Anda di halaman 1dari 9

Online Journalistic Society : Melestarikan Tradisi Ceriak

Nerang Melalui Media Online

Topik : Upacara dan Perayaan Adat

Ditulis untuk mengikuti Lomba Karya Tulis Esai Kebudayaan Tahun 2020
BPNB Kep. Riau
Badan Pelestarian Nilai Budaya
Provinsi Kepulauan Riau

Disusun oleh :

SITI AGHNINA NURMAULIDIYAH


NISN / NIS : 0030793397 / 7169

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG


DINAS PENDIDIKAN SMAN 2 PANGKALPINANG
Jln. Kalamaya, Pangkalpinang, Prov. Kep. Bangka Belitung
Tlp : (0717) - 421279 Fax : 0717- 424967
Website : www.smadapkp.sch.id
Online Journalistic Society : Melestarikan Tradisi Ceriak Nerang Melalui Media
Online

Upacara adat atau ritual Ceriak Nerang dan Ceriak Nelem merupakan
suatu rangkaian acara yang dilaksanakan dalam satu hari pada waktu yang
berbeda. Ceriak Nerang artinya upacara pada waktu siang hari, sedangkan
Ceriak Nelem artinya upacara yang dilakukan pada malam hari. Adapula yang
mengatakan bahwa upacara adat atau ritual Ceriak Nelem dilakukan di siang
hari, sedangkan Ceriak Nerang dilakukan di malam harinya. Walaupun
demikian, upacara adat Ceriak Nerang dan Ceriak Nelem ini sama-sama
dilaksanakan di desa Kundi yakni pada bulan Februari setiap tahunnya.
Kata Ceriak Nelem bisa diartikan sebagai Naber Laut. Naber sendiri
berarti menawarkan, bisa juga berarti membersihkan. Jadi, Naber Laut memiliki
pengertian yaitu membersihkan laut dari segala kutukan penguasa alam gaib di
laut. Naber Laut bertujuan meminta keselamatan baik di darat, maupun di laut
bagi masyarakat setempat. Di samping mengungkap rasa syukur atas limpahan
rezeki yang telah di anugerahkan Tuhan Yang Maha Esa, baik hasil laut,
maupun ladang. Ceriak Nelem atau Naber Laut juga merupakan ajang
penyampaian nazar dan melunasi nazar yang sudah diniatkan sebelumnya,
sesuai dengan harapan yang sudah dikabulkan Tuhan Yang Maha Esa. Nazar
dibayar dalam bentuk uang, maupun ayam hidup dengan jumlah tidak
ditentukan. Hal ini sesuai dengan kemampuan, serta yang diniatkan masing-
masing yang bernazar.
Sebelum pelaksanaan Ceriak Nerang pada malam hari, pada siang
harinya dilaksanakan Naber Laut di tempat yang dikeramatkan masyarakat
Kundi yaitu Tanjung Tadah. Tanjung Tadah merupakan kawasan pantai dengan
gugusan batu karang yang artistik. Masyarakat menuju ke Tanjung Tadah sejak
pagi hari dengan menggunakan perahu motor yang biasa digunakan nelayan
setempat melaut. Pada saat ritual digelar, perahu - perahu berderet bersandar
di tepi Tanjung Tadah. Masyarakat yang jumlahnya ratusan sudah berkumpul
untuk mengikuti ritual Ceriak Nelem. Upacara adat dipimpin oleh seorang dukun
laut yang memahami seluk beluk kekuasaan alam gaib di laut. Diawali dengan
mempersiapkan properti upacara, seperti beras, kunyit, telur, ketan, lilin dari
madu asli, rokok dari tembakau yang digulung dengan daun, dan berbagai
kelengkapan lainnya, termasuk ayam hidup. Dukun yang memimpin Ceriak
Nelem atau Naber Laut memulainya tepat siang hari, saat matahari di atas
ubun -ubun kepala atau pukul 12.00 WIB. Berbagai sesajen diletakkan di atas
wadah di atas kayu Mentangor dengan menghadap ke laut, dan dukun
membacakan mantra. Beberapa saat dukun kesurupan, seketika itu terjadi
dialog antara dukun dengan penguasa alam gaib. Sementara itu, masyarakat
yang mengikuti Naber Laut dengan khikmad mendengarkan ucapan yang
keluar dari mulut dukun yang sedang berkomunikasi dengan penguasa alam
gaib. Dilanjutkan dengan menyerahkan nazar dari masyarakat oleh dukun
berupa uang, terdapat juga berupa ayam hidup. Uang dan ayam dilempar
dukun ke tengah-tengah masyarakat yang mengikuti ritual, sehinga terjadi
hiruk-pikuk masyarakat saling berebutan untuk mendapat ayam dan uang.
