ABSTRAK
Tradisi unik yang dimiliki oleh Desa Adat Kapal adalah Tradisi Aci Rah Pengangon atau
lebih dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Tradisi Perang Tipat Bantal. Berdasarkan hasil
wawancara, Perang Tipat Bantal atau Aci Rah Pangangon adalah bentuk ungkapan syukur dalam
pemujaan kemakmuran oleh masyarakat subak Desa Adat Kapal. Ungkapan syukur dilaksanakan
dengan mempertemukan kedua unsur simbolik sumber kemakmuran, yaitu tipat (unsur
perempuan/feminim) dan bantal (unsur laki-laki/maskulin). Keduanya dipertemukan di udara
sebagai sebuah sanggama rohani mencipta benih kemakmuran jatuh dan dikandung oleh bumi
sebagai ibu pertiwi. Kutipan lontar Aci Rah Pangangon milik Bapak I Ketut Sudarsana tersebut,
menunjukkan bahwa sarana pokok dalam pelaksanaan Aci Rah Pangangon adalah tipat dan bantal
yang dalam lontar disebutkan dengan kupat lawan wantal, maka penggarap menuangkan karya
seni karawitan Kupat Wantal menggunakan media ungkap dua barungan gamelan selonding
sebagai media pokok dan beberapa instrumen tambahan. Struktur garapan ini terdiri dari tiga
bagian, yaitu pangawit, pangawak, dan pangecet. Kupat Wantal berbentuk karya seni karawitan
inovasi dengan memberikan nuansa religi, menggunakan teknik-teknik komposisi dan mengolah
unsur-unsur karawitan seperti melodi, ritme, tempo, dan dinamika. Karya seni karawitan Kupat
Wantal dipentaskan secara konser pada panggung gedung Natya Mandala Institut Seni Indonesia
Denpasar, dimainkan oleh sepuluh pemain gamelan selonding, delapan pemain instrument suling,
empat pemain instrumen kendang, satu pemain kecek, satu pemain kajar trenteng, dan satu pemain
gong lanang dan wadon maka, jumlah pemain sebanyak dua puluh lima orang termasuk penata
yang memiliki spesialis memainkan kendang dengan durasi waktu 12 menit.
ABSTRACT
Unique tradition that is owned by the Village People is the tradition of Aci Rah Boats
Pengangon or better known by local people as a tradition Tipat War Pillow. Based on the
interview, Tipat War Pangangon Pillow or Aci Rah is a form of gratitude in the worship of
prosperity by society Subak Ship Indigenous Village. Gratitude implemented to bring the two
elements of the symbolic source of prosperity, that tipat (elements female / feminine) and pillows
(elements male / masculine). Both are reunited in the air as a spiritual copulation creating the seed
of prosperity falls and conceived by the earth as motherland. Excerpts ejection Aci Rah Pangangon
owned by Mr. I Ketut Sudarsana demonstrates that the principal means in the implementation of
Aci Rah Pangangon is tipat and pillows were in Lontar with kupat opponent wantal, then tenants
pouring works of musical arts Kupat Wantal using the media said two barungan gamelan
Selonding as Mainstream media and some additional instruments. This structure consists of three
parts, namely kawitan, pengawak, and pengetak. Wantal kupat artwork shaped musical innovation
by providing religious nuance, using the techniques of composition and processing of musical
elements such as melody, rhythm, tempo, and dynamics. Works of musical arts Kupat Wantal
performed in concert on the stage of the building Natya Mandala Institut Seni Indonesia Denpasar,
played by ten players gamelan Selonding, six players instrument flute, four players of instruments
drums, one player gup, one player Kajar trenteng, and one player hanging gongs and Gentorag
then, the number of players as many as twenty-three people including stylist who has a specialist
to play drums with a duration of 12 minutes.
PENDAHULUAN
Desa Adat Kapal adalah salah satu desa tradisional di Bali yang kaya akan
keunikan tradisi dan budaya. Salah satunya adalah tradisi Aci Rah Pengangon atau yang
lebih dikenal oleh masyarakat setempat sebagai tradisi Perang Tipat Bantal.
Perang Tipat Bantal merupakan tradisi tua yang diwariskan oleh tetua-tetua Desa
Adat Kapal sebagai masyarakat agraris pada jamannya. Kondisi lingkungan, tanah yang
subur, masyarakat yang tekun dan ulet menggarap persawahan menjadikan keadaan
masyarakat Desa Adat Kapal pada jamannya maju dalam pertanian. Melimpahnya hasil
panen memenuhi setiap lumbung padi di setiap pekarangan perumahan petani. Mayoritas
masyarakat Desa Adat Kapal pada jamannya bergelut dalam dunia pertanian dan menjadi
petani unggul dengan hamparan persawahan yang luas.
Penduduk Desa Adat Kapal yang mayoritas bergelut dalam dunia pertanian,
mewariskan banyak tradisi ritus pemujaan terhadap kesuburan sebagai sumber
kemakmuran. Persawahan adalah kunci kemakmuran karena dalam proses bertani semua
unsur alam dijaga, dipelihara, dan dihidupkan sesuai peran dan fungsinya. Dimulai dari
merawat tanah, sumber air, tanaman penunjang, sampai pada keberlangsungan semua itu
dirawat dan disentuh langsung oleh petani. Kompleksnya komponen-komponen yang
dirawat oleh petani sebagai perannya penggerak kemakmuran kemudian berpengaruh
pada religius. Ritual persembahan dan pemujaan terhadap kemakmuran pun berlanjut di
persawahan sebagai pelaku utamanya adalah petani.
Aci Rah Pengangon atau yang lebih dikenal dengan Perang Tipat Bantal adalah
salah satu ritus pemujaan terhadap kesuburan. Upacara ini dilakukan setiap setahun sekali
tepatnya dalam rentangan Oktober mengikuti kondisi aktifitas persawahan. Pelaku utama
dalam tradisi ini adalah petani di lingkungan Desa Adat Kapal, namun belakangan
pelaksanaannya sudah melibatkan Krama Desa Adat Kapal dalam pelaksanaannya dengan
dasar pemikiran bahwa semua yang hidup sekalipun tidak berprofesi sebagai petani dapat
hidup dari beras dan hasil olahan persawahan. Oleh sebab itu, seluruh masyarakat Desa
Adat Kapal diperankan sebagai pelaku dalam tradisi ini.
