Anda di halaman 1dari 21

Nama ; I Made Tio Bagiarta

No : 11

Kls : X IPA 5

Kelompok : 3

Jenis alat music tradisional dalam seni ritual di masyarakat

Gong merupakan sebuah alat musik pukul yang terkenal di Asia


Tenggara dan Asia Timur. Gong ini digunakan untuk alat musik tradisional. Saat
ini tidak banyak lagi perajin gong seperti ini.

Gong yang telah ditempa belum dapat ditentukan nadanya. Nada gong
baru terbentuk setelah dibilas dan dibersihkan. Apabila nadanya masih belum
sesuai, gong dikerok sehingga lapisan perunggunya menjadi lebih tipis.

https://id.wikipedia.org/wiki/Gong

Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara


tradisional berkembang dalam masyarakat Sunda di Pulau Jawa bagian barat. Alat
musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi
disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang
bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar
maupun kecil. Dictionary of the Sunda Language karya Jonathan Rigg, yang
diterbitkan pada tahun 1862 di Batavia, menuliskan bahwa angklung adalah alat
musik yang terbuat dari pipa-pipa bambu yang dipotong ujung-ujungnya
menyerupai pipa-pipa dalam suatu organ, dan diikat bersama dalam suatu bingkai,
digetarkan untuk menghasilkan bunyi.

Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan


Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010

Asal-usul angklung

Anak-anak Jawa Barat bermain angklung di awal abad ke-20.

Tidak ada petunjuk akan sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga bentuk
primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkembang di
Nusantara sampai awal penanggalan modern, sehingga angklung merupakan
bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara.

Catatan mengenai angklung yang baru muncul merujuk pada masa Kerajaan
Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu
seperti angklung berdasar pada pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris
dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini
melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi
Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang dianggap sebagai
sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual
mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor,
adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau.
Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan
untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu
hitam (awi wulung) dan bambu ater (awi temen), yang jika mengering berwarna
kuning keputihan. Tiap nada dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang
berbentuk bilah tiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.

Di antara fungsi angklung yang dikenal oleh masyarakat Sunda sejak masa
kerajaan Sunda adalah sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi
angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa
penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat
menggunakan angklung. Pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung
menurun dan hanya dimainkan oleh anak-anak pada waktu itu.[butuh rujukan]

Selanjutnya, lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan


pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas
sederhana, dan kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal
sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat pesta panen dan Seren
Taun dipersembahkan permainan angklung. Pada penyajian angklung yang
berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang
sifatnya arak-arakan, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong,
Dongdang, dan Jampana (usungan pangan) juga sebagainya.

Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa,


lalu ke Kalimantan dan Sumatra. Pada 1908, tercatat sebuah misi kebudayaan dari
Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai dengan penyerahan angklung, lalu
permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.

Bahkan sejak 1966, Udjo Ngalagena, tokoh angklung yang mengembangkan


teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda, mulai
mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai
komunitas.

Jenis angklung

Angklung Kanekes[sunting | sunting sumber]

Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka orang Baduy)


digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-mata
untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka
menanam padi di huma (ladang). Menabuh angklung ketika menanam padi ada
yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu;
Baduy Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar).
Meski demikian, masih bisa ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap mempunyai
aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati
padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam
bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan
lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan
dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan,
menyimpan) angklung setelah dipakai.

Dalam sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak
hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil
menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: Lutung Kasarung, Yandu
Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-
oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-
ayunan, Pileuleuyan, Gandrung Manggu, Rujak Gadung, Mulung
Muncang, Giler, Ngaranggeong, Aceukna, Marengo, Salak Sadapur, Rangda
Ngendong, Celementre, Keupat Reundang, Papacangan, dan Culadi Dengdang.
Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran
kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara
itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu yang telah
baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda
dengan masyarakat Daduy Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai
aturan pamali (pantangan; tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan
duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.

Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung,


dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri
dari 2 buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama bedug dari yang
terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen bedug
terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung Kaluaran mereka memakai bedug
sebanyak 3 buah. Di Kajeroan; kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug
dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, kampung Cibeo, hanya menggunakan
bedug, tanpa talingtit dan ketuk.

Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu;


Baduy Jero). Kajeroan terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan
Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa membuatnya, hanya yang
punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di samping adanya syarat-
syarat ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59),
dan di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan
di tiga kampung tersebut.

pemain angklung dari jawa timur saat melakukan pertunjukan di jawa barat

Angklung Reyog[sunting | sunting sumber]

Angklung Reyog merupakan alat musik untuk mengiringi Tarian Reyog Ponorogo
di Jawa Timur. angklung Reyog memiliki khas dari segi suara yang sangat keras,
memiliki dua nada serta bentuk yang lengkungan rotan yang menarik (tidak
seperti angklung umumnya yang berbentuk kubus) dengan hiasan benang
berumbai-rumbai warna yang indah. di kisahkan angklung merupakan sebuah
senjata dari kerajaan bantarangin ketika melawan kerajaan lodaya pada abad ke 9,
ketika kemenangan oleh kerajaan bantarangin para prajurit gembira tak terkecuali
pemegang angklung, karena kekuatan yang luar biasa penguat dari tali tersebut
lenggang hingga menghasilkan suara yang khas yaitu klong- klok dan klung-kluk
bila didengar akan merasakan getaran spiritual.

Dalam sejarahnya angklung Reyog ini digunakan pada film: Warok Singo Kobra
(1982), Tendangan Dari Langit (2011)
Dan penggunaan angklung Reyog pada musik seperti: tahu opo tempe, sumpah
palapa, kuto reog, Resik Endah Omber Girang, dan campursari berbau
ponorogoan.

Angklung Banyuwangi[sunting | sunting sumber]

Angklung banyuwangi ini memiliki bentuk seperi calung dengan nada budaya
banyuwangi

Angklung Bali[sunting | sunting sumber]

angklung bali memiliki bentuk dan nada yang khas bali,

Angklung Gubrag[sunting | sunting sumber]

Angklung gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor.


Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi
dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan
ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung).

Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining
mengalami musim paceklik.

Angklung Badeng[sunting | sunting sumber]

Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan


angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding,
Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk
kepentingan dakwah Islam. Tetapi diduga badeng telah digunakan masyarakat
sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan
ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang
sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau 17. Pada masa itu
penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar agama Islam ke kerajaan Demak.
Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah
satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.

Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu 2 angklung roel, 1


angklung kecer, 4 angklung indung dan angklung bapa, 2 angklung anak; 2 buah
dogdog, 2 buah terbang atau gembyung, serta 1 kecrek. Teksnya
menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa Arab. Dalam
perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa Indonesia. Isi teks memuat
nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta menurut keperluan acara. Dalam
pertunjukannya selain menyajikan lagu-lagu, disajikan pula atraksi kesaktian,
seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam.

Lagu-lagu badeng: Lailahaileloh, Ya’ti, Kasreng, Yautike, Lilimbungan, Solaloh

Angklung Buncis[sunting | sunting sumber]

Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di


Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis digunakan pada acara-acara
pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis
digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan dengan semakin berubahnya
pandangan masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal berbau
kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya fungsi
ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak itu buncis berubah menjadi
pertunjukan hiburan. Sejalan dengan itu tempat-tempat penyimpanan padi pun
(leuit; lumbung) mulai menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan
tempat-tempat karung yang lebih praktis, dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi
pun sekarang banyak yang langsung dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan
demikian kesenian buncis yang tadinya digunakan untuk acara-acara ngunjal
(membawa padi) tidak diperlukan lagi.

Nama kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang terkenal di
kalangan rakyat, yaitu cis kacang buncis nyengcle..., dst. Teks tersebut terdapat
dalam kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan buncis.

Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis adalah 2 angklung indung, 2


angklung ambrug, angklung panempas, 2 angklung pancer, 1 angklung enclok.
Kemudian 3 buah dogdog, terdiri dari 1 talingtit, panembal, dan badublag. Dalam
perkembangannya kemudian ditambah dengan tarompet, kecrek, dan goong.
Angklung buncis berlaras salendro dengan lagu vokal bisa berlaras madenda atau
degung. Lagu-lagu buncis di antaranya: Badud, Buncis, Renggong, Senggot,
Jalantir, Jangjalik, Ela-ela, Mega Beureum. Sekarang lagu-lagu buncis telah
menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan, dengan penyanyi yang tadinya laki-
laki pemain angklung, kini oleh wanita khusus untuk menyanyi.