Sebagian ayam hidup yang merupakan nazar dari masyarakat, dan
diperuntukkan bagi penguasa laut dengan melepaskannya di Tanjung Tadah,
serta tidak diperbolehkan diambil masyarakat. Setelah ritual digelar, dukun
memberikan pelayanan pengobatan bagi warga yang sedang menderita sakit.
Rangkaian ritual ditutup dengan menuju lubang batu, berjarak sekitar sepuluh
meter dari tempat ritual Naber Laut atau Ceriak Nelem. Di lubang batu inilah
dukun meminta keselamatan bagi masyarakat desa Kundi, agar terhindar dari
gangguan dan halangan lainnya saat sedang mencari nafkah di laut maupun di
ladang. Pelaksanaan ritualnya sendiri selama sekitar satu setengah jam.
Puncak acara dari ritual atau upacara adat ini ialah Ceriak Nerang.
Ceriak sendiri dapat diartikan sebagai ceria atau bahagia. Nerang dapat
diartikan sebagai terang. Maksud dan tujuan Ceriak Nerang tidak berbeda
dengan Naber Laut, namun Ceriak Nerang lebih difokuskan kepada
keselamatan desa dari gangguan penguasa alam gaib. Selain, sebagai
manifestasi dari rasa syukur atas anugerah limpahan rezeki dari hasil panen
yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Sebelum dilaksanakan Ceriak Nerang,
dilakukan pengumpulan sumbangan sukarela dari masyarakat untuk kelancaran
pelaksanaan upacara. Khususnya, sumbangan yang diberikan yakni hasil
panen berupa beras. Selesai Ceriak Nelem atau Naber Laut, sore harinya
dibuat perlengkapan upacara untuk ritual Ceriak Nerang berupa miniatur kapal.
Pembuatan miniatur kapal yang dibuat satu keluarga secara turun-temurun
melakukan pembuatan miniatur kapal untuk ritual Ceriak Nerang yang terbuat
dari kulit kayu. Dahulu, mereka yang ditugaskan mencari kayu ke hutan
merupakan mereka yang melanggar adat yakni mendapat sanksi adat. Miniatur
kapal itu nantinya akan dipergunakan untuk meletakkan beras hasil panen yang
merupakan sumbangan masyarakat. Kapal dari kulit kayu itu berukuran panjang
satu meter dan kapal yang satunya lagi berukuran empat puluh sentimeter.
Ritual Ceriak Nerang dimulai dari balai desa Kundi. Seluruh dukun yang
ada di desa Kundi, baik dukun darat, maupun dukun laut berkumpul di balai
desa bersama masyarakat. Miniatur kapal memasuki balai desa, dilanjutkan
dengan mengisi kapal dengan beras hasil panen. Setelah seluruh beras
dimasukkan di dalam miniatur kapal, dukun pun membacakan doa. Selanjutnya,
ritual berlangsung di balai desa dengan diiringi musik yang dominan suara gong
dan gendang, masyarakat mengusung miniatur kapal ke kawasan hutan di
pinggir desa, yang disebut dengan Istana. Jarak antara balai desa dan Istana
sekitar lima ratus meter. Tiba di Istana, miniatur kapal diletakkan di atas empat
kayu penyangga yang terbuat dari kayu Mentangor setinggi sekitar satu meter.