Pada mulanya, petani Desa Adat Kapal sangat ulet menggarap sawah tekun
dalam bekerja dan bhakti kepada Dewi Kesuburan. Namun, dalam perjalanannya kondisi
di persawahan paceklik panen, hasil persawahan menurun. Keadaan yang demikian
mengakibatkan kebimbangan, sebab cadangan makanan menipis sebagai akibat gagal
panen. Pada saat yang bersamaan Patih Bali pada masanya Ki Kebo Taruna/Kebo Iwa
sedang berada di Desa Adat Kapal untuk merestorasi Pura Purushada atas perintah Raja
Bali yaitu Asta Sura Ratna Bhumi Banten. Ki Kebo Iwa terketuk dan iba akan keadaan
masyarakat melarat kekurangan pangan.
Bersamadilah Kebo Iwa memohon petunjuk di Pura Purushada akan
permasalahan tersebut dan pemecahannya. Dalam samadhi, terdengarlah suara awang-
awang yang tiada lain adalah sabda Ida Bhatara di Pura Purushada dalam prabawa Beliau
sebagai Sanghyang Pasupati bersama Dewi Uma yang disebut Sanghyang Druwe Rsi.
Dalam sabda tersebut diwejangkan agar masyarakat Desa Kapal melaksanakan pemujaan
terhadap sumber kemakmuran dengan sarana ketupat (tipat) dan jajanan bantal.
Keduanya adalah simbul kekuatan purusha (maskulin/bantal) dan predhana
(feminim/ketupat) dipertemukan di udara sebagai bentuk sanggama rohani memuja
kesuburan dan menghasilkan benih maha utama di persawahan. Proses pertemuan
purusha predhana ini dilakukan di depan Dhalem Gelgel yaitu di Pura Desa Adat Kapal.
Atas dasar wejangan tersebut, maka patih Ki Kebo Iwa memerintahkan
pelaksanan pemujaan yang dikenal dengan Aci Rah Pengangon tersebut kepada
masyarakat Desa Adat Kapal. Dengan penuh rasa bakti dan ketekunan bertani untuk
pertama kalinya dilaksanakan pada Isaka 1263 atau tahun 2341 Masehi. Sejak saat itu,
kondisi persawahan mulai membaik dan makin membaik masyarakat tidak kekurangan
sandang pangan. Tradisi Aci Rah Pengangon atau Perang Tipat Bantal secara rutin
digelar dan tidak berani untuk dilewatkan.
Sejarah singkat pelaksanaan tradisi Perang Tipat Bantal tersebut di atas juga
ditelusuri keberadaannya melalui wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat. Salah
satunya adalah Bapak I Ketut Sudarsana. Berdasarkan wawancara dengan Bapak I Ketut
Sudarsana selaku Kelihan Desa Adat Kapal, tanggal 8 Desamber 2016 di kediaman beliau
Br. Basangtamiang, Desa Adat Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung
menyatakan bahwa:
Tradisi Perang Tipat Bantal berkaitan erat dengan kehidupan pertanian
masyarakat Desa Adat Kapal, dimana tradisi ini dilaksanakan sebagai rasa syukur
kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas kehidupan yang diciptakan-Nya, serta
berlimpahnya hasil panen di desa ini. Tradisi Aci Rah Pengangon dilaksanakan
setiap bulan keempat dalam penanggalan Bali (sasih kapat) sekitar bulan
September-Oktober. Pelaksanaannya diwujudkan dalam bentuk Perang Tipat
Bantal. Tipat atau ketupat adalah olahan makanan yang terbuat dari beras yang
dibungkus dalam ulatan atau anyaman janur/daun kelapa yang masih muda dan
berbentuk segi empat, sedangkan bantal adalah penganan yang terbuat dari beras
ketan, yang juga dibungkus dengan janur namun tidak dianyam seperti halnya
tipat, serta berbentuk bulat lonjong. Dua hal ini adalah simbolisasi dari
keberadaan energi maskulin dan feminim yang ada di semesta ini, dimana dalam
konsep Hindu disebut sebagai purusha dan predhana. Pertemuan kedua hal inilah
dipercaya memberikan kehidupan pada semua makhluk di dunia. Segala yang
tumbuh dan berkembang baik dari tanah (tumbuh), bertelur maupun dilahirkan
berawal dari pertemuan purusha dan predhana.
Artinya:
Kutipan lontar Aci Rah Pangangon milik Bapak I Ketut Sudarsana tersebut di
atas, menunjukkan bahwa sarana pokok dalam pelaksanaan Aci Rah Pangangon adalah
tipat dan bantal yang dalam lontar disebutkan dengan kupat lawan wantal. Lontar ini
menjelaskan secara jelas tentang latar belakang diadakannya upacara Perang Tipat Bantal
dengan sarana upacara pokoknya berupa tipat dan bantal.
Dari tradisi Perang Tipat Bantal tersebut mucul ide menarik yang dapat diangkat
menjadi judul garapan. Kata kupat dan wantal dalam Lontar Aci Rah Pengangon tersebut
di atas, sudah mewakili ritual upacara tersebut secara keseluruhan. Berdasar pada hal
tersebut, maka kupat wantal dipilih sebagai judul garapan ini dengan harapan dari kata
kupat wantal sudah mampu mewakili penggambaran secara simbolik tradisi Perang Tipat
Bantal secara unik dengan permainan konsonan berupa pergeseran konsonan dari tipat
menjadi kupat dan dari bantal menjadi wantal. Keduanya, kupat wantal mengesankan
sebuah bentuk penghormatan dengan nilai rasa lebih halus dibandingkan dengan tipat
bantal.
Ide tradisi unik serta bentuk dari tipat dan bantal tersebut, penata mencoba
menuangkannya ke dalam garapan komposisi karawitan Bali dengan menggunakan
gamelan selonding sebagai media pokok. Gamelan selonding merupakan gamelan yang
termasuk dalam golongan tua yang berlaraskan pelog tujuh nada dengan mempergunakan
lima nada pokok dan dua nada yang lain disebut penyorog dan pemero yang
keseluruhannya berbentuk bilah (Tusan, 2001:472). Berdasar pada pandangan Tusan
tersebut maka dapat diketahui bahwa jenis barungan gamelan selonding tergolong ke
dalam barungan gamelan kuno Bali. Selanjutnya juga disebutkan dalam Tusan, bahwa
gamelan selonding digunakan untuk mengiringi tradisi dan upacara khas di Desa
Tenganan sebagai asal muasal gamelan selonding. Fungsinya yang demikian sakral
sebagai pengiring ritual upacara menimbulkan karakteristik gamelan selonding sebagai
gamelan sakral melekat baik secara fisik gamelan ataupun jenis gending yang dimainkan.
