harus ada terlebih dahulu untuk membentuk sebuah bangsa;
dan
3) Geveols-natie-theorie (teori kemauan, keinginan) yang
menjelaskan bahwa syarat mutlak timbulnya suatu bangsa
adalah adanya keinginan untuk hidup bersama dalam ikatan
suatu bangsa, dan tidak memerlukan adanya persamaan
kebudayaan, ras atau agama.

Dari ketiga teori tersebut, nasionalisme Indonesia cenderung


mengikuti teori yang ke tiga, yaitu geveols-natie-theorie karena bangsa
Indonesia memiliki beragam ras, agama dan kebudayaan yang khas satu
sama lain. Berdasarkan sejarah kelahirannya, nasionalisme atau
kebangsaan pada masa lampau merupakan suatu jalan tengah di antara dua

15
kubu ekstrimitas yaitu kegelapan imperialisme atau kolonialisme dengan
kebodohan etnosentrisme (Rachmat, 1996).

Seiring dengan perkembangan dan perubahan kehidupan dunia,


nasionalisme masih relevan dan kembali sebagai jalan tengah antara
genderang globalisasi dan kebangkitan etnosentrisme di tengah masyarakat
dunia. Pergeseran tata sendi kehidupan, menyebabkan banyak hal dalam
nasionalisme yang lampau, menjadi usang dan kurang bermakna pada
masa sekarang ini. Sebagai contoh, slogan “hidup atau mati”, “right or
wrong is my country” bukan saja terdengar asing tetapi juga dirasa naif,
karena saat ini kesadaran terhadap persamaan hukum dan penghormatan
hak asasi manusia menjadi hal yang esensial, melebihi rasa kebangsaan
yang tidak pada tempatnya.

Pembinaan dan penyadaran terhadap makna kebangsaan tidak lagi


hanya mengandalkan trend sloganistik yang pada batas tertentu hanya akan
menumbuhkan romantisme yang tenggelam pada masa lampau dan
mengaburkan makna (substansi) dari nasionalisme yang hakiki. Walaupun
demikian, slogan dan simbol tetap diperlukan dalam menumbuhkan
identitas nasional, sepanjang slogan dan simbol tersebut bersifat relatif
jujur dan proporsional (Rachmat, 1996).

Nasionalisme sebagai suatu ideologi, memerlukan aktualisasi


sesuai perubahan zaman dan tantangan yang dihadapi. Musuh
nasionalisme tidak lagi terbatas pada eparatisme, kolonialisme, eparatisme
atau ideologi-ideologi lain, namun meluas kepada hal-hal di luar itu,
seperti kemiskinan, keterbelakangan, penindasan hak asasi dan sebagainya
(Rachmat, 1996).

Hal ini mengacu pada esensi dasar dari nasionalisme yang


mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan
golongan, yang menyiratkan suatu keadilan yang menyeluruh, yang harus
mampu dirasakan semua anggota bangsa. Kemiskinan, keterbelakangan
dan penindasan menandakan adanya ketimpangan dan ketidakmerataan

16
dalam suatu masyarakat bangsa, yang berarti bertentangan dengan esensi
dasar nasionalisme.

3. Fungsi Nasionalisme

Menurut Crano (dalam De Dreu & De Vries, 2001), nasionalisme


berfungsi untuk memberikan identitas sosial pada diri seseorang, yaitu
apakah ia termasuk bagian suatu kelompok. Keanggotaan tersebut akan
melahirkan suatu konskuensi yang harus ditanggung oleh para anggota
kelompok tersebut. Salah satu konskuensinya yakni para anggota
kelompok berupaya secara aktif mempertahankan keutuhan kelompok dari
ancaman yang datang dari luar.

Crano menambahkan, nasionalisme sebagai suatu identitas sosial


tidak berarti sebagai suatu upaya penyeragaman para anggotanya. Setiap
anggota dibebaskan memilih posisi dan porsinya sendiri, sepanjang hal
tersebut tidak bertentangan dan tidak membahayakan keutuhan kelompok.
Identitas sosial merupakan suatu pengetahuan individu yang dimilikinya
terhadap kelompok-kelompok sosial tertentu bersama dengan keseluruhan
perasaan dan nilai-nilai yang signifikan dengan keanggotaannya pada
kelompok-kelompok sosial tersebut.

