A. Pendahuluan
Drs. Y.R. Subakti, M.Pd., adalah dosen tetap pada Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP - Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
(Taisei Hōkan).
Selama berada di bawah kekuasaan Shogun Tokugawa selama 264 tahun, Jepang
menghalami masa perdamaian yang panjang. Salah satu penyebab masa
perdamaian ini adalah penerapan politik isolasi atau politik menutup diri yang
dilakukan oleh Shogun Tokugawa. Dengan politik isolasi ini, justru Jepang
mengalami kemandirian untuk memenuhi segala kebutuhan hidup bangsa Jepang
tanpa tergantung bangsa lain. Salah satu perkembangan yang mencolok pada masa
ini adalah bidang perdagangan.
Politik isolasi tersebut sebenarnya bertujuan melakukan stabilisasi keadaan untuk
mencegah kemungkinan timbulnya revolusi dari dalam dan juga untuk mencegah
masuknya ide-ide baru dari luar, khususnya dari Barat, yang dapat
menggoncangkan stabilitas negara. Oleh karena itu, setiap kemungkinan yang akan
menimbulkan destabilitas negara selalu dicegah oleh Shogunat Tokugawa.
Dalam struktur atau susunan masyarakat Jepang, khususnya pada awal-awal
kekuasaan Shogun Tokugawa, kedudukan golongan pedagang/pengusaha berada
pada posisi paling bawah. Dibandingkan dengan golongan petani dan golongan
tukang (termasuk pandai besi), golongan pedagang kurang mendapat kehormatan.
Hal ini terjadi karena masyarakat Jepang lebih menuntut adanya etika ksatria,
sedangkan pada golongan pedagang etika ini sangat kurang. Di samping itu
masyarakat Jepang melihat bahwa golongan pedagang dalam menjalankan
perdagangan terlalu banyak mengambil untung, sehingga merugikan rakyat
kebanyakan (Hane, 1972).
Dalam perjalanan politik lebih lanjut, ternyata golongan pedagang mampu
memperbaiki citra dirinya, yaitu eksistensinya dari golongan yang rendah akhirnya
memiliki kedudukan yang cukup terpandang di Jepang pada masa-masa akhir
kekuasaan Shogun Tokugawa. Pada saat-saat keruntuhan Shogun Tokugawa dari
panggung kekuasaannya, golongan pedagang justru memiliki posisi yang
menentukan terhadap jalannya roda pemerintahan. Mereka, di samping ada juga
peranan dari golongan lain, secara tidak langsung ikut berpartisipasi dalam
menumbangkan cengkeraman kekuasaan Tokugawa dan yang kemudian diikuti
Restorasi Meiji (Dasuki, 1963a).
Tumbuh dan berkembang serta berubahnya eksistensi golongan pedagang, dari
kelompok dalam posisi rendah pada susunan masyarakat Jepang dan akhirnya
mampu mengangkat citranya, sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Inilah yang
akan menjadi masalah dalam uraian singkat ini. Kalau dieksplisitkan maka
permasalahan tersebut adalah : 1) bagaimana perkembangan perekonomian di
Jepang pada masa kekuasaan Shogun Tokugawa ? 2) Mengapa golongan pedagang
pada masa Shogunat Tokugawa mampu mengadakan perubahan-perubahan yang
dapat meningkatkan citra dirinya ?
Dalam membahas permasalahan di atas, maka tidak akan terlepas dari kehidupan
masyarakat Jepang dan situasi politik pemerintahan pada masa Shogun Tokugawa.
Hal ini disebabkan posisi golongan pedagang tidak akan dapat dilepaskan dari
kehidupan masyarakat Jepang pada keseluruhannya.
B. Struktur Masyarakat Jepang Era Tokugawa
Rakyat Jepang pada masa kekuasaan Tokugawa tersebar dalam strata sosial-
ekonomi atas, menengah dan bawah. Dalam perspektif psikososial dan
keberagaman status sosial-ekonomi, mereka memiliki kebutuhan-kebutuhan
psikologis dan norma sosial serta prioritas dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan
yang relatif berbeda.
Bagi kelompok masyarakat yang hidupnya berhasil dan masuk dalam kategori
strata sosial ekonomi menengah-atas, menata dan mengelola hidup secara tertib,
teratur bahkan estetis (indah) sudah menjadi kebutuhan pokok atau primer. Bagi
mereka hidup dengan beragam persoalannya tidak dapat lagi diatasi dengan cara-
cara naluriah atau instingtif. Mereka sudah memaksimalkan peran logika atau rasio.