Berdasar pada pandangan tersebut di atas, maka penata tertarik untuk
memadukan ide tradisi Aci Rah Pangangon yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan
Perang Tipat Bantal dengan judul Kupat Wantal dalam media ungkap pokok gamelan
selonding. Tradisi Perang Tipat Bantal tergolong tradisi tua dan sakral sebagai bentuk
pemujaan terhadap kemakmuran sangat layak untuk dipadukan dengan karakter gamelan
selonding yang cenderung bersifat sakral. Oleh sebab itu, ide tradisi Perang Tipat Bantal
dengan judul Kupat Wantal layak diungkap menggunakan gamelan selonding.
Instrumen gamelan selonding secara umum terdiri dari satu tungguh Nyongnyong
Ageng, satu tungguh Nyongnyong Alit, satu tungguh Peenem, satu tungguh Petuduh, dua
tungguh Gong, dan dua tungguh Kempul. Nyongnyong ageng dan nyongnyong alit
merupakan instrumen yang berbilah besi yang merupakan bagian dari barungan gamelan
selonding, masing-masing terdiri dari delapan bilah nada. Adapun nada dalam instrumen
nyongnyong ageng :5 6 7 1 2 3 4 5 dan nada dalam instrumen nyongnyong alit : 7 1 2 3
4 5 6 7 . Peenem dan Petuduh adalah instrumen yang merupakan bagian dari barungan
gamelan selonding, masing-masing tungguh terdiri dari empat bilah nada. Adapun nada
dalam instrumen peenem :6 7 1 2dan nada dalam instrumen petuduh : 3 4 5 6. Gong dan
Kempul yaitu instrumen yang merupakan bagian dari barungan gamelan selonding,
masing-masing tungguh terdiri dari empat bilah nada. Adapun nada dalam instrumen
gong :4 5 6 7 dan nada dalam instrumen kempul : 1 2 3 4 (Pratama, 2015:42).
Pemanfaatan saih dalam garapan karawitan, pada hakekatnya menunjukan
berdasarkan kararakter dari masing-masing saih dan patet melainkan ditata sesuai
keindahan dan kebutuhan komposisi karawitan ini. Dengan kata lain bahwa pemanfaatan
saih dan patet pada masing-masing bagian dari garapan selain menunjukan karakter dari
masing-masing suasana yang ingin diwujudkan dalam karya seni karawitan Kupat
Wantal. Mengungkapan saih dan patet dalam karya seni karawitan Kupat Wantal
bertujuan untuk menggali, mengembangkan, dan melestarikan pepatutan Bali pada
umumnya gamelan yang berlaras pelog tujuh nada dan khususnya dalam gamelan
selonding (Pratama, 2015:45).
Ide Garapan
Ide atau gagasan merupakan hasil dari suatu proses pemikiran yang terus menerus
dari seseorang terhadap lingkungan secara kompleks. Ide tidak muncul begitu saja, karena
apapun sumber penciptaan yang dilahirkan dalam sebuah karya seni perlu
pertanggungjawaban. Dalam komposisi karya seni, ide tercipta berdasarkan fenomena
tradisi Aci Rah Pengangon atau perang tipat bantal yang berada di Desa Adat Kapal.
Adanya tipat bantal tersebut menimbulkan ide untuk mencoba diungkapkan lewat bahasa
musik melalui pola jalinan-jalinan nada serta permainan melodi dan tempo.
Memperhatikan hal tersebut, menimbulkan inspirasi yang kemudian menjadikan sebuah
ide untuk menuangkannya ke dalam komposisi karawitan Bali melalui media ungkap dua
barungan gamelan selonding sebagai media pokok, serta memperhatikan unsur-unsur
musik yang ada, seperti: melodi, ritme, harmoni, dinamika, dan tempo yang dikemas
dalam sebuah bentuk komposisi karawitan. Gamelan selonding digunakan sebagai media
ungkap garapan Kupat Wantal karena gamelan selonding identik dengan ritual dan
mampu membangkitkan suasana sakral dalam sebuah upacara.
Salah satu contoh dapat dilihat dalam tradisi Perang Pandan atau Mekare-kare
yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Tenganan, Kabupaten Karangasem, diiringi
dengan gamelan selonding. Sehingga adanya ketertarikan penata untuk menuangkan ide
garapan Kupat Wantal ke dalam media pokok gamelan selonding dengan pengembangan
instrumen dan penambahan beberapa instrumen guna menunjang garapan Kupat Wantal.
Komposisi barungan gamelan selonding sebagai media ungkap pokok Kupat
Wantal dilakukan pengembangan dan penambahan beberapa instrumen. Penata mencoba
menuangkan ke dalam dua barungan gamelan selonding, saih cenik/kecil dan saih
gede/besar. Gamelan selonding saih gede/besar memiliki suara lebih besar mewakili dari
penggambaran tipat (Pradhana) sedangkan gamelan selonding saih cenik/kecil memiliki
suara lebih kecil mewakili dari penggambaran bantal (Purusha). Dalam garapan karya
seni karawitan Kupat Wantal, penata berpedoman pada pola tri angga, yang terdiri dari
Pangawit, Pangawak, dan Pangecet. Ketiganya menjadi satu kesatuan untuk
mengungkap Kupat Wantal baik dari sisi karakter ketupat atau tipat dan bantal dalam
nilai simbolik kekuatan perempuan dan laki-laki maupun dalam pengkarakteran gending.
Konsep Tri Angga dalam karya seni karawitan Kupat Wantal dapat diuraikan
sebagai berikut: 1) Pangawit, penata mengenalkan perbedan saih dalam gamelan
selonding satu dengan gamelan selonding yang kedua dan beberapa instrumen tambahan
sebagai penunjang karya seni karawitan Kupat Wantal. Selanjutnya, 2) Pangawak terdiri
dari dua bagian yang masing-masingnya mengungkap ide menggunakan jalinan-jalinan
nada yang menggambarkan jalinan daun kelapa membentuk tipat dan motif atau
ornamentasi yang polos menggambarkan begitu polosnya daun pembukus yang
membentuk bantal. 3) Pangecet, jalinan nada-nada bertemu dengan motif atau
ornamentasi yang polos, menggambarkan pertemuan tipat dengan bantal.
