Prosesi adat ini dikenal dengan Aruh Baharin, pesta syukuran yang
dilakukan gabungan keluarga besar yang berhasil panen padi di pahumaan (perladangan) .
Upacara Adat Aruh Baharin, Pesta yang berlangsung tujuh hari itu terasa sakral karena para
balian yang seluruhnya delapan orang itu setiap malam menggelar prosesi ritual pemanggilan
roh leluhur untuk ikut hadir dalam pesta tersebut dan menikmati sesaji yang dipersembahkan.
Upacara Adat Aruh Baharin, Prosesi berlangsung pada empat tempat pemujaan di balai yang
dibangun sekitar 10 meter x 10 meter. Prosesi puncak dari ritual ini terjadi pada malam ketiga
hingga keenam di mana para balian melakukan proses batandik (menari) mengelilingi tempat
pemujaan. Para balian seperti kerasukan saat batandik terus berlangsung hingga larut malam
dengan diiringi bunyi gamelan dan gong.
Untuk ritual pembuka, disebut Balai Tumarang di mana pemanggilan roh sejumlah raja,
termasuk beberapa raja Jawa, yang pernah memiliki kekuasaan hingga ke daerah mereka.
Selanjutnya, melakukan ritual Sampan Dulang atau Kelong. Ritual ini memanggil leluhur
Dayak, yakni Balian Jaya yang dikenal dengan sebutan Nini Uri. Berikutnya, Hyang
Lembang, ini proses ritual terkait dengan raja- raja dari Kerajaan Banjar masa lampau.
Para balian itu kemudian juga melakukan ritual penghormatan Ritual Dewata, yakni
mengisahkan kembali Datu Mangku Raksa Jaya bertapa sehingga mampu menembus alam
dewa. Sedangkan menyangkut kejayaan para raja Dayak yang mampu memimpin sembilan
benua atau pulau dilakukan dalam prosesi Hyang Dusun.
Pada ritual-ritual tersebut, prosesi yang paling ditunggu warga adalah penyembelihan kerbau.
Kali ini ada 5 kerbau. Berbeda dengan permukiman Dayak lainnya yang biasa hewan utama
kurban atau sesaji pada ritual adat adalah babi, di desa ini justru hadangan atau kerbau.
warga dan anak-anak berebut mengambil sebagian darah hewan itu kemudian
memoleskannya ke masing-masing badan mereka karena percaya bisa membawa
keselamatan. Daging kerbau itu menjadi santapan utama dalam pesta padi tersebut.
”Baras hanyar (beras hasil panen) belum bisa dimakan sebelum dilakukan Aruh Baharin.
Ibaratnya, pesta ini kami bayar zakat seperti dalam Islam,” kata Narang.
Sedangkan sebagian daging dimasukkan ke dalam miniatur kapal naga dan rumah adat serta
beberapa ancak (tempat sesajian) yang diarak balian untuk disajikan kepada dewa dan
leluhur.
Menjelang akhir ritual, para balian kembali memberkati semua sesaji yang isinya antara lain
ayam, ikan bakar, bermacam kue, batang tanaman, lemang, dan telur. Ada juga penghitungan
jumlah uang logam yang diberikan warga sebagai bentuk pembayaran ”pajak” kepada leluhur
yang telah memberi mereka rezeki.
Selanjutnya, semua anggota keluarga yang menyelenggarakan ritual tersebut diminta
meludahi beberapa batang tanaman yang diikat menjadi satu seraya dilakukan pemberkatan
oleh para balian. Ritual ini merupakan simbol membuang segala yang buruk dan kesialan.
Akhirnya sesaji dihanyutkan di Sungai Balangan yang melewati kampung itu. Bagi
masyarakat Dayak, ritual ini adalah ungkapan syukur dan harapan agar musim tanam berikut
panen padi berhasil baik.
lokasi terletak sekitar 250 kilometer utara Banjarmasin ,Desa Kapul, Kecamatan Halong,
Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan. (Aruh Baharin, Pesta Padi Dayak Halong
kompas.com)
2. Upacara Adat Maccera Tasi
Upacara Adat Macceratasi merupakan upacara adat masyarakat nelayan tradisional di
Kabupaten Kota Baru, Kalimantan Selatan. Upacara ini sudah berlangsung sejak lama dan
terus dilakukan secara turun-temurun setiap setahun sekali. Beberapa waktu lalu, upacara ini
kembali digelar di Pantai Gedambaan atau disebut juga Pantai Sarang Tiung.
