Anda di halaman 1dari 3

Setiap masyarakat di sebuah daerah memiliki kebudayaan atau kebiasaan masing-

masing yang tentunya berbeda dengan kebudayaan masyarakat lain. Kebudayaan tersebut lah
yang menjadi ciri khas suatu masyarakat di daerah tertentu. Contohnya masyarakat melayu
Riau yang memiliki kebiasaan tertentu dalam menyambut bulan Ramadhan. Kebiasaan ini
telah menjadi tradisi yang diwariskan secara turun menurun oleh masyarakat melayu Riau.
Tradisi ini dinamakan Petang megang. Tradisi Petang megang ini ternyata juga dikenal
dengan mandi balimau kasai oleh masyarakat Pekanbaru Riau. Pada tradisi ini, warga
Pekanbaru beramai – ramai datang ke sungai Siak, untuk mandi maupun menggelar acara
lainnya. Kemudian timbullah pertanyaan, bagaimana bentuk pelaksanaan Petang megang itu?
Dan mengapa kebiasaan tersebut telah menjadi tradisi bagi masyarakat melayu Riau, serta apa
makna dari petang megang itu sendiri?
Sebenarnya, Petang megang sudah ada sejak saat zaman pemerintahan kerajaan Siak
Sri Indrapura yang waktu itu pusat pemerintahannya terletak di Bandar “Senapelan”. Inti dari
tradisi petang megang adalah mandi balimau. Prosesi ritual ini diawali dengan melaksanakan
sholat Dzuhur berjamaah di masjid bersejarah Pekanbaru yaitu masjid Raya Pekanbaru.
Setelah itu masyarakat mengunjungi makam pendiri kota Pekanbaru, Sultan Muhammad Ali
Abdul Jalil Muazzam Syah yang juga dikenal dengan nama Marhum Pekan. Beliau
merupakan sultan kelima Kerajaan Siak Sri Indrapura (1780 – 1782 M) yang berada di sekitar
masjid Raya Pekanbaru. Usai berziarah, rombongan akan kembali ke masjid Raya Pekanbaru
untuk menunaikan sholat ashar berjamaah. Setelah itu para pejabat dan rombongan berarak
berjalan menuju jembatan Siak I yang merupakan lokasi puncak perayaan petang megang
dengan diiringi musik kompang atau alat kesenian melayu Riau.

Untuk mandi balimau sendiri, terdapat sebuah bak yang telah disediakan. Dalam bak
itu diisi bunga dan dedaunan tujuh rupa seperti daun nilam, serai wangi, mayang pinang,
irisan bunga rampai, dan lainnya yang dicampur dengan limau atau jeruk yang sudah
dipersiapkan. Kemudian secara bergantian para pejabat menyiramkan air yang sudah
dicampur bunga dan harum – haruman kepada sejumlah warga. Puncaknya, warga akan
tumpah ruah ke sungai untuk mandi bersama di sungai.

Kegiatan petang megang dapat dipercaya bisa mensucikan diri lahir dan batin dalam
menyambut bulan suci ramadan. Pada ritual ini terdapat 20 orang laki – laki dan perempuan
yang akan masuk kedalam sungai Siak. Tetapi tidak semua warga akan mandi bersama di
sungai Siak, Sebagian warga memilih menyaksikan dari atas jembatan. Karena selain menjadi
tradisi, petang megang merupakan salah satu destinasi wisata di Pekanbaru yang hanya ada
pada sehari sebelum puasa. Acara ini berakhir sebelum adzan magrib berkumandang.

Meskipun tradisi ini telah turun – temurun selama beratus tahun lamanya, ternyata
tradisi petang megang sempat menghilang pada tahun 1970-an. Namun pada tahun 1997,
tradisi ini kembali dihidupkan oleh beberapa tokoh masyarakat. Lalu pada tahun 2001, pemko
Pekanbaru memasukkan acara ini dalam agenda tahunan mereka.