Tujuan Garapan
Setiap kegiatan yang dilakukan sudah tentu ada tujuan yang ingin dicapai,
demikian juga terhadap penggarapan karya seni yang dilakukan perlu adanya tujuan yang
jelas.Dalam karya seni karawitan Kupat Wantal terdapat dua tujuan yang dicapai yaitu
tujuan umum dan tujuan khusus. Berikut ini diuraikan kedua tujuan-tujuan tersebut:
Tujuan Umum
Secara umum, mengungkap keberadaan sebuah tradisi Aci Rah Pangangon atau
Perang Tipat Bantal yang terdapat di Desa Adat Kapal dalam bentuk karya seni
karawitan Bali.
Tujuan Khusus
1. Mentransformasikan ide garapan menjadi karya seni karawitan Kupat Wantal.
2. Menjadikan bentuk dan struktur karya seni karawitan Kupat Wantal.
3. Untuk menyangkup aspek-aspek musikalitas dan estetika komposisi musik karya
seni karawitan Kupat Wantal.
Manfaat Garapan
Adapun manfaat yang diperoleh dari penciptaan komposisi karawitan ini adalah
sebagai berikut:
1. Meningkatkan kreativitas berkarya dalam berkesenian, khususnya dalam
penciptaan sebuah komposisi karawitan Bali serta menambah wawasan penata
dan pengalaman dalam menggarap.
2. Menambah khasanah seni pertunjukan di lingkungan Institut Seni Indonesia
Denpasar, khususnya seni karawitan, serta sebagai bahan perbandingan dalam
meningkatkan kreativitas seni kalangan akademik.
3. Memberikan pengetahuan tradisi Perang Tipat Bantal ke khalayak umum atau
masyarakat, tentang karakteristik tipat bantal yang di ungkapkan ke dalam karya
seni karawitan Kupat Wantal dan upaya pelestarian tradisi leluhur.
Ruang Lingkup
Untuk membatasi ruang tafsir dan apresiasi terhadap garapan komposisi yang
berjudul Kupat Wantal ini, penata memberikan pemaparan dan batasan karya sebagai
berikut:
Berdasarkan uraian singkat sejarah dan penggunaan simbolik yang termuat dalam
Lontar Tabuh Rah Pangangon di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan aci rah
pangangon bertujuan untuk memuliakan benih kehidupan dalam symbol ketupat dan
wantal. keduanya dipertemukan dalam sanggama rohani menghasilkan benih
kemakmuran untuk lingkungan persawahan sebagai sumber pangan, sumber kehidupan
manusia. Upacara ini adalah bentuk ucapan syukur dan memuliakan kembali benih-benih
kemakmuran dan keberlimpahan hasil pangan sebagai takaran kesejahteraan mayarakat.
Uraian sejarah pelaksanaan Aci Rah Pangangon dalam Lontar Tabuh Rah
Pangangon kemudian dipakai sebagai landasan penggarapan “kupat wantal” yaitu untuk
memperkuat latar belakang pelaksanaan sekaligus sebagai pematangan konsep nilai
simbolik yang terdapat dalam ritual Aci Rah Pangangon yang lebih dikenal dengan siat
tipat bantal.
Artikel Bali Post Bali Orti berjudul “Aci Tabuh Rah Pengangon Antuk Parikrama
Nguyagang Merta” yang terbit hari Minggu, 28 Mei 2017, menurut (was) menguraikan
tentang pelaksanaan Aci Tabuh Rah Pengangon yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa
Adat Kapal yang bertujuan memohon kesuburan dan sembari berterima kasih atas rahmat
yang telah diberikan, sehingga kehidupan masyarakat Desa Adat Kapal menjadi makmur
sejahtera. Artikel ini memberikan pemahaman mendalam tentang tradisi yang
dilaksanakan di Desa Adat Kapal.
SELONDING: Tinjauan Gamelan Bali Kuna Abad X-XIV, oleh Pande Wayan
Tusan, yang diterbitkan oleh Dinas Kebudyaan Provinsi Daerah Tingkat I Bali, 2001.
Menguraikan tentang gamelan selonding yang berperan dalam memberikan pemahaman
tentang karakter gamelan selonding dan fungsinya.
Sumber Diskografi
Karya ini juga mempergunakan sumber diskografi berupa rekaman audio dan
rekaman audio visual, di antaranya :
Rekaman video lomba baleganjur PKB Duta Kabupaten Badung, Siat Tipat
Bantal karya Putu Tiodore Adi Bawa, S.Sn., M.Sn, 2016. Rekaman vidio ini sangat
mendukung tentang cerita serta menambah pengetahuan penata dalam membuat jalinan
nada agar terdengar harmoni dan cara menonjolkan karakteristik dari masing-masing
instrumen dalam sebuah komposisi.
Rekaman video liputan mahasiswa Fakultas Dharma Duta, IHDN Denpasar,
Perang Pandan/Mekare-kare, Arga Setiawan, 2015. Rekaman video liputan ini
mendukung serta memberikan inspirasi tentang keadaan perang pandan penata dalam
penggarapan komposisi karawitan.
Rekaman video Festival Nasional Tari Tradisi TMII, Tari Pertiwi Jati karya
Anak Agung Gede Agung Rahma Putra, S.Sn.,M.Sn, 2015. Rekaman video ini, penata
mendapatkan keharmonisan suara pada iringan Tari Pertiwi Jati yang menceritakan
tentang purusha pradhana mengangkat konsep tradisi dipadukan dengan tembang dan
musik bercitarasa tradisi kekinian sehingga menimbulkan inspirasi bagi penata untuk
mengolahnya kembali dan menuangkannya ke dalam karya seni karawitan Kupat Wantal.
PROSES KREATIVITAS
Semua yang terjadi dalam komposisi karya seni karawitan ini, merupakan upaya
kreativitas untuk menghasilkan sesuatu yang baru mengenai pembaharuan konsep-konsep
estetika, teknik, dan fungsinya. Proses tersebut tidak saja berjalan dengan lancar, kadang
terjadi hambatan yang tidak akan pernah diduga sebelumnya.