Prosesi utarna Macceratasi adalah penyembelihan kerbau, kambing,
dan ayam di pantai kemudian darahnya dialirkan ke laut dengan
maksud memberikan darah bagi kehidupan laut. Dengan
pelaksanaan upacara adat ini, masyarakat yang tinggal sekitar pantai
dan sekitarnya, berharap mendapatkan rezeki yang melimpah dari
kehidupan laut.
Kerbau, kambing, dan ayam dipotong. Darahnya dilarungkan ke
laut. Itulah bagian utama dari prosesi Upacara Adat Macceratasi.
Kendati intinya hampir sama dengan upacara laut yang biasa
dilakukan masyarakat nelayan tradisional lainnya. Namun upacara
adat yang satu ini punya hiburan tersendiri.
Sebelum Macceratasi dimulai terlebih dahulu diadakan upacara Tampung Tawar untuk
meminta berkah kepada Allah SWT. Sehari kemudian diadakan pelepasan perahu Bagang
dengan memuat beberapa sesembahan yang dilepas beramai-ramai oleh nelayan bagang, baik
dari Suku Bugis, Mandar maupun Banjar. Keseluruhan upacara adat ini sekaligus
melambangkan kerekatan kekeluargaan antarnelayan.
Untuk meramaikan upacara adat ini, biasanya disuguhkan hiburan berupa kesenian hadrah,
musik tradisional, dan atraksi pencak silat. Usai pelepasan bagang, ditampilkan atraksi meniti
di atas tali yang biasa dilakukan oleh lelaki Suku Bajau. Atraksi ini pun selalu dipertunjukkan
bahkan dipertandingkan pada saat Upacara Adat Salamatan Leut (Pesta Laut) sebagai
pelengkap hiburan masyarakat.
3. Upacara Adat Babalian Tandik
Selain Upacara Adat Macceratasi, Kabupaten Kota Baru juga mempunyai upacara adat
lainnya, seperti Upacara Adat Babalian Tandik, yakni kegiatan ritual yang dilakukan oleh
Suku Dayak selama seminggu. Puncak acara dilakukan di depan mulut Goa dengan
sesembahan pemotongan hewan qurban. Upacara ini diakhiri dengan Upacara Badudus atau
penyiraman Air Dudus. Biasanya yang didudus (disiram) seluruh pengunjung yang hadir
sehingga mereka basah semua.
4. Upacara Adat Mallasuang Manu, yakni upacara melepas sepasang ayam untuk
diperebutkan kepada masyarakat sebagai rasa syukur atas melimpahnya hasil laut di
Kecamatan Pulau Laut Selatan. Upacara ini dilakukan Suku Mandar yang mendominasi
kecamatan tersebut, setahun sekali tepatnya pada bulan Maret. Upacara ini berlangsung
hampir seminggu dengan beberapa kegiatan hiburan rakyat sehingga berlangsung meriah.
Upacara Adat Macceratasi, biasanya diadakan menjelang perayaan tahun baru di Pantai
Gedambaan, Kabupaten Kota Baru. Mudah menjangkau kabupaten berjuluk Bumi Saijaan
ini. Dari Jakarta naik kapal terbang ke Bandara Syamsuddin Noor, Banjarmasin. Keesokan
paginya melanjutkan perjalanan udara dengan pesawat Trigana Air ke Bandara Stagen, Kota
Baru. Bisa juga naik Kapal Cepat Kirana Jawa-Sulawesi-Kalimantan. Selanjutnya mencarter
mobil travel ke lokasi upacara.
Ritual khas kaum muda mudi suku Mandar yang berdomisili di Kecamatan Laut Selatan,
Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Mallassung Manu adalah sebutan bagi ritual adat
melepas beberapa pasang ayam jantan dan betina sebagai bentuk permohonan meminta jodoh
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pesta adat yang juga telah menjadi event wisata ini dilakukan secara
turun temurun di Pulau Cinta, sebuah pulau kecil yang konon berbentuk hati dan berjarak
sekitar dua mil dari Pulau Laut, pulau terbesar di perairan tenggara Kalimantan yang menjadi
Ibu Kota Kabupaten Kotabaru. Pulau Cinta memiliki luas sekitar 500 m2 dan hanya terdiri
dari batu-batu besar dan sejumlah pohon di dalamnya.
