Anda di halaman 1dari 5

Nama : Siti Nur Halimah (2107190032)

Kelas : 1B

Prodi : Pendidikan Akuntansi

UPACARA ADAT NYEPUH

DEKSRIPSI

Asal kata NYEPUH ini berasal dari kata panyipuhan, karena di desa Ciomas terdapat
tempat panyipuhan, oleh masyarakat air yang berada di geger emas dianggap suci dan
digunakan untuk membersihkan diri. Oleh sebab itu, menurut Syriat air tersebut digunakan
untuk membersihkan diri sedangkan batin dibersihkan dengan do’a-do’a. Nyepuh berasal dari
kata sepuh yang artinya mempertua, pendalaman dan penyempurnaan. Orang yang sudah
lanjut usia yang sangat dihormati oleh masyarakat karena sudah banyak pengalaman sehingga
dijadikan sebagai pemimpin. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu: “sepuh ialah
campuran sendawa, tawas dan sebagainya yang dipakai untuk menuakan warna emas
(menuakan warna emas tua); sandur (emas, perak); cara mengeraskan sabit, pisau, dan golok
dengan cara dibakar kemudian dicelupkan ke dalam air; sesuatu yang dipakai untuk
mewarnai kue”. Dengan demikian, nyepuh diartikan sebagai nyipuh yang artinya
membersihkan diri, untuk menjelang bulan suci ramdhan air yang digunakan membersihkan
diri berasal dari air keramat yang berada di hutan geger emas yang dianggap keramat oleh
masyarakat sekitar. Keramat berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata “karomah” yang artinya
penghormatan/pemuliaan. Menurut KBBI, keramat adalah suci dan dapat mengadakan
sesuatu di luar kemampuan manusia biasa karena ketaqwaan kepada Tuhan. Keramat juga
diartikan suci dan bertuah yang dapat memberikan efek magis dan psikologis kepada pihak
lain (barang atau tempat suci).
Tradisi nyepuh adalah sebuah upacara membersihkan pusaka-pusaka dari
Kerajaan Panjalu. Air pembasuh pusaka diambil dari tujuh sumber di Gunung Sawal
dan kegiatan ini dapat melestarikan budaya yang diangkat dalam lingkup berbangsa dan
bernegara. Tradisi Nyepuh adalah tradisi adat dalam rangka menyambut bulan syaban atau
jelang bulan suci ramadhan yang sudah berlangsung secara turun-temurun. Kegiatan ritual
dalam tradisi ini diawali dengan menyalakan obor kahirupan. Kemudian menggelar riyadoh
di makam Kyai Panggil Gusti dan dilanjutkan di pemakaman umum. Dalam kegiatan inipun
ada ritual penanaman pohon. Untuk meramaikan kegiatan ini, diisi pula oleh acara pentas
budaya. Upacara adat Nyepuh ini sudah masuk kalender wisata budaya Kabupaten Ciamis.
Yang sesungguhnya merupakan puncak dari rangkaian kegiatan ngamumule (melestarikan)
adat karuhun (leluhur). Dan upacara Nyepuh sendiri merupakan manifestasi kearifan lokal
yang tidak saja harus dilestarikan, tapi juga diangkat dalam lingkup berbangsa dan bernegara.
Sebab di dalamnya terdapat banyak nilai dan layak dipahami sebagai keteladanan.

