Anda di halaman 1dari 4

Perang Ketupat

Perang ketupat merupakan adat istiadat yang paling terkenal di kalangan masyarakat luas di
Bangka Belitung yang berasal dari Bangka Barat. Adat perang ketupat ini hanya dilakukan oleh
masyarakat Tempilang. Berdasarkan penelusuran data di lapangan dari beberapa informan,
biasanya menjelang pelaksanaan upacara adat perang ketupat akan di lakukan, masyarakat
setempat bergotong royong untuk membersihkan pekarangan rumah, selokan, masjid, dan juga
melakukan pembuatan hiasan di balai gegading di sekitarnya yang dilengkapi dengan tempat
duduk yang terbuat dari bahan baku yang berjenis mentangor putih.
Perang ketupat merupakan tradisi masyarakat Tempilang yang dapat dikatakan sebagai upacara
pembersihan kampung dari segala macam malapetaka. Jika dilihat dari rentetan ritual
pelaksanaan perang ketupat yang terdiri dari lima tahapan yakni penimbong, ngancak, perang
ketupat, nganyot perae, dan taber kampong yang ditujukan agar terjadi keseimbangan
harmonisasi kehidupan antara makhluk hidup dengan alam sekitarnya.
Kelima tahapan yang disebutkan tadi memiliki tata cara pelaksanaan masing-masing. Adapun
tata cara dari kelima tahapan ini dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Penimbong
Penimbong merupakan ritual untuk memberikan makanan (sesajen) kepada makhluk halus yang
dipercaya menguasai daratan. Menurut pengakuan masyarakat setempat, makhluk halus yang
tergolong berjenis berkelakuan baik diyakini sebagai penjaga masyarakat kampung dari serangan
makhluk halus yang jahat yang berasal dari daerah lainnya, di luar desa Tempilang.
Pada malam hari, tiga dukun yang berasal dari Tempilang, yang terdiri dari seorang dukun laut,
seorang dukun darat, dan seorang dukun paling tua dan senior berkumpul dan melakukan ritual
penimbong. Secara bergantian, ketiga dukun tadi memanggil roh-roh di Gunung Panden, yaitu
Akek Sekerincing, Besi Akek Simpai, Akek Bejanggut Kawat, Datuk Segentar Alam, Puteri Urai
Emas, Puteri Lapek Panden, serta makhluk yang bermukim di Gunung Mares, yakni Sumedang
Jati Suara, dan Akek Kebudin. Ketika upacara Penimbong dilakukan, biasanya diikuti oleh tarian
Campak, tari Serimbang, tari Kedidi, dan tari Seramo.
b. Ngancak
Ngancak merupakan ritual untuk memberikan makanan kepada makhluk halus yang bermukim
di wilayah laut, yang diwakilkan oleh buaya laut. Ngancak dilakukan setelah ritual Penimbong
usai menjelang tengah malam, ketiga dukun tadi berkumpul kembali untuk memulai ritual
Ngancak ini. Dengan menggunakan empat batang lilin yang dinyalakan, dukun laut mulai
mengambil perannya dengan membaca mantra-mantra untuk memanggil makhluk halus
penunggu laut diantara bebatuan tepi pantai Pasir Kuning. Upacara Ngancak juga dilengkapi
dengan sesajen yang merupakan makanan kesukaan siluman buaya, yakni buk pulot (nasi ketan),
telur rebus dan pisang rejang.
c. Perang Ketupat
Menjelang pagi hari setelah pelaksanaan Ngancak dilakukan, dukun laut dan dukun darat
kembali berkumpul untuk merapalkan mantra di depan wadah yang berisi 40 buah ketupat dan
berdoa kepada yang maha kuasa agar upacara dilindungi dari segala bencana. Ketika prosesi
pembacaan mantra dilakukan, tiba-tiba dukun darat tidak sadarkan diri dan terjatuh. Melihat
kondisi ini kemudian dukun laut menolongnya dengan membaca beberapa mantra hingga dukun
darat sadar kembali. Menurut informasi yang didapatkan, ketika dukun darat tidak sadarkan diri,
ini merupakan proses dimana dukun darat sedang berkomunikasi langsung dengan roh halus.
Setelah dukun darat kembali sadar maka dukun darat menyampaikan pesan kepada masyarakat
agar tidak melakukan pantangan seperti melaut, menjemur pakaian di pagar, mencuci kelambu