Upacara adat Ceriak Nerang yang dimulai pada malam hari di hutan adat
(Istana) yang dipercaya warga sebagai tempat bernaungnya para leluhur
penjaga darat. Pembacaan doa pun dilakukan dukun yang memimpin ritual,
sehingga terdapat di antara para dukun yang berjumlah empat orang, salah
satunya mengalami kesurupan, dan dimasuki ruh nenek moyong yang sudah
meninggal dunia ratusan tahun lalu. Terjadi dialog antara dukun dengan ruh
nenek moyang. Terungkap adanya pesan-pesan yang baik, agar masyakarat
tidak melanggar ketentuan adat. Diharapkan dengan ritual yang digelar,
masyarakat desa Kundi dapat hidup tentram, damai, dan sejahtera. Selama
berlangsungnya ritual Ceriak Nerang, masyarakat mengikutinya dengan hening
dan khidmat. Selesai ritual di Istana, seluruh masyarakat yang mengikuti ritual
Ceriak Nerang kembali ke balai desa. Di balai desa, dukun kampung
memberikan pelayanan pengobatan bagi masyarakat yang mengidap berbagai
penyakit terutama untuk menghilangkan dari gangguan gaib. Puncak dari ritual
Ceriak Nerang, seluruh dukun di desa Kundi yang terlibat dalam ritual membuat
keputusan untuk keselamatan seluruh masyarakat, yang isinya antara lain :
dilarang masyarakat memotong berbagai jenis pohon satu hari setelah ritual
Ceriak Nerang; selama tujuh hari masyarakat tidak diperkenankan membunuh
binatang liar yang masuk ke kampung seperti ular, rusa, dan sebagainya; dan
para nelayan tidak diperkenankan mencetuskan keributan (berkelahi) saat
sedang menangkap ikan. Selama tiga hari masyarakat setempat tidak boleh ke
ladang melakukan penebasan hutan, dan tiga hari pula dilarang ke laut bagi
masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Diperhitungkan bahwa selama
tiga hari itu, udang dan ikan dapat bertelur tanpa diganggu oleh manusia.
Demikian juga hutan atau tumbuh-tumbuhan, dapat tegak dengan aman tidak
diganggu manusia. Tujuan tradisi ini adalah untuk keselamatan manusia, baik
sebagai peladang, maupun sebagai nelayan, serta lingkungan kampung dapat
hidup aman tentram.
Upacara adat Ceriak Nerang dan Ceriak Nelem dilakukan dan diikuti
oleh seluruh masyarakat di desa Kundi, Kecamatan Simpang Teritip,
Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Desa Kundi
kaya dengan seni dan budaya. Desa Kundi yang berjarak sekitar dua puluh lima
kilometer dari Muntok, selama ini terkenal sebagai salah satu lumbung hasil
perkebunan, pertanian, dan kelautan. Adat istiadat masyarakat Kundi yang
sudah turun temurun digelar yakni upacara adat Ceriak Nelem atau Naber Laut,
dan Ceriak Nerang. Menurut dukun Hasyim yang ada di desa Kundi, upacara
adat ini sudah dilaksanakan tujuh turunan dan tidak jelas kapan dimulainya.
Ritual Naber Laut dan Ceriak Nerang menguak tradisi adat di desa Kundi yang
ternyata di sana sudah sejak lama ada keberadaan pemangku adat yang
disebut dukun, adanya hukum adat, serta tanah adat yang disebut dengan
tanah kramat. Pada puji-pujian yang dipimpin tetua adat merupakan bentuk
syukur atas berkah hasil laut, kebun, sungai, dan hutan yang mereka dapatkan.