Ciomas adalah nama desa di kaki Gunung Syawal Kecamatan Panjalu Kabupaten
Ciamis yang tergambar kehidupan khas masyarakat tatar galuh dan seperti desa agraris
lainnya, Penduduk desa ciomas juga menggantungkan hidup kepada alam. Kearifan warga
Ciomas terhadap alam tak lepas dari keberadaan hutan yang berada persis di tengah-tengah
desa seluas 35 hektare disebut hutan Sukarame dan dianggap keramat oleh warga.
Kepercayaan warga terhadap hutan keramat terkait dengan keberadaan makam Kiai Haji
Eyang Penghulu Gusti, yang terletak di tengah hutan Sukarame. Di sekitar makam ini pulalah
upacara Nyepuh setiap tahun digelar. Menurut sesepuh Karahayuan Pangawitan Ciomas, Ki
H Dede Sadeli Suryabinangun, Eyang Penghulu Gusti merupakan penyebar agama Islam di
Ciomas. Penghulu Gusti pulalah yang meminta warga setempat untuk selalu memperhatikan
hutan dan melestarikannya. Kepatuhan terhadap aturan yang tidak tertulis ini lah yang
membuat hutan sukarame ini tetap lestari, bahkan pemerintah sendiri pernah menganungerahi
penghargan Kalpataru bagi masyarakat Ciomas karena kepeduliannya dalam melestarikan
budaya dan alam. Masyarakat di sana dilarang menebang pohon, apalagi merusaknya. Siapa
yang melanggar pantangan itu, dipercaya bakal mendapatkan musibah dalam hidupnya.
Karena pantangan itulah tak ada seorang pun warga di sana yang berani berbuat macam-
macam di hutan ini. Dalam upaya membersihkan diri sebelum memasuki Bulan Suci
Ramadhan, Warga Desa Ciomas, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis, menggelar tradisi
Nyepuh. Bagi warga, Upacara Nyepuh sendiri yakni ritual sakral yang harus dijalankan
dengan sebaik-baiknya. Tak hanya saat upacara berlangsung, segala persiapan sebelum
upacara pun wajib dijalankan dengan benar.

Walaupun rangkaiannya panjang, acara dengan Khidmad. Pada lehernya terkalung


sebuah kain putih. Menggunakan payung, rombongan Nyepuh Ciomasan mengantarnya ke
menuju rumah Juru Kuncen Makam Kiyai Penghulu Gusti. Dari situ, rombongan menuju
Mata Air Ci Geugeur Emas. Berikutnya, dilanjutkan prosesi Ritual Siraman Air Suci. Setelah
itu, baru berjalan menuju Puncak Ritual Makam Keramat Kyai Penghulu Gusti. Ritual Tradisi
Nyepuh berikutnya berlanjut ke Panglawungan Bojakrama. Di situ, rombongan menanam
pohon mahoni. Oleh Tetua Adat, pohon tersebut diberi nama Mahono Brahmananda. Usai
ritual inti di Makam Keramat Kyai Penghulu Gusti, kegiatan dilanjutkan menuju
Panglawungan. Di tempat itu para peserta menggelar upacara doa dan keselamatan. Wisata
Religi berupa Tradisi Nyepuh Ciomas ini unik dan menarik. Ada nilai historis yang selalu
dirawat dengan baik. Di situ juga ada aktivitas pelestarian lingkungan dengan merawat 7
mata air.

Tradisi Nyepuh sendiri merupakan upacara puncak dari rangkaian tradisi


lain yang berlangsung sehari sebelumnya. Antara lain, dalam Upacara Nyepuh, Mulung
Pangpung pengambilan kayu bakar harus dari hutan. Itupun tidak boleh sembarangan.
Pangpung (kayu lempung) yang diambil harus kayu yang sudah jatuh dari pohonnya. “Jadi
tidak boleh kayu yang masih nempel, apalagi yang masih tumbuh. Di situlah nilai
pelestarian lingkungan yang diajarkan leluhur tetap dijalankan”. Kegiatan dalam rangka
memasak tiga nasi tumpeng untuk melengkapi upacara Nyepuh keesokan harinya. Ritual
memasak nasi tumpeng ini dilakukan menggunakan kebersamaan atau gotong royong.
Kendati begitu, sebelum dimasak, bahan-bahan yang akan digunakan harus diperiksa terlebih
dahulu. Para Tetua kampung bertugas memeriksa seluruh bahan yang akan dimasak, apabila
ada bahan yang diyakini tidak halal atau telah kadaluwarsa, maka barang tersebut harus
disingkirkan. Dapur yang akan digunakan untuk memasak makanan pun tak lepas dari
pengawasan para Tetua. Maklum, sejumlah persyaratan harus dipatuhi. Terutama penggunaan
kayu bakar dan air. Tidak kalah penting yang perlu diperhatikan, air untuk memasak haruslah
diambil dari mata air di gunung. Saatnya ritual nalekan dilakukan.