Terwujudnya suatu karya seni tentu dimulai dengan adanya proses yang
merupakan tahapan penting, berawal dari adanya rangsangan dan dorongan batin seorang
seniman untuk dapat mewujudkan sebuah karya sampai karya itu menjadi kenyataan
berdasarkan pada pemikiran serta keinginannya. Proses tidak dapat dijalani dengan
mudah jika pada awalnya si seniman kurang memiliki konsep yang pasti dan adanya
keragu-raguan. Dalam kenyataannya memang cukup sulit melahirkan karya seni yang
berkualitas dan berbobot. Proses kreativitas memerlukan pikiran-pikiran kreatif dan ide
segar agar nantinya garapan yang ditampilkan tidak monoton, serta yang paling integral
adalah garapan yang dituangkan sesuai dengan keinginan, gagasan, dan konsep penata
sendiri untuk memotivasi pembentukan sebuah jati diri sehingga perlu dibuat garapan
dengan rasa orisinalitasnya.
Setiap tahap pada proses ini dan hasil karya sang seniman selalu akan
mengandung ciri khas sebagai akibat dari segala pengaruh serta pengalaman-pengalaman
sang seniman. Pengaruh tersebut berkaitan dengan lingkungan hidupnya, pendidikannya,
dan apa yang pernah dibaca, serta pengalaman yang khusus dan latar belakang
kebudayaannya.
Dalam proses penggarapan karya seni karawitan, terdapat tiga tahapan penting
yang harus dilalui. Adapun ketiga tahapan yang dipakai dalam proses penggarapan guna
mewujudkan sebuah karya seni karawitan adalah tahap penjajagan (eksplorasi), tahap
percobaan (improvisasi), dan tahap pembentukan (forming) (Garwa, 2008:4).
Tahap Penjajagan (Eksplorasi)
Tahapan ini merupakan langkah awal dalam suatu proses penataan termasuk
berpikir, berimajinasi, serta membayangkan tentang sesuatu yang akan dibuat. Dalam hal
ini penata melakukan dua hal pokok, yaitu mencari ide dan memastikan ide, selanjutnya
menerjemahkan ide tersebut menjadi sebuah bentuk garapan seni karawitan.
Penataan karya seni karawitan memerlukan proses penjajagan tidak hanya
dilakukan menjelang tahap pelaksanaan Ujian Tugas Akhir. Karya seni karawitan Kupat
Wantal ini muncul ketika penata ujian komposisi IV. Pada ujian komposisi ini diwajibkan
untuk memperlihatkan embrio yang akan digunakan sebagai Ujian Tugas Akhir melali
rekaman video serta presentasi.
Beranjak dari arahan dan bimbingan dosen pengampu mata kuliah Komposisi
Karawitan IV yang memberi masukan serta dukungan dan telah mendapatkan nilai yang
cukup memuaskan, maka penata semakin yakin untuk memilih karya karawitan ini
sebagai karya dalam Ujian Tugas Akhir. Bagi penata, judul dan konsep karya seni
karawitan Kupat Wantal yang dapat membingkai dan menjadi landasan teori dari karya
karawitan ini.
Selanjutnya, penata menentukan pendukung dan tempat yang digunakan pada
saat latihan, dalam hal ini penata mencari pendukung yang memang mampu memainkan
gamelan selonding serta instrumen pendukung garapan Kupat Wantal. Tempat latihan
adalah di Jaba Pura Dalem Salunding di Jalan Menuh II, Desa Adat Kapal, Kecamatan
Mengwi, Kabupaten Badung.
Kegiatan berikutnya dilanjutkan dengan pengumpulan proposal pada Ketua
Jurusan Karawitan pada hari kamis, 16 Februari 2017. Kemudian dilakukan seleksi
proposal pada hari kamis & jumat, 23-24 Februari 2017. Setelah dinyatakan lulus sampai
pengumpulan proposal, kegiatan yang dilakukan dalam memulai proses penataan karya
seni karawitan Kupat Wantal seiring mencari hari baik untuk melaksanakan nuasen, yaitu
upacara mengawali proses penuangan karya seni karawitan Kupat Wantal. Menurut
kepercayaan Umat Hindu agar mendapatkan keselamatan, memiliki spirit atau disebut
dengan taksu dan selalu dalam lindungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Pada bulan Maret
sampai dengan bulan April 2017 penata hanya bisa melaksanakan latihan ringan
dikarenakan kesibukan pendukung menyambut hari raya Nyepi serta hari raya Galungan
dan Kuningan. Tempat pelaksanaan upacara nuasen dilaksanakan di Jaba Pura Dalem
Salunding pada Minggu, 30 April 2017.
Tahap Percobaan (Improvisasi)
Tahap percobaan (improvisasi) merupakan tahap kedua dalam proses
penggarapan. Penuangan ide-ide dalam bentuk percobaan secara intensif mulai dilakukan.
Penata mencari kemungkinan saih yang dihasilkan dari gamelan Selonding yang nantinya
digunakan untuk mengangkat suasana dan nuansa yang diinginkan sesuai konsep ciptaan.
Kemudian, dilanjutkan dengan mencari teknik pukulan, permainan serta pola lagu yang
dituangkan pada garapan sesuai dengan struktur garapan. Pada latihan pertama yaitu
Minggu, 30 April 2017, diawali dengan memberikan penjelasan kepada pendukung
karawitan mengenai ide dan konsep garapan karya seni karawitan Kupat Wantal, agar
para pendukung dapat memahami ide dan konsep tersebut untuk kelancaran proses
penuangan gending. Setelah para pendukung memahami ide dan konsep tersebut,
dilanjutkan dengan penuangan bagian pangawit, berkat kesungguhan para pendukung,
bagian pangawit dapat terselesaikan setengahnya.
Latihan selanjutnya pada Rabu, 3 Mei 2017, karena keterbatasan pendukung yang
bisa hadir dalam latihan ini, penata hanya mengingatkan bagian yang sudah setengahnya
rampung dan melakukan sedikit penambahan materi, sehingga bagian pangawit sudah
lumayan dapat terbentuk.
Penuangan selanjutnya dilaksanakan pada Minggu, 7 Mei 2017. Pada pertemuan
ini dilakukan pemantapan bagian pangawit yang sudah terbentuk dan melakukan
perbaikan, sehingga bagian pangawit dapat terbentuk seutuhnya.