Kelompok sosial terdiri atas dua atau lebih individu yang saling
berbagi identifikasi sosial umum dari diri masing-masing, atau yang
memiliki kemiripan tertentu dan merasa sebagai bagian dari kategori sosial
yang sama. Individu akan senantiasa memelihara citra diri yang positif
dengan mengikatkan diri ke dalam kelompoknya, agar dirinya dapat di
pandang secara positif dalam kelompok tersebut (Feather, 1994).

Maka setiap warga negara Indonesia, harus senantiasa menjaga


keutuhan negara Indonesia dan berupaya memelihara citra diri yang
dimilikinya dengan bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai
yang menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia.

17
Menurut Kartodirjo (1993) identitas sosial baru sebagai bangsa
Indonesia merupakan kesadaran kolektif yang dimaksudkan untuk
menggantikan “identitas negatif” yang diberikan kolonialis. Sebutan
inlander pada masa kolonial mendorong Nasionalisme kesadaran sejumlah
orang yang terpelajar untuk berontak terhadap keadaan dan membentuk
identitas sosial yang baru.

Tujuannya untuk menentukan kedudukan kelompok dalam sistem


masyarakat, serta menyadari batas-batas kedudukan golongan lain
terhadap kelompok tersebut. Rumusan nasionalisme Indonesia khas dan
berbeda dengan nasionalisme bangsa lain, karena tujuan nasionalisme
secara umum adalah memberikan label identitas terhadap suatu bangsa.
Meskipun dimungkinkan ada kesamaan antara konsep suatu bangsa
dengan bangsa lain, namun karena dasar setiap negara berbeda maka tiap
negara akan memiliki konsep berbangsa yang unik atau khas (Martaniah,
1990).

Pancasila sebagai weltanschauung (pandangan hidup) bangsa


Indonesia maka wawasan kebangsaan Indonesia harus sejalan dengan
kelima nilai yang terkandung dalam Pancasila. Landasan UUD 1945 juga
memberikan batasan bahwa nasionalisme Indonesia bertentangan dengan
segala bentuk penindasan oleh seorang manusia terhadap manusia lain,
oleh suatu negara terhadap negara lain dan oleh suatu bangsa terhadap
bangsa lain (Rachmat, 1996).

Amal dan Armawi (1995) menyebutkan bahwa kualitas berbangsa


di Indonesia dapat dilihat berdasarkan tiga pandangan, yaitu:

1) Pandangan ketahanan nasional yang sejalan dengan


rumusan GBHN,
2) Pandangan karakteristik nasional yang menekankan
kepribadian unik dari bangsa Indonesia, dan
3) Pandangan integrasi nasional yang menyiratkan upaya
persatuan dari kemajemukan yang menjadi bagian bangsa

18
dan negara Indonesia. Karakteristik dari nasionalisme yang
dimiliki seseorang digambarkan oleh beberapa ahli dengan
menunjukkan sikap-sikap tertentu yang bermanfaat bagi
diri dan lingkungannya.

Kodiran (dalam Martaniah, 1990) menyebutkan bahwa hasrat-


hasrat untuk berprestasi, berencana, bertanggung jawab, keterbukaan,
kemandirian, kehormatan, rasionalitas dan keadilan merupakan sendi-
sendi utama dalam kualitas berbangsa dan bernegara seorang warga
negara.

Schoorl (dalam Martaniah, 1982) mengkaitkan sikap nasionalisme


dalam negara modern dengan keterlibatan warga negara terhadap kegiatan
politik, serta berpartisipasi dalam pembangunan. Perkembangan sebuah
negara harus mampu mendorong setiap warganya menjadi seorang
manusia modern yang diperlukan dalam pembangunan.