Kemampuan akal pikir dimanfaatkan untuk memandu dan memecahkan persoalan
hidup. Hidup harus tertib dan tertib harus operasional atau terukur, demikian juga
arti teratur bahkan indah juga harus dedefinisikan secara operasional, yakni
dihitung, diuji dan dibuktikan secara empiris. Dan ukuran utama keberhasilan
dalam memandu dan memecahkan persoalan hidup adalah bersifat kuantitatif dan
material. Dengan kata lain, kemajuan atau progres dan keuntungan fisik, material
dan empiris menjadi parameter utama keberhasilan hidup.
Bagi kelompok masyarakat dengan kategori strata sosial ekonomi bawah atau orang
miskin, kehidupan sehari-hari mereka diwarnai dengan perjuangan keras untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok, yakni; pangan, papan dan sandang.
Persoalan utama bagi mereka adalah mempertahankan diri agar tetap bisa bertahan
hidup. Sudah pasti kebiasaan-kebiasaan hidup kelompok masyarakat dengan status
sosial ekonomi menengah-atas (orang kaya) sulit untuk dapat mereka tiru. Hidup
tertib, teratur apalagi penuh dengan nuansa estetis jauh dari benak mereka. Hidup
disikapi dan dimaknai dengan kaca mata miliknya, yakni kesederhanaan,
ketidakteraturan, ketidakdisiplinan atau dengan kata lain semau gue. Ini bukan
berarti mereka tidak memiliki keinginan atau impian hidup sejahtera dengan ciri
tertib, teratur dan indah, namun tenaga dan pikiran sudah terkuras habis untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar. Ketidakberdayaan ini mendorong mereka
menyerahkan hidup pada garis nasib, sehingga akal pikir tidak dapat berperan
maksimal atau kurang fungsional.
Ada jurang pemisah cukup besar antara orang kaya dengan orang miskin. Secara
psikososial-ekonomi mereka terpisahkan. Masing-masing memiliki sikap, pola pikir,
pola perilaku, orientasi kebutuhan hidup dan parameter keberhasilan hidup yang
berbeda. Dalam konteks modernitas dengan kridonya efisiensi, efektifitas, daya
guna dan kemajuan ekonomi maka orang kaya sudah pasti menjadi kelompok yang
sangat representatif untuk mewakili kekuasaan pada masa Tokugawa. Status dan
peran mereka ada pada level pembuat kebijakan. Sebagai pembuat dan penentu
kebijakan, maka cara pandang orang kaya yang termanifestasikan dalam beragam
peraturan sudah pasti akan diarahkan dan diprioritaskan untuk mendukung dan
mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka. Sementara kaum miskin hanya
tinggal di pinggir menyaksikan dan menerima dirinya digusur sesewaktu demi
ketertiban dan keindahan yang dipersepsikan pengambil keputusan yang jelas-jelas
beda statusnya dengan mereka.
berdasarkan kajian di atas, pada masa kekuasaan Shogunat Tokugawa, ditinjau dari
aspek sosial, masyarakat Jepang dapat dibagi berdasarkan suatu sistem kelas yang
turun-temurun. Kerangka utamanya adalah berdasarkan pada sistem nilai yang
berlaku, yaitu prestise yang berhubungan secara langsung dengan kekuasaan yang
menjadi sarana untuk menentukan status sosial seseorang atau kelompok, bukan
kekayaan (Bellah, 1992:35). Berdasarkan struktur kekuasaan yang ada di Jepang,
maka hirarki kemasyarakatan di Jepang dapat dibagi menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama adalah kelompok penguasa, sedangkan kelompok kedua adalah
rakyat biasa. Kelompok penguasa masih dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan
seperti susunan piramidal.
Menurut tradisi dan stratifikasi sosial politik di Jepang, puncak tertinggi dari
kelompok penguasa diduduki oleh Tenno beserta keluarganya serta bangsawan
istana. Mereka dipercaya oleh rakyat biasa sebagai keturunan Dewi Amaterasu
Omikami yang diturunkan untuk memerintah Jepang. Meskipun rakyat
mempercayai bahwa Tenno merupakan penguasa tertinggi, namun dalam praktik
kehidupan politik sehari-hari di Jepang, kekuasaan Tenno ini sangat kecil.