Penuangan selanjutnya dilaksanakan pada Kamis, 11 Mei 2017, didahului dengan
pemantapan bagian pangawit karena beberapa pendukung tidak hadir pada latihan
sebelumnya dan menyebabkan penata kembali mengulang bagian pangawit. Bimbingan
skrip karya dan garapan juga senantiasa dilakukan baik di kampus maupun di luar
kampus guna mendapatkan saran dan masukan untuk kesempurnaan garapan yang akan
diwujudkan.
Minggu, 14 Mei 2017, penata menuangkan bagian transisi dari bagian pangawit
menuju bagian pangawak. Penuangan bagian transisi yang cukup lancar, menjadikan
penata untuk langsung menuangkan bagian pangawak. Pada bagian pangawak,
merupakan tahap yang perlu diberikan konsentrasi penuh karena penata mencoba
memasukkan beberapa motif yang nantinya memberikan kesan perbedaan laki-laki dan
perempuan atau yang disebutkan dalam skrip karya yaitu purusha dan pradhana. Namun
pada hari itu, bagian pangawak belum dapat dirampungkan secara utuh karena
keterbatasan waktu.
Dalam proses penuangan karya seni karawitan Kupat Wantal penata menemukan
kendala yaitu, dari tanggal 15-21 Mei 2017 penata tidak bisa mengadakan latihan
dikarenakan Komunitas Seni Taksu Agung melakukan latihan iringan Drama Tari yang
akan dipakai untuk ngayah di Pura Kahyangan Dalem, Desa Adat Sedang, Abiansemal,
Badung yang melibatkan semua anggota Komunitas dan menggunakan tempat yang
penata sering pakai untuk latihan.
Latihan kembali dilanjutkan Senin, 22 Mei 2017. Pada latihan tersebut penata
mengingat materi yang di cari sebelumnya serta merampungkan bagian pangawak.
Penuangan bagian pangawak cukup lancar namun ada beberapa pendukung yang
berhalangan hadir.
Penuangan selanjutnya Rabu, 23 Mei 2017, materi garapan yang diberikan
adalah menyelesaikan serta memantapkan bagian pangawak dan menambahkan ke
transisi menuju bagian pangecet.
Tahap Pembentukan (Forming)
Tahap ketiga penggarapan adalah pembentukan (forming). Tahap akhir dari
karya seni karawitan Kupat Wantal yaitu pembentukan menjadi sebuah komposisi
karawitan yang utuh. Bagian-bagian yang telah selesai dituangkan, dirangkai menjadi
satu kesatuan bentuk yang utuh walaupun terdapat bagian-bagian yang masih perlu
penataan kembali. Dalam hal ini penata juga perlu memperhatikan dinamika (keras lirih)
yang berkaitan dengan masalah ngumbang ngisep suatu gending.
Bimbingan-bimbingan baik karya cipta maupun karya tulis lebih intensif
dilakukan agar mendapat motivasi, saran, dan masukan untuk menunjang karya seni
karawitan Kupat Wantal. Penyatuan rasa juga perlu dilakukan, sehingga dapat terbentuk
garapan yang benar-benar utuh. Perbaikan demi perbaikan terus dilakukan agar karya seni
karawitan Kupat Wantal lebih rapi dan apik. Aksentuasi tertentu ditonjolkan sebagai
suatu identitas agar diperoleh sebuah komposisi musik yang berkualitas.
Setelah tahapan ini dilakukan tahap finishing untuk mengakhiri proses
kreativitas dengan lebih sempurna dan menghayati garapan. Penjiwaan dan kekompakan
pendukung sangat dibutuhkan karena hal tersebut sangat berperan dalam penyampaian
kesan dan pesan yang terkandung dalam garapan kepada penikmat. Penata juga
melakukan pembakuan terhadap setting gamelan yang dipergunakan dan dicoba pada
Jumat, 28 Juli 2017 sebelum dilaksanakannya gladi kotor dan gladi bersih pada Minggu,
30 juli 2017 serta Ujian Tugas Akhir (TA) pada Senin, 7 Agustus 2017.
WUJUD GARAPAN
Wujud merupakan salah satu bagian dari tiga unsur-unsur estetika (wujud,
isi/bobot, dan penampilan), serta menjadi unsur mendasar yang terkandung dalam karya
seni (Djelantik, 2004:15). Wujud adalah sesuatu yang dapat dilihat secara nyata dan
dipersepsikan melalui mata atau telinga secara abstrak yang dapat dibayangkan dan
dianalisa sesuai komponen-komponen penyusunnya (Djelantik, 2004:17).
Karya seni karawitan Kupat Wantal merupakan sebuah garapan karawitan inovasi
yang masih berpegang teguh pada pola-pola tradisi karawitan Bali. Pola-pola tradisi
tersebut dikembangkan baik dari segi struktur lagu, teknik permainan maupun motif-
motif lagu atau gendingnya dengan penataan yang mengolah dari unsur-unsur karawitan
seperti nada, melodi, ritme, tempo, harmoni, dan dinamika. Disamping itu juga dilakukan
penataan dalam penyajiannya agar komposisi karawitan yang disajikan tidak hanya enak
didengar tetapi juga enak dilihat.
Deskripsi Garapan
Kupat Wantal merupakan sebuah garapan seni karawitan inovasi dengan
menggunakan gamelan selonding sebagai media ungkap pokok serta beberapa instrumen
tambahan sebagai penunjang garapan. Untuk mewujudkan karya seni karawitan Kupat
Wantal penata mengolah unsur-unsur karawitan seperti melodi, ritme, tempo, dan
dinamika. Karya seni karawitan Kupat Wantal penata melangkah awal dimulai dari
mencari media gamelan selonding dan langkah selanjutnya penata mencari konsep yang
masuk akal dalam nuansa religi yang dimana gamelan selonding yang bersifat sakral.
Karya seni karawitan Kupat Wantal menggunakan media ungkap dua barungan
gamelan selonding sebagai media pokok dan beberapa instrumen tambahan. Karya seni
karawitan Kupat Wantal dipentaskan secara konser pada panggung gedung Natya
Mandala Institut Seni Indonesia Denpasar dengan jumlah pemain sebanyak dua puluh tiga
orang termasuk penata yang memiliki spesialis memainkan kendang dengan durasi waktu
12 menit. Karya seni karawitan Kupat Wantal diharapkan dapat memacu kreativitas
dalam berkarya dan berkomposisi seni karawitan untuk pengembangan potensi diri.