Selain itu, proses Ritual Mulung Pangpung harus didampingi kuncen hutan Sukarame,
yakni Ibu Siti Mariyam. Nah, juru kuncilah yang kemudian membuka hutan agar terbuka bagi
para pencari kayu yang dilakoni para pemuda desa. Pengambilan kayu ini pun harus setelah
mendapatkan izin lebih dahulu dari penguasa hutan. Maka Diiringi lantunan ayat suci
Alquran dan sholawat nabi, mereka berdoa di sekitar makam. Tujuannya agar kayu-kayu
yang nantinya digunakan untuk memasak dapat membawa keberkahan. Bila menengok
kenyataan saat ini, kita bisa menyaksikan hutan-hutan di seantero nusantara rusak berat
karena tebang dan dijarah. Hal itu, menurut Ki H Dede, karena simbolisasi mulung
pangpung ini tidak diamalkan dalam kehidupan. Di Ciomas, 35 ha hutan Sukarena hingga
kini masih lestari karena kearifan masyarakatnya. Sehingga jangan heran pemerintah pernah
memberi penghargaan Kalpataru kepada masyarakat Ciomas. Nah, bila keperluan kayu bakar
dirasa telah mencukupi, para pemuda desa yang mendapat mengambil kayu harus
menunjukkan kayu-kayu tersebut pada tetua desa. Sebelum dibawa ke kampung, tetua
diwajibkan memeriksa kayu-kayu itu. Bila ada rayap atau sudah rapuh, kayu itu tak boleh
dibawa pulang dan harus dikembalikan lagi ke dalam hutan.

Selanjutnya, ritual Nalekan atau ritual menanyai tentang segala hal berkait pembuatan
nasi tumpeng, mulai dari bahan-bahan untuk memasak, hingga prosesnya. Sesuai aturan adat,
bahan-bahan membuat tumpeng harus berasal dari kebaikan dan harus halal. Bila ada yang
diperoleh dari jalan tidak halal, maka harus disingkirkan. Selain itu, yang memasak tiga
tumpeng ini pun harus dilakukan oleh 17 wanita yang sudah menopause.

Dapur yang akan digunakan untuk memasak makanan pun tak lepas dari pengawasan
para tetua. Maklum, sejumlah persyaratan harus dipatuhi. Terutama penggunaan kayu bakar
dan air. Dan perlu diperhatikan, air untuk memasak haruslah diambil dari mata air di gunung.
Makna pemeriksaan bahan-bahan makanan sebenarnya sesuai dengan pesan bulan suci
Ramadan yang akan segera datang. Di Bulan Suci inilah, umat yang menjalankan ibadah
puasa diharapkan dapat menjaga segala tingkah lakunya dari perbuatan kotor. Itu pulalah
yang diharapkan dari Upacara Nyepuh. Melalui ritual ini, warga Ciomas disadarkan tentang
arti menyucikan diri untuk menjadi manusia sempurna yang fitri. Di luar dapur, suasana
menjelang upacara Nyepuh begitu kentara. Sejak siang hari hingga malam hari, suasana desa
begitu meriah. Para orang tua dan pemuda desa berbaur menjadi satu mempersiapkan atribut
berupa bendera dan janur kuning dan mengolahnya sedemikian rupa sehingga menjadi hiasan
yang cantik dan semarak. Saat membuat hiasan upacara, warga pun disarankan untuk
menggunakan lampu tempel. Pelita berbahan minyak tanah ini bermakna sebagai penerang
kehidupan warga Ciomas. Maka menjelang tengah malam, barisan obor menerangi sepanjang
jalan desa.

Makna pemeriksaan bahan-bahan makanan sebenarnya sesuai dengan Bulan Suci


Ramadhan yang saat ini tengah dinanti Umat Muslim. Di Bulan Suci inilah, umat yang
menjalankan ibadah puasa diharapkan dapat menjaga segala tingkah lakunya dari perbuatan
kotor. Itulah yang diharapkan dari Upacara Nyepuh tersebut. “Melalui ritual ini, warga
Ciomas disadarkan tentang arti menyucikan diri untuk menjadi manusia sempurna yang fitri.”
Masyarakat yang berdiam di Kampung Ciomas itu selalu menyambut datangnya Upacara
Nyepuh dengan penuh kebersamaan. Suasana gotong royong terasa kental. Jika orang tua
bertanggung jawab terhadap bahan-bahan makanan, para pemuda menyiapkan hiasan-hiasan
untuk upacara.

Berbagai jenis atribut yang terbuat dari janur kuning dibuat sedemikian rupa hingga
menjadi hiasan yang cantik. Saat membuat hiasan upacara, warga pun disarankan untuk
menggunakan lampu templok. Pelita berbahan minyak tanah ini bermakna sebagai penerang
kehidupan warga Ciomas. Puncak Upacara Nyepuh berlangsung di dalam Hutan Karomah.
mencapai area hutan, warga yang seluruhnya berpakaian putih-putih sebagai tanda
menyucikan diri itu harus berjalan sejauh tiga kilometer.