Selain itu, syair yang diungkapkan tetua adat merupakan petuah kepada
masyarakat setempat agar tidak melanggar atau serakah dalam mencari dan
memanfaatkan alam di sekitarnya. Karena, sebagian besar masyarakat desa
Kundi meyakini para leluhur juga memiliki andil besar dalam menjaga warga
setempat saat beraktivitas di laut atau di darat. Mereka juga percaya bahwa
para leluhur akan memberikan hukuman jika mereka melanggar larangan yang
telah dipercaya secara turun temurun.
Babel Review dalam jurnalnya ̶ sejarawan asal Bangka Belitung, Ahmad
Elvian kepada Babel Review ̶ mengungkapkan peran dukun dalam konteks
sejarah dan budaya. Elvian menuturkan, sebelum terbentuknya kerajaan-
kerajaan tradisional di Nusantara, masyarakat memilih pemimpin dengan
konsep Primus Inter Pares, sebuah konsep musyawarah mufakat dalam
masyarakat untuk memilih pemimpin. Biasanya, kriteria pemimpin yang dipilih
masyarakat wajib memiliki kemampuan supranatural yang tidak dimiliki oleh
masyarakat kebanyakan. Dalam perkembangan berikutnya, orang yang
memiliki kekuatan supranatural ini kemudian menjadi pemimpin informal oleh
kelompok masyarakat; diakui keberadaannya sebagai pemimpin oleh wilayah
lain; dan posisinya sejajar dengan pemimpin pemerintahan, seperti kepala
kampung yang disebut Gegading dan kepala dusun yang disebut Lengan.
Zaman terus berkembang, kehidupan masyarakat di Nusantara, khususnya di
Bangka Belitung mulai terbentuk lembaga adat di setiap kampung dan berdiri
pula balai adat. Lembaga adat itu secara garis besar terdiri dari dukun, ada
yang disebut dukun kampung, dukun hutan, dukun sungai, tokoh agama, dan
tokoh pemerintahan (Gegading atau Lengan). Dalam lembaga adat dukun
memiliki peran yang sangat besar, terutama terkait dengan pelestarian
lingkungan dan pantang larang; atau norma adat di kampung itu. Dukun juga
memiliki tugas menjaga wilayah kampung yang terdiri dari kampung
(pemukiman penduduk), hutan, dan sungai. Wilayahnya pun berbeda dengan
wilayah pemerintahan, wilayah dukun memiliki batas disebut riding yang
membatasi antar wilayah kekuasaan dukun satu dengan yang lain. Secara
informal dukun sangat dipatuhi oleh masyarakat, karena sebagai tokoh yang
dianggap dapat melestarikan alam dan pewaris adat istiadat kampung. Menurut
Elvian, peran dukun juga sangat besar dalam menjaga norma adat dan adat
istiadat, terutama budaya lokal yang terus mereka pertahankan. Dukun juga
memiliki keahlian dalam mengobati penyakit. Beberapa pelaksanaan upacara
adat seperti Ceriak Nerang, merupakan warisan norma adat agar lingkungan,
mata pencaharian, dan daur hidup bisa terus lestari.