Adapun ide yang diangkat dalam garapan ini adalah fenomena Tradisi Aci Rah
Pengangon atau Perang Tipat Bantal yang berada di Desa Adat Kapal. Ide ini diangkat
karena sebuah tradisi yang menjadi ruang untuk masyarakat yang berada di Desa Adat
Kapal dalam melakukan pemujaan sebagai ungkapan sujud bakti, rasa syukur, dan sarana
introspeksi diri agar dapat menjadi orang yang lebih baik ke depannya. Ide tersebut diatas
disesuaikan dengan struktur garapan agar dapat menjadi satu kesatuan yang utuh. Struktur
garapan ini terdiri dari tiga bagian, yaitu pangawit, pengawak, dan pengecet.
Instrumentasi
Instrumen gamelan selonding secara umum terdiri dari satu tungguh Nyongnyong
Ageng, satu tungguh Nyongnyong Alit, satu tungguh Peenem, satu tungguh Petuduh, dua
tungguh Gong, dan dua tungguh Kempul. Nyongnyong ageng dan nyongnyong alit
merupakan instrumen yang berbilah besi yang merupakan bagian dari barungan gamelan
selonding, masing-masing terdiri dari delapan bilah nada. Adapun nada dalam instrumen
nyongnyong ageng :5 6 7 1 2 3 4 5 dan nada dalam instrumen nyongnyong alit : 7 1 2 3
4 5 6 7 . Peenem dan Petuduh adalah instrumen yang merupakan bagian dari barungan
gamelan selonding, masing-masing tungguh terdiri dari empat bilah nada. Adapun nada
dalam instrumen peenem :6 7 1 2dan nada dalam instrumen petuduh : 3 4 5 6. Gong dan
Kempul yaitu instrumen yang merupakan bagian dari barungan gamelan selonding,
masing-masing tungguh terdiri dari empat bilah nada. Adapun nada dalam instrumen
gong :4 5 6 7 dan nada dalam instrumen kempul : 1 2 3 4 (Pratama, 2015:42). Untuk
mewujudkan karya seni karawitan Kupat Wantal, penata menggunakan dua barungan
gamelan selonding sebagai media pokok dan beberapa instrumen tambahan untuk
penunjang diantaranya :
Instrumen Pokok.
1) Nyongnyong Ageng dan Nyongnyongan Alit
Instrumen nyongnyong ageng dan nyongnyong alit adalah instrumen yang
merupakan bagian dari barungan gamelan selonding yang masing-masing instrumen
terdiri dari delapan bilah nada secara umum, yang diantaranya myongnyong ageng:
ndeng, ndeung, ndung, ndang, ndaing, nding, ndong, ndeng, dan nyongnyong alit: Ndung,
ndang, ndaing, nding, ndong, ndeng, ndeung, ndung. Adapun fungsi instrumen ini adalah:
Nyongnyong Ageng:
1. Mengikuti arah nada yang di hasilkan oleh peenem dan petuduh, serta mengisi atau
memberikan celah-celah kepada instrumen nyongnyong alit.
2. Membuat jalinan-jalinan seperti kotekan yang terdapat dalam permainan instrumen
riong, yang dalam hal ini nyongyong alit bisa memainkan kotekan polos atau kotekan
sangsih.
Nyongnyong Alit:
1. Mengikuti arah nada yang dihasilkan oleh peenem dan petuduh, serta serta mengisi
atau memberikan celah-celah kepada instrumen nyongnyong ageng.
2. Membuat jalinan-jalinan seperti kotekan yang terdapat dalam permainan instrumen
riong, yang dalam hal ini nyongyong alit bisa memainkan kotekan polos atau kotekan
sangsih.
2) Peenem dan Petuduh
Instrumen peenem dan petuduh merupakan bagian dari barungan gamelan
selonding, bilah-bilah gamelan tersebut terbuat dari besi yang masing-masing terdiri dari
empat bilah nada, yang diantaranya, peenem: ndeung, ndung, ndang, ndaing, dan
petuduh: nding, ndong, ndeng, ndeung. Fungsi instrumen peenem dan petuduh dalam
karya seni karawitan Kupat Wantal, tidak jauh berbeda dengan fungsi pada umumnya,
yaitu:
1. Pembawa melodi
2. Membuat jalinan-jalinan seperti kotekan yang terdapat dalam permainan instrumen
riong pada gong kebyar.
3) Gong dan Kempul
Instrumen gong dan kempul merupakan bagian dari barungan gamelan selonding,
bilah-bilah gamelan terbuat dari besi serta masing-masing tungguh terdiri dari empat
bilah. Fungsi dari instrumen ini dalam karya seni karawitan Kupat Wantal tidak jauh
berbeda dari sebelumnya yaitu:
1. Memperjelas melodi yang dimainkan oleh peenem dan petuduh.
2. Memberikan penekanan nada yang jelas pada suatu lagu atau gending.
Instrumen Penunjang
1) Ceng-ceng ricik (kecek)
Instrumen ceng-ceng ricik atau lebih dikenal dengan sebutan kecek merupakan
instrumen yang berbentuk cymbal, tetapi ukurannya lebih kecil. Dalam karya seni
karawitan Kupat Wantal instrumen ini berfungsi sebagai memberikan nuansa ritmis serta
memberikan aksen-aksen yang sama dengan instrumen kendang.
2) Satu pasang kendang krumpungan dan satu pasang kendang gupekan
Instrumen kendang termasuk ke dalam jenis alat musik membranophone, yaitu
alat musik yang sumber bunyinya dari kulit yang ditekankan pada alat, cara
membunyikannya adalah memukul dengan alat atau tanpa alat (telapak tangan). Dalam
karya seni karawitan Kupat Wantal instumen ini berfungsi sebagai pemurba irama atau
mengatur dan mengendalikan jalannya gending, serta memberikan aksen-aksen atau
penekanan pada ruas-ruas gending.
3) Suling
Instrumen suling adalah instrumen tiup yang digolongkan kedalam kelompok
aerophone. Adapun fungsi dari instrument sulimg dalam karya seni karawitan Kupat
Wantal adalah :
1. Memulai suatu lagu atau gending.
2. Membuat suatu perpaduan harmoni
3. Menjalankan melodi.
4. Sebagai pemanis lagu dan sekaligus memperindah bagian-bagian yang lirih.
4) Gong Lanang dan Gong Wadon
Instrumen gong merupakan instrumen bermoncol yang ukurannya paling besar
dibandingkan instrumen bermoncol lainnya. Dalam karya seni karawitan Kupat Wantal
penata menggunakan satu intrumen gong. Fungsi instrumen ini dalam karya seni
karawitan Kupat Wantal secara umum adalah untuk mengakhiri gending (sebagai finalis).