Termasuk di dalam kelompok ini adalah kelompok kuge. Kelompok ini dihormati
karena keturunan kebangsawanannya, tetapi tidak berpengaruh dalam bidang
politik dan ekonomi. Hal ini disebabkan kekuasaan politik dipegang oleh shogun
dan juga oleh kelompok buke (kelompok bangsawan militer). Tenno hanya bertugas
dalam hal-hal yang bersifat seremonial dan yang berkaitan dengan aspek religius
atau ritual yang berkaitan dengan kepercayaan Shintoisme (Dasuki, 1963a).
Posisi kedua di bawah Tenno dan kuge adalah kelompok buke yang terdiri dari
shogun, para daimyo dan keluarganya. Namun para daimyo adalah penguasa
daerah, sedangkan shogun Tokugawa adalah penguasa dalam bidang politik, sosial
dan ekonomi di pusat kerajaan. Kelompok ini memegang kekuasaan pemerintahan
sejak tahun 1600, yaitu ketika Perang Sekigara berakhir dengan kemenangan
keluarga Tokugawa Ieyashu yang kemudian menjadi shogun pertama dari keluarga
Tokugawa. Pusat pemerintahan Shogun Tokugawa adalah di Yedo yang sekarang
bernama Tokyo (Latourette, 1957a : 235-236).
Posisi ketiga dari struktur kekuasaan di Jepang ditempati oleh para daimyo sebagai
penguasa daerah. Oleh Shogunat Tokugawa mereka diberi wewenang untuk
membantu kelancaran pemerintahan pusat di Yedo. Kelompok ini diberi wilayah
kekuasaan dan juga apanage yang disebut dengan Han. Para daimyo diberi hak
otonomi yang luas oleh Shogunat Tokugawa. Hak-hak tersebut antara lain meliputi
hak memilih para pembantu pemerintahan daerah, hak menentukan besarnya
pajak, hak untuk memiliki kekuatan tentara sendiri, serta hak-hak untuk
menentukan kebijakan politik lainnya (Hackett, 1972:13-14).
Kelompok daimyo juga masih dibagi menjadi tiga strata, yaitu daimyo shimpan,
daimyo fudai dan daimyo tozama (Hane, 1972:23). Daimyo shimpan adalah daimyo
yang berasal dari keturunan langsung atau mempunyai hubungan langsung dengan
keluarga Tokugawa. Sedangkan daimyo fudai adalah daimyo bawahan yang setia
kepada keluarga Tokugawa, terutama sewaktu terjadinya Perang Sekigara. Dengan
kata lain, daimyo fudai ikut secara langsung membantu shogun Tokugawa dalam
merebut kekuasaan. Kemudian untuk daimyo tozama adalah daimyo bekas
bawahan Toyotomo Hideyoshi yang menjadi musuh sekaligus bawahan Tokugawa.
Daimyo ini tidak ikut membantu shogun dalam merebut kekuasaan. Daimyo-
daimyo Tozama terdiri dari beberapa keluarga, yaitu Chosu, Satsuma, Hizen dan
Tosa. Oleh karena belum dapat dipercaya sepenuhnya oleh Shogun, maka berbagai
pembatasan dikenakan kepada mereka antara lain tidak boleh menghadap Tenno
secara langsung; menduduki jabatan-jabatan penting di Yedo; memiliki kekayaan
yang berlebih-lebihan (Beasley, 1990:4).
Struktur paling bawah dalam hirarki kekuasaan feodal Jepang adalah kelompok
samurai atau bushi. Kelompok ini secara tradisi merupakan anggota prajurit atau
pasukan perang. Namun pada masa kekuasaan Shogunat Tokugawa, mereka
merangkap manjadi birokrat. Kehidupan kelompok ini sangat tergantung pada
upah atau gaji yang diberikan oleh tuan mereka, yaitu para daimyo atau shogun.
Para daimyo di Jepang jumlahnya sekitar 450.000 (Waltz, 1950: 214-215). Dalam
pandangan masyarakat Jepang, terutama pada masa kekuasaan shogunat
Tokugawa, kelas samurai merupakan kelas elit yang eksklusif. Kemana pun mereka
pergi, selalu menyandang pedang panjang. Kehidupan kelas samuari sangat
diwarnai oleh ajaran Bushido (Jalan Kesatria). Penekanan kesetiaan kepada tuannya
menjadikan kematian bukan sesuatu yang menakutkan, apalagi kalau membela
sesuatu yang benar. Mereka rela mati demi kesetiaan dengan cara harakiri atau
seppuku (Bellah, 1992:121-134).