Rustian Al Ansori dalam jurnalnya yang diunggah pada tahun 2018,
mengaku beberapa waktu lalu beliau pernah ke desa Kundi untuk melihat dari
dekat adat Ceriak Nelem (Naber Laut) dan Ceriak Nerang. Selang beberapa
tahun ini, beliau tidak lagi mendapat kabar mengenai keberadaan upacara adat
ini. Apakah masih dipertahankan ataukah sudah ditinggalkan? Karena tidak
terbaca lagi pemberitaan tentang Naber Laut dan Ceriak Nerang yang biasanya
diselenggarakan setiap tahun, beliau pun sudah lama tidak ke sana. Begitu pula
sudah dua tahun ke belakang ini, saya tidak lagi menemukan jurnal atau
mendengar kabar tradisi Ceriak Nerang ini terangkat ke generasi milenial,
khususnya generasi milenial yang ada di Bangka Belitung. Hal inilah yang
mendasari saya ingin kembali mengangkat tradisi Ceriak Nerang dalam
penulisan essay ini. Melihat masalah pelik ini, besar sekali harapan saya agar
dapat memberikan salah satu solusi dengan menerapkan dan mengaplikasikan
sebuah jurnal serupa online journalistic society di Indonesia. Online journalistic
society merupakan sebuah jurnal berbasis smartphone/gadget yang dapat
membantu generasi milenial memberikan dan mengetahui informasi mengenasi
tradisi Ceriak Nerang, khususnya.
Dewasa ini, generasi milenial berada di ambang pintu revolusi teknologi
yang secara fundamental akan mengubah cara hidup seseorang dan cara
seseorang bekerja satu sama lain dalam lingkup domestik, maupun mondial.
Ada satu hal yang paling menonjol dalam derap perubahan ini, yakni dunia
harus merespons perubahan tersebut dengan cara yang terintegrasi dan
komprehensif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Sekarang,
generasi milenial masuk ke satu tahapan revolusi industri yang dinamakan
revolusi industri 4.0. Dibanding generasi sebelumnya, generasi millenial
memang unik. Hasil riset yang dirilis oleh Pew Researh Center, misalnya
secara gamblang menjelaskan keunikan generasi millenial dibanding generasi-
generasi sebelumnya. Yang mencolok dari generasi milenial ini adalah soal
penggunaan teknologi dan budaya pop/musik. Budaya-budaya yang datang
dari luar dan secara global ini akan membuat dampak yang besar bagi budaya
dan tradisi di Nusantara. Ini membahayakan jika terus terjadi di generasi
milenial, salah satu dampaknya adalah pudarnya tradisi yang ada di Indonesia,
khususnya tradisi Ceriak Nerang. Jika terus seperti ini, maka generasi
Indonesia berikutnya tidak akan mengetahui budaya dan tradisi yang ada di
Indonesia, seperti Ceriak Nerang. Semua itu bisa dilakukan oleh generasi
milenial di dalam genggamannya, apa yang dibutuhkan akan segera didapat
tanpa harus keluar rumah, bahkan hanya berbaring saja di atas kasur.
Umumnya, generasi milenial kini menggunakan media online untuk mengakses
informasi. Pejabat, tukang ojek, bahkan pedagang kaki lima saja memiliki
ponsel yang setidaknya dapat mengakses informasi yang dimudahkan oleh
adanya internet. Kini, semua orang diberi kebebasan untuk memberikan
opininya di berbagai situs media online yang memang tersedia (Facebook,
Twitter, Instagram, dll) dan mudah untuk diakses. Bahkan karena kemudahan
dan banyaknya orang yang dapat mengakses situs tersebut, media online kini
digunakan salah satunya oleh aktor politik untuk menyampaikan pendapat atau
pernyataannya yang dapat mempengaruhi pemikiran khalayak pada umumnya.
Dengan kemudahan yang didapatkan secara global, dapat mengikis tradisi
generasi milenial yang lebih cenderung memilih instan dan menirukan tren yang
ada di dunia. Dari sini juga, akan membukakan pemikiran generasi milenial
bahwa tradisi seperti Ceriak Nerang itu ialah hal yang primitif dan ketinggalan
zaman. Padahal, itu salah satunya tradisi yang dimiliki Indonesia yang
kemudian akan diwariskan ke generasi penerus yaitu generasi milenial ini,
mengingat tradisi itu yang mulai meredup.
Kemajuan yang sangat masif di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
mempunyai dampak yang besar dalam sistem komunikasi di generasi milenial.
