Anda di halaman 1dari 7

RESUME SEJARAH ASIA TIMUR

(kemunduran Dinasti Qin)

Kelompok : 4
Nama anggota :Erna paramitha (210210302021)
Hemi fatmawati (210210302023)
Nafisah Andani (210210302024)
Anita Kharisma (210210302025)

Referensi :

Mattulada. 1979. Pedang dan Sempoa (Suatu Analisa Kultural “Perasaan


Kepribadian” Orang Jepang).

Sakamoto, Taro. 1982. Jepang Dulu dan Sekarang. Gajah Mada University
Press.

Ishida, Eichiro.1986. Manusia dan Kebudayaan Jepang. Tokyo: Center For


Japanese Studies Henshall. G. K. 2004. History Of Japan from stone age
to superpower. New York: Palgrave Macmillan

Andressen. C. 2000. A Short History of Japan From samurai to Sony.


Australia: South Wind Production

A Kemunculan Kekaisaran Yamato

Zaman Kofun merupakan kelanjutan dari Zaman Yayoi yang berlangsung dariabad ke 3
hingga akhir abad ke 6 Masehi. Pada masa ini masyarakat Jepangtelah mengenal upacara
pemakaman bagi mereka yang telah meninggal dunia.Kebudayaan upacara penguburan ini
dikenal oleh masyarakat Jepang kunomelalui suku bangsa yang masuk ke Jepang yaitu orang
Mongoloid. Ke Jepang mereka membawa masuk pedang lempang yang terbuat dari besi dari
asia utara. Masyarakat jepang ketika itu mengikuti pola upacara bangsa nomadis itu yaitu
menguburkan pemimpin pemimpin mereka dalam makam makam besar. Pemakaman
tersebut berdasarkan status sosial dalam masyarakatnya. Suku suku Mongoloid yang masuk
ke Jepang dengan kebudayaan perunggu dan besiini sebelumnya telah mendapat kontak
dengan kebudayaan yang lebih tinggiperadabannya di Tiongkok. Suku ini lebih tinggi
peradabannya ketimbang bangsa yang menghuni kepulauan Jepang pada waktu itu
Kekaisaran Yamato adalah salah satu bentuk pemerintahan kuno di Jepang yang didirikan
pada abad ke-3.
Kekaisaran Yamato merupakan pemerintahan sentral yang berpusat di wilayah Kinki,
yang saat ini dikenal sebagai Prefektur Nara di Jepang. Pemerintahan ini juga dikenal dengan
nama Kekaisaran Jepang atau Kekaisaran Tenno. Ketika itu suku yang menempati wilayah
Jepang adalah suku Ainu. Kemudian Suku Ainu ini diusir oleh suku bangsa yang peradaban
nya jauh lebih tinggi dari suku bangsa Ainu tersebut lalu mereka mendirikan satu negara
yang kuat disana yang disebut Yamato. Yamato lah asal mula kerajaan Jepang. Pemimpin
pertama Kerajaan Yamato dinamakan Hatsukunishirasu Sumeramikoto. Mereka menyembah
dewa tertinggi mereka yaitu dewa Matahari atau amaterasu. Kira kira pada abad ke 3 bangsa
Yamato mulai berhubungan dengan Korea bagian barat dan selatan. bangsa Yamato diminta
bantuannya untuk membantu Korea dalam peperangan. Disini hubungan antara Yamato
dengan dunia luar,mulai terbuka Pada awalnya, Kekaisaran Yamato didirikan oleh seorang
pemimpin yang disebut sebagai kaisar atau tenno. Kekaisaran ini menganut sistem monarki
dan memiliki kontrol penuh atas seluruh wilayah Jepang pada masa pemerintahannya yang
paling berkuasa.
Pada awalnya, kekaisaran Yamato didirikan oleh seorang pemimpin yang disebut
sebagai kaisar atau tenno. Kekaisaran ini menganut sistem monarki serta memiliki kontrol
penuh atas seluruh wilayah Jepang pada masa pemerintahannya yang paling berkuasa.
Seiring berjalannya waktu, periode Kekaisaran Yamato berkembang menjadi periode Nara
(710-794 M) dan kemudian Heian (794-1185 M), yang ditandai dengan perkembangan
budaya Jepang, sastra, dan sistem pemerintahan yang lebih terstruktur. Kekaisaran Yamato
merupakan perintis budaya dan kebudayaan Jepang kuno, termasuk agama Shinto dan sistem
penulisan kanji. Kekaisaran ini juga merupakan pelopor perdagangan internasional, yang
membuka hubungan dengan negara-negara tetangga seperti Korea dan Tiongkok. Meskipun
Kekaisaran Yamato tidak lagi menjadi bentuk pemerintahan utama di Jepang saat ini, namun
simbol-simbol dan tradisi yang berasal dari masa pemerintahannya masih dipertahankan dan
dihormati oleh rakyat Jepang hingga kini.
Setiap periode pasti memiliki ciri khasnya tersendiri, berikut ini akan dijelaskan
karakteristik dari kekaisaran Yamato.
a. Adanya kuburan besar (kofun)