Petang megang sendiri sangat dinantikan oleh masyarakat. Mereka kemudian


membuat beraneka ragam kue, serta masakan khas melayu yang dikemas dalam bentuk wadah
seperti tabak (khas Indragiri Hulu) yang diisi dengan telur dan makanan lainnya, kemudian
dihias sedemikan rupa dan diarak keliling hingga ke sungi Siak. Tradisi petang megang ini
tidak hanya dihadiri oleh masyarakat yang membaur di pinggiran sungai, namun juga dipadati
oleh masyarakat yang sekedar ingin menyaksikan acara tersebut dari dekat.

Pada era globalisasi seperti sekarang ini, dalam rangkaian prosesi ritual petang
megang tidak saja terlihat meleburnya masyarakat kota Pekanbaru yang heterogen, antara
orang kaya dengan orang miskin dan antara pemimpin dengan rakyat biasa, tapi juga terdapat
para pengunjung/wisatawan yang ingin melihat penyelenggaraan petang megang tersebut,
serta menyatunya nilai – nilai agama dan kultural dalam satu event. Dalam pelaksanaan
petang megang saat sekarang wisatawan yang datang tidak lagi tahu seperti apa sesungguhnya
acara pelaksanaan petang megang seperti dahulu. Tradisi petang megang pada saat sekarang
ini tidak lagi seperti zaman dahulu saat zaman kerajaan. Dahulu perayaan bertujuan untuk
melestarikan budaya, beda halnya saat sekarang event ini bertujuan untuk
ekonomi/pendapatan. Seperti diadakannya berbagai macam perlombaan dengan biaya
pendaftaran oleh siapa saja yang akan mengikuti perlombaan yang diadakan pada saat event
petang megang dilaksanakan. Alangkah baiknya masyarakat di era globalisasi sekarang ini
senantiasa melestarikan tradisi petang megang ini.
Namun, karena sungai sudah berubah warna akibat eksploitasi dan perambahan hutan,
pembangunan industri hulu pabrik perkebunan sawit, otomatis sungai Siak semakin tercemar.
Maka, konsep mandi belimau pada acara petang megang berubah haluan menjadi tradisi yang
dilakukan warga di rumah – rumah. Perubahan konsep ini akhirnya semakin lama semakin
hilang. Belum lagi, adat budaya ini sudah mulai dilupakan setelah empat generasi keturunan
orang melayu di wilayah pesisir. Adanya perkawinan silang antara suku lain, tentunya ini
memicu punahnya tradisi petang megang ini. Seperti seorang lelaki melayu menikahi
perempuan dari suku lain, membuat tradisi petang megang mulai punah. Tetapi, jika
perempuan asli melayu tentunya ini tetap dilakukan kepada suaminya yang berasal dari luar
melayu. Hilangnya tradisi ini membuat perubahan – perubahan acara petang megang yang
selama ini dilakukan di tepian sungai Siak, kini hanya bisa ditemui di setiap rumah – rumah
orang melayu.

Jadi, Petang megang atau mandi balimau merupakan ritual mandi bersama yang
dipercaya dapat membersihkan diri sebelum menyambut bulan suci Ramadhan oleh
masyarakat melayu Riau. Kebiasaan ini telah menjadi tradisi yang diwariskan secara turun-
temurun sejak zaman pemerintahan kerajaan Siak Sri Indrapura hingga saat ini. Seiring
berjalannya waktu, kebiasaan ini mulai mengalami perubahan. Meskipun tradisi/kebiasaan
petang megang ini sudah tidak lagi seperti dahulu, bahkan sudah jarang dijumpai, namun
sebagai masyarakat melayu Riau hendaknya tidak melupakan tradisi ini. Karena tradisi ini
mengandung nilai-nilai keagamaan dan juga kebudayaan tersendiri yang menjadi warisan bagi
masyarakat melayu Riau tersebut.

Anda mungkin juga menyukai