Mulai dari penerimaan sebuah informasi hingga penyebarannya; arus
perputaran sebuah informasi tersebut sangat cepat. Pertukaran informasi dari
tempat yang jauh pun, semakin mudah. Hal ini tidak bisa dihindari karena
kemajuan teknologi dan komunikasi seperti smartphone/gadget, hingga
penggunaan internet yang semakin merata. Untuk mengakses itu semua,
dibutuhkannya koneksi internet yang memadai. Internet kini sangat dijunjung
tinggi oleh generasi milenial. Mengapa demikian? Karena internet tak hanya
berfungsi sebagai penyedia informasi semata. Dengan internet, kita bisa
menjadi penyedia informasi itu sendiri. Internet yang menjadi sorotan saat ini
justru dimanfaatkan oleh sebagian generasi milenial sebagai sarana
mengekspresikan diri. Media sosial merupakan ‘mainan’ baru nan
menyenangkan bagi generasi milenial. Di tengah kecanggihan teknologi dari
arus globalisasi ini, generasi milenial justru memanfaatkan hal tersebut sebagai
sarana memenuhi kebebasan, kepuasan, serta kesenangan semata. Dengan
demikian, harapan saya terhadap generasi milenial agar bisa memanfaatkan
sosial medianya sebagai sarana tunjuk ekspresi untuk menerapkan dan
mengaplikasikan online journalistic society ke dalam media sosial seperti
Instagram. Instagram jika dimanfaatkan dengan baik oleh generasi milenial bisa
membuka peluang untuk melestarikan tradisi Ceriak Nerang, khususnya.
Banyak yang bisa generasi milenial manfaatkan dari Instagram. Salah satunya
ialah mengunggah video atau foto liputan tradisi Ceriak Nerang beserta
deskripsinya di caption yang tersedia dalam bentuk jurnal. Wowfakta salah satu
akun Instagram yang banyak digandrungi generasi milenial karena selalu
menampilkan berbagai info penting, hal yang viral, dan lain sebagainya di mana
memberi pengetahuan lebih bagi pengikutnya. Namun sangat disayangkan,
akun Instagram seperti wowfakta sendiri hanya memposting hal-hal yang
sangat global. Di era revolusi industri 4.0 sekarang ini, masih minim
ditemukannya akun Instagram yang membagikan postingan tentang tradisi
yang ada di Indonesia, khususnya Ceriak Nerang.
Generasi milenial sendiri adalah terminologi generasi yang saat ini
banyak diperbincangkan oleh banyak kalangan dunia di berbagai bidang.
Millennials (juga dikenal sebagai Generasi Milenial atau Generasi Y) adalah
kelompok demografis (cohort) setelah Generasi X. Peneliti sosial sering
mengelompokkan generasi yang lahir di antara tahun 1980-an sampai 2000-an
sebagai generasi millenial. Jadi, bisa dikatakan generasi milenial adalah
generasi muda masa kini yang saat ini berusia di kisaran 15 – 34 tahun.
Maka, apa salahnya jika generasi milenial membuka peluang besar ini
sebagai ajang untuk mereka berkreasi dengan karya-karya yang kreatif,
inovatif, serta solutif dalam menghadapi era revolusi industri 4.0. Cukup
mengandalkan keterampilan mengolah sosial media dan gadget yang ada,
generasi milenial sudah bisa berkontribusi membagikan sesuatu yang
bermanfaat bagi khalayak untuk dibaca dan ditayangkan dalam upaya
melestarikan tradisi Ceriak Nerang, khususnya. Online journalistic society
menciptakan dan membuka peluang kerja bagi generasi milenial dalam bidang
online journalistic society yang berkiprah di dunia industri kreatif di era revolusi
industri 4.0. Perkembangan teknologi yang terus terjadi, mendorong generasi
milenial harus terus beradaptasi terhadap teknologi yang terus menerus
berkembang. Revolusi industri 4.0 ditandai dengan Big data, IoT, dan artificial
intelligence (AI) yang menopang kehidupan generasi milenial ini. Peran
manusia terus tergantikan dengan robot-robot cerdas dalam melakukan suatu
pekerjaan, dengan latar belakang inilah maka online journalistic society harus
diwujudkan. Menerapkan online journalistic society artinya menerapkan
masyarakat (generasi milenial) jurnalis pada media online seperti website, blog,
forum, sosial media, atau media-media online lainnya. Sama seperti jurnalistik
konvensional, jurnalistik online juga harus menaati kode etik wartawan, dan
melakukan tugas-tugas jurnalis pada umumnya.