Menurut Inkeles (dalam Martaniah, 1990), ada tujuh karakter yang


harus dimiliki seorang manusia modern, yaitu:

1) Terbuka terhadap pengalaman baru dan perubahan,


2) Mampu berpendapat dan menanggapi berbagai persoalan
secara demokratis, serta tidak menutup diri terhadap
pendapat yang berbeda,
3) Mempunyai perencanaan dan berorientasi ke masa depan
4) Percaya kepada kemampuan diri dan tidak pasrah terhadap
nasib,
5) Memiliki harga diri dan mampu menghargai orang lain,
6) Mampu menggunakan teknologi dan pengetahuan untuk
kemajuan dan peningkatan taraf hidup manusia, dan
7) Menjunjung keadilan sosial di dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.

Martaniah (1990) juga merinci beberapa ciri lain dari sikap


nasionalisme manusia modern, yaitu:

19
1) Menjunjung persatuan dan kesatuan bangsa, serta menghindari
fanatisme berlebihan terhadap suku, agama, budaya dan ras,
2) Menghormati dan bekerjasama dengan bangsa-bangsa lain
yang sejalan dengan cita-cita dan tujuan nasional, dan
3) Menjunjung dan mengupayakan suatu penegakan hukum yang
adil bagi seluruh warga negara.

Berdasarkan teori Inkeles dan beberapa ahli kebangsaan lainnya


yang terangkum dalam tulisan Martaniah (1990) penulis merumuskan
enam karakter yang mewakili sikap nasionalisme, yakni:

1) Cinta terhadap tanah air dan bangsa dengan lebih


mengutamakan kepentingan bangsa,
2) Berpartisipasi dalam pembangunan,
3) Menegakkan hukum dan menjunjung keadilan sosial,
4) Memanfaatkan iptek, menghindari sikap apatis, terbuka
pada permbaharuan dan perubahan, serta berorientasi pada
masa depan,
5) Berprestasi, mandiri dan bertanggung jawab dengan
menghargai diri sendiri dan orang lain, dan
6) Siap berkompetisi dengan bangsa lain dan terlibat dalam
kerjasama internasional.

Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan puncak


perjuangan, sekaligus pertanda bahwa Indonesia menyatakan sebagai
negara yang berdaulat, merdeka, dan mandiri. Untuk memperkuat itu
semua, disahkanlah Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus
1945 yang menjadi simbol kekuasaan besar revolusioner yang
mengandung persamaan dan persaudaraan, suatu tanda hari cerah setelah
digulingkannya kekuasaan asing yang menjajah lebih dari tiga abad.

Demikian pula, dengan disahkannya UUD 1945, semangat dan


jiwa Proklamasi, yaitu Pancasila, memperoleh bentuk dan dasar hukumnya
yang resmi sebagai dasar falsafah Negara Republik Indonesia, yaitu

20
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jika mengacu pemahaman nasionalisme di Indonesia, tentunya


tidak dapat dipisahkan dari prinsip-prinsip kehidupan yang diurai melalui
nilai-nilai Pancasila. Salah satu nilai dari Pancasila adalah fleksibel, yang
dapat mengikuti arus perkembangan zaman. Artinya, bagaimanapun
perubahan besar pada globalisasi ini, Pancasila masih dapat diterapkan.
Namun, kekhawatiran akan memudarnya rasa nasionalisme pada generasi
sekarang semakin besar, karena semakin jauhnya Pancasila dari kehidupan
generasi tersebut, salah satunya adalah pudarnya rasa persatuan karena
penyebaran informasi yang salah dan tidak berimbang yang berujung pada
fitnah dan perpecahan.

Maraknya berita hoax dan perang opini menjadi konsumsi sehari-


hari yang dapat kita lihat melalui media sosial. Tidak mengherankan
bullying berujung pada pemaksaan opini kita pada orang lain. Penyebaran
informasi yang tidak sesuai dan tidak berimbang juga beredar dengan luas
dan seolah-olah generasi milenial tidak peduli apakah hal tersebut akan
berdampak bagi orang lain atau tidak, selama mereka menggapnya sebagai
sebuah tend untuk mendapatkan titel “kekinian”.