Kofun merupakan gundukan kuburan yang sangat besar dan dibuat


diatas bukit. Kuburan itu khusus untuk menyimpan jenazah para
penguasa/bangsawan. Jadi tidak sembarangan orang bisa dikubur kedalam
kofun. Bila tuan-tuan tanah atau orang kaya, serta rakyat jelata pada waktu
itu meninggal, maka mereka akan dikubur dalam gua atau yokoana. Bentuk
kuburan umumnya berbentuk lubang kunci (gundukan depan persegi
sedangkan gundukan belakang bundar). Namun disamping itu, kofun
mempunyai berbagai bentuk. Tetapi masyarakat umum biasanya hanya
mengenal bentuk lubang kunci. Fungsi dari kofun adalah sebagai makam,
tempat upacara kematian, untuk menyimpan benda benda yang ada
hubungannya dengan jenazah. Tujuan didirikannya kofun supaya diketahui
oleh seluruh masyarakat maupun anak atau cucu, bahwa jenazah yang
dikubur dalam kofun merupakan seorang penguasa besar semasa hidupnya,
sehingga semakin tinggi kofunnya semakin besar juga kekuasaan orang itu
semasa hidupnya.

b. Sistem pemerintahanan dan budaya diadopsi dari Cina

Sudah sejak berabad-abad yang lalu berbagai kebudayaan asing masuk


ke Jepang,dan tidak ada satu pun dari kebudayaan asing tersebut ditolak oleh
kerajaan Jepang. Semua kebudayaan asing tersebut ditampung oleh para
intelektual yang umumnya adalah bangsawan Jepang untuk dipelajari dan
dilakukan penyesuaian-penyesuaian yang ketat dan panjang, kemudian
disosialisasikan kepada masyarakat Jepang. Sebagian dari kebudayaan asing
tersebut adalah ajaran agama Budha. Perpaduan antara kepercayaan, ilmu
administrasi, dan perang diimpor dan disesuaikan dengan kehidupan serta
kebiasaan mereka. Lebra (1993) mengatakan bahwa: “The Japanese are
known for their eagerness to borrow indiscriminately. Despite the fact that
such borrowing is likely to obliterate cultural differences. It also known that
Japanese have maintained their identitiy”.
“Orang jepang dikenal dengan keinginan mereka untuk menyamakan
kedudukan ( tidak pandang bulu ). Meskipun pada kenyataannya hal itu
seperti untuk menghapuskan perbedaan budaya. Orang Jepang juga dikenal
selalu mempertahankan identitas mereka”.

c. Sistem pembagian kerja clan (shisei shedo)

Dalam periodisasi sejarah Jepang tercatat suatu masa dimana sistem


politik Jepang berpusat pada sistem klan, yakni sistem yang telah berlaku
sebelum terbentuknya negara Jepang purba pada zaman kerajaan Yamato
yang didirikan oleh kaisar jinmu pada tahun 660 SM. Kerajaan Yamato ini
terbentuk sebagai akibat lahirnya sistem politik yang berpusat pada klan-klan
tersebut yang menaklukkan daerah-daerah di Jepang. Masyarakat yang
tersusun dalam gabungan gabungan kelompok tersebut berasal dari golongan
bangsawan dan mempunyai tanah sendiri Namun walaupun kekaisaran
Yamato diperintah oleh seorang kaisar, sesungguhnya orang yang
menjalankan roda pemerintahan adalah para kepala klan yang memang
adalah pembantu kaisar.
Karena itulah, struktur politiknya mencerminkan struktur kelas
masyarakat pada masa itu yaitu keturunan tenno yang merupakan kelas
tertinggi, sedangkan para kepala klan berada di bawahnya. Klan pun
mempunyai tugas-tugas khusus dalam sistem pemerintahan purba ini. Klan
Nakatomi misalnya mengurusi masalah upacara keagamaan di istana, klan
mononobe dan clan otomo bertugas untuk mengurusi masalah pertahanan dan
kemiliteran, dan klan soga mengurusi bidang keuangan dan ekonomi negara.
Dengan demikian pada abad ke-6 di Jepang telah dijumpai susunan
pemerintahan yang cukup terorganisasi berdasarkan sistem pembagian
kerjakan yang dikenal dengan nama shisei seido.

B Periode Nara (710-794)

Ratu Genmei yang berkuasa pada 707-715 M selama berkuasa ia memindahkan dan
menetapkan Heijo-kyo (Nara) sebagai ibu Kota kerajaan yang tetap pada tahun 710, berlanjut
selama 84 tahun hingga kaisar Kanmu memindahka ibu-kota ke Heian-kyo pada 794. Disebut
zaman Nara karena saat itu masa yang meliputi tujuh kaisar. Ratu Genmei membangun kota
ini terinspirasi dari ibu-kota Tiongkok di Chang’an. Ia berusaha keras membangun
administrasi pemerintahan yang lebih baik, organisasi politik yang lebihh teratur, dan
melaksanakan peningkatan hubungan luar negeri terutama dengan negeri Cina. Faktor-faktor
tersebut yang mendorong pengembangan kota Nara sebagai ibukota kerajaan yang pesat.
Ibu-kota Nara dibangun menurut pola-pola yang dipelajari dari negeri Cina. Usaha-
usaha pembangunan terutama yang menyangkut pertumbuhan kesenian dan pengetahuan
kerohanian berjalan seiring dengan pembangunan gedung-gedung dan tempat-tempat
pemujaan. Pada saat itu zaman Nara berhasil menerapkan system Ritsuryo (system hukum
perundang-undangan Taiho) dan ini berakibat baik bagi kehidupan bangsa. Dimana
kekuasaan kaisar memuncak, keuangan negara berada pada landasan yang kokoh, dan negara
sanggup menyalurkan tenaganya menurut kehendaknya.
Dinasti Tang yang berkuasa di Cina mengalami zaman emas di bidang kemakmuran dan
kebudayaan. Kebudayaan Tang yang tinggi tersebut yang diambil oleh bangsa Jepang dan
digunakan untuk menciptakan kebudayaan yang jauh lebih matang daripada kebudayaan
zaman Asuka. Agama Buddha merupakan ciri khas yang ditekankan pada kebudayaan
tersebut. Sebenarnya pengaruh agama Buddha di bidang politik dan kebudayaan tidak sejalan
dengan Ritsuryo, karena system Ritsuryo sendiri dibentuk menurut pemikiran politik Kong
Hu Cu dan menekankan hubungan alamiah antara penguasa dan rakyat.
Sedangkan pada zaman Nara lebih menekankan Agama Buddha. Tahun-tahun awal
zaman Nara Ritsuryo diterapkan dengan hasil yang baik. Wilayah kaisar mencangkup
kepulauan di selatan Kusyu, sumber-sumber mineral dalam negeri dikembangkan, dan
pembuatan mata uanga dimulai. Dan dua buku sejarah nasional yang mencangkup masa sejak
pendirian negara, yaitu kitab Kojiki dan Nihon Shoki. Dikumpulkan dan setiap provinsi
diperintahkan untuk membuat catatan topografis mengenai daerahnya masing-masing.
Namun, tidak lama kemudian system Ritsuryo goncang sampai ke dasarnya karena kesulitan
menerapkan pembagian tanah pertanian oleh rakyat, dan juga karena beban kewajiban-
kewajiban yang harus dipikul oleh rakyat.
Kaisar Shomu yang berkuasa pada tahun 724 sampai 749, ia seorang yang mahir dalam
Kong Hu Cu dan agama Buddha yang naik tahta sepenuh harapan di pihak rakyat berusaha
menjadikan agama Buddha sebagai pusat kegiatan pemerintahan. Terdapat dugaan bahwa ini
diakibatkan oleh kesedihannya atas kematian anaknya yang meninggal sebelum usia satu
tahun. Shomu ini berusaha untuk mengendalikan krisis yang mengancam dengan bertopang
pada kekuatan magis agama Buddha untuk melindungi negara dan menolak kekuatan jahat.
Ia pun memerintahkan untuk membangun kuil dan biara di 60 provinsi agar dapat dibacakan
surat-surat untuk keamanan dan kemakmuran negara. Di ibu-kota Kaisar Shomu
membangung kuil Todaiji yang menyimpan patung Buddha Vairocana yang sangat besar.
Dengan begitu ia berharap bahwa jasa yang diperoleh dengan itu dapat menjamin
keselamatan bangsa. Kuil-kuil tersebut masih ada sampai sekarang dan seluruh Jepang
dikenal yang dengan kokubunji dan “Buddha agung dari Nara” yaitu patung raksasa yang
tingginya lebih dari 15 meter, yang terdapat di ruang utama kuil Todaiji. Sebenarnya maksud
kaisar itu terpuji karena tumbuh dari rasa prihatin akan keselamatan neagara dan bangsa.
Namun akibatnya justru mengahabiskan keuangan nasional dan memaksakan beban yang
berlebihan atas pundak rakyat. Usaha ini sama sekali tidak memperbaiki pemerintahan
nasional, malah lebih banyak keburukan daripada kebaikannya. Karena mulai saat itu para
pendeta mulai campur tangan dalam sumber-sumber kekuasaan dan dalam pemerintahan.
Sejarah zaman Nara merupakan masa perubahan dari pemerintahan menurut Kong Hu
Cu ke pemerintahan menurut agama Buddha, serta pergulatan antara kaum bangsawan
dengan kaum pendeta. Pada zaman ini para keturunan Fujiawara-no-Kamatari yang memiliki
peranan besar pada pembaharuan Taika muncul dalam dunia politik sebagai bangsawan baru.
Pemimpinnya, Fujiwara-No-Nakamaro merupakan penganjur yang tekun bagi pemerintahan
menurut Kong Hu Cu. Ia memegang kendali atas dunia politik sejenak setelah wafatnya
Kaisar Shomu. Namun Fujiwara Nakamaro ini kemudian kehilangan pamornya, dan tokoh
penting seorang rahib Buddha bernama Dokyo berhasil mendapat lindungan putri Shotoku.
Namun setelah lima tahun pemerintahan yang cenderung ke agama Buddha, Dokyo diganti
lagi dengan pemerintahan gaya Kong Hu Cu oleh kaum Fujiwara. Ciri khas zaman ini yaitu
pergantian yang membingungkan dalam keadaan politik dimana Menteri-menteri secara
berturut-turut bergantian akibat perbedaan antara politik Kong Hu Cu dan agama Buddha.

C Periode Heian (794-1185)

Periode Heian/Heian Jidai adalah salah satu periode klasik yang ada dalam periode
sejarah kekaisaran Jepang. Periode ini berlangsung selama 391 tahun yang dimulai dari 794
hingga 1185. Periode Heian ini, sering dianggap oleh para sejarawan dan budayawan sebagai
masa klasik atau zaman keemasan masa klasik atau zaman keemasan karena melihat karya-
karya seni serta peninggalan budayanya yang sangat indah, detail dan masih dipertahankan
sampai sekarang. Periode Heian yang kekaisarannya kala itu berpusat di Heiankyo atau
sekarang dikenal dengan Kyoto, menjadi ibukota peradaban, saksi atas bangkitnya
kebudayaan Jepang yang mampu bertahan hingga saat ini.
Menurut Muscato (2016) budaya dan seni zaman Heian merupakan akar seni dan budaya
bangsa Jepang. Sebagian besar akar seni budaya, sastra, dan lukisan yang banyak menyoroti
kehidupan aristokrat Jepang hingga sekarang dilestarikan dan dipertahankan sebagai bagian
penting dari sejarah Jepang. Pada masa pengembangan budayanya, Jepang memang
bertumpu dan berkiblat, serta meniru adat dan budaya dinasti T‟ang, Cina, tetapi ketika
Dinasti Cina ini mulai mengalami masa kemunduran, maka Jepang kemudian mulai fokus
untuk lebih mengembangan potensi dari budayanya sendiri. Jadi bisa dikatakan bahwa
periode Heian inilah fase menuju orisinilitas budaya dan seni Jepang yang sedang tumbuh
dengan kuat, baik dari seni sastra, lukisan, aristokrasi, tradisi kebangsawanannya, hingga
pada gaya berbusana atau fashion. Fashion dan bentuk ritual-ritual dan upacara
kekaisarannya merupakan kiblat dan cerminan dari budaya aristokrasi hingga saat ini (Edy,
2019).
Dari Nara ke Heian Selama Periode Nara (710-794 Masehi) istana kekaisaran Jepang
diwarnai dengan konfilk internal yang dimotivasi oleh para artistokrat yang saling berseteru
demi keuntungan dan jabatan dan pengaruh yang berlebihan atas peraturan dari sekte-sekte
Buddhis yang kuilnya tersebar di ibu kota. Pada akhirnya, situasi ini menyebabkan Kaisar
Kammu (memerintah 781- 806 Masehi) memindahkan ibu kota dari Nara ke Nagaokakyo
dan kemudian ke Heiankyo di tahun 794 Masehi untuk memulai kembali dari awal dan
membebaskan pemerintahan dari korupsi dan pengaruh Buddhis. Hal ini menandai
dimulainya Periode Heian yang berlangsung hinga abad ke-12 Masehi. Ibu kota yang baru,
Heiankyo, yang artinya ‘ibu kota kedamaian dan tenteram’, ditata dalam rencana jaringan
biasa. Kota ini memiliki jalan tengah yang lebar yang membagi bagian timur dan barat.
Arsitekturnya bergaya Tiongkok dengan sebagian besar bangunan administrasi publik
memiliki pilar-pilar merah yang menyangga genting berwarna hijau. Para aristokrat memiliki
istana dengan taman-taman yang ditata dengan hati-hati dan sebuah taman hiburan yang luas
dibangun di sebelah selatan istana (Daidairi). Tidak ada kuil Buddha yang diizinkan di dalam
bagian pusat kota dan tempat tinggal para seniman berkembang dengan adanya bengkel-
bengkel untuk para seniman, pandai besi dan perajin tembikar. Tidak ada bangunan Periode
Heian dari ibu kota yang tersisa hari ini kecuali Shishin den (Aula Penonton) yang terbakar
habis namun dengan cermat direkonstruksi ulang dan Daigoku-den (Aula Negara) yang
mengalami nasib sama dan dibangun kembali dalam skala yang lebih kecil di Kuil Heian.
Sejak abad ke-11 Masehi nama tidak resmi ibu kota yang hanya berarti ‘ibu kota’ diresmikan:
Kyoto. Kyoto tetap menjadi ibu kota Jepang selama ribuan tahun.

Kesimpulan
Kekaisaran Yamato adalah salah satu bentuk pemerintahan kuno di Jepang yang
didirikan pada abad ke-3. Kekaisaran Yamato merupakan pemerintahan sentral yang
berpusat di wilayah Kinki, yang saat ini dikenal sebagai Prefektur Nara di Jepang.
Pemerintahan ini juga dikenal dengan nama Kekaisaran Jepang atau Kekaisaran Tenno.
Seiring berjalannya waktu, periode Kekaisaran Yamato berkembang menjadi periode Nara
(710-794 M) dan kemudian Heian (794-1185 M), yang ditandai dengan perkembangan
budaya Jepang, sastra, dan sistem pemerintahan yang lebih terstruktur. Kekaisaran Yamato
merupakan perintis budaya dan kebudayaan Jepang kuno, termasuk agama Shinto dan sistem
penulisan kanji. Kekaisaran ini juga merupakan pelopor perdagangan internasional, yang
membuka hubungan dengan negara-negara tetangga seperti Korea dan Tiongkok. Kehidupan
orang Jepang pada jaman kuno memiliki ciri sebagaimana masyarakat primitive lainnya.
Yakni belum mengenal stratifikasi sosial di dalam masyarakat maupun kekuasaan yang jelas.
Setiap periode pasti memiliki ciri khasnya tersendiri, yaitu Adanya kuburan besar (kofun),
Sistem pemerintahanan dan budaya diadopsi dari Cina, dan Sistem pembagian kerja clan
(shisei shedo) Ibu-kota Nara dibangun menurut pola-pola yang dipelajari dari negeri Cina.
Agama Buddha merupakan ciri khas yang ditekankan pada kebudayaan tersebut.

Ciri khas zaman ini yaitu pergantian yang membingungkan dalam keadaan politik
dimana Menteri-menteri secara berturut-turut bergantian akibat perbedaan antara politik
Kong Hu Cu dan agama Buddha. Dalam masa kekaisaran Shomu tumbuh lagi semacam
aliran kesenian dan kebudayaan yang dalam buku-buku sejarah kebudayaan Jepang disebut
dengan periode Tempyo. Ciri khas kebudayaan Tempyo terdapat dalam keindahan hasil-hasil
seni pahat gaya Buddha. Periode Heian/Heian Jidai adalah salah satu periode klasik yang ada
dalam periode sejarah kekaisaran Jepang. Periode ini berlangsung selama 391 tahun yang
dimulai dari 794 hingga 1185. Periode Heian ini, sering dianggap oleh para sejarawan dan
budayawan sebagai masa klasik atau zaman keemasan karena melihat karya-karya seni serta
peninggalan budayanya yang sangat indah, detail dan masih dipertahankan sampai sekarang.
Periode Heian yang kekaisarannya kala itu berpusat di Heiankyo atau sekarang dikenal
dengan Kyoto, menjadi ibukota peradaban, saksi atas bangkitnya kebudayaan Jepang yang
mampu bertahan hingga saat ini.

Perkembangan budaya dan seni yang menonjol selama periode Heian adalah sastra
bangsawan seperti hikayat atau monogatari dan juga lukisan atau emaki. Genji Monogatari
atau 23 Hikayat Genji adalah karya sastra klasik Jepang yang lahir di sekitar abad ke-10
hingga abad ke-11 dari tangan seorang wanita bangsawan. Hikayat Genji ini pun kini telah
diklaim sebagai kesusasteraan klasik pertama yang berbentuk novel di dunia. Genji
Monogatari dapat menjadi media yang menggambarkan fashion pada periode Heian

Anda mungkin juga menyukai