Dalam pesta adat yang unik ini, para peserta berangkat secara bersama-sama dari Pulau Laut
(Kotabaru) menuju Pulau Cinta dengan menggunakan perahu. Sesampainya di Pulau Cinta,
pesta adat melepas sepasang ayam jantan dan betina dilaksanakan dengan disaksikan oleh
ribuan penonton
Keinginan agar mudah mencari jodoh dapat melahirkan ekspresi budaya yang khas.
Kekhasan itulah yang dapat disaksikan dalam Pesta Adat Malassuang Manu. Ritual utama
dalam upacara ini, yaitu melepas ayam jantan dan betina, dilaksanakan di atas sebuah batu
besar yang bagian tengahnya terbelah sepanjang kira-kira 10 meter. Dari atas batu itu,
sepasang ayam tersebut dilemparkan sebagai tanda permohonan kepada Tuhan supaya
dimudahkan dalam mencari jodoh.
Usai melepas sepasang ayam tersebut, para muda-mudi ini kemudian mengikatkan pita atau
tali rafia (yang di dalamnya telah diisi batu atau sapu tangan yang indah) di atas dahan atau
ranting pepohonan yang terdapat di Pulau Cinta. Hal ini sebagai perlambang, apabila kelak
memperoleh jodoh tidak akan terputus ikatan tali perjodohannya sampai maut menjemput.
Kelak, pita atau tali rafia tersebut akan diambil kembali bila permohonan untuk bertemu
jodoh telah terkabul. Pasangan yang telah berjodoh ini akan kembali ke Pulau Cinta untuk
mengambil pita atau tali rafia tersebut dengan menggunakan perahu klotok yang dihias
dengan kertas warna-warni. Makanan khas yang selalu menjadi hidangan dalam ritual kedua
ini adalah sanggar (semacam pisang goreng yang terbuat dari pisang kepok yang dibalut
dengan tepung beras dan gandum dengan campuran gula dan garam), serta minuman berupa
teh panas.
Pasangan ini akan diiringi oleh sanak saudara untuk mengadakan selamatan. Usai
memanjatkan doa, mereka kemudian melepaskan pita atau tali rafia yang dulu diikatkan di
dahan atau ranting pohon untuk disimpan sebagai bukti bahwa keinginannya telah terkabul.
Selain itu, ritual kedua ini juga merupakan permohonan supaya dalam kehidupan selanjutnya
selalu dibimbing menjadi keluarga yang sejahtera.
Pesta adat yang pelaksanaannya didukung oleh pemerintah daerah setempat ini juga
dimeriahkan oleh tari-tarian adat dan berbagai macam perlombaan, seperti voli, sepakbola,
dan lain-lain. Berbagai event lomba tersebut biasanya akan memperebutkan trophy Bupati
Kotabaru atau Gubernur Kalimantan Selatan.
Biasanya Pesta Mallasung Manu diselenggarakan pada bulan Maret—April
Pesta adat Mallassuang Manu diselenggarakan di Teluk Aru dan Pulau Cinta, Kecamatan
Laut Selatan, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, Indonesia.
5. Upacara Adat Mandi Tian Mandaring
Upacara adat dalam memperingati usia kandungan 7 bulan ternyata di Kalimantan Selatan
dinamakan Upacara Mandi Tian Mandaring sering pula disebut dengan istilah bapagar
mayang,atau urang banjar bemandi-mandi karena tempat mandi dalam upacara itu
menggunakan pagar mayang. Upacara ini khusus diadakan untuk wanita hamil yang usia
kandungannya sudah mencapai tujuh bulan.
Pada upacara ini disediakan pagar mayang, yaitu sebuah pagar yang sekelilingnya
digantungkan mayang-mayang pinang. Tiang-tiang pagar dibuat dari batang tebu yang diikat
bersama tombak. Di dalam pagar ditempatkan perapen, air bunga-bungaan, air mayang,
keramas asam kamal, kasai tamu giring, dan sebuah galas dandang diisi air yang telah
dibacakan doa-doa.