Kelas kedua dalam struktur sosial masyarakat Jepang adalah rakyat biasa.
Berdasarkan mata pencahariannya, kelas rakyat ini dapat distratifikasikan menjadi
tiga kelompok. Kelompok pertama adalah petani (Nomin), merupakan kelompok
terbesar dan tingkatannya langsung berada di bawah golongan Bushi. Mereka
hidup dari mengolah tanah yang secara hukum adalah milik Tenno yang
dipinjamkan kepada para daimyo. Dengan demikian pada musim panen, para
petani harus menyerahkan sebagian dari hasil panen kepada para daimyo yang
kemudian menyerahkan sebagian lagi kepada Tenno (Waltz, 1950:215). Dalam
sistem feodal yang dikembangkan pada masa Tokugawa, petani menjadi tumpuan
utama, karena kehidupan para bakufu sangat tergantung pada produksi pertanian
(Hane, 1972:31-32). Para petani harus menjamin hidup golongan kuge, buke dan
samurai.
Posisi golongan petani memegang peranan penting karena mereka merupakan
penghasil beras. Beras dipergunakan sebagai satu-satunya ukuran, baik dalam
menentukan besarnya pajak dan juga sebagai alat pembayaran dalam sistem
perdagangan ketika Jepang belum mengenal sistem uang. Beras juga menjadi
standar kekayaan. Status seorang daimyo diukur dalam batas penilaian pemilikan
dan tingkat penghasil beras di wilayah kekuasaannya (Storry, 1963 : 73)
Kelompok kedua dalam kelas masyarakat biasa adalah golongan pekerja atau
pengrajin (Shokuin). Kelompok ini adalah strata di bawah petani, karena mereka
juga bekerja secara langsung untuk golongan penguasa (bakufu). Mereka tinggal di
pusat pemerintahan di Yedo. Oleh sebab itu, kelompok pengrajin merupakan
kelompok rakyat biasa yang paling dekat dengan kelompok penguasa (Bellah,
1992:35; Waltz, 1950:215).
Golongan di bawah pengrajin adalah golongan pedagang (Waltz, 1950:215). Pada
awalnya mereka dipandang sebagai pihak yang tidak pernah menyumbangkan jasa
kepada bakufu dan dianggap kurang produktif. Pekerjaan pedagang dianggap
pekerjaan yang hina, karena hanya mencari keuntungan pribadi saja. Meskipun
secara sosial golongan pedagang dianggap rendah, namun dalam aspek ekonomi
kelompok ini merupakan kelompok yang paling makmur di antara kelompok-
kelompok yang lain. Bahkan pada abad XVIII sampai abad XIX kelompok ini ada
yang melebihi kekayaan para daimyo. Hal ini mendorong kedudukan golongan ini
dalam strata sosial masyarakat naik dengan cepat (Hane, 1972:31-32; Bellah,
1992:36).
Dari golongan-golongan yang ada di dalam masyarakat Jepang, terdapat suatu
golongan yang tidak termasuk ke dalam salah satu dari golongan atau kelas di atas.
Golongan ini disebut dengan Senmin yang berarti tidak boleh disentuh. Mereka
adalah lapisan yang mempunyai pekerjaan-pekerjaan yang paling kotor. Golongan
Senmin dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu hinin atau pengemis dan eta atau jagal,
penyamak kulit. Senmin adalah golongan masyarakat yang disamakan dengan kelas
binatang (Dasuki, 1963a).
Shogunat Tokugawa menerapkan struktur sosial masyarakat yang tertutup yang
tidak memungkinkan adanya mobilitas status sosial dalam masyarakat. Misalnya,
kelas petani tidak akan beralih status sosialnya ke kelas di atasnya seperti kelas
samurai. Tujuannya adalah untuk menjaga kemurnian ras yang ada, serta menjaga
agar mobilitas rakyat agak terhambat. Hal ini akan mengakibatkan masyarakat
tidak akan begitu kritis dalam melihat suatu ketimpangan politik. Di samping itu
juga dipergunakan untuk mempertahankan prestise kekuasaan. Sebab kekuasaan
yang menentukan status sosial seseorang, bukannya kekayaan seseorang (Bellah,
1992:35).