Jurnalistik online adalah proses pengumpulan, penulisan, penyuntingan,
dan penyebarluasan berita secara online di internet juga harus siap dan bisa
mempertanggungjawabkan informasi tersebut.. Jurnalistik online merupakan
jurnalis generasi ketiga. Jurnalistik generasi pertama adalah jurnalistik cetak
(koran, majalah). Jurnalistik generasi kedua adalah jurnalistik elektronik (radio,
televisi). Indonesia mulai mengenal jurnalistik online pada tahun 1990-an akhir.
Hal ini dibuktikan dengan adanya situs dari Republika Online pada tahun 1994
dan Tempo Interaktif pada tahun 1996. Kemudahan mengakses informasi
dengan menggunakan internet telah mengubah tatanan media di Indonesia
dalam menyebarkan informasi atau berita.
Menurut Paul Bradshaw, ada lima prinsip dasar online journalistic society
yang disingkat dengan BASIC, yaitu : brevety (ringkas); adaptabillity (mampu
beradaptasi); scannabillity (dapat dipindai); interactivity (interaktivitas); dan
community and conversation (komunitas dan percakapan). Seiring dengan
perkembangan internet sebagai media komunikasi, online journalistic society
dituntut untuk memiliki berbagai keahlian. Bukan hanya mahir menulis, namun
juga mengolah foto/ video, dan menguasai dasar-dasar HMTL. Berikut
keahlian-keahlian yang harus dimiliki online journalistic society seperti ditulis
dalam ‘Advancing The Story’, sebagai berikut : mampu menulis dan mengedit
skrip berita/ infomasi; mampu melakukan manajemen project; memiliki keahlian
blogging; mampu mendesain tampilan antarmuka laman; mampu memproduksi
video; mampu melakukan administrasi dan organisasi staf; dapat
menggabungkan cerita dalam bentuk tulisan-tulisan pendek; dapat melaporkan
dan menulis berita original; serta dapat melakukan editing foto/ gambar.
Adapun karakteristik dari online journalistic society, antara lain :
1. Produksi berita online lebih mudah dan murah ketimbang produksi berita
cetak dan elektronik.
2. Memungkinkan semua orang menjadi wartawan/memproduksi dan
menyebarluaskan informasi.
3. Tidak mengenal deadline. Berita dapat dipublikasikan, diedit kapan, dan di
mana saja.
4. Berita tersebar dengan cepat melalui internet.
5. Sirkulasi media/berita online bisa menjangkau seluruh dunia.
6. Banyak elemen yang bisa ditambahkan untuk melengkapi sebuah berita,
seperti video, kotak komentar, gambar bergerak, hyperlink, berita terkait,
dan sebagainya.
7. Kesalahan dalam berita atau artikel dapat dengan mudah dikoreksi dan di-
update.
8. Online journalistic society tidak membutuhkan banyak karyawan, bahkan
bisa dilakukan sendiri.
