Anda di halaman 1dari 5

1.

Balimau Kasai Khas Kampar

Balimau Kasai adalah sebuah upacara tradisional yang istimewa bagi masyarakat
Kampar di Provinsi Riau untuk menyambut bulan suci Ramadan. Acara ini biasanya
dilaksanakan sehari menjelang masuknya bulan puasa. Upacara tradisional ini selain sebagai
ungkapan rasa syukur dan kegembiraan memasuki bulan puasa, juga merupakan simbol
penyucian dan pembersihan diri. Balimau sendiri bermakna mandi dengan menggunakan air
yang dicampur jeruk yang oleh masyarakat setempat disebut limau. Jeruk yang biasa
digunakan adalah jeruk purut, jeruk nipis, dan jeruk kapas.
Sedangkan kasai adalah wangi- wangian yang dipakai saat berkeramas. Bagi
masyarakat Kampar, pengharum rambut ini (kasai) dipercayai dapat mengusir segala macam
rasa dengki yang ada dalam kepala, sebelum memasuki bulan puasa.
Sebenarnya upacara bersih diri atau mandi menjelang masuk bulan Ramadan tidak
hanya dimiliki masyarakat Kampar saja. Kalau di Kampar upacara ini sering dikenal dengan
nama Balimau Kasai, maka di Kota Pelalawan lebih dikenal dengan nama Balimau Kasai
Potang Mamogang. Di Sumatera Barat juga dikenal istilah yang hampir mirip, yakni Mandi
Balimau. Khusus untuk Kota Pelalawan, tambahan kata potang mamogong mempunyai arti
menjelang petang karena menunjuk waktu pelaksanaan acara tersebut.
Tradisi Balimau Kasai di Kampar, konon telah berlangsung berabad- abad lamanya
sejak daerah ini masih di bawah kekuasaan kerajaan. Upacara untuk menyambut kedatangan
bulan Ramadan ini dipercayai bermula dari kebiasaan Raja Pelalawan. Namun ada juga
anggapan lain yang mengatakan bahwa upacara tradisional ini berasal dari Sumatera Barat.
Bagi masyarakat Kampar sendiri upacara Balimau Kasai dianggap sebagai tradisi campuran
Hindu- Islam yang telah ada sejak Kerajaan Muara Takus berkuasa.
Keistimewaan Balimau Kasai merupakan acara adat yang mengandung nilai sakral
yang khas. Wisatawan yang mengikuti acara ini bisa menyaksikan masyarakat Kampar dan
sekitarnya berbondong-bondong menuju pinggir sungai ( Sungai Kampar ) untuk melakukan
ritual mandi bersama. Sebelum masyarakat menceburkan diri ke sungai, ritual mandi ini
dimulai dengan makan bersama yang oleh masyarakat sering disebut makan majamba.
2. Upah-upah Rokan Hulu

Upah-upah adalah upacara tradisional di Limo Luhak Rokan. Upacara ini


diselenggarakan untuk memulihkan kondisi seseorang dan menguatkan semangat. Biasanya
pada orang-orang yang baru sembuh dari sakit keras, terlepas dari suatu bencana, akan
menjalani kehidupan baru (menikah, sunat rasul), atau berhasil mencapai keinginannya
(menamatkan sekolah, khatam Quran). Keadaan ambang, tidak di sini dan tidak di sana, ini
dianggap rawan, sehinggga memerlukan penguatan batin dan semangat dengan dukungan
kerabat dan handai taulan. Oleh karena itu, tujuan upah-upah dapat dijabarkan sebagai
berikut:

1) mengembalikan ”semangat” yang terbang akibat gamang, terkejut, atau ketakutan ketika
seseornag berusaha dan berdepan dengan kondisi-kondisi yang masih baru dalam
hidupnya.
2) memberi bekal keperayaan diri kepada orang yang diupah-upah untuk menghadapi
kehidupan di masa datang.
3) Menyambut dan memberi syukur atas perjalanan hidup seseorang yang telah melampaui
satu penggal masa kehidupannya.
Pelaksana upah-upah disebut sebagai pengupah-upah, yaitu orang terpilih yang
dihormati dan disegani. Berikut adalah orang-orang yang dianggap patut sebagai pengupah-
upah:
a) pucuk suku
b) pemuka agama (imam masjid, khatib)
c) guru (guru sekolah dan guru ngaji)
d) cerdik cendekia; serta
e) kerabat yang dituakan oleh orang yang diupah-upah, seperti kakek, nenek, paman, dan
mak cik; dari pihak ibu maupun ayah.
Dalam upah-upah, biasanya pengupah-upah yang dipilih tidak lebih dari 10 orang.
Waktu pelaksanaan upah-upah ditentukan apabila yang akan diupah-upah sudah siap. Waktu
yang dipilih adalah hari Jumat, sebelum waktu sholat. Hari Jumat dipilih karena pada hari ini
para lelaki tidak berkerja di ladang maupuan di kebun karet. Sedangkan upah-upah dalam
rangkaian upacara pernikahan dilaksanakan setelah ijab kabul. Tempat pelaksanaannya
adalah rumah orang yang akan diupah-upah. Dipilih ruangan yang cukup lapang.
3. Tradisi Ratib Kerambai, ritual tolak bala di Rokan Hilir