Wanita tian mandaring yang akan mandi di upacara itu akan didandani dengan pakaian
sebagus-bagusnya. Setelah waktu dan peralatan yang ditentukan sudah siap, wanita tian
mandaring dibawa menuju pagar mayang sambil memegang nyiur balacuk dengan dibungkus
kain berwarna kuning. Saat berada dalam pagar mayang untuk dimandikan, pakaian yang
dikenakan diganti kain kuning kemudian wanita hamil tadi didudukkan di atas kuantan
batiharap dengan beralaskan bamban bajalin. Lima atau tujuh orang wanita tua secara
bergantian menyiram dan melangir kepala wanita tian mandaring dengan air bunga-bungaan
yang telah disediakan.
Salah seorang wanita yang dianggap paling berpengaruh diserahi tugas memegang upung
mayang yang masih terkatup tepat diatas kepala. Kemudian upung mayang tersebut dipukul
sekeras-kerasnya hanya satu kali pukulan. Apabila upung mayang tersebut dipukul satu kali
sudah pecah maka merupakan pertanda baik, bahwa wanita tian mandaring tidak akan
mengalami gangguan sampai melahirkan.
Kambang mayang yang ada di dalam upung dikeluarkan lalu disiramkan dengan air ke kepala
sebanyak tiga kali. Siraman yang pertama tangkai posisinya harus mengarah ke atas, siraman
kedua tangkai mayang harus berada di bawah dan siraman yang ketiga ditelentangkan dan
ditelungkupkan.
Kambang mayang yang berada di tengah-tengah diambil sebanyak dua tangkai, kemudian
diletakkan di sela-sela kedua telinga sebagai sumping. Berikutnya adalah memasukkan
lingkaran benang berulas-ulas, mulai dari kaki tiga kali berturut-turut. Pada waktu
memasukkan wanita tian mandaring maju melangkah ke depan setapak, memasukkan kedua
mundur, memasukkan ketiga maju lagi setapak.
Pada pintu pagar mayang ditempatkan kuali tanah dan telur ayam, begitu keluar pagar
mayang kuali dan telur itu harus diinjak oleh si wanita tian mandaring sampai pecah. Selesai
upacara ini wanita tian mandaring dibawa ke dalam rumah beserta undangan yang hanya
boleh dihadiri oleh wanita. Di hadapan hadirin rambutnya disisir, dirias dan digelung serta
diberi pakaian bagus. Sebuah cermin dan lilin yang sedang menyala diputar mengelilingi
wanita tian mandaring dan dilakukan sebanyak tiga kali, sambil ditapung tawari dengan
minyak likat baboreh. Sumbu lilin yang telah hangus disapukan ke ulu hati wanita tian
mandaring dengan maksud untuk mendapatkan keturunan yang rupawan dan baik hati.
Upacara ini diakhiri dengan bersalam-salaman sambil mendokan wanita tian mandaring.
1. Asal-usul
Basunat bagi masyarakat Banjarmasin, Kalimantan Selatan, merupakan hal yang sangat penting.
Bahkan, keislaman seseorang belum dianggap sempurna apabila orang tersebut belum bersunat.
Oleh karenanya, orang-orang Banjar sejak masih anak-anak (laki-laki berumur antara 6 – 12
tahun, dan perempuan biasanya lebih muda) telah disunat (Alfani Daud, 1997: 252). Asa
bakalalangan haja kaalah kita (terasa mengganggu perasaan kita), demikian biasanya orang-
orang mengomentari orang-orang Islam (bersyahadat) yang belum disunat. Selain dilakukan oleh
kalangan orang Islam untuk menyempurnakan keislamannya, ternyata sunat juga dipraktekkan
oleh masyarakat lokal yang masih menganut agama Balian maupun yang beragama Kristen (ibid).
Namun sayang, belum ada cukup informasi yang menjelaskan mengapa mereka mempraktekkan
sunat.
Salah satu tradisi masyarakat Banjar yang ramai dilakukan pada saat bulan Maulid Nabi
Muhammad SAW adalah tradisi upacara baayun mulud. Baayun asal katanya dari ‘ayun’, jadi
bisa diterjemahkan bebas ‘melakukan proses ayunan/buaian’. Bayi yang mau ditidurkan
biasanya akan diayun oleh ibunya, ayunan ini memberikan kesan melayang-layang bagi si
bayi sehingga ia bisa tertidur lelap. Asal kata ‘mulud’ dari sebutan masyarakat untuk
peristiwa maulud Nabi.