5) Kajar trenteng
Instrumen kajar trenteng merupakan intrumen yang menyerupai intrumen bende
dan memiliki ukuran yang lebih kecil. Fungsi instrumen kajar trenteng dalam karya seni
karawitan Kupat Wantal selain fungsi utama sebagai pembawa tempo, fungsi yang
membedakannya dari instrumen pembawa tempo lainnya adalah memperjelas pukulan
kendang krumpungan yang dimana tidak jauh dari fungsi pada instrumen kajar trenteng
pada umumnya.
Analisa Simbol
Notasi karawitan Bali atau sering disebut titi laras yaitu catatan cara penulisan
gending-gending atau lagu yang menggunakan lambang nada yang berupa angka, huruf
maupun gambar. Tujuannya untuk memberikan isyarat secara visual tentang garapan dan
memudahkan untuk mengingat gending atau lagu (Aryasa,1984/1985:28). Karya seni
karawitan Kupat Wantal hanya ditulis melodi pokoknya saja. Simbol notasi ini diambil
dari Penganggening Aksara Bali yaitu ulu (3), tedong (4), taleng (5), suku ilut (6), suku
(7), carik (1), pepet (2). Simbol atau notasi ini ini dibaca laras pelog tujuh nada,
disesuaikan dengan laras yang memiliki oleh gamelan selonding
PENUTUP
Simpulan
Tradisi Aci Rah Pengangon atau Perang Tipat Bantal dijadikan sebagai pijakan
dasar konsep garapan Kupat Wantal. Dengan pijakan konsep ini, penata dapat
mewujudkan karya seni karawitan Kupat Wantal yang sarat akan nilai-nilai tradisi Aci
Rah Pengangon yang ada di dalam masyarakat. Komunikasi dan interaksi antar warga
masyarakat dalam melaksanakan tradisi Aci Rah Pengangon melalui Perang Tipat Bantal
merupakan wujud keharmonisan masyarakat dalam melaksanakan tradisi sehingga secara
konkrit akan sampai pada realitas yang dituju yaitu harmonisasi vertikal-horizontal
(Tuhan dengan manusia dan manusia dengan manusia). Kupat Wantal merupakan sebuah
karya seni karawitan dengan menggunakan media ungkap gamelan selonding sebagai
instrumen pokok dan beberapa instrumen tambahan yang menunjang karya seni
karawitan Kupat Wantal. Adapun instrumen pokok dalam karya seni Kupat Wantal yaitu
dua tungguh Nyongnyong Ageng, dua tungguh Nyongnyong Alit, dua tungguh Peenem,
dua tungguh Petuduh, empat tungguh Gong, dan empat tungguh Kempul sedangkan
instrumen tambahannya, satu tungguh ceng-ceng ricik, satu pasang kendang krumpungan,
satu pasang kendang gupekan, delapan instrumen suling, dua tungguh gong (lanang dan
wadon), dan satu instrumen kajar trenteng.
Garapan ini masih berpegangan pada pola-pola tradisi. Pengembangannya
terdapat pada pola-pola melodi, teknik-teknik permainan yang sudah ada dan di
elaborasikan dengan pola-pola kekinian yang terkandung dalam sebuah garapan.
Karya seni karawitan Kupat Wantal disajikan secara konser dalam durasi waktu
12 menit. Struktur garapan terdiri dari pangawit, pangawak dan pangecet. Penyajian
karya ini didukung oleh 25 orang penabuh sesuai dengan kebutuhan garapan. Karya seni
karawitan Kupat Wantal terbentuk melalui proses kreativitas yang cukup panjang, disertai
adanya bimbingan-bimbingan dengan pihak terkait guna mendapatkan saran dan kritik
sehingga bermanfaat untuk meningkatkan kualitas penataan.
Saran-saran
Seniman akademik merupakan seniman yang memiliki kemampuan lebih
khususnya di dalam bidang akademis yang hendaknya mampu menghasilkan suatu
alternatif baru dari yang sudah pernah ada sebelumnya dengan mengaplikasikan
pengetahuan teori dan praktek dalam bidang komposisi yang inovatif, berbobot, dan
berkualitas. Jangan hanya menghasilkan suatu karya karawitan hanya untuk hasrat estetis
semata dan diharapkan hadir sebagai ilmu untuk proses kedepannya. Diharapkan agar
terus mencoba mencari hal-hal baru dan wawasan baru yang lebih luas dalam menggarap
suatu karya karawitan.
Untuk lembaga hendaknya mampu memberikan ruang kreativitas yang lebih luas
bagi mahasiswa, agar mahasiswa mampu mengembangkan ilmu, wawasan, dan
mengekspresikan kreativitasnya dalam sebuah karya seni.
DAFTAR PUSTAKA
Aryasa, I WM. 1984/1985. Pengetehuan Karawitan Bali. Bali: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Bandem, I Made. 1986. Prakempa Sebuah Lontar Gamelan Bali. Denpasar: Akademi
Seni Tari Indonesia Denpasar.
Donder, I Ketut. 2005. Esensi Bunyi Gamelan Dalam Prosesi Ritual Hindu. (penerbit
Paramita Surabaya).
Garwa, I Ketut. 2008. Bahan ajar: Metode Penciptaan Seni Karawitan, Denpasar:
Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar.
Lontar Tabuh Rah Pengangon sekaligus salinannya milik Bapak I Ketut Sudarsana
(Kelihan Desa Adat Kapal)
Pratama, A.A. Ngurah Eka. 2015. “Panca Gita”. Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Denpasar.
Suweca, I Wayan. 2009. Buku Ajar: Estetika Krawitan, Denpasar: Fakultas Seni
Pertunjukan ISI Denpasar.
Tusan, Pande Wayan. 2001. Selonding,(Tinjauan Gamelan Bali Kuna Abad X-XIV),
Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Tinggakat 1 Bali.
Was. “Aci Tabuh Rah Pengangon Antuk Parikrama Nguyaggang Merta”. Bali Post (28
Mei, 2017): 7.
Windha, BA. I Nyoman. Dkk 1985. Aspek-Aspek Penataan Karawitan Bali di ASTI
Denpasar, Akademi Seni Tari Indonesia Denpasar.