Tradisi tahunan Ratib Kerambai yang dilakukan pada hari ketiga usai Idul Fitri atau
setiap 3 Syawal kembali dilaksanakan oleh masyarakat di Kecamatan Kubu, Kabupaten
Rokan Hilir, Provinsi Riau.
RatibKerambai atau sering disebut masyarakat setempat atib keambai merupakan
tradisi yang dipercayai masyarakat sebagai ritual tolak bala, yang dilaksanakan di atas perahu
dengan menyusuri sungai di Kubu menuju arah laut.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna ratib ialah puji-pujian
atau doa kepada Tuhan yang diucapkan berulang-ulang. Sesuai namanya, dalam ritual ini
masyarakat Kubu membacakan ayat-ayat suci Alquran guna mencegah bala dan musibah
datang ke tanah Kubu.
Sekretaris Dewan Pengurus Harian Majelis Tinggi Kerapatan Empat Suku Melayu
Kenegerian Kubu, Zuhaifi, Rabu, menjelaskan tradisi ini telah dilakukan sejak 1940-an, saat
terjadinya berbagai bala dan musibah di Kenegerian Kubu, salah satunya kolera yang
menyebabkan banyak masyarakat yang meninggal tiap harinya. Ritual ini dilakukan atas
petunjuk dari Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan.
Awal ratib dilakukan di salah satu makam keramat Tuan Syekh Haji Abdullah Pasai
yang datang dari Pasai dan merupakan salah satu keturunan Baginda Rasulullah
MuhammadSAW. Diceritakannya, beliau datang ke Kubu pada tahun 1890-an bersama
saudaranya, Datuk Jenggot. Mereka merupakan alim ulama yang menyebarkan Islam di
Kenegerian Kubu.
Lokasi makam tersebut dinamakan Rambai. Dinamai demikian sebab penyebar agama
Islam tersebut selalu berteduh di bawah pohon rambai. Ia duduk dan bertafakur atau juga
mencari tempat yang penduduknya masih banyak melakukan kemungkaran untuk diajak
kembali ke jalan yang benar.
Saat berbagai bala terjadi pada 1940-an, Syekh Abdul Wahab Rokan mengarahkan
murid-muridnya melakukan ritual Ratib Kerambai. Hulu sungai yang terdapat makam
keramat tersebut menjadi tempat bertolaknya ritual yang dipimpin mursyid-mursyid yang
paham akan proses tolak bala tersebut.
"Intinya tradisi ini bertujuan untuk menolak bala di Kenegerian Kubu. Dulu prosesnya
dilakukan dengan mendayung sampan dari hulu sungai hingga ke tanjung pulau. Pada tahun
1980-an baru masyarakat mengenal sampan boat,"
4. Pacu Sampan Leper, Budaya Indragiri Hilir

Kabupaten Indragiri Hilir, Riau memiliki atraksi budaya yang unik. Namanya pacu
sampan leper.Sampan Leper adalah sampan yang dikendarai ketika kondisi air pada keadaan
surut, sehingga untuk mengendarai sampan tersebut harus di dayung di atas lumpur. Jika
umumnya mendayung sampan di atas air yang sedang pasang tidak memerlukan banyak
tenaga, berbeda dengan sampan leper, untuk menggerakkan sampan di atas lumpur tentunya
lebih banyak menguras tenaga.
Pada zaman dulu Sampan Leper adalah merupakan alat transportasi yang
dimanfaatkan oleh masyarakat di wilayah Kuala Getek untuk menyeberang saat sungai
tengah dalam kondisi surut. Hal ini dilakukan agar segala aktivitas masyarakat disana tetap
berjalan ketika air sungai surut. Lahirnya sampan Leper karena kondisi alam. Kawasan Pekan
Arba merupakan tempat rekreasi bagi mayarakat Kota Tembilahan, karena lokasinya ini
berdekatan dengan Kota Tembilahan. Kawasan ini terdapat di pinggir Sungai Batang Sebatu
yang dari tahun ke tahun mengalami pendangkalan dan mengakibatkan hubungan/transportasi
antara Pekan Arba dengan desa-desa seberangnya menjadi sulit. Sulitnya hubungan ini, maka
masyarakat berusaha mengatasinya dengan membuat sampan atau perahu yang berbentuk
leper atau rata di bagian bawahnya dan dapat berjalan serta meluncur di pantai lumpur
maupun di atas air, sehingga sampai sekarang dijadikan sebagai alat transportasi.
Dari segi bentuk, sampan leper ini merupakan perahu yang memiliki ukuran 1 x 3
meter dengan lantai dasar yang memiliki permukaan pipih dan datar. Hal itu sebagai
penyesuaian agar dapat digunakan di atas air maupun lumpur. Pacu sampan leper dahulunya
sering digelar di Pekan Arba, Kecamatan Tembilahan. Namun karena terjadi pendangkalan
Sungai Batang Tuaka, maka pemerintah setempat memindahkan event ini di Kawasan Wisata
Kuala Getek, Sungai Luar, Kecamatan Batang Tuaka.
Lomba pacu sampan leper ini hampir sama dengan lomba berenang. Ada berbagai
gaya. Ada gaya duduk, gaya nyamping, gaya jongkok, dan adapula gaya dorong belakang.
Pesertanya ada putra, ada putri, dan ada pula yang double dan double campur. Sebenarnya
dalam menentukan pelaksanaan pacu sampan leper ini tak mudah karena harus berdasarkan
perhitungan alam, yang tidak dapat diadakan sesuai keinginan, yakni melihat kondisi pasang
surut air di Sungai Indragiri. Pacu sampan leper ini hanya bisa dilakukan antara bulan Juli
sampai dengan bulan Agustus yakni pada saat kondisi air sedang surut.

Anda mungkin juga menyukai