Anda di halaman 1dari 6

JEPANG PADA MASA KEKUASAAN SHOGUNAT

Tujuan akhir pembelajaran dari bab ini adalah agar mahasiswa memiliki kemampuan untuk
menjelaskan perkembangan politik Jepang sebelum masa Shogunat.
A. Latar Belakang Munculnya Sistem Shogunat
Shogun adalah sebutan yang diberikan untuk komandan militer atau jenderal di Jepang
kuno, antara abad ke-8 dan ke-12. Kata "shogun" berasal dari kata-kata Jepang "sho," yang
berarti "komandan," dan "gun," yang berarti "pasukan." Pada abad ke-12, shogun merebut
kekuasaan dari Kaisar Jepang dan menjadi penguasa de facto kekaisaran. Keadaan ini akan
berlanjut sampai 1868 ketika Kaisar sekali lagi menjadi pemimpin Jepang.
Kata "shogun" pertama kali digunakan selama Periode Heian dari 794 hingga 1185.
Komandan militer pada waktu itu disebut Sei-i Taishō gun, yang dapat diterjemahkan secara
kasar sebagai "panglima perang ekspedisi melawan orang barbar." Jepang saat itu berjuang
untuk merebut daratan dari orang-orang Emishi dan dari Ainu, yang didorong ke pulau
Hokkaido utara yang dingin. Sei-i Taishō gun pertama adalah Otomo no Otomaro. Yang paling
terkenal adalah Sakanoue no Tamuramaro, yang menaklukkan Emishi pada masa
pemerintahan Kaisar Kanmu.
Pada awal abad ke-11, politik di Jepang semakin rumit dan keras sekali lagi. Selama
Perang Genpei 1180 hingga 1185, klan Taira dan Minamoto bertarung untuk menguasai istana
kekaisaran. Para daimyo awal ini mendirikan Keshogunan Kamakura dari tahun 1192 hingga
1333 dan menghidupkan kembali gelar Sei-i Taishō gun.
Pada tahun 1192, Minamoto no Yoritomo memberi dirinya gelar itu dan shogun
keturunannya akan memerintah Jepang dari ibu kota mereka di Kamakura selama hampir 150
tahun. Meskipun kaisar terus ada dan memegang kekuatan teoritis dan spiritual atas kerajaan,
tetapi para shogunlah yang sebenarnya berkuasa. Keluarga kekaisaran dikurangi menjadi
boneka. Sangat menarik untuk dicatat bahwa "orang barbar" yang diperjuangkan oleh shogun
pada saat ini adalah Yamato Jepang lainnya, daripada anggota dari kelompok etnis yang
berbeda.
Pada tahun 1338, sebuah keluarga baru memproklamasikan kekuasaan mereka sebagai
Keshogunan Ashikaga dan akan mempertahankan kontrol dari distrik Muromachi Kyoto, yang
juga berfungsi sebagai ibu kota istana kekaisaran. Ashikaga kehilangan kekuasaan mereka,
bagaimanapun, dan Jepang turun ke era kekerasan dan tanpa hukum yang dikenal sebagai
Sengoku atau periode "negara berperang". Berbagai daimyo berkompetisi untuk menemukan
dinasti shogunal berikutnya.
Pada akhirnya, itu adalah klan Tokugawa di bawah Tokugawa Ieyasu yang menang
pada tahun 1600. Shogun Tokugawa akan memerintah Jepang sampai 1868 ketika Restorasi
Meiji akhirnya mengembalikan kekuasaan kepada Kaisar sekali dan untuk selamanya.
B. Munculnya Kelas Militer (Bushi) di Jepang
Munculnya kelompok bangsawan sebenarnya menambah stratifikasi masyarakat
Jepang. Masyarakat bangsawan sendiri diperbolehkan memelihara militer demi menjaga
keamanannya. Sementara itu, dalam perkembangan politik selanjutnya, yaitu dalam bidang
politik dan sosial di jaman Heian, kelompok bangsawan tersebut terbagi menjadi dua, yaitu
bangsawan istana yang tinggal di pusat pemerintahan, disebut dengan kuge, dan bangsawan
militer yang disebut dengan Buke. Kedua kelompok bangsawab ini memiliki perbedaan ciri
yang tegas. Kuge merupakan bangsawan yang tinggal di pusat pemerintahan dan tidak
memiliki militer. Hidupnya berasal dari upeti tanah-tanahnya yang dikerjakan oleh para petani
di pedesaan. Sementara Buke, merupakan bangsawan militer, memiliki pasukan dan
tinggalnya bisa di istana maupun di luar istana.