Dari beberapa jenis musik bambu di Jawa Barat (Angklung) di atas, adalah
beberapa contoh saja tentang seni pertunjukan angklung, yang terdiri atas:
Angklung Buncis (Priangan/Bandung), Angklung Badud (Priangan
Timur/Ciamis), Angklung Bungko (Indramayu), Angklung Gubrag (Bogor),
Angklung Ciusul (Banten), Angklung Dog dog Lojor (Sukabumi), Angklung
Badeng (Malangbong, Garut), dan Angklung Padaeng yang identik dengan
Angklung Nasional dengan tangga nada diatonis, yang dikembangkan sejak
tahun 1938. Angklung khas Indonesia ini berasal dari pengembangan angklung
Sunda. Angklung Sunda yang bernada lima (salendro atau pelog) oleh Daeng
Sutigna alias Si Etjle (1908–1984) diubah nadanya menjadi tangga nada Barat
(solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu lainnya. Hasil
pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan dimainkan
secara orkestra besar.

Angklung Padaeng[sunting | sunting sumber]


Untuk keterangan lebih detail mengenai angklung ini, silakan kunjungi
artikel Angklung Padaeng

Angklung padaeng adalah angklung yang dikenalkan oleh Daeng


Soetigna sejak sekitar tahun 1938. Terobosan pada angklung padaeng adalah
digunakannya laras nada Diatonik yang sesuai dengan sistem musik barat.
Dengan demikian, angklung kini dapat memainkan lagu-lagu internasional,
dan juga dapat bermain dalam Ensembel dengan alat musik internasional
lainnya.

Angklung Sarinande[sunting | sunting sumber]

Angklung sarinande adalah istilah untuk angklung padaeng yang hanya


memakai nada bulat saja (tanpa nada kromatis) dengan nada dasar C. Unit
kecil angklung sarinade berisi 8 angklung (nada Do Rendah sampai Do
Tinggi), sementara sarinade plus berisi 13 angklung (nada Sol Rendah hingga
Mi Tinggi).
Angklung Toel[sunting | sunting sumber]

Angklung toel diciptakan oleh Kang Yayan Udjo sekitar tahun 2008.[1] Pada
alat ini, ada rangka setinggi pinggang dengan beberapa angklung dijejer
dengan posisi terbalik dan diberi karet. Untuk memainkannya, seorang pemain
cukup men-toel angklung tersebut, dan angklung akan bergetar beberapa saat
karena adanya karet.

Angklung Sri-Murni[sunting | sunting sumber]

Angklung ini merupakan gagasan Eko Mursito Budi yang khusus diciptakan
untuk keperluan robot angklung.[2] Sesuai namanya, satu angklung ini
memakai dua atau lebih tabung suara yang nadanya sama, sehingga akan
menghasilkan nada murni (mono-tonal). Ini berbeda dengan angklung
padaeng yang multi-tonal. Dengan ide sederhana ini, robot dengan mudah
memainkan kombinasi beberapa angklung secara simultan untuk menirukan
efek angklung melodi maupun angklung akompanimen.

Ansambel angklung[sunting | sunting sumber]

Agar lebih kaya suaranya, angklung sebaiknya dimainkan dengan alat musik
lain, membentuk ansambel. Beberapa ansambel angklung yang sudah mapan
adalah:

Klasik Padaeng[sunting | sunting sumber]

Ansambel angklung klasik yang dikenalkan oleh Daeng Soetigna ini terdiri
atas:

 Angklung melodi
 Angklung akompanimen
 Bas betot

Kombinasi minimal inilah yang paling populer dan umum dijumpai saat
konser maupun lomba paduan angklung.
Angklung solo[sunting | sunting sumber]

Angklung solo adalah konfigurasi yang menggantungkan satu unit angklung


melodi pada suatu palang sehingga bisa dimainkan satu orang saja. Sesuai
dengan konvensi nada diatonis, maka ada dua jajaran gantungan angklung.
Yang bawah berisi nada penuh, sedangkan yang atas berisi nada kromatis.
Angklung solo ini digagas oleh Yoes Roesadi tahun 1964, dan dimainkan
bersama alat musik basanova dalam grup Aruba (Alunan Rumpun Bambu).
Sekitar tahun 1969, nama Aruba ini disesuaikan menjadi Arumba[3]

Arumba[sunting | sunting sumber]

Arumba adalah istilah bagi seperangkat alat musik yang minimal terdiri
atas: [4]

 Satu unit angklung melodi, digantung sehingga bisa dimainkan oleh satu
orang
 Satu unit bass lodong, juga dijejer agar bisa dimainkan satu orang
 Gambang bambu melodi
 Gambang bambu pendamping
 Gendang

Teknik permainan angklung[sunting | sunting sumber]

Memainkan sebuah angklung sangat mudah. Seseorang tinggal memegang


rangkanya pada salah satu tangan (biasanya tangan kiri) sehingga angklung
tergantung bebas, sementara tangan lainnya (biasanya tangan kanan)
menggoyangnya hingga berbunyi. Dalam hal ini, ada tiga teknik dasar
menggoyang angklung:

 Kurulung (getar), merupakan teknik paling umum dipakai, di mana


tangan kanan memegang tabung dasar dan menggetarkan ke kiri-kanan
berkali-kali selama nada ingin dimainkan.
 Centok (sentak), adalah teknik di mana tabung dasar ditarik dengan cepat
oleh jari ke telapak tangan kanan, sehingga angklung akan berbunyi sekali
saja (stacato).
 Tengkep, mirip seperti kurulung namun salah satu tabung ditahan tidak
ikut bergetar. Pada angklung melodi, teknik ini menyebabkan angklung
mengeluarkan nada murni (satu nada melodi saja, tidak dua seperti
biasanya). Sementara itu pada angklung akompanimen mayor, teknik ini
digunakan untuk memainkan akord mayor (3 nada), sebab bila tidak
ditengkep yang termainkan adalah akord dominan septim (4 nada).

Angklung interaktif[sunting | sunting sumber]

Angklung interaktif adalah kegiatan di mana seorang konduktor mengajak


banyak orang, yang umumnya awam, untuk bermain angklung beramai-
ramai [5]. Kegiatan ini bisa dilakukan di tempat pariwisata atau acara ramah
tamah. Pada para peserta akan dibagikan angklung-angklung yang sudah
diberi nomor sesuai nadanya. Lalu, sang konduktor akan memimpin, biasanya
dengan cara:

1. Konduktor membuka satu layar besar bertuliskan lagu dalam not


angka, lalu mengajak para peserta memainkan angklung yang tepat
dengan menunjuk nada pada layar.
2. Konduktor mengajarkan isyarat tangan untuk nada-nada tertentu pada
penonton, kemudian memimpin suatu lagu dengan memberikan
isyarat yang tepat secara berurutan untuk diikuti para peserta. Isyarat
tangan ini di-adaptasi oleh Mang Udjo, berdasar isyarat yang
dikembangkan oleh John Curwen.
3. Sebelumnya, Pak Daeng Soetigna menggunakan isyarat gambar
binatang untuk melatih anak-anak TK.[6]
Modernisasi angklung[sunting | sunting sumber]

Secara esensial, angklung adalah alat musik bambu yang dimainkan dengan
digetar. Hal tersebut tidak boleh diubah. Meski demikian, berbagai upaya
kreatif untuk memodernisasinya terus berlangsung, seperti:

 Angklung elektrik karya Agus Suhardiman [7]


 Angklung otomatis, Tugas akhir Kadek Kertayasa di STIKOM Surabaya [8]
 Tra-digi, angklung robot yang dikontrol oleh i-pod, ciptaan Hasim
Ghozali.[9][10]
 Klungbot, robot angklung yang mula-mula dikreasi oleh Krisna Diastama
dan Karismanto Rahmadika [11], kemudian dilanjutkan oleh Eko Mursito
Budi.[12]

https://id.wikipedia.org/wiki/Angklung

Kendang Atau Gendang


Alat musik gamelan pertama yaitu kendang atau gendang. Kendang ini berfungsi
untuk mengatur irama dan tempo dari gendhing (lagu yang dimainkan). Bunyi
kendang biasanya mengatur tempo pokok,Irama cepat maupun lambat dengan
tangkap. Cara memainkan alat musik ini yaitu dengan cara di tabuh atau dipukul
dengan tangan pada bagian permukaan kulitnya.

Biasanya permukaan kulit ini terbuat dari kulit hewan seperti kerbau,sapi,
kambing atau rusa.Namun beberapa pengrajin Kendang meyakini bahwa
penggunaan kulit kerbau adalah terbaik sebagai bahan baku karena dianggap lebih
awet ketimbang kulit hewan lain.

https://www.romadecade.org/alat-musik-gamelan/#!
Suling

suling adalah alat musik dari keluarga alat musik tiup kayu atau terbuat dari
bambu. Suara suling berciri lembut dan dapat dipadukan dengan alat musik
lainnya dengan baik.

Suling modern untuk para ahli umumnya terbuat dari perak, emas atau campuran
keduanya. Sedangkan suling untuk pelajar umumnya terbuat dari nikel-perak, atau
logam yang dilapisi perak.

Suling konser standar ditalakan di C dan mempunyai jangkauan nada 3 oktaf


dimulai dari middle C. Akan tetapi, pada beberapa suling untuk para ahli ada
kunci tambahan untuk mencapai nada B di bawah middle C. Ini berarti suling
merupakan salah satu alat musik orkes yang tinggi, hanya piccolo yang lebih
tinggi lagi dari suling. Piccolo adalah suling kecil yang ditalakan satu oktaf lebih
tinggi dari suling konser standar. Piccolo juga umumnya digunakan dalam orkes.

Suling konser modern memiliki banyak pilihan. Thumb key B-flat (diciptakan dan
dirintis oleh Briccialdi) standar. B foot joint, akan tetapi, adalah pilihan ekstra
untuk model menengah ke atas dan profesional.
Suling open-holed, juga biasa disebut French Flute (di mana beberapa kunci
memiliki lubang di tengahnya sehingga pemain harus menutupnya dengan
jarinya) umum pada pemain tingkat konser. Namun beberapa pemain suling
(terutama para pelajar, dan bahkan beberapa para ahli) memilih closed-hole
plateau key. Para pelajar umumnya menggunakan penutup sementara untuk
menutup lubang tersebut sampai mereka berhasil menguasai penempatan jari yang
sangat tepat.

Beberapa orang mempercayai bahwa kunci open-hole mampu menghasilkan suara


yang lebih keras dan lebih jelas pada nada-nada rendah.

Suling konser pada sebelum Era Klasik (1750) memakai Suling Blok (seperti
gambar atas), sedangkan pada sebelum Era Romantis (Era Klasik 1750-1820)
pakai Suling Albert (kayu hitam berlubang dan dilengkapi klep), dan sejak Era
Romantis (1820) memakai suling Boehm (kayu hitam atau metal dilengkapi klep
semua yang disebut juga suling Boehm, sistem Carl Boehm), atau suling saja.

Khusus musik keroncong di Indonesia pada Era Stambul (1880-1920) memakai


suling Albert, dan pada Era Keroncong Abadi (1920-1960) telah memakai suling
Bohm.

https://id.wikipedia.org/wiki/Suling

Gambang
Gambang merupakan salah satu alat musik gamelan yang dimainkan dengan cara
dipukul dengan alat yang disebut tabuh.Memiliki bentuk dan suara yang unik dan
khas.Pada dasarnya gambang dibuat dari kayu dan bagian penghasil nadanya
dibuat dari kayu atau bambu yang dibentuk menjadi bilah bilah.

Bilah-bilah tersebut berisi 18 buah yang biasanya diletakkan disebuah rak


resonantor nada berbentuk mirip perahu.Bentuk bilah nya disusun berurutan mulai
dari paling kecil hingga terbesar agar nada yang dikeluarkan bisa bervariasi.
Bonang
Bonang merupakan alat musik pendukung gamelan yang penting. Fungsinya yaitu
sebagai penguat melodi dasar pada sebuah lagu (gendhing). Bentuknya seperti pot
yang terbuat dari perunggu. Bonang pada umumnya berjumlah 14 buah yang
ditempatkan berjejer di sebuah tempat menyerupai rak.

Cara memainkan bonang ini adalah dengan memukul bagian pot perunggu
menggunakan 2 palu tabuh. Biasanya palu tabuh ini dibalut dengan lapisan kain
atau karet pada salah satu ujungnya.
Siter

Permainan siter membawa pengaruh besar dalam pertunjukan gamelan. Karena


Jika terjadi kesalahan nada akan langsung mempengaruhi permainan alat musik
yang lain. Hal ini otomatis akan merubah ritme permainan gamelan menjadi tidak
teratur dan kurang harmonis.

Rebab
Rebab dimainkan dengan cara digesek mirip alat musik biola. Namun dengan
ukuran yang lebih kecil. Cara memainkannya yaitu dengan menggesek bagian
dawainya menggunakan alat gesek yang bentuknya mirip busur panah. Bagian
badan rebab berbentuk bulat dan bagian lainnya mempunyai ujung yang panjang.