Upacara ini dilakukan di dalam masjid, pada ruangan tengah masjid dibuat ayunan yang
membentang pada tiang-tiang masjid. Ayunan yang dibuat ada tiga lapis, lapisan atas
digunakan kain sarigading (sasirangan), lapisan tengah kain kuning (kain belacu yang diberi
warna kuning dari sari kunyit), dan lapisan bawah memakai kain bahalai (kain panjang tanpa
sambungan jahitan).
Pada bagian tali ayunan diberi hiasan berupa anyaman janur berbentuk burung-burungan,
ular-ularan, katupat bangsur, halilipan, kambang sarai, rantai, hiasan-hiasan mengunakan
buah-buahan atau kue tradisional seperti cucur, cincin, kue gelang, pisang, kelapa, dan lain-
lain.
Kepada setiap orang tua yang mengikutsertakan anaknya pada upacara ini harus
menyerahkan piduduk, yaitu sebuah sasanggan yang berisi beras kurang lebih tiga setengah
liter, sebiji gula merah, sebiji kelapa, sebiji telur ayam, benang, jarum, sebongkah garam, dan
uang perak. Piduduk ini bukan maksud untuk musyrik tetapi nanti akan dimakan beramai-
ramai oleh orang yang hadir. Upacara baayun mulud ini sudah merupakan upacara tahunan
yang selalu digelar bersama-sama oleh masyarakat Banjar.
Peserta baayun mulud ini tidak terbatas pada bayi yang ada di kampung yang melaksanakan
saja, tetapi boleh saja peserta dari kampung lain ikut meramaikan. Bahkan saat ini ada saja
orang yang sudah tua ikut baayun karena mereka merasa waktu kecil dulu tidak sempat ikut
upacara baayun mulud. Dalam upacara nanti akan dibacakan berbagai syair, seperti syair
barzanji, syair syarafal anam, dan syair diba’i. Anak-anak yang ingin diayun akan dibawa
saat dimulai pembacaan asyarakal, si anak langsung dimasukkan ke dalam ayunan yang telah
disediakan.
Saat pembacaan asyarakal dikumandangkan, anak dalam ayunan diayun secara perlahan-
lahan dengan cara menarik selendang yang diikat pada ayunan. Maksud diayun pada saat itu
adalah untuk mengambil berkah atas kemuliaan Nabi Muhammad SAW, orang tua yang hadir
berharap anak yang diayun menjadi umat yang taat, bertakwa kepada Allah SWT dan
RasulNya.
Upacara baayun mulud dilaksanakan pada pagi hari dimulai pukul 10.00, lebih afdhol apabila
dilaksanakan bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal. Bagi orang tua yang mendapat
kesempatan untuk mengikutsertakan anaknya dalam upacara ini akan merasa sangat bahagia
dan beruntung.
Tradisi yang dilakukan secara massal ini sebagai pencerminan rasa syukur kepada Allah
SWT atas limpahan rahmat dan karuniaNya atas kelahiran Nabi Muhammad SAW yang
membawa rahmat bagi sekalian alam, upacara ini diibatkan melakukan penyambutan berupa
puji-pujian yang diucapkan dalam syair-syair merdu.
Ketika umur kehamilan seorang ibu telah mencapai 9 bulan maka pihak keluarga
harus mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyambut kedatangan "warga
baru" (sang jabang bayi), Peralatan dan perlengkapan yang diperlukan untuk
menyelenggarakan upacara kelahiran pada masyarakat Banjar adalah: upiah pinang (pelepah
pinang), kapit,7 sembilu, sarung, kain batik, tepung-tawar, madu, kurma, garam, kukulih8,
seliter beras, sebiji gula merah, sebiji buah kelapa, dan rempah-rempah untuk memasak ikan.
Upiah pinang digunakan untuk membungkus tembuni (tali pusat). Kapit digunakan
sebagai tempat menyimpan tembuni. Sembilu digunakan untuk memotong tali pusat.