Salawat dan Do’a kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dilantunkan sepanjang jalan
masuk ke hutan. Sebelum memulai upacara, seorang warga diutus untuk mengambil air
Wudhu. Ini sebagai tata cara masuk ke areal pemakaman sekaligus simbol membersihkan diri
dari segala kotoran yang melekat di tubuh. Air suci dari sumur emas pun diambil oleh kuncen
dan keluarganya. Air dari sumur ini dipercaya penduduk mempunyai khasiat yang sama
dengan air zamzam di Mekah, Arab Saudi. Bila minum atau mandi dengan air ini, dipercaya
dapat membawa keberkahan. Diiringi lantunan salawat dan doa-doa, barisan orang Ciomas
itu kemudian memasuki lokasi pemakaman Kiai Haji Penghulu Gusti dan keluarganya. Di
depan makam-makam yang dianggap keramat ini, mereka pun menyampaikan keluh-
kesahnya. Bagi masyarakat Ciomas, pertemuan di depan makam, ibarat menghadap wakil-
wakil rakyat di Gedung Parlemen. Di sinilah saatnya warga bertemu dengan pejabat dan
pemimpin desa. Tak jarang, dialog antara anak dan orang tuanya terjadi di depan kuburan
sang leluhur tersebut.

TUJUAN

Dengan tujuan untuk melestarikan tradisi nyepuh ini terutama dilakukannya upaya
pemahaman terhadap nilai-nilai budaya bangsa. Mengenai dengan kelestarian, kelangsungan
serta kehidupan tradisi nyepuh di tentukan oleh adanya pewarisan kebudayaan yang berada
dilingkungan masyarakat dari satu generasi ke generasi berikutnya dan masyarakat yang bisa
memberi jaminan pada kehidupan kebudayaan itu sendiri. Tradisi nyepuh yang berada di
Desa Ciomas Kecamatan Panjalu merupakan tanggung jawab generasi tua maupun generasi
muda karena budaya ini tidak boleh hilang atau tercampur dengan kebudayaan asing yang
datang dari luar desa Ciomas.

FILOSOFI

Menurut says Desa Ciomas memiliki kebudayaan yang khas berbeda dengan
kebudayaan yang lain yaitu Tradisi nyepuh. Tradisi yang dilaksanakan secara turun temurun
setiap satu tahun sekali pada pertengahan bulan rewah atau seminggu sebelum menjelang
bulan suci ramadhan. Sejak zaman dahulu tradisi ini sudah ada, tradisi ini dilakukan ketika
menjelang bulan suci ramadhan sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur yang telah
berjasa dalam menyebarkan agama islam di desa Ciomas. Sehingga diteladani oleh para
generasi muda untuk menghormati generasi yang lebih tua dan menjadi contoh bagi generasi
penerus. Keberadaan tradisi nyepuh sebagai bentuk tata karma memohon izin kepada Tuhan
Yang Maha Esa. agar mendapatkan kemudahan, kekuatan dan keberkahan selama
melaksanakan ibadah puasa serta meningkatkan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa. Proses dari tradisi nyepuh terdiri dari beberapa acara, yaitu sehari sebelum
melaksanakan tradisi nyepuh dan acara ketika pelaksanaan berlangsung. Kegiatan sebelum
tradisi nyepuh terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan oleh para sesepuh desa dan
masyarakat sekitar, diantaranya: mulung pangpung, nalekan, memasak makanan, menyalakan
obor sebagai penerangan, dan pertunjukan kesenian tradisional. Sedangkan kegiatan yang
dilaksanakan ketika berlangsungnya upacara yaitu berkumpul di samping kantor balai desa,
pembukaan, membuka payung emas, nyimpayan, iring-iringan menuju makam, thaharoh
(bersih) untuk mengambil wudhu dari air geger emas, menyiram binih pepohonan, berziarah
ke makam Eyang Panghulu Gusti, mendengarkan tausiah, makan bersama, menanam dan
membagikan binih pohon, dan menutup payung. Kemudian memberikan peralatan sekolah
kepada anak yatim piatu dan memberikan cendramata bagi para pengunjung yang datang dari
luar desa Ciomas.

Anda mungkin juga menyukai