dan cincin di sungai atau di laut, bertengkar, berpacaran, bersiul sekampung-kampung, serta
menjuntaikan kaki dari sampan ke laut selama tiga hari berturut-turut.
Setelah semua ritual dilakukan, kedua dukun tadi menata ketupat yang disediakan di atas sehelai
tikar pandan dengan komposisi 20 buah menghadap ke laut dan 20 buahnya lagi menghadap ke
darat. Setelah ketupat tadi diposisikan ke arah yang tepat, selanjutnya sang dukun memisahkan
peserta (pemuda) yang menjadi bagian dari ritual ini ke dalam dua kelompok yang masing-
masing menghadap ke laut dan darat untuk mewakili wilayah laut dan darat.
Ketika sudah berada dalam posisi yang tepat, kedua sang dukun tadi masing-masing mulai saling
melempari ketupat tersebut yang kemudian diikuti oleh peserta lainnya. Terkait dengan
pelaksanaan perang ketupat yang memiliki makna spiritual seperti yang telah disebutkan tadi,
perang ketupat sekaligus merupakan hiburan bagi masyarakat lokal. Menurut pengakuan Bapak
Keman, perang ketupat merupakan peristiwa untuk memperingati wafatnya nenek moyang atau
leluhur masyarakat setempat yang telah berjasa mendirikan dan menyelamatkan kampung. Pada
mulanya, memasuki bulan syakban yang ketika itu berbarengan dengan panen padi, masyarakat
lokal berbondong-bondong membawa makanan ke Benteng yang terdapat di Tempilang untuk
mengenang nenek moyang yang sudah meninggal. Setelah membacakan doa dan mengheningkan
cipta tanpa disengaja beberapa anggota masyarakat saling melempari ketupat ke satu sama
lainnya. Karena peristiwa saling melempar ketupat ini menimbulkan kelucuan masyarakat pun
setelah bersedih kemudian tertawa. Karena adanya kelucuan yang disebabkan oleh perang
ketupat ini maka selanjutnya masyarakat menjadikannya sebagai bagian dari ritual penghormatan
nenek moyang. Oleh karenanya, menurut pengakuan Bapak Keman, perang ketupat menjadi
hiburan bagi masyarakat lokal yang sedang bersedih karena ditinggalkan oleh nenek moyangnya.
d. Nganyot Perae
Setelah perang ketupat dilaksanakan, selanjutnya adalah menjalankan ritual Nganyot Perae
(menghanyutkan perahu mainan yang terbuat dari kayu). Nganyot Perae dimaksudkan untuk
mengantar para makhluk halus yang dipanggil oleh sang dukun tadi kembali pulang ke tempat
asalnya agar tidak mengganggu masyarakat setempat.
e. Taber Kampong
Selanjutnya, setelah Nganyot Perae dilaksanakan, bagian penutup dari serentetan ritual
masyarakat Tempilang tadi adalah melakukan Taber Kampong. Taber Kampong merupakan
ritual menabur kampung dengan air tabor dan pinang yang tentu saja sudah melalui proses
pembacaan mantra oleh sang dukun agar seluruh anggota masyarakat di Tempilang terhindar dari
bencana dan malapetaka selama setahun kemudian.
Berdasarkan informasi yang didapatkan, perang ketupat ini biasanya dilakukan setahun sekali
menjelang bulan ramadhan tiba. Perang Ketupat di lakukan di Pantai Pasir Kuning, Desa
Tempilang Kecamatan Tempilang.
Jika dilihat secara keseluruhan dari setiap aspek pelaksanaan upacara adat perang ketupat secara
umum memberikan pesan untuk menjaga hubungan yang harmonis dan damai bagi setiap
makhluk hidup, baik yang nyata maupun yang gaib. Bahkan Bapak Keman dengan tegas
mengatakan bahwa tujuan dari dilaksanakannya perang ketupat untuk memberikan keselamatan
dan menghindari peperangan. Sebuah kehidupan yang damai merupakan pesan penting dari
dilaksanakannya adat Perang Ketupat.
Berdasarkan apa yang telah diilustrasikan, kita sebagai ahli waris tentu saja memiliki kewajiban
dan kesadaran diri yang tinggi untuk menjaga tradisi leluhur yang kaya dengan pesan-pesan
moral bagi keselamatan dalam kehidupan mendatang. Oleh karenanya, semua pihak, masyarakat
dan pemerintah daerah harus bergandengan tangan untuk menyelamatkan segala tradisi yang
dimiliki.

Anda mungkin juga menyukai