Sedangkan, sarung atau kain batik digunakan untuk membersihkan tubuh bayi ketika tali
pusatnya telah dipotong. Tepung-tawar digunakan untuk menaburi tubuh bayi agar terlepas
dari gangguan roh-roh jahat. Madu, kurma atau garam lebah digunakan untuk mengoles bibir
bayi. Dan seliter beras, sebiji gula merah, sebiji buah kelapa, rempah-rempah9 untuk
memasak ikan diberikan kepada dukun bayi sebagai ungkapan rasa terima kasih.10
Adapun bapalas bidan, ini hanya untuk upacara tertentu yang biasa ada mengeluarkan
darah. Yaitu dengan mengadakan acara selamatan atau memberikan ganti rugi dengan berupa
benda tertentu yang biasa, berupa makanan atau uang, karena akibat melukai seseorang yang
mengeluarkan darah. Seperti anak dengan anak berkelahi, dan ada yang terluka. Maka
menurut adat orang tua, anak yang melukai itu harus memalas kepala anak yang dilukai.11
Biasanya diadakan selamatan dengan memberikan uang atau bahan makanan, seperti
beras, gula dan nyiur12 sebagai tanda perdamaian itu.13 Ada juga memalas ini dengan
menyembelih hewan, tapi ini digunakan kalu hendak mendirikan bangunan tertentu, dimana
darahnya dioleskan pada tiang bangunan atau pundasi dari bangunan itu agar yang bekerja
pada bangunan tersebut tidak terjadi hal yang berbahaya, seperti jatuh, luka dan sebagainya.
Tetapi acara bapalas bidan yang diadakan pada umumnya itu merupakan bentuk rasa
syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan karunianya, yang
menyelamatkan ibu beserta anak yang baru lahir itu, beserta para yang hadir menolong ketika
itu. Jadi dengan demikian ini merupakan upacara selamatan untuk keselamatan ibu dan anak
yang baru lahir beserta seluruh tetangga dan keluarga, termasuk bidan yang menolong, agar
segar kembali seperti sediakala.14
Kemudian setelah bayi berumur satu minggu atau lebih, ada upacara yang disebut tasmiah
(pemberian nama), dengan susunan acara sebagai berikut: pembacaan Ayat-ayat Suci Al
Quran (Surat Ali Imran), pemberian nama oleh mualim atau penghulu, dan barjanji. Sebagai
catatan, dalam barjanji itu, ketika dibaca kalimat asyrakal semua hadirin berdiri, kemudian
bayi dikelilingkan. Mereka, termasuk mualim atau penghulu, diminta untuk menepung-tawari
si bayi dengan baburih-likat. Dengan berakhirnya upacara tasmiah ini, maka berakhirlah
rangkaian upacara kelahiran pada masyarakat Banjar.
11. Upacara Perkawinan Adat Banjar
Suku Banjar mengenal Daur Hidup dengan upacara tradisional yang salah satunya adalah
Upacara Perkawinan. Upacara ini merupakan salah satu bagian dari Daur Hidup yang harus
dilewati.
Dahulu orang Banjar umumnya tidak mengenal istilah “berpacaran” sebelum memasuki
jenjang perkawinan seperti yang kita ketahui sekarang. Namun, saat itu hanya dikenal istilah
“batunangan”. Yaitu, ikatan kesepakatan dari kedua orang tua masing-masing untuk
mencalonkan kedua anak mereka kelak sebagai suami isteri. Proses “batunangan” ini
dilakukan sejak masih kecil, namun umumnya dilakukan setelah akil balig. Hal ini hanya
diketahui oleh kedua orang tua atau kerabat terdekat saja.
Pelaksanaan upacara perkawinan memakan waktu dan proses yang lama. Hal
ini dikarenakan harus melalui berbagai prosesi, antara lain :
1. Basasuluh.
Seorang laki-laki yang akan dikawinkan biasanya tidak langsung dikawinkan, tetapi dicarikan
calon gadis yang sesuai dengan sang anak maupun pihak keluarga. Hal ini dilakukan tentu
sudah ada pertimbangan-pertimbangan, atau yang sering dikatakan orang dinilai “bibit-bebet-
bobot”nya terlebih dahulu. Setelah ditemukan calon yang tepat segera dicari tahu apakah
gadis tersebut sudah ada yang menyunting atau belum. Kegiatan ini dalam istilah bahasa
Banjar disebut dengan BASASULUH.
2. Batatakun atau Melamar.
Setelah diyakini bahwa tidak ada yang meminang gadis yang telah dipilih maka dikirimlah
utusan dari pihak lelaki untuk melamar, utusan ini harus pandai bersilat lidah sehingga
lamaran yang diajukan dapat diterima oleh pihak si gadis. Jika lamaran tersebut diterima
maka kedua pihak kemudian berembuk tentang hari pertemuan selanjutnya yaitu Bapapayuan
atau Bapatut Jujuran.