Kemewahan di kalangan aristokrasi di pusat kekuasaan menimbulkan kelemahan
dalam diri pemerintahan pusat. Kelemahan pusat ini memberi kesempatan bagi para pemilik
tanah (Shoen) bertindak secara sewenang-wenang menindas rakyat untuk menyerahkan upeti
yang lebih besar. Karena adanya tekanan-tekana ini, maka munculah kerusuhan-kerusuhan di
daerah yang ditimbulkan oleh ketidakpuasan terhadap penguasa. Ketidakmampuan
pemerintah menjaga ketertiban dan keamanan, menyebabkan kota-kota dan desa-desa
menjadi sasaran para perampok. Para Shokan di daerah-daerah shoen mulai membentuk
pasukan-pasukan bersenjata untuk menjaga daerah-daerah mereka.
Pada masa ini para penguasa shoen, tidak hanya mampu menguasai tanah yang luas
dan bebas pajak, tetapi juga memiliki hak-hak istimewa untuk memerintah sendiri atas tanah-
tanah tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penguasa shoen sebenarnya memiliki
hak-hak ekstrateritioral, yaitu kekuasaan yang bersifat otonom. Sementara itu, para penguasa
shoen tersebut hanya tinggal di pusat kekuasaan dan pelaksanaan pengolahan serta
pemerintahan atas tanah-tanah shoen diserahkan kepada Shokan. Sementara para penggarap
tanah shoen tersebut disebut dengan shomin. Dari shokan-shokan inilah sebenarnya menjadi
embrio terbentuknya kelas militer di Jepang yang disebut dengan Bushi (Dasuki, 1963 : 32).
Pada jaman Heian ini pusat kekuasaan Jepang, yaitu Tenno di Kyoto gagal dalam
dalam usaha mencegah atau membendung perkembangan shoen, karena usaha itu tidak
sejalan dengan keinginan dan kepentingan keluarga Fujiwara. Penyempurnaan pengaruh
kekuasaan Fujiwara terhadap Tenno tercapai oleh Fujiwara Yoshifusa pada tahun 858. Sejak
saat itu keluarga Fujiwara telah mencapai puncak kekuasaan dan Tennno hanya sebagai
lambang saja.
Pada masa Heian, perkembangan politik Jepang sangat pesat. Pada masa ini mlai
terbentuk dua golongan bangsawan, yaitu Kuge sebagai bangsawan istana dan tinggal di
ibukota, serta Buke sebagai bangsawan militer. Kemewahan di kalangan bangsawan kota
menimbulkan kelemahan dalam pemerintahan pusat yang sudah terlihat ketika jaman Nara
dan semakin para pada jaman Heian. Para pembesar setempat dan pegawai shoen kian leluasa
dan sewenang-wenang dalam menindas rakyat. Sebagai akibatnya timbul banyak kerusuhan
di daeah-daerah. Ketidakmampuan pemerintah dalam menjamin tata tertib dan keamanan
menyebabkan kota-kota dan desa-desa menjadi sasaran para perampok. Shokan-shokan di
daerah shoen kemudian membentuk pasukan bersenjata untuk menjaga daerah mereka.
Bangsawan-bangsawan yang menjadi penguasa shoen tinggal di pusat kekeuasaan.
Sementara yang berkuasa di daerah shoen adalah para shokan. Mereka inilah sebenarnya yang
akhirnya membentuk golongan militer atau Buke. Mereka juga memiliki jaringan untuk
masuk ke pusat kekuasaan karena mereka memiliki keluarga-keluarga di pusat kekuasaan
tersebut.