B. Hakikat Generasi Milenial

Istilah milenial pertama kali dicetuskan oleh William Strauss dan Neil
dalam bukunya yang berjudul Millennials Rising: The Next Great Generation
(2000). Mereka menciptakan istilah ini tahun 1987, yaitu pada saat anak-anak
yang lahir pada tahun 1982 masuk pra-sekolah. Saat itu media mulai
menyebut sebagai kelompok yang terhubung ke milenium baru di saat lulus
SMA di tahun 2000. Pendapat lain menurut Elwood Carlson dalam bukunya
yang berjudul The Lucky Few: Between the Greatest Generation and the Baby
Boom (2008), generasi milenial adalah mereka yang lahir dalam rentang tahun
1983 sampai dengan 2001. Jika didasarkan pada Generation Theory yang
dicetuskan oleh Karl Mannheim pada tahun 1923, generasi milenial adalah

21
generasi yang lahir pada rasio tahun 1980 sampai dengan 2000. Generasi
milenial juga disebut sebagai generasi Y. Istilah ini mulai dikenal dan dipakai
pada editorial koran besar Amerika Serikat pada Agustus 1993.

Arnett (2010), Greenberg dan Weber (2008), Rampell (2011), Howe


dan Strauss (2000), serta Winograd dan Hais (2011) mengemukakan bahwa
pada sisi yang lain, ada juga generasi milenial yang peduli terhadap isu-isu
sosial, berani mengeluarkan pendapat dan melakukan gerakan kreatif lainnya,
tidak dapat diabaikan. Generasi mileneal juga dikenal dengan orientasi mereka
terhadap komunitas, peduli, berorientasi, aktivis yang terjun langsung, dan
tertarik pada isu lingkungan dibandingkan generasi sebelumnya.

Generasi milenial memiliki kecepatan bertindak terhadap isu-isu


tertentu menjadi efektif di zaman informasi yang dapat disebarluaskan, salah
satunya dalam menggalang bantuan kemanusiaan. Lalu, apakah hal ini
merupakan bentuk nasionalisme generasi tersebut? Oleh karena itu, akan
dibahas lebih lanjut terkait pemahaman nasionalisme melalui sudut pandang
psikologis terhadap berkembangnya generasi milenial.

C. Hakikat Generasi Z
1. Definisi Generasi Z
Generasi Z (disebut juga I Generation, Generasi Net, atau Generasi
Internet) terlahir dari generasi X dan Generasi Y. Mereka lahir dan
dibesarkan di era digital, dengan aneka teknologi yang komplet dan
canggih, seperti: komputer/laptop, HandPhone, iPads, PDA, MP3 player,
BBM, internet, dan aneka perangkat elektronik lainnya.
Sejak kecil, mereka sudah mengenal (atau mungkin diperkenalkan)
dan akrab dengan berbagai gadget yang canggih itu, yang secara langsung
atau pun tidak langsung akan berpengaruh terhadap perkembangan
perilaku dan kepribadiannya. Tuhana Taufiq Andrianto dalam Jusuf AN
(2011) memperkirakan akan terjadi booming Generasi Z sekitar tahun
2020.
2. Karakteristik Generasi Z
Generasi Z memiliki karakteristik perilaku dan kepribadian yang
berbeda dengan generasi sebelumnya. Beberapa karakteristik umum dari
Generasi Z diantaranya adalah:
a. Fasih Teknologi.
Mereka adalah “generasi digital” yang mahir dan gandrung
akan teknologi informasi dan berbagai aplikasi komputer. Mereka
dapat mengakses berbagai informasi yang mereka butuhkan secara