Dari struktur masyarakat tersebut di atas, terlihat bahwa tanpa adanya suatu
dorongan yang mampu memunculkan suatu perubahan, terutama dalam sektor
perekonomian, maka tidak akan terjadi suatu mobilitas sosial suatu golongan,
terutama mobilitas ke atas. Namun, struktur masyarakat Jepang era Tokugawa
tersebut justru mengalami suatu perubahan yang didorong oleh perubahan dalam
sektor perekonomian, terutama melalui perdagangan. Hal inilah yang kelak akan
mendorong mobilitas sosial golongan pedagang ke status sosial yang lebih tinggi.
Ketika sistem sankin kōtai ( 参勤交代 ) diterapkan oleh Shogun Tokugawa, maka
para daimyo diwajibkan berada di Yedo selama enam bulan setiap tahunnya.
Sankin kōtai ( "alternatif kehadiran") adalah kebijakan yang Shogunat Tokugawa
dalam pemerintahannya. Tujuannya adalah untuk mengontrol dan mengawasi para
daimyo agar tidak melakukan pemberontakan terhadap Shogun Tokugawa. Sankin
Kōtai sudah dikembangkan di Jepang sejak kekuasaan Toyotomi Hideyoshi. Dalam
1635, undang-undang yang diperlukan untuk memperkuat kedudukan sankin
kōtai. Undang-undang ini tetap berlaku sampai 1862.
Di atas disebutkn bahwa pihak yang paling menderita atas penerapan sistem sankin
kotai ini adalah para daimyo. Sewaktu para daimyo berada di daerahnya masing-
masing, maka keluarga mereka harus ditempatkan di Yedo sebagai jaminan
(Beasley, 1990:5). Mereka diwajibkan membayar pembiayaan perbaikan istana
bakufu di Yedo dan pekerjaan umum lainnya (Ishii, 1990:86). Dengan demikian para
daimyo harus menanggung pengeluaran sangat besar dan sangat memberatkan
ekonomi rumah tangga para daimyo. Untuk hal ini maka para daimyo lebih
membutuhkan uang tunai daripada beras. Para daimyo mempergunakan para
pedagang menjadi agen-agen dari para daimyo untuk menjualkan beras mereka.
Hal ini terjadi terutama terhadap para pedagang di Osaka, yang merupakan kota
dagang terbesar di Jepang pada saat itu. Para pedagang ini dikenal sebagai
kuramoto, yaitu penjaga gudang beras milik daimyo dan kakeya, yaitu pedagang
yang bertindak sebagai agen keuangan para daimyo.
Jadi sebenarnya, para pedagang yang disebut sebagai kuramoto dan kakeya
tersebut dapat disebut juga sebagai pengikut para daimyo. Namun, ikatan di antara
mereka tidak sekuat seperti ikatan antara daimyo dengan para samurai. Sewaktu-
waktu mereka dapat melepaskan diri, terutama ketika hubungan antara mereka
dengan para daimyo sudah tidak menguntungkan lagi.
Kota Osaka menjadi pusat perdagangan yang sekaligus kota pelabuhan terbesar di
Jepang. Sebagian besar penduduk Osaka adalah para pedagang yang menjadi
gantungan hidup para daimyo ketika mereka berada di Yedo. Di antara para
pedagang tersebut akhirnya ada yang menjadi kaya sekali dan menjalin hubungan
yang erat dengan Bakufu. Di antara mereka adalah Konoike, Tennojiya dan
Hiranoya. Mereka adalah pedagang besar yang sekaligus mengelola bank
(Crawcour, 1972:106).
Sebagai pedagang besar dan sekaligus bankir yang meminjamkan uang kepada para
daimyo, mereka mengawasi sistem kredit untuk seluruh Jepang. Melalui sistem
pelayanan penukaran uang dan pengiriman uang, mereka mengawasi sistem pasar
uang yang ditentukan berdasarkan pada nilai emas dan perak. Mereka juga
sekaligus bertindak sebagai agen keuangan dari Shogun Tokugawa. Akhirnya
mereka mengontrol jalur-jalur keuangan antara Osaka dengan Yedo (Crawcour,
1972:106).
Salah satu bankir terkenal yang memiliki jalur hubungan utama dengan para
penguasa adalah Konoike. Menurut catatannya, pada tahun 1670 ia menyalurkan
kredit kepada pedagang kecil sebesar 59,3 %. Dari seluruh pijaman yang disalurkan,
sebesar 19 % adalah kredit untuk para daimyo. Pada tahun 1706 pinjaman para
daimyo meningkat sebesar 65,8% dari seluruh kredit yang ada. Kemudian pada
tahun 1795 kredit yang disalurkan untuk para daimyo meningkat menjadi 76,9%.
Konoike juga mencatat bahwa ia menyalurkan pinjaman untuk 32 daimyo dan
setiap tahun menerima sekitar 10.000 koku beras. Jumlah ini lebih banyak daripada
beras yang dimiliki oleh seorang daimyo. Daimyo yang paling kecil hanya
menerima 10.000 koku beras. Mereka masih harus memperhitungkan segala
pembayaran biaya bagi keluarganya di Yedo (Hirschmeier, 1964:19-20).
Usaha para pedagang ini dilindungi oleh Shogun karena merasa membutuhkan
bantuan mereka. Bahkan Shogun membentuk suatu wadah sejenis gilde agar tidak
terjadi persaingan yang tidak membahayakan kedudukan Shogun Tokugawa.
Wadah ini juga bermanfaat bagi Shogun, yaitu untuk memperoleh tambahan
keuangan dan mengawasi agar kemewahan yang diperoleh golongan pedagang
tidak menyamai kemewahan golongan bangsawan. Hal ini menunjukkan bahwa
golongan pedagang ini sebenarnya telah menjadi kelas menengah tersendiri yang
makmur dan mampu mempengaruhi penguasa (Clyde, 1958:179).
Sistem sankin kotai memang merugikan para daimyo, namun sebenarnya justru
meningkatkan lalulintas perdagangan. Kota Yedo menjadi pusat dari semua jalur
perdagangan. Hal ini memang masuk akal karena di Yedo yang menjadi pusat
pemerintahan Shogun, juga tinggal para daimyo yang membutuhkan jasa para
pedagang.
Politik isolasi yang diterapkan Shogun Tokugawa memang mampu memutuskan
jalur-jalur perdagangan dengan luar negeri, namun tidak mampu untuk mematikan
jalur-jalur perdagangan dalam negeri. Jepang yang wilayah geografisnya terdiri dari
kepulauan, justru mendorong meningkatnya perdagangan antar pulau dengan
mempergunakan sarana pelayaran. Pulau-pulau yang memegang peranan penting
dalam perdagangan adalah pulau Honzu dan Hokaido. Hal ini terlihat menjelang
jatuhnya Shogunat Tokugawa, terdapat 10 buah pelabuhan di kedua pulau tersebut.
Pelabuhan-pelabuhan tersebut selalu penuh dengan kapal-kapal besar yang
berbobot mati sekitar 1000 koku (Flershem, 1964:407).
Menurut Flershem (1964:405) banyaknya kapal dagang yang terdaftar dalam
dokumen pada tahun 1804 - 1867 adalah sebagai berikut :
Dari data tersebut dapat dijadikan indikator bahwa sebenarnya dengan politik
isolasi tersebut justru meningkatkan perdagangan antar pulau di Jepang. Hal ini
disebabkan mau tidak mau Jepang harus mampu memenuhi kebutuhannya sendiri.
Di samping itu, dengan tidak adanya persaingan perdagangan dengan dunia luar,
maka perdagangan dalam negerinya terdorong untuk berkembang dengan pesat.
Di muka telah disinggung bahwa sebenarnya golongan pedagang dapat menjadi
tumpuan utama bagi keuangan Bakufu. Tumpuan ini disebabkan oleh sikap bakufu
beserta para daimyo yang hidup secara mewah di istana Yedo. Para pedagang
sering dijadikan sasaran tempat peminjaman uang. Bila keuangan Bakufu
mengalami kekosongan, maka para pedagang dipaksa untuk meminjamkan uang
(go-yokin) dan meningkatkan pemberian istimewa, yaitu sejenis upeti (myogakin)
dan mewajibkan mereka untuk membeli beras dari para daimyo demi stabilisasi
harga (Hirschmeier, 1964:16).
Ketika harga beras pada tahun 1806 mengalami kemerosotan paling bawah dan
mengancam nasib petani dan samurai, maka Bakufu memerintahkan 318 pedagang
di Osaka untuk membeli dan menyimpan sebanyak 1,2 juta koku beras. Bagi para
bankir dan pedagang, terutama yang terikat dengan penguasa, beban yang
diberikan ini tidak dianggap sebagai suatu beban yang berat. Mereka justru
beranggapan bahwa sudah seharusnya membantu kesulitan keuangan para
penguasa. Sebab selama ini kepada mereka hanya dibebankan pajak saja yang tidak
sebanding dengan besarnya kekayaan mereka. Karena kekayaan dan eratnya
hubungan para pedagang dengan pihak Bakufu, maka di kota-kota mereka
dianggap sebagai warga yang terhormat, meskipun status sosial mereka tetap
dipandang rendah (Hirschmeier, 1964:16).
Uang yang pada awal mulanya dianggap sebagai alat penukar yang dapat
membantu memudahkan jalannya perdagangan, mulai berkembang dan
menunjukkan perannya yang sangat penting. Bakufu membuat uang dari mas,
perak dan tembaga dalam jumlah yang besar. Demikian juga para daimyo juga
membuat uang dari kertas. Hal ini berdampak pada munculnya para bankir yang
terkenal, antara lain Mitsui dan Konoike.
Dengan kekayaan yang melimpah namun dengan status sosial yang rendah, maka
para pedagang berusaha untuk meningkatkan eksistensi mereka. Golongan
pedagang ini akhirnya banyak membeli tanah-tanah petani di desa-desa, karena
para petani banyak yang menjual tanahnya untuk menutup hutang dan membayar
pajak yang tinggi. Daripada para petani memiliki tanah yang luas namun tidak
mampu membayar pajak, maka mereka menjual tanah mereka kepada para
pedagang. Golongan pedagang ini akhirnya banyak yang menjadi tuan tanah dan
menyaingi kedudukan para daimyo (Hirschmeier, 1964:76).
Pada masa-masa akhir kekuasaan Shogun Tokugawa, kondisi keuangannya sangat
menyedihkan. Demikian juga banyak para daimyo yang jatuh bangkrut. Para
samurai akhirnya menjual gelarnya atau berkelana menjadi ronin. Bakufu dan para
daimyo berusaha agar golongan pedagang yang memberi kredit kepadanya
bersedia menghapus hutang-hutang mereka. Akan tetapi tindakan ini menimbulkan
rasa tidak puas di kalangan kelas pedagang. Bahkan golongan ini menunggu saat
yang tepat untuk meruntuhkan kekuasaan. Namun usaha ini dengan mudah dapat
digagalkan oleh Shogunat Tokugawa sebagai penguasa.
Dari uraian di atas terlihat bahwa politik isolasi yang diterapkan oleh Shogun
Tokugawa sebagai penguasa di bidang politik, justru memperkuat sistem
perekonomian dalam negeri Jepang. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kota-
kota pelabuhan dan kapal-kapal yang menghubungkan antar pulau di Jepang.
Peranan dalam sektor perekonomian ini dikuasai oleh para pedagang.
Para pedagang sebenarnya memberi kontribusi sangat besar terhadap jalannya roda
pemerintahan Shogun Tokugawa. Dengan demikian terdapat suatu jalinan erat
antara kelompok pedagang dengan para penguasa di Jepang. Hal ini
mengakibatkan golongan pedagang memiliki semacam tempat perlindungan bagi
usahanya yang akhirnya bermuara pada terakumulasinya kekayaan di tangan para
pedagang.
Shogun yang menerapkan sistem sankin kotai justru semakin memperkuat posisi
golongan pedagang. Sebaliknya, sistem ini justru mendorong pemiskinan dan
kebangkrutan para daimyo dan samurai. Kekayaan dan prestise mereka akhirnya
menurun dan dikuasai oleh para pedagang.
E. Kesimpulan
Perubahan-perubahan dalam bidang perdagangan di Jepang pada masa kekuasaan
Tokugawa, terjadi suatu hubungan yang erat antara para pedagang dengan para
penguasa feodal. Sebenarnya hubungan ini dapat dikatakan sebagai hubungan
timbal balik yang saling menguntungkan. Namun, hubungan yang bersifat simbosis
mutualistis ini sangat erat dengan perkembangan perdagangan di Jepang sebagai
dampak dari politik isolasi yang diterapkan oleh Shogun Tokugawa.
Perkembangan perdagangan pada masa kekuasaan Shogun Tokugawa sangat baik.
Hal ini sangat berkaitan erat dengan penerapan politik isolasi yang justru
mendorong Jepang untuk mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Komoditas
perdagangan utama pada awal-awal kekuasaan Shogun Tokugawa adalah beras.