3. Bapapayuan atau Bapatut Jujuran.
Kegiatan selanjutnya setelah melamar adalah membicarakan tentang masalah kawin. Pihak
lelaki kembali mengirimkan utusan, tugas utusan ini adalah berusaha agar masalah kawin
yang diminta keluarga si gadis tidak melebihi kesanggupan pihak lelaki.
Untuk dapat menghadapi utusan dari pihak keluarga lelaki, terutama dalam hal bersilat lidah,
maka pihak keluarga sang gadis itu pun meminta kepada keluarga atau tetangga dan kenalan
lainnya, yang juga memang ahli dalam bertutur kata dan bersilat lidah.
Jika sudah tercapai kesepakatan tentang masalah kawin tersebut. Maka kemudian ditentukan
pula pertemuan selanjutnya yaitu Maatar Jujuran atau Maatar Patalian.
4. Maatar Jujuran atau Maatar Patalian.
Merupakan kegiatan mengantar masalah kawin kepada pihak si gadis yang maksudnya
sebagai tanda pengikat. Juga sebagai pertanda bahwa perkawinan akan dilaksanakan oleh
kedua belah pihak. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh para ibu, baik dari keluarga maupun
tetangga. Apabila acara Maatar Jujuran ini telah selesai maka kemudian dibicarakan lagi
tentang hari pernikahan dan perkawinan.
5. Bakakawinan atau Pelaksanaan Upacara Perkawinan .
Sebelum hari pernikahan atau perkawinan, mempelai wanita mengadakan persiapan, antara
lain:
a. Bapingit dan Bakasai.
Bagi calon mempelai wanita yang akan memasuki ambang pernikahan dan perkawinan, dia
tidak bisa lagi bebas seperti biasanya, hal ini dimaksudkan untuk menjaga dari hal-hal yang
tidak diinginkan (Bapingit).
Dalam keadaan Bapingit ini biasanya digunakan untuk merawat diri yang disebut dengan
Bakasai dengan tujuan untuk membersihkan dan merawat diri agar tubuh menjadi bersih dan
muka bercahaya atau berseri waktu disandingkan di pelaminan.
b. Batimung.
Hal yang biasanya sangat mengganggu pada hari pernikahan adalah banyaknya keringat yang
keluar. Hal ini tentunya sangat mengganggu khususnya pengantin wanita, keringat akan
merusak bedak dan dapat membasahi pakaian pengantin. Untuk mencegah hal tersebut terjadi
maka ditempuh cara yang disebut Batimung. Setelah Batimung badan calon pengantin
menjadi harum karena mendapat pengaruh dari uap jerangan Batimung tadi.
c. Badudus atau Bapapai.
Mandi Badudus atau bapapai adalah uapacara yang dilaksanakan sebagai proses peralihan
antar masa remaja dengan masa dewasa dan juga merupakan sebagai penghalat atau
penangkal dari perbuatan-perbuatan jahat. Upacara ini dilakukan pada waktu sore atau malam
hari. Upacara ini dilaksanakan tiga atau dua hari sebelum upacara perkawinan.
d. Perkawinan (Pelaksanaan Perkawinan)
Upacara ini merupakan penobatan calon pengantin untuk memasuki gerbang perkawinan.
Pemilihan hari dan tanggal perkawinan disesuaikan dengan bulan Arab atau bulan Hijriah
yang baik. Biasanya pelaksanaan upacara perkawinan tidak melewati bulan purnama.
Kegiatan pada upacara perkawinan ini antara lain:
Demikianlah, kebudayaan dan adat istiadat yang ada dan tumbuh di Kalimantan Selatan
cukup banyak variasinya sesuai dengan keadaan kelompok sukubangsa dan kepercayaan yang
mereka anut. Meskipun sesungguhnya keberadaan budaya dan adat istiadat itu sudah
diketahui, namun tidak dengan begitu saja bisa diterima oleh semua pihak karena keterikatan
pada pemahaman masing-masing individu dan kelompok. Apalagi jika budaya dan adat
istiadat itu hendak dikaitkan dengan agama dan kepercayaan penganutnya secara murni dapat
menimbulkan persoalan yang berbau SARA dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu
diperlukan kearifan kita dalam memahaminya supaya kehidupan bermasyarakat selalu
harmonis walaupun berbeda budaya, agama dan kepercayaan. (HRN: disusun dari berbagai
sumber).