Pada masa itu terdapat dua keluarga bangsawan buke yang sangat berpengaruh, yaitu
keluarga Genji atau disebut juga keluarga Minamoto dan keluarga Heike atau keluarga Taira.
Kedua keluarga ini masih memiliki pertalian persaudaraan dengan Tenno. Daerah yang
dikuasai oleh keluarga Minamoto adalah daerah Kwanto, di sekitar teluk Tokyo sekarang.
Sedangkan keluarga Taira pusat kekuasaannya di Honshu Selatan yang berbatasan denngan
Laut Dalam Jepang.
Keluarga Fujiwara untuk sementara dapat mempertahankan kedudukannya dengan
politik adu domba terhadap kelompok bangsawan militer. Dalam masa jabatan Kampaku
Yorimichi (1027 - 1074) Heian diserang oleh tentara keluarga Minamoto dan Taira. Serangan
ini akhirnya dapat mengakhiri kekuasaan keluarga Fujiwara. Namun setelah kemenangan
dicapai oleh keluarga Minamoto dan Taira, di antara kedua keluarga ini terjadi persaingan.
Persaingan ini membawa kedua keluarga ini pada peperangan yang sangat merugikan. Namun
kemudian muncul pemenang yaitu keluarga Taira dan kemudian keluarga ini juga ditundukkan
oleh keluarga Minamoto. Akhirnya keluarga ini mendirikan pusat pemerintahannya di
Kamakura.
C. Stratifikasi Masyarakat Pada Masa Pemerintahan Sistem Shogunat
Pada masa kekuasaan Shogunat Tokugawa, ditinjau dari aspek sosial, masyarakat
Jepang dapat dibagi berdasarkan suatu sistem kelas yang turun- temurun. Kerangka utamanya
adalah berdasarkan pada sistem nilai yang berlaku, yaitu prestise yang berhubungan secara
langsung dengan kekuasaan yang menjadi sarana untuk menentukan status sosial seseorang
atau kelompok, bukan kekayaan (Bellah, 1992:35). Berdasarkan struktur kekuasaan yang
ada di Jepang, maka hirarki kemasyarakatan di Jepang dapat dibagi menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama adalah kelompok penguasa, sedangkan kelompok kedua adalah rakyat
biasa. Kelompok penguasa masih dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan seperti susunan
piramidal.
Menurut tradisi dan stratifikasi sosial politik di Jepang, puncak tertinggi dari kelompok
penguasa diduduki oleh Tenno beserta keluarganya serta bangsawan istana. Mereka dipercaya
oleh rakyat biasa sebagai keturunan Dewi Amaterasu Omikami yang diturunkan untuk
memerintah Jepang. Meskipun rakyat mempercayai bahwa Tenno merupakan penguasa
tertinggi, namun dalam praktik kehidupan politik sehari-hari di Jepang, kekuasaan Tenno ini
sangat kecil. Termasuk di dalam kelompok ini adalah kelompok kuge. Kelompok ini
dihormati karena keturunan kebangsawanannya, tetapi tidak berpengaruh dalam bidang
politik dan ekonomi. Hal ini disebabkan kekuasaan politik dipegang oleh shogun dan juga
oleh kelompok buke (kelompok bangsawan militer). Tenno hanya bertugas dalam hal-hal
yang bersifat seremonial dan yang berkaitan dengan aspek religius atau ritual yang berkaitan
dengan kepercayaan Shintoisme (Dasuki, 1963a).
Posisi kedua di bawah Tenno dan kuge adalah kelompok buke yang terdiri dari shogun,
para daimyo dan keluarganya. Namun para daimyo adalah penguasa daerah, sedangkan
shogun Tokugawa adalah penguasa dalam bidang politik, sosial dan ekonomi di pusat
kerajaan. Kelompok ini memegang kekuasaan pemerintahan sejak tahun 1600, yaitu ketika
Perang Sekigara berakhir dengan kemenangan keluarga Tokugawa Ieyashu yang kemudian
menjadi shogun pertama dari keluarga Tokugawa. Pusat pemerintahan Shogun Tokugawa
adalah di Yedo yang sekarang bernama Tokyo (Latourette, 1957a : 235-236).
Posisi ketiga dari struktur kekuasaan di Jepang ditempati oleh para daimyo sebagai
penguasa daerah. Oleh Shogunat Tokugawa mereka diberi wewenang untuk membantu
kelancaran pemerintahan pusat di Yedo. Kelompok ini diberi wilayah kekuasaan dan juga
apanage yang disebut dengan Han. Para daimyo diberi hak otonomi yang luas oleh Shogunat
Tokugawa. Hak- hak tersebut antara lain meliputi hak memilih para pembantu pemerintahan
daerah, hak menentukan besarnya pajak, hak untuk memiliki kekuatan tentara sendiri, serta
hak-hak untuk menentukan kebijakan politik lainnya (Hackett, 1972:13-14).
Kelompok daimyo juga masih dibagi menjadi tiga strata, yaitu daimyo shimpan,
daimyo fudai dan daimyo tozama (Hane, 1972:23). Daimyo shimpan adalah daimyo yang
berasal dari keturunan langsung atau mempunyai hubungan langsung dengan keluarga
Tokugawa. Sedangkan daimyo fudai adalah daimyo bawahan yang setia kepada keluarga
Tokugawa, terutama sewaktu terjadinya Perang Sekigara. Dengan kata lain, daimyo fudai ikut
secara langsung membantu shogun Tokugawa dalam merebut kekuasaan. Kemudian untuk
daimyo tozama adalah daimyo bekas bawahan Toyotomo Hideyoshi yang menjadi musuh
sekaligus bawahan Tokugawa. Daimyo ini tidak ikut membantu shogun dalam merebut
kekuasaan. Daimyo-daimyo Tozama terdiri dari beberapa keluarga, yaitu Chosu, Satsuma,
Hizen dan Tosa. Oleh karena belum dapat dipercaya sepenuhnya oleh Shogun, maka berbagai
pembatasan dikenakan kepada mereka antara lain tidak boleh menghadap Tenno secara
langsung; menduduki jabatan-jabatan penting di Yedo; memiliki kekayaan yang berlebih-
lebihan (Beasley, 1990:4).
Struktur paling bawah dalam hirarki kekuasaan feodal Jepang adalah kelompok
samurai atau bushi. Kelompok ini secara tradisi merupakan anggota prajurit atau pasukan
perang. Namun pada masa kekuasaan Shogunat Tokugawa, mereka merangkap menjadi
birokrat. Kehidupan kelompok ini sangat tergantung pada upah atau gaji yang diberikan oleh
tuan mereka, yaitu para daimyo atau shogun. Para daimyo di Jepang jumlahnya sekitar
450.000 (Waltz, 1950: 214-215). Dalam pandangan masyarakat Jepang, terutama pada masa
kekuasaan shogunat Tokugawa, kelas samurai merupakan kelas elit yang eksklusif. Kemana
pun mereka pergi, selalu menyandang pedang panjang. Kehidupan kelas samuari sangat
diwarnai oleh ajaran Bushido (Jalan Kesatria). Penekanan kesetiaan kepada tuannya
menjadikan kematian bukan sesuatu yang menakutkan, apalagi kalau membela sesuatu yang
benar. Mereka rela mati demi kesetiaan dengan cara harakiri atau seppuku (Bellah, 1992:121-
134).
Kelas kedua dalam struktur sosial masyarakat Jepang adalah rakyat biasa. Berdasarkan
mata pencahariannya, kelas rakyat ini dapat distratifikasikan menjadi tiga kelompok.
Kelompok pertama adalah petani (Nomin), merupakan kelompok terbesar dan tingkatannya
langsung berada di bawah golongan Bushi. Mereka hidup dari mengolah tanah yang secara
hukum adalah milik Tenno yang dipinjamkan kepada para daimyo. Dengan demikian pada
musim panen, para petani harus menyerahkan sebagian dari hasil panen kepada para daimyo
yang kemudian menyerahkan sebagian lagi kepada Tenno (Waltz, 1950:215). Dalam sistem
feodal yang dikembangkan pada masa Tokugawa, petani menjadi tumpuan utama, karena
kehidupan para bakufu sangat tergantung pada produksi pertanian (Hane, 1972:31-32). Para
petani harus menjamin hidup golongan kuge, buke dan samurai.
Posisi golongan petani memegang peranan penting karena mereka merupakan
penghasil beras. Beras dipergunakan sebagai satu-satunya ukuran, baik dalam menentukan
besarnya pajak dan juga sebagai alat pembayaran dalam sistem perdagangan ketika Jepang
belum mengenal sistem uang. Beras juga menjadi standar kekayaan. Status seorang daimyo
diukur dalam batas penilaian pemilikan dan tingkat penghasil beras di wilayah kekuasaannya
(Storry, 1963 : 73)
Kelompok kedua dalam kelas masyarakat biasa adalah golongan pekerja atau
pengrajin (Shokuin). Kelompok ini adalah strata di bawah petani, karena mereka juga bekerja
secara langsung untuk golongan penguasa (bakufu). Mereka tinggal di pusat pemerintahan di
Yedo. Oleh sebab itu, kelompok pengrajin merupakan kelompok rakyat biasa yang paling
dekat dengan kelompok penguasa (Bellah, 1992:35; Waltz, 1950:215).
Golongan di bawah pengrajin adalah golongan pedagang (Waltz, 1950:215). Pada
awalnya mereka dipandang sebagai pihak yang tidak pernah menyumbangkan jasa kepada
bakufu dan dianggap kurang produktif. Pekerjaan pedagang dianggap pekerjaan yang hina,
karena hanya mencari keuntungan pribadi saja. Meskipun secara sosial golongan pedagang
dianggap rendah, namun dalam aspek ekonomi kelompok ini merupakan kelompok yang
paling makmur di antara kelompok-kelompok yang lain. Bahkan pada abad XVIII sampai
abad XIX kelompok ini ada yang melebihi kekayaan para daimyo. Hal ini mendorong
kedudukan golongan ini dalam strata sosial masyarakat naik dengan cepat (Hane, 1972:31-32
; Bellah, 1992:36).
Dari golongan-golongan yang ada di dalam masyarakat Jepang, terdapat suatu
golongan yang tidak termasuk ke dalam salah satu dari golongan atau kelas di atas. Golongan
ini disebut dengan Senmin yang berarti tidak boleh disentuh. Mereka adalah lapisan yang
mempunyai pekerjaan-pekerjaan yang paling kotor. Golongan Senmin dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu hinin atau pengemis dan eta atau jagal, penyamak kulit. Senmin adalah
golongan masyarakat yang disamakan dengan kelas binatang (Dasuki, 1963a).
Shogunat Tokugawa menerapkan struktur sosial masyarakat yang tertutup yang tidak
memungkinkan adanya mobilitas status sosial dalam masyarakat. Misalnya, kelas petani tidak
akan beralih status sosialnya ke kelas di atasnya seperti kelas samurai. Tujuannya adalah
untuk menjaga kemurnian ras yang ada, serta menjaga agar mobilitas rakyat agak terhambat.
Hal ini akan mengakibatkan masyarakat tidak akan begitu kritis dalam melihat suatu
ketimpangan politik. Di samping itu juga dipergunakan untuk mempertahankan prestise
kekuasaan. Sebab kekuasaan yang menentukan status sosial seseorang, bukannya kekayaan
seseorang (Bellah, 1992:35).
Dari struktur masyarakat tersebut di atas, terlihat bahwa tanpa adanya suatu dorongan
yang mampu memunculkan suatu perubahan, terutama dalam sektor perekonomian, maka
tidak akan terjadi suatu mobilitas sosial suatu golongan, terutama mobilitas ke atas. Namun,
struktur masyarakat Jepang era Tokugawa tersebut justru mengalami suatu perubahan yang
didorong oleh perubahan dalam sektor perekonomian, terutama melalui perdagangan. Hal
inilah yang kelak akan mendorong mobilitas sosial golongan pedagang ke status sosial yang
lebih tinggi.
D. Penerapan Sistem Insei Akibat Konflik Antar Kelas Bangsawan
Setelah dapat menyingkirkan lawannya yang menjadi penasihat Tenno, yaitu
Sugawara Michizane, maka keluarga Fujiwara mampu mengembalikan hegemoni politiknya.
Sementara keluarga Fujiwara kian membesar kekuasaannya, di kalangan istana melakukan
pola hidup yang bersikap pemborosan uang yang berasal dari pajak- pajak dan penghasilan
lainnya yang berasal dari rakyat. Kehidupan yang kontras antara kalangan istana dengan
rakyat ini menimbulkan perasaan tidak puas dari rakyat terhadap kepemimpinan Tenno.
Dengan demikian kekuasaan yang jauh dari pusat kekuasaan diambilalih oleh keluarga Tenno
(Fairbank, 1970). Tenno Shirakawa (1072 - 1086) yang mulai peka dalam merasakan
besarnya pengaruh keluarga Fujiwara kemudian menerapkan sistem insei yang berarti
pemerintahan yang dilakukan oleh mantan Tenno yang telah hidup membiara. Sistem ini
bertujuan untuk mengurangi besarnya kekuasaan Fujiwara.
Pelaksanaan dari sistem ini adalah dengan cara Tenno turun tahta, kemudian hidup
membiara, namun ia tetap memegang kekuasaan dalam soal- soal pemerintahan. Dengan cara
demikian, kedudukan keluarga Fujiwara sebagai wali, penasihat tertinggi dan perdana menteri
dapat dikurangi.
Dalam pelaksanaannya, sistem insei akhirnya menimbulkan kekacauan, karena
keluarga Fujiwara merasa tersisihkan. Di samping itu, di pusat kekuasaan, sistem insei belum
memperlihatkan keberhasilan yang berarti dalam mengembalikan kekuasaan Tenno
sepenuhnya. Sedangkan untuk tingkat propinsi keadaan semakin kacau karena pemerintahan
pusat tidak mampu mengendalikan kerajaan (Yetti Nurhayati, 1987 : 7-8). Bahkan hal ini
memicu terjadinya perang saudara antar keluarga bangsawan militer. Keluarga militer yang
berperang adalah keluarga Taira melawan keluara Minamoto. Situasi ini akhirnya mendorong
militer untuk mengambil alih segala kekuasaan yang dipegang oleh keluarga Fujiwara.
Pada tahun 889 keluarga Taira menggantikan posisi keluarga Fujiwara sebagai
pemegang kekuasaan politik. Keluarga ini didirikan oleh Takamochi. Keluarga Taira yang
masih memiliki hubungan dengan Tenno tersebut merupakan keluarga yang berasal dari
kelompok Buke (militer). Keluarga Taira kemudian disingkirkan oleh keluarga Minamoto
yang juga masih memiliki hubungan dengan Tenno Seiwa. Keluarga ini juga termasuk
keluarga militer.
Antara keluarga Taira dengan keluarga Minamoto selalu berperang. Akhirnya,
kekuasaan politik jatuh ke tangan keluarga Minamoto, ketika keluarga ini mampu
menghancurkan kekuatan keluarga Taira.
E. Soal-soal dan tugas-tugas
1. Jelaskan faktor-faktor pendorong munculnya kelas militer (Bushi) di Jepang
2. Jelaskan posisi atau kedudukan kelas militer (Bushi) dalam sistem pemerintahan Jepang
sebelum masa keshogunan.
3. Jelaskan makna semangat Bushido
4. Jelaskan peranan militer (Bushi) dalam pemerintahan di Jepang sebelum masa
keshogunan
5. Jelaskan sebab-sebab kelompok Bushi merebut kekuasaan pemerintahan.
6. Jelaskan faktor-faktor penyebab yang menjadi pendorong munculnya sistem Insei dalam
pemerintahan di Jepang.
7. Jelaskan dampak dari penerapan sistem Insei dalam pemerintahan di Jepang.
F. Refleksi

Anda mungkin juga menyukai