Banyak keuntungan yang didapatkan oleh generasi milenial dengan
mengkampanyekan online journalistic dalam melestarikan tradisi Ceriak
Nerang, di antaranya : generasi milenial bisa mengenal lebih jauh tradisi Ceriak
Nerang; generasi milenial bisa kembali melestarikan tradisi Ceriak Nerang
dengan ikut berkiprah saat pelaksanaan tradisi Ceriak Nerang; generasi
milenial bisa membagikan pengalaman dan pengetahuannya kepada generasi
Z; dan yang paling menguntungkan dari online journalistic society
memungkinkan berita tradisi Ceriak Nerang tersimpan dan dapat diakses
kembali dengan mudah oleh generasi milenial kapan saja, dan dimana saja
selama 24 jam non stop. Tujuan dari online journalistic society dalam
melestarikan tradisi Ceriak Nerang tersebut adalah untuk mendorong siapapun
pengguna media online supaya bisa memberikan gambaran dan informasi
mengenai tradisi Ceriak Nerang. Sehingga, semakin banyak generasi milenial
yang tahu mengenai tradisi Ceriak Nerang, khususnya. Maka, harapan saya
semakin banyak pula generasi milenial yang dapat menyayangi dan menjaga
warisan yang memang sudah diberikan oleh para leluhur kita terdahulu, seperti
tradisi Ceriak Nerang ini. Menjaga atau melestarikan budaya adalah sesuatu
hal yang sudah seharusnya kita generasi milenial lakukan. Tetapi memang sulit
sekali diterapkan oleh banyak generasi milenial, karena sudah bergesernya
‘nilai’ atau arti dari budaya itu sendiri. Selama ini, banyak yang salah
mengartikan budaya hanya sebatas pada benda-benda kuno, tari-tarian, atau
segala sesuatu yang dianggap ketinggalan zaman, dan tidak relevan sama
sekali untuk kehidupan masa modern saat ini. Anggapan itulah yang harus kita
luruskan dan kembalikan makna budaya atau tradisi yang sesungguhnya
melalui media digital dengan menerapkan dan mengaplikasikan online
journalistic society di kehidupan nyata di negeri kita yang tercinta ini. Kekuatan
online journalistic society bisa dibilang cukup berpengaruh untuk sebuah
pergerakan. Karena, online journalistic society dalam media online bisa dilihat
dari masyarakat belahan dunia manapun. Jika semakin banyak orang
membicarakan hal tersebut melalui tulisan yang kita unggah, maka akan
semakin sering pula orang-orang melihatnya. Artinya, semakin banyak orang
yang akan penasaran dan mencari tahu ada apa di balik informasi ̶ tradisi
Ceriak Nerang, khususnya ̶ melalui online journalistic society tersebut.
Dengan adanya online journalistic society, saya harapkan semoga
generasi milenial masih tetap melestarikan tradisi Ceriak Nerang, khususnya.
Keberadaan upacara adat ini, semakin menambah kaya sajian wisata di
Bangka Belitung dalam upaya meningkatkan kunjungan wisata. Selain itu,
sebagai referensi yang mungkin ada yang belum pernah tahu. Tradisi Ceriak
Nerang dan Ceriak Nelem mengandung kearifan alam yang tinggi dan
merupakan identitas masyarakat setempat dalam mempertahankan ritual
Ceriak Nerang sebagai khasanah budaya lokal. Seperti halnya Bali, yang kaya
dengan adat istiadat dan pernik budaya, telah membuktikan daerah ini banyak
diminati wisatawan untuk menikmati keindahan alam dan keunikan seni budaya
setempat. Mengingat wisatawan datang ke suatu daerah untuk mencari
keunikan, yang di daerahnya sendiri tidak dimiliki. Keunikan itu, ada pada tradisi
Ceriak Nerang dan Ceriak Nelem. Upacara adat ini merupakan aset wisata
yang bernilai tinggi dan dapat memikat wisatawan untuk berkunjung ke Bangka
Barat. Ritual yang unik tersebut selayaknya terus lestari sebagai bagian dari sisi
keunikan wisata budaya di Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung. Online journalistic society dalam melestarikan tradisi Ceriak
Nerang melalui media online adalah dari generasi milenial, oleh generasi
milenial, dan untuk generasi milenial itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai