Anda di halaman 1dari 6

KEARIFAN LOKAL KOTA JOMBANG

UPACARA KUNGKUM SINDEN DI SENDANG MADE KUDU JOMBANG


Upacara di Sendang Made Kudu Jombang merupakan kearifan lokal yang perlu dilestarikan.
Upacara tersebut penuh dengan makna dan simbol-simbol yang membentuk culture system
(sistem budaya) pada masyarakatnya. Cultere system (sistem budaya) menghasilkan wujud budaya
berupa adat istiadat yang berhubungan dengan sistem sosial dan kebudayaan fisik, sehingga
terwujud totalitas kebudayaan yang meliputi ide-ide, aktivitas, dan karya manusia dalam
masyarakat. Ritual kungkum (berendam) di Sendang Made merupakan ritual yang ditunggu oleh
para sinden dan dalang. Karena ritual yang dihelat setiap setahun sekali tersebut diyakini sebagai
acara penobatan bagi para sinden dan dalang serta sebagai ritual untuk obat awet muda. Ritual
Kum-kum di Sendang Drajat tersebut dipercaya dapat memberikan penglarisan bagi para calon
sinden untuk mendapatkan order. Saat proses acara berlangsung, muncul salah seorang tokoh desa
yang mulai mengambil air dengan gayung. Ritual ini diyakini akan membuat para sinden dan
dalang menjadi awet muda. Saat percikan air berkhasiat itu menyentuh kepala mereka, sejumlah
pengharapan mulai diucapkan. Usai siraman, para sinden dan dalang ini mendapatkan penyematan
dari tokoh yang memimpin proses wisuda.
Ritual mandi air Sendang Drajat juga diyakini dapat membuat suara sinden menjadi lebih merdu.
Ritual yang diyakini sudah ada sejak zaman kerajaan Airlangga ini telah menelurkan berbagai
mitos yang seakan-akan selalu menjadi kenyataan. Ritual kung-kum di Sendang Made merupakan
ritual untuk menyelamatkan dan melestarikan budaya jawa. Perkembangan zaman yang diikuti
kemajuan teknologi dan informasi diyakini mulai menggerus eksistensi kesenian tradisional di
masyarakat. Usai acara Wisuda sinden dan dalang, masyarakat Desa Made menggelar acara
Sedekah Desa. Dalam acara ini, masyarakat berduyun-duyun membawa tumpeng untuk acara
selamatan di sekitar sendang drajat.
Makna dari acara tersebut adalah ritual pengukuhan sinden, dimana seorang sinden dipercaya
setelah melakukan ritual ini dipercaya bisa mendatangkan berkah dan upacara ini merupakan
aktualisasi budaya yang harus dijaga dan dikembangkan. Selain itu upacara ini dahulu adalah
hanya sebagai ritual, tetapi seiring berkembangnya zaman, masyarakat dan pemerintah Kabupaten
Jombang bekerjasama untuk menjadikan upacara tersebut sebagai paket wisata yang menarik.
Prosesi Upacara Kungkum Sinden ini terdiri dari, pembukaan, inti, dan penutup. Pembukaan
sendiri diisi dengan pembukaan dari pembawa acara, sambutan dari pejabat terkait dan tes
wisudawan wisudawati. Tes ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan sinden.Acara inti dimulai
dengan prosesi penyiraman sinden oleh pejabat terkait, pemberian Sumber Payung kedalam guci
berkah yang dibawa pulang oleh sinden, untuk diminum sebelum bekerja nyinden. Dan
pengalungan selendang warna hijau sebagai bukti bahwa sinden telah siap untuk terjun
kemasyarakat. Dan acara ditutp dengan acara sedekah desa, ini bertujuan bentuk rasa syukur Desa
Made kepada Tuhan Yang Maha Esa terhadap hasil panen yang diperoleh. Ruwatan wayang oleh
dalang Jombang, bertujuan untuk meruwat masyarakat Desa Made terhadap batarakal.
2. KESENIAN JARAN DOR
Kesenian tradisioanl jaran dor merupakan kesenian tradisional Kuda Lumping asli Jombang.

Kesenian ini merupakan salah satu kesenian khas kabupaten Jombang yag mungkin sudah
terlupakan oleh masyarakat. Meski begitu masih ada beberapa orang yang masih mencoba
melestarikannya. Perbedaan yang sangat menonjol dengan jaranan lain dan menjadi ciri khasnya
adalah alat musik jidor yang saat ditabuh berbunyi dor, sehingga jaranan ini di sebut jaran dor.
Adapun alat musik selain jidor adalah kendang dan sepasang kimplung yang terdiri dari tiga biji
dengan ukuran berbeda. Satu yang berukuran besar di sebut thong, dan yang kecil disebut
ketipung. Sekarang alat musik jaran dor di tambah dengan gong, demung, kendhang, peking,
saron, ketuk, kenong atau biasa disebut dengan gamelan. Kesenian jaran dor ini menggunakan alat
bantu berupa kuda-kudaan yang terbuat dari sesek bambu.
Jaran dor ditampilkan dengan beberapa tari pengiring, yang sekarang di tambah dengan tari
bantengan. Urutan penmpilannya adalah dari tari bapang, tari jaranan khas Jombang, tari topeng,
tari jepaplok, dan ditutup dengan tari bantengan. Puncak penampilan semua penari ada di tangan
tukang gambuh atau yang dikenal dengan pawang. Sebelum tampil pawang harus membakar
kemenyan untuk mendatangkan perewangan. Pawang berdoa agar saat menampilkan perewangan
jangan sampai ada gangguan. Pawang mendampingi penari beraksi dengan membawa cambuk
yang berfungsi untuk memasukkan perewangan ke dalam diri penari juga untuk memulihkan
kesadaran. Jumlah pawang dalam setiap pertunjukan biasanya mencapai empat orang. Seorang
pawang harus mampu seni bela diri dan memiliki keahlian tersendiri yang didapat dengan tirakat.
Saat ndadi (kesurupan), penari akan menuruti semua perintah pawang, dan seorang pawang
mampu membaca seberapa besar kemampuan penari untuk ndadi (kesurupan), karena saat ndadi
sudah menyangkut keselamatan penari juga para penonton. Sandingan khas yang di makan penari
jaran dor adalah dedak. Adapula bunga, rumput, dan pisang. Penari memakan barang berbahaya
seperti beling, jika sebelumnya telah diminta penanggap. Sesaji jaran dor ini seperti tikar baru dari
pandan, sisir, kipas, keras, pisang satu tangkep ( dua sisir), tampah, dedak, minyak wangi, beras
kuning, kelapa utuh, ayam, kemenyan, dan masih banyak lagi. Jika kelengkapan sesaji tidak
terpenuhi, maka akan sangat mengkhawatirkan penampilan jaran dor, apalagi saat ndadi.
Jaran dor saat ini banyak mengalami perubahan, baik alat musik, pakaian maupun tarinya.ini
terjadi karena kecenderungan permintaan masyarakat untuk menampilkan jaranan beserta musik
dangdut dan campursari. Sehingga banyak muncul jaranan campursari versi Jombangan. Dan
masalah kostum dan aksesorisnya ini terdiri dari ikat kepala merah, baju tanpa kancing yang
berwarna hitam dengan gaya kerajaan jaman dahulu, celana sebatas pertengahan betis yang diikat
dengan jarum emas, sarung batik Pesisiran yang panjangnya hingga ke lutut, setagen yang diikat
di pinggang. Penari memakai dua selendang, gelang kaki berupa kumpulan lonceng yang
dilingkarkan di pergelangan kaki.
3. SEDEKAH DESA di PUCANGAN
Di Jombang, tepatnya di Desa Kepuhrejo Kecamatan Kudu Jombang terdapat suatu tradisi unik
yang biasa dilakukan oleh masyarakat sekitarnya yakni sedekah desa di pucangan. Pucangan yaitu
sebuah perbukitan yang terdapat di daerah tersebut, di dalam pucangan tersebut terdapat makam
seorang Dewi Kili Suci. Sedekah desa itu biasanya dilakukan setiap satu tahun sekali, kegiatan

semacam itu dilakukan dengan cara para masyarakat pergi ke pucangan dengan membawa suatu
sesajen berupa tumpeng dan bunga. Mereka pergi kesana dengan berjalan kaki bersama-sama
melewati ladang dan bahkan jurang, namun seiring dengan perkembangan jaman tidak sedikit
orang yang telah menggunakan alat transportasi seperti sepeda motor untuk menempuh perjalanan
sampai ke pucangan.
Di pucangan setelah masyarakat berkumpul acara dimulai dengan sambutan dari beberapa tokoh
masyarakat seperti kepala desa dan juga juru kunci dari Pucangan tersebut, setelah sambutan acara
dilanjutkan dengan doa bersama, doa tersebut meliputi doa tahlilan dan istighosah. Acara doa
bersama ini biasanya dipimpin oleh sesepuh dari desa tersebut. Setelah doa bersama acara
dilanjutkan dengan makan tumpeng yang telah dibawa oleh masing-masing masyarakat.
Sistemnya yaitu sebelum acara dimulai tumpeng dikumpulkan bersama lalu dibagikan merata, hal
ini bertujuan agar masing-masing masyarakat bisa merasakan masakan dari masyarakat lain,
istilahnya tukar menukar makanan. Mengenai bunga yang telah dibawa masyarakat, bunga
tersebut juga dikumpulkan setelah diberi doa bunga tersebut dibagikan kepada masyarakat yang
mengikuti acara tersebut, namun kali ini apabila masyarakat menginginkan bunga tersebut mereka
harus membayar sejumlah uang untuk mendapatkannya. Acara pun selesai sampai disitu,
selanjutnya masyarakat pulang kerumah masing-masing, akan tetapi ada sebagiian dari mereka
yang tidak pulang, mereka yang tidak pulang menyempatkan diri untuk berdoa dimakam dewi killi
suci. Mereka melakukan semua itu sebagai doa agar mereka diberi kesehatan dan keselamatan
dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Bagi mereka yang telah pulang, sesampainya dirumah
bunga yang di dapat dari acara tadi diberi air lalu diminum oleh seluruh anggota keluarga.
Makna dari kegiatan sedekah desa tersebut yaitu sebagai rasa syukur masyarakat desa Kepuhrejo
akan nikmat yang telah diberi oleh sang Kuasa, selain itu juga sebagai wujud terima kasih
masyarakat kepada pucangan karena selama ini dalam berladang/ bermata pencaharian
mereka menggunakan fasilitas yang ada di pucangan baik berupa lahan yang berada disekitar
pucangan maupun air yang biasanya digunakan masyarakat untuk irigasi di ladang mereka.
Kegiatan sedekah desa seperti ini juga dilakukan dalam rangka meneruskan adat-istiadat yang
telah dilakukan nenek moyang sejak jaman dahulu. Mengenai bunga yang diberi air lalu diminum
ini masyarakat percaya bahwa dengan minum bunga yang telah diberi doa tersebut dapat
membantu masyarakat dalam hal kesehatan karena masyarakat dianggap dengan minum bunga
tersebut mereka akan menjadi lebih sehat.
Tradisi seperti ini telah ada sejak jaman nenek moyang, mereka menganggap bawha kegiatan
seperti ini penting untuk dilakukan demi keselamatan dan kesejahteraan hidup mereka. Tradisi
seperti ini pun masih berlangsung sampai sekarang, akan tetapi bagi mereka yang telah mengerti/
telah tergerus oleh jaman modern mereka sudah enggan lagi mengikuti tradisi seperti ini karena
mereka menganggap kegiatan semacam ini sudah kuno dan mereka pun tidak percaya lagi tentang
mitos yang selama ini ada. Dahulu hampir setiap orang di setiap rumah mengikuti tradisi sedekah
desa ke pucangan ini, namun seiring dengan perkembangan jaman hanya mereka yang percaya
dengan tradisi kuno saja yang mengikuti kagiatan ini. Untuk yang tidak lagi percaya dengan
tradisi ini mereka pun sudah terbiasa untuk tidak mengikutinya. Walaupun begitu masih banyak
yang mengikuti tradisi sedekah desa seperti ini terutama orang-orang tua yang tinggal di daerah

tersebut. Mereka pun berniat untuk mewariskan tradisi sedekah desa ini kepada anak-cucu mereka
agar tradisi ini dapat dilestarika.
4. Ruwatan Purwokolo
Ruwatan Purwokolo, merupakan sebuah ritual adat khas Jombang, dimana ruwatan ini merupakan
salah satu bentuk kebudayaan lokal Jombang yang sampai sekarang dilestarikan dan dibudayakan.
Ruwatan Purwokolo merupakan salah satu ruwatan yang ditujukan untuk meruwat atau dalam
artian lain menyelameti anak atau orang dewasa. Ruwatan ini di mulai dengan arak-arakan yang
disertai membawa tumpeng beraneka macam diletakkan di satu meja besar. Selanjutnya semua
yang hadir bersama-sama memanjatkan doa keselamatan bagi seluruh keluarga dan masyarakat.
Ruwatan ini dilakukan secra swadaya, masal atau dalam artian lain diadakan secara bersamasama.
Tradisi ini sudah dilakukan sejak jaman dulu dan akan terus dilakukan sebagai bentuk pelestarian
budaya. Iringan musik gamelan, musik khas pewayangan mengiringi prosesi ruwatan. Berbagai
sesajen telah dipersiapkan, mulai cobakal, canang sari, jenang abang, jenang sengkolo, jajan pasar,
jajan polo pendem, tumpeng kupat lepet, dan aneka makanan tradisional lainnya mulai dari nasi
sampai buah-buahan lengkap tersaji, melengkapi salah satu syarat ruwatan. Makanan tersebut
mengandung makna panca zatnya (lima zat).
Menurut keterangan, lima sesaji tersebut mempunyai arti sendiri-sendiri dalam bahasa sansekerta,
yakni Trianingsih (kuasa Tuhan) yang mengandung arti bahwa sesajen hanyalah sebagai bentuk
perantara karena sebenarnya Tuhan tidak menghendaki adanya sesajen, hanya saja anak manusia
percaya kehadiran sesajen diantara ritual doa kepada Tuhan YME akan lebih lengkap. Kedua,
Resiatnya dimaknai sebagai seorang guru ngaji, begawan atau pendeta jika dalam agama Kristen.
Ketiga, Pritayan yakni doa-doa sebagai bentuk syukur yang ditujukan kepada nenek moyang atau
leluhur yang telah membuat garis keturunan hingga muncul generasi penerus yang saat ini masih
terus ada. Keempat, Manusayatna yakni adanya wethon (tanda hari lahir) merupakan bentuk yang
harus diselamati. Dan yang kelima, Butayatna untuk mengusir iblis, setan, jin, butho, agar tidak
menganggu manusia lagi.
Prosesi ruwatan memberikan makna yang mendalam bagi anak atau orang dewasa yang sedang
diruwat. Satu per satu mereka dimandikan dengan kembang tujuh warna (tujuh macam bunga)
yang diguyurkan sebanyak tujuh kali ke seluruh tubuh oleh pemimpin ruwatan. Ada doa mantra
dan lelaku yang semuanya bertujuan untuk keselamatan jiwa dan raga bagi orang yang diruwat.
Banyak kisah yang mewarnai bagaimana awalnya ruwatan tersebut bisa dilakukan. Setiap orang
mempunyai cerita sendiri-sendiri dari masing-masing leluhurnya. Yang jelas rangkaian ruwatan
tersebut sudah berpuluh-puluh tahun dilaksanakan, dan tradisi ini sudah menjadi satu keyakinan
yang sulit ditinggalkan. Bagi orang-orang tua, acara ruwatan ini sangat penting sehingga
muncul sugesti pada diri mereka bahwa jika tidak melakukan ruwatan maka berbagai balak (hal
buruk) akan menimpa di kemudian hari. Satu contoh misalnya ada sepasang suami istri hanya
memiliki satu orang anak, ini menurutnya wajib diruwat karena jika tidak maka akan membawa

bencana bagi keluarga, ataupun diri anak itu sendiri. Entah anak itu sering sakit atau susah
mendapatkan rizki maupun jodoh.
Ruwatan ini dibingkai dalam komitmen persatuan antar umat beragama, sehingga mereka yang
hadir tidak hanya seluruh warga Desa yang bersangkutan mengadakan Ruwatan tersebut, yang
berbeda-beda agama dan kepercayaannya. Tetapi ada juga para undangan pemuka dan tokoh
agama di Kabupaten Jombang. Dan beberapa ahli ahli waris yang mempunyai garis keturunan dari
keluarga Metaraman.
Keluarga Mataram (Pendamping dan Pemimpin Ritual)
Untuk mapak (menjemput) bulan 15 Suro tepatnya bulan purnama yang disakralkan tersebut,
mulai tanggal 1 Suro sudah dipersiapkan rangkaian selamatan berupa tirakatan selama satu hari
penuh. Tirakat disini kita berpuasa tanpa makan, tanpa minum, tanpa bicara dan tanpa tidur
mulai pergantian bulan pada malam hari tepat jam 00 sampai datang jam 00 hari berikutnya yakni
tanggal 1 suro, baru kita mulai berbuka lagi. Selametan in ipun ada syaratnya yakni tiap anggota
keluarga yang turut serta harus membawa tumpeng yang diwadahi ngaron (tempayan yang terbuat
dari tanah berbentuk bulat) yang berisi ingkung dan sego gurih (ayam dan nasi kuning).
Sebagian besar yang mengikuti acara ruwatan ini murni garis keturunan Hamengkubowono XI
dari Jawa Tengah. Untuk di Jawa Timur pelaksanaan ruwatan hampir sama, hanya saja
perbedaannya terletak pada pemimpinnya. Jika di Jawa Tengah langsung dipimpin oleh Sultan
Hamengkubuwono. Perlu dan tidaknya ruwatan tersebut tergantung keyakinan pribadi masingmasing. Terkadang mahalnya biaya ruwatan menjadi kendala bagi seseorang untuk melakukannya.
Jika seseorang percaya namun tidak mampu untuk mengeluarkan biaya tentunya ruwatan tidak
akan pernah terlaksana. Untuk meringankan biaya muncul gagasan mengadakan ruwatan dengan
cara patungan. Maka sejak 10 tahun lalu di Jombang munculah ideuntuk melaksanakan ruwatan
secara bersama-sama.
Keluarga besar Mataram di Jawa Timur biasa di panggil dengan istilah keluarga Metaraman.
Anehnya meskipun dalam satu garis keturunan ternyata keyakinan agama yang dianut berbedabeda. Mereka tetap menjaga kerukunan dan menjunjung keutuhan keluarga besar. Ruwatan hanya
persoalan adat istiadat yang ada di Jawa, namun sangat diyakini keberadaannya karena jika
ditinggalkan muncul dampak ketakutan yang luar biasa dari diri keluarga. Untuk itulah mau tidak
mau keberadaan ruwatan harus tetap diadakan.
Semantara itu, Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk ruwatan? Ruwatan yang sangat
sederhana saja bisa menghabiskan dana Rp.10 Juta lebih. Biasanya ketika yang diruwat hanya satu
anak atau ontang anting, dia membayar iuran sebesar Rp 500 ribu, jika dua orang anak perempuan
atau kembang sepasang, biaya akan bertambah Rp 50 ribu, begitu seterusnya semakin banyak
jumlah anak yang diruwat maka nilai iuran pun akan bertambah. Cara ini relatif lebih murah untuk
bisa mengadakan ruwatan, karena untuk mendatangkan dalang saja butuh dana sekitar Rp 6 juta.
Tentunya tidak menjadi mahal jika ditanggung bersama-sama. Selain itu, jika tidak diadakan
rasanya tidak enak karena sudah menjadi agenda tahunan yang telah dimulai sejak nenek moyang

dulu. Namun kapan dimulainya? Warga asli Jombang sendiri tidak begitu tahu. Yang jelas, sejak
10 tahun yang lalu kesepakatan untuk mengadakan kembali sebagai bentuk penghormatan kepada
kakek nenek kita dulu sudah di
5. Kesenian Besutan
Budaya yang asli dilahirkan di Jombang yang terancam tenggelam, karena perkembangan zaman.
Dan dulu sempat jadi ikon kesenian kota Jombang dan menjadi cikal bakal kesenian ludruk yang
juga di lahirkan di Jombang, besutan namanya. Kesenian besutan ini merupakan kesenian
tradisional yang di kembangkan dari kesenian amen atau kesenian yang dimainkan dengan cara
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainya yang bernama lerok.
Kesenian tradisional yang bernama besutan ini menceritakan atau menggambarkan tentang
masyarakat yang hidupnya terbelenggu, terjajah, terkebiri, dibutakan, dan hanya boleh berjalan
menurut apa kata penguasa. Besut itu sendiri merupakan akronim dari kata beto maksud atau biasa
kita mengucapkan mbeto maksud dan kalau di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah
membawa pesan. Jadi kesenian tradisional besutan atau lebih tepatnya teater tradisional besutan
tersebut dalam penampilanya selalu menceritakan ketertindasan masyarakat karena ketidakadilan
atau keangkuhan penguasa. dan itu pesan yang selalu ingin disampaikan besut kepada para
penguasa.
Dan sebenarnya besutan ini pada awalnya diperankan dimainkan oleh satu orang saja atau
dalam bahasa seninya bernama monolog. Dan besut sendiri mencerminkan tokoh laki-laki yang
cerdas, terbuka, perhatian, kritis, transformatif, dan nyeni, dan seiring perkembangan jaman pada
waktu itu berubahlah besutan ini bukan lagi menampilkan satu pemain atau melainkan di tambah
dengan beberapa pemain. seperti Besut sendiri sebagai tokoh utamanya, Rusmini yang cantik
gemulai, Man Gondo yang selalu memperankan tokoh jahat sebagai musuhnya lakon atau biasa
disebut antagonis dan sekaligus pamanya rusmini, Sumo Gambar yang selalu mederita karena
cintanya bertepuk sebalah tangan karena cintanya selalu bertepuk sebelah tangan sehingga
menjadikanya antagonis. Dengan tema apa pun lakon atau ceritanya, bumbu cinta segitiga antara
Rusmini, Besut, dan Sumo Gambar selalu menjadi penyedapnya. Dan itulah sedikit gambaran
yang diceritakan dalam teater tradisional yang di lahirkan di kota santri. Dan hanya ingin
mengingat-ingat kembali kalau Jombang kota santri mempunyai kesenian yang perlu dijaga dan di
lestarikan sampai akhir hayat nanti.

Anda mungkin juga menyukai