Fungsi rebab ini yaitu sebagai instrument pemuka dan dijuluki sebagai pemimpin
lagu terutama dalam tabuhan yang lirih.Salah satu alat musik gamelan ini juga
biasa dimainkan untuk mengiringi sinden ketika bernyanyi.

Kenong
Kenong pada umumnya dibuat dari logam kuningan,besi atau kuningan. Gamelan
yang bernama kenong ini fungsinya sebagai penentu batas-batas gatra dan
berguna untuk menegaskan irama. Selain itu juga digunakan untuk mengatur
tempo dari lagu (gendhing) yang dimainkan. Kenong dimainkan dengan dipukul
menggunakan alat pemukul.

Kempul
Penampakan kempul sekilas mirip gong namun lebih kecil. Oleh karena itu sering
disebut gong kecil. Fungsi kempul ini yaitu untuk menegaskan irama melodi
dalam sebuah lagu (gendhing).

Kempul dapat menghasilkan suara lebih tinggi dari alat musik gong.Kempul
biasanya berjumlah 8 hingga 10 buah yang masing masing menghasilkan nada
yang berbeda beda. Alat pemukulnya terbuat dari bahan kayu yang salah satu
bagian ujung(untuk memukul) diberi lapisan kain yang cukup tebal.

Kethuk

Dalam permainan gamelan, kethuk berfungsi untuk menjaga keajegan irama agar
tetap harmonis. Cara memainkan Kethuk ini adalah dipukul menggunakan sebuah
alat pemukul yang dibalut karet atau kain yang cukup tebal pada ujungnya.
Kempyang
Kempyang berfungsi sebagai alat musik ritmis dalam pertunjukan gamelan.Selain
itu digunakan untuk membantu kendang agar menghasilkan sebuah ritme yang
diinginkan. Biasanya kempyang dimainkan bersahutan dengan kethuk hingga
menghasilkan bunyi Tuk Bluk Tuk Bluk dan membentuk harmoni yang indah.

Gender
Alat musik gamelan terakhir adalah gender. Gender dibuat dari logam kuningan
yang dibentuk menjadi bilah bilah. Pada umumnya alat music ini memiliki 10
sampai 14 bilah yang saat dimainkan menghasilkan nada yang berbeda. Gender
dimainkan dengan cara dipukul menggunakan alat bernama tabuh yang berbentuk
bulat dan ujungnya dilapisi kain.
https://www.romadecade.org/alat-musik-gamelan/#!

Petrus Kaseke (lahir di Minahasa, Sulawesi Utara, 2 Oktober 1942; umur 76


tahun) adalah pelestari alat musik kolintang berkebangsaan Indonesia. Pada umur
10 tahun (1952), ia sudah mampu menciptakan kolintang 2,5 oktaf nada diatonis
dengan petunjuk sejumlah orang tua yang pernah mendengar bunyi alat musik
kolintang. Ia terus belajar dan mengembangkan instrumen ini hingga dapat
menciptakan tangga nada sampai tiga setengah oktaf dalam satu kruis, natural,
serta satu mol, pada tahun 1960.[1]

Kehidupan pribadi

Kolintang yang merupakan alat musik tradisional rakyat Minahasa sempat


dilarang dimainkan pada masa penjajahan Belanda. Pasalnya, kolintang pada
awalnya digunakan untuk mengiringi upacara ritual pemujaan arwah leluhur oleh
masyarakat setempat.[2] Selama seabad lebih, eksistensi kolintang semakin
terdesak dan hampir punah. Baru setelah Perang Dunia II, sekitar tahun 1952,
seorang tunanetra bernama Nelwan Katuuk menghadirkan kembali instrumen
musik ini lewat pagelaran musik yang disiarkan RRI Minahasa.

Permainan kolintang dari Nelwan Katuuk ternyata menginspirasi seorang bocah


laki-laki berumur 10 tahun dari Ratahan, Minahasa Utara, untuk membuat alat
musik kolintang. Cita rasa bermusik dari lingkungan keluarganya yang
membentuk kepekaannya terhadap nada berpadu dengan keterampilan menukang
kayu yang diperolehnya dari sang kakek.
Hasilnya, pada tahun 1954 sang bocah berhasil membuat kolintang dengan dua
setengah oktaf nada diatonis. Dengan petunjuk sejumlah orang tua yang pernah
mendengar bunyi alat musik kolintang, ia terus belajar dan mengembangkan
instrumen ini hingga bisa menciptakan tangga nada sampai tiga setengah oktaf
dalam satu kruis, naturel, serta satu mol pada tahun 1960.[3]

Dialah Petrus Kaseke, putra tunggal Pendeta Yohanes Kaseke dan Adelina
Komalig. Korelasi tingginya kepekaan terhadap nada dengan tingginya tingkat
kecerdasan tampaknya terbukti pada diri Petrus Kaseke. Meski hidup dari
keluarga kurang mampu, di usianya ke-20, Petrus meraih predikat pelajar
berprestasi dan memperoleh beasiswa dari Bupati Minahasa untuk melanjutkan
kuliah di Jurusan Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada. Namun setelah adanya
penurunan jumlah beasiswa dari Bupati Minahasa, Petrus terpaksa bertahan hidup
dengan main musik kolintang di Yogyakarta.

Pasang-surut

Beban hidup semakin berat, merantau seorang diri di tanah Jawa, sementara
beasiswa dari bupati juga diputus. Setelah enam tahun dan baru meraih sarjana
muda, Petrus terpaksa tak melanjutkan kuliahnya. Kondisi ini justru membuat
Petrus semakin berketetapan hati menggeluti alat musik kolintang.

Kala itu kolintang belum banyak dikenal di Pulau Jawa. Di luar dugaan, sambutan
publik terhadap kehadiran kolintang yang diiringi gitar, ukulele, dan string bas ini
ternyata luar biasa. Bahkan, kolintang saat itu sempat menjadi salah satu media
kampanye Partai Kristen Indonesia (Parkindo) sehingga ia dan rekan-rekannya
menerima banyak job bermain musik kolintang.

Waktu terus berlalu, usaha Petrus semakin berkembang. Ia juga memiliki


kelompok musik yang sudah pentas melanglang ke berbagai kota dan luar negeri.
Kemudian ia memutuskan pindah ke Kota Salatiga, Jawa Tengah dan membangun
usahanya di sana, bersama sang istri, Tjio Kioe Giok.

Salatiga merupakan kota pilihan paling tepat karena bahan baku kolintang berupa
kayu waru mudah didapatkan, yaitu di sekitar telaga Rawapening.
Di era 1989 sampai 1990-an, alat musik kolintang sangat populer bagi masyarakat
di dalam negeri maupun luar negeri. Permintaan akan kolintang pun semakin
meningkat. Dalam sebulan, bengkelnya yang berlokasi di Jalan Osamaliki 4
Salatiga, ini bisa melayani pembuatan alat musik kolintang hingga 10 set. Kala itu
ia bisa mempekerjakan sekitar 20 tukang kayu.

Pemesanan dari luar negeri terus mengalir, antara lain dari


Australia, China, Korea, Hongkong, Swiss, Kanada, Jerman, Belanda, dan
Amerika Serikat. Hampir semua kedutaan besar Indonesia di dunia mengoleksi
alat musik kolintang buatannya. Twilite Orchestra pimpinan Addie MS pun
mempercayakan pembuatannya kepada Petrus.

Era krisis moneter akhir tahun 1990 menandai jatuhnya industri alat musik
kolintang. Satu per satu perusahaan alat musik kolintang rontok, bangkrut. Namun
Petrus menjadi salah satu dari sekian pengrajin alat musik kolintang yang masih
bertahan meski pemesanan menurun, hanya berkisar 1-2 set per bulan.[4]

Kepiawaian Petrus membuat alat musik tradisional Minahasa yang hampir punah
ini memang belum pernah mendapat penghargaan yang sebanding dengan sepak
terjangnya selama ini. Ia memang bukan satu-satunya pengrajin alat musik
kolintang yang masih bertahan. Namun, di tangan dia, alat musik ini mulai
merebak ke Pulau Jawa dan bahkan merambah ke seantero dunia.

Pertunjukan ke luar negeriTahun 1970 tampil di Singapura selama tiga hari.

 Tahun 1971 tampil di Australia selama kira-kira tiga bulan. Lebih dari 50 kota
disinggahi, termasuk Canberra, bersama Duta Besar Indonesia untuk
Australia, Sujitno Sukirno.
 Tahun 1972 tampil di beberapa kota di New York dan Los Angeles, Amerika
Serikat.
 Tahun 1973 tampil di benua Eropa antara lain Swiss, Jerman, Denmark,
dan Belanda (bersama Duta Besar Indonesia untuk Belanda, Sutopo Yuwono).

https://id.wikipedia.org/wiki/Petrus_Kaseke

Anda mungkin juga menyukai