Bahkan komoditas ini dijadikan standar suatu harga barang dan juga besarnya
kekayaan seseorang (dalam hal ini terutama para daimyo).
Ketika standar pembayaran dengan beras diganti dengan uang sebagai alat penukar
dalam perdagangan, maka para pedagang kian mampu menunjukkan dirinya untuk
mampu menguasai sektor perekonomian Jepang. Banyak di antara mereka beralih
menjadi para bankir yang justru mampu memberi kredit (pinjaman) kepada
Shogunat ataupun para daimyo yang membutuhkan uang. Apalagi ketika Shogun
Tokugawa menerapkan politik sankin kotai, maka justru banyak para daimyo yang
sangat tergantung pada kemurahan hati para pedagang ini. Kondisi yang demikian
ini mendorong naiknya posisi status sosial para pedagang yang muncul sebagai elite
tersendiri yang secara tidak langsung menentukan arah roda pemerintahan.
Perkembangan perdagangan pada masa Tokugawa yang sangat pesat tersebut
akhirnya mampu mengubah status sosial mereka. Perubahan ini sebenarnya
didorong oleh berbagai politik yang dilakukan oleh Shogunat Tokugawa dengan
tujuan untuk melestarikan atau menjaga ekesistensi kekuasaannya. Hal ini terbukti
ketika Shogunat Tokugawa menerapkan politik sankin kotai yang mewajibkan para
daimyo berada di Yedo selama enam bulan setiap tahunnya. Politik ini berdampak
pada para daimyo yang harus menanggung pengeluaran sangat besar dan sangat
memberatkan ekonomi rumah tangga para daimyo. Hal ini menjadi faktor
pendorong terjadinya pemiskinan para daimyo itu sendiri yang akhirnya
memunculkan dampak rantai kemiskinan terhadap kelompok di bawahnya yaitu
kelompok Samurai.
Faktor lain yang mendorong meningkatnya status sosial para pedagang adalah
manakala bakufu mengalami kemerosotan perekonomian. Bahkan kebanyakan
penguasa Han juga menghadapi masalah-masalah ekonomi yang sama buruknya
dengan bakufu. Untuk menutup defisit keuangan, akhirnya mencari jalan
pemecahannya dengan cara meminjam uang kepada para pedagang di kota-kota
pasar yang besar yang disebut dengan kakeya dan kuramoto. Pinjaman uang
tersebut dikenakan bunga yang sangat tinggi. Hal ini akhirnya menjebak para
daimyo terjerat hutang dan tidak mampu membayar. Hal ini mendorong para
pedagang melakukan tuntutan kepada para daimyo agar mereka diperlakukan
sebagai samurai. Tuntutan ini diperkuat dengan adanya perkawinan antara anak-
anak daimyo dan samurai dengan para pedagang sebagai sarana pelunasan hutang.
Dengan demikian mereka justru semakin kaya dan status sosialnya meningkat.
Bahkan mereka justru menyandang status sebagai kelompok elite, yaitu kelompok
samurai.
Daftar Pustaka
Beasley, W.G. 1990. The Rise of Modern Japan. New York : St. Martin's Press.
Bellah, R.N. 1992. Religi Tokugawa. Akar-akar Budaya Jepang. Jakarta : Karti Sarana
dan Gramedia Pustaka Sarana.
Clyde, P.H. 1958. The Far East. New York : Englewood Cliffs.
Crawcour, E.S. 1972. Changes in Japanese Commerce in the Tokugawa Period, dalam
John a. Harrison (ed.) Japan dalam The Journal of Asian Studies 1941-1971, Vol.
II.
Dasuki, A. 1963a. Sedjarah Djepang. Djilid I. Bandung : Balai Penerbitan Guru.
Flershem, R.G. 1964. Some Aspects of Japan Sea Trade in the Tokugawa Period, dalam
The Journal of Asian Studies, Vol. XXIII.
Hackett, R.F. 1972. Nishi Amane - A Tokugawa Meiji Bureucrat. Dalam John A.
Harrison (ed.) Japan. Tucson, Arizona: The University of Arizona Press.
Hane, M. 1986. Modern Japan. A Historical Survey. Boulder, Colorado : Westview Press.
Ishii, R. 1988. Sejarah Institusi Jepang. Jakarta : Yayasan Kartisarana dan Gramedia.
Latourette, K.S. 1957a. A Short History of the Far East. New York: The Macmillan
Company.
Storry, R. A. 1963. A History of Japan. London : Penguins Books