22
mudah dan cepat, baik untuk kepentingan pendidikan maupun
kepentingan hidup kesehariannya.
b. Sosial.
Mereka sangat intens berkomunikasi dan berinteraksi
dengan semua kalangan, khususnya dengan teman sebaya melalui
berbagai situs jejaring, seperti: FaceBook, twitter, atau melalui
SMS. Melalui media ini, mereka bisa mengekspresikan apa yang
dirasakan dan dipikirkannya secara spontan. Mereka juga
cenderung toleran dengan perbedaan kultur dan sangat peduli
dengan lingkungan.
c. Multitasking.
Mereka terbiasa dengan berbagai aktivitas dalam satu
waktu yang bersamaan. Mereka bisa membaca, berbicara,
menonton, atau mendengarkan musik dalam waktu yang
bersamaan. Mereka menginginkan segala sesuatunya dapat
dilakukan dan berjalan serba cepat. Mereka tidak menginginkan
hal-hal yang bertele-tele dan berbelit-belit.
Karakteristik tersebut memiliki dua sisi yang berlawanan, bisa
positif- memberikan manfaat bagi dirinya dan atau lingkungannya- atau
justru malah negatif yang dapat merugikan diri sendiri maupun
lingkungannya.
Wawan (2011) dalam tulisannya yang dipublikasikan di Wikimu,
mengatakan bahwa karena mereka fasih dengan teknologi digital, mereka
sangat cocok bekerja di perusahaan besar, perusahaan yang mampu
menyediakan fasilitas modern. Namun mereka akan kesulitan jika diminta
mengelola sebidang tanah, dengan fasilitas pengairan, dan modal uang
secukupnya. Karena yang ada di benak mereka adalah komputer, laptop
dan HP, bukan peternakan, perikanan dan pertanian.
Merurut Tuhana Taufiq Andrianto, sebagaimana disampaikan oleh
Jusuf AN dalam tulisannya yang berjudul “Masa Depan Anak-Anak
“Generasi Z” bahwa anak cenderung berkurang dalam komunikasi secara
verbal, cenderung bersikap egosentris dan individualis, cenderung
menginginkan hasil yang serba cepat, serba-instan, dan serba-mudah, tidak
sabaran, dan tidak menghargai proses.
Kecerdasan Intelektual (IQ) mereka mungkin akan berkembang
baik, tetapi kecerdasan emosional mereka jadi tumpul. Sementara itu,
Choiron (2011) menyoroti tentang bahaya dari kecenderungan generasi Z
yang gemar mendengarkan musik melalui earphone, yang dapat
menyebabkan kecelakaan lalu lintas dan gangguan pada pendengaran.
D. Nasionalisme Ditangan Generasi Milenial dan Z
E. Bentuk Aksi Nyata Nasionalisme Generasi Milenial dan Z
F. Permasalahan Penanaman Jiwa Nasionalisme Generasi Milenial dan Z

23
G. Solusi Permaslahan Penanaman Jiwa Nasionalisme Generasi Milenial
dan Z

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
B. SARAN

24
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Neils Mulder, Pribadi dan Masyarakat di Jawa, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta ,
1996
Neils Mulder, Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya Jawa, Muangthai
dan Filipina, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999
Murniatmo, G., Sumintarsih, Sukari, Ariani, C., & Nurwanti, Y. H. 2000.
Aktualisasi Nilai Budaya Bangsa Di Kalangan Generasi Muda DI Yogyakarta.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah Dan Nilai
Tradisional. Jakarta: Depdikbud.
Aprinus Salam dkk.2016. Membongkar Yogya.Yogyakarta: Pusat Studi
Kebudayaan UGM
Hikmat Budiman.2002. Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta. Kanisius
JURNAL
Inajati Adrisijanti. Kota Yogyakarta Sebagai Kawasan Pusaka
Budaya Potensi dan permasalahannya. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya UGM
Daniel Justin Heppell.2004.Penyebab dan Akibat Perubahan
Kebudayaan Jawa di Yogyakarta. Malang: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Muhammadiyah Malang
Diatyka Widya.2010. Tradisi, Ekonomi-Politik, dan Toleransi Yogyakarta.Depok:
Pusat Kajian Sosiologi, LabSosio FISIP-UI.
WEBSITE
http://navigasi-budaya.jogjaprov.go.id/yogyakarta. (diakses pada tanggal 2 Januari
2019, di Sleman Yogyakarta)
http://e-journal.uajy.ac.id/1239/2/1TA10826.pdf. (diakses pada tanggal 3 Januari
2019, di Universitas Negeri Yogyakarta)

25

Anda